anestesi

23
BAB 1 PENDAHULUAN Bahasan mengenai nyeri selalu menjadi topik yang menarik yang berhubungan dengan berbagai kejadian penyakit, trauma, atau efek samping dari sebuah terapi. Nyeri menjadi gejala utama penyakit osteoartritis dengan keluhan nyeri mencapai 15,8 juta (12%) pada orang dewasa usia 25-74 tahun. Nyeri juga kerap menjadi keluhan pasien kanker dengan prevalensi nyeri diperkirakan sebesar 25% pada pasien yang baru didiagnosis, 33% pada pada pasien yang sedang menjalani terapi, dan 75% pada pasien stadium akhir. Sedangkan terkait terapi, pasien pascaoperasi sering mengeluhkan nyeri sebagai efek samping yang paling sering dialami dan ditakuti. 1 Nyeri dikatakan sebagai perasaan atau pengalaman emosional yang disebabkan atau berhubungan dengan terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Mekanisme dasar terjadinya nyeri dijelaskan dengan 4 proses yaitu transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Transduksi adalah proses di mana rangsangan noksius berupa suhu, mekanik, dan kimia diubah menjadi impuls saraf oleh reseptor nyeri atau nosiseptor. Transmisi yaitu proses penyampaian impuls saraf yang terjadi akibat adanya rangsangan di perifer ke pusat. Modulasi adalah proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan secara alami oleh tubuh dengan input nyeri yang masuk ke susunan saraf pusat (medulla spinalis dan otak). Analgesik endogen ini mampu menekan 1

description

paper

Transcript of anestesi

Page 1: anestesi

BAB 1

PENDAHULUAN

Bahasan mengenai nyeri selalu menjadi topik yang menarik yang berhubungan dengan

berbagai kejadian penyakit, trauma, atau efek samping dari sebuah terapi. Nyeri menjadi gejala

utama penyakit osteoartritis dengan keluhan nyeri mencapai 15,8 juta (12%) pada orang dewasa

usia 25-74 tahun. Nyeri juga kerap menjadi keluhan pasien kanker dengan prevalensi nyeri

diperkirakan sebesar 25% pada pasien yang baru didiagnosis, 33% pada pada pasien yang sedang

menjalani terapi, dan 75% pada pasien stadium akhir. Sedangkan terkait terapi, pasien

pascaoperasi sering mengeluhkan nyeri sebagai efek samping yang paling sering dialami dan

ditakuti.1

Nyeri dikatakan sebagai perasaan atau pengalaman emosional yang disebabkan atau

berhubungan dengan terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Mekanisme dasar terjadinya nyeri

dijelaskan dengan 4 proses yaitu transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Transduksi adalah

proses di mana rangsangan noksius berupa suhu, mekanik, dan kimia diubah menjadi impuls

saraf oleh reseptor nyeri atau nosiseptor. Transmisi yaitu proses penyampaian impuls saraf yang

terjadi akibat adanya rangsangan di perifer ke pusat. Modulasi adalah proses terjadinya interaksi

antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan secara alami oleh tubuh dengan input nyeri

yang masuk ke susunan saraf pusat (medulla spinalis dan otak). Analgesik endogen ini mampu

menekan impuls nyeri yang masuk ke medulla spinalis. Hasil akhir dari proses interaksi yang

kompleks tersebut adalah pengalaman emosional yang bersifat subjektif pada masing-masing

orang.1

Secara umum, nyeri dibedakan menjadi nyeri akut dan kronis. Nyeri akut merupakan

mekanisme pertahanan yang berlangsung kurang dari 6 bulan. Secara fisiologis terjadi perubahan

denyut jantung, frekuensi napas, tekanan darah, aliran darah perifer, tegangan otot, dan keringat

pada telapak tangan. Misalnya, nyeri pada pasien pascaoperasi dan trauma. Sedangkan nyeri

kronik adalah nyeri yang timbul secara perlahan-lahan dan biasanya berlangsung lebih dari 6

bulan. Misalnya, nyeri pada penderita kanker dan osteoartritis. Semua nyeri yang terjadi akan

memengaruhi kualitas hidup penderita dan pada pasien kanker atau pascaoperasi akan

menurunkan kemampuan dalam menjalani terapi untuk kembali sehat. Oleh karena itu,

diperlukan penatalaksanaan nyeri yang rasional untuk mengembalikan kualitas hidup penderita.1

