ari yudha sanjaya

157
TESIS LIDOKAIN 2% INTRACUFF PIPA ENDOTRAKEA MENGURANGI NYERI TENGGOROKAN PASCA INTUBASI DI RSUP SANGLAH DENPASAR ARI YUDHA SANJAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

Transcript of ari yudha sanjaya

Page 1: ari yudha sanjaya

TESIS

LIDOKAIN 2% INTRACUFF PIPA ENDOTRAKEA

MENGURANGI NYERI TENGGOROKAN PASCA

INTUBASI DI RSUP SANGLAH DENPASAR

ARI YUDHA SANJAYA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 2: ari yudha sanjaya

TESIS

LIDOKAIN 2% INTRACUFF PIPA ENDOTRAKEA

MENGURANGI NYERI TENGGOROKAN PASCA

INTUBASI DI RSUP SANGLAH DENPASAR

ARI YUDHA SANJAYA

NIM 1014108101

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 3: ari yudha sanjaya

LIDOKAIN 2% INTRACUFF PIPA ENDOTRAKEA

MENGURANGI NYERI TENGGOROKAN PASCA

INTUBASI DI RSUP SANGLAH DENPASAR

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Biomedik

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

`

ARI YUDHA SANJAYA

NIM 1014108101

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 4: ari yudha sanjaya

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 5 JANUARI 2015

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr.dr. Made Wiryana,SpAn.KIC. KAO dr. I Gede Budiarta,

SpAn.KMN

NIP. 19540504198103.1.004 NIP.19640114198903.1.002

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Universitas Udayana Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Prof.Dr.dr.Wimpie I Pangkahila, SpAnd,FAACS Prof.Dr.dr.A.A. Raka

Sudewi, SpS(K)

NIP. 194612131971071001 NIP. 195902151985102001

Page 5: ari yudha sanjaya

Tesis Ini Telah Diuji Pada

Tanggal 5 Januari 2015

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana,

Nomor 029/ UN. 14.4/ HK/ 2014 Tertanggal 2 Januari 2015

Pembimbing I : Prof. Dr. dr. Made Wiryana, SpAn, KIC, KAO

Pembimbing II : dr. I Gede Budiarta, SpAn, KMN

Penguji :

1. dr. I Ketut Sinardja, SpAn, KIC

2. dr. I Made Subagiartha, SpAn, KAKV, SH

3. dr. Tjok Gde Agung Senapathi, SpAn, KAR

Page 6: ari yudha sanjaya

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Ida

Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas asung kerta

wara nugraha-Nya, tugas penyusunan tesis ini dapat terselesaikan.

Kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD, KEMD, selaku Rektor

Universitas Udayana, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

atas perkenannya memberikan kesempatan untuk mengikuti dan menyelesaikan

pendidikan spesialis di Universitas Udayana.

Kepada Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT(K), MKes, selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana, penulis juga mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya atas perkenannya memberikan kesempatan menjalani dan

menyelesaikan pendidikan spesialis di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Kepada dr. I Nyoman Semadi, SpB, SpBTKV, selaku Ketua TKP PPDS I

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, penulis mengucapkan terima kasih atas

kesempatan yang diberikan sehingga penulis mampu menyelesaikan program

pendidikan dokter spesialis ini.

Kepada dr. Anak Ayu Sri Saraswati, MKes, selaku Direktur Utama RSUP

Sanglah, penulis menyampaikan terima kasih atas kesempatan yang diberikan

untuk menjalani pendidikan dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah

Denpasar.

Kepada Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, SpS(K), selaku Direktur Program

Pascasarjana Universitas Udayana, penulis menyampaikan terima kasih karena

Page 7: ari yudha sanjaya

telah diberikan kesempatan untuk menjalani program magister pada program studi

ilmu biomedik, program pascasarjana Universitas Udayana.

Kepada dr. I Ketut Sinardja, SpAn, KIC, selaku Kepala Bagian Anestesiologi

dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, penulis

mengucapkan terima kasih dan rasa hormat setinggi-tingginya atas bimbingan,

inspirasi dan motivasi yang telah diberikan selama penulis mengikuti program

pendidikan dokter spesialis ini.

Kepada dr. Ida Bagus Gde Sujana, SpAn, MSi, selaku Sekretaris Bagian

Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,

penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat setinggi-tingginya atas

bimbingan, semangat, inspirasi dan motivasi selama penulis mengikuti program

pendidikan dokter spesialis ini.

Kepada Prof. Dr. dr. Made Wiryana, SpAn, KIC, KAO, selaku Ketua

Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, penulis mengucapkan terima

kasih dan rasa hormat yang setinggi-tingginya atas keteladanan dan bimbingan

yang telah diberikan selama penulis menyelesaikan tesis dan menempuh program

pendidikan dokter spesialis ini dan selaku pembimbing satu yang telah

memberikan bimbingan, masukan dan motivasi dalam penulisan dan penyusunan

tesis ini.

Kepada dr. I Made Gede Widnyana, SpAn, MKes, KAR, selaku Sekretaris

Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, penulis mengucapkan terima

kasih dan rasa hormat yang setinggi-tingginya atas bimbingan yang telah

diberikan selama penulis menempuh program pendidikan dokter spesialis ini.

Page 8: ari yudha sanjaya

Kepada dr. I Gede Budiarta, SpAn, KMN, penulis mengucapkan terima kasih

dan rasa hormat setinggi-tingginya atas bimbingan, semangat, inspirasi dan

motivasi selama penulis mengikuti program pendidikan dokter spesialis ini dan

khususnya selaku pembimbing dua dalam penyusunan tesis ini.

Kepada dr. I Wayan Sukra, SpAn, KIC, penulis mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya atas kemurahan hatinya dengan tidak mengenal lelah

memberikan bimbingan dan landasan berpikir tentang ilmu dasar anestesi.

Kepada semua guru : dr. I Made Subagiartha, SpAn, KAKV, SH; dr. I Gusti

Putu Sukrana Sidemen, SpAn, KAR; Dr. dr. I Wayan Suranadi, SpAn, KIC; Dr.

dr. I Putu Pramana Suarjaya, SpAn, MKes, KNA, KMN; Dr. dr. Tjokorda Gde

Agung Senapathi, SpAn, KAR; dr. Putu Agus Surya Panji, SpAn, KIC; dr. I

Wayan Aryabiantara, SpAn, KIC; dr. I Ketut Wibawa Nada, SpAn, KAKV; dr.

Dewa Ayu Mas Shintya Dewi, SpAn; dr. I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa,

SpAn, KAR; dr. I G.A.G. Utara Hartawan, SpAn, MARS; dr. Pontisomaya

Parami, SpAn, MARS; dr I Putu Kurniyanta, SpAn; dr. Kadek Agus Heryana

Putra, SpAn; dr. Cynthia Dewi Sinardja, SpAn, MARS; dr. Made Agus Kresna

Sucandra, SpAn; dr. Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan, SpAn, MKes; dr. Tjahya

Aryasa EM, SpAn, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya atas

bimbingan yang telah diberikan selama menjalani program pendidikan dokter

spesialis ini.

Kepada dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid, selaku pembimbing

statistik, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesediaan

Page 9: ari yudha sanjaya

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan statistik dalam penyusunan

penelitian ini.

Kepada semua senior dan rekan – rekan residen anestesi, penulis

mengucapkan terima kasih atas bantuan dan kerja sama yang baik selama penulis

menjalani program pendidikan dokter spesialis ini.

Kepada Ibu Ni Ketut Santi Diliani, SH dan seluruh staf karyawan di Bagian

Anestesiologi dan Terapi Intensif, penulis mengucapkan terima kasih atas semua

bantuannya selama menjalani program pendidikan dokter spesialis ini, kepada

segenap penata anestesi, paramedis dan seluruh pasien serta kepada semua

karyawan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu

selama proses pendidikan ini.

Kepada Bapak Nyoman Sukayasa dan Ibu Ni Made Puspawati Duarsa selaku

orang tua yang telah merawat dan membesarkan penulis dengan kasih sayang

yang tanpa pamrih serta penuh kesabaran memberikan dukungan semangat dan

doa supaya penulis dapat menjalani dan menyelesaikan studi ini dengan baik.

Serta terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pasien yang menjadi

“sumber ilmu” selama penulis menjalani proses pendidikan spesialisasi ini.

Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa selalu

memberikan berkat dan rahmat-Nya kepada semua pihak yang tertulis di atas

maupun yang tidak tertulis, yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah

membantu penulis selama proses pendidikan dan penyusunan tesis ini.

Denpasar, Desember 2014

dr. Ari Yudha Sanjaya

Page 10: ari yudha sanjaya

ABSTRAK

LIDOKAIN 2% INTRACUFF PIPA ENDOTRAKEA MENGURANGI

NYERI TENGGOROKAN PASCA INTUBASI DI RSUP SANGLAH

DENPASAR

Nyeri tenggorokan merupakan salah satu komplikasi penggunaan pipa

endotrakea pada pelaksanaan anestesi umum. Inflasi cuff, volume cuff, tekanan

cuff mempunyai hubungan paling erat terhadap nyeri tenggorokan. Tujuan

penelitian ini mengetahui efektifitas pemberian lidokain 2% intracuff pipa

endotrakea untuk mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi.

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Randomized double blind

controlled trial pada pasien yang menjalani tindakan pembedahan dengan anestesi

umum di kamar operasi instalasi bedah sentral RSUP Sanglah Denpasar.

Penelitian ini mengambil sampel 64 pasien yang dibagi menjadi dua kelompok (n

= 32), kelompok A menggunakan inflasi lidokain 2% intracuff dan kelompok B

menggunakan inflasi NaCl 0,9% intracuff. Derajat nyeri tenggorokan dievaluasi

menggunakan instrumen Visual Analog Scale (VAS) pada jam ke 1, jam ke 2 dan

jam ke 24 pasca ekstubasi. Uji statistik menggunakan Chi square, Mann-Whitney

Test, dan independent sample T-test (dengan derajat kemaknaan < 0,05). Analisis

data menggunakan program SPSS v. 17,0 for windows (Statistical Package for

the Social Sciences Inc, USA).

Pada penelitian ini didapatkan rerata nyeri tenggorokan dievaluasi

menggunakan VAS dalam milimeter (mm) kelompok lidokain 2% pada jam 1

pasca ekstubasi 4,0 ± 5,7 mm, pada kelompok NaCl 0,9% adalah 10,1 ± 5,0 mm,

didapatkan beda rerata VAS 6,1 ± 0,7 mm yang secara statistik dianggap

bermakna (p <0,001). Evaluasi VAS nyeri tenggorokan 2 jam pasca ekstubasi

pada kedua kelompok perlakuan juga secara statistik bermakna dengan beda rerata

VAS 3,2 ± 0 mm (p=0,004). Penilaian VAS 24 jam pasca ekstubasi pada kedua

kelompok menunjukkan nilai VAS 0 sehingga tidak ada perbedaan.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa lidokain 2% intracuff pipa

endotrakea mengurangi nyeri tenggorokan pada pasien yang menjalani anestesi

umum pasca intubasi di RSUP Sanglah Denpasar sehingga lidokain 2% intracuff,

dapat digunakan sebagai alternatif pilihan dalam mengurangi nyeri tenggorokan.

Kata kunci : lidokain 2%, intracuff, nyeri tenggorokan.

Page 11: ari yudha sanjaya

ABSTRACT

INTRACUFF LIDOCAINE 2% IN ENDOTRACHEAL TUBE REDUCE

POST INTUBATION SORE THROAT AT SANGLAH HOSPITAL

Sore throat is one of complication related with endotracheal tube insertion

in general anesthesia. Cuff inflation, cuff volume, and cuff pressure are most

related to the sore throat. This study research the effectiveness of intracuff

lidocaine 2% in endotracheal tube to reduce post-intubation sore throat.

The study is a randomized, double-blind controlled trial in patients

undergoing surgery with general anesthesia in the central operating theatres at

Sanglah Hospital. A number of 64 samples were divided into two groups (n = 32),

group A used intracuff lidocaine 2% inflation and group B used intracuff 0.9%

NaCl inflation. The severity of sore throat was evaluated using Visual Analogue

Scale (VAS) at 1 hour, 2 hours, and 24 hours after extubation. Chi-square test,

Mann-Whitney test, and independent sample T-test (with significance level <0.05)

used as statistical analysis tests, with SPSS v. 17.0 for Windows (Statistical

Package for the Social Sciences Inc., USA).

The mean sore throat was evaluated using the VAS in millimeters (mm).

The 2% lidocaine group showed that at 1 hour post-extubation VAS was 4.0 ± 5.7

mm, compared to in 0.9% NaCl group 10.1 ± 5.0 mm, showed a mean difference

of 6.1 ± 0.7 mm, classified as statistically significant (p <0.001). Evaluation of

sore throat VAS at 2 hours after extubation in both treatment groups was also

statistically significant with a mean difference of 3.2 ± 0 mm VAS (p = 0.004).

VAS assessment 24 hours after extubation in both groups showed VAS value 0 so

that there is no difference.

From these results it can be concluded that lidocaine 2% intracuff

endotracheal tube reduces sore throat in patients underwent general anesthesia in

post-intubation at Sanglah Hospital, so it can be used as an alternative in reducing

post-extubation sore throat.

Keywords: lidocaine 2%, intracuff, sore throat.

Page 12: ari yudha sanjaya

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM …………………………………………………… i

PRASYARAT GELAR ………………………………………………. ii

LEMBAR PERSETUJUAN ………………………………………….. iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ….……………….……. v

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ………………………………….. vi

UCAPAN TERIMA KASIH …………………………………………. vii

ABSTRAK …………………………………………………………… xi

ABSTRACT ………………………………………………………….. xii

DAFTAR ISI …………………………………………………………. xiii

DAFTAR TABEL ……………………………………………………. xviii

DAFTAR GAMBAR …………………………………………………. xix

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG.…………...……………. xxi

DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………….…. xxiv

BAB I. PENDAHULUAN ……………………………………………. 1

1.1 Latar Belakang …….……………………………………… 1

1.2 Rumusan Masalah ………………………….…………….. 6

1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………….. 6

1.3.1 Tujuan umum ………………….……………………. 6

1.3.2 Tujuan khusus …………………….………...………. 7

1.4 Manfaat Penelitian ………………………………………... 7

Page 13: ari yudha sanjaya

1.4.1 Aplikasi klinis ……………………….……………….. 7

1.4.2 Pengembangan akademik …………………….……. 7

BAB II. KAJIAN PUSTAKA ……………………………..………….. 8

2.1 Lidokain …………………………………..……………….. 8

2.1.1 Sejarah ……………………………………………….. 8

2.1.2 Struktur dan Mekanisme Kerja

Anestesi Lokal ……………………………………….. 10

2.1.2.1 Struktur Anestesi Lokal…….…………………… 10

2.1.2.2 Mekanisme Kerja Anestesi L.okal ….………….. 13

2.1.3 Konsentrasi minimum .………….…………………… 14

2.1.4 Farmakokinetik… ….………….……….……………. 15

2.1.4.1 Absorbsi ….………………..……….……………. 15

2.1.4.2 Distribusi…….…………………………………… 16

2.1.4.3 Metabolisme dan ekskresi……...………………. 17

2.1.5 Anestesi Lokal Liposomal …….….…………………. 19

2.1.6 Alkalinisasi Larutan Anestesi Lokal …….………….. 20

2.1.7 Indikasi…………………………………………. …… 20

2.1.8 Farmakodinamik……… ….…………………………. 21

2.1.8.1 Efek lidokain pada sistem organ …….………… 21

2.1.8.1.1 Sistem Saraf Pusat…………. …….……….. 21

2.1.8.1.2 Sistem kardiovaskular …………………..… 23

2.1.8.1.3 Sistem respirasi..……………………………. 24

2.1.8.1.4 Alergi………………………………………… 24

Page 14: ari yudha sanjaya

2.1.9 Respon inflamasi……………………………………… 24

2.1.9.1 Efek Anestesi Lokal pada Proses Inflamasi……. 27

2.2 Pipa Endotrakea……………………………………………… 28

2.2.1 Cuff pipa endotrakea…………………………………. 28

2.2.2 Difusi lidokain melintasi cuff pipa endotrakea…….. 30

2.3 Nyeri………………………………………………………… 32

2.3.1 Definisi nyeri…………………………………………. 32

2.3.2 Fisiologi nyeri………………………………………… 33

2.3.3 Patofisiologi nyeri……………………………………. 34

2.3.3.1 Transduksi………………………………………. 34

2.3.3.2 Transmisi………………………………………… 35

2.3.3.3 Modulasi………………………………………… 36

2.3.3.4 Persepsi………………………………………….. 36

2.3.4 Penilaian Nyeri……………………………………….. 36

2.3.4.1 Instrumen penilaian nyeri………………………. 38

2.3.5 Nyeri tenggorokan pasca anestesi umum pipa

Endotrakea……………………………………………. 41

BAB III. KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN

HIPOTESIS PENELITIAN ………………………………… 44

3.1 Kerangka Berpikir …………….……………………………. 44

3.2 Kerangka Konsep ………..………………………………… 46

3.3 Hipotesis Penelitian …………………………………….….. 46

BAB IV. METODE PENELITIAN …………………………………… 47

Page 15: ari yudha sanjaya

4.1 Rancangan Penelitian ………………………………….….. 47

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian …………………………….. 48

4.3 Penentuan sumber data……….. …………………………… 48

4.3.1 Populasi penelitian ………….…………….………… 48

4.3.2 Sampel penelitian ….……………….…….………….. 49

4.3.3 Kriteria inklusi ………………………………………. 49

4.3.4 Kriteria eksklusi ……..………………………………. 49

4.3.5 Besar sampel …………………..…..………………… 50

4.3.6 Teknik pengambilan sampel….……………………… 51

4.3.7 Alokasi sampel…………………….. ………..………. 51

4.3.8 Teknik Blind …………………………………………. 52

4.4 Variabel Penelitian …………………………………………. 53

4.5 Definisi Operasional variabel.…………………………….. 53

4.6 Instrumen penelitian……. ………………………………… 55

4.7 Prosedur penelitian…………………………………………. 56

4.7.1 Persiapan Penelitian ………………………………… 56

4.7.2 Penapisan pasien……………………………………… 56

4.7.3 Pelaksanaan penelitian………………………………… 57

4.7.3.1 Cara kerja………………………………………… 57

4.7.4 Alur penelitian……………………………………….. 60

4.8 Pengolahan dan Penyajian Data Analisis Statistik………… 61

4.8.1 Analisis Statistik Deskriptif…………………………. 61

4.8.2 Uji Normalitas……………………………………….. 61

Page 16: ari yudha sanjaya

4.8.3 Uji Homogenitas Varian……………………………. 61

4.8.4 Analisa Perbedaan Mean…………………………….. 61

BAB V. HASIL PENELITIAN ……………………………………....... 62

BAB VI. PEMBAHASAN ……………………………………………... 75

6.1 Keterbatasan penelitian………………………………………. 85

BAB VII. SIMPULAN DAN SARAN ………………………………… 86

7.1 Simpulan …………………………………………………… 86

7.2 Saran ……………………………………………………….. 86

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….. 87

LAMPIRAN …………………………………………………………… 91

Page 17: ari yudha sanjaya

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Farmakologi Anestetik Lokal Lidokain ....................................... 20

Tabel 2.2 Tabel Perbandingan pH Lidokain ................................................ 32

Tabel 5.1 Data karakteristik subjek penelitian kedua kelompok

perlakuan……………………………………………………… 62

Tabel 5.2 Perbedaan rerata tekanan intracuff berdasarkan

kelompok perlakuan………………………………………….. 64

Tabel 5.3 Volume intracuff pada kedua kelompok

perlakuan …………………………………………………….. 66

Tabel 5.4 Derajat nyeri tenggorokan dinilai dengan Visual

Analog Scale (VAS) pada kedua kelompok

perlakuan….…………………………………………………. 67

Tabel 5.5 Hasil analisis regresi linier pengaruh selisih volume cuff

terhadap nilai VAS jam 1………………………………….. 70

Tabel 5.6 Hasil analisis regresi linier pengaruh selisih volume cuff

terhadap nilai VAS jam 2.…………………………………. 71

Tabel 5.7 Hasil analisis regresi linier pengaruh tekanan intracuff

akhir terhadap nilai VAS jam 1…………………………….. 72

Tabel 5.7 Hasil analisis regresi linier pengaruh tekanan intracuff

akhir terhadap nilai VAS jam 2…………………………….. 73

Page 18: ari yudha sanjaya

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Struktur Kimia Lidokain .............................................................. 9

Gambar 2.2 Struktur Dasar Anestetik Lokal .................................................... 10

Gambar 2.3 Struktur Anestesi Lokal Golongan Ester dan Amide ................... 11

Gambar 2.4 Metabolisme Lidokain.................................................................. 19

Gambar 2.5 Peran Respon Inflamasi Lokal ..................................................... 26

Gambar 2.6 Patofisiologi Nyeri ....................................................................... 37

Gambar 2.7 Instrumen Visual Rating Scale (VRS) ......................................... 39

Gambar 2.8 Instrumen Numerical Rating Scale (NRS) ................................... 39

Gambar 2.9 Instrumen Visual Analog Scale (VAS) ........................................ 41

Gambar 3.1 Kerangka Konsep ......................................................................... 46

Gambar 5.1 Grafik tekanan intracuff kedua kelompok perlakuan………….... 65

Gambar 5.2 Grafik perbandingan rerata tekanan intracuff

menit akhir kedua kelompok perlakuan …………...…………... 65

Gambar 5.3 Grafik volume intracuff kedua kelompok perlakuan …….…….. 67

Gambar 5.4 Grafik VAS nyeri tenggorokan kedua kelompok perlakuan...…. 68

Gambar 5.5 Grafik Perbandingan VAS kedua kelompok perlakuan ……….. 69

Gambar 5.6 Kurve linier pengaruh selisih volume cuff terhadap

nilai VAS jam 1 ……….. ........................................................... 70

Gambar 5.7 Kurve linier pengaruh selisih volume cuff terhadap

nilai VAS jam 2 ……….. ........................................................... 71

Page 19: ari yudha sanjaya

Gambar 5.7 Kurve linier pengaruh tekanan intracuff akhir terhadap

VAS jam 1 ……….. ................................................................... 72

Gambar 5.7 Kurve linier pengaruh tekanan intracuff akhir terhadap

VAS jam 2 ……….. ................................................................... 74

Page 20: ari yudha sanjaya

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

ASA :American Society of Anesthesiology

ATP : Adenosin Tri Phospate

BB : berat badan

C : Carbon

CNS : Central Nervous System

Cm : Konsentrasi minimum

Cmax : konsentrasi maksimum

EMLA : Euthetic Mixture Local of Anesthesia

G : Gauge

GPCR : G Protein – Coupled Receptor

HPLV : High Pressure – Low Volume

HVLP :High Volume – Low Pressure

IASP : International Association for The Study of Pain

IMT : Indeks Massa Tubuh

JCAHO : Joint Commision on Accreditation of Healthcare Organizations

K : Kalium

kg : kilogram

kg/m2 : kilogram per meter kubik

kgBB : kilogram berat badan

l : Left

LAST : Local Anesthetic Systemic Toxicity

L-HCl : Lidokain hidrochloride

LMA : Laryngeal mask airway

Page 21: ari yudha sanjaya

m : meter

mL : mililiter

mm : milimeter

mg : miligram

mmHg : milimeter air raksa

mV : milivolt

MAC : Minimum Alveolar Concentration

MPQ : McGill Pain Questionaire

NaHCO3 : Sodium bicarbonat

Na : Natrium

NaCl : Natrium Chloride

NPA :Nasopharyngeal airway

NRS : Numerical Rating Scale

N2O : Nitrous oxide

O2 : Oksigen

OPA :Oropharyngeal airway

PABA : p-aminobenzoic acid

PACU : Post Anesthesia Care Unit

pH : Derajat keasaman

p-450 : enzim p-450

pKa : pH saat obat anestesi lokal yang terionisasi sama dengan

yang tak

terionisasi

PET :Pipa endotrakea

Page 22: ari yudha sanjaya

PMN : Poli Morfo Nuklear

PVC : Polyvynil chloride

r : Right

RAR : Rapid Adapting stretch Receptor

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

TNF : Tumor Necrosis Factor

VDS : Verbal Descriptive Scale

VRS : Visual Rating Scale

VAS : Visual Analogue Scale

5HT : 5-hydroksi triptamin

% : persen

µg : microgram

< : kurang dari

> : lebih dari

= : sama dengan

Page 23: ari yudha sanjaya

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 : Surat Keterangan Kelaikan Etik ............................................ 83

Lampiran 2 : Surat Ijin Uji Klinik .............................................................. 84

Lampiran 3 : Jadwal Penelitian ................................................................... 85

Lampiran 4 : Rincian Informasi .................................................................. 86

Lampiran 5 : Formulir Persetujuan Tindakan ............................................. 89

Lampiran 6 : Lembar Penelitian .................................................................. 94

Lampiran 7 : Pencatatan Hasil Evaluasi...................................................... 98

Lampiran 8 : Tabulasi Data Penelitian ........................................................ 100

Lampiran 9 : Hasil Analisis SPSS .............................................................. 102

Page 24: ari yudha sanjaya

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembebasan jalan nafas merupakan tindakan pertama dan terpenting yang

harus dilakukan pada saat melakukan anestesi umum. Pembebasan jalan nafas

tersebut dapat dilakukan tanpa alat atau dengan menggunakan alat-alat seperti

oropharyngeal airway (OPA), nasopharyngeal airway (NPA), laryngeal mask

airway (LMA), dan intubasi dengan pipa endotrakea (PET). (Larson, 2002)

Intubasi dengan pipa endotrakea menjadi bagian yang rutin dalam

pelaksanaan anestesi umum. Intubasi bukan merupakan prosedur yang tanpa

komplikasi, bagaimanapun juga tidak semua pasien yang mendapatkan anestesi

umum membutuhkan intubasi trakea, pipa endotrakea umumnya digunakan untuk

memproteksi jalan nafas atau untuk akses jalan nafas. Pipa endotrakea dapat

digunakan untuk memberikan gas anestesi langsung ke dalam trakea dan

memungkinkan dilakukannya kontrol terhadap ventilasi dan oksigenasi (Morgan,

2006)

Pemakaian pipa endotrakea juga memiliki komplikasi yang dapat terjadi

mulai dari saat intubasi memasukkan pipa endotrakea sampai dengan ekstubasi

melepaskan pipa dari saluran nafas pasien. Salah satu komplikasi penggunaan

pipa endotrakea terjadi akibat rangsangan iritasi dan regang pada mukosa saluran

nafas sehingga menimbulkan respon seperti suara serak, nyeri tenggorokan, batuk,

peningkatan tekanan darah, dan peningkatan laju nadi.

