anestesi

20
Kurva disosiasi hemoglobin-oksigen adalah ilustrasi kepada hubungan antara kadar saturasi hemoglobin (percent saturation of hemoglobin) dengan tekanan parsial oksigen. Tekanan parsial oksigen merupakan faktor penting dalam menentukan kuantitas oksigen yang berikatan dengan hemoglobin. Semakin tinggi tekanan parsial oksigen maka semakin banyak oksigen yang berikatan dengan hemoglobin. Apabila hemoglobin yang tereduksi (reduced hemoglobin) ditukar sepenuhnya kepada oxyhemoglobin, maka hemoglobin dikatakan sebagai tersaturasi penuh (Tortora dan Derickson, 2006). Kadar saturasi hemoglobin adalah saturasi rata-rata hemoglobin yang berikatan dengan oksigen. Sebagai contoh, jika dua molekul oksigen yang berikatan dengan satu molekul hemoglobin, maka disebut kadar saturasi oksigen adalah 50%, karena satu molekul hemoglobin bisa mengikat 4 molekul oksigen (Tortora dan Derickson, 2006). Pada kondisi normal, darah arteri memasuki jaringan-jaringan tubuh dengan tekanan parsial oksigen 95 mmHg dan saturasi hemoglobin yang melebihi 97%. Aliran balik vena daripada jaringan pula mempunyai tekanan oksigen sebesar 40 mmHg dengan saturasi hemoglobin 75-80% (Hillman, Ault dan Rinder, 2005). Walaupun tekanan parsial oksigen merupakan faktor yang penting dalam menentukan kadar saturasi hemoglobin, terdapat beberapa faktor lain yang juga mempengaruhi afinitas hemoglobin terhadap oksigen.

description

anestesi

Transcript of anestesi

Page 1: anestesi

Kurva disosiasi hemoglobin-oksigen adalah ilustrasi kepada hubungan antara kadar

saturasi hemoglobin (percent saturation of hemoglobin) dengan tekanan parsial oksigen.

Tekanan parsial oksigen merupakan faktor penting dalam menentukan kuantitas oksigen yang

berikatan dengan hemoglobin. Semakin tinggi tekanan parsial oksigen maka semakin banyak

oksigen yang berikatan dengan hemoglobin.

Apabila hemoglobin yang tereduksi (reduced hemoglobin) ditukar sepenuhnya kepada

oxyhemoglobin, maka hemoglobin dikatakan sebagai tersaturasi penuh (Tortora dan Derickson,

2006). Kadar saturasi hemoglobin adalah saturasi rata-rata hemoglobin yang berikatan dengan

oksigen. Sebagai contoh, jika dua molekul oksigen yang berikatan dengan satu molekul

hemoglobin, maka disebut kadar saturasi oksigen adalah 50%, karena satu molekul hemoglobin

bisa mengikat 4 molekul oksigen (Tortora dan Derickson, 2006). Pada kondisi normal, darah

arteri memasuki jaringan-jaringan tubuh dengan tekanan parsial oksigen 95 mmHg dan saturasi

hemoglobin yang melebihi 97%. Aliran balik vena daripada jaringan pula mempunyai tekanan

oksigen sebesar 40 mmHg dengan saturasi hemoglobin 75-80% (Hillman, Ault dan Rinder,

2005). Walaupun tekanan parsial oksigen merupakan faktor yang penting dalam menentukan

kadar saturasi hemoglobin, terdapat beberapa faktor lain yang juga mempengaruhi afinitas

hemoglobin terhadap oksigen.

Faktor-faktor ini akan memberikan dampak terhadap kurva disosiasi hemoglobin-

oksigen secara keseluruhan dengan menyebabkan kurvanya bergeser ke arah kiri (afinitas

meningkat) atau ke arah kanan (afinitas berkurang). Faktor-faktor tersebut adalah keasaman

(pH), tekanan parsial karbon dioksida dan zat 2,3-diphosphoglycerat (2,3- DPG) (Tortora dan

Derickson, 2006). Saat pH darah menurun, kurva disosiasi hemoglobin-oksigen akan bergeser

ke kanan, menunjukkan bahawa hemoglobin kurang tersaturasi walaupun berada di tekanan

parsial oksigen tinggi.