1

Page 2: anestesi

Penatalaksanaan nyeri secara farmakologi dapat dilakukan dengan analgesia multimodal, yaitu

menggunakan kombinasi dua atau lebih obat analgetik yang memiliki mekanisme kerja yang

berbeda untuk mencapai efek analgetik yang maksimal tanpa dijumpainya peningkatan efek

samping dibandingkan dengan peningkatan dosis pada satu obat saja. Pemilihan analgesia

multimodal dapat dilakukan dengan penggunaan analgesik non-opioid seperti parasetamol

sebagai kombinasi dengan analgesik opioid seperti kodein untuk menurunkan tingkat intensitas

nyeri pada pasien yang mengalami nyeri sedang hingga berat.1

Obat analgesik non-opioid memiliki efek antiinflamasi dan antipiretik. Obat ini

menyebabkan penurunan nyeri yang bekerja pada ujung-ujung saraf perifer di daerah yang

mengalami cedera. Cara kerjanya adalah dengan menurunkan kadar mediator peradangan seperti

prostaglandin yang dibangkitkan oleh sel-sel yang mengalami cedera. Sedangkan obat analgesik

opioid dapat menurunkan nyeri, memberi efek kegembiraan, dan mengaktifkan penekanan nyeri

endogen pada susunan saraf pusat.2

Kombinasi parasetamol dan kodein sebagai analgesia multimodal terdapat pada produk

persembahan PT Kimia Farma Tbk, yaitu Coditam®. Produk ini dipamerkan pada acara Kongres

Nasional IV Persatuan Dokter Spesialis Bedah Umum Indonesia (PABI) - Pengembangan

Profesi Bedah Berkelanjutan (P2B2) XI 2014 di Hotel Trans Luxury, Bandung, 15-17 Mei 2014.

Kombinasi golongan non-opioid dan opioid lemah ini dipercaya mampu menghilangkan gejala

nyeri sedang hingga berat, seperti nyeri pascaoperasi, nyeri osteoartritis, nyeri sakit kepala, dan

nyeri kanker. Hasil penelitian oleh Gatoulis SC, et al (2012) menunjukkan bahwa pemberian

Coditam® yang merupakan kombinasi parasetamol 500 mg dengan kodein 30 mg secara sig-

nifikan lebih efektif mengatasi nyeri sakit kepala dan nyeri sakit gigi dibandingkan dengan

plasebo. Hasil studi oleh Zhang W, et al (2009), salah satunya adalah merekomendasikan

parasetamol dan analgesik opioid sebagai terapi untuk nyeri pada pasien osteoartritis pinggul dan

lutut.2

Penatalaksanaan nyeri juga dapat dilakukan secara nonfarmakologi, yaitu dengan terapi

fisik dan strategi kognitif-perilaku. Terapi fisik mencakup beragam bentuk simulasi kulit seperti

pijat, akupuntur, aplikasi panas dan dingin, serta olahraga. Sedangkan strategi kognitif-perilaku

ditujukan untuk mengubah persepsi pasien terhadap nyeri dengan cara relaksasi dan hipnotis.1,