Page 25: ari yudha sanjaya

Trauma pada mukosa trakea dapat menimbulkan keluhan nyeri

tenggorokan pasca bedah. Beberapa keluhan yang berkaitan dengan penggunaan

pipa endotrakea tersebut sangat bervariasi mulai dari yang ringan seperti rasa

gatal, serak, batuk, nyeri ringan sampai keluhan yang serius seperti laserasi, ruptur

trakea, obliterasi/ stenosis, atau fistula trakeo-esofageal. Insiden nyeri

tenggorokan (sore throat) pasca intubasi berkisar antara 24-90%.

Reaksi merugikan tersebut diatas umumnya dapat ditoleransi dengan baik

pada pasien sehat tanpa disertai komorbiditas, namun demikian reaksi tersebut

dapat menjadi permasalahan terutama pada pasien yang sebelumnya dengan

riwayat hipertensi, penyakit jantung iskemik, peningkatan tekanan intrakranial,

atau trauma okular. (Gilles Dollo, dkk. 2001)

Keadaan diatas dapat disebabkan oleh banyak faktor, tetapi salah satu yang

mempunyai hubungan paling erat adalah keadaan cuff pipa endotrakea,

diantaranya meliputi: luas kontak cuff dengan mukosa, tekanan cuff, bentuk,

diameter, bahan, serta ketebalan dinding cuff.

Kebanyakan PET yang digunakan untuk orang dewasa memiliki cuff

pengembang, dan terdiri dari katup, pilot balon, pipa pengembang, dan cuff.

Katup berfungsi untuk mencegah bocornya udara setelah cuff dikembangkan.

Pilot balon merupakan tempat untuk mengisi udara untuk mengembangkan cuff.

Pipa pengembang menghubungkan katup dengan cuff dan terletak pada dinding

PET. Dengan menciptakan sebuah segel trakea, PET mampu digunakan untuk

memberikan ventilasi tekanan positif dan mengurangi kemungkinan terjadinya

Page 26: ari yudha sanjaya

aspirasi. PET tanpa cuff biasanya digunakan pada anak-anak untuk

meminimalisasi resiko cedera dan batuk pasca intubasi.

Tekanan cuff bergantung pada beberapa faktor: volume udara

pengembang, diameter cuff dalam hubungannya dengan trakea, compliance cuff

dan trakea, tekanan intrathoraks (tekanan cuff meningkat saat batuk). Tekanan

cuff dapat meningkat pada saat pemberian anestesi umum sebagai hasil dari difusi

nitrous oksida (N2O) dari trakea ke dalam cuff PET.

Berbagai usaha dilakukan untuk mengurangi nyeri tenggorokan pasca

intubasi endotrakea, antara lain mengganti pipa endotrakea dari bahan karet ke

polyvynil chloride (PVC), menggunakan pelumas, pemberian krim topikal

kortikosteroid pada PET, inflasi cuff PET dengan salin atau campuran N2O dan

O2, serta cuff bertekanan rendah sehingga aliran darah mukosa tidak terganggu.

Pemberian lidokain intravena dan topikal telah digunakan untuk

mengurangi stimulus noksius pada saat intubasi endotrakea. Lidokain topikal atau

spray pada PET digunakan untuk mengurangi kejadian nyeri tenggorokan pasca

intubasi, namun diperlukan alat khusus untuk tujuan ini. Untuk memberi lubrikasi

pipa endotrakea digunakan lidokain dosis besar mencapai 100-250 mg baik

dengan menggunakan spray, ointment, gel atau jelly untuk mencapai konsentrasi

plasma 1,5 µg/ ml. Untuk pemberian lidokain intravena dosis yang

direkomendasikan 1,5 mg/ kilogram berat badan untuk mencapai konsentrasi

plasma 2 µg/ ml. Beberapa metode tersebut memiliki kelemahan, antara lain

duration of action terbatas pasca aplikasi lidokain karena cepat terabsorbsi

Page 27: ari yudha sanjaya

mukosa trakeobronkial sehingga tidak efektif pada periode ekstubasi. (Gilles

Dollo, dkk. 2001)

Selama anestesia pengisian cuff dengan udara dapat menyebabkan

hiperpressure cuff pada mukosa trakea disebabkan peningkatan temperatur dan

penggunaannya bersama nitrous oxide (N2O) yang berdifusi lebih cepat ke dalam

cuff dibandingkan kemampuan nitrogen berdifusi keluar cuff. Keadaan overinflasi

cuff pipa endotrakea ini yang dihubungkan dengan kerusakan mukosa pharyngeal

dan terjadinya recurrent laryngeal nerve palsy. (Gilles Dollo, dkk. 2001).

Banyak studi membahas berbagai aspek dari insersi pipa endotrakea,

namun hanya sedikit yang meneliti pada proses akhirnya yaitu pada saat ekstubasi

pipa endotrakea. Pada keadaan pasien sudah sadar, terdapat beberapa komplikasi

yang mungkin terjadi meliputi hipertensi, takikardia, batuk, bucking, menahan

nafas, dan bronkospasme. Keadaan tersebut dapat merugikan terutama pada

pasien bedah saraf berkaitan dengan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial

atau pada pembedahan bola mata yang berisiko terjadinya ruptur jahitan operasi.

Sebaliknya ekstubasi yang dilakukan saat pasien berada pada level anestesia

stadium pembedahan dapat mengurangi kejadian tersebut diatas, namun berisiko

terjadinya aspirasi, laringospasme, dan hilangnya penguasaan jalan nafas. (Gilles

Dollo, dkk. 2001)

Untuk menghindari overinflasi cuff pipa endotrakea penggunaan liquid

dapat diberikan dibandingkan inflasi udara. Lidokain sebagai suatu larutan dapat

menjadi pilihan terhadap permasalahan diatas. Beberapa penelitian in vitro

maupun in vivo melaporkan bahwa lidokain hidrochloride yang dimasukkan ke

Page 28: ari yudha sanjaya

dalam cuff dapat berdifusi melintasi cuff pipa endotrakea yang bersifat

hydrophobic membrane, karena cuff dibuat dari bahan polyvynil chloride dan

bertindak sebagai membran yang semipermeabel. (Sconzo, JM, 1990)

Hirota (2000) melaporkan pemberian lidokain pada cuff PET mengurangi

nyeri tenggorokan yang dievaluasi menggunakan Visual Analog Scale. Dari 16

pasien yang dipasang pipa endotrakea dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok

pertama mendapat inflasi cuff lidocain 4% sedangkan kelompok lainnya inflasi

dengan 0,9%. Evaluasi VAS (mm) lebih rendah pada kelompok inflasi lidokain

25,1 ±9,8 berbanding 53,5 ±10,6 pada kelompok inflasi saline 0,9% (p<0,01).

Penelitian Navarro (1997) pada pemberian anestetik lokal lidokain 2%

intracuff terdapat perbedaan insidensi nyeri tenggorokan secara signifikan pada

evaluasi 24 jam pasca operasi yaitu 59% pada kelompok inflasi udara dan 32%

pada kelompok inflasi lidokain (p=0,01). Severity nyeri tenggorokan dievaluasi

menggunakan VAS lebih rendah pada kelompok inflasi lidokain, evaluasi 1 jam

pasca operasi 18,7 ± 27.0 berbanding 7,90 ± 18.1 (p=0,02). Sedangkan evaluasi

24 jam pasca operasi 25,6 ± 27,5 berbanding 14,5 ± 24.8 (p=0,03).

Alkalinisasi dengan penambahan sodium bikarbonat (NaHCO3) 8,4%

terhadap lidokain hidroklorida menyebabkan difusi 65% neutral base form

(lidokain-HCl) melalui struktur hidrofobik cuff PET dalam periode waktu 6 jam,

sehingga memungkinkan jumlah obat yang lebih sedikit dibandingkan penelitian

sebelumnya (lidokain 20-40 mg berbanding 200-500 mg), disamping mengurangi

kemungkinan efek samping terjadi absorbsi ke sirkulasi dalam dosis besar bila

terjadi ruptur dari cuff PET. (Dollo, 2001; Estebe, 2005)

Page 29: ari yudha sanjaya

Namun studi Estebe (2002) melaporkan pemberian lidokain

hidrochloride dosis kecil 40 mg tanpa alkalinisasi terhadap kejadian nyeri

tenggorokan pasca operasi bermakna secara signifikan (p<0,001). Hal tersebut

sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Bennett (2000).

Estebe (2005) melaporkan bahwa difusi lidokain pada akalinisasi dengan

NaHCO3 8,4% menyebabkan konsentrasi maksimal lidokain-HCl dalam plasma

Cmax <0,08 µg/ ml, masih lebih kecil konsentrasinya bila pemberian lidokain-

HCl secara topikal yang mencapai Cmax 0,43-1,5 µg/ ml, atau secara intravena

yang mencapai 2-3 µg/ ml. Penggunaan lidokain 200-500 mg menyebabkan Cmax

167 ±30 ƞg/ ml.

Penelitian ini diharapkan akan menambah data tentang kemampuan difusi

lidokain melintasi cuff pipa endotrakea untuk mengurangi kejadian nyeri

tenggorokan pasca anestesi umum intubasi endotrakea.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan

masalah penelitian: apakah lidokain 2% intracuff pipa endotrakea mengurangi

nyeri tenggorokan pasca intubasi di RSUP Sanglah Denpasar?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui efektifitas lidokain 2% intracuff pipa endotrakea dalam

mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi di RSUP Sanglah Denpasar.

Page 30: ari yudha sanjaya

1.3.2 Tujuan khusus

Untuk membandingkan efek antara lidokain 2% dengan NaCl 0,9%

intracuff pipa endotrakea dalam mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi di

RSUP Sanglah Denpasar.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Aplikasi klinis

Penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai manfaat klinis

lidokain 2% intracuff pipa endotrakea untuk mengurangi nyeri tenggorokan pasca

intubasi, sehingga dapat dipakai sebagai alternatif yang praktis, murah dan efek

samping yang minimal.

1.4.2 Pengembangan akademik

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkuat bukti bahwa

lidokain 2% intracuff dapat digunakan untuk mengurangi nyeri tenggorokan pasca

intubasi dengan dosis dan komplikasi yang minmal. Serta sebagai dasar penelitian

lebih lanjut yaitu membandingkannya dengan lidokain alkalinisasi intracuff.

Page 31: ari yudha sanjaya

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 LIDOKAIN

2.1.1 Sejarah

Anestesi lokal pertama kali disintesa dari Cocain dan diperkenalkan

sebagai obat lokal anestesi pertama kali tahun 1884 oleh Kollar untuk digunakan

dalam ophthalmology. Halsted mengakui kemampuan dari cocain injeksi untuk

menghambat konduksi impuls saraf, yang penting untuk diperkenalkan pada

anestesia blok saraf tepi dan spinal anestesia. Sebagai ester dari asam benzoic,

cocaine dalam jumlah banyak terdapat pada tumbuhan Erythroxylon coca, sejenis

tumbuhan yang tumbuh di pegunungan Andes dimana kualitasnya dalam

merangsang otak diketahui dengan baik. Keistimewaan yang unik lainnya dari

cocaine adalah kemampuannya menimbulkan vasokonstriksi lokal, membuat dia

berguna untuk mengerutkan mukosa hidung pada saat proses rhinolaryngologic

dan intubasi nasothrakeal. Potensial penyalahgunaan dari cocaine membatasi

keabsahan penggunaannya secara medis, selain itu sifat iritasi dari cocaine

membatasi obat tersebut digunakan sebagai anestesi topikal pada kornea atau

bentuk injeksi lainnya yang menyebabkan anestesi. (Stoelting, 2006)

Obat anestesi lokal sintetik pertamakali dibuat dari turunan ester yaitu

procaine, diperkenalkan oleh Einhorn tahun 1905. Lidokain disintesa sebagai

Page 32: ari yudha sanjaya

anestesi lokal golongan amide oleh Lofgren tahun 1943. Lidokain (Xylocaine/

Lignocaine) adalah obat anestesi lokal yang digunakan secara luas baik melalui

pemberian topikal atau intravena. Lidokain menimbulkan blok saraf lebih cepat,

lebih kuat dan durasinya lebih lama dibandingkan dengan procaine. Tidak seperti

procaine, lidokain efektif digunakan secara topical dan sangat poten untuk obat

antidisritmia jantung. Untuk alasan ini, lidokain digunakan sebagai standar

pembanding dari obat anestesi lainnya. Lidokain dapat menimbulkan blok yang

reversible terhadap konduksi impuls saraf pusat dan perifer setelah anestesia

regional ataupun blok saraf tepi. Dengan meningkatnya konsentrasi dari obat-obat

lokal anestesi di sekitar serat saraf akan menyebabkan transmisi saraf otonom,

saraf sensorik, dan saraf motorik dihentikan sehingga menimbulkan blok sistem

saraf otonom, sensoris dan paralysis dari otot-otot skeletal yang dipersarafi oleh

saraf yang diblok. Berkurangnya konsentrasi anestesi lokal di daerah injeksi akan

diikuti oleh kembalinya fungsi konduksi saraf secara spontan dan komplit, tanpa

ditandai kerusakan struktur serat saraf sebagai akibat dari efek obat. Tiap mililiter

lidokain mengandung: 2 – (Dietilamino) – N – (2,6 – dimetilfenil) asetamida

hidroklorida. (Stoelting, 2006)

Gambar 2.1 Struktur kimia lidokain

Page 33: ari yudha sanjaya

2.1.2 Struktur dan Mekanisme Kerja Anestesi Lokal

2.1.2.1 Struktur Anestesi Lokal

Anestesi lokal terdiri dari bagian lipophilik dan hydrophilik yang

dihubungkan oleh rantai hydrocarbon (gambar 2.2). Bagian hydrophilik disusun

oleh amine tersier seperti: diethylamine, dimana bagian yang lipophilik disusun

oleh cincin aromatik yang tidak jenuh seperti paraaminobenzoic acid. Bagian

lipofilik ini berperanan penting dalam menentukan aktifitas anestetik dari obat

tersebut. Berdasarkan strukturnya tersebut, obat anestesi lokal dapat

diklasifikasikan menjadi golongan amino-ester dan amino-amide. Pembagian

menjadi golongan ester dan amide ini erat kaitannya dengan metabolisme dan

reaksi alergi yang ditimbulkannya. (Stoelting, 2006)

Gambar 2.2 Struktur dasar anestetik lokal

Modifikasi struktur kimia dari obat lokal anestesi ini berpengaruh pada

efek farmakologi. Lidokain mirip dengan etidokain tetapi penggantian grup ethyl

Page 34: ari yudha sanjaya

dari lidokain dengan propyl dan penambahan ethyl pada alpha atom karbon di

rantai hydrocarbon menyebabkan etidokain 50 kali lebih larut dalam lemak dan

durasi 2-3 kali lebih lama. Anestesi lokal pipecoloxylidide (mepivacaine,

bupivacaine, ropivacaine dan levobupivacaine) memiliki struktur chiral karena

adanya atom karbon yang asimetris. Struktur ini menyebabkan obat tersebut

memiliki konfigurasi l ( left ) danr ( right ) enantiomer. Perbedaan konfigurasi

ini erat kaitannya dengan efek neurotoksisitas dan kardiotoksisitas, dimana l

enantiomer (ropivacaine, levobupivacaine) memiliki toksisitas yang lebih rendah

dari r enantiomer. (Stoelting, 2006)

Page 35: ari yudha sanjaya

Gambar 2.3. Struktur anestesi lokal golongan ester dan amide

Potensi, onset dan durasi lokal anestesi sangat dipengaruhi oleh struktur dari obat

ini. (Morgan, 2006)

Page 36: ari yudha sanjaya

Potensi sangat berhubungan dengan kelarutannya di dalam lemak, karena

hal ini berpengaruh terhadap kemampuan obat lokal anestesi dalam menembus

membran sel neuron (epineurium, perineurium dan endoneurium). Secara umum

kelarutan dalam lemak dan potensi dari lokal anestesi meningkat bila jumlah atom

C (karbon) yang menyusun molekul obat tersebut bertambah banyak. Cara yang

sering dipergunakan untuk mengukur potensi dari obat anestesi lokal adalah Cm

(konsentrasi minimum dari lokal anestesi yang dapat memblok konduksi impuls

saraf). Tetapi pengukuran ini juga dipengaruhi beberapa faktor: ukuran, tipe dan

myelin serat saraf, pH (pH asam mengurangi potensi blok saraf), frekuensi

rangsangan saraf dan kadar elektrolit (hipokalemia dan hiperkalemia akan

mengurangi blok saraf).

Onset dari anestesi lokal dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti:

kelarutan dalam lemak, pKa (pH saat obat lokal anestesi yang terionisasi sama

dengan yang tak terionisasi). Obat yang memiliki pKa mendekati pH fisiologis,

konsentrasi obat yang tak terionisasi lebih besar sehingga lebih mudah menembus

membran sel saraf, sehingga onset lebih cepat. Disamping itu, pH dari jaringan

juga berpengaruh terhadap onset anestesi lokal, seperti pada infeksi lokal pH

jaringan lebih asam, shingga onset anestesi lokal akan lebih lambat. Penambahan

epinephrine akan membuat pH larutan lebih asam (karena molekul epinephrine

lebih stabil pada suasana asam) sehingga onset maupun durasi dari anestesi lokal

lebih lama. Sedangkan penambahan sodium bikarbonat (alkalinisasi 1 ml 8,4%

sodium bikarbonate per 10 ml 1% lidokain) akan meningkatkan pH larutan

Page 37: ari yudha sanjaya

anestesi lokal sehingga onset dari lokal anestesi lebih cepat dan durasinya lebih

lama.

Durasi dari anestesi lokal sangat tergantung pada kelarutan obat dalam

lemak. Semakin besar kelarutannya dalam lemak semakin lama durasinya oleh

karena pembersihan oleh aliran darah menurun. Kelarutannya dalam lemak juga

menunjukkan kekuatan ikatan antara obat dengan protein plasma (alpa 1-

glikoprotein dan albumin). Derajat ikatan obat dengan protein plasma berbanding

lurus dengan kecepatan eliminasi dari obat.

2.1.2.2 Mekanisme Kerja Anestesia Lokal

Anestesi lokal mencegah transmisi impuls saraf dengan menghambat

aliran ion natrium melalui saluran natrium pada membran sel saraf (neuron).

Saluran ion natrium memiliki resptor khusus untuk molekul anestesi lokal. Pada

keadaan potensial istirahat, neuron mempertahankan potensial negatif (- 70 mV)

di dalam sel neuron dibandingkan dengan di luar sel. Pompa Na – K secara aktif

mempertahankan potensial ini tetap terpelihara. Pompa aktif ini menggerakkan

natrium (Na+) keluar dari sel neuron dan membawa Kalium (K+) masuk kedalam

sel sehingga terjadi perbedaan konsentrasi ion Na+ dan K+ di dalam dan diluar sel

(Na+ lebih tinggi di ektrasel dan K+ lebih tinggi di dalam sel). Untuk pergerakan

pasif, sel neuron lebih permeabel terhadap ion K daripada ion Na sehingga

potensial listrik intraseluler lebih negatif dari ektrasel. Dengan adanya rangsangan

potensial listrik pada neuron maka akan terjadilah fase depolarisasi sepanjang

Page 38: ari yudha sanjaya

akson dan aktivasi kanal natrium di membran sel yang menyebabkan refluk ion

natrium ke dalam sel sehingga terjadi perubahan potensial membran dari -70 mV

menjadi +35 mV. Molekul anestesi lokal masuk kedalam sel dan menutup kanal

ion Na dari dalam sel, sehingga potensial aksi dicegah dan transmisi impuls

sepanjang saraf tidak terjadi. (Rathmell, 2004)

Tidak semua serat-serat saraf dapat dipengaruhi oleh obat anestesi lokal,

oleh karena sensitivitasnya sangat ditentukan oleh diameter dari akson, ada

tidaknya myelin sehingga pada penggunaan blok spinal urutan saraf yang terblok

adalah autonom, sensorik dan motorik. Sebalikannya pemulihannya dimulai dari

saraf motorik, sensorik, terakhir adalah autonom. (Morgan, 2006)

2.1.3 Konsentrasi Minimum (Cm)

Konsentrasi minimum dari obat anestesi lokal yang dibutuhkan untuk

memblok konduksi saraf disebut dengan Cm (Concentration minimum), analog

dengan Minimum Alveolar Concentration (MAC) untuk zat anestetik inhalasi. Cm

dipengaruhi oleh diameter dari serat saraf, semakin besar serat saraf dibutuhkan

konsentrasi obat yang makin besar pula. Meningkatnya pH atau frekuensi

rangsangan saraf akan menurunkan Cm. Sistem saraf motorik memiliki Cm dua

kali dari sistem saraf sensori, hal ini menyebabkan anestesia sensorik tidak selalu

disertai paralisis otot skeletal. Meskipun tidak ada perbedaan Cm, dosis obat

anestetik lokal akan lebih sedikit dibutuhkan pada regional subarakhnoid dari

Page 39: ari yudha sanjaya

pada epidural oleh karena seraf saraf dalam subarakhnoid lebih sedikit lapisan

proteksinya. (Stoelting, 2006)

2.1.4 Farmakokinetik

Anestesi lokal adalah basa lemah dengan pKa sedikit diatas pH fisiologi.

Pada pH fisiologis kurang dari 50% obat anestesi lokal terlarut dalam lemak dan

tak mengalami ionisasi. Anestesi lokal yang memiliki pKa mendekati pH

fisiologis memiliki onset yang lebih cepat karena rasio obat yang terionisasi dan

dengan yang tak terionisasi optimal. Disamping itu efek vasodilator dari obat

anestesi lokal itu sendiri, dimana efek lidokain lebih besar daripada mepivacaine

mempercepat absorbsi sistemik dari obat sehingga mempercepat durasi dari obat

tersebut. Sedangkan bupivacaine dan etidocaine memiliki efek vasodilator

intrinsik yang serupa, namun konsentrasi plasma bupivacaine setelah

pemberiannya pada ruang epidural lebih tinggi daripada etidocaine. (Stoelting,

2006)

2.1.4.1 Absorbsi

Absorbsi anestesi lokal dari tempat injeksi ke dalam sirkulasi darah

dipengaruhi oleh beberapa hal: (Stoelting, 2006)

Tempat injeksi dan dosis

Penggunaan vasokonstriktor

Karakteristik/ farmakologi dari obat tersebut

Page 40: ari yudha sanjaya

Membran mukosa (konjungtiva, mukosa trakea) memiliki barier yang lemah

terhadap anestesi lokal dibandingkan dengan kulit yang intak sehingga pemberian

melalui mukosa akan memberikan efek yang lebih cepat. Pada infiltrasi yang

dalam (3- 5 mm) akan memberikan durasi + 1-2 jam. Absorbsi secara sistemik

tergantung dari proporsi vaskular dari jaringan (intravena > trakeal > intercotal >

caudal > paraservikal > epidural > pleksus brachialis > skiatik > subcutan ).