Perubahan ini dinamakan sebagai Borh effect, dimana hemoglobin bertindak sebagai

buffer. Borh effect berkerja dengan kedua-dua cara yaitu; peningkatan ion H+ dalam darah akan

menyebabkan oksigen terlepas dari hemoglobin, dan oksigen yang berikatan dengan

hemoglobin akan menyebabkan ion H+ terlepas dari hemoglobin. Apabila produksi asam

metabolit (asam laktat dan asam karbonat) dan CO2 Karbon dioksida memiliki sifat asam.

Page 2: anestesi

Maka, apabila ia berikatan hemoglobin, akan terjadi dampak yang sama pada kurva disiosiasi

(kurva begeser ke kanan).

Pada kondisi tekanan parsial karbon dioksida jaringan meningkat, keasaman darah akan

meningkat lalu terjadinya asidosis yang menyebakan kurva disosiasi bergeser ke kanan. Maka,

afinitas hemoglobin terhadap oksigen melemah, menyebabkan oksigen senang terlepas daripada

hemoglobin dan masuk ke jaringan (Tortora dan Derickson, 2006). 2,3-diphosphoglycerat (2,3-

DPG) adalah bahan yang terdapat di dalam sel darah merah yang berfungsi untuk menurunkan

afinitas hemoglobin terhadap oksigen, lalu membantu pelepasan oksigen daripada hemoglobin.

2,3-DPG diproduksi di dalam sel darah merah dan ia merupakan hasil daripada proses glikolisis,

yaitu pemecahan glukosa untuk menghasilkan adenosine triphosphate, ATP (Tortora dan

Derickson, 2006). Produksi 2,3- DPG akan meningkat apabila terjadinya desaturasi hemoglobin

seperti hipoksia, gagal jantung atau anemia (Hillman, Ault dan Rinder, 2005). meningkat,

hemoglobin akan lebih mudah untuk melepaskan oksigen.

Tekanan parsial karbon dioksida dan pH darah merupakan faktor yang terkait karena pH

darah yang rendah (keasaman) adalah pengaruh dari peningkatan tekanan parsial karbon

dioksida. Maka, peningkatan tekanan parsial karbon dioksida akan menyebabkan kurva

disiosiasi bergeser ke kanan (Tortora dan Derickson, 2006). Peningkatan intaselular 2,3-DPG

akan menyebabkan kurva disosiasi bergeser ke kanan dan menyediakan mekanisme kompensasi

yang bagus untuk anemia kronis dan hipoksia. Metabolisme 2,3-DPG juga dipengaruhi oleh

asidosis atau alkalosis sistemik

Perubahan awal berupa pergeseran kurva disosiasi ke kanan pada pasien asidosis akan

diperbaik dalam batas waktu 12-36 jam seterusnya berupa pengurangan kadar 2,3-DPG. Maka,

Bohr effect akan dibalikkan oleh kadar 2,3-DPG yang rendah dan menyebabkan kurva disosiasi

kembali menjadi normal (Hillman, Ault dan Rinder, 2005). Selain itu, terdapat satu lagi kondisi

yang bisa mempengaruhi kurva disosiasi hemoglobin-oksigen yaitu hipoksia. Salah satu

penyebab hipoksia adalah peningkatan kadar saturasi karbon monoksida,CO darah. Pada kondisi

hipoksia yang disebabkan oleh peningkatan kadar CO, kurva disosiasi akan mengalami

pergeseran ke kiri akibat dari terbentuknya carboxyhemoglobin.

Page 3: anestesi

Pergeseran kurva disosiasi ke kiri akan meningkatkan afinitas daripada hemoglobin

terhadap oksigen dan menyebabkan lebih sedikit kadar oksigen yang dihantar ke jaringan

(Braunwald, 2005)

  Hubungan Disosiasi dengan Hemoglobin

Hemoglobin adalah molekul protein pengangkut oksigen yang mengandung besi dalam sel

merah yang terdapat dalam darah mamalia dan hewan lainnya. Molekul hemoglobin terdiri dari

globin, apoprotein, dan empat gugus heme, suatu molekul organik dengan satu atom besi. Untuk

dapat memahami proses respirasi dengan jelas maka harus diketahui afinitas oksigen terhadap

hemoglobin karena suplai oksigen untuk jaringan dan pengambilan oksigen oleh paru-paru

sangat tergantung pada hubungan tersebut.