2

Page 3: anestesi

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Multimodal analgesia adalah penggunaan lebih dari satu macam obat analgetik yang

memiliki mekanisme yang berbeda guna mendapatkan efek aditif dan sinergis dalam

upaya menurunkan efek samping yang berhubungan dengan penggunaan opioid daripada

digunakan sebagai monoterapi.5,6 Konsepnya adalah dengan menggunakan obat-obat

analgetik secara multiple yang memiliki cara kerja yang berbeda-beda (contohnya non-

opioid dikombinasikan dengan opioid) atau cara pemberian yang berbeda (contohnya

blok anestesi local dikombinasikan dengan analgetik sistemik).5

Gambar 2.1 Perjalanan nyeri dan terapi multimodal analgesia

Penggunaan obat-obatan nonopioid terbatas pada penggunaan untuk nyeri ringan

sampai sedang. Sedangkan analgetik narkotika efektif untuk nyeri berat. Terkadang,

untuk mencapai efek yang adekuat diperlukan penggunaan dalam dosis besar. Namun

3

Page 4: anestesi

penggunaan dosis yang besar diikuti oleh efek samping yang besar pula. Untuk

menghindari hal tersebut, dapat digunakan metode polifarmasi atau analgesia balans yang

menggunakan lebih dari satu jenis obat yang titik tangkapnya berbeda, sehingga dapat

dicapai efek yang adekuat dan efek samping yang minimal dari masing-masing obat

karena penggunaan dosis yang lebih kecil.

Garis besar terapi farmakologi untuk pengelolaan nyeri mengikuti “WHO Three Step

Analgesic Ladder”. Tiga langkah tangga analgesik menurut WHO untuk pengobatan

nyeri terdiri dari:

1. Tahap pertama dengan menggunakan abat analgetik nonopiat seperti NSAID atau COX2

spesific inhibitors.

2. Tahap kedua, diberikan obat-obat seperti pada tahap 1 ditambah opiat lemah misalnya

kodein.

3. Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiat yang lebih kuat.

WHO Three Step Analgesic Ladder

Pada dasarnya prinsip “Three Step Analgesic Ladder” dapat diterapkan untuk nyeri

kronik maupun nyeri akut, yaitu pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-

3, sedangkan pada nyeri akut mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1.3

2.2 JENIS OBAT

4

Page 5: anestesi

Secara garis besar, dibagi menjadi 2 jenis yaitu golongan analgesik sistemik dan

non sistemik.

Analgesik Sistemik

a. Opioid

Opioid adalah obat yang biasa digunakan sebagai analgesik pada pasien bedah

dan merupakan standar emas. Penekananan terhadap sistem pernafasan dapat terjadi pada

pemberian dosis tinggi dan sering terjadi saat dikombinasikan dengan benzodiazepine

Hipotensi setelah pemberian opioid dapat terjadi pada pasien dengan hipovolemia atau

pada pasien yang telah menunjukkan kolaps kardiovaskular.

Durasi analgesik dan toleransi terhadap efek samping dalam bentuk oral membuat

pemberian obat secara oral lebih dipilih. Pada pasien dengan kasus akut, pemberian obat

diberikan secara intravena dan epidural.

1. Morfin

Morfin adalah opioid yang paling dikenal dan sering digunakan. Dari segi harga

morfincukup terjangkau dan memiliki efek analgesik yang baik. Morfin memiliki

beberapametabolit aktif yang membutuhkan clearance ginjal dan penggunaannya pada

pasiendengan gagal ginjal akan meningkatkan resiko toksisitas dan efek samping. Selain

itumorfin juga berhubungan dengan pelepasan histamine yang menyebabkan

terjadinyapruritus.3Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya) meliputi

depresipernafasan, nausea, vomitus, dizzines, mental berkabut, disforia, pruritus,

konstipasikenaikkan tekanan pada traktus bilier, retensi urin, dan hipotensi.3 Kombinasi

analgetikopiate dengan alkohol atau depresan sistem saraf pusat yang lain akan

menguatkandepresi pernafasan dan berpotensi berbahaya menyebabkan kematian. Morfin

dapatmenyebabkan dilatasi vena dan arteriol sehingga dapat menyebabkan hipotensi

ortostatik.