Lidokain mudah diserap dari tempat suntikan, dan dapat melewati sawar darah

otak. Kadarnya dalam plasma fetus dapat mencapai 60 % kadar dalam darah ibu.

Penggunaan vasokonstriktor (epinephrine 1:200.000) menimbulkan

vasokonstriksi pada tempat injeksi sehingga jumlah obat yang diabsobsi ke

sirkulasi menurun sedangkan pengambilan oleh sel saraf akan meningkat

sehingga meningkatkan kualitas analgesia dan durasi dari blok saraf serta

mengurangi efek samping (semakin banyak yang diabsorbsi semakin besar resiko

keracunan obat). Disamping itu epinephrine juga dapat memperpanjang durasi

analgesia dengan perangsangan reseptor Alpha-2 adrenergik. Penambahan

epinephrine pada lidokain akan memperpanjang durasi dari lidokain sampai 50%.

Sedangkan penambahan epinephrine pada bupivacaine kurang bermanfaat karena

durasinya tergantung pada ikatannya dengan protein (protein binding). Sifat dari

obat itu sendiri juga berpengaruh terhadap absorbsi obat tersebut. Lidokain yang

memiliki efek vasodilatasi akan lebih cepat diabsorbsi sehingga durasinya lebih

pendek. (Morgan, 2006)

Page 41: ari yudha sanjaya

2.1.4.2 Distribusi

Distribusi tergantung ambilan dari masing-masing organ, dimana ambilan organ

ditentukan oleh: (Morgan, 2006)

Perfusi jaringan, pada organ yang memiliki perfusi yang tinggi (otak, paru, hati,

ginjal dan jantung) obat ini akan cepat didistribusikan. Paru-paru mengekstraksi

sebagian besar dari anestesi lokal. Kondisi ini menyebabkan ambang toksisitas

anestesi lokal lebih rendah bila disuntikkan intra-arterial dari pada intra-vena.

Koefisien partial dari jaringan dan darah, kekuatan ikatan protein plasma akan

mempertahankan anestesi lokal didalam darah, sedangkan kelarutannya dalam

lemak akan memudahkan pengambilan oleh organ.

2.1.4.3 Metabolisme dan Ekskresi

Metabolisme dan ekskresi anestesi lokal tergantung dari struktur molekul

yang menyusunnya. (Morgan, 2006)

Ester, golongan ini dimetabolisme terutama oleh pseudocholinesterase

(plasma cholinesterase atau butyrylcholinesterase) dengan reaksi hidrolisis.

Reaksi ini sangat cepat dan metabolitnya mudah larut dalam air sehingga dapat

diekskresikan lewat urin. Metabolisme procaine dan benzocaine akan

Page 42: ari yudha sanjaya

menghasilkan p-aminobenzoic acid (PABA) yang berperan dalam timbulnya

reaksi alergi pada penggunaan anestetik lokal golongan ester ini.

Amide, dimetabolisme oleh enzym p-450 mikrosomal di dalam hati (N-

dealkylation dan hydroxylation). Kecepatan dari metabolisme dari golongan ini

tergantung pada masing-masing anestesi lokal (prilocane> lidokain>

mepivacaine> ropivacaine> bupivacaine) tetapi secara keseluruhan lebih lambat

dari golongan ester. Menurunnya fungsi hepar (chirrosis) atau penurunan aliran

darah hepar/ portal (kongestif heart failure, vasopressor, atau bloker H2 reseptor)

akan mengurangi kecepatan metabolisme dari anestesi lokal ini, sehingga

kemungkinan toksisitas sistemik akan meningkat. Sebagai contoh, eliminasi

waktu paruh dari lidokain akan meningkat 5 kali pada pasien dengan disfungsi

hepar dibandingkan dengan pasien normal. Penurunan metabolisme lidokain oleh

hepar harus dapat diantisipasi terutama bila pasien mendapat anestesia dengan zat

volatil anestesia. (Stoelting, 2006)

Lidokain termasuk anestesi lokal golongan amide, dan di dalam hati,

lidokain mengalami dealkilasi oleh enzim oksidase fungsi ganda (mixed-function

oxidase) membentuk monoetilglisin xilidid dan glisin xilidid, yang kemudian

dapat dimetabolisme lebih lanjut menjadi monoetilglisin dan xilidid. Kedua

metabolit monoetilglisin xilidid maupun glisin xilidid ternyata masih

memiliki efek anestetik lokal. Pada manusia 75% dari xilidid akan diekskresi

bersama urin dalam bentuk metabolit akhir, 4 hidroksi-2-6 dimetil-anilin.

(Morgan, 2006; Stoelting, 2006)

Page 43: ari yudha sanjaya

Paru mampu mengekstraksi anestetik lokal seperti lidocaine, bupivacaine,

dan prilocaine dari sirkulasi (Jorfeldt et al., 1980). Setelah pemasukan anestetik

lokal secara cepat ke dalam sirkulasi vena, pengeluaran oleh paru akan membatasi

konsentrasi obat yang mencapai sirkulasi sistemik yang didistribusikan ke arteri

koroner dan ke sirkulasi serebral. Untuk bupivacaine, pengeluaran oleh paru

merupakan hal yang tergantung pada dosis, sehingga proses ambilan menjadi

tersaturasi secara cepat. (Stoelting, 2006)

2.1.5 Anestesi Lokal Liposomal

Obat seperti lidokain, tetracaine dan bupivacaine telah dimasukkan ke

dalam liposome untuk memperpanjang durasi dan mengurangi toksisitas.

Liposome adalah sebuah vesikel yang berisi massa encer dan dilapisi oleh dua

lapisan pospholipid. Pospholipid ini dapat berfungsi sebagai tahanan untuk difusi

obat dari liposome, dengan efektif melepaskan obat secara perlahan sehingga

Gambar 2.4. Metabolisme Lidokain

Page 44: ari yudha sanjaya

durasinya lebih panjang. Memanjangnya durasi lokal anestesi dapat dipergunakan

untuk memperpanjang analgesia pasca operatif dan penanganan nyeri kronik

dengan infiltrasi atau topikal. Tidak seperti analgesia sistemik, anestesi lokal

dapat digunakan untuk mengurangi rasa nyeri tanpa diikuti efek samping sistemik

seperti yang ditunjukkan oleh opioid. Bupivacaine mengalami degradasi dalam

mikrokapsul yang menyebabkan analgesia sampai 96 jam setelah infiltrasi

subkutan. (Stoelting, 2006)

Tabel 2.1 Farmakologi anestetik lokal lidokain

2.1.6 Alkalinisasi Larutan Anestetik Lokal

Alkalinisasi larutan anestetik lokal memperpendek onset dari blokade

neural, memperdalam blokade sensorik dan motorik, dan meningkatkan

penyebaran blokade epidural. pH dari sediaan anestetik lokal berkisar 3,9 - 6,5

dan bila dikemas dengan epinephrine akan bersifat asam (meningkatkan asam

Page 45: ari yudha sanjaya

memperpanjang umur epinephrine). pKa dari anestetik lokal yang digunakan

secara klinis mendekati 8, sehingga hanya sebagian kecil (sekitar 3%) yang

merupakan sediaan larut dalam lemak. Alkalinisasi meningkatkan persentase

anestetik lokal sediaan larutan larut dalam lemak yang terdifusi melewati barrier

lemak seluler. Menambahkan sodium bicarbonate mempercepat onset blokade

saraf perifer dan blokade epidural selama 3-5 menit. (Stoelting, 2006)

2.1.7 Indikasi

Lidokain dipergunakan untuk menimbulkan anestesi lokal dan regional dengan

berbagai teknik: (Katzung, 2004)

Teknik topikal seperti: EMLA salep kulit, lidokain spray (mukosa).

Teknik infiltrasi seperti: injeksi perkutaneus dan anestesia regional

intravena.

Teknik blok saraf tepi seperti: blok pleksus dan intercostalis blok.

Teknik neuroaxial blok seperti: lumbar dan caudal epidural blok.

2.1.8 Farmakodinamik

2.1.8.1 Efek Lidokain Pada Sistim Organ

Efek pada berbagai sistim organ yang timbul setelah pemberian lidokain

pada prisipnya adalah sama dengan efek yang ditimbulkan oleh anestesi lokal

golongan amide lainnya. Timbulnya efek samping pada sistim organ ini

Page 46: ari yudha sanjaya

berhubungan dengan dosis dan konsentrasi obat yang berlebihan dalam plasma

(absorbsi yang cepat, obat secara langsung masuk intra vaskular). Efek samping

lainnya mungkin disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terutama terhadap obat

adjuvant, zat pengawet, antiseptik dan pH dari obat.

2.1.8.1.1 Sistem Saraf Pusat

Sistem saraf pusat sangat peka terhadap toksisitas anestesi lokal sehingga

gejala yang timbul dapat dipakai sebagai pertanda overdosis terutama pada pasien

sadar. Kelebihan dosis atau masuknya anestesi lokal secara langsung ke

intravaskuler akan memberikan gejala awal berupa mati rasa pada bibir,

kesemutan pada lidah, dan pusing. Gejala eksitasi sistem saraf pusat yang ditandai

dengan gejala-gejala: gelisah, agitasi, ketakutan, gembira yang berlebihan

biasanya mendahului gejala depresi yaitu: pusing, mengantuk, tinnitus,

penglihatan kabur (diplopia), mual-muntah, menurunnya sensitivitas, gemetar,

kejang, tidak sadar, depresi pusat nafas dan cardiac arrest. Kejang tonik-klonik

biasanya didahului oleh twitching dari otot rangka. Pemberian benzodiazepine dan

hiperventilasi akan menurunkan aliran darah cerebral dan meningkatkan ambang

rangsang kejang oleh anestesi lokal. Disamping itu, pemberian thiopental ( 1-2

mg/kgbb) dapat menghentikan kejang cepat, tetapi ventilasi dan oksigenasi harus

adekuat. Lidokain intravena (dosis 1,5 mg/kgBB) akan menurunkan aliran darah

otak dan mencegah meningkatnya tekanan intrakranial yang sering terjadi pada

saat melakukan tindakan intubasi.

Page 47: ari yudha sanjaya

Dibandingkan dengan bupivacaine, lidokain lebih potensial menimbulkan

neurotoksisitas terutama pada konsentrasi yang tinggi dan kontak yang relative

lama. Lidokain dengan konsentrasi 5% (hiperbarik) dikatakan berhungan dengan

kejadian cauda equine syndrome pada pemberian secara kontinyu. Disamping itu

penggunaan jarum yang relatif kecil (25 – 32 G) juga berperan, karena akan

membatasi kecepatan kita dalam menyuntikkan obat, sehingga terjadi pooling

obat hanya pada daerah suntikan.

Transient neurogical symptoms yang ditandai dengan kesemutan, rasa

terbakar dan nyeri pada ektremitas bawah menjalar sampai ke pantat, sering

terjadi pada spinal anestesia (single shot). Gejala yang timbul adalah sebagai

akibat dari perangsangan saraf pada radik dorsalis, biasanya sembuh sendiri pada

hari ke 3 – 7. (Morgan, 2006; Stoelting, 2006)

2.1.8.1.2 Sistem Kardiovaskuler

Secara umum semua obat anestesi lokal (bupivacaine >lidokain) menekan

automatisitas dari otot jantung (spontaneous phase 4 depolarisasi) dan

mengurangi durasi dari fase refrakter. Kontraktilitas dan konduksi dari otot

jantung juga ditekan oleh obat anestesi lokal pada konsentrasi yang lebih besar.

Efek ini timbul karena perubahan pada membran sel otot jantung (sodium chanel

blockade) dan penghambatan sistem saraf otonom. Kombinasi ini akan

menimbulkan bradikardi, blok jantung, hipotensi dan akhirnya gagal jantung.

Page 48: ari yudha sanjaya

Stimulasi yang singkat pada sistem kardiovaskuler (takikardi, hipertensi) mungkin

terjadi lebih awal sebagai akibat eksitasi pada sistem saraf pusat.

Konsentrasi lidokain yang rendah berguna untuk menangani beberapa tipe

dari ventricular arrytmia. Kontraktilitas otot jantung dan tekanan darah arteri

tidak dipengaruhi oleh anestesi lokal bila diberikan dengan dosis yang tepat

(intravena).

Hipertensi yang terjadi pada saat laryngoskopi-intubasi dapat dicegah

dengan pemberian lidokain 1,5 mg/kgBB intravena 1-3 menit sebelumnya. Injeksi

bupivacaine intravaskuler yang tidak diharapkan dapat terjadi pada saat anestesi

regional. Hal ini dapat menimbulkan reaksi kardiotoksik yang berat (arrhythmia

yang mengancam nyawa; ventricular takikardi dan fibrilasi). Kehamilan,

hipoksemia dan asidosis respiratorik merupakan faktor predisposisi untuk

terjadinya efek samping. Untuk menghindari hal ini aspirasi terlebih dahulu

sebelum memberikan obat injeksi harus dilakukan. (Morgan, 2006; Stoelting,

2006; Rathmell, 2004)

2.1.8.1.3 Sistem Respirasi

Lidokain menurunkan respon ventilasi terhadap penurunan tekanan

oksigen (hypoxic drive). Apnea dapat terjadi karena paralisis dari nervus

phrenikus dan intercostae atau depresi pada pusat nafas akibat kontak langsung

dari obat anestesi lokal. Anestesi lokal menimbulkan relaksasi otot polos pada

bronchus, sehingga pemberian lidokain 2% 1,5 mg/kgBB dapat mencegah refleks

kontraksi bronkus pada saat melakukan laryngoskopi-intubasi.

Page 49: ari yudha sanjaya

2.1.8.1.4 Alergi

Reaksi alergi biasanya berupa lesi kulit, urtikaria, edema atau reaksi

anafilaktoid. Reaksi alergi muncul tidak hanya karena sensitivitas terhadap

anestesi lokal tetapi dapat juga ditimbulkan oleh bahan pengawet obat tersebut

(methylparaben).

2.1.9 Respon inflamasi

Inflamasi akut merupakan respon khas imunitas non-spesifik yaitu berupa

respon cepat terhadap kerusakan sel, berlangsung cepat (beberapa jam-hari) dan

dipacu oleh berbagai stimulan seperti benda asing yang masuk tubuh, invasi

mikroorganisme, trauma, bahan kimiawi yang berbahaya, faktor fisik dan alergi.

Tujuan inflamasi akut adalah untuk me-eradikasi bahan atau stimulan yang

memacu respon awal. Pada beberapa keadaan, eradikasi tidak efektif atau tidak

lengkap sehingga menimbulkan fase inflamasi kronis. (Karnen, 2012).

Pada umumnya respon inflamasi akut menunjukkan awitan cepat dan

berlangsung singkat. Inflamasi akut biasanya disertai reaksi sistemik yang disebut

respon fase akut yang ditandai oleh perubahan cepat kadar beberapa protein

plasma. Reaksi dapat menimbulkan reaksi berantai dan rumit yang berdampak

terjadinya vasodilatasi, kebocoran mikrovaskular dengan eksudasi cairan dan

protein serta infiltrasi lokal sel-sel inflamasi. Reaksi inflamasi diawali dengan

Page 50: ari yudha sanjaya

pelepasan mediator vasoaktif dari sel mast (histamin, leukotrien), juga pelepasan

dari platelet dan komponen plasma (bradikinin), menyebabkan vasodilatasi dan

peningkatan permeabilitas vaskular yang selanjutnya memicu timbulnya tanda

inflamasi klasik yaitu kemerahan (rubor), panas (calor), edema (tumor) dan nyeri

(dolor) yang timbul akibat interaksi mediator inflamasi dengan sistem sensorik.

(Karnen, 2012)

Proses inflamasi lokal dapat memicu respon sistemik, disebut dengan

reaksi fase akut dimana terjadi peningkatan protein fase akut (C-reactive protein,

complement factor C3, fibrinogen dan serum albumin), diikuti dengan aktivasi

beberapa sistem mediator (sistem kinin, sistem komplement, mediator lipid dan

sitokin). Pada pembedahan, sitokin memiliki peran penting dalam meregulasi

respon inflamasi. Pelepasan sitokin lokal (interleukin-1, IL-8, interleukin-6 dan

tumor necrosis factor (TNF) mengatur respon inflamasi pada area kerusakan

jaringan dengan cara menginduksi kemotaksis netrofil ke jaringan inflamasi dan

menstimulasi proliferasi limfosit untuk selanjutnya menyebabkan pelepasan

sitokin (Hollman et al, 2000).

Page 51: ari yudha sanjaya

Dalam rangkaian stress response, selain perubahan respon metabolik

tubuh akibat pelepasan hormon katabolik, juga terjadi perubahan fungsi imunologi

yang berperan meregulasi luasnya reaksi inflamasi. Pada fase akut, kerusakan

jaringan memicu pelepasan mediator inflamasi seperti sitokin, peningkatan jumlah

leukosit netrofil dan proliferasi limfosit. Sitokin dilepaskan oleh leukosit,

fibroblas dan sel endotelial, sebagai respon awal terhadap kerusakan jaringan serta

berperan penting dalam proses inflamasi dan imunitas. (Desborough, 2000;

Karnen, 2012)

Gambar 2.5. Peran respon inflamasi lokal.

Mediator tersebut memiliki peran untuk mencegah terjadinya kerusakan

jaringan berlanjut. Tapi proses inflamasi dapat berlanjut dan memperberat

kerusakan jaringan akibat pelepasan mediator yang kontinyu. Pada kondisi

dimana proses inflamasi lokal tidak dapat me-eradikasi kerusakan jaringan yang

Page 52: ari yudha sanjaya

terjadi maka proses inflamasi berlanjut menjadi sistemik. Keseluruhan respon

sistemik ini merupakan mekanisme proteksi terhadap luasnya kerusakan jaringan.

Selain itu, respon inflamasi berperan untuk memperbaiki fungsi dan struktur

jaringan rusak. Namun, stimulasi berlebihan terhadap kaskade inflamasi mungkin

memperberat kerusakan jaringan. Aktivitas berlebihan sitokin pro-inflamasi dan

anti-inflamasi memperberat kerusakan jaringan dan atau menekan fungsi imun.

Sel imun merupakan sumber produksi sitokin dan produk yang dihasilkan

memiliki efek autokrin serta aktivitas sistemik. Kemampuan untuk mengubah

fungsi sel imun melalui peranan hormonal ekstraseluler atau dengan manipulasi

mekanisme signaling intraseluler merupakan strategi potensial untuk mengatur

respon inflamasi sitokin selama injuri. (Lin E et al, 2006; Karnen, 2012)

2.1.9.1 Efek Obat Anestesi Lokal Pada Proses Inflamasi

Beberapa studi menyatakan bahwa obat anestesi lokal mencegah

terjadinya stimulasi berlebihan terhadap respon inflamasi. Obat anestesi lokal

memodulasi respon inflamasi in vivo sehingga mengurangi proses inflamasi tanpa

meningkatkan kecenderungan terjadinya infeksi dan mencegah kejadian trombotik

postoperatif tanpa meningkatkan risiko perdarahan. Hollman dkk (2000)

memaparkan beberapa efek alternatif anestesi lokal adalah pengaruhnya pada

respon antiinflamasi dan terutama pada sel inflamasi (granulosit

polimormonuklear (PMN), makrofag dan monosit).

Page 53: ari yudha sanjaya

Pelepasan sitokin akibat proses aktivasi netrofil terganggu pada pemberian

lidokain. Hal ini menyebabkan berkurangnya kerusakan seluler akibat sitokin

melalui mekanisme yang melibatkan kanal kalium bergantung ATP.

Lidokain memiliki efek analgesia, antihiperalgesia dan antiinflamasi dan

mampu mengurangi kebutuhan analgesia intra dan postoperatif dan waktu lama

rawat. Efek ini lebih menonjol pada pemberian secara intravena selama periode

intraoperatif dan dapat dilanjutkan selama beberapa hari atau minggu disesuaikan

dengan waktu infus dan waktu paruh plasma, mengindikasikan bahwa obat ini

memiliki target lain dan bukan hanya kanal natrium tergantung voltage dan diduga

mencegah hipersensitivitas sistem saraf pusat, perifer atau keduanya. (Stoelting,

2006)

Lidokain mempengaruhi beberapa proses inflamasi melalui G protein-

coupled receptor (GPCR), seperti sensitisasi netrofil dan degranulasi lysosomal,

produksi radikal bebas dan sekresi sitokin oleh sel makrofag dan sel glial.

(Watkins et al, 2001)

2.2 PIPA ENDOTRAKEA

2.2.1 Cuff pipa endotrakea

Fungsi utama cuff PET adalah mengamankan jalan nafas sehingga dapat

mencegah aspirasi dan mencegah kebocoran udara nafas saat dilakukan tekanan

positif, hal ini dapat terjadi setelah cuff dikembangkan sampai tidak terdengar lagi

suara nafas tetapi pengembangan ini tidak boleh berlebihan karena dapat

memberikan tekanan yang besar pada mukosa trakea terutama pada dinding depan

Page 54: ari yudha sanjaya

karena terdapat tulang rawan yang kaku, sedangkan pada bagian belakang lebih

bersifat elastis. Pada posisi ekstensi, tekanan pada bagian posterior lebih besar

disebabkan karena dorongan dari tulang vertebra servikal. (Black AM, 1981;

Khine HH, 1997; Brimacombe, 1999)

Pada tahun 1960 PET dengan cuff terbuat dari bahan karet berwarna

merah dan termasuk pada kelompok High Pressure - Low Volume (HPLV). Pada

jaman modern ini HPLV dengan cuff terbuat dari bahan silikon nondisposable.

Sedangkan cuff High Volume – Low Pressure (HVLP) terbuat dari bahan

polyvinyl chloride (PVC) atau polyurethane. Cuff HPLV memiliki diameter lebih

kecil pada ujungnya dan residual volume lebih kecil. Untuk menimbulkan sealing

trakea memerlukan tekanan intracuff yang tinggi untuk mengatasi low compliance

dari cuff tersebut. Cuff membuat area kontak yang sedikit dengan trakea. Hal

yang diperhatikan pada penggunaan cuff tipe ini dalam penggunaannya yang lama

kemungkinan terjadinya iskemik pada mukosa trakea. Keuntungan yang diberikan

yaitureusability sehingga biaya akhir lebih murah. (Spiegel, 2010)

Hasil studi oleh McHardy (1999) dikemukakan pada pemakaian PET

dengan jenis cuff HPLV yang diinflasikan lebih dari 30 mmHg (39 cmH2O)

menyebabkan mukosa trakea yang kontak dengan cuff yaitu yang menutupi

kartilago trakea menjadi iskemia. Keadaan ini diperkirakan memberikan

kontribusi terhadap kejadian stenosis trakea dan trakeomalasia.

Sedangkan pada penggunaan cuff High Volume – Low Pressure tidak

menyebabkan aliran darah pada mukosa trakea terhenti selama tekanan intracuff

Page 55: ari yudha sanjaya

berada pada kisaran 80-120 mmHg. Hal ini berkaitan karena tekanan intracuff

tersebut dapat didistribusikan lebih luas pada mukosa yang kontak dengan cuff.

Namun demikian tekanan intracuff yang direkomendasikan sebaiknya <20 mmHg

(26 cmH2O). Dari data disebutkan penggunaan PET yang terbuat dari PVC

dengan cuff HVLP menurunkan insidensi dan severity nyeri tenggorokan bila

digunakan ukuran yang adekuat dengan pasien. (McHardy, 1999; Ali,2009)

Besarnya tekanan cuff ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya: volume

yang diinflasikan, diameter cuff relatif terhadap trakea, kelenturan trakea dan cuff,

dan tekanan intra toraks termasuk tekanan jalan nafas. (Larson CP, 2002)

Tekanan cuff yang cukup untuk mencegah kebocoran udara nafas dari

berbagai jenis pipa endotrakea adalah antara 20-25 cmH2O dibawah tekanan

perfusi mukosa trakea 25-30 cmH2O. Tekanan cuff dapat meningkat selama

anestesi umum sebagai akibat dari difusi N2O dari trakea ke dalam cuff pipa

endotrakea (Brimacombe, 1999; Stone DJ, 2000)

2.2.2 Difusi lidokain melintasi cuff pipa endotrakea

Cuff pipa endotrakea umumnya terbuat dari Polyviyl chloride (PVC)

bersifat hidrofobik terhadap sebagian besar substansi kimia. Oleh karena itu,

mekanisme difusi lidokain melintasi membran cuff pipa endotrakea kemungkinan

mirip dengan yang terjadi di dalam ruang epidural. (Navarro, 2007)

Page 56: ari yudha sanjaya

Cuff PET memiliki lapisan filtrasi pada permukaannya berfungsi untuk

menyaring sekresi mukosa sebelum memasuki intracuff dan paru-paru. Lapisan

filtrasi ini adalah ukuran diameter masing-masing celah pori pada membran cuff

PET. Karakteristik lapisan filtrasi ini berupa pori-pori berukuran kecil untuk

menyaring mikroba yaitu dalam skala mikron lebih kecil daripada mikroba yang

umumnya berukuran antara 0,2-20 mikron. Rata-rata ukuran mikroba pada kisaran

3-5 mikron, contoh mikroba tersebut antara lain: Pseudomonas aeruginosa,

Staphylococcus aureus, Enterobacter spp, Haemophilus influenza, Streptococcus

spp, Candida albicans, MRSA, dan virus lainnya. Berdasarkan hal tersebut maka

lapisan filtrasi seharusnya berukuran lebih kecil dari mikroba tersebut yaitu 2

mikron, walapun idealnya memiliki ukuran yang lebih kecil lagi yaitu 0,2 mikron

pada rentang terluas. Lapisan filtrasi ini berada pada bagian yang kontak dengan

mukosa trakea yang memproduksi sekret, selanjutnya disaring sebelum akhirnya

masuk ke trakea dan paru-paru. Pori-pori lapisan filtrasi yang berukuran kecil

mencegah partikel yang lebih besar dari sekret mukosa namun tetap

memungkinkan liquid phase untuk berdifusi.