Kurva disosiasai oksigen adalah kurva yang menggambarkan hubungan antara saturasi oksigen

atau kejenuhan hemoglobin terhadap oksigen dengan tekanan parsial oksigen pada ekuilibrium

yaitu pada keadaan suhu 37oC, pH 7.40 dan Pco2 40 mmHg.

Page 4: anestesi

Kurva oksihemoglobin tergeser kekanan apbila pH darah menurun atau PC02 meningkat.

Dalam keadaan ini pada P02 tertantu afinitas hemoglobin terhadap oksigen berkurang

sehingga oksigen dapat ditranspor oleh darah berkurang. Pergaseran kurva sedikit kekanan

akan membantu pelepasan oksigen kejaringan-jaringan. Pergeseran ini dikenal dengan nama

Efek bohr.

Sebaliknya, penigkatan pH darah (alkalosis) atau penurunan PCO2, suhu, dan 2,3- DPG

akan menyebabkan pergeseran kurva disosiasi oksihomoglobin kekiri. Pergeseran kekiri

menyebabkan peningkatan afinitas hemoglobin terhadap oksigen. Akibatnya uptake oksigen

dalam paru-paru meningkat apabila terjadi pergaseran kekiri, tetapi pelepasan oksigen ke

jaringan-jaringan terganggu.

Kurva Disosiasi Oksigen yang berbentuk sigmoid ini secara fisiologis menguntungkan

karena bagian puncak kurva yang mendatar memungkinkan jumlah oksigen arteri tetap

tinggi dan stabil walaupun terjadi perubahan tekanan parsial oksigen. Sebaliknya bagian

tengah dari kurva yang terlihat curam memungkinkan penglepasan oksigen dengan mudah

pada perubahan tekanan parsial oksigen yang kecil.

Page 5: anestesi

Efek Bohr

Efek Bohr pertama kali dijabarkan oleh ilmuwan Denmark bernama Christian Bohr. Beliau

menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi proton dan/atau CO2 akan menurunkan daya serap

hemoglobin terhadap oksigen. Peningkatan rasio plasma CO2 juga akan menurunkan pH darah

oleh karena sifat antagonis antara proton dan karbondioksida. Peningkatan CO2 ini akan

mempengaruhi kurva oksigen terlarut dalam darah. Pergeseran kurva ke sebelah kanan berarti

suatu pengurangan dalam afinitas dari hemoglobin untuk oksigen. Efek fasilitas transport

oksigen seperti hemoglobin membungkus oksigen di dalam paru-paru, tetapi kemudian

melepaskan ke jaringan-jaringan yang paling membutuhkan oksigen. Ketika jaringan tersebut

metabolismnya meningkatan, produksi karbon dioksidanya pun meningkat. Karbon dioksida

dengan cepat dijadikan molekul bikarbonat dan proton asam oleh enzim karbonik anhydrase. Hal

ini menyebabkan pH jaringan menurun dan juga meningkatkan oksigen terlarut dari hemoglobin,

memperbolehkan jaringan tersebut memperoleh oksigen yang cukup sesuai kebutuhannya. Kurva

disosiasi bergeser ke kanan ketika karbon dioksida atau konsentrasi ion hydrogen meningkat.

Efek Root

Efek Root didefinisikan sebagai penurunan kadar oksiden dalam darah, pada saat pH darah

menurun. Efek Root hanya dapat ditemukan pada ikan teleost (kecuali Amia calva) dan pada

tingkatan Hb. Efek Root ini dapat dikatakan sebagai lanjutan dari efek Bohr. Dasar lengkap

mengenai efek Root masih belum terpecahkan. Secara pisiologi, implikasi mengenai transportasi

gas pada efek Root sangat berbeda dibandingkan dengan efek Bohr. Hal ini dikarenakan angka

kecepatan O2 dari Hb ke mata dan sirip. Dengan demikian, karakteristik Hb dan bentuk sistem

laju dalam ikan teleost membentuk perkalian O2 yang tidak ada bandingnya di kerajaan bintang

dan mampu membagkitkan tekanan darah hampir 20 kali dibandingkan dalam arteri darah.