2. Fentanil

Fentanil memiliki onset yang cepat dan durasi yang singkat, menyebabkan

dosisintermiten untuk kontrol nyeri berkelanjutan menjadi sebuah problema. Fentanil

diberikan kepada mereka yang memiliki alergi terhadap morfin dan tidak menimbulkan

pelepasan histamine. Fentanil tidak memiliki metabolit aktif yang membutuhkan

5

Page 6: anestesi

clearance dan aman digunakan pada pasien dengan gagal ginjal.Fentanil adalah zat

sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x morfin.Fentanilmerupakan opioid sintetik

dari kelompok fenilpiperedin. Lebih larut dalam lemak danlebih mudah menembus sawar

jaringan.3 Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonisopioid poten.Sebagai suatu

analgesik, fentanil 75-125 kali lebih poten dibandingkan dengan morfin. Awitan yang

cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dari

fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil (dan opioidlain) meningkatkan aksi

anestetik lokal pada blok saraf tepi. Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestesi

lokal yang lemah (dosis yang tinggi menekan hantaransaraf) dan efeknya terhadap

reseptor opioid pada terminal saraf tepi.Setelah suntikan intravena ambilan dan

distribusinya secara kualitatif hampir sama dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar

dirusak paru ketika pertama kalimelewatinya. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-

dealkilase dan hidrosilasidan,sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin.

Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 μg/kg BB

analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anastesia

pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 μg/kg BB digunakan untuk

induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi bensodioazepam

daninhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan

50mg/ml. Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat

dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar

gula,katekolamin plasma, ADH, rennin, aldosteron dan kortisol.

3. Tramadol

Tramadol merupakan analog sintetis kodein, dan memiliki efek analgesik sedang.

Obat ini satu-satunya yang bekerja pada dua mekanisme yang berbeda. Salah satu

metabolitnya memiliki afinitas yang rendah terhadap reseptor μ opioid tanpa

mempengaruhi reseptor delta dan kappa. Mekanisme kedua adalah inhibisi pengambilan

kembali neurotransmiter norepinefrin dan serotonin. Tramadol juga menyebabkan efek

samping berupa depresi napas dan sedasi bila diberikan bersamaan dengan opioid lain

sebagai terapi nyeri post operasi. Dosis yang diberikan 50 mg single dose, dapat

ditambahkan 50 mg dalam selang waktu 30 – 60 menit. Dosis maksimum pemberian 400

6

Page 7: anestesi

mg per hari. Pada penderita gangguan ginjal dengan clearance creatinin <30 ml/menit 50

– 100 mg per 12 jam, maksimal 200 mg per hari.

Tabel 1. Rekomendasi Program Opioid untuk PCA Intravena

Drugs Bolus Lockout

interval (menit)

Continous rate

Morfin (1mg/ml) 0,5-2,5 mg 5-10 0,01-0,03

mg/kg/jam

Fentanyl (10μg/ml) 10-20 μg 4-10 0,5-1 μg/kg/jam

Alfentanyl (0,1mg/ml) 0,1-0,2 mg 5-8 -

Sufentanyl (0,002mg/ml) 2-5 μg 5-10 0-8 μg/kg/jam

Meperidine (10mg/ml) 5-25 mg 5-10 10 mg/jam

Tramadol (10mg/ml) 10-20 mg 5-10 10-20 mg/jam

b. Non Opioid

1. Asetaminofen

Asetaminofen merupakan terapi awal untuk nyeri ringan sampai sedang dan

sebagaiadjunct pada kasus nyeri yang lebih berat. Ketika obat ini dikombinasikan

denganopioid akan memiliki efek yang lebih kuat dibandingkan dengan pemberian

opioddalam dosis tunggal.7Obat ini memiliki khasiat analgesik dan antipiretik yang baik,

namun tidakmemiliki efek anti inflamasi. Mekanisme aksinya menghambat

prostaglandin, tetapitarget aksi sebenarnya yang membedakannya dengan NSAID yang

lain masih menjadiperdebatan. Ia dikatakan bekerja secara spesifik pada enzim

siklooksigenase (COX)-3yang berada di sistem saraf pusat, sehingga efeknya terhadap