Pilot baloon dapat bisa diinflasikan larutan yang selanjutnya mengalami

proses pada cuff yang kontak dengan mukosa trakea. Solution golongan amide

monomer seperti lidokain dapat berdifusi melalui membran cuff.

Anestesia lokal pada membran saraf berada dalam 2 bentuk: basa bebas

non ionisasi dan kation terionisasi. Jumlah tiap bentuk tergantung dari pH larutan

dan pKa obat, sesuai dengan persamaan Henderson-Hasselbach:

Page 57: ari yudha sanjaya

Log Kation terionisasi = pKa – pH

Basa bebas non ionisasi

Peningkatan fraksi non-ionisasi anestesia lokal menambah kemampuan

penetrasi ke dalam saraf. Hal tersebut dapat diasumsikan bahwa meningkatkan

fraksi non-ionisasi meningkatkan kecepatan difusi anestesi lokal melintasi

membran cuff pipa endotrakea. Pemberian sodium bikarbonat meningkatkan pH

larutan dan meningkatkan persentase bentuk non-ionisasi. (Sconzo JM, 1990)

Tabel 2.2 Tabel perbandingan pH Lidokain dengan berbagai volume dan

konsentrasi sodium bicarbonate (Estebe, 2005)

2.3 NYERI

2.3.1 Definisi Nyeri

The International Association for the Study of Pain (IASP),

mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan

(Morgan, 2006). Berdasarkan definisi tersebut, nyeri merupakan suatu gabungan

dari komponen obyektif (aspek fisiologik sensorik nyeri) dan komponen subyektif

(aspek emosional dan psikologis). Rasa nyeri memberikan informasi dengan

Page 58: ari yudha sanjaya

stimulus noksius yang memungkinkan tubuh merespons terhadap kerusakan

jaringan yang terjadi. Rasa nyeri ini bersifat individualisme sehingga sulit dinilai

secara obyektif dan harus dilakukan observasi serta penilaian secara rutin dengan

menggunakan alat bantu. (Steeds, 2009).

Setiap kali jaringan terluka oleh trauma bedah, bermacam mediator kimia

akan dilepaskan dari sel-sel yang meradang dan rusak. Nyeri akut disebabkan oleh

stimulasi noxious akibat trauma, proses suatu penyakit atau akibat fungsi otot atau

viseral yang terganggu. Nyeri tipe ini berkaitan dengan stres neuroendokrin yang

sebanding dengan intensitasnya. Nyeri akut akan disertai hiperaktifitas saraf

otonom dan umumnya mereda dan hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan

(Stoelting 2006)

2.3.2 Fisiologi Nyeri

Salah satu fungsi sistem saraf yang paling penting adalah menyampaikan

informasi tentang ancaman kerusakan tubuh. Saraf yang dapat mendeteksi nyeri

tersebut dinamakan nociception. Nociception termasuk menyampaikan informasi

perifer dari reseptor khusus pada jaringan (nociseptors) kepada struktur sentral

pada otak. Sistem nyeri mempunyai beberapa komponen (Avidan 2003) :

a. Reseptor khusus yang disebut nociceptors, pada sistem saraf perifer,

mendeteksi dan menyaring intensitas dan tipe stimulus noxious.

b. Saraf aferen primer (saraf A-delta dan C) mentransmisikan stimulus

noxious ke CNS.

Page 59: ari yudha sanjaya

c. Kornu dorsalis medulla spinalis adalah tempat dimana terjadi hubungan

antara serat aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks

hubungan antara lokal eksitasi dan inhibitor interneuron dan traktus

desenden inhibitor dari otak.

d. Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus)

menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada CNS.

e. Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat

relay sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis.

f. Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen

afektif nyeri, ingatan tentang nyeri dan nyeri yang dihubungkan dengan

respon motoris (termasuk withdrawal respon).

g. Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang

pada level medulla spinalis.

2.3.3 Patofisiologi Nyeri

Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti

pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan

mengeluarkan zat-zat kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat

menimbulkan nyeri. akan terjadi pelepasan beberapa jenis mediator seperti zat-zat

algesik, sitokin serta produk-produk seluler yang lain, seperti metabolit

eicosinoid, radikal bebas dan lain-lain. Mediator ini dapat menimbulkan efek

melalui mekanisme spesifik (Stoelting dan Hillier, 2006; Morgan dkk, 2006).

Page 60: ari yudha sanjaya

Rangkaian proses yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai

dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis yang disebut nosisepsi. Ada

4 proses yang mengikuti suatu proses nosisepsi yaitu (Stoelting dan Hillier 2006 ;

Morgan dkk, 2006) :

2.3.3.1 Transduksi

Adalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik

pada ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin,

bradikinin, leukotrien, substans P, potassium, histamin, asam laktat, dan lain-lain

akan mengaktifkan atau mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri

merupakan anyaman ujung-ujung bebas serat-serat afferent A delta dan C.

Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan kulit, periosteum, di dalam

pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf afferent A delta dan C adalah

serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari

perifir ke sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan

reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.

2.3.3.2 Transmisi

Adalah proses perambatan impuls nyeri melalui A-delta dan C serabut

yang menyusul proses tranduksi. Oleh serat afferent A-delta dan C impuls nyeri

diteruskan ke sentral, yaitu ke medulla spinalis, ke sel neuron di kornua dorsalis.

Serat aferent A-delta dan C yang berfungsi meneruskan impuls nyeri mempunyai

perbedaan ukuran diameter. Serat A-delta mempunyai diameter lebih besar

Page 61: ari yudha sanjaya

dibanding dengan serat C. Serat A-delta menghantarkan impuls lebih cepat (12-30

m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk). Sel-sel neuron di medulla

spinalis kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel

neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serat

aferent A-delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di

kornua antero-lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornua

anterior medulla spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan

menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf otonum simpatis dengan segala efek

yang dapat ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornua anterior

medulla spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah

cedera dengan segala akibatnya.

2.3.3.3 Modulasi

Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA, 5HT)

dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan

oleh serat-serat A-delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua dorsalis

medula spinalis tidak semuanya diteruskan ke sentral lewat traktus

spinotalamikus. Didaerah ini akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk

dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun sistem inhibisi

eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih

dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek

Page 62: ari yudha sanjaya

sistem inhibisi yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel

nyeri.

2.3.3.4 Persepsi

Impuls yang diteruskan ke korteks sensorik akan mengalami proses yang

sangat kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya

menghasilkan sensibel nyeri.

2.3.4 Penilaian Nyeri

Nyeri merupakan suatu keadaan yang multidimensional sebagai akibat dari

kombinasi rangsang nyeri atau nociception dan kerusakan jaringan, pengalaman

nyeri sebelumnya, kepercayaan pasien, budaya, dan kepribadian pasien. Rasa

nyeri ini bersifat individualisme sehingga sulit dinilai secara obyektif dan harus

dilakukan observasi serta penilaian rutin dengan menggunakan alat bantu. Hal ini

menjelaskan mengapa pasien dengan tingkat stimulus nyeri dan kerusakan

jaringan yang sama akan merasakan pengalaman nyeri dengan sangat berbeda.

Oleh karena tidak terdapat suatu alat obyektif, maka kita harus mempercayai

laporan pasien tentang tingkat nyeri yang mereka alami (Ballantyne, 2008).

Page 63: ari yudha sanjaya

Gambar 2.6. Patofisiologi Nyeri (Dikutip dari Salerno, 2006).

2.3.4.1 Instrumen penilaian nyeri

Menurut JCAHO (Joint Commision on Accreditation of Healthcare

Organizations) pada tahun 2001, penilaian nyeri merupakan tanda vital yang

kelima yang harus kita nilai pada setiap pasien. Penilaian nyeri yang teratur dan

berulang harus dilakukan untuk menilai keadekuatan terapi analgesia yang sedang

Page 64: ari yudha sanjaya

berjalan. Frekuensi penilaian nyeri tergantung dari durasi dan beratnya nyeri,

kebutuhan serta respon pasien serta jenis obat dan intervensi yang digunakan.

Penilaian rasa nyeri pada pasien pascaoperasi harus meliputi penilaian pada

kondisi statik (saat istirahat, tidak bergerak) dan pada kondisi dinamis (saat

bergerak, duduk, batuk). Secara garis besar, penilaian nyeri dibagi menjadi dua,

yaitu penilaian uni dimensional dan penilaian multi dimensional (Cousin, 2005).

Penilaian unidimensional merupakan skala untuk menilai intensitas nyeri

ataupun tingkat berkurangnya nyeri setelah suatu intervensi obat analgesia. Dalam

menilai respon terhadap suatu terapi biasanya dipakai skala penurunan nyeri dan

bukan intensitas nyerinya (Cousin, 2005). Skala kategori menggunakan kata-kata

untuk mendeskripsikan intensitas nyeri atau derajat penurunan nyeri. Verbal

descriptive scale (VDS) biasanya menggunakan kata tidak nyeri, nyeri ringan,

nyeri sedang, nyeri berat atau sangat nyeri. VDS pertama kali disampaikan oleh

Keele pada tahun 1948. VDS lebih sulit digunakan pada pasien pascaoperasi

dibandingkan dengan skala numerikal dan kurang sensitif untuk menilai hasil

terapi analgesia dibandingkan dengan VAS (Ballantyne, 2008). Skala kategori

mempunyai keuntungan karena sederhana, mudah, dan cepat dilakukan, dan

berguna pada pasien tua atau pasien dengan gangguan penglihatan. Akan tetapi

terbatasnya pilihan kategori dibandingkan dengan numerical scales membuat

skala kategori lebih sulit untuk mengetahui adanya perbedaan terhadap hasil terapi

analgesia yang diberikan (Cousin, 2005; Deloach dkk., 1998).

Page 65: ari yudha sanjaya

Gambar 2.7 Instrumen Visual Rating Scale (VRS)

Skala numerikal terdapat dalam bentuk sebagai kalimat verbal ataupun

tertulis. Skala numerikal dalam kalimat verbal dikenal sebagai numerical rating

scale (NRS), disampaikan oleh Downie pada tahun 1978, dimana pasien diminta

untuk menyatakan tingkat nyeri dalam skala numerikal, biasanya antara 0-10

dimana 0 sebagai tidak nyeri, dan 10 sebagai sangat nyeri. NRS merupakan salah

satu instrumen pengukur nyeri yang sering digunakan dalam penelitian.

Gambar 2.8 Instrumen Numerical Rating Scale (NRS)

Skala numerikal dalam bentuk tertulis dikenal sebagai VAS dan saat ini

merupakan pengukur nyeri yang paling luas digunakan dalam praktek klinis

maupun dalam penelitian. VAS berupa suatu garis lurus horizontal dengan

panjang 100 mm, pada ujung kiri ditandai dengan tidak ada nyeri sedangkan pada

ujung kanan ditandai dengan sangat nyeri, kemudian pasien diminta untuk

Page 66: ari yudha sanjaya

memberi tanda pada garis tersebut yang kemudian akan diukur jaraknya dari

sebelah kiri. Jarak tersebut dihitung dalam satuan milimeter (mm) dan

mencerminkan tingkat nyeri yang dialami pasien. Selain dalam posisi horizontal,

VAS juga dapat diposisikan vertikal dan hasilnya tetap valid. Interpretasi nilai

VAS sangat bervariasi tergantung dari definisi yang digunakan, akan tetapi

interpretasi nilai VAS yang paling banyak digunakan yaitu nilai <40 mm sebagai

nyeri ringan, 41-70 mm sebagai nyeri sedang, dan >71 mm sebagai nyeri berat.

Hasil dari penilaian VAS ini dapat digunakan sebagai salah satu pedoman dalam

menyesuaikan dosis obat anti nyeri yang diberikan (Aubrun dkk., 2003; Bodian

dkk., 2001). Skala ini mempunyai keuntungan oleh karena sederhana, mudah dan

cepat menggunakannya, memungkinkan pasien menentukan sendiri tingkat

nyerinya dalam rentang yang cukup lebar. Akan tetapi dalam menentukan skala

ini diperlukan konsentrasi dan koordinasi yang cukup baik sehingga tidak dapat

dipergunakan pada anak-anak (Cousin, 2005). Perubahan nilai VAS juga

mempengaruhi tingkat kepuasan pasien. Penurunan nilai VAS kira-kira 10 mm

atau 15% dikatakan sebagai nyeri sedikit menurun, penurunan nilai 20-30 mm

atau 33% dianggap sebagai penurunan nyeri yang bermakna dari sudut pasien dan

penurunan VAS hingga 66% dianggap sebagai menghilangnya nyeri yang

substansial.

Page 67: ari yudha sanjaya

Gambar 2.9 Instrumen Visual Analog Scale (VAS)

Penilaian multidimensional tidak hanya menilai intensitas nyeri, tapi juga

menghasilkan informasi tentang karakteristik nyeri dan dampaknya terhadap

individu pasien. Salah satu penilaian multidimensional yang sering dipakai adalah

theMcGill Pain Questionaire (MPQ). MPQ dikembangkan oleh Melzack pada

tahun 1987 untuk memperoleh penilaian kualitatif dan kuantitatif dari nyeri yang

dirasakan oleh pasien. MPQ menghasilkan dua nilai global, yaitu pain rating

index dan intensitas nyeri terkini. MPQ terbukti sebagai penilaian nyeri yang valid

dan dapat dipercaya. Pain rating index diperoleh dari jumlah nilai dari 20

pertanyaan yang dijawab oleh pasien yang mendeskripsikan segi sensoris, afektif,

dan dimensi nyeri. Intensitas nyeri terkini berupa skala nyeri dari 0-5, dimana 0 =

tidak nyeri, 1 = nyeri ringan, 2 = merasa tidak nyaman, 3 = terganggu oleh nyeri,

4 = sangat terganggu oleh nyeri, 5 = sangat tersiksa oleh nyeri.

2.3.5 Nyeri Tenggorokan Pasca Anestesi Umum Pipa Endotrakea

Nyeri tenggorokan pasca anestesi umum dengan pemasangan pipa

endotrakea mencapai 90% kasus dan biasanya merupakan keluhan utama yang

Page 68: ari yudha sanjaya

berkaitan dengan airway selain keluhan lainnya seperti dysphagia dan hoarseness.

Beberapa keadaan yang dipertimbangkan sebagai etiologi nyeri tenggorokan

tersebut meliputi: trauma intubasi, dehidrasi mukosa dan edema pharyngeal

airways. Faktor lain yang diperkirakan berpengaruh antara lan: teknik intubasi,

teknik suctioning, ukuran PET, jenis PET, contour cuff, tekanan cuff PET

terhadap mukosa trakea. (Ali N.P, 2009; Porter, 1999; Edomwonyi, 2006)

Ukuran PET sebagai faktor penting yang berperan terhadap nyeri

tenggorokan. Dari penelitian diketahui penggunaan PET ukuran kecil mengurangi

insidensi nyeri tenggorokan, hal ini disebabkan berkurangnya tekanan yang

ditimbulkan oleh PET terhadap mukosa trakea.(Edomwonyi, 2006)

Meskipun mekanisme patofisiologi nyeri tenggorokan yang pasti belum

dapat dijelaskan, diperkirakan kerusakan mukosa yang berkaitan dengan cuff PET

menjadi faktor penting terhadap morbiditas trakea. Penurunan perfusi mukosa

trakea terjadi bila tekanan cuff melebihi 30 cmH2O, hal ini diduga sebagai tahap

awal dari perkembangan kerusakan mukosa trakea. Penggunaan nitrous oxida

(N2O) dalam balance anesthesia juga memberikan peran karena N2O yang dapat

berdifusi melalui membran cuff PET. Kekurangan dalam mengontrol tekanan

intracuff selama periode perioperatif juga berperan terhadap tekanan yang

berlebihan pada mukosa trakea. (Combes, 2001)

Beberapa cara mengatasi kenaikan tekanan yang berlebihan dalam cuff

pipa endotrakea adalah dengan beberapa cara: dikempiskan secara periodik atau

menyesuaikan kembali tekanan cuff, mengisi cuff dengan NaCl fisiologis atau

Page 69: ari yudha sanjaya

campuran gas anestetik, memakai pipa endotrakea yang dilengkapi dengan

pengatur tekanan pada pilot baloon. ((Larson CP, 2002)

Keuntungan dari pemberian lidokain intracuff adalah keberadaan lidokain

dalam cuff bersifat sebagai reservoir, lidokain akan terus menerus berdifusi

seiring berjalannya waktu. Sebagai anestetik lokal berefek memblok reseptor

batuk dan rapidly adapting stretch receptor (RAR) di mukosa trakea secara

kontinyu dan meningkatkan toleransi terhadap pipa endotrakea. Efek anestetik

lokal tersebut tidak menekan refleks menelan sehingga kemampuan pasien

memproteksi jalan nafas pasca ekstubasi tetap terjaga (Jaichandran, 2008; Rao,

2013).

Penilaian nyeri tenggorokan bisa menggunakan berbagai instrumen yang

bersifat numerikal maupun kategorikal. Skala numerikal dalam bentuk tertulis

dikenal sebagai VAS. Instrumen penilaian lainnya yang bersifat katagorikal

menggunakan Melzack’s Present Pain Intensity Scale of McGill Pain

Questionnaire (MPQ) yang selanjutnya menghasilkan dua nilai global, yaitu pain

rating index dan intensitas nyeri terkini. Pain rating index diperoleh dari jumlah

nilai dari 20 pertanyaan yang dijawab oleh pasien yang mendeskripsikan segi

sensoris, afektif, dan dimensi nyeri. Sedangkan penilaian intensitas nyeri bersifat

kategorikal dimana 0 = tidak nyeri, 1 = nyeri ringan, 2 = merasa tidak nyaman, 3

= terganggu oleh nyeri, 4 = sangat terganggu oleh nyeri, 5 = sangat tersiksa oleh

nyeri.

Page 70: ari yudha sanjaya

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

1. Intubasi dengan pipa endotrakea menjadi bagian yang rutin dalam

pelaksanaan anestesi umum, pipa endotrakea pada umumnya digunakan untuk

memproteksi jalan nafas atau akses jalan nafas dalam pemberian ventilasi.

Intubasi endotrakea bukan merupakan prosedur yang tanpa komplikasi.

2. Salah satu komplikasi penggunaan pipa endotrakea terjadi akibat rangsangan

iritasi dan regang pada mukosa saluran nafas yang disebabkan pipa

endotrakea maupun cuff sehingga menimbulkan respon seperti suara serak,

nyeri tenggorokan, batuk, peningkatan tekanan darah, dan peningkatan laju

nadi.

3. Lidokain intravena atau topikal umumnya digunakan untuk untuk menekan

respon jalan nafas yang disebabkan intubasi endotrakea pada pasien dengan

anestesi umum. Lidokain intravena dapat menekan refleks batuk, hal ini

terjadi bila konsentrasi lidokain plasma berkisar 3 µg/ ml. Untuk mencapai

hal tersebut diberikan dosis lidokain 1-2 mg/ kilogram berat badan. Namun

lidokain intravena memiliki kelemahan karena menyebabkan efek sedasi dan

pemanjangan pemulihan dari anestesia. Sedangkan secara topikal, diperlukan

dosis lidokain 100-250 mg baik diberikan melalui lubrikasi cuff pipa

endotrakea dengan lidokain gel atau spray untuk mencapai konsentrasi

lidokain plasma 1,5 µg/ ml. Namun hal tersebut dihubungkan dengan

Page 71: ari yudha sanjaya

peningkatan morbiditas pada penatalaksanaan anestesi umum yang

disebabkan adherence (perlengketan) pipa endotrakea dengan mukosa trakea

dan berisiko menyebabkan ruptur cuff.

4. Diketahui bahwa nyeri tenggorokan disebabkan karena terjadi rangsangan

iritasi dan regang pada reseptor nyeri di trakea. Pemberian anestesi lokal

secara kontinyu untuk memblok reseptor nyeri dapat menurunkan kejadian

nyeri tenggorokan.

5. Pemberian lidokain 2% intracuff pipa endotrakea menyebabkan difusi

lidokain melalui membran cuff. Cuff pipa endotrakea berperan sebagai

reservoir untuk melepaskan anestesi lokal terhadap mukosa trakea di

sekeliling cuff.

6. Lidokain 2% intracuff pipa endotrakea menurunkan pressure cuff terhadap

mukosa trakea sehingga berperan menurunkan kejadian nyeri tenggorokan.

Peningkatan pressure cuff pada anestesi umum yang menggunakan nitrous

oksida (N2O) disebabkan absorbsi N2O ke dalam cuff, sedangkan pada

lidokain 2% intracuff terjadi counter balance disebabkan difusi lidokain 2%

melalui membran hidrofobik cuff ke dinding mukosa trakea meskipun tetap

terjadi absorbsi N2O ke dalam cuff.

3.2 Kerangka Konsep

Page 72: ari yudha sanjaya

Bagan 3.1 Kerangka Konsep

3.2 Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah lidokain 2% intracuff pipa endotrakea

mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi di RSUP Sanglah Denpasar.

LIDOKAIN 2%

NYERI

TENGGOROKAN

INTERNAL :

1. Umur

2. Jenis kelamin

3. Berat badan

4. Tinggi badan

5. IMT

EKSTERNAL :

- Jenis PET

- Ukuran PET

- Anestesi umum

- Durasi pembedahan

NACL 0,9%

PIPA ENDOTRAKEA

TEKANAN INTRACUFF

VOLUME CUFF

Page 73: ari yudha sanjaya

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah uji klinik dan alokasi subyek

penelitian dilakukan dengan randomisasi acak tersamar ganda (double blind

randomized controlled trial) yang membandingkan 2 kelompok penelitian yaitu

kelompok yang mendapat lidokain 2% intracuff dan kelompok yang mendapat

NaCl 0,9% intracuff. Rancangan penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4.1 Skema rancangan penelitian

Keterangan:

P = populasi

S = sampel

R = randomisasi

P1 = pemberian lidokain 2% intracuff

P2 = pemberian NaCl 0,9% intracuff

O1 = penilaian VAS 1 jam setelah ekstubasi pada kelompok perlakuan

pemberian lidokain 2% intracuff

P

S

R

P1 O1 O2

P2 O4 O5

O3

O6

Page 74: ari yudha sanjaya

O2 = penilaian VAS 2 jam setelah ekstubasi pada kelompok perlakuan

pemberian lidokain 2% intracuff

O3 = penilaian VAS 24 jam setelah ekstubasi pada kelompok perlakuan

pemberian lidokain 2% intracuff

O4 = penilaian VAS 1 jam setelah ekstubasi pada kelompok perlakuan

pemberian NaCl 0,9% intracuff

O5 = penilaian VAS 2 jam setelah ekstubasi pada kelompok perlakuan

pemberian NaCl 0,9% intracuff

O6 = penilaian VAS 24 jam setelah ekstubasi pada kelompok perlakuan

pemberian NaCl 0,9% intracuff

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di ruang operasi RSUP Sanglah Denpasar dari

bulan November 2014 sampai dengan bulan Desember 2014.

4.3 Penentuan Sumber Data

4.3.1 Populasi Penelitian

1. Populasi target adalah pasien yang menjalani pembedahan dengan anestesi

umum pemasangan pipa endotrakea

2. Populasi terjangkau adalah pasien yang akan menjalani pembedahan dengan

anestesi umum pemasangan pipa endotrakea di ruang operasi RSUP Sanglah

Denpasar periode November 2014 sampai dengan Desember 2014.

