ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

198
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SYARAT PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU TAHUN 2014 (Analisis Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.52/PUU-X/2012) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh : ALDO PUTRA HARSA NIM. 109048000067 KONSENTRASI KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1435 H/2014

Transcript of ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

Page 1: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SYARAT PARTAI POLITIK

PESERTA PEMILU TAHUN 2014

(Analisis Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.52/PUU-X/2012)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

ALDO PUTRA HARSA

NIM. 109048000067

KONSENTRASI KELEMBAGAAN NEGARA

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1435 H/2014

Page 2: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf
Page 3: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf
Page 4: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf
Page 5: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

iv

ABSTRAK

ALDO PUTRA HARSA. NIM 109048000067. TINJAUAN YURIDIS TERHADAP

SYARAT PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU TAHUN 2014 (ANALISIS

PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.52/PUU-X/2012. Program

Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan

Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434 H/ 2013 M. xii + 75 halaman.

Penelitian ini menganalisis syarat-syarat partai politik peserta pemilu tahun 2014

yang ada dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 pasca putusan

Mahkamah Konstitusi, serta akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi terhadap

syarat partai politik terhadap partai politik. Penelitian ini diharapkan dapat

memberikan manfaat baik secara ilmiah yakni dalam studi ilmu hukum, dan secara

praktis maupun akademis yakni sebagai masukan bagi penulis maupun pihak-pihak

yang memiliki keinginan untuk menganalisis syarat partai politik agar dapat menjadi

peserta pemilu tahun 2014 pasca putusan Mahkamah Konstitusi. Metode penelitian

hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library

kepustakaan) yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada

konflik norma hukum yang terjadi pada peraturan perundang-undangan. Kemudian

dibantu dari bahan-bahan hukum seperti buku, jurnal, tesis, dan artikel yang

mendukung pembahasan penelitian. Dari hasil tinjauan dapat disimpulkan bahwa

persyaratan partai politik peserta pemilu tahun 2014 pasca putusan Mahkamah

Konstitusi bertentangan dengan hak konstitusional di dalam UUD 1945 dan

mengakibatkan partai politik baru tidak bisa menjadi peserta pemilu tahun 2014

Kata Kunci : Partai Politik, Hak Konstitusional, Persyaratan Peserta

Pemilu, Mahkamah Konstitusi

Pembimbing : 1. Syafrudin Makmur, S.H., M.H.

2. Fenny Arifiani, S.Ag., M.Hum.

Daftar Pustaka : Tahun 1989 s.d Tahun 2013

Page 6: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

v

KATA PENGANTAR

.

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat

serta anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “TINJAUAN

YURIDIS TERHADAP SYARAT PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU TAHUN

2014 (Analisis Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.52/PUU-X/2012).”. shalawat

serta salam penulis sampaikan kepada junjungan serta nabi akhir zaman yakni

Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman jahiliyah ke

zaman yang terang benderang ini.

Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN SYARIF HIDAYATULLAH

Jakarta. Skripsi ini mungkin tidak dapat diselesaikan oleh penulis tanpa bantuan dan

dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis

ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. selaku Dekan

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 7: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

vi

2. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A., selaku Ketua Program Studi Ilmu

Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi

Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Syafrudin Makmur, S.H., M.H., dan Bapak Fenny Arifiani S.Ag, M.Hum.,

selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia memberikan saran, kritik,

bantuan, dan masukan selama saya menyusun dan menyelesaikan skripsi ini.

Terimakasih atas waktu dan pikiran yang telah diberikan untuk membimbing

saya

4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

khususnya dosen program studi Ilmu Hukum, dan yang telah memberikan ilmu

pengetahuan selama penulis menjadi mahasiswa Ilmu Hukum. semoga ilmu yang

diajarkan dapat bermanfaat bagi penulis baik di dalam kampus, maupun ketika

telah lulus.

5. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Supangkat Hartawan dan Ibunda Dyah

Susanti, yang selalu mengirimkan doa dan mencurahkan segala pikiran serta

kasih sayangnya dalam mendidik penulis hingga ke perguruan tinggi. Semoga

Allah selalu membahagiakan mereka dunia akhirat.

6. Abangku Andre Putra Harsa S.E yang selalu memotivasi, memberi masukan dari

awal kuliah hingga penyusunan skripsi ini., semoga selalu diberkahi oleh Allah

SWT dalam hidupnya, serta saudaraku Aldyo yang sedang kuliah di Universitas

Diponegoro, semoga cepat kelar skripsinya.

Page 8: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

vii

7. Teman-temanku di Himpunan Mahasiswa Islam hanif,abi,awal,bilal,irpan, zoeky,

munte, farhan, arif serta keluarga besar komfaksy. Penulis mengucapkan terima

kasih atas motivasi, dan ilmu yang diberikan sangat bermanfaat sekali.

8. Teman-temanku di Ilmu Hukum maul, saddam, gagat, zaki, roma, wa adul,

jajank, ratno, dani, riri, imam machdi, pita, galih, dan teman2 lain khususnya

angkatan tahun 2009, penulis mengucapkan terima kasih atas support, kritik,

saran, dan bantuan selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

9. Kawan-kawan di Komite Mahasiswa dan Pemuda Anti Kekerasan (awe,uci,bani,

torang,salboy) penulis mengucapkan terima kasih atas ilmu dan pengalaman

yang diberikan.

10. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu. Semoga Allah SWT

memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka

Akhirnya, penulis mengucapkan terimakasih dan maaf yang sebesar-besarnya

apabila terdapat kata-kata dalam penulisan skripsi ini yang kurang berkenan bagi

pihak-pihak tertentu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya

bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Sekian dan terimakasih.

Wassalamu’alaikum,Wr.Wb

Jakarta, 10 Januari 2014

Aldo Putra Harsa

Page 9: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

ix

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................ ii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii

ABSTRAK ............................................................................................................ iv

KATA PENGANTAR ............................................................................................ v

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix

DAFTAR LAMPIRAN.. ..................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah .................................................... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 7

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu .................................................. 8

E. Kerangka Konseptual .......................................................................... 9

F. Metode Penelitian ............................................................................. 11

G. Sistematika Penelitian ....................................................................... 14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK KONSTITUSIONAL

DAN PARTAI POLITIK ..................................................................................... 17

A. Hak Konsitusional ............................................................................. 17

1. Landasan Filosofis.. .................................................................... 20

2. Landasan Sosiologis.. ................................................................. 21

Page 10: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

xi

B. Hak Konstitusional di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945... .. 22

C. Partai Politik.. ................................................................................... 29

D. Hak Konstitusional Partai Politik di Indonesia Pasca Amandemen

UUD 1945 ......................................................................................... 30

BAB III TINJAUAN TENTANG PEMILIHAN UMUM DAN

PERSYARATAN PARTAI POLITIK .............................................. 36

A. Pemilihan Umum .............................................................................. 36

B. Persyaratan Pembentukan dan Penetapan Partai Politik Sebagai

Badan Hukum Tahun 2004-2009 ...................................................... 40

C. Persyaratan Partai Politik Sebagai Peserta Pemilihan Umum

Tahun 2004-2009 .............................................................................. 44

D. Persyaratan Pembentukan Partai Politik Dan Persyaratan Partai

Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 2014 .................................. 47

BAB IV PERSYARATAN PARTAI POLITIK PESERTA PEMILIHAN

UMUM TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI ...................................................................................... 51

A. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi No.52/PUU-

X/2012 Terhadap Partai Politik.. ...................................................... 51

B. Analisis Persyaratan Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2014

Pasca Putusan Mahkamah konstitusi No.52/PUU-X/2012.. ............. 62

BAB V PENUTUP ............................................................................................ 72

A. Kesimpulan ....................................................................................... 72

Page 11: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

xi

B. Saran ................................................................................................. 73

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 74

Page 12: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

DAFTAR LAMPIRAN

1. Putusan Mahkamah Konstitusi No.52/PUU-X/2012.

Page 13: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kedaulatan yang dianut dalam UUD 1945 adalah kedaulatan rakyat sekaligus

kedaulatan hukum.1 Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945

yang menyatakan: kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut

undang-undang dasar. Hal ini menegaskan bahwa kedaulatan rakyat berada dalam

kerangka negara hukum. Sebagai negara hukum, segala tindakan penyelenggara

negara dan warga negara harus sesuai dengan aturan hukukm yang berlaku.

Hukum dalam hal ini adalah hirarki tatanan norma yang berpuncak pada konstitusi

yaitu UUD NRI 1945. Maka, pelaksanaan demokrasi juga harus berdasarkan pada

aturan hukum yang berpuncak pada UUD 1945.