 2. NMDA

N-Methyl-D-aspartic acid or N-Methyl-D-aspartate (NMDA) is an amino acid derivative

that acts as a specific agonist at the NMDA receptor mimicking the action of glutamate,

the neurotransmitter which normally acts at that receptor. Unlike glutamate, NMDA only binds

to and regulates the NMDA receptor and has no effect on other glutamate receptors (such as

Page 6: anestesi

those for AMPA and kainate). NMDA receptors are particularly important when they become

overactive during withdrawal from alcohol as this causes symptoms such as agitation and,

sometimes, epileptiform seizures.

BIOOGICAL OF NMDA

NMDA is a water-soluble synthetic substance that is not normally found in biological

tissue. It was first synthesized in the 1960s. NMDA is an excitotoxin (it kills nerve cells by over-

exciting them); this trait has applications in behavioral neuroscience research. The body of work

utilizing this technique falls under the term "lesion studies". Researchers apply NMDA to

specific regions of an (animal) subject's brain or spinal cord and subsequently test for the

behavior of interest, such as operant behavior. If the behavior is compromised, it suggests the

destroyed tissue was part of a brain region that made an important contribution to the normal

expression of that behavior.

However, in lower quantities NMDA is not neurotoxic. In fact, normal operation of the NMDA

receptor allows individuals to respond to excitatory stimuli through the interrelated functioning

of NMDA receptors, glutamate, and dopamine.

Therefore the action of glutamate specifically through NMDA receptors can be investigated by

injecting small quantities of NMDA into a certain region in the brain: for example, injection of

NMDA in a brainstem region induces involuntary locomotion in cats and rats.

The mechanism of stimulating NMDA receptor is a specific agonist-binding to its NR2 subunits,

and then a non-specific cation channel is opened, which can allow the passage of Ca 2+ and

Na+ into the cell and K+ out of the cell. The excitatory postsynaptic potential (EPSP) produced by

activation of an NMDA receptor also increases the concentration of Ca2+ in the cell. The Ca2+ can

in turn function as a second messenger in various signaling pathways.[2][3][4][5] This process is

modulated by a number of endogenous and exogenous compounds and plays a key role in a wide

range of physiological (e.g. memory) and pathological processes (e.g.Excitotoxicity)

Reseptor NMDA adalah rangsang, reseptor tetrameric dengan dua kelas subunit: NR1 dan NR2

yang mengikat glisin atau glutamat. Disregulasi reseptor NMDA telah dikaitkan dengan

skizofrenia, Alzheimer dan Parkinson. 7 Pada ensefalitis reseptor NMDA, antibodi reseptor

NMDA menurunkan kepadatan permukaan reseptor NMDA dan lokalisasi sinaptik melalui

selektif capping antibodi-mediated dan internalisasi reseptor NMDA permukaan. 8 Oleh karena

itu, obat-obatan seperti ketamin, metadon, dan obat inhalasi nitrous oxide (N2O), yang bertindak

pada reseptor NMDA, mungkin berperilaku tak terduga.

Page 7: anestesi

nmda

Reseptor NMDA adalah salah satu dari dua reseptor (bersama dengan gamma-aminobutyric acid

[GABAA] paling terkait dengan tindakan anestesi. Halogenasi anestesi bertindak pada reseptor

NMDA, mengurangi arus NMDA-diaktifkan;. Namun, efeknya pada reseptor GABA mungkin

dominan . reseptor NMDA mungkin memediasi efek anestesi dari kedua xenon dan N2O. Xenon

telah terbukti mengurangi arus NMDA-diaktifkan di hipokampus neuron. N2O mengurangi

NMDA arus rangsang reseptor-mediated dalam amigdala basolateral, sebuah daerah yang terkait

dengan anestesi yang diinduksi amnesia, pembentukan kenangan permusuhan, ketakutan, dan

perilaku adiktif.

Phencyclidine dan ketamin dikenal antagonis reseptor NMDA. Ketamine memberikan efek

analgesik dan anestesi tanpa depresi pernafasan dan jantung. Ketamin mengikat ke situs

pengikatan phencyclidine dalam saluran ion dari reseptor NMDA, menghambat glutamat

memicu masuknya kalsium.