Page 75: ari yudha sanjaya

4.3.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah pasien yang akan menjalani pembedahan dengan

anestesi umum pemasangan pipa endotrakea di ruang operasi RSUP Sanglah

Denpasar periode November 2014 sampai dengan Desember 2014 yang

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

4.3.3 Kriteria Inklusi

1. Pasien jenis kelamin laki- laki dan perempuan.

2. Pasien dengan umur 18 - 60 tahun.

3. Pasien status fisik ASA I dan ASA II

4. Mallampati derajat I – II

5. Pasien dengan IMT normal (18-24 kg/m2).

6. Lama operasi > 1 jam

4.3.4 Kriteria Eksklusi

1. Pasien yang menolak menjadi sampel penelitian.

2. Pasien yang memiliki reaksi alergi terhadap obat lidokain 2%

3. Kesulitan intubasi

4. Lama operasi < 1 jam

5. Mengalami infeksi jalan nafas atas

6. Menjalani operasi daerah kepala, mulut, dan atau leher

7. Pemasangan pipa lambung

8. Cuff pipa endotrakea bocor atau terlepas durante operasi

Page 76: ari yudha sanjaya

4.3.5 Besar Sampel

Untuk menentukan besar sampel, digunakan rumus :

(( )

)

dimana :

S : estimasi standar deviasi nilai VAS pada kelompok kontrol

Zα : nilai Z untuk α tertentu (1.96 untuk tingkat kemaknaan α = 0.05).

Zß : nilai Z untuk power (1- ß) tertentu (1.282 untuk power 90%).

X1-X2 :perbedaan klinis yang dianggap bermakna antara dua kelompok

perlakuan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Estebe (2001) didapatkan

acuan nilai rata- rata Visual Analog Scale (0-100mm) adalah 25±10. Perbedaan

VAS rerata yang dianggap bermakna antara dua kelompok adalah 8. Standar

deviasi yang digunakan adalah 10; dengan tingkat kesalahan tipe I, α ditetapkan

sebesar 0,05 sehingga nilai Zα adalah 1,96 sedangkan kesalahan tipe II, β

ditetapkan sebesar 10% sehingga power adalah 90% dan nilai Zβ adalah 1,282;

maka didapatkan besar sampel pada masing-masing kelompok adalah 32 orang,

maka total besar sampel yang diperlukan pada penelitian ini adalah 64 orang.

*( )

+

Page 77: ari yudha sanjaya

4.3.6 Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik konsekutif sampling dan

dirandomisasi dengan tehnik permutted block menjadi kelompok lidokain 2%

intracuff dan kelompok NaCl 0,9% intracuff. Pasien yang memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi dipilih sampai jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi.

4.3.7 Alokasi sampel

Penentuan alokasi sampel yang masuk ke dalam kelompok perlakuan (A)

atau kelompok kontrol (B) dilakukan dengan metode Quickcalcs (Graphpad,

Software,Inc) dengan hasil sebagai berikut:

1 B 17 A 33 B 49 A

2 A 18 B 34 A 50 A

3 B 19 B 35 A 51 A

4 B 20 A 36 B 52 B

5 B 21 B 37 A 53 A

6 A 22 B 38 A 54 A

7 B 23 A 39 A 55 A

8 A 24 B 40 B 56 A

9 B 25 B 41 B 57 A

10 A 26 B 42 B 58 A

11 B 27 B 43 A 59 B

12 B 28 A 44 A 60 B

Page 78: ari yudha sanjaya

13 B 29 A 45 B 61 B

14 A 30 A 46 A 62 B

15 A 31 B 47 B 63 A

16 B 32 A 48 A 64 B

4.3.8. Tehnik blind

Persiapan blind obat di apotek yaitu dengan membuat cairan yang identik

untuk kedua jenis obat. Kelompok A mendapatkan lidokain 2% 5 ml intracuff,

sedangkan kelompok B mendapatkan NaCl 0,9 % dengan volume yang sama

dengan cairan pada kelompok A. Setiap pasien baru yang memenuhi kriteria

dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah sampel terpenuhi. Penentuan sampel

yang mendapat intervensi dilakukan secara random menggunakan computer

generated permutted block randomization of graphpad quickcalcs software untuk

menentukan subyek penelitian masuk ke kelompok perlakuan A atau kelompok

perlakuan B. Digunakan amplop tertutup yang berisi kelompok intervensi mana

yang akan diberikan, nomor sampel, dan instruksi pelaksanaan. Pada pagi hari

sebelum operasi, seorang dokter residen anestesi pertama yang membantu

penelitian akan membuka amplop tersebut, membaca isinya, dan menyiapkan

intervensi yang diberikan sesuai instruksi dalam amplop. Kemudian dokter

residen anestesi kedua akan memberikan obat yang telah disiapkan oleh dokter

residen anestesi pertama tanpa mengetahui apa isi cairan tersebut. Kedua dokter

residen anestesi ini kemudian tidak ikut terlibat dalam evaluasi dan pengumpulan

data selanjutnya.

Page 79: ari yudha sanjaya

4.4 Variabel Penelitian

1. Variabel bebas adalah pemberian lidokain 2% intracuff dan NaCl 0,9%

intracuff.

2. Variabel tergantung adalah nyeri tenggorokan pasca anestesi umum

intubasi pipa endotrakea.

3. Variabel perancu adalah umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi

badan, indeks massa tubuh (IMT), durasi operasi.

4.5 Definisi Operasional Variabel

1. Pemberian lidokain 2% intracuff adalah pemberian lidokain 2%

volume 5 ml ke dalam cuff pipa endotrakea.

2. Pemberian NaCl 0,9% intracuff adalah pemberian NaCl 0,9% volume

5 ml ke dalam cuff pipa endotrakea.

3. Nyeri tenggorokan pasca anestesi umum intubasi pipa endotrakea

adalah nyeri yang dirasakan penderita pada tenggorokan pasca anestesi

umum intubasi pipa endotrakea. Penilaian nyeri tenggorokan

menggunakan instrumen Visual Analog Scale (VAS). Dilakukan

pengamatan dan wawancara terhadap pasien tentang adanya nyeri

tenggorokan dengan menggunakan penggaris skala sepanjang 100 mm,

pada ujung kiri (0 mm) tertulis tidak nyeri dan pada ujung kanan (100

mm) tertulis sangat nyeri, pasien diminta memberi tanda pada

penggaris VAS tersebut tentang nyeri yang dirasakannya. Penilaian

dilakukan dalam keadaan pasien diam dan bergerak. Kemudian

Page 80: ari yudha sanjaya

dilakukan pengukuran dari sebelah kiri dan intensitas nyeri dinyatakan

dengan skala mm. Evaluasi nyeri tenggorokan dilakukan 1 jam pasca

ekstubasi, 2 jam pasca ekstubasi, dan 24 jam pasca ekstubasi.

4. Anestesi umum pemasangan pipa endotrakea adalah tindakan

melakukan anestesi dengan menggunakan obat-obat anestesi seperti:

premedikasi midazolam 0,05 mg/ kgbb, suplemen analgesia

menggunakan Fentanyl dosis 2 mcg/kgbb, induksi dengan Propofol

dosis 2,5 mg/kgbb. Fasilitas intubasi dengan obat pelumpuh otot

Atrakurium dengan dosis 0,5 µg/kgbb. Dilakukan laringoskopi intubasi

dengan memasang pipa endotrakea PVC merk Sumi dengan cuff High

Volume – Low Pressure sesuai ukuran pasien, yaitu internal diameter

6,5 mm untuk perempuan dan 7,0 mm untuk laki-laki. Dilanjutkan

dengan maintenance inhalasi N2O : O2 (50%:50%) dan isofluran.

5. Umur adalah umur resmi pada saat akan dilakukan operasi, yang

diketahui dari tanggal lahir yang didapat dari wawancara atau dari

dokumen resmi, misalnya KTP atau SIM (tahun).

6. Jenis kelamin dilihat berdasarkan fenotip dari tanda-tanda kelamin

sekunder.

7. Berat Badan (BB) diukur dengan alat timbangan injak dalam posisi

berdiri memakai busana seminimal mungkin, dengan satuan kilogram

(kg).

8. Tinggi badan (TB) diukur dengan alat ukur tinggi badan dalam posisi

berdiri tegak tanpa alas kaki, dengan satuan meter (m).

Page 81: ari yudha sanjaya

9. Indeks masa tubuh (IMT) adalah salah satu pemeriksaan antropometri

untuk menentukan status gizi yang dinilai dengan cara membagi berat

badan dengan pangkat dua tinggi badan (IMT=BB/TB2), dengan

satuan kg/m2.

10. Status fisik ASA adalah suatu sistem penilaian status fisik pasien

praoperasi menurut klasifikasi berdasarkan American Society of

Anesthesiologists, dikatakan status fisik ASA I jika pasien tanpa

penyakit sistemik, status fisikASA II jika pasien dengan penyakit

sistemik ringan tanpa pembatasan fungsional (Morgan et al., 2006).

11. Durasi operasi adalah waktu yang dihitung mulai dari insisi kulit

sampai penutupan luka operasi.

4.6 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan adalah:

1. Kuesioner dan data dari status pasien.

2. Penggaris pengukuran VAS dengan skala 0-10 cm.

3. Lembar monitoring VAS pasien.

4. Lembar pengumpulan data penelitian.

5. Laringoskop merk Riester

6. Pipa endotrakea PVC merk Sumi disertai cuff high volume – low

pressure ukuran internal diameter 6,5; 7,5 mm.

7. Spuite 10 ml

8. Infus set dan kateter intravena ukuran 18 G

Page 82: ari yudha sanjaya

9. Midazolam 0,1%

10. Ondansentron

11. Propofol 1%

12. Atracurium

13. Ketorolac

14. Isoflurane, N2O, O2

15. NaCl 0,9%

16. Lidokain hidroklorida (Lidokain-HCl 2%)

17. Pressure cuff Mallinckrodt, Seelscherf, Germany

18. Stetoskop

4.7 Prosedur Penelitian

4.7.1 Persiapan penelitian

Penelitian ini dapat dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan

penelitian (ethical clearence) dari Komisi Etika Penelitian dari Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana dan RSUP Sanglah Denpasar.

4.7.2 Penapisan pasien

Seleksi dilakukan pada saat kunjungan pra-anestesia pada pasien yang

akan menjalani pembedahan dengan tehnik anestesi umum pemasangan

pipaendotrakea. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi ditetapkan

sebagai sampel. Setelah mendapatkan penjelasan dan pasien setuju dilanjutkan

dengan menandatangani informed consent.

Page 83: ari yudha sanjaya

4.7.3 Pelaksanaan penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan dalam tahapan-tahapan yang ditentukan

sebelumnya dengan harapan perlakuan lain yang tidak diteliti diberikan sama ke

semua subyek.

4.7.3.1 Cara kerja

Cara kerja dalam melakukan penelitian dan pengumpulan data adalah

sebagai berikut :

1. Seleksi dilakukan pada pasien yang akan menjalani prosedur

pembedahan dengan tehnik anestesi umum pemasangan pipa

endotrakea di ruang operasi RSUP Sanglah Denpasar berdasarkan

kriteria inklusi. Selanjutnya diberi penjelasan mengenai penelitian ini

dan dimohon kesediaannya untuk berpartisipasi pada penelitian.

2. Setelah dijelaskan, bila pasien setuju maka surat persetujuan tindakan

dan surat persetujuan berpartisipasi dalam penelitian ditandatangani.

3. Sampai di ruang persiapan kamar operasi dilakukan pencatatan

identitas kembali, kemudian dilakukan pemasangan infus dengan

cairan kristaloid, kecepatan pemberian sesuai kebutuhan cairan

pemeliharaan sesuai berat badan pasien.

4. Setelah itu pasien dibawa ke ruang operasi, kemudian dipindahkan ke

meja operasi.

5. Pasang monitor tekanan darah non invasif, EKG, pulse oxymetry,

dilakukan pencatatan hasil.

Page 84: ari yudha sanjaya

6. Pasien diberikan premedikasi midazolam 0,05 mg/kgbb, ondansentron

0,15 mg/kgbb, suplemen analgesia dengan fentanyl dosis 2 mcg/kgbb

dan induksi propofol 2,5 mg/kgbb serta fasilitas intubasi dengan obat

pelumpuh otot atrakurium dosis 0,5 mg/kgbb kemudian dilakukan

laringoskopi dan intubasi pemasangan pipa endotrakea sesuai ukuran.

Selanjutnya dilakukan pengembangan cuff: kelompok A inflasi cuff

menggunakan lidokain 2% volume 5 ml. Kelompok B inflasi cuff

menggunakan NaCl 0,9% 5 ml. Masing- masing kelompok telah

disiapkan sebelumnya dalam sebuah spuite10 ml.

7. Pengukuran tekanan dalam cuff dengan menggunakan instrumen

Pressure cuff Mallinckrodt, Seelscherf, Germany. Tekanan awal

dalam cuff dievaluasi tidak melebihi 30 cmH2O. Bila masih terjadi

kebocoran udara, pada kelompok A ditambahkan lidokain 2% volume

1 ml, sedangkan pada kelompok B ditambahkan NaCl 0,9% volume 1

ml. Inflasi cuff pipa endotrakea tersebut dilakukan hingga tercapai

minimal occlusive volume. Pemantauan tekanan dalam cuff secara

intermittent dilakukan tiap 30 menit dan akhir anestesi, dievaluasi

tidak melebihi 30 cmH2O.

8. Maintenance anestesia dengan N2O:O2 (50%: 50%); isofluran 1-1,5

volume%, atracurium intermitent, fentanyl intermitent, dan pemberian

NSAID ketorolac 0,5 mg/kgbb

9. Setelah operasi selesai, agen anestesia dihentikan, pasien

dipertahankan nafas spontan dengan oksigen 100%

Page 85: ari yudha sanjaya

10. Ekstubasi pipa endotrakea dilakukan bila:

- Pasien bernafas spontan adekuat

- Pasien mampu mengikuti perintah verbal (membuka mata atau

tangan menggenggam) atau kecendrungan untuk mencabut pipa

endotrakea.

11. Penilaian nyeri tenggorokan dengan menggunakan instrumen Visual

Analog Scale (VAS) dengan nilai 0 – 100 mm. Dilakukan pengamatan

dan wawancara terhadap pasien tentang adanya nyeri tenggorokan.

Evaluasi dilakukan 1 jam pasca ekstubasi, 2 jam pasca ekstubasi, dan

24 jam pasca ekstubasi.

12. Catat efek samping yang muncul pada kedua kelompok.

Page 86: ari yudha sanjaya

4.7.4 Alur Penelitian

Pasien yang akan menjalani pembedahan dengan anestesi umum

intubasi pipa endotrakea

Populasi terjangkau

Kriteria inklusi

Informed consent

Kriteria eksklusi

INDUKSI

Propofol 2,5 mg/kg, Fentanyl 2 µg/kg,

Atracurium 0,5 mg/ kg

INTUBASI PIPA ENDOTRAKEA

Ukuran PET sesuai pasien

RANDOMISASI

KELOMPOK B

Inflasi cuff dengan NaCl 0,9%

RUMATAN

N2O,O2, Isofluran, Atracurium

KELOMPOK A

Inflasi cuff dengan Lidokain 2%

PREMEDIKASI

Midazolam 0,05 mg/kg

Ondansentron 0,15 mg/kgbb

Ekstubasi Pipa Endotrakea

Nyeri tenggorokan pasca ekstubasi

(Penilaian VAS)

ANALISIS STATISTIK

ELIGIBLE SAMPEL

Page 87: ari yudha sanjaya

4.8 Pengolahan dan Penyajian Data Analisis Statistik

4.8.1 Analisis statistik deskriptif

Analisis deskriptif bertujuan untuk menggambarkan karakteristik subjek

penelitian berdasarkan kelompok perlakuan. Karakteristik umur, berat badan,

tinggi badan, dan indeks massa tubuh, digambarkan dalam rerata dan simpang

baku. Sedangkan jenis kelamin, jenis pembedahandan status fisik ASA

digambarkan dalam distribusi frekuensi.

4.8.2 Uji normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui sebaran data variabel (nilai

VAS)pada masing-masing kelompok perlakuan. Uji normalitas menggunakan

Shapiro-Wilk. Data dinyatakan berdistribusi normal bila p> 0,05 dan dinyatakan

tidak berdistribusi normal bila nilai p≤ 0,05

4.8.3 Uji homogenitas varian

Uji homogenitas varian digunakan untuk menilai apakah varian variabel

homogen pada masing-masing kelompok perlakuan.Digunakan Levene’s test. Bila

nilai p> 0,05 maka varian antar kelompok perlakuan dinyatakan homogen.

Sedangkan bila nilai p ≤ 0,05 varian antar kelompok perlakuan tidak homogen.

4.8.4 Analisa perbedaan mean

Analisa perbedaan mean dipresentasikan dalam rerata ± simpang baku.

Karakteristik ini dianalisis dengan menggunakan uji t tidak berpasangan (uji

parametrik) jika memenuhi syarat, jika tidak memenuhi syarat digunakan uji

Mann-Whitney (uji nonparametrik).

Page 88: ari yudha sanjaya

BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian uji klinik pada pasien yang menjalani

tindakan pembedahan dengan anestesi umum di kamar operasi instalasi bedah

sentral RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian dilakukan pada 64 pasien yang

memenuhi kriteria inklusi dan dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan. Kelompok

A terdiri dari 32 sampel yang mendapatkan inflasi lidokain 2% intracuff dan

kelompok B terdiri dari 32 sampel yang mendapatkan inflasi NaCl 0,9% intracuff.

Penelitian ini bertujuan mengetahui efektifitas pemberian lidokain 2% intracuff

pipa endotrakea untuk mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi.

Tabel 5.1

Data karakteristik subjek penelitian kedua kelompok perlakuan

Variabel

Kelompok

Lidokain 2%

( n = 32 )

Kelompok

NaCl 0,9%

( n = 32 )

p

Usia (tahun) 37,3 ± 11,6 38,2 ± 13,0 0,762a

Jenis Kelamin :

Laki-laki 8 (25,0) 11 (34,4) 0,412

b

Perempuan 24 (75,0) 21 (65,6)

Berat badan (kg) 55,9 ± 7,1 59,1 ± 8,7 0,114a

Tinggi badan (cm) 160,4 ± 6,5 162,8 ± 8,1 0,305b

IMT (kg/m2) 21,7 ± 1,8 22,2 ± 1,7 0,142

b

Durasi pembedahan

(menit)

166,3 ± 80,6 177,8 ± 68,9 0,542a

Page 89: ari yudha sanjaya

Keterangan : Uji statistik : a. Uji independent sample T-test: berbeda tidak bermakna; b.

Uji Mann-Whitney: berbeda tidak bermakna

Data yang bersifat numerik seperti umur, berat badan, tinggi badan, indeks

massa tubuh, durasi pembedahan dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan

dalam bentuk rerata ± SD. Data bersifat kategorikal seperti jenis kelamin

dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam distribusi frekwensi dan

proporsi.

Kedua kelompok diuji normalitasnya dengan uji Kolmogorov –Smirnov.

Untuk perbandingan karakteristik sampel dianalisis sesuai untuk analisis

komparatif numerik tidak berpasangan 2 kelompok yaitu uji t bila distribusi

datanya normal, bila distribusi data tidak normal menggunakan uji Mann

Whitney.

Berdasarkan tabel 5.1 terlihat bahwa karakteristik subjek meliputi umur,

jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, IMT, dan durasi pembedahan antar

kelompok perlakuan tidak berbeda bermakna. Berdasarkan gambaran karakteristik

variabel tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok

perlakuan sudah sebanding (comparable).

Data rerata tekanan intracuff berdasarkan kelompok perlakuan pada

pengukuran interval waktu dapat dilihat pada Tabel 5.2 berikut ini

Page 90: ari yudha sanjaya

Tabel 5.2

Perbedaan rerata tekanan intracuff berdasarkan kelompok perlakuan

Tekanan

Intracuff

Kelompok

Lidokain 2%

( n = 32 )

Kelompok

NaCl 0,9%

( n = 32 )

Beda

Rerata

95% CI

Nilai P

Menit ke 0 19,3 ± 3,8 19,3 ± 1,6 0 ± 2,2 -1,4 – 1,5 0,966

Menit ke 30 19,2 ± 3,8 19,4 ± 1,6 -0,2 ± 2,2 -1,7 – 1,2 0,733

Menit ke 60 18,9 ± 3,9 20,3 ± 1,4 -1,4 ± 2,5 -2,8 – 0,1 0,066

Menit ke 90 18,7 ± 3,7 20,9 ± 1,7 -2,2 ± 2,0 -3,7 – (-0,7) 0,004

Menit ke 120 18,7 ± 3,8 21,5 ± 1,6 -2,8 ± 2,2 -4,4 – (-1,3) 0,001

Akhir

anestesia 17,9 ± 3,8 22,2 ± 1,8 -4,3 ± 2,0

-5,7 – (-2,8) < 0,001

Keterangan : Uji statistik menggunakan independent sample T-test, dinyatakan dalam

rerata ± simpang baku.

Tabel 5.2 menunjukkan tekanan intracuff menit ke 0 pada kedua kelompok

tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05). Kelompok lidokain 2% menunjukkan

penurunan tekanan intracuff pada pengukuran menit ke 30 dan menit ke 60,

namun penurunan ini tidak bermakna secara statistik. Penurunan bermakna terjadi

mulai menit ke 90, menit 120, sampai menit akhir sebelum ekstubasi dengan nilai

p<0,05). Sebaliknya pada kelompok NaCl 0,9% pengukuran tekanan intracuff

pada menit ke 30 dan menit 60 menunjukkan peningkatan dibandingkan menit ke

0, namun secara statistik tidak bermakna. Peningkatan tekanan intracuff ini

dianggap bermakna pada pengukuran menit ke 90, 120, dan menit akhir (p<0,05).

Page 91: ari yudha sanjaya

Gambar 5. 1 Grafik tekanan intracuff kedua kelompok perlakuan

Gambar 5.2 Grafik perbandingan rerata tekanan intracuff menit akhir

kedua kelompok perlakuan

Page 92: ari yudha sanjaya

Data rerata volume intracuff berdasarkan kelompok perlakuan dapat dilihat

pada Tabel 5.3 berikut ini.

Tabel 5.3

Volume intracuff pada kedua kelompok perlakuan

Variabel

Kelompok

Lidokain 2%

( n = 32 )

Kelompok

NaCl 0,9%

( n = 32 )

Beda Rerata

Nilai P

Volume cuff awal 6,2 ± 1,1 6,1 ± 0,8 0,1 ± 0,3 0,983

Volume cuff akhir 4,6 ± 1,3 6,1 ± 0,8 1,46 ± 0,5 <0,001

Selisih volume cuff 1,6 ± 0,6 0 ± 0 1,6 ± 0,6 <0,001

Keterangan : Uji statistik dilakukan dengan independent sample T-test dan Mann-

Whitney Test.

Volume cuff awal pada kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan

bermakna dengan nilai p=0,983. Volume cuff yang diukur pada akhir ekstubasi

pada kedua kelompok perlakuan menunjukkan perbedaan yang bermakna

(p<0,05). Pada kelompok lidokain 2% didapatkan rerata selisih volume intracuff

sebesar 1,6 ± 0,6 ml sedangkan pada kelompok NaCl 0,9% tidak ada perbedaan

selisih volume intracuff di awal dan akhir.

Page 93: ari yudha sanjaya

Gambar 5.3 Grafik volume intracuff kedua kelompok perlakuan

Tabel 5.4

Derajat nyeri tenggorokan dinilai dengan Visual Analog Scale (VAS) pada

kedua kelompok perlakuan

Variabel

Kelompok

Lidokain 2%

( n = 32 )

Kelompok

NaCl 0,9%

( n = 32 )

Beda Rerata

Nilai P

VAS jam ke 1 4,0 ± 5,7 10,1 ± 5,0 6,1 ± 0,7 <0,001

VAS jam ke 2 2,1 ± 3,9 5,3 ± 3,9 3,2 ± 0 0,004

VAS jam ke 24 0 ± 0 0 ± 0 0 ± 0 1,0

Keterangan :Uji statistik dilakukan dengan menggunakan independent sample T-

test dan Mann-Whitney Test.

Page 94: ari yudha sanjaya

Rerata nyeri tenggorokan yang dievaluasi menggunakan instrumen Visual

Analog Scale (VAS) dalam millimeter untuk kelompok lidokain 2% pada jam 1

pasca ekstubasi adalah 4,0 ± 5,7. Sedangkan pada kelompok NaCl 0,9% adalah

10,1 ± 5,0, didapatkan beda rerata 6,1 ± 0,7 yang secara statistik dianggap

bermakna (p<0,05). Evaluasi VAS nyeri tenggorokan 2 jam pasca ekstubasi pada

kedua kelompok perlakuan juga secara statistik bermakna dengan beda rerata 3,2

± 0 (p=0,004). Namun penilaian VAS 24 jam pasca ekstubasi pada kedua

kelompok menunjukkan nilai VAS 0 sehingga tidak ada perbedaan.