COX-1 dan COX-2perifer relative rendah. Dengan mekanismenya itu, ia menghambat

pembentukanprostaglandin secara sentral, namun tidak di jaringan, sehingga kurang

berefek sebagaianti-inflamasi. Hal ini juga yang menyebabkan parasetamol tidak berefek

buruk padalambung karena tidak menghambat sintesis prostaglandin yang dibutuhkan

untukproteksi lambung. Namun, pada dosis besar (6-12g) dapat menyebabkan

kerusakanhati karena terbentuknya metabolit toksik yaitu N-acetyl-p-benzoquinoneimine

(NAPQI). Pada paparan paracetamol yang melebihi dosis, jumlah dan kecepatan

pembentukan NAPQI melebihi kapasitas hati dan ginjal untuk mengisi ulang

7

Page 8: anestesi

cadanganglutation yang diperlukan untuk mendetoksikasinya. Karena itu penggunaannya

harusdibatasi maksimal 4g/24 jam (setara dengan 8 tablet @500mg). Paracetamol

dapatmerusak hati, maka bila ditambah dengan mengkonsumsi alkohol secara berlebihan

maka akan mempercepat terjadinya kerusakan hati.5,7

2. NSAID

NSAID efektif dalam menangani nyeri terutama yang melibatkan inflamasi.

NSAID menghambat enzim cyclooxygenase (COX) dan memberikan efek analgesik

danantiinflamasi. Selain bekerja di perifer, NSAID juga bekerja di sentral pada otak

ataumedulla spinalis memberikan efek analgesik. 5,6,7 NSAID merupakan inhibitor

kuatsintesis prostaglandin. Kerjanya yaitu mencegah enzim cyclooxygenase (COX)

untukmensintesa prostaglandin. Prostaglandin yang sudah terbentuk tidak terpengaruh

olehobat ini. Prostaglandin sebenarnya bukan merupakan mediator nyeri yang

penting,tetapi dapat menyebabkan hiperalgesia melalui sensitisasi nosiseptor perifer

terhadapberbagai jenis mediator nyeri dan radang seperti somatostatin, bradikinin, dan

histamin.

Terdapat 2 isoform COX yang telah dikenali. COX-1 diekspresikan pada seluruh

jaringan dalam kondisi fisiologis, sementara COX-2 diinduksi oleh mediatorradang

dalam kondisi patologis. Penghambatan terhadap COX-1 sering dikaitkandengan

terjadinya efek samping NSAID, sedangkan efek anti radang adalah sebagai akibat dari

penghambatan COX-2.6

Terdapat beberapa efek samping dari penggunaan NSAID. Efek sampingtersebut,

antara lain:

- Diare, perdarahan gastrointestinal

- Dispepsia, peptic ulcer

- Disfungsi dan gagal ginjal (nekrosis papiler akut, nefritis interstialkronis, penurunan

aliran darah ginjal, penurunan kecepatan filtrasiglomerulus, retensi air dan garam.

- Penghambatan agregasi platelet dan peningkatan waktu pendarahan

- Gangguan fungsi hati, jaundice

- Menghambat perbaikan tulang rawan pada osteoartirtis.

8

Page 9: anestesi

NSAID sebaiknya digunakan sebagai obat lini pertama untuk mengobati

nyeriringan dan sedang dan harus dikombinasi dengan opioid, bila tidak ada

kontraindikasi,pada nyeri yang lebih berat. Beberapa peneliti melaporkan kombinasi

NSAID denganopioid menurunkan kejadian dan tingkat keparahan efek samping dari

penggunaanopioid. Peneliti lain melaporkan adanya peningkatan analgesia dan

penurunan efeksamping bila NSAID dikombinasi dengan opioid intratekal.7 Obat ini

perlu mendapatperhatian pada penggunaannya pada sakit dan trauma akut karena obat

inimelemahkan fungsi ginjal dan platelet dan menyebabkan perdarahangastrointestinal.5,7