Di dalam praktik, yang menjalankan kedaulatan rakyat itu adalah wakil-wakil

rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat yang disebut parlemen.2 Agar

wakil-wakil rakyat benar-benar bertindak atas nama rakyat, wakil-wakil rakyat itu

harus di tentukan sendiri oleh rakyat melalui pemiluhan umum (pemilu). Dengan

demikian, pemilihan umum itu tidak lain merupakan cara yang diselenggarakan

untuk memilih wakil-wakil rakyat secara demokratis, karena cara ini memberikan

1 Janedri M Gaffar, Demokrasi Konstitusional Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah

Perubahan UUD 1945, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), h.7.

2 Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2010), h. 328.

Page 14: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

2

peluang yang sama kepada setiap orang untuk menjadi wakil rakyat di

pemerintahan.3 Oleh karena itu, bagi negara yang menyebut sebagai negara

demokrasi, pemilihan umum merupakan sarana pergantian pemimpin yang harus

dilaksanakan secara berkala dalam waktu-waktu tertentu.

Pemilihan umum bagi negara demokrasi seperti Indonesia sangat penting

artinya karena menyalurkan kehendak asasi politik bangsa, yaitu sebagai

pendukung/pengubah anggota dalam lembaga negara, mendapatkan dukungan

mayoritas masyarakat dalam menentukan pemegang kekuasaan negara terutama

pemegang kekuasaan legislatif. Pemilihan umum atau pemilu di Indonesia

sekarang bertujuan memilih : (i) Presiden dan Wakil Presiden, (ii) anggota DPR

dan DPD, (iii) anggota DPRD Provinsi; (iv) anggota DPRD Kabupaten/kota.4

Pasca reformasi, Indonesia telah beberapa kali melaksanakan pemilihan

umum anggota legislatif, yaitu pada tahun 1999, 2004, dan 2009. Pada pemilihan

umum tahun 2004, pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD diatur dalam

Undang-Undang nomor 12 Tahun 2003. Pada tanggal 1-27 september 2003

Departemen Kehakiman dan HAM melakukan verifikasi terakhir terhadap 66

partai politik.5 Selanjutnya partai politik yang lolos akan segera menjalani

verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar dapat menjadi peserta pemilu

3 Paimin Napitupulu, Menuju Pemerintahan Perwakilan, (Bandung: PT alumni, 2007), h. 7.

4 Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta:

Buana Ilmu Komputer, 2007), h. 742.

5 Didik Supriyanto dan Topo Santoso, Mengawasi Demokrasi Mengawal Pemilu, (Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 117.

Page 15: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

3

tahun 2004. Memang menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tidak

terdapat klausul yang menyebutkan secara langsung tentang perlunya pembatasan

partai politik peserta pemilu. Dengan melihat tahapan dan mekanisme yang harus

dilalui oleh partai politik pemilu 2004, maka dapat dipahami secara tersurat ini

adalah pola pembatasan.6 Mengenai syarat partai politik dapat menjadi peserta

pemilu diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Dari hasil

verifikasi, partai politik yang lolos sebagai peserta pemilu tahun 2004 berjumlah

24 (dua puluh empat) partai politik.7

Kemudian diatur pula untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya (pemilu 2009)

partai politik peserta pemilu harus mencapai angka 3% jumlah kursi DPR dan 4 %

jumlah kursi DPRD provinsi kabupaten/kota. Partai-partai besar cenderung dan

menyetujui dan mendorong agar persentase electoral threshold dinaikan.

Sementara partai-partai kecil menghendaki electoral threshold dikurangi bahkan

ada yang meminta agar ketentuan ini tidak perlu dimuat.8 Pemerintah sendiri

menyatakan bahwa pengusulan electoral threshold 3% adalah dalam rangka

mendorong proses seleksi alamiah partai politik.9

6 Agust Riewanto, Ensiklopedi Pemilu, (Yogyakarta: Lembaga Studi & Agama, 2007), h. 7.

7 Rozali Abdullah, Mewujudkan Pemilu yang Berkualitas, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.

150.

8 Khairul Fahmi, Pemilihan Umum Kedaulatan Rakyat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 184.

9 Risalah rapat pansus rancangan Undang-Undang tentang Pemilu, pembahasan fraksi-

fraksi,rapat pansus, tanggal 12 oktober 2002, h. 50.

Page 16: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

4

Pada pemilu tahun 2009, pemilihan umum anggota legislatif diatur dalam

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Penambahan persyaratan yang cukup

signifikan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dibandingkan dengan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 adalah syarat menyertakan keterwakilan

perempuan sekurang-kurangnya 30%. Satu catatan penting yang juga perlu

disinggung, bahwa Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 sepanjang

menyangkut persyaratan bagi partai politik yang sudah ikut pemilu sebelumnya,

tidak lagi memperlakukan persyaratan tertentu seperti memiliki sekurang-

kurangnya 3% jumlah kursi DPR dan seterusnya. Namun secara tegas dinyatakan

bahwa partai politik peserta pemilu pada pemilu sebelumnya dapat menjadi peserta

pemilu pada pemilu berikut.

Menjelang pemilu tahun 2014, DPR bersama Presiden telah merevisi undang-

undang yang terkait dengan partai politik dan pemilihan umum legislatif. Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik sudah diubah menjadi

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Begitu pula dengan Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD sudah

diubah menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Undang-Undang Nomor 8

tahun 2012 tidak hanya mengatur tentang penyelenggara pemilu, yaitu Komisi

Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu beserta jajarannya. Tetapi juga

mengatur syarat-syarat agar perorangan maupun partai politik bisa di tetapkan

sebagai peseta pemilihan umum. Terkait syarat-syarat agar partai politik dapat

Page 17: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

5

menjadi peserta pemilu diatur dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2012.

Kemunculan pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 dirasakan tidak

adil bagi partai politik pada pemilu sebelumnya yang tidak memenuhi ambang

batas suara sah secara nasional, karena untuk mengikuti pemilu tahun 2014 harus

memenuhi syarat-syarat verifikasi yang ditentukan pada pasal 8 ayat (2) Undang-

Undang pemilu legislatif. Sedangkan bagi partai politik peserta pemilu

sebelumnya yang memenuhi ambang batas suara sah secara nasional otomatis

ditetapkan sebagai peserta pemilu tahun 2014 tanpa harus memenuhi syarat

verifikasi pada pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Beberapa

partai politik merasa dirugikan dengan adanya ketentuan pasal 8 Undang-Undang

Nomor 8 tahun 2012 tersebut, antara lain Partai Bulan Bintang (PBB), Partai

Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai

Demokrasi Kebangsaan (PDK), dan Partai Republika Nusantara.10

Partai politik

yang merasa dirugikan dengan adanya ketentuan pada pasal 8 tersebut kemudian

melakukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi sehingga keluarlah

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 menyatakan bahwa pasal 8

ayat 1 dan sebagian ayat (2) Undang-Uundang Nomor 8 Tahun 2012 bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar 1945.

10

http://www.tempo.co/read/news/2012/04/19/078398301/22-Partai-Politik-Gugat-UU-

Pemilu diakses pada 26 Januari 2014

Page 18: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

6

Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang

membahas permasalahan syarat partai politik peserta pemilu tahun 2014. Hal

tersebut penulis sajikan dalam bentuk penelitian Penulisan Hukum yang berjudul

“TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SYARAT PARTAI POLITIK

PESERTA PEMILU TAHUN 2014 (Analisis Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

No.52/PUU-X/2012)”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan di lingkup pemilihan umum di Indonesia, maka

ruang lingkup masalah dalam penelitian ini difokuskan hanya terhadap masalah

syarat partai politik peserta pemilu tahun 2014 berdasarkan pasal 8 Undang-

Undang No 8 Tahun 2012.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang telah diuraikan

diatas, maka rumusan masalah yang akan dikaji penulis adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana akibat hukum pasca putusan Mahkamah Konstitusi terhadap partai

politik ?

b. Apakah syarat partai politik peserta pemilu pasca putusan Mahkamah

Konstitusi bertentangan dengan hak konstitusional partai politik ?

Page 19: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan meninjau secara yuridis syarat partai

politik peserta pemilihan umum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2012 pasca putusan Mahkamah Konstitusi No.52/PUU-X/2012. Sedangkan

secara khusus penelitian ini bertujuan:

a. Untuk mengetahui perihal akibat hukum dibatalkanya pasal 8 ayat (1)

terhadap partai politik serta meninjau sebagian ayat (2) Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2012 yang tidak dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

b. Untuk mengetahui perihal syarat partai politik peserta pemilu tahun 2014

pasca putusan Mahkamah konstitusi apakah masih bertentangan dengan hak

konstitusional partai politik atau tidak.

2. Manfaat Penelitian

Secara garis besar manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai

peninjauan terhadap aturan hukum yang mengatur partai politik peserta

pemilihan umum pasca putusan Mahkamah Konstitusi No.52/PUU-X/2012

dan memperkaya khazanah penelitian ilmiah dalam ilmu hukum tata negara

dan hukum pemilu.

b. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dalam penelitian ini, yaitu:

Page 20: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

8

1) Bagi Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi ilmu hukum

khususnya di bidang ketatanegaraan yang berkaitan dengan undang-

undang pemilihan umum.