Gambar 5.4 Grafik VAS kedua kelompok perlakuan

Page 95: ari yudha sanjaya

Gambar 5.5 Perbandingan VAS kedua kelompok perlakuan

Selanjutnya penting dicari seberapa besar pengaruh selisih volume cuff

serta pengaruh tekanan cuff akhir terhadap nyeri tenggorokan yang dievaluasi

dengan VAS. Analisa tambahan yang dilakukan untuk mengetahui hubungan

kedua variabel tersebut adalah dengan uji regresi linier. Adapun hasil uji regresi

linier pengaruh selisih volume cuff terhadap nilai VAS jam 1 ditampilkan dalam

tabel 5.5 dan gambar 5.6 dibawah ini.

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

VAS JAM 1 VAS JAM 2 VAS JAM 24

4

2

0

10

5

0

LIDOKAIN 2% NACL 0,9%

VISUAL ANALOG SCALE

(VAS)

Page 96: ari yudha sanjaya

Tabel 5.5 Hasil analisis regresi linier pengaruh selisih volume cuff terhadap

nilai VAS jam 1

Variabel Β 95% CI Nilai p

Selisih volume cuff -3,12 -4,67 – (-1,58) <0,001

Konstanta 9,49 -7,66 – 11,34 <0,001

Uji Regresi Linier. Interval Kepercayaan 95%, *signifikan p< 0,05

Selisih volume cuff sebesar 1 ml atau dengan kata lain setiap penurunan

volume cuff 1 ml dibandingkan volume cuff awal akan menyebabkan penurunan

nilai VAS sebesar 3,12 mm. Dan pengaruhnya secara statistik bermakna (p<0,05).

Gambar 5.6 Kurve linier pengaruh selisih volume cuff terhadap nilai VAS jam 1

Dari kurva linier tersebut dapat disimpulkan bahwa selisih volume cuff

yang lebih tinggi akan menyebabkan penurunan nilai VAS. Dimana setiap selisih

volume cuff 1 ml akan diikuti penurunan nilai VAS sebesar 3,12 mm.

Page 97: ari yudha sanjaya

Tabel 5.6 Hasil analisis regresi linier pengaruh selisih volume cuff terhadap

nilai VAS jam 2

Variabel Β 95%CI Nilai p

Selisih volume cuff -1,49 -2,62 – (-0,36) 0,01

Konstanta 4,83 3,49 – 6,18 <0,001

Uji Regresi Linier. Interval Kepercayaan 95%, *signifikan p< 0,05

Selisih volume cuff sebesar 1 ml atau dengan kata lain setiap penurunan

volume cuff 1 ml dibandingkan volume cuff awal akan menyebabkan penurunan

nilai VAS sebesar 1,49 mm. Dan pengaruhnya secara statistik bermakna (p=0,01).

Gambar 5.7 Kurve linier pengaruh selisih volume cuff terhadap nilai VAS jam 2

Page 98: ari yudha sanjaya

Dari kurva linier tersebut dapat disimpulkan bahwa selisih volume cuff

yang lebih tinggi akan menyebabkan penurunan nilai VAS. Dimana setiap selisih

volume cuff 1 ml akan diikuti penurunan nilai VAS sebesar 1,49 mm.

Tabel 5.7 Hasil analisis regresi linier pengaruh tekanan intracuff akhir

terhadap nilai VAS jam 1

Variabel Β 95% CI Nilai p

Tekanan intracuff akhir 0,47 0,06 – 0,89 0,03

Konstanta -2,46 -10,83 – 5,91 0,559

Uji Regresi Linier. Interval Kepercayaan 95%, *signifikan p< 0,05

Pada tekanan intracuff akhir yang lebih tinggi 1 mmHg dari nilai rerata

tekanan intracuff akhir maka nilai VAS jam 1 bertambah sebesar 0,47 mm.

Sebaliknya pada tekanan intracuff akhir yang lebih rendah 1 mmHg dibandingkan

rerata tekanan intracuff akhir maka diikuti penurunan nilai VAS jam 1 sebesar

0,47 mm. Dan pengaruhnya secara statistik bermakna (p=0,03).

Gambar 5.8 Kurve linier pengaruh tekanan intracuff akhir terhadap VAS jam 1

Page 99: ari yudha sanjaya

Dari kurva linier tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tekanan

intracuff akhir sebesar 1 mmHg dari rerata tekanan intracuff akhir maka nilai

VAS jam 1 akan bertambah sebesar 0,47 mm. Sebaliknya semakin rendah tekanan

intracuff akhir sebesar 1 mmHg dari rerata tekanan intracuff akhir maka nilai

VAS jam 1 akan berkurang sebesar 0,47 mm

Tabel 5.8 Hasil analisis regresi linier pengaruh tekanan intracuff akhir

terhadap nilai VAS jam 2

Variabel Β 95% CI Nilai p

Tekanan intracuff akhir 0,21 -0,08 – 0,50 0,14

Konstanta -0,59 -6,47 – 5,28 0,84

Uji Regresi Linier. Interval Kepercayaan 95%, *signifikan p< 0,05

Pada tekanan intracuff akhir yang lebih tinggi 1 mmHg dari nilai rerata

tekanan intracuff akhir maka nilai VAS jam 2 bertambah sebesar 0,21 mm.

Sebaliknya pada tekanan intracuff akhir yang lebih rendah 1 mmHg dibandingkan

rerata tekanan intracuff akhir maka diikuti penurunan nilai VAS jam 2 sebesar

0,21 mm. Dan pengaruhnya secara statistik tidak bermakna (p>0,05).

Page 100: ari yudha sanjaya

Gambar 5.9 Kurve linier pengaruh tekanan intracuff akhir terhadap VAS jam 2

Dari kurva linier tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tekanan

intracuff akhir sebesar 1 mmHg dari rerata tekanan intracuff akhir maka nilai

VAS jam 2 akan bertambah sebesar 0,21 mm. Sebaliknya semakin rendah tekanan

intracuff akhir sebesar 1 mmHg dari rerata tekanan intracuff akhir maka nilai

VAS jam 2 akan berkurang sebesar 0,21 mm. Namun pengaruhnya secara statistik

tidak bermakna (p>0,05).

Page 101: ari yudha sanjaya

BAB VI

PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan ini untuk mengetahui efek lidokain 2% intracuff

pipa endotrakea dalam mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi di RSUP

Sanglah Denpasar. Intubasi dengan pipa endotrakea menjadi bagian yang rutin

dalam pelaksanaan anestesi umum, namun intubasi bukan merupakan prosedur

yang tanpa komplikasi. Salah satu komplikasi penggunaan pipa endotrakea terjadi

akibat rangsangan iritasi dan regang pada mukosa saluran nafas sehingga

menimbulkan respon seperti suara serak, nyeri tenggorokan, batuk, peningkatan

tekanan darah, dan peningkatan laju nadi. (Gilles Dollo, dkk. 2001)

Keadaan diatas dapat disebabkan oleh banyak faktor, tetapi salah satu yang

mempunyai hubungan paling erat adalah keadaan cuff pipa endotrakea,

diantaranya meliputi: luas kontak cuff dengan mukosa, tekanan cuff, bentuk,

diameter, bahan, serta ketebalan dinding cuff. Tekanan cuff dapat meningkat pada

saat pemberian anestesi umum sebagai hasil dari difusi nitrous oksida (N2O) dari

trakea ke dalam cuff PET.

Selama anestesia umum dengan N2O akan terjadi peningkatan tekanan

intracuff sesuai peningkatan waktu disebabkan difusi N2O karena adanya gradien

tekanan parsial diantara membran cuff pipa endotrakea tersebut. Pada mukosa

trakea trakea terdapat Rapidly Adapting Stretch Receptors (RAR) merupakan

reseptor iritan yang sangat sensitif terhadap stimulus mekanis seperti sentuhan,

Page 102: ari yudha sanjaya

regangan dan tekanan. Intubasi pipa endotrakea dengan inflasi udara

menyebabkan hiperinflasi cuff yang akan merangsang reseptor di mukosa tadi.

Bila tekanan intracuff melebihi tekanan perfusi kapiler mukosa trakea yaitu 30-40

cmH2O berisiko terjadi erosi dan iskemia mukosa trakea, dan pasca operasi dapat

menimbulkan keluhan nyeri tenggorokan. Penelitian ini membuktikan bahwa

dengan mengganti inflasi udara dengan liquid baik berupa salin maupun lidokain

dapat mencegah hiperinflasi cuff.

Penelitian ini membagi 2 kelompok perlakuan yaitu inflasi lidokain 2%

dan inflasi NaCl 0,9% didapatkan gambaran rerata tekanan intracuff berdasarkan

interval waktu. Tekanan intracuff menit ke 0 pada kedua kelompok tidak ada

perbedaan bermakna (p>0,05) dimana tekanan intracuff kelompok lidokain 2%

19,3 ± 3,8 dan kelompok NaCl 0,9% yaitu 19,3 ± 1,6. Pada kelompok lidokain 2%

menunjukkan tekanan intracuff menurun pada pengukuran menit ke 30 yaitu 19,2

± 3,8 dan menit ke 60 tekanan intracuff yaitu 18,9 ± 3,9, namun penurunan ini

tidak bermakna secara statistik. Sebaliknya pada kelompok NaCl 0,9%

pengukuran tekanan intracuff pada menit ke 30 sebesar 19,4 ± 1,6 dan menit 60

tekanan yaitu 20,3 ± 1,4. Kedua interval pengukuran menunjukkan peningkatan

dibandingkan menit ke 0, namun secara statistik tidak bermakna. Selanjutnya pada

kelompok lidokain 2% tekanan intracuff menurun bermakna terjadi mulai menit

ke 90 yaitu 18,7 ± 3,7, menit ke 120 yaitu 18,7 ± 3,8 sampai menit akhir sebelum

ekstubasi yaitu 17,9 ± 3,8 dengan nilai p <0,05. Sebaliknya pada kelompok NaCl

0,9% terjadi peningkatan tekanan intracuff yang dianggap bermakna (p<0,05)

pada pengukuran menit ke 90 yaitu sebesar 20,9 ± 1,7, menit ke 120 yaitu 21,5 ±

Page 103: ari yudha sanjaya

1,6, dan menit akhir sebesar 22,2 ± 1,8. Hal ini sejalan dengan penelitian

Jaichandran (2009) dimana pada kelompok inflasi salin tekanan awal intracuff

22,0 ± 2,36 dan tekanan akhir intracuff yaitu 23,88 ± 2,36, sedangkan pada

kelompok inflasi lidokain tekanan awal intracuff 22,52 ± 2,42 dan tekanan akhir

intracuff sebesar 23,64 ± 2,67. Bila dibandingkan dengan kelompok inflasi udara

didapatkan tekanan intracuff awal sebesar 24,92 ± 2,89 dan tekanan akhir sebesar

56,68 ± 10,59. Hal ini membuktikan pada penelitian ini bahwa penggantian inflasi

udara intracuff dengan liquid yaitu salin dan lidokain 2% dapat mencegah

hiperinflasi cuff yang berlebihan pada inflasi udara intracuff terhadap mukosa

trakea seperti ditunjukkan penelitian Jaichandran.

Untuk menghindari hiperinflasi cuff pipa endotrakea penggunaan liquid

dapat diberikan dibandingkan inflasi udara. Lidokain sebagai suatu larutan dapat

menjadi pilihan terhadap permasalahan diatas. Beberapa penelitian in vitro

maupun in vivo melaporkan bahwa lidokain hidrochloride (L-HCl) yang

dimasukkan ke dalam cuff dapat berdifusi melintasi cuff pipa endotrakea yang

bersifat hydrophobic membrane, hal ini disebabkan karena cuff dibuat dari bahan

polyvynil chloride dan bertindak sebagai membran yang semipermeabel. (Gilles

Dollo, dkk. 2001).

Penelitian ini pada 2 kelompok perlakuan yaitu lidokain 2% dan NaCl

0,9% masing-masing diberikan sebanyak volume 5 ml dan diukur tekanan

intracuff dengan target tidak melebihi tekanan perfusi kapiler mukosa trakea yaitu

30 cmH2O. Selanjutnya volume ditambahkan bila minimal occlusive volume

Page 104: ari yudha sanjaya

belum tercapai untuk mencegah kebocoran udara saat diberikan tekanan ventilasi

positif melalui pipa endotrakea.

Volume cuff awal pada kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan

bermakna dengan nilai p=0,983. Rerata volume cuff awal pada kelompok lidokain

2% yaitu 6,2 ± 1,1 ml, sedangkan pada kelompok NaCl 0,9% volume cuff awal

sebesar 6,1 ± 0,8 ml. Sedangkan volume cuff akhir yang diukur pada pasca

ekstubasi pada kedua kelompok perlakuan menunjukkan perbedaan yang

bermakna (p<0,05). Pada kelompok lidokain 2% volume cuff akhir sebesar 4,6 ±

1,3 ml dan didapatkan rerata selisih volume sebesar 1,6 ± 0,6 ml. Sedangkan pada

kelompok NaCl 0,9% tidak ada perbedaan selisih volume intracuff di awal dan

akhir. Hal ini sejalan dengan yang dikemukan oleh penelitian Sconzo (1990) dan

Hirota (2000) bahwa lidokain mengalami difusi melalui membran cuff PET,

dimana pada penelitian in vitro diketahui efek difusi lidokain bersifat time

dependently mulai terlihat sejak menit ke 30 sejak inflasi lidokain dan difusi

berlangsung terus seiring dengan waktu. Namun demikian selama pengamatan

pada penelitian ini tidak ditemukan kebocoran udara melalui seal cuff PET karena

terjadi counter balance disebabkan difusi lidokain 2% melalui membran

hidrofobik cuff ke dinding mukosa trakea dan sebaliknya terjadi absorbsi N2O ke

dalam cuff.

Penelitian ini mengukur derajat nyeri tenggorokan dievaluasi

menggunakan instrumen Visual Analog Scale (VAS) dalam milimeter yang

diukur 1 jam, 2 jam, dan 24 jam pasca ekstubasi pada 2 kelompok perlakuan

didapatkan rerata nyeri tenggorokan untuk kelompok lidokain 2% pada jam 1

Page 105: ari yudha sanjaya

pasca ekstubasi adalah 4,0 ± 5,7 mm. Sedangkan pada kelompok NaCl 0,9%

adalah 10,1 ± 5,0 mm, didapatkan beda rerata VAS 6,1 ± 0,7 mm yang secara

statistik dianggap bermakna dengan nilai p<0,05. Evaluasi VAS nyeri

tenggorokan 2 jam pasca ekstubasi pada kedua kelompok perlakuan juga secara

statistik bermakna dengan beda rerata VAS 3,2 ± 0 mm (p=0,004). Hal ini sejalan

dengan penelitian Hirota (2000) dimana evaluasi VAS didapatkan lebih rendah

pada kelompok yang diberikan inflasi lidokain 25,1 ± 9,8 mm berbanding 53,5

±10,6 mm pada kelompok saline 0,9% intracuff (p<0,01)

Bila dibandingkan nilai VAS nyeri tenggorokan pada kelompok inflasi

udara seperti dikemukakan Estebe (2002) didapatkan nilai VAS jam 1 pasca

ekstubasi lebih tinggi pada kelompok inflasi udara yaitu 30 ± 13 mm

dibandingkan kelompok inflasi lidokain 14 ± 15 mm. Evaluasi VAS 2 jam pasca

ekstubasi juga lebih tinggi pada kelompok inflasi udara yaitu 25 ± 10 mm

dibandingkan kelompok inflasi lidokain 17 ± 14 mm.

Pada penelitian ini penilaian VAS 24 jam pasca ekstubasi pada kedua

kelompok menunjukkan nilai VAS 0 sehingga tidak ada perbedaan. Hal tersebut

juga dikemukakan oleh Estebe (2001) kejadian nyeri tenggorokan pasca operasi

dengan anestesi umum intubasi PET pada 2 kelompok perlakuan tersebut

ditemukan VAS menurun signifikan hanya pada 2 jam awal pasca operasi, namun

tidak berbeda pada evaluasi 24 jam pasca operasi.

Efek alternatif anestesi lokal adalah pengaruhnya pada respon

antiinflamasi dan terutama pada sel inflamasi (granulosit polimormonuklear

Page 106: ari yudha sanjaya

(PMN), makrofag dan monosit). Pelepasan sitokin akibat proses aktivasi netrofil

terganggu pada pemberian lidokain. Hal ini menyebabkan berkurangnya

kerusakan seluler akibat sitokin melalui mekanisme yang melibatkan kanal kalium

bergantung ATP. (Hollman dkk, 2000)

Lidokain juga mempengaruhi beberapa proses inflamasi melalui G

protein-coupled receptor (GPCR), seperti sensitisasi netrofil dan degranulasi

lysosomal, produksi radikal bebas dan sekresi sitokin oleh sel makrofag dan sel

glial. (Watkins et al, 2001)

Mekanisme lidokain dalam mengurangi derajat nyeri tenggorokan

diperkirakan melalui efeknya sebagai anestesi lokal dan anti inflamasi. Sebagai

anestetik lokal berefek memblok reseptor rapidly adapting stretch receptor

(RAR) di mukosa trakea secara kontinyu dan meningkatkan toleransi terhadap

pipa endotrakea. (Jaichandran, 2008; Rao, 2013).

Keuntungan dari pemberian lidokain intracuff adalah keberadaan lidokain

dalam cuff bersifat sebagai reservoir, sehingga lidokain akan terus menerus

berdifusi terhadap mukosa trakea seiring berjalannya waktu. Adanya difusi dari

lidokain yang diinflasikan intracuff pipa endotrakea akan mengurangi volume

intracuff, hal ini terbukti dengan adanya selisih volume lidokain di awal dan akhir

pengamatan. Pada anestesi umum dengan pemberian nitrous oksida (N2O) terjadi

absorbsi N2O dari trakea ke dalam cuff pipa endotrakea disebabkan gradien

tekanan parsial antara trakea dan membran cuff pipa endotrakea, sehingga terjadi

mekanisme counter balance yaitu difusi lidokain 2% melalui membran hidrofobik

Page 107: ari yudha sanjaya

cuff ke dinding mukosa trakea sehingga meskipun volume lidokain intracuff akhir

pada penelitian ini berkurang namun adanya mekanisme counter balance tadi

menyebabkan fungsi seal PET tetap terjaga. Pada penelitian ini tidak

menunjukkan adanya kebocoran seal cuff PET selama pemberian ventilasi

tekanan postif, serta tidak ada ruptur dari cuff.

Sesuai hukum Pascal tentang sifat fisika pada zat cair maupun zat gas

dikemukakan bahwa tekanan yang diberikan zat cair dalam ruang tertutup

diteruskan ke segala arah dan sama besar. Berlaku pula pada zat gas di dalam

ruang tertutup akan menimbulkan tekanan pada dinding ruang itu. Sehingga

volume intracuff yang berkurang akan menyebabkan penurunan tekanan terhadap

mukosa trakea di sekeliling cuff tersebut. Sebaliknya peningkatan volume

intracuff akan menimbulkan peningkatan tekanan terhadap mukosa trakea di

sekeliling cuff.

Tekanan cuff yang cukup untuk mencegah kebocoran udara nafas dari

berbagai jenis pipa endotrakea adalah antara 20-25 cmH2O, dibawah tekanan

perfusi mukosa trakea 25-30 cmH2O. Tekanan yang berlebihan akan

menimbulkan rangsangan iritasi dan regangan pada RAR di mukosa trakea yang

berhubungan dengan derajat nyeri tenggorokan pasca intubasi. Tekanan cuff dapat

meningkat selama anestesi umum sebagai akibat dari difusi N2O dari trakea ke

dalam cuff pipa endotrakea (Brimacombe, 1999; Stone DJ, 2000)

Pada penelitian ini volume cuff awal pada kedua kelompok tidak

menunjukkan perbedaan bermakna. Rerata volume cuff awal pada kelompok

lidokain 2% yaitu 6,2 ± 1,1 ml, sedangkan pada kelompok NaCl 0,9% volume

Page 108: ari yudha sanjaya

cuff awal sebesar 6,1 ±0,8 ml. Volume cuff akhir yang diukur pasca ekstubasi

pada kedua kelompok perlakuan menunjukkan perbedaan yang bermakna

(p<0,05). Pada kelompok lidokain 2% volume cuff akhir sebesar 4,6 ± 1,3 ml dan

didapatkan rerata selisih volume sebesar 1,6 ± 0,6 ml. Sedangkan pada kelompok

NaCl 0,9% tidak ada perbedaan selisih volume intracuff di awal dan akhir.

Volume cuff akhir yang lebih besar pada kelompok inflasi NaCl 0,9%

disebabkan karena tidak terjadi difusi NaCl 0,9% melalui membran cuff, berbeda

halnya dengan kelompok inflasi lidokain 2% dimana lidokain berdifusi sehingga

volume cuff akhir lebih sedikit dan tekanan cuff yang ditimbulkan terhadap

mukosa trakea lebih kecil sesuai dengan berjalannya waktu sejak lidokain

diinflasikan sampai tekanan akhir intracuff sebelum ekstubasi. Penelitian ini

menunjukkan bahwa pada akhir anestesi volume cuff akhir berkurang sebesar 1,6

± 0,6 ml namun tekanan intracuff akhir lebih rendah daripada tekanan intracuff

awal. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan difusi lidokain melalui cuff lebih

besar daripada kecepatan difusi N2O dari trakea ke dalam cuff.

Tekanan intracuff menit ke 0 pada kedua kelompok perlakuan tidak

menunjukkan perbedaan bermakna, yaitu 19 ± 3,4 ml. Penurunan tekanan

intracuff pada kelompok lidokain 2% dianggap bermakna secara statistik mulai

menit 90, menit 120, dan menit akhir sebelum ekstubasi. Sebaliknya pada

kelompok NaCl 0,9% peningkatan tekanan intracuff dianggap bermakna secara

statistik mulai menit ke 90, menit 120, dan menit akhir sebelum ekstubasi. Hal ini

menunjukkan hubungan antara volume intracuff dan tekanan intracuff yang

ditimbulkannya terhadap mukosa trakea. Pada kelompok lidokain 2% didapatkan

Page 109: ari yudha sanjaya

volume cuff akhir lebih sedikit karena mengalami difusi melalui membran

intracuff, selanjutnya lidokain bekerja sebagai anestesi lokal dan efek

antiinflamasi lokal pada mukosa trakea, sehingga pada pengukuran tekanan

intracuff juga lebih rendah dibandingkan kelompok NaCl 0,9%. Sebaliknya pada

kelompok NaCl 0,9% tidak terjadi difusi sehingga pada pengukuran volume cuff

akhir tidak berubah. Pada anestesi umum dengan pemberian N2O menyebabkan

absorbsi N2O ke dalam intracuff sehingga tekanan intracuff pada kelompok NaCl

0,9% ditemukan terus bertambah sampai menit akhir sebelum ekstubasi.. Tekanan

intracuff akhir pada kelompok NaCl 0,9% lebih tinggi yaitu 22,2 ± 1,8 mmHg

dibandingkan pada kelompok lidokain 2% yaitu 17,9 ± 3,8 mmHg. Perbedaan

tekanan intracuff yang ditemukan pada kedua kelompok tersebut menimbulkan

rangsangan iritasi dan regangan yang lebih besar pada kelompok NaCl 0,9%

terhadap reseptor RAR di mukosa trakea dan selanjutnya berhubungan dengan

VAS nyeri tenggorokan pasca intubasi yang juga lebih tinggi.

Untuk dapat menjelaskan mekanisme lidokain 2% intracuff pipa

endotrakea dalam mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi, harus dievaluasi

variabel perantara yang terjadi di dalam perjalanan lidokain tersebut, yaitu:

volume cuff dan tekanan intracuff. Data yang diperoleh mengenai volume cuff

dan tekanan intracuff tersebut sebagai bukti yang memperkuat kemampuan difusi

lidokain, yang selanjutnya berpengaruh terhadap volume cuff dan tekanan

intracuff, serta efek akhirnya dalam mengurangi VAS nyeri tenggorokan pasca

intubasi.

Page 110: ari yudha sanjaya

Pada penelitian ini didapatkan perbedaan nilai VAS pada kedua kelompok

perlakuan yaitu lidokain 2% dan NaCl 0,9% pada jam 1 dan jam 2 pasca

ekstubasi. Secara statistik nilai VAS tersebut menunjukkan perbedaan yang

bermakna (p<0,05). Namun bila dilihat secara klinis, rerata nilai VAS pada jam 1

pada kelompok lidokain 2% sebesar 4,0 ± 5,7 mm sedangkan pada kelompok

NaCl 0,9% 10,1 ± 5,0 mm. Dengan klasifikasi nilai VAS 0-40 mm termasuk nyeri

intensitas ringan sehingga didapatkan kesimpulan bahwa VAS nyeri tenggorokan

pada kedua kelompok tersebut secara klinis tidak berbeda. Hal tersebut juga

berlaku pada penilaian VAS jam 2 pada kedua kelompok yang sama-sama berada

pada klasifikasi nyeri tenggorokan intensitas ringan.