Risiko terjadinya efek samping pada penggunaan NSAIDmeningkat bila dikombinasikan

dengan beberapa obat seperti penggunaan bersamadiuretik pada pasien insufisiensi ginjal

kronis, penggunaan bersama steroid, Coumadinatau heparin.6,7

Tempat kerja NSAID yang utama diyakini berada di perifer meskipun barubaruini

penelitian menunjukkan bahwa penghambatan siklooksigenase-pusat 2 (COX-2) juga

mungkin memainkan peran penting dalam modulasi nosisepsi. NSAIDmenghambat

sintesis prostaglandin baik di sumsum tulang belakang dan di perifer,sehingga

mengurangi keadaan hyperalgesic setelah bedah trauma. NSAID bergunasebagai

analgesik tunggal setelah prosedur bedah minor dan mungkin memilikiopioid-sparing

effect yang signifikan setelah operasi besar.NSAID sangat berguna dalam mengurangi

jumlah opioid yang dibutuhkanoleh pasien dan dengan demikian dapat mengurangi efek

samping opioid. NSAID jugamemainkan peranan penting sebagai adjuvant pada obat

lain, seperti analgesiaepidural, dan ketorolac IV dapat diberikan sebagai analgesia

preemptif.

Ketorolac Trometamin adalah obat non-steroid anti-inflamasi (NSAID)

yangbekerja pada cyclooxigenase menghambat sintesis prostaglandin dan dapat

dianggapsebagai analgesik yang kuat, baik perifer dan sentral, selain memiliki efek

antiinflamasidan antipiretik, ketorolac dapat mengurangi nyeri ringan sampai nyeri

beratpada kasus-kasus darurat, nyeri musculosceletal, pasca operasi kecil atau besar,

dannyeri kanker pada orang dewasa atau anak-anak. Ketorolac memiliki khasiatanalgesik

setara dengan morfin atau pethidin. Efek analgesik awal ketorolac mungkinlebih lambat,

namun durasi lebih lama dari opioid. Dosis ketorolac yang biasadigunakan adalah 30 mg

diberikan secara intravena. Kombinasi terapi ketorolac danopioid dapat mengurangi 25-

9

Page 10: anestesi

50% dari kebutuhan opioid dan secara tidak langsungmenurunkan efek samping opioid

seperti ileus, mual, dan muntah, normalisasi fungsisaluran pencernaan lebih cepat dan

tinggal di rumah sakit lebih pendek.6,7

Formulasi parenteral ketorolak trometamin telah tersedia selama bertahun-

tahundan saat ini hanya NSAID intravena yang digunakan untuk pengobatan nyeripasca

operasi muncul di Amerika Serikat. Sebuah rute baru pemberian ketorolacmelalui

intranasal semprot. Dalam sebuah studi double-blind placebo-dikontrol, pasienmenjalani

operasi besar (abdomen atau ortopedi) menerima 30mg ketorolac, 10mgketorolac, atau

plasebo semprot pada pemulihan dari anestesi umum. Semua pasien kemudian

menggunakan Patient Control Analgesia (PCA) morfin untuk 40 jamberikutnya.

Konsumsi morfin selama 24 jam awal berkurang pada kelompok ketorolac30mg (37,8

mg) dibandingkan dengan kelompok plasebo (56.5mg) dan kelompokketorolak 10mg

(54.3mg). Pengurangan nyeri selama 6 jam pertama pasca operasilebih tinggi pada

kelompok ketorolak 30mg dibandingkan plasebo. Efek samping yangmuncul terkait

pemberian opioid, seperti mual atau pruritus, tidak berbeda antaraketiga kelompok. Di

Eropa, Penggunaan intravena acetaminophen digunakan sebagailandasan analgesia

perioperatif multimoda.5,6,7

COX-2-selektif inhibitor memiliki keuntungan lebih dibandingkan NSAIDpada

perioperatif dimana COX-2-selektif inhibitor tidak meningkatkan risikoperdarahan. Satu

kelompok pasien menjalani artroplasti lutut total di bawah anestesispinal yang

menggunakan COX-2-selektif inhibitor celecoxib 200mg pada 1 jamsebelum operasi dan

setiap jam 12 selama 5 hari. Kelompok yang lainnya menerimaplasebo pada titik waktu

yang sama. Selama 24 jam pertama, penggunaan morfin PCAberkurang pada kelompok

celecoxib (15,1 mg) dibandingkan kelompok plasebo (19,7mg). Selama periode 48 jam,