17 tikus knockout NR2 telah terbukti tahan terhadap efek anestesi dari berbagai obat, termasuk

yang dikenal untuk bertindak pada reseptor NMDA seperti ketamin dan N2O, tetapi juga (pada

tingkat lebih rendah) untuk orang-orang dengan aksi utama pada reseptor GABA termasuk

pentobarbital, propofol, diazepam dan midazolam. Temuan ini tak terduga dan menunjukkan

bahwa reseptor NMDA mungkin memainkan beberapa peran tidak langsung dalam obat ini

tindakan in vivo. 18,19, Kemiripan pasien ini kepada mereka yang mengambil ketamin sangat

mirip (halusinasi, psikosis, takikardia) dan penyakit ini dapat berfungsi sebagai model manusia

alami untuk banyak fisiologi ketamin. Atau, ada kemungkinan bahwa kita bisa belajar lebih

banyak tentang ensefalitis reseptor NMDA anti-berdasarkan pengetahuan kami saat ketamin.

Page 8: anestesi

Glutamat merupakan neurotransmitter eksitatori. Reseptor glutamat ada 2 jenis, ionotropik

dan metabotropik. untuk ionotropik (terkait kanal ion) ada 3, yaitu NMDA, AMPA, dan

kainate. Namun, yang sudah banyak diteliti adalah reseptor NMDA. Reseptor NMDA ini

banyak ditemukan di otak  bagian cortex cerebral dan hippocampus sehingga memiliki

peranan penting dalamfungsi memori dan belajar. Keunikan dari reseptor NMDA ini adalah

dia ter-blok oleh ion Mg2+ (mengeblok kanal Na dan Ca) ketika dalam keadaan inaktif, sehingga

membutuhkan reseptor non-NMDA untuk mengaktivasinya. Mekanismenya?

Glutamat lepas dari saraf presinaptik --> berinteraksi dengan reseptor non-NMDA -->

afinitas reseptor NMDA dengan Mg2+ berkurang --> Mg2+ lepas --> glutamat mengaktivasi

NMDA --> membukan kanal Na dan Ca --> Na dan Ca masuk --> menghasilkan efek seluler

(memicu signaling dalam learning dan memory)

Tapi, ternyata aktivasi berlebihan dari reseptor NMDA ini berbahaya . jika aktivasinya

berlebihan, ion Ca yang masuk dalam sel saraf berlebihan, dapat menyebabkan efek yang

dinamakan eksositosis, yaitu kematian sel saraf akibat kelebihan glutamat (apoptosis sel saraf).

Fenomena ini banyak dijumpai pada penyakit degeneratif, misalnya Alzheimer, stroke,

demensia. Oleh karena itu, reseptor ini menjadi salah satu target obat alzheimer, dengan aktivitas

sebagai antagonis NMDA. Antagonis NMDA jaman dahulu, contoh obatnya taxoprodil,

merupakan antagonis kuat NMDA, sehingga memblok sama sekali kanal Ca. Namun ternyata

terjadi banyak efek samping karena benar-benar tidak ada aliran Ca masuk ke sel, sehingga

dikembangan obat lain. Sekarang yang menjadi pilihan adalah memantin, yang tidak memblok

Page 9: anestesi

aliran Ca, tetapi memodulasi aliran Ca sehingga tidak berlebihan. Fungsi fisiologis dari Ca

akhirnya tetap terjaga, dan tidak terjadi eksositosis.

Contoh obat lain yang beraksi pada reseptor NMDA adalah ketamin *ini sering dipake buat bius

tikus di CCRC :D*. Aktivitas utamanya adalah anestetik, namun saat ini dikembangkan juga

sebagai antidepressan.

GABA :

Asam γ-aminobutirat (gamma-aminobutirat, bahasa Inggris: gamma-aminobutyric acid, GABA)

adalah neurotransmiter dan hormon otak yang menghambat (inhibitor) reaksi-reaksi dan

tanggapan neurologis yang tidak menguntungkan.[1][2]

GABA terdapat dalam kadar yang tinggi pada berbagai belahan otak, yaitu sekitar 1.000 kali

lebih tinggi daripada kadar neurotransmitermonoamina lainnya, pada tempat yang sama.