Namun hasil VAS pada kedua kelompok liquid tersebut menjadi bermakna

bila dibandingkan dengan VAS yang didapatkan pada kelompok inflasi udara,

dimana dari penelitian sebelumnya oleh Vipin (2007) pada jam 1 pasca ekstubasi

sebesar 59,6 ± 1,47 mm dan VAS nyeri tenggorokan 2 jam pasca ekstubasi 48,6 ±

1,36 mm. Hasil penelitian ini secara klinis menjadi bermakna terhadap penurunan

VAS nyeri tenggorokan bila dibandingkan dengan kelompok inflasi udara

intracuff. VAS nyeri tenggorokan pada kelompok udara tersebut baik pada jam 1

dan 2 termasuk klasifikasi intensitas nyeri sedang yaitu diantara 41-70 mm.

Penelitian ini tidak menunjukkan efek samping obat yang ditimbulkan

akibat pemberian lidokain 2% dan NaCl 0,9%. Efek samping obat yang

berhubungan dengan gejala Local Anesthetic Systemic Toxicity (LAST) pada

berbagai sistem organ yang terjadi akibat toksisitas anestesi lokal pada penelitian

ini tidak terjadi. Hal ini oleh karena pemberian lidokain 2% dalam dosis yang

Page 111: ari yudha sanjaya

aman dan direkomendasikan, jauh dari dosis toksik anestesia lokal. Selama

perlakuan dilakukan pemantauan secara intermiten terhadap tekanan intracuff pipa

endotrakea supaya tidak melebihi tekanan perfusi kapiler mukosa trakea yaitu 30

cmH2O dengan menggunakan intracuff pressure, disamping monitor lain seperti

EKG, tekanan darah, denyut jantung, saturasi oksigen untuk mengevaluasi bila

terjadi efek samping terhadap sistem organ lain.

6.1 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan pada penelitian ini yaitu inflasi udara intracuff pipa

endotrakea sebagai kontrol tidak diberikan pada kelompok perlakuan. Data derajat

nyeri tenggorokan pada kelompok inflasi udara pasca intubasi didapatkan dari

penelitian – penelitian lain sebelumnya. Hal ini dilakukan sesuai dengan

rancangan penelitian yaitu randomisasi acak tersamar ganda, karena kedua

perlakuan baik lidokain 2% maupun NaCl 0,9% memliki persamaan berbentuk

liquid dan tidak berwarna, berbeda halnya dengan udara bila diberikan sebagai

perlakuan.

Evaluasi VAS nyeri tenggorokan pasca intubasi pada kedua kelompok

perlakuan baik lidokain 2% dan NaCl 0,9% meskipun secara statistik

menunjukkan perbedaan VAS yang bermakna (p<0,05) baik pada jam 1 dan 2

pasca ekstubasi namun secara klinis perbedaan VAS ini tidak bermakna karena

sama-sama termasuk dalam klasifikasi nyeri intensitas ringan.

Page 112: ari yudha sanjaya

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Lidokain 2% intracuff pipa endotrakea mengurangi nyeri tenggorokan pasca

intubasi di RSUP Sanglah Denpasar.

7.2 Saran

Derajat nyeri tenggorokan pada pasien yang menjalani anestesi umum pasca

intubasi dapat dikurangi dengan pemberian lidokain 2% intracuff, sehingga dapat

digunakan sebagai alternatif pilihan.

Page 113: ari yudha sanjaya

DAFTAR PUSTAKA

Ali N.P, Mulck T., Noor M.M., Mollick M.T., Ahmed M., Chowdhury M.R.A.

2009. Lidocaine as endotracheal tube cuff inflating agent. JAFMC

Bangladesh..Vol 5 No 1: 25-28..

Avidan M. 2003. Pain Management, In: Perioperative Care, Anesthesia, Pain

Management and Intensive Care, London:78-102

Ballantyne J.C. 2008. Management of Acute Postoperative Pain. In: Longnecker,

D.E., Brown, D.L., Newman, M.F., Zapol W.M. New York: McGraw

Hill.p. 1716-1736

Basuni A.S. 2013. Intracuff alkalinized lidocaine reduces sedative/ analgesic

requirement for mechanically ventilated patients. Anaesth, Pain and

Intensive Care; Vol.17(3): 228-232.

Bernhard W.N., Yost L.C., Turndorf H., Cottrell J.E., Paegle R.D., 1978. Physical

Characteristics of and rates of nitrous oxide diffusion into tracheal tube

cuff. Anesthesiology. 48: 413-417.

Biro P., Seifert B., Pasch T. 2005. Complaints of sore throat after tracheal

intubation: a prospective evaluation. European Journal of

Anaesthesiology. 22(4): 307-311.

Brimacombe J., Keller C., Giampalmo M., Sparr H.J, Berry A. 1999. Direct

measurement of mucosal pressures exerted by cuff and non-cuff portions

of tracheal tubes with different cuff volumes and head and neck

positions. British Journal of Anaesthesia. 82(5): 708-711.

Cole D.J., Schlunt M. 2004. Local Anesthetic. In Adult Perioperative Anesthesia-

The requisites in anesthesiology. Philadelphia: Elsevier Mosby. 5:137-

144

Combes X., Schauvliege F., Peyrouset O. 2001. Intracuff pressure and tracheal

morbidity – Influence of filling cuff with saline during nitrous oxide

anesthesia. Anesthesiology. Vol 95. No 5: 1120-1124

Dollo G., Estebe J.P., LeCorre P., Chevanne F., Ecoffey C., Verge R.L. 2001.

Endotracheal tube cuffs filled with lidocaine as a drug delivery system: in

Page 114: ari yudha sanjaya

vitro and in vivo investigations. European Journal of Pharmaceutical

Sciences. 13: 319-323

Edomwonyi N.P., Ekwere I.T., Omo E., Rupasinghe A.2006. Postoperative throat

complications after tracheal intubation. Annals of African Medicine. Vol

5 No 1: 28-32

Estebe J.P., Dollo G., Le Corre P. 2002. Alkalinization of intracuff lidocaine

improves endotracheal tube induced emergence phenomena. Anesthesia

Analgesia. 94: 227-230

Estebe J.P., Gentili M., Le Corre P. 2005. Alkalinization of intracuff lidocaine:

Efficacy and safety. Anesthesia Analgesia. 101: 1536-1541

Fagan C., Frizelle H., Laffey J. 2000. The effects of intracuff lidocaine on

endotracheal tube induced emergence phenomenon after general

anesthesia. Anesthesia Analgesia. 91: 201-205

Gonzalez R.M., Bjerke R.J., Drobycki T. 1994. Prevention of endotracheal tube

induced coughing during emergence from general anesthesia. Anesthesia

Analgesia. 79: 792-795

Hirota W., Kobayashi W., Igarashi K. 2000. Lidocaine added to a tracheostomy

tube cuff reduces tube discomfort. Canadian Journal Anesthesia. 47:412-

414

Jaichandran V.V., Bhanulakshmi I.M., Jagadeesh V. 2009. Intracuff buffered

lidocaine versus saline or air – A comparative study for smooth

extubation in patients with hyperactive airways undergoing eye surgery.

SAJAA. 15(2):11-14

Jaichandran V.V., Angayarkanni N., Karunakaran C. 2008. Diffusion of lidocaine

buffered to an optimal pH across the endotracheal tube cuff – an in vitro

study. Indian Journal Anesthesia. 52(5):536-540

Kang S., Baik H.J., Kim Y.J., Kim J.H. 2005. Factors affecting the intracuff

pressure of wire-reinforced endotracheal tubes during general anesthesia

using nitrous oxide. Korean J Anesthesiology. Vol.50. No.61-7.

Katzung G.B. 2004. Anestetik Lokal. In: Basic and Clinical Pharmacology. 9th

ed.

McGraw Hill. New York.

Page 115: ari yudha sanjaya

Larson C.P. 2002. Airway management. In: Clinical Anesthesiology. 3rd

ed. New

York: The Mc-Graw Hill Companies:59-85

Manissery J.J., Shenoy V., Ambareesha M. 2007. Endotracheal tube cuff

pressures during general anesthesia while using air versus a 50% mixture

of nitrous oxide and oxygen as inflating agents. Indian J. Anesthesia.

51(1):24-27.

McHardy F.E., Chung F.1999. Postoperative sore throat: cause, prevention and

treatment. Journal of the Association of Anaesthetists of Great Britain

and Ireland. Vol 54: 444-453

Morgan G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J., 2006. Airway Management, In:

Clinical Anesthesiology. 4th

Ed. Mc-Graw Hill’s.. 5:91-116

Morgan G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J.. 2006. Pain Management, In: Clinical

Anesthesiology. 4th

Ed.Mc-Graw Hill’s. 18:359-373.

Morgan G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J.. 2006. Local Anesthetics, In: Clinical

Anesthesiology. 4th

Ed.Mc-Graw Hill’s. 14:263-275.

Navarro L.H., Braz J.R., Nakamura G. 2007. Effectiveness and safety of

endotracheal tube cuff filled with air versus filled with alkalinized

lidocaine: a randomized clinical trial. Sao Paulo Med J. 125(6): 322-328

Navarro L.H.C., Lima R.M., Aguiar A.S. 2012. The effect of intracuff alkalinized

2% lidocaine on emergence coughing, sore throat, and hoarseness in

smokers. Rev assoc Med Bras. 58 (2): 248-253

Porter N.E, Sidou V., Husson J. 1999. Postoperative sore throat: Incidence and

severity after the use of lidocaine, saline, or air to inflate the endotracheal

tube cuff. Journal of the American Association Anesthetists. Vol 67 No

1: 49-52.

Rao M., Snigdha, Alai T., Vijay K. 2013. Instillation of 4% lidocaine versus air in

the endotracheal tube (ETT) cuff to evaluate post intubation morbidity-a

randomized double blind study. Journal of Anesthesiology and Clinical

Science:2-19

Rathmell J.P., Neal J.M., Viscomi C.M., 2004. Local Anesthetic. In: Regional

Anesthesia – The requisites in Anesthesiology. Philadelphia: Elsevier

Mosby.2:13-24

Page 116: ari yudha sanjaya

Sconzo J.M., Moscicki J.C., DiFazio C.A. 1990. In vitro diffusion of lidocaine

across endotracheal tube cuffs. Regional Anesthesia.15:37-40

Seegobin R.D., Hasselt G.L.1984. Endotracheal cuff pressure and tracheal

mucosal blood flow: endoscopic study of effect of four large volume

cuff. British Medical Journal. Vol.288: 965-968.

Spiegel J.E. 2010. Endotracheal tube cuff: Design and Function. Anesthesiology

news guide to airway management. 51-58

Steeds C.E. 2009. The anatomy and physiology of pain. Elsevier Ltd. 507-511

Stewart S.L., Secrest J.A., Norwood B.R., Zachary R. 2003. A comparison of

endotracheal tube cuff pressures using estimation techniques and direct

intracuff measurement. AANA Journal. Vol.71. No.6: 443-447.

Stoelting,R.K. Hillier,S.C.2006. Pharmacology and Physiology in Anesthetic

Practice. 4th

Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Salerno A., Hermann R. 2006. Efficacy and safety of steroid use for postoperative

pain relief. The Journal of Bone and Joint Surgery. Vol. 88 No 6: 1361-

1372.

Vipin N.K. 2007. Post intubation sore throat: a comparative study between

intracuff alkalinized lignocaine and intracuff plain lignocaine. Bangalore:

St. Johns Medical College and Hospital.

Page 117: ari yudha sanjaya

Lampiran 1

Page 118: ari yudha sanjaya

Lampiran 2

Page 119: ari yudha sanjaya

Lampiran 3

JADWAL PENELITIAN

No

Kegiatan

Jul

2014

Agu

2014

Sep

2014

Okt

2014

Nov

2014

Des

2014

Jan

2015

1. Pembuatan

Proposal

2. Seminar

Proposal

3. Koreksi/Ijin

Penelitian

4. Pelaksanaan

Penelitian

5. Pengolahan

data

6. Seminar hasil

7. Penyempurnaan

hasil

8. Ujian Tesis

9. Penyempurnaan

Tesis

Page 120: ari yudha sanjaya

Lampiran 4

RINCIAN INFORMASI

Penjelasan mengenai penelitian lidokain 2% intracuff pipa endotrakea

mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi di RSUP Sanglah Denpasar

Di RSUP Sanglah Denpasar saat ini tengah dilakukan penelitian oleh tim

peneliti dari Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek analgesia lidokain 2%

intracuff terhadap nyeri tenggorokan pasca anestesi umum intubasi pipa

endotrakea melalui evaluasi nilai VAS.

Bapak/ Ibu/Saudara/ Saudari akan menjalani pembedahan di ruang operasi

RSUP Sanglah Denpasar dengan prosedur standar untuk anestesi umum intubasi

pipa endotrakea. Salah satu resiko dari penggunaan pipa endotrakea terjadi akibat

rangsangan iritasi dan regang pada mukosa saluran nafas sehingga menimbulkan

respon seperti suara serak, nyeri tenggorokan, batuk, peningkatan tekanan darah,

dan peningkatan laju nadi. Trauma pada mukosa trakea dapat menimbulkan

keluhan nyeri tenggorokan pasca bedah.

Berbagai usaha dilakukan untuk mengurangi derajat nyeri tenggorokan

pasca anestesi umum intubasi endotrakea. Pemberian lidokain intravena dan

topikal telah digunakan untuk mengurangi stimulus noksius pada saat intubasi

endotrakea. Namun dengan beberapa metode tersebut memiliki kelemahan, antara

lain duration of action terbatas pasca aplikasi lidokain oleh karena cepat

terabsorbsi mukosa trakeobronkial sehingga tidak efektif pada periode ekstubasi.

Page 121: ari yudha sanjaya

Pada penelitian ini akan diberikan lidokain 2% intracuff pada tindakan anestesi

umum intubasi pipa endotrakea.

Dua perlakuan berbeda yang akan diberikan kepada Saudara/Saudari adalah

pemberian lidokain 2% intracuff (kelompok A) atau pemberian NaCl 0,9%

intracuff dengan volume yang sama (kelompok B) setelah intubasi pipa

endotrakea. Pemberian perlakuan kepada Saudara/Saudari dilakukan secara acak

dan selama penelitian berjalan anggota penelitian tidak mengetahui salah satu dari

kedua jenis perlakuan yang diberikan. Identitas Saudara/Saudari disimpan oleh

peneliti utama secara rahasia dalam bentuk inisial. Anda diberikan kesempatan

yang sebesar-besarnya untuk menanyakan semua hal yang belum jelas tentang

penelitian ini kepada peneliti.

Kelebihan dari penelitian ini adalah lidokain hidrochloride (Lidokain HCl)

yang dimasukkan ke dalam cuff dapat berdifusi melintasi cuff pipa endotrakea

yang bersifat hydrophobic membrane, hal ini disebabkan karena cuff dibuat dari

bahan polyvynil chloride (PVC) dan bertindak sebagai membran yang

semipermeabel.

Biaya obat yang digunakan ditanggung oleh peneliti dan Saudara/Saudari

tidak akan dikenakan biaya pembelian obat tersebut. Pasien akan dievaluasi,

diawasi secara cermat sebelum, selama, dan sesudah tindakan oleh peneliti. Bila

timbul efek samping akibat dari obat yang diteliti, maka akan ditangani sesuai

dengan gejala yang timbul dan menjadi tanggung jawab peneliti.

Tidak ada paksaan untuk ikut atau menolak diikutsertakan dalam penelitian

ini. Bila Saudara/Saudari bersedia diikutsertakan dalam penelitian ini, kami

Page 122: ari yudha sanjaya

ucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya dan bila tidak bersedia, tidak

akan mengurangi kualitas pelayanan yang kami berikan.

Terima kasih.

Hormat kami,

Peneliti

(dr. Ari Yudha Sanjaya)

Catatan: nomer telepon peneliti yang dapat dihubungi 081338403663.

Page 123: ari yudha sanjaya

Lampiran 5. Formulir Persetujuan Tindakan

PERSETUJUAN BERPARTISIPASI DALAM PENELITIAN KLINIS

AGREEMENT FOR CLINICAL RESEARCH

PEMBERIAN INFORMASI Information Delivered

Peneliti Researchers

Penerima Informasi/pemberi persetujuan Recipient information/approved by

No Jenis Informasi Information

Isi Informasi(oleh peneliti) Information detail(by researchers)

Tanda(√) Marked

1 Tujuan penelitian Aims of research

2 Manfaat penelitian The purpose of research

3 Prosedur Penelitian Research procedure

4 Risiko potensial dan rasa tidak enak yang akan dialami Potencial Risks and feeling discomfort

5 Prosedur Alternatif alternative procedure

6 Menjaga kerahasiaan Confidentiality

7 Kompensasi bila terjadi kecelakaan dalam penelitian Compensation in the event of an accident in

Page 124: ari yudha sanjaya

the research

8 Partisipasi berdasarkan kesukarelaan Based on voluntary participation

9 Nama dan alamat peneliti yang bisa dihubungi bila terjadi kecelakaan atau subyek ingin bertanya Name and address of the researcher who can be contac in the event of accident or subject would like to ask

10 Perkiraan jumlah subyek yang akan diikutsertakan dalam penelitian Estimated number of subjects to be included in the study

11 Kemungkinan dapat timbul resiko yangdiketahui pada saat ini Possibility may arise risks known at this time Estimated cost

12 Subyek dapat dikeluarkan dari penelitian Subject may excluded in the study

13 Bahaya potensial bila ada bagi subyek yang mengundurkan diri sebelum penelitian selesai A potential danger(if any) for the subjects who withdrew before study completion

14 Insentif bagi subyek

Page 125: ari yudha sanjaya

(bila ada) Incentives for the subject (if any)

15 Bila menolak/membatalkan untuk berpartisipasi, bahwa akses mereka terhadap proses pelayanan dijamin tidak terpengaruhi atau terganggu When refuse / cancel to participate, that their access to the service process is guaranteed not affected or impaired

Dengan ini menyatakan bahwa saya telah menerangkan hal hal diatas secara benar dan jelas dan memberikan kesempatan untuk bertanya dan/atau berdiskusi Hereby declare that I have explained the above things are true and clear and provides an opportunity to ask and / or discuss

Tanda tangan peneliti Signature

Saya sudah mendapatkan kesempatan untuk bertanya dan saya sudah mengerti dan puas dengan penjelasan yang diberikan sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan saya. Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa saya SETUJU untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian. I've had the opportunity to ask and I already understand and are satisfied with the explanation given in connection with my question. I hereby declare to the fact that I AGREE to participate in that research.

Tanda tangan (Pasien/wali) Signature

Page 126: ari yudha sanjaya

SURAT PERSETUJUAN SUBYEK PENELITIAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : _______________________________________________

Umur : _______________________________________________

Jenis Kelamin : _______________________________________________

Alamat : _______________________________________________

Pekerjaan : _______________________________________________

Setelah mendapat keterangan secukupnya serta menyadari manfaat dari risiko

penelitian tersebut dibawah ini yang berjudul :

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

Dengan sukarela menyetujui dikutsertakan dalam uji klinik di atas dengan catatan

bila suatu waktu merasa dirugikan dalam bentuk apapun, berhak membatalkan

persetujuan ini.

Denpasar, ……………………………. 2014

Mengetahui : Yang menyetujui

Penanggung Jawab penelitian Peserta uji klinik

( _______________ ) ( __________________ )

Saksi

( ___________________ )

Page 127: ari yudha sanjaya

SURAT PERSETUJUAN WALI SUBYEK

PENELITIAN

Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : _______________________________________________

Umur : _______________________________________________

Jenis Kelamin : _______________________________________________

Alamat : _______________________________________________

Pekerjaan : _______________________________________________

Setelah mendapat keterangan secukupnya serta menyadari manfaat dari risiko penelitian tersebut dibawah ini yang berjudul :

____________________________________________________________________

Dengan sukarela menyetujui diikutsertakan : anak/ …………………………(hubungan keluarga terdekat dalam hal ini penderita tidak dapat memutuskan sendiri)

Nama : _______________________________________________ Umur : _______________________________________________ Jenis Kelamin : _______________________________________________ Alamat : _______________________________________________ Pekerjaan : _______________________________________________ Dalam penelitian tersebut dengan catatan bila suatu waktu merasa dirugikan,

berhak membatalkan persetujuan ini. Denpasar, …………………. 2014 Mengetahui :

Yang menyetujui

Penanggung Jawab penelitian Wali peserta uji klinik

( _______________) ( ______________ )

Saksi

( ___________________ )

Page 128: ari yudha sanjaya

Lampiran 6

LEMBAR PENELITIAN

LIDOKAIN 2% INTRACUFF PIPA ENDOTRAKEA MENGURANGI

NYERI TENGGOROKAN PASCA INTUBASI DI RSUP SANGLAH

DENPASAR

Data Umum

1. No sampel : .................................................................................

2. No Rekam Medis : .................................................................................

3. Nama : .................................................................................

4. Umur : .................................................................................

5. Jenis kelamin : .................................................................................

6. Tingkat pendidikan : .................................................................................

7. Tanggal : ................................................................................

Data Khusus

1. Diagnosis : .............................................................................

2. Jenis Operasi : .............................................................................

3. Berat Badan : ............kg

4. Tinggi badan : ............cm

5. IMT : ............kg/m2

6. Status Fisik ASA : ………

No Urut:

Perlakuan: A / B

Page 129: ari yudha sanjaya

Prosedur kerja :

1. Penelitian ini harus mendapatkan persetujuan dari komite etik penelitian

kedokteran FK UNUD. Seleksi dilakukan pada saat kunjungan pra anestesi

sebelum tindakan pembedahan. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi ditetapkan sebagai sampel.

2. Setelah mendapatkan penjelasan dan pasien setuju dilanjutkan dengan

menandatangani informed consent.

3. Subyek dipuasakan selama 8 jam.

4. Sampai di ruang persiapan instalasi bedah RSUP Sanglah Denpasar,

dilakukan pencatatan identitas kembali, kemudian dilakukan pemasangan

infus dengan cairan kristaloid, kecepatan pemberian sesuai kebutuhan

cairan pemeliharaan sesuai berat badan pasien.

5. Setelah itu pasien dibawa ke ruang operasi, dipindahkan ke meja operasi.

6. Pasang monitor tekanan darah non invasif, EKG, pulse oxymetry,

dilakukan pencatatan hasil.

7. Pasien diberikan premedikasi midazolam 0,05 mg/kgbb, ondansentron

0,15 mg/kgbb, suplemen analgesia fentanyl dosis 2 mcg/kgbb dan induksi

propofol 2,5 mg/kgbb serta fasilitas intubasi dengan obat pelumpuh otot

atrakurium dosis 0,5 mg/kgbb kemudian dilakukan laringoskopi dan

intubasi pemasangan pipa endotrakea sesuai ukuran. Selanjutnya

dilakukan pengembangan cuff: kelompok A inflasi cuff menggunakan

lidokain 2% volume 5 ml. Kelompok B inflasi cuff menggunakanNaCl

Page 130: ari yudha sanjaya

0,9% 5 ml. Masing- masing kelompok telah disiapkan sebelumnya dalam

sebuah spuite10 ml.

8. Pengukuran tekanan dalam cuff dengan menggunakan instrumen Pressure

cuff Mallinckrodt, Seelscherf, Germany. Tekanan awal dalam cuff

dievaluasi tidak melebihi 30 cmH2O. Bila masih terjadi kebocoran udara,

pada kelompok A ditambahkan lidokain 2% volume 1 ml, sedangkan pada

kelompok B ditambahkan NaCl 0,9% volume 1 ml. Inflasi cuff pipa

endotrakea tersebut dilakukan hingga tercapai minimal occlusive volume.

Pemantauan tekanan dalam cuff secara intermittent dilakukan tiap 30

menit dan akhir anestesi, dievaluasi tidak melebihi 30 cmH2O.

9. Maintenance anestesia dengan N2O:O2 (50%:50%); isofluran 1-1,5

volume%, atracurium intermitent, fentanyl intermitent, dan pemberian

NSAID ketorolac 0,5 mg/kgbb

10. Setelah operasi selesai, agen anestesia dihentikan, pasien dipertahankan

nafas spontan dengan oksigen 100%

11. Ekstubasi pipa endotrakea dilakukan bila:

a. Pasien bernafas spontan adekuat

b. Pasien mampu mengikuti perintah verbal (membuka mata atau

tangan menggenggam) atau kecendrungan untuk mencabut PET

12. Penilaian nyeri tenggorokan dengan menggunakan instrumen Visual

Analog Scale (VAS) dengan nilai 0 – 10. Dilakukan pengamatan dan

wawancara terhadap pasien tentang adanya nyeri tenggorokan. Evaluasi

Page 131: ari yudha sanjaya

dilakukan 1 jam pasca ekstubasi, 2 jam pasca ekstubasi, dan 24 jam pasca

ekstubasi.