skala analog visual (VAS) skor nyeri pada sisanya lebihrendah pada kelompok celecoxib

dibandingkan kelompok plasebo. Celecoxib jugameningkatkan jangkauan gerak lutut

selama 3 hari pertama pasca operasi. Insidenmual dan muntah pasca operasi (PONV)

tidak berbeda pada kedua kelompok.5,6

10

Page 11: anestesi

Menit Ke - 1 Menit Ke 3 Menit Ke - 5 Menit Ke - 15

Menit Ke - 30

Menit Ke - 60

0

1

2

3

4

5

6

7

8

OpioidNSAID

Grafik 1. Perbedaan Pengaruh Analgesia Post operatif Jenis Opioid dan NSAID

Rafiqul Hasan Khan dkk, membandingkan ketorolak, diklofenak dan tramadol sebagai

analgesik preemptif pada operasi laparoskopi kolesistektomi, penelitian tersebut dilakukan

dengan melihat penggunaan ketiga obat tersebut pre dan paska bedah, hasil yang didapatkan

adalah pengurangan skala nyeri pada pasien serta pengurangan dosis petidin yang perlu diberikan

pada pemberian ketorolak dan tramadol7.

Non Analgesik Pre Operatif 1 jam Post Operatif

24 jam Post Operatif

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

Tramadol 50 mgKetorolac 30 mgDiclofenac 25 mg

Grafik 2. Perbedaan Pengaruh Pemberian Analgesia Pada Pasien Pre dan Post Operatif

11

Page 12: anestesi

Studi yang dilakukan oleh Aldreyn, Medan, membandingkan ketorolak 30 mg dan

deksketoprofen 50 mg intra vena sebagai preventif analgesi mendapatkan hasil bahwa pemberian

ketorolak 60 mg (dua kali pemberian) baru menyamai efektifitas deksketoprofen 50 mg11. Tapi

kenaikan dosis pemberian ketorolak akan meningkatkan resiko terjadinya gangguan pada

hemostasis dan ginjal7.

Kombinasi fentanyl dan placebo dengan ketorolac 60 mgtelah dilakukan oleh Douglas J

Reinhart, Michael E Goldgerg, Jonathan V Roth, dkk, dengan dosis tergantung pada berat badan

dan kebutuhan penggunaan ketorolak. Kemudian dilakukan penilaian nyeri menggunakan visual

analogue score (VAS) pada pre dan post operatif yang mendapatkan hasil bahwa kombinasi

keduanya lebih baik dari ketorolak sendiri atau pun fentanyl sendiri19. Kombinasi obat AINS

jenis yang lain, deksketoprofen, dengan fentanyl pada pasien operasi ginekologi yang dilakukan

pembiusan spinal. Didapatkan bahwa nyeri paska bedah yang dinilai dengan VAS pada saat diam

dan bergerak terjadi perbaikan nilai VAS5.

Non Analgesik Pre Operatif 1 Jam Post Operatif

24 jam Post Operatif

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

KetorolakFentanyl + KetorolakPlacebo + Ketorolak

Grafik 3. Perbedaan Pengaruh Single Analgesia dan Combine Analgesia Pada Pasien Pre

dan Post Operatif

12

Page 13: anestesi

Studi yang dilakukan oleh Anthony, untuk mengetahui efek pemberian ketorolak 30 mg IV

perioperative yang disusul dengan pemberian kombinasi Fentanyl dan Ketorolac secara drip IV

sebagai analgesia mendapatkan hasil bahwa pemberian pada dosis tersebut memberi efek

analgesik jangka panjang yang cukup baik dan efeknya dapat mengurangi pemberian morfin dan

pethidin serta penurunan skala nyeri dengan metode VAS (Visual Analaog Score) pada operasi –

operasi laparatomi eksplorasi dengan tindakan reseksi ataupun cholesistektomi. Tapi harus di

waspadai pada pasien dengan gangguan pada hemostasis dan ginjal sehingga diperlukan

monitoring khusus pada pasien – pasien tersebut7.