Defisiensi GABA dapat menyebabkan pikiran terhalusinasi, delusional, histeria, emosional,[1]

[2] hipotonia, ataksia, keterbelakangan mental, dan peningkatan rasio asam 4-OH-butirat di

dalam urin.[3]

Penghambat alami atau inhibitor dari GABA adalah ion klorida.[1] Jika kadar ion klorida dalam

darah tidak terkendali, maka akan mengurangi kadar GABA yang kemudian akan menghasilkan

kecemasan yang berkepanjangan, ketakutan yang tidak rasional dan terlepasnya beberapa

hormon otak lain tanpa kendali.[1] Hal itu juga akan memicu terjadinya peningkatan

produksi CRH pada nukleus paraventrikularis di kelenjar hipotalamus.[1] Selanjutnya hormon

CRH ini akan merangsang kelenjar adrenal untuk menghasilkan hormon kortisol.[1] Kortisol

adalah suatu hormon yang menyebabkan kekecewaan, perasaan tertekan dan kesedihan serta

menghadirkan ketakutan yang berlebihan.[1]

Melalui ekspresi pencerapnya, GABA menghambat proliferasi sel punca pluripoten dan neural

pada jaringan embrio dan manusia dewasa, dan mengendalikan proliferasi sel tumor.[

Reseptor ini merupakan neurotransmitter inhibitor utama di otak. Sehingga aksinya nanti adalah

depresi CNS. Si reseptor GABA ini unik, karena dia memiliki banyak tempat untuk berikatan

dengan berbagai zat. Sisi aktifnya untuk berikatan dengan GABA disebut ortosterik, sedangkan

untuk berikatan dengan senyawa lain disebut allosterik, antara lain terdapat benzodiazepin site,

barbiturat site, dan steroid site. Selain itu, etanol juga bisa berikatan di reseptor GABA sehingga

menyebabkan depresi CNS. Reseptor GABA ini terkait dengan kanal Cl. Mekanisme yang

terjadi pada reseptor ini :

Page 10: anestesi

GABA lepas dari ujung saraf --> berikatan dengan reseptor GABA --> membuka kanal Cl -->

Cl masuk --> hiperpolarisasi --> penghambatan transmisi saraf --> depresi CNS

ada berbagai site pada reseptor ini. Hal ini dimanfaatkan sebagai strategi-strategi untuk

memanipulasi si reseptor GABA ini. Misalnya obat-obat golongan benzodiazepin, akan

meningkatkan afinitas reseptor terhadap GABA sehingga pembukaan kanal Cl lebih lama,

depresi CNS yang terjadi juga lebih lama dan besar Begitu juga mekanisme yang terjadi pada

obat golongan barbiturat. Inget dulu praktikum farmakologi, si tikus ditidurkan dengan obat

barbiturat? Efek sedatif itu dikarenakan mekanisme ini..

pada orang yang sakit epilepsi, mereka kekurangan GABA. Akibatnya? Karena tidak ada yang

menekan sistem sarafnya, akibatnya ketika terjadi aktivasi, respon yang diberikan pun berlebihan

sehingga terjadi konvulsan *kejang*. Terapi yang bisa diberikan salah satunya adalah dengan

meningkatkan GABA, yaitu meningkatkan GAD (enzim yang mengubah glutamat menjadai

GABA) dengan contoh obat gabapentin, menghambat reuptake GABA dengan contoh

obat tiagabin, atau dengan menghambat GABA transaminase sehingga GABA tidak diubah

menjadi metabolitnya, contoh obatnya vigabatrin

GABA (Gamma Amino Butiric Acid)Merupakan neurotransmitter inhibitor, artinya akan menghalangi penghantaran impuls di serabut saraf.GABA akan membuka gerbang ion chlorine yang bermuatan negative sehingga serabut saraf akan bermuatan sangat negative. Dengan begitu impuls sulit untuk dihantarkan melalui serabut saraf (Anonim, 2009).