13. Catat efek samping yang muncul pada kedua kelompok.

Page 132: ari yudha sanjaya

Lampiran 7

PENCATATAN HASIL EVALUASI

1. Waktu mulai anestesi umum pukul :............... WITA

2. Waktu pemberian perlakuan pukul :............... WITA

3. Mulai pembedahan pukul :............... WITA

4. Selesai pembedahan pukul :............... WITA

5. Lama pembedahan :........jam........menit

6. Percobaan intubasi : ........

7. Intracuff pressure (cmH2O) selama prosedur pembedahan dicatat di tabel1

Tabel 1. Intracuff Pressure

Waktu

(menit setelah intubasi

pipa endotrakea)

Intracuff

Pressure

(cmH2O)

T 0

T 30

T 60

T 90

T 120

T end of anesthesia

8. Volume intracuff (ml) saat awal pembedahan:......

9. Volume intracuff (ml) saat akhir pembedahan:......

10. Evaluasi kebocoran cuff pipa endotrakea: YA/ TIDAK*

11. Time of spontaneus ventilation sebelum ekstubasi (T0= waktu dimana

volatile anesthesia isofluran dan N2O dihentikan=........menit

Tabel 2.

T0 Pukul WITA

Nafas spontan adekuat Pukul WITA

Ekstubasi Pukul WITA

12. Tercapainya Aldrette skor 10: pukul: ........Wita

Page 133: ari yudha sanjaya

13. Nilai VAS nyeri tenggorokan setelah Aldrette skor 10: ..........mm

14. Nilai VAS nyeri tenggorokan pada jam ke-1, ke-2, dan 24 jam pasca bedah

dicatat di tabel 3.

Tabel 3. Nilai VAS

Sampel

no.

Nilai VAS (mm) Keterangan

Jam ke-1 Jam ke-2 24 jam

Pk.........

Wita

Pk..........

Wita

Pk..........

Wita

VAS

15. Kejadian efek samping diobservasi selama 24 jam dalam interval waktu

pengamatan 0–4 jam, 4-8 jam, dan 8-24 jam.

Efek samping:

1. Gejala eksitasi SSP (gelisah, agitasi, ketakutan, gembira berlebihan)

: YA/TIDAK*

2. Gejala depresi SSP (pusing, mengantuk, tinnitus, penglihatan kabur)

: YA/TIDAK*

3. Depresi nafas : YA/TIDAK*

4. Kesemutan lidah : YA/TIDAK*

5. Mual : YA/TIDAK*

6. Muntah : YA/TIDAK*

7. Lainnya : ...................................(sebutkan)

Observer: ....................................

*Lingkari & coret yang lain

Page 134: ari yudha sanjaya

Lampiran 9

HASIL ANALISIS SPSS

Kelompok

Case Processing Summary

Kelompok

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Umur (th) Lidokain 2% 32 100.0% 0 .0% 32 100.0%

NaCl 0,9% 32 100.0% 0 .0% 32 100.0%

BB Lidokain 2% 32 100.0% 0 .0% 32 100.0%

NaCl 0,9% 32 100.0% 0 .0% 32 100.0%

TB Lidokain 2% 32 100.0% 0 .0% 32 100.0%

NaCl 0,9% 32 100.0% 0 .0% 32 100.0%

BMI Lidokain 2% 32 100.0% 0 .0% 32 100.0%

NaCl 0,9% 32 100.0% 0 .0% 32 100.0%

Durasi (menit) Lidokain 2% 32 100.0% 0 .0% 32 100.0%

NaCl 0,9% 32 100.0% 0 .0% 32 100.0%

Tests of Normality

Kelompok

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Umur (th) Lidokain 2% .094 32 .200* .964 32 .346

NaCl 0,9% .113 32 .200* .947 32 .117

BB Lidokain 2% .171 32 .018 .939 32 .069

NaCl 0,9% .145 32 .087 .943 32 .092

TB Lidokain 2% .211 32 .001 .936 32 .057

NaCl 0,9% .230 32 .000 .915 32 .016

BMI Lidokain 2% .159 32 .039 .882 32 .002

Page 135: ari yudha sanjaya

NaCl 0,9% .264 32 .000 .817 32 .000

Durasi (menit) Lidokain 2% .062 32 .200* .981 32 .827

NaCl 0,9% .106 32 .200* .970 32 .493

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Group Statistics

Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Umur (th) Lidokain 2% 32 37.25 11.604 2.051

NaCl 0,9% 32 38.19 13.035 2.304

BB Lidokain 2% 32 55.88 7.088 1.253

NaCl 0,9% 32 59.06 8.721 1.542

Durasi (menit) Lidokain 2% 32 166.28 80.588 14.246

NaCl 0,9% 32 177.78 68.910 12.182

Independent Samples Test

t-test for Equality of Means

Sig. (2-tailed) Mean Difference

Std. Error

Difference

Umur (th) Equal variances assumed .762 -.938 3.085

Equal variances not

assumed

.762 -.938 3.085

BB Equal variances assumed .114 -3.188 1.987

Equal variances not

assumed

.114 -3.188 1.987

Durasi (menit) Equal variances assumed .542 -11.500 18.744

Equal variances not

assumed

.542 -11.500 18.744

Page 136: ari yudha sanjaya

Group Statistics

Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

TB Lidokain 2% 32 1.6037 .06494 .01148

NaCl 0,9% 32 1.6281 .08078 .01428

BMI Lidokain 2% 32 21.6619 1.75210 .30973

NaCl 0,9% 32 22.1666 1.70899 .30211

Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

TB Lidokain 2% 32 30.17 965.50

NaCl 0,9% 32 34.83 1114.50

Total 64

BMI Lidokain 2% 32 29.09 931.00

NaCl 0,9% 32 35.91 1149.00

Total 64

Test Statisticsa

TB BMI

Mann-Whitney U 437.500 403.000

Wilcoxon W 965.500 931.000

Z -1.026 -1.468

Asymp. Sig. (2-tailed) .305 .142

a. Grouping Variable: Kelompok

Page 137: ari yudha sanjaya

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Jenis Kelamin * Kelompok 64 100.0% 0 .0% 64 100.0%

ASA * Kelompok 64 100.0% 0 .0% 64 100.0%

DIVISI * Kelompok 64 100.0% 0 .0% 64 100.0%

Jenis Kelamin * Kelompok

Crosstab

Kelompok

Lidokain 2% NaCl 0,9% Total

Jenis Kelamin Laki-laki Count 8 11 19

% within Kelompok 25.0% 34.4% 29.7%

Perempuan Count 24 21 45

% within Kelompok 75.0% 65.6% 70.3%

Total Count 32 32 64

% within Kelompok 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square .674a 1 .412

Continuity Correctionb .299 1 .584

Likelihood Ratio .676 1 .411

Fisher's Exact Test .585 .292

Linear-by-Linear

Association

.663 1 .415

N of Valid Cases 64

Page 138: ari yudha sanjaya

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.50.

b. Computed only for a 2x2 table

ASA * Kelompok

Crosstab

Kelompok

Lidokain 2% NaCl 0,9% Total

ASA 1 Count 10 19 29

% within Kelompok 31.3% 59.4% 45.3%

2 Count 22 13 35

% within Kelompok 68.8% 40.6% 54.7%

Total Count 32 32 64

% within Kelompok 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square 5.107a 1 .024

Continuity Correctionb 4.035 1 .045

Likelihood Ratio 5.180 1 .023

Fisher's Exact Test .044 .022

Linear-by-Linear

Association

5.028 1 .025

N of Valid Cases 64

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.50.

b. Computed only for a 2x2 table

Page 139: ari yudha sanjaya

Kelompok

Case Processing Summary

Kelompok

Cases

Valid Missing

N Percent N

Cuff Pressure menit 0 Lidokain 2% 25 78.1% 7

NaCl 0,9% 28 87.5% 4

Cuff Pressure menit 30 Lidokain 2% 25 78.1% 7

NaCl 0,9% 28 87.5% 4

Cuff Pressure menit 60 Lidokain 2% 25 78.1% 7

NaCl 0,9% 28 87.5% 4

Cuff Pressure menit 90 Lidokain 2% 25 78.1% 7

NaCl 0,9% 28 87.5% 4

Cuff Pressure menit 120 Lidokain 2% 25 78.1% 7

NaCl 0,9% 28 87.5% 4

Cuff Pressure akhir Lidokain 2% 25 78.1% 7

NaCl 0,9% 28 87.5% 4

Case Processing Summary

Kelompok

Cases

Missing Total

Percent N Percent

Cuff Pressure menit 0 Lidokain 2% 21.9% 32 100.0%

NaCl 0,9% 12.5% 32 100.0%

Cuff Pressure menit 30 Lidokain 2% 21.9% 32 100.0%

NaCl 0,9% 12.5% 32 100.0%

Cuff Pressure menit 60 Lidokain 2% 21.9% 32 100.0%

NaCl 0,9% 12.5% 32 100.0%

Cuff Pressure menit 90 Lidokain 2% 21.9% 32 100.0%

Page 140: ari yudha sanjaya

NaCl 0,9% 12.5% 32 100.0%

Cuff Pressure menit 120 Lidokain 2% 21.9% 32 100.0%

NaCl 0,9% 12.5% 32 100.0%

Cuff Pressure akhir Lidokain 2% 21.9% 32 100.0%

NaCl 0,9% 12.5% 32 100.0%

Tests of Normality

Kelompok

Kolmogorov-Smirnova

Statistic df

Cuff Pressure menit 0 Lidokain 2% .187 25

NaCl 0,9% .182 28

Cuff Pressure menit 30 Lidokain 2% .175 25

NaCl 0,9% .180 28

Cuff Pressure menit 60 Lidokain 2% .144 25

NaCl 0,9% .151 28

Cuff Pressure menit 90 Lidokain 2% .165 25

NaCl 0,9% .204 28

Cuff Pressure menit 120 Lidokain 2% .130 25

NaCl 0,9% .171 28

Cuff Pressure akhir Lidokain 2% .146 25

NaCl 0,9% .180 28

a. Lilliefors Significance Correction

Tests of Normality

Kelompok

Kolmogorov-

Smirnova Shapiro-Wilk

Sig. Statistic df Sig.

Cuff Pressure menit 0 Lidokain 2% .024 .930 25 .086

NaCl 0,9% .019 .903 28 .014

Page 141: ari yudha sanjaya

Cuff Pressure menit 30 Lidokain 2% .047 .924 25 .063

NaCl 0,9% .021 .923 28 .041

Cuff Pressure menit 60 Lidokain 2% .192 .915 25 .040

NaCl 0,9% .100 .933 28 .074

Cuff Pressure menit 90 Lidokain 2% .079 .927 25 .076

NaCl 0,9% .004 .935 28 .083

Cuff Pressure menit 120 Lidokain 2% .200* .936 25 .120

NaCl 0,9% .034 .938 28 .098

Cuff Pressure akhir Lidokain 2% .177 .932 25 .097

NaCl 0,9% .020 .950 28 .202

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

T-Test

Group Statistics

Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Cuff Pressure menit 0 Lidokain 2% 32 19.34 3.773 .667

NaCl 0,9% 32 19.31 1.554 .275

Cuff Pressure menit 30 Lidokain 2% 32 19.16 3.802 .672

NaCl 0,9% 32 19.41 1.604 .283

Cuff Pressure menit 60 Lidokain 2% 32 18.88 3.908 .691

NaCl 0,9% 32 20.25 1.437 .254

Cuff Pressure menit 90 Lidokain 2% 29 18.69 3.685 .684

NaCl 0,9% 29 20.93 1.668 .310

Cuff Pressure menit 120 Lidokain 2% 25 18.68 3.848 .770

NaCl 0,9% 28 21.54 1.598 .302

Cuff Pressure akhir Lidokain 2% 32 17.91 3.830 .677

NaCl 0,9% 32 22.16 1.780 .315

Page 142: ari yudha sanjaya

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances

t-test for

Equality of

Means

F Sig. t

Cuff Pressure menit 0 Equal variances

assumed

17.951 .000 .043

Equal variances not

assumed

.043

Cuff Pressure menit 30 Equal variances

assumed

16.392 .000 -.343

Equal variances not

assumed

-.343

Cuff Pressure menit 60 Equal variances

assumed

22.383 .000 -1.868

Equal variances not

assumed

-1.868

Cuff Pressure menit 90 Equal variances

assumed

15.628 .000 -2.984

Equal variances not

assumed

-2.984

Cuff Pressure menit 120 Equal variances

assumed

15.775 .000 -3.598

Equal variances not

assumed

-3.454

Cuff Pressure akhir Equal variances

assumed

16.181 .000 -5.693

Equal variances not

assumed

-5.693

Page 143: ari yudha sanjaya

Independent Samples Test

t-test for Equality of Means

df Sig. (2-tailed)

Mean

Difference

Cuff Pressure menit 0 Equal variances assumed 62 .966 .031

Equal variances not

assumed

41.227 .966 .031

Cuff Pressure menit 30 Equal variances assumed 62 .733 -.250

Equal variances not

assumed

41.689 .734 -.250

Cuff Pressure menit 60 Equal variances assumed 62 .066 -1.375

Equal variances not

assumed

39.230 .069 -1.375

Cuff Pressure menit 90 Equal variances assumed 56 .004 -2.241

Equal variances not

assumed

39.007 .005 -2.241

Cuff Pressure menit 120 Equal variances assumed 51 .001 -2.856

Equal variances not

assumed

31.301 .002 -2.856

Cuff Pressure akhir Equal variances assumed 62 .000 -4.250

Equal variances not

assumed

43.795 .000 -4.250

Page 144: ari yudha sanjaya

Independent Samples Test

t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of the

Difference

Std. Error

Difference Lower Upper

Cuff Pressure menit 0 Equal variances

assumed

.721 -1.411 1.473

Equal variances not

assumed

.721 -1.425 1.488

Cuff Pressure menit 30 Equal variances

assumed

.730 -1.708 1.208

Equal variances not

assumed

.730 -1.723 1.223

Cuff Pressure menit 60 Equal variances

assumed

.736 -2.846 .096

Equal variances not

assumed

.736 -2.864 .114

Cuff Pressure menit 90 Equal variances

assumed

.751 -3.746 -.737

Equal variances not

assumed

.751 -3.761 -.722

Cuff Pressure menit 120 Equal variances

assumed

.794 -4.449 -1.262

Equal variances not

assumed

.827 -4.541 -1.170

Cuff Pressure akhir Equal variances

assumed

.747 -5.742 -2.758

Equal variances not

assumed

.747 -5.755 -2.745

Page 145: ari yudha sanjaya

Kelompok

Case Processing Summary

Kelompok

Cases

Valid Missing

N Percent N

Volume Cuff Awal Lidokain 2% 32 100.0% 0

NaCl 0,9% 32 100.0% 0

Volume Cuff Akhir Lidokain 2% 32 100.0% 0

NaCl 0,9% 32 100.0% 0

Selisih Volume Cuff Lidokain 2% 32 100.0% 0

NaCl 0,9% 32 100.0% 0

Case Processing Summary

Kelompok

Cases

Missing Total

Percent N Percent

Volume Cuff Awal Lidokain 2% .0% 32 100.0%

NaCl 0,9% .0% 32 100.0%

Volume Cuff Akhir Lidokain 2% .0% 32 100.0%

NaCl 0,9% .0% 32 100.0%

Selisih Volume Cuff Lidokain 2% .0% 32 100.0%

NaCl 0,9% .0% 32 100.0%

Page 146: ari yudha sanjaya

Case Processing Summary

Tests of Normalityb

Kelompok

Kolmogorov-Smirnova

Statistic df

Volume Cuff Awal Lidokain 2% .189 32

NaCl 0,9% .223 32

Volume Cuff Akhir Lidokain 2% .209 32

NaCl 0,9% .223 32

Selisih Volume Cuff Lidokain 2% .286 32

a. Lilliefors Significance Correction

b. Selisih Volume Cuff is constant when Kelompok = NaCl 0,9%. It

has been omitted.

Tests of Normalityb

Kelompok

Kolmogorov-

Smirnova Shapiro-Wilk

Sig. Statistic df Sig.

Volume Cuff Awal Lidokain 2% .005 .822 32 .000

NaCl 0,9% .000 .803 32 .000

Volume Cuff Akhir Lidokain 2% .001 .885 32 .003

NaCl 0,9% .000 .803 32 .000

Selisih Volume Cuff Lidokain 2% .000 .860 32 .001

a. Lilliefors Significance Correction

b. Selisih Volume Cuff is constant when Kelompok = NaCl 0,9%. It has been omitted.

Page 147: ari yudha sanjaya

Group Statistics

Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Volume Cuff Awal Lidokain 2% 32 6.16 1.139 .201

NaCl 0,9% 32 6.06 .801 .142

Volume Cuff Akhir Lidokain 2% 32 4.5781 1.25151 .22124

NaCl 0,9% 32 6.0625 .80071 .14155

Selisih Volume Cuff Lidokain 2% 32 1.5781 .61052 .10793

NaCl 0,9% 32 .0000 .00000 .00000

Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Volume Cuff Awal Lidokain 2% 32 32.55 1041.50

NaCl 0,9% 32 32.45 1038.50

Total 64

Volume Cuff Akhir Lidokain 2% 32 20.97 671.00

NaCl 0,9% 32 44.03 1409.00

Total 64

Selisih Volume Cuff Lidokain 2% 32 48.50 1552.00

NaCl 0,9% 32 16.50 528.00

Total 64

Test Statisticsa

Volume Cuff Awal Volume Cuff Akhir Selisih Volume Cuff

Mann-Whitney U 510.500 143.000 .000

Wilcoxon W 1038.500 671.000 528.000

Z -.021 -5.046 -7.406

Asymp. Sig. (2-tailed) .983 .000 .000

Page 148: ari yudha sanjaya

Test Statisticsa

Volume Cuff Awal Volume Cuff Akhir Selisih Volume Cuff

Mann-Whitney U 510.500 143.000 .000

Wilcoxon W 1038.500 671.000 528.000

Z -.021 -5.046 -7.406

Asymp. Sig. (2-tailed) .983 .000 .000

a. Grouping Variable: Kelompok

Kelompok

Case Processing Summary

Kelompok

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

VAS Jam ke 1 Lidokain 2% 32 100.0% 0 .0% 32 100.0%

NaCl 0,9% 32 100.0% 0 .0% 32 100.0%

VAS Jam ke 2 Lidokain 2% 32 100.0% 0 .0% 32 100.0%

NaCl 0,9% 32 100.0% 0 .0% 32 100.0%

VAS Jam ke 24 Lidokain 2% 32 100.0% 0 .0% 32 100.0%

NaCl 0,9% 32 100.0% 0 .0% 32 100.0%

Tests of Normalityb,c

Kelompok

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

VAS Jam ke 1 Lidokain 2% .413 32 .000 .670 32 .000

NaCl 0,9% .245 32 .000 .897 32 .005

VAS Jam ke 2 Lidokain 2% .479 32 .000 .527 32 .000

NaCl 0,9% .223 32 .000 .849 32 .000

a. Lilliefors Significance Correction

b. VAS Jam ke 24 is constant when Kelompok = Lidokain 2%. It has been omitted.

c. VAS Jam ke 24 is constant when Kelompok = NaCl 0,9%. It has been omitted.

Page 149: ari yudha sanjaya

Group Statistics

Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

VAS Jam ke 1 Lidokain 2% 32 4.00 5.742 1.015

NaCl 0,9% 32 10.06 5.041 .891

VAS Jam ke 2 Lidokain 2% 32 2.06 3.983 .704

NaCl 0,9% 32 5.25 3.902 .690

VAS Jam ke 24 Lidokain 2% 32 .00 .000a .000

NaCl 0,9% 32 .00 .000a .000

a. t cannot be computed because the standard deviations of both groups are 0.

NPar Tests Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

VAS Jam ke 1 Lidokain 2% 32 24.42 781.50

NaCl 0,9% 32 40.58 1298.50

Total 64

VAS Jam ke 2 Lidokain 2% 32 26.45 846.50

NaCl 0,9% 32 38.55 1233.50

Total 64

VAS Jam ke 24 Lidokain 2% 32 32.50 1040.00

NaCl 0,9% 32 32.50 1040.00

Total 64

Test Statisticsa

VAS Jam ke 1 VAS Jam ke 2 VAS Jam ke 24

Mann-Whitney U 253.500 318.500 512.000

Wilcoxon W 781.500 846.500 1040.000

Z -3.624 -2.851 .000

Asymp. Sig. (2-tailed) .000 .004 1.000

a. Grouping Variable: Kelompok

Page 150: ari yudha sanjaya

Regression

ANOVAb

Model

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 501.637 1 501.637 16.401 .000a

Residual 1896.300 62 30.585

Total 2397.938 63

a. Predictors: (Constant), Selisih Volume Cuff

b. Dependent Variable: VAS Jam ke 1

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients

B Std. Error Beta t Sig.

1 (Constant) 9.496 .921 10.310 .000

Selisih Volume Cuff -3.124 .771 -.457 -4.050 .000

a. Dependent Variable: VAS Jam ke 1

Coefficientsa

Model

95.0% Confidence Interval for B

Lower Bound Upper Bound

1 (Constant) 7.655 11.337

Selisih Volume Cuff -4.666 -1.582

a. Dependent Variable: VAS Jam ke 1

Page 151: ari yudha sanjaya

Curve Fit

Model Summary and Parameter Estimates

Dependent Variable:VAS Jam ke 1

Equation

Model Summary Parameter Estimates

R Square F df1 df2 Sig. Constant b1

Linear .209 16.401 1 62 .000 9.496 -3.124

The independent variable is Selisih Volume Cuff.

Page 152: ari yudha sanjaya

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 189.030 1 189.030 5.306 .025a

Residual 2208.908 62 35.628

Total 2397.938 63

a. Predictors: (Constant), Cuff Pressure akhir

b. Dependent Variable: VAS Jam ke 1

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients

B Std. Error Beta t Sig.

1 (Constant) -2.460 4.188 -.587 .559

Cuff Pressure akhir .474 .206 .281 2.303 .025

a. Dependent Variable: VAS Jam ke 1

Coefficientsa

Model

95.0% Confidence Interval for B

Lower Bound Upper Bound

1 (Constant) -10.831 5.911

Cuff Pressure akhir .063 .885

a. Dependent Variable: VAS Jam ke 1

Page 153: ari yudha sanjaya

Curve Fit

Model Summary and Parameter Estimates

Dependent Variable:VAS Jam ke 1

Equation

Model Summary Parameter Estimates

R Square F df1 df2 Sig. Constant b1

Linear .079 5.306 1 62 .025 -2.460 .474

The independent variable is Cuff Pressure akhir.

Page 154: ari yudha sanjaya

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 114.271 1 114.271 7.000 .010a

Residual 1012.167 62 16.325

Total 1126.438 63

a. Predictors: (Constant), Selisih Volume Cuff

b. Dependent Variable: VAS Jam ke 2

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients

B Std. Error Beta t Sig.

1 (Constant) 4.833 .673 7.182 .000

Selisih Volume Cuff -1.491 .564 -.319 -2.646 .010

a. Dependent Variable: VAS Jam ke 2

Coefficientsa

Model

95.0% Confidence Interval for B

Lower Bound Upper Bound

1 (Constant) 3.488 6.178

Selisih Volume Cuff -2.618 -.364

a. Dependent Variable: VAS Jam ke 2

Page 155: ari yudha sanjaya

Curve Fit

Model Summary and Parameter Estimates

Dependent Variable:VAS Jam ke 2

Equation

Model Summary Parameter Estimates

R Square F df1 df2 Sig. Constant b1

Linear .101 7.000 1 62 .010 4.833 -1.491

The independent variable is Selisih Volume Cuff.

Page 156: ari yudha sanjaya

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 37.924 1 37.924 2.160 .147a

Residual 1088.514 62 17.557

Total 1126.438 63

a. Predictors: (Constant), Cuff Pressure akhir

b. Dependent Variable: VAS Jam ke 2

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients

B Std. Error Beta t Sig.

1 (Constant) -.595 2.940 -.202 .840

Cuff Pressure akhir .212 .144 .183 1.470 .147

a. Dependent Variable: VAS Jam ke 2

Coefficientsa

Model

95.0% Confidence Interval for B

Lower Bound Upper Bound

1 (Constant) -6.471 5.281

Cuff Pressure akhir -.076 .501

a. Dependent Variable: VAS Jam ke 2

Page 157: ari yudha sanjaya

Curve Fit

Model Summary and Parameter Estimates

Dependent Variable:VAS Jam ke 2

Equation

Model Summary Parameter Estimates

R Square F df1 df2 Sig. Constant b1

Linear .034 2.160 1 62 .147 -.595 .212

The independent variable is Cuff Pressure akhir.