2) Bagi Masyarakat Umum

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah tambahan informasi

kepada masyarakat, khususnya masyarakat yang senang terhadap

permasalahan-permasalahan hukum yang berkaitan dengan partai

politik dan pemilu di Indonesia.

3) Bagi Pemerintah

Dapat memberikan masukan kepada pemerintah dalam hal ini Presiden

dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam mengambil kebijakan-kebijakan

yang mengatur tentang pemilihan umum di Indonesia.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Dalam kajian terdahulu, Pernah ada penelitian terdahulu dalam bentuk skripsi

mengenai permasalahan peserta pemilu yang berjudul “ analisis penetapan partai

politik peserta pemilu tahun 2009 ditinjau dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD”, yang disusun

oleh Iwan Budi Prasetyo, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret tahun 2010.

Perbedaan penelitian Iwan Budi Prasetyo terletak pada materi yang dikaji, dimana

Iwan Budi Prasetyo menganalisis keputusan (beschiking) Komisi Pemilihan

Page 21: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

9

Umum terhadap partai politik tahun 2009, sedangkan penulis mengkaji aturan

hukum (regeling) dalam hal ini undang-undang yang berkaitan dengan syarat

partai politik peserta pemilu tahun 2014.

Selanjutnya penelitian oleh Rendy Rudagi yang berjudul “pelaksanaan

verifikasi partai politik peserta pemilu tingkat provinsi di Sumatra Barat dalam

pemilihan umum periode 2009-2014”, Universitas Andalas, 2011. Perbandingan

penelitian dengan penulis terletak pada fokus materi yang dikaji, dimana Rendy

Rundagi membuat kajian empiris tentang pelaksanaan aturan KPU terhadap partai

politik di wilayah Sumatra Barat.

E. Kerangka Konseptual

Suatu kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan

hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin diteliti. Suatu konsep bukan

merupakan gejala yang akan diteliti tetapi merupakan abstraksi dari gejala terebut.

Gejala biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan uraian mengenai

hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.11

. Penulisan skripsi ini menggunakan

definisi operasional sebagai berikut:

1. Negara Hukum

Negara hukum adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaannya didasarkan

atas hukum. Menurut Arif Sidharta, ciri negara hukum ada 5 yakni : perlindungan

11

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 132.

Page 22: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

10

terhadap hak asasi manusia, berlakunya asas kepastian hukum, adanya persamaan

di depan hukum (equality before the law), penerapan asas demokrasi, pemerintah

dan pejabat yang amanah dalam mengemban amanat sebagai pelayan

masyarakat.12

2. Persamaan di depan Hukum (equality before the law)

Persamaan di depan hukum berarti setiap orang diperlakukan sama di depan

hukum, tanpa adanya diskirminasi. Sesuai dengan pasal 27 ayat (1) UUD NRI

1945 yang berbunyi : segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam

hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu

dengan tidak ada kecualinya.

3. Hak Asasi Manusia

Hak asasi adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan

manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan

anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh

negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta

perlindungan harkat dan martabat manusia.

12

B Arief Sidharta, Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum, Jurnal hukum, (Jakarta:

Pusat Studi Hukum dan Hak asasi Manusia, 2004), edisi ke-3, h. 124.

Page 23: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

11

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian kepustakaan (library research), yang bersifat yuridis normatif, yaitu

penelitian yang mengacu pada konflik norma hukum pada persyaratan partai

politik menjadi peserta pemilu tahun 2014 dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor

8 Tahun 2012 yang sebagian sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini

menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan

sejarah (historical approach) pendekatan analisis dan konseptual hukum

(conceptual approach),.13

Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan meneliti berbagai

peraturan hukum yang menjadi fokus dalam penelitian. Dalam hal ini pendekatan

perundang-undangan beranjak pada peraturan yang berkaitan dengan pemilihan

umum dan partai politik. Contohnya : Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011

tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012

tentang Pemilu legislatif.

13

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Surabaya: Kencana, 2010), Cet.VI, h. 96-

137.

Page 24: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

12

Pendekatan sejarah dilakukan dengan mengkaji dari sejarah penormaan syarat

partai politik dari kurun waktu tertentu. Contohnya : peraturan mengenai

persyaratan peserta pemilu tahun 2004-2009.

Pendekatan analisis dan konseptual hukum dilakukan dengan cara menelaah

pandangan para ahli hukum tata negara yang berkaitan dengan pemilihan umum

atau partai politik kemudian menghubungkan dengan pendekatan undang-undang

dan pendekatan sejarah.

3. Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mencakup ketentuan-

ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan mempunyai kekuatan

hukum yang mengikat. Bahan hukum primer yang digunakan dalam

penelitian ini adalah:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2) TAP MPR NO. III Tahun 2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata

Urutan Perundang-Undangan

3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik

Page 25: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

13

5) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan

Pemilu

6) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, Tentang Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

7) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai politik

8) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik

9) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

10) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 atas

pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

11) Peraturan Komisi Pemilihan Umum No 8 Tahun 2012

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang tidak mengikat dan

berkaitan dengan penelitian ini, yang memberikan penjelasan mendalam

mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan

oleh penulis adalah buku-buku, skripsi, tesis, disertasi, artikel, jurnal,

risalah sidang, tulisan dari internet.

Page 26: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

14

c. Bahan non-hukum

Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna

terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seprti Kamus Hukum,

Ensiklopedia, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan lain-lain.

4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder

maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa,

sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab

permasalahan yang telah dirumuskan. Cara mengolahnya dengan

mengumpulkan data-data yang diperoleh dari pendekatan yang dilakukan oleh

penulis yakni pendekatan perundang-undangan dan sejarah, kemudian

dihubungkan dengan pendapat para ahli hukum. dari sini akan ditemukan

jawaban yang berkaitan dengan permasalahan syarat partai politik peserta

pemilihan umum tahun 2014.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-

masing terdiri dari atas beberapa sub bab guna lebih memperjelas ruang lingkup

dan cakupan permasalahan yang diteliti. Penulisan skripsi ini mengacu pada buku

Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Tahun 2012. Adapun urutan dan tata

letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut:

Page 27: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

15

BAB I Merupakan bab pendahuluan yang memuat : latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

metode penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu dan sistematika

penulisan.

BAB II Tinjauan Tentang Hak Konstitusional dan Partai Politik di Indonesia.

Pada bab ini membahas tentang hak konstitusional, landasan filosofis,

landasan sosiologis, hak konstitusional pasca amandemen UUD 1945,

partai politik, hak konstitusional partai politik di Indonesia pasca

amandemen UUD 1945.

BAB III Tinjauan Tentang Pemilihan Umum Dan Persyaratan Partai Politik.

Bab ini membahas pemilihan umum, persyaratan pembentukan partai

politik sebagai badan hukum tahun 2004-2009, persyaratan partai

politik sebagai peserta pemilu tahun 2004-2009, persyaratan

pembentukan partai politik dan persyaratan partai politik peserta

pemilihan umum tahun 2014.

BAB IV Persyaratan Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2014 Pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi No.52/PUU-X/2012. Bab ini akan membahas

akibat hukum judicial review Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012

terhadap partai politik, kemudian menganalisa persyaratan partai

politik peserta pemilu tahun 2014 pasca putusan Mahkamah Konstitusi

Page 28: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

16

yang tidak dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi terhadap hak

konstitusional partai politik

BAB V Penutup. Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini,

untuk itu penulis mengambil beberapa kesimpulan dari hasil

penelitian, disamping itu penulis memberikan saran yang dianggap

perlu.

Page 29: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

17

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HAK KONSTITUSIONAL DAN PARTAI

POLITIK

A. Hak Konstitusional

Hak konstitusional berasal dari dua kata yakni hak dan konstitusi. Pertama

perlu dijelaskan terlebih dahulu terkait pengertian hak. Para ahli hukum berbeda

pendapat mengenai pengertian hak, tetapi penulis lebih cenderung memilih

pengertian hak sesuai dengan pasal (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

Tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan : hak asasi adalah seperangkat hak

yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang

Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan

dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan

serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Kedua, terkait dengan pengertian

konstitusi. Secara bahasa konstitusi berasal dari bahasa Prancis „constituer” yang

berarti membentuk.15

Ada juga yang berpendapat bahwa konstitusi berasal dari

bahasa inggris yakni „constitution” yang berarti undang-undang dasar. dalam

konteks bahasa, penulis lebih memilih konstitusi yang bermakna undang-undang

dasar baik tertulis maupun tidak tertulis. Kemudian jika melihat dari segi istilah,

tentu para ahli hukum tata negara punya pandangan yang berbeda-beda.