Reseptor GABA terdapat dalam tiga tipe, yaitu reseptor GABAA, GABAB,GABAC. Reseptor GABAA dan GABAC  merupakan keluarga reseptor ionotropik, sedangkan GABAB adalah reseptor metabotropik (terkairt engan protein G ) . Reseptor GABAA dan GABAC  masing- masing terkait dengan kanal Cl–, dan memperantai penghambatan sinaptik yang cepat. Namun walaupun sama – sama ionotropik, Reseptor GABAA dan GABAC berbeda secara biokimia, farmakologi, fisiologi. Reseptor GABAA secara selektif dapat dibolak – balik oleh alkaloid bicuculin dan dimodulasi oleh obat golongan benzodiazepin, barbiturat, dan steroid , Sedangkan Reseptor GABAc tidak ( Ikawati,2008).

GABAA (gaba-aminobutyric acid) merupakan neurotransmitter inhibitor utama di system saraf pusat mamalia dan terdapat pada hampir 40% saraf. GABA bekerja pada reseptornya yaitu reseptor GABA( Ikawati,2008).

Reseptor GABAA  merupakan kompleks protein heterooligomerik yang terdiri dari sebuah tempat ikatan GABA ( GABA binding side) yang tergandeng dengan kanal ion Cl –     ( Ikawati,2008).

Page 11: anestesi

Reseptor GABA tersebut  terdiri dari lima  sub unit yang dua alpha, dua  beta dan satu sub-unit gamma. Mengaktifkan molekul GABA dengan mengikat  reseptornya pada bagian sub unit alfa. Sekali diaktifkan reseptor tersebut memungkinkan bagian dari ion ke bermuatan negatif sitoplasma, mana hasil dalam hiperpolarisasi dan inhibisi dari neurotransmission (Anonim, 2009).

Proses neurotransmitter GABA :

1. GABA disintesis pada ujung saraf presinaptik, dan disimpan di dalam vesikel sebelum di

lepaskan

2. Sekali dilepaskan, GABA berdifusi menyebrangi  celah sinap

3. Setelah GABA berdifusi, GABA akan menduduki tenmpatnya yaitu di GABA binding

side, dimana GABA jenis ini terkait ion Cl– sehingga memperantai ion Cl– untuk masuk

dan menyebabkan efek pada postsinaps.

4. GABA yang sudah terdisosiasi dari reseptornya akan diambil kembali sehingga 

tertutupnya kanal Cl– , GABA yang diambil untuk di re-uptake kembali ke dalam ujung

presinaptik atau ke dalam sel gial dalam bentuk GABA dengan bantuan Transportter

GABA.

5.  Reseptor GABAA juga memiliki tempat ikatan untuk obat – obat golongan barbiturat

yang disebut barbiturat binding site dan untuk golongan benzodiazepin disebut

Page 12: anestesi

benzodiazepin binding site atau sisi alosterik resptor. Suatu obat dapat bereaksi dengan

sisi alosterik menyebabkan efek agonis. Aktivitas GABA oleh neurotransmitternya

menyebabkan membukanya kanal Cl– dan lebih lanjut akan memicu terjadinya

hiperpolarisasi yang akan menghambat penghantaran potensial aksi,inilah yg

menyebabkan efek sedatif dan anestesi.

6.  Benzodiazepin dapat mempotensiasi penghambatan transmisi sinaptik GABAergik

dengan berikatan dengan reseptor GABAA. Obat golongan benzodiazepin berkerja dengan

meningkatkan afinitas reseptor GABA pada tempat ikatannya ( binding site) sehingga

meningkatkan frekuensi pembukaan kanal ion Cl dan memaksimalkan kesempatan Cl–

mengalir.

7. Cl– masuk, membuat efek pada postsinaps lebih lama, yaitu depresi CNS.

8. GABA yang sudah terdisosiasi dari reseptornya di ambil kembali untuk di re-uptake ke

dalam ujung presinaptik atau ke dalam sel gial melalui bantuan transporter GABA.

Oksigen delivery

Oxygen delivery (DO2) adalah jumlah total oksigen yang dialirkan darah ke jaringan

setiap menit. Kadar oxygen delivery tergantung dari cardiac output (CO) dan oxygen content of

the arterial blood (CaO2). Komponen dari CaO2 adalah oksigen yang berikatan dalam serum (2-

3%) yang dapat ditelusuri dengan kadar PaO2 dan oksigen yang berikatan dengan hemoglobin

(97-98%) yang dapat ditelusuri dengan SaO2 (saturasi oksigen pada pembuluh darah arteri). Dari

definisi ini dapat dijabarkan sebuah rumus : DO2 = CO X (Hb X 1,34 X SaO2) + (PaO2 X

0,0031) Nilai normal oxygen delivery (DO2) adalah 1000 ml O2/menit. Dari rumus diatas dapat

dilihat bahwa hemoglobin (Hb) dan saturasi oksigen (SaO2) adalah penentu utama pada

pengaliran oksigen dalam darah ke seluruh jaringan tubuh termasuk otak.