Pre Operatif 1 jam Post Operatif

12 jam Post Operatif

24 jam Post Operatif

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

Ketorolak IV + Fentanyl & Ketorolak dripColumn1Column2

Grafik 4. Efek Pemberian Multimodal Analgesia dengan Pemberian Adekuat dan Persisten

pada Pasien Perioperatif

13

Page 14: anestesi

BAB III

KESIMPULAN

Nyeri merupakan masalah yang luas dan merupakan gejala umum yang sering dikeluhkan

oleh pasien. Baik komponen fisiologi dan psikologi akan mempengaruhi seberapa banyak nyeri

tersebut akan dirasakan dan bagaimana seseorang akan bereaksi terhadap nyeri. Menurut

International Association For The Study of Pain (IASP) nyeri adalah pengalaman sensoris dan

emosional yang tidak menyenangkan, yang tejadi karena adanya kerusakan jaringan atau

ancaman kerusakan jaringan.

Pemahaman tentang patofisiologi terjadinya nyeri sangatlah penting sebagai landasan

menanggulangi nyeri yang diderita oleh penderita. Secara garis besar penghantaran nyeri

melibatkan proses transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Berbagai cara dapat dilakukan

untuk menilai nyeri, diantaranya dengan Verbal Rating Scale, Numerical RatingScale, Visual

Analogue Scale, dan McGill Pain Questionnaire. Pengobatan yang direncanakan untuk

menanggulangi nyeri harus diarahkan kepada proses penyakit yang mendasarinya untuk

mengendalikan nyeri tersebut.

Multimodal analgesia adalah penggunaan lebih dari satu macam obat analgetik yang

memiliki mekanisme yang berbeda guna mendapatkan efek aditif dan sinergis dalam upaya

menurunkan efek samping yang berhubungan dengan penggunaan opioid daripada digunakan

sebagai monoterapi. Penggunaan teknik analgesia multimodal memberikan beberapa manfaat

bagi pasien dan sistem kesehatan diantaranya dapat mengurangi efek samping (seperti mual dan

muntah, konstipasi, retensi urin), mencegah nyeri akut menjadi nyeri kronik, mempercepat

pemulihan pasien, dan memperpendek lama tinggal di rumah sakit.

14

Page 15: anestesi

DAFTAR PUSTAKA

1. Candiotti, K. Gitun, M.C, Ciliberti, M.M. 2011. Opioid Adjuvant For Multimodal Pain

Management. Anasthesiology News

2. Elvir-Lazo OL, White PF. Postoperative pain management after ambulatorysurgery: role

of multimodal analgesia. Anesthesiol Clin 2010; 28:217–224.

3. Charlton, ED. 2009. Post Operative Pain Management. World Federation of Societies

of Anaesthesiologists. Diunduh pada tanggal 7 Juni 2015. Dikutip dari

http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u07/u07_009.html

4. Setiawan, I. Oktaliansah,E. Boom, C.E. 2014. Perbandingan Pemulihan Bising Usus

pada Pasien Pascaoperasi Histerektomi per Laparotomi Menggunakan Analgetik

Kombinasi Ketamin-Morfin dengan Morfin Intravena. Bandung : Departemen

Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah

Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

5. Yudhowibowo, I.I, Satoto, H.H, Sasongko, H. 2011. Obat – Obat Anti Nyeri Vol. III

Nomor 3.Jurnal Anastesiologi Indonesia : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK

Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

6. Pasero, C; Stannard,D. 2012. The Role of Intravenous Acetaminophen in Acute Pain

Management. Medscape : Diunduh pada tanggal 8 Juni 2015.

http://www.medscape.com/viewarticle/764841_3Baldini G, Carli F. Anesthetic and

adjunctive drugs for fast-track surgery. Curr Drug Targets 2009; 10:667–686.

7. White PF, Kehlet H, Neal JM, et al. Role of the anesthesiologist in fast-track Surgery:

from multimodal analgesia to perioperative medical care. Anesth Analg 2007; 104:1380–

1396.

15