15

M Soly Lubis. Asas-Asas Hukum Tata Negara (Bandung: Alumni, 1978), cet ke-2, h. 44.

Page 30: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

18

Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa konstitusi adalah segala peraturan

permulaan mengenai suatu negara, yang memuat peraturan pokok (fundamental)

mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakan bangunan besar, yakni negara.

Kemudian K.C.Wheare berpendapat bahwa istilah konstitusi dipakai untuk

menyebut sekumpulan prinsip fundamental pemerintahan dari suatu negara.

Herman Heller, pakar yang lainnya mengenai konstitusi ke dalam tiga

pengertian sebagai berikut :

1. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai

suatu kenyataan, dan ia belum merupakan konstitusi dalam arti hukum,

atau dalam pengertian lain konstitusi itu masih merupakan pengertian

sosiologis atau politis.

2. Baru setelah orang mencari unsur-unsur hukumnya dari konstitusi yang

hidup dalam masyarakat itu untuk dijadikan sebagai kesatuan kaidah

hukum, maka konstitusi itu disebut konstitusi dalam pengertian hukum

3. Kemudian orang mulai menulisnya dalam satu naskah sebagai undang-

undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.16

Dalam hal pengertian konstitusi secara istilah, penulis menggunakan pendapat

dari Prof Jimly Asshidiqie, yakni konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan

16

C S T Kansil. Hukum Tata Negara Republik Indonesia (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000),

h. 58.

Page 31: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

19

pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara.17

Melihat kedua hal tersebut,

penulis berkesimpulan bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah

hak-hak manusia yang dijamin oleh konstitusi atau undang-undang dasar. Tentu

tidak semua hak-hak manusia keseluruhannya dijamin oleh undang-undang dasar.

karena selain dijamin oleh undang-undang dasar yang kemudian disebut dengan

hak konstitusional, ada pula hak-hak yang dijamin oleh hukum seperti undang-

undang atau peraturan perundang-undangan yang lain di bawah undang-undang

dasar. kedua hal tersebut dalam hukum dikenal dengan istilah hak konstitusional

(constitutional rights) dan hak legal (legal rights).

Keberadaan konstitusi tersebut sebagai upaya untuk menjamin kepastian

sistem hukum norma tertinggi. Di samping itu, keberadaannya sebagai dan upaya

untuk melindungi rakyat terhadap penyalahgunaan kekuasaan negara, sehingga

Kelsen yang menempatkan konstitusi menduduki tempat tertinggi dalam sistem

hukum nasional yang disebut fundamental law.18

Berdasarkan hasil kerja Komisi Konstitusi MPR RI, secara konseptual ada

tiga karakter utama dari suatu konstitusi, yaitu:

a) Konstitusi sebagai suatu hukum

b) Konstitusi sebagai kerangka kerja sistem pemerintahan

17

Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. (Jakarta; Konstitusi Press,

2005 ), h. 35.

18

Ni‟matul Huda. UUD 1945 dan Gagasan Amaandemen Ulang, (Jakarta: Rajawali Pers,

2008), h. 29.

Page 32: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

20

c) Konstitusi merupakan suatu instrument yang legitimate untuk membatasi

kekuasaan pejabat pemerintah.19

1. Landasan Filosofis

Filsafat atau pandangan hidup suatu bangsa tiada lain berisi nilai-nilai moral

dan etika bangsa tersebut. Di dalam nilai dan moral etika itu terpadat kebenaran,

keadilan, kesusilaan, dan nilai lainnya yang dianggap baik oleh suatu bangsa.20

Dalam hal ini, khususnya bangsa Indonesia memiliki pandangan hidup atau

falsafah bangsa yang dikenal dengan pancasila.

Pancasila khususnya sila ke-2 : kemanusiaan yang adil dan beradab tentu

menjadi nilai serta pandangan hidup bangsa bahwa secara hakiki manusia itu tidak

boleh diperlakukan secara tidak manusiawi. Sila ke-2 pancasila ini tentu menjadi

norma dasar bahwa masyarakat khususnya pemerintah harus menjamin hak-hak

asasi manusia. Karena hak asasi manusia adalah bawaan kodrati Tuhan yang

apabila dihalangi akan menghambat kemajuan masyarakat baik secara moral

maupun secara sosial. Kemanusiaan yang beradab berarti menganggap setiap

orang lain tanpa membedakan agama, kebangsaan, warna kulit, sebagai

saudaranya tanpa memperlakukan secara diskriminasi.21

19

Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Ketentuan Konstitusional pemberlakuan Keadaan

Darurat Dalam Suatu Negara,Jurnal Konstitusi. Volume 6 nomor 1. (Jakarta: Sekretariat Jenderal

dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009), h. 44.

20

Supardan Modeong, Teknik Perundang-Undangan di Indonesia. (Jakarta: Perca, 2005), h.

58.

21

Hadi Hardono, Hakikat & Muatan Filsafat Pancasila, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), h.

119.

Page 33: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

21

2. Landasan Sosiologis

Setiap peraturan perundang-undangan termasuk konstitusi harus lahir dari

kebutuhan masyarakat. Membuat konstitusi atau peraturan perundang-undangan

yang tidak sesuai dengan kebutuhan, keyakinan, dan kesadaran masyarakat tidak

akan ada artinya dan mungkin tidak dapat diterapkan karena tidak akan dipatuhi

dan dihormati.22

Keadaan sosial masyarakat Indonesia yang telah mengalami

penjajahan selama 3,5 abad menunjukan bahwa masyarakat Indonesia

membutuhkan jaminan perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia. Mulai

dari hak sosial, hak ekonomi, hak budaya, serta hak politik. Pada masa penjajahan,

terlihat tidak adanya jaminan terhadap hak sipil serta hak politik kepada

masyarakat Indonesia. orang-orang yang bisa bersekolah hanya dari kalangan

keturunan raja atau orang-orang dari bangsa lain, seperti timur asing atau eropa.

Bangsa pribumi selalu terpinggirkan dalam pengembangan diri. Begitu pula

dengan hak politik, kaum-kaum pribumi yang ingin duduk di posisi pemerintahan,

selalu di asingkan, dipenjara, bahkan tidak jarang diasingkan keluar negeri.

Mendasari semua itu, maka lahirlah UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia

yang berangkat dari nilai dan norma masyarakat Indonesia yang secara hakiki

menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia. Pasca kemerdekaan

Indonesia, tidak ada lagi diskriminasi hak asasi manusia dalam hal politik. Setiap

pribumi berhak untuk menjadi pemerintah dan penyelenggara negara di Indonesia.

22

M Solly Lubis, Landasan dan Tehnik Perundang-Undangan, (Bandung: Mandar Maju,

1989), h. 7.

Page 34: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

22

B. Hak Konstitusional di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945

Di Indonesia, seperti juga di negara-negara lain, di dalam konstitusi nya juga

mencantumkan perihal hak asasi manusia mulai dari UUD 1945 sebelum

amandemen hingga UUD 1945 amandemen tahun 2002. Hak asasi yang tercantum

dalam Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) tidak termuat dalam

suatu piagam yang terpisah, tetapi tersebar dalam beberapa pasal, terutama pasal

27 hingga pasal 34. Pada masa awal orde baru, Majelis Permusyawaratan

Sementara (MPRS) telah berhasil merancang suatu dokumen yang di beri nama “

Rancangan Piagam Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga

Negara ”. selain piagam hak asasi manusia yag telah di sebutkan di atas,

pengaturan hak asasi manusia hanya diatur dalam UUD 1945, itupun hanya

beberapa pasal yang mengatur tentang HAM. Hal itu menyebabkan banyaknya

pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada masa orde baru, baik yang

dilakukan oleh negara maupun warga sipil. Dalam masa orde baru, terjadi

pelanggaran hak asasi manusia secara politik, yakni setiap orang hanya

mempunyai dua pilihan partai, yakni Partai Persatuan Pembangunan, Partai

Demokrasi Indonesia, dan Golongan karya.

Proses transisi di Indonesia dengan dilakukannya perubahan UUD 1945, telah

mengubah secara mendasar sistem ketatanegaraan di Indonesia yang diarahkan

untuk mewujudkan negara hukum.23

Setelah perubahan kedua UUD 1945 pada

23

I Gede Palguna.Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State. (Jakarta:

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), h. 78.