D e l i v e r i   O k s i g e nKetika mempertimbangkan kecukupan pengiriman oksigen ke jaringan,t i ga   f ak to r  pe r l u   d ipe r t imbangkan :   kada r   hemog lob in ,   cu rah   j an tung  danoks igenas i .   J

Page 13: anestesi

umlah  oks igen  yang   t e r s ed i a   un tuk   t ubuh  da l am   sa tu  men i t dikenal sebagai pengiriman oksigen:

Deliveri oksigen :

(ml O2.min-1) == Cardiac output (l.min-1) x Hb konsentrasi (gl-1) x 1.34 (ml O2.gHb-1) x saturasi%=

5000ml.min-1 x 200ml O2.1000ml darah-1= 1000ml O2.min-1

Kriteria intubasi(salah satu di bawah ini)

•Cardiac or respiratory arrest

•Kehilangan kesadaran

•Hemodynamik instability dengan SBP < 70 mm Hg

•PaO2< 45 mm Hg walaupun sudah diberi oksigen

(≥ 2 tanda-tanda Respiratory Distress):

 •Respiratory rate > 35/min or < 6/min

•Tidal volume < 5 mL/kg

•Oxygen desaturation < 90% walau sudah diberi terapi oksigen yang adekuat

 •Perubahan tekanan darah dengan SBP < 90 mm Hg

•pH < 7.20 dan menurun sejak onset

•Hypercapnia (PaCO2> 10 mm increase) atau acidosis (pH decline > 0.08)

•Peningkatan encephalopathy ataupun penurunan derajat kesadaran

•Abdominal paradox

.

Kriteria Ekstubasi :

1. Oksigenasi Adekuat

• SpO2 > 92%, PaO2 > 60 mm Hg

2. Ventilasi Adekuat

• VT > 5 ml/kg, spontaneous RR > 7x/menit, ETCO2 < 50 mmHg, PaCO2 < 60 mm Hg

3. Hemodinamik stabil

Page 14: anestesi

4. Pelumpuh otot pulih penuh

• Sustained tetany, TOF ratio >0.

• Sustained 5-second head lift or hand grasp5. Neurologis Intact• Mengikuti perintah• reflex batuk / gag intak 6. Status asam-basa seimbang7. Metabolic Status Normal• Normal electrolytes• Normovolemic8. Normothermic9. Pertimbangan lain•Resiko aspirasi•Edema jalan napas•Awake vs. Deep (i.e. NOT in Stage II)

Secondary effect

Selama induksi anestesi umum ketika volume besar nitrous oxide diambil dari alveoli ke dalam

darah kapiler paru, konsentrasi gas-gas yang tersisa di alveoli meningkat. Hal ini menyebabkan

efek yang dikenal sebagai "efek konsentrasi" dan "efek gas kedua". Efek ini terjadi karena

kontraksi volume alveolar terkait dengan penyerapan oksida nitrat. Penjelasan sebelumnya oleh

Eger dan Stoelting telah mengajukan banding ke volume tidal ekstra-terinspirasi karena potensi

tekanan intrapulmonary negatif yang berkaitan dengan serapan dari oksida nitrat.

Ada dua pola pernapasan ekstrim dan bahwa volume tidal ekstra-terinspirasi adalah konstruk

buatan terkait dengan salah satu pola-pola ini [1] Dengan demikian adalah perubahan volume

yang benar-benar menyebabkan efek..

Ketika konsentrasi konstan obat bius seperti halotan terinspirasi, peningkatan konsentrasi

alveolar dipercepat dengan pemberian bersamaan nitrous oxide, karena serapan alveolar yang

terakhir menciptakan potensi tekanan intrapulmonary subatmosfir yang mengarah ke

peningkatan aliran trakea.