Page 35: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

23

tahun 2000, ketentuan mengenai hak asasi manusia dan hak-hak warga negara

dalam UUD 1945 telah mengalami perubahan yang sangat mendasar. Secara

kategoris, jaminan hak asasi manusia di dalam UUD 1945 pasca amandemen

mencakup hak-hak sosial-politik, hak-hak kultural dan ekonomi, hak-hak kolektif,

hak atas pembangunan dan lain-lain. Jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945

tersebar dalam sejumlah pasal antara lain pasal 18 huruf b ayat (2), pasal 26, 27-

28, pasal 28 huruf a-28 huruf j (Bab X), pasal 29 (Bab Agama), pasal 31-32 (Bab

Pendidikan dan kebudayaan), pasal 33-34 (Bab Ekonomi dan Kesejahteraan

sosial), pasal 30 (Bab Pertahanan dan Keamanan). Jadi, pengaturan konstitusional

mengenai hak asasi manusia tidak terbatas pada Bab XA tentang Hak Asasi

Manusia.24

Hak konstitusional yang terdapat dalam UUD 1945 pasca amandemen yang

berkaitan dengan hak-hak sipil dan politik contohnya adalah disebutkan dalam

pasal 28 huruf c ayat (1) UUD 1945: setiap orang berhak mengembangkan diri

melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan

memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi

meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Kemudian

disebutkan dalam pasal 28 huruf g ayat (2) UUD 1945: setiap orang berhak untuk

bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia

dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. Kemudian secara eksplisit

24

Arianto Satya dan Fajrul Falakh, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Pusham UII,

2008), h. 281.

Page 36: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

24

juga disebutkan bahwa negara Indonesia bertanggung jawab terhadap

perlindungan dan penegakan hak manusia, dicantumkan dalam pasal 28 huruf I

ayat (4) UUD 1945: perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak

asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

Jika dicermati, maka setidaknya terdapat 12 jenis HAM dengan berbagai jenis

profil yang ditegaskan dalam hasil perubahan kedua UUD 1945.25

Hak-hak

tersebut ada yang yang termasuk kategori hak asasi manusia yang berlaku bagi

semua orang yang tinggal dan berada dalam wilayah hukum Republik Indonesia,

dan ada pula yang merupakan hak warga negara yang berlaku hanya bagi warga

negara Indonesia. Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan konstitusional

terhadap hak-hak asasi manusia itu sangat penting dan bahkan dianggap

merupakan salah satu ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum di suatu negara

khususnya Indonesia. Namun di samping hak-hak asasi manusia, harus pula

dipahami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang juga

bersifat asasi. Setiap orang, selama hidupnya sejak sebelum kelahiran, memiliki

hak dan kewajiban yang hakiki sebagai manusia. Keseimbangan dan kesadaran

akan adanya hak dan kewajiban hak asasi ini merupakan ciri penting pandangan

dasar bangsa Indonesia mengenai manusia dan kemanusiaan yang adil dan

beradab.

25

El Muhtaj Majda, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, dari UUD 1945 sampai

dengan Amanademen UUD 1945 Tahun 2002, (Jakarta: Kencana Prenada, 2007), cet ke-2, h. 113.

Page 37: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

25

Pasca reformasi juga telah membawa perubahan dalam hal penegakan hak

konstitusional bagi warga negara Indonesia. Hak yang yang diatur oleh Undang-

Undang Dasar 1945 kini ditegakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga

baru era reformasi. Secara umum dapat dikatakan, bahwa keberadaan lembaga

Mahkamah Konstitusi ini merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan.

Sebagian besar negara demokrasi yang sudah mapan, tidak mengenal lembaga

Mahkamah konstitusi yang berdiri sendiri. Maksudnya ialah fungsi-fungsi yang

dikenal oleh Mahkamah konstitusi seperti judicial review dalam rangka menguji

konstitusionalitas suatu undang-undang, baik dalam arti formil maupun materil,

dkatikan langsung dengan kewenangan Mahkamah Agung (supreme court). Akan

tetapi, hal ini berbeda di beberapa negara lain yang mengalami perubahan dari

otoritarian menjadi demokrasi, menyebabkan pembentukan Mahkamah Konstitusi

itu dininai cukup populer.26

Contohnya seperti Afrika Selatan, Korea Selatan,

Thailand, dan Indonesia.

Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam hal ini sesuai ketentuan yang

diberikan oleh UUD 1945 berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-

Undang Dasar 1945 Jika keberadaan undang-undang tersebut melanggar hak

konstitusional warga negara Indonesia. contohnya : Mahkamah Konstitusi telah

membatalkan pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang

Sistem Pendidikan Nasional karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Hal

26

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, (Jakarta: Konstitusi

Press, 2005), h. 246.

Page 38: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

26

ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan sebelum reformasi, dimana sistem

ketatanegaraan Indonesia tidak memiliki lembaga tinggi negara yang menjamin

tegaknya hak konstitusi jika ada kehadiran undang-undang yang betentangan

dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan masa pemerintahan Indonesia

sebelum reformasi. Negara Indonesia pada zaman orde baru secara kelembagaan

belum ada Mahkamah Konstitusi, tetapi secara fungsi sudah mengenal konsep

Judicial review pada Mahkamah Agung. hal ini di sebabkan karena secara

ekspilisit fungsi judicial review tidak disebutkan dalam Undang-Undang Dasar

1945 seperti yang sekarang, melainkan hanya disebutkan dalam undang-undang,

tapi hal itu sebatas pada peraturan yang tingkatnya lebih rendah dari undang-

undang dan tidak mengatur penilaian undang-undang terhadap Undang-Undang

Dasar 1945.27

Pada bulan November 1997, F-PDI mengusulkan untuk memberi

Mahkamah Agung kewenangan melakukan judicial review terhadap undang-

undang. Namun panitia adhoc II Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat

menolak, dengan alasan Mahkamah Agung tidak berhak untuk melakukan judicial

review terhadap ketentuan hasil lembaga tinggi negara. Fraksi yang lain

menyatakan bahwa yang berhak melakukan judicial review terhadap undang-

27 Tubagus Karyo Hartanto, Mekanisme Judicial Review, (Jakarta: Elsam, 2005) h. 4.

Page 39: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

27

undang adalah lembaga yang menghasilkan undang-undang tersebut, yaitu

Presiden dan DPR.28

Dalam kesepakatan finalisasi panitia adhoc I Badan Pekerja Majelis

Permusyawaratan Rakyat pada tanggal 22 Juli tahun 2000, panitia adhoc I Badan

Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat menyepakati bahwa Mahkamah

Konstitusi berada dalam lingkungan Mahkamah Agung. tapi pada bulan agustus

tahun 2000 dalam sidang tahunan I Majelis Permusyawaratan Rakyat, hal ini tidak

mencapai kesepakatan. Oleh karena itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat

menerbitkan TAP MPR No III/2000 yang menegaskan kembali bahwa judicial

review atas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 serta TAP MPR

berada di tangan MPR, sedang Mahkamah Agung hanya berwenang untuk

menguji undang-undang.29

Tim ahli Majelis Permusyawaratan Rakyat menentangnya, dengan alasan

kewenangan itu adalah milik lembaga peradilan dan Mahkamah Agung dapat

membentuk departemen baru. Meskipun TAP MPR No III Tahun 2000 sudah

ditetapkan dan berlaku, tetapi dalam penerapannya ketentuan mengenai judicial

review yang dimaksudkan dalam pasal 5 ayat (1) tersebut sulit dilaksanakan,

karena memang isinya keliru total. Hal ini disebabkan karena fungsi pengujian

undang-undang adalah fungsi yang bersifat permanen dan rutin dalam arti bisa

28

Rositawati Dian, Seri Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara, (Jakarta: Elsam, 2005), h. 5.

29

Republik Indonesia, Pasal 5 ayat (1) dan (2), TAP MPR No III Tahun 2000 Tentang

Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-Undangan.

Page 40: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

28

terjadi setiap saat. Sedangkan forum Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak

bersifat rutin. Ketua Mahkamah Agung mendukung pendapat ini, ia berpendapat

bahwa pertentangan aturan yakni undang-undang adalah persoalan hukum dan

bukan persoalan politik sehingga yang memutus perkara adalah lembaga badan

peradilan, bukan badan politik seperti Dewan Perwakilan Rakyat atau Majelis

Permusyawaratan Rakyat.

Pada bulan September tahun 2001, dalam pembahasan amandemen ketiga

Undang-Undang Dasar 1945 , seluruh fraksi dalam panitia adhoc I Badan Pekerja

Majelis Permusyawaratan Rakyat setuju untuk memasukan aturan tentang

Mahkamah Konstitusi dalam amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945.

Menurut fraksi tersebut, sebaiknya kewenangan pengujian materi perundang-

undangan baik undang-undang maupun peraturan di bawahnya diintegrasikan

kedalam wewenang Mahkamah Konstitusi. namun dalam perubahan terhadap

rumusan pasal 24 UUD 1945 hasil perubahan ketiga yang disahkan pada bulan

November 2001, kewenangan uji materil oleh Mahkamah Konstitusi hanya

dibatasi sampai tingkat undang-undang,30

sedangkan peraturan dibawahnya tetap

ditentukan sebagai kewenangan Mahkamah Agung.31

30

Republik Indonesia, Pasal 24 huruf c, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945

31

Republik Indonesia, Pasal 24 huruf a, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945

Page 41: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

29

C. Partai Politik

Secara etimologi, kata partai berasal dari bahasa latin, dari kata “partire”

yang berarti membagi. Kata partai baru di kenal di dalam istilah politik pada abad

ke 17.32

Menurut Miriam Budiarjo, partai politik adalah suatu kelompok

terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-

cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik

dan merebut kedudukan politik, biasanya dengan cara konstitusionil untuk

melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.33

Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik,

pengertian partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh

sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan

kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik

anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.34

32

Rika Anggraini, “Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Indonesia : Menuju Sistem

Multipartai Sederhana dalam Era Pasca Reformasi,” (Tesis S2 Fakultas Hukum, Universitas

Indonesia, 2013), h. 23.

33

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta, PT Gramedia, 1989), h. 159. 34

Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (1), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai

Politik.

Page 42: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

30

King sebagaimana dikemukakan oleh Alan Ware berpendapat bahwa partai

politik terdiri dari tiga elemen yang terpisah, yaitu : partai dalam pemilihan umum,

partai sebagai organisasi dan partai dalam pemerintahan.

D. Hak Konstitusional Partai Politik di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945

Undang-Undang Dasar 1945 pasca amandemen selain mengatur perihal

tentang pembatasan kekuasaan, struktur organisasi negara, hak asasi manusia, juga

mengatur perihal tentang pemilu dan partai politik. Untuk pemilu sendiri diatur

dalam pasal 22 huruf e UUD 1945. Secara esksplisit dalam pasal 22 huruf e ayat

(2) UUD 1945 disebutkan: pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih

anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan

Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selanjutnya dalam pasal

22 huruf 3 ayat (3) UUD 1945 disebutkan: peserta pemilihan umum untuk memilih

anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

adalah partai politik. Kemudian UUD 1945 hasil amandemen juga mengatur

tentang hak asasi yang berkaitan dengan partai politik, karena partai politik

merupakan sarana organisasi agar seseorang bisa masuk dalam pemerintahan. Hak

partai politik yang diatur dalam konstitusi Indonesia berakar dari hak berserikat,

berkumpul, serta berhak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam

pemerintahan. Ada yang berbeda terkait dengan hak kemerdekaan berserikat dan

berkumpul jika kita melihat dari undang-undang dasar sebelum dan sesudah

amandemen. Sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945, jaminan

Page 43: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

31

kebebasan berserikat itu memang ditulis dalam undang-undang dasar, tetapi

jaminan hukumnya baru lahir jika sudah ditetapkan dengan undang-undang.

Dengan demikian, sebelum undang-undang mengaturnya, hak itu sendiri tidak

dijamin ada atau tidak. Oleh karena itu, hak berserikat, berkumpul, dan

mengeluarkan pendapat yang dirumuskan dalam pasal 28 UUD 1945 itu sama

sekali tidak dapat disebut sebagai hak asasi manusia sebagaimana seharusnya.

Pasal 28 itu sama sekali tidak mengandung jaminan hak asasi manusia seperti yang

seharusnya menjadi muatan konstitusi negara demokrasi.35

Rumusan ketentuan yang demikian itu sangat berbeda jika dibandingkan

dengan ketentuan pasal 28 huruf e ayat (3) hasil perubahan kedua UUD 1945 pada

tahun 2000. Berdasarkan pasal 28 huruf e ayat (3) itu, hak untuk berserikat,

berkumpul, dan mengeluarkan pendapat itu diakui secara tegas. Negara diharuskan

menjamin perlindungan dan penghormatan serta pemajuan dalam rangka peri

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Karena itu,

dapat dikatakan pasal 28 yang berasal dari rumusan asli UUD 1945 sebelum

amandemen perubahan kedua memang tidak cocok dan bertentangan dengan

materi yang terkandung dalam pasal 28 huruf e ayat (3).

Seharusnya, pada waktu diadakan perubahan dalam rangka perubahan kedua

UUD 1945, ketentuan pasal 28 ini dihilangkan dan diganti dengan pasal 28 huruf e

ayat (3) tersebut. Akan tetapi, karena rumusan pasal 28 yang asli tidak dicoret, kita

35

Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah

Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 9.

Page 44: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

32

harus memahami pengertiannya dalam pasal 28E ayat (3). Hal yang perlu diingat

adalah partai politik juga tidak serta merta memiliki kekebalan dan seenaknya

melakukan aktifitasnya dengan menafikan berbagai ketentuan terutama yang

menjadi materi muatan UUD 1945. Oleh karena itu, kebebasan berserikat dan

berkumpul sebagaimana yang diatur dalam pasal 28E ayat (3) UUD 1945 memiliki

kebebasan bukan tanpa batas, tetapi justru pembatasannya adalah UUD 1945 itu

sendiri.

Hak partai politik yang tidak kalah pentingnya adalah hak yang diatur dalam

pasal 28 huruf c ayat (2) UUD 1945. Di dalam pasal tersebut disebutkan: setiap

orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara

kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Hak ini

berhubungan juga dengan hak warga negara untuk menduduki jabatan-jabatan

yang diisi melalui prosedur pemilihan umum, seperti presiden dan wakil presiden,

gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali

kota.36

Semua jabatan yang dimaksud di atas hanya berlaku dan hanya dapat

diduduki oleh warga negara Indonesia sendiri sesuai dengan maksud ketentuan

pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Kedua hak tersebut juga dilindungi oleh pasal 28

huruf d ayat (1) yang menyatakan: setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di

36

Republik Indonesia, pasal 28 huruf d ayat (3), Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945

Page 45: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

33

hadapan hukum. Agama Islam juga melarang tindakan diskriminatif, di dalam

Alqur‟an disebutkan:

8. Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan

(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu

terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu

lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui

apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Maidah; 8).

maka dari itu, perlakuan yang bersifat diskriminatif tidak dapat dibenarkan,

meskipun perlakuan tersebut berasal dari aturan hukum. karena dalam pasal 28

huruf i ayat (2) UUD 1945 disebutkan: setiap orang berhak bebas dari perlakuan

yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan

perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

Dalam konteks negara hukum Indonesia, hak konstitsional tersebut

diwujudkan dalam partai politik sebagai suatu organisasi politik yang

menjembatani antara kepentingan ideal negara (state) dengan masyarakat/warga

negara (society). Partai politik harus mampu menjadi organ penggerak perubahan

masyarakat menuju perubahan masyarakat yang unggul dan bermoral. selain itu,

partai politik mempunyai fungsi yang cukup fundamental dalam membangun

sebuah negara serta menguatkan demokrasi yang ada dalam negara tersebut, yakni

berfungsi sebagai sarana rekruitmen politik. Rekrutmen partai politik berkaitan

Page 46: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

34

erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik kepemimpinan internal parpol,

maupun kepemimpinan nasional.37

Saat ini Indonesia menganut sistem multipartai. Hal ini disebabkan oleh

kondisi sosiologi masyarakat yang beranekaragam dari segi agama, budaya, dan

suku bangsa. Hal ini menyebabkan keanekaragaman fikiran yang tidak mungkin

diakomodir oleh satu atau dua partai politik. Karena keadaan yang demikian justru

akan menimbulkan dinamika politik yang stagnan, serta tidak memberi peluang

kepada masyarakat yang lain untuk bisa masuk ke dalam pemerintahan.

Keadaan seperti ini pernah terjadi di Indonesia ketika zaman orde baru tahun

1965-1998. Selama 32 tahun DPR hanya di isi oleh partai PDI,PPP, dan golongan

karya. Setelah terkungkung oleh sistem kepartaian orde baru, Indonesia

mengalami ledakan partai politik yang luar biasa. Antara akhir mei 1998 dan

Februari 1999 kurang dari 10 bulan, telah lahir 160 partai baru. Ini berarti hampir

setiap dua hari lahir partai politik baru. Ini disebabkan karena terjadinya

amandemen UUD 1945 yang memasukan ketentuan hak konstitusional yang lebih

banyak dari sebelumnya, karena terbatasnya hak konstitusional warga negara

justru menyebabkan banyaknya terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Terutama

dalam bidang hak sosial dan hak politik masyarakat. Hak politik masyarakat

sengaja dibatasi agar pemerintahan saat itu dapat melanggengkan kekuasaannya.

Hal itu tidak dapat dibenarkan dengan alasan dapat menciptakan pemerintahan

37

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009)

edisi revisi, h. 408.

Page 47: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

35

yang efektif dan efisien, karena pemerintahan yang efisien dan efektif tidak

ditentukan oleh sedikitnya partai politik, tapi kinerja orang-orang yang ada di

dalam pemerintahan tersebut. Selain itu, pembatasan partai politik pada masa orde

baru juga menghambat kreativitas masyarakat dalam berpolitik. Masyarakat yang

punya gagasan baru tentang partai politik tentu tidak dapat terealisasikan, karena

mau tidak mau masyarakat harus tunduk dengan partai politik yang telah

ditetapkan oleh pemerintah, yakni Partai PDI-P, Partai Persatuan Pembangunan,

dan Golongan Karya.

Corak masyarakat Indonesia yang beragam suku, budaya, agama tentu tidak

mungkin secara politik hanya diakomodir oleh tiga partai politik. Apalagi saat itu

ideologi masyarakat pun dibatasi harus berideologi asas tunggal yakni : pancasila.

Pembatasan hak masyarakat dalam berpolitik juga yang menyebabkan masyarakat

ingin melakukan reformasi terhadap pemerintahan. Karena tiga partai politik itu

cenderung mengarah kepada korupsi, kolusi dan nepotisme yang telah merusak

kinerja pemerintah di Indonesia.

Sekarang masyarakat Indonesia lebih punya pilihan yang banyak terhadap

ruang politik atau pilihan terhadap partai politik. Karena pasca reformasi secara

hukum kebebasan berkumpul dalam hal partai politik banyak yang berubah secara

mendasar mulai dari UUD 1945 hingga undang-undang yang terkait dengan

pemilihan umum dan partai politik. Pemilu tahun 1999 diikuti oleh 48 partai

politik. Hal ini menunjukan terjadi perubahan yang signifikan terhadap kemajuan

implementasi kebebasan berserikat dan berkumpul yang dijamin UUD 1945.

Page 48: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

36

BAB III

TINJAUAN TENTANG PEMILIHAN UMUM DAN PERSYARATAN PARTAI

POLITIK

A. Pemilihan Umum

Arbi Sanit berpendapat bahwa pemilihan umum merupakan proses politik

yang menggunakan hak politik sebagai bahan baku untuk ditransformasikan

menjadi kedaulatan negara, maka rakyat berpeluang untuk memperjuangkan nilai

dan kepentingannya dengan menggunakan hak politik dan hak lain yang tak

diserahkan sebagai kekuatan bargain (menawar) dalam menghadapi penguasa atau

pihak yang sedang berusaha menjadi penguasa.39

Menurut Nurman Diah,

pemilihan umum adalah sarana pergantian atau kelanjutan suatu pemerintahan. Di

negara yang menganut sistem pemerintahan presidensil pemilihan umum diartikan

untuk memilih presiden. Untuk negara yang menganut sistem pemerintahan

parlementer, Pemilu dimaksudkan untuk mengantarkan wakil-wakil partai tertentu

sebanyak mungkin ke parlemen agar dapat membentuk pemerintahan.40

Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan

Pemilu, pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang

diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam

39

Arbi Sanit, Reformasi Politik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), h. 191.

40

Gouzali Saydam, Dari Bilik Suara Ke Masa Depan Indonesia, (Jakarta : PT. Raja

Grafindo Persada, 1999), h. 9.

Page 49: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

37

Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.41

Dalam negara yang menerapkan demokrasi sebagai prinsip penyelenggaraan

pemerintahan, pemilihan umum merupakan media bagi rakyat untuk menyatakan

kedaulatannya. Secara ideal, pemilihan umum atau general election bertujuan agar

terselenggara perubahan kekuasaan pemerintahan secara teratur dan damai sesuai

dengan mekanisme yang di jamin oleh konstitusi.42

Dengan demikian, pemilihan

umum menjadi prasyarat dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat secara

demokratis sehingga melalui pemilu sebenarnya rakyat sebagai pemegang

kedaulatan akan : pertama, memperbaharui kontrak sosial ; kedua, memilih

pemerintahan baru ; ketiga menaruh harapan baru dengan adanya pemerintahan

baru. Maka dari itu pemilihan umum juga ada yang menyebut sebagai alat untuk

menyehatkan kehidupan yang demokratis. Dengan pemilihan umum, rakyat dapat

memilih secara langsung para wakilnya.43

Peserta pemilihan umum terdiri dari partai politik dan perseorangan. khusus

Pemilu legislatif baik Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Daerah

bisa dari dua hal yang disebutkan diatas. Kehadiran dan peran partai politik saat ini

41

Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (1), Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang

Penyelenggaraan Pemilu.

42

Dede Mariana dan Caroline Paskarina, Demokrasi dan Politik Desentralisasi. (Bandung :

Graha Ilmu, 2007), h. 5.

43 Dahlan Thalib, DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. (Yogyakarta: Liberty,

1994), h. 19.

Page 50: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

38

menjadi prasyarat penting bagi pratik demokrasi modern di Indonesia. demokrasi

modern adalah demokrasi partai.

Pemahaman pemilihan umum dalam kerangka ilmu hukum adalah dengan

melihat kedudukan pemilihan umum dalam sifatnya yang merupakan bagian dari

dari ranah hukum publik. Hukum publik adalah hukum yang isinya mengatur

hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapan negara atau hubungan

antara negara dengan perseorangan.44

Hukum pemilihan umum hadir secara formil

dan materiil guna melindungi kepentingan umum, dalam hal ini hubungan hukum

antara warga negara dengan negara yang menguasai tertib hukum masyarakat

dalam penyelenggaraan pemilihan umum.

Secara umum, sistem pemilihan umum ada dua macam, yakni :

1. Pemilihan umum sistem distrik

2. Pemilihan umum sistem proporsional45

Pemilihan umum sistem distrik, daerah pemilihan di bagi atas distrik-distrik

tertentu. Pada masing-masing distrik pemilihan, setiap parpol mengajukan satu

calon. Contohnya : ada 3 atau 4 dalam satu distrik. Partai X mencalonkan si A

untuk bersaing pada distrik tersebut. Kemudian ada partai lain mencalonkan si B

pada distrik yang sama. A dan B mewakili partainya masing-masing, bersaing

44

CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka,

1989), h. 75. 45

May Rudi. Pengantar Ilmu Politik. (Bandung: Refika Aditama, 2003), h. 81.

Page 51: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

39

untuk memperoleh suara terbanyak, pada distrik tersebut. Misalkan si A meraih

suara terbanyak, maka untuk distrik itu A yang dipilih menjadi wakil rakyat.

Dalam hal ini tidak ada nomor urut berdasarkan tanda gambar parpol tertentu.

Para calon dinilai secara perseorangan oleh para pemilih pada masing-masing

distrik. Tidak pula ada penjumlahan atau penggabungan nilai suara antara distrik

satu dengan distrik yang lain. Satu calon yang meraih suara terbantak pada suatu

distrik itu yang terpilih menjadi wakil rakyat. Jumlah kursi masing-masing parpol,

bergantung jumlah calon-calonnya yang di pilih. Kelebihan bagi pengguna sistem

distrik ini antara lain :

1. Para pemilih benar-benar memilih calon yang disukainya. Karena jelas

siapa calon-calon untuk distrik yang bersangkutan. Bukan memilih tanda

gambar parpol, tetapi langsung merujuk pada nama sang calon untuk

distrik itu.

2. Calon terpilih merasa terikat pada kewajibannya untuk memperjuangkan

kepentingan warga distrik/daerah tersebut. Ia terpilih karena dukungan

pemilih kepadanya. Bukan berdasar nomor urut dari hasil penjumlahan

suara yang diperoleh parpolnya.

Sitem distrik juga mempunyai kelemahan, antara lain :

1. Calon terpilih kurang merasa terikat kepada kepentingan parpol yang

mengajukannya sebagai parpol, karena ia terpilih berdasarkan kemampuan

pribadinya menarik simpati rakyat (walaupun faktor kredibilitas dan

reputasi parpol ikut membantu keberhasilan calon tersebut).

Page 52: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

40

2. Cara pemilihan seperti ini kurang memberi kesempatan bagi para calon

dan bagi parpol yang hanya di dukung oleh kelompok minoritas.

Kemungkinan tidak ada kursi bagi parpol kecil dan untuk mewakili

kelompok minoritas, karena tidak ada penjumlahan suara baik secara

nasional mau pun daerah. Jumlah perolehan suara dihitung pada distrik

yang bersangkutan saja.

Indonesia yang selalu melaksanakan pemilihan umum setiap lima tahun

sekali, mulai dari pemilihan umum tahun 2004 hingga pemilihan umum tahun

2009 untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota

menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka.46

Sedangkan untuk

memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem berwakil banyak. Kedua sistem

ini baik sistem proporsional terbuka dan sistem berwakil banyak tetap digunakan

meski undang-undang tentang pemilu legislatif telah diganti, dari Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2008 hingga Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012.

B. Persyaratan Pembentukan dan Penetapan Partai Politik Sebagai Badan

Hukum Tahun 2004-2009

Perubahan undang-undang tentang partai politik sudah di mulai sejak

reformasi. Di mulai dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2002, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 sampai dengan

46

Republik Indonesia, Pasal 6 ayat (1), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang

Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan perwakilan Rakyat

Daerah

Page 53: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

41

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Pada pemilu tahun 2004, ketentuan partai

politik diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Pada undang-undang

tersebut syarat mendirikan partai politik antara lain :

1. Partai politik didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (lima

puluh) orang warga negara Repulik Indonesia yang telah berusia 21 (dua

puluh satu) tahun dengan akta notaris

2. Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat anggaran

dasar dan anggaran rumah tangga disertai kepengurusan tingkat nasional

3. Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didaftarkan

kepada Departemen Kehakiman dengan syarat :

a. Memiliki akta notaris pendirian partai politik yang sesuai dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

dan peraturan perundang-undangan lainnya.

b. Mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50 % (lima puluh

persen) dari jumlah provinsi, 50 % (lima puluh persen) dari jumlah

Kabupaten/Kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25 %

(dua puluh lima persen) dari jumlah kecamatan pada setiap

kabupaten/kota yang bersangkutan

c. Memiliki nama, lambang, dan tanda gambar yang tidak

mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya

dengan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik lain; dan,

mempunyai kantor tetap.

Setelah memenuhi persyaratan di atas, partai politik harus melewati tahap

selanjutnya yakni harus di daftarkan kepada Departemen Kehakiman, dengan

prosedur sebagai berikut :

1. Departemen Kehakiman menerima pendaftaran pendirian partai politik

yang telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2.

2. Pengesahan partai politik sebagai badan hukum dilakukan oleh Menteri

Kehakiman selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah penerimaan

pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

3. Pengesahan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.47

47

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 tahun 2002 Tentang Partai Politik.

Page 54: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

42

Setiap diadakan pemilihan umum, DPR bersama Presiden selalu memperbaharui

pengaturan partai politik. Begitu pula hal nya dengan peraturan tentang partai

politik yang di dalamnya mengatur tentang cara mendirikan partai politik.

Perubahan undang-undang partai politik diikuti pula dengan perubahan

persyaratan untuk mendirikan partai politik. Pada bagian ini penulis tidak

memaparkan pendirian persyaratan partai politik dari tahun 1999 hingga tahun

2011, melainkan hanya memaparkan persyaratan pembentukan dan penetapan

partai politik dari tahun 2009.

Untuk mengikuti pemilihan umum pada tahun 2009, persyaratan pendirian

partai politik diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai

Politik. Pada undang-undang tersebut, syarat pembentukan partai politik antara

lain :

1. Partai politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 50 orang warga

negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta

notaris

2. Pendirian dan pembentukan partai politik sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) menyertakan 30 % (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan

3. Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat AD dan

ART serta kepengurusan partai politik tingkat pusat.

4. AD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit

a. Asas dan ciri partai politik

b. Visi dan misi partai politik

c. Nama, lambang dan tanda gambar partai politik ;

d. Tujuan dan fungsi partai politik

e. Organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan

f. Kepengurusan partai politik

g. Peraturan dan keputusan partai politik

h. Pendidikan politik; dan

i. Keuangan partai politik.

Page 55: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

43

5. Kepengurusan partai politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30 % ( tiga puluh

perseratus) keterwakilan perempuan.48

Partai politik yang telah memenuhi persyaratan di atas, masih harus

memenuhi persyaratan lain agar bisa ditetapkan sebagai badan hukum. meski

partai politik telah memiliki akta notaris, partai politik harus di daftarkan ke

departemen agar menjadi badan hukum. mekanisme penetapan partai politik untuk

menjadi badan hukum antara lain :

1. Departemen menerima pendaftaran dan melakukan penelitan/ atau

verifikasi kelengkapan dan kebenaran sebagaimana dimaksud dalam pasal

2 dan pasal 3 ayat (2).

2. Penelitian dan/ atau verifikasi sebagaimana dimaksud apda ayat (1)

dilakukan paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya

dokumen persyaratan secara lengkap.

3. Pengesahan partai politik menjadi bahan hukum dilakukan dengan

keputusan Menteri paling lama 15 (lima belas) hari sejak berakhirnya

proses penelitian dan verifikasi.

4. Keputusan Menteri mengenai pengesahan partai politik sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) diumumkan dalam Berita Negara Republik

Indonesia.

Semua undang-undang partai politik dari yang pernah berlaku, mengatur

tentang syarat akta notaris pendirian partai serta nama dan lambang partai sebagai

prasyarat pendaftaran partai sebagai badan hukum. jumlah minimal pendaftar baru

diatur dalamUndang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 yakni partai politik didaftarkan

oleh minimal 50 orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri partai politik.

Undang-undang tentang partai politik juga mengatur tentang batasan

ideologi/asas partai politik. Dari semua undang-undang tentang partai politik, asas

48

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, pasal 2

Page 56: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

44

partai adalah berdasarkan pancasila dan UUD 1945, selain itu setiap partai politik

dilarang untuk menganut dan menyebarkan aliran leninisme/komunisme dan

Marxisme. Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, tidak

mensyaratkan partai politik untuk menyertakan keterwakilan perempuan sebanyak

30 % ( tiga puluh persen).

C. Persyaratan Partai Politik Sebagai Peserta Pemilihan Umum Tahun 2004-

2009

Partai politik yang telah berstatus badan hukum, tidak serta merta dapat

menjadi peserta pemilihan umum. Partai politik diwajibkan memenuhi persyaratan

yang ditentukan oleh undang-undang tentang pemilihan umum. Pada pemilihan

umum tahun 2004, berlaku Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2003, partai politik dapat menjadi peserta pemilihan umum tahun 2004

setelah memenuhi beberapa persyaratan, antara lain :

Pasal 7

(1) Partai politik dapat menjadi peserta Pemilu apabila memenuhi syarat :

a. Diakui keberadaannya sesuia dengan Undang-Undang Nomor 31

Tahun 2002 tentang partai politik

b. Memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua

pertiga) dari seluruh jumlah provinsi;

c. Memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua

pertiga) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi sebagaimana di

maksud dalam huruf b;

d. Memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau

sekurang-kurangnya 1/1000 (seperseribu) dari jumlah penduduk

Page 57: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

45

pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud

dalam huruf c yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota partai

politik;

e. Pengurus sabagai mana dimaksud dalam huruf b maupun huruf c

harus mempunyai kantor tetap;

f. Mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.

(2) Partai politik yang telah terdaftar, tetapi tidak memenuhi persyaratan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat menjadi peserta pemilu.

(3). KPU menetapkan tata cara penelitian dan melaksanakan penelitian

keabsahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan oleh KPU dan bersifat final.

Pasal 9

(1) Untuk mengikuti pemilu berikutnya, partai politik peserta pemilu harus;

a. Memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi

DPR;

b. Memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi

DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah)

jumlah provinsi seluruh Indonesia atau;

c. Memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi

DPRD kabupaten/kota seluruh Indonesia.

(2) Partai politik peserta pemilu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengikuti pemilu berikutnya apabila;

a. Bergabung dengan partai politik peserta pemilu yang memenuhi

ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

b. Bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan selanjutnya

menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik

yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah

kursi atau;

c. Bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan membentuk partai

politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga

memenuhi perolehan jumlah kursi.

Berdasarkan persyaratan yang telah disebutkan di atas, partai politik yang bisa

mengikuti pemilihan umum tahun 2004 berjumlah 24 partai politik dan sebanyak

15 partai politik memperoleh kursi di DPR. Peraturan tentang pemilu legislatif

kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Pada undang-

Page 58: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

46

undang tersebut, agar dapat menjadi peserta pemilu, partai politik harus memenuhi

syarat sebagai berikut;

Pasal 8

(1) Partai politik dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan;

a. Berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang

partai politik.

b. Memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi

c. Memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota

di provinsi yang bersangkutan

d. Menyertakan sekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh perseratus)

keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat

pusat;

e. Memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang

atau1/1000 (satu perseribu) dari jumlah penduduk pada setiap

kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf b

dan huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda

anggota;

f. Mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan sebagaimana pada

huruf b dan huruf c; dan

g. Mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.

h. Partai politik peserta pemilu pada pemilu sebelumnya dapat

menjadi peserta pemilu pada pemilu berikutnya.

(2) Partai politik peserta pemilu pada pemilu sebelumnya dapat menjadi

peserta pemilu pada pemilu berikutnya.49

Dalam penjelasan pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008,

disebutkan bahwa yang dimaksud pemilu sebelumnya ternyata bukan pemilu tahun

2004, tapi pemilihan umum tahun 2009. Jumlah partai politik peserta pemilu pada

tahun 2009 meningkat dari 24 partai menjadi 38 partai politik.

49

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan perwakilan Rakyat

Daerah

Page 59: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

47

D. Persyaratan Pembentukan Partai Politik Dan Persyaratan Partai Politik

Peserta Pemilihan Umum Tahun 2014

Menjelang pemilu tahun 2014, DPR bersama Presiden telah menyiapkan

aturan mengenai pemilihan umum anggota legislatif. Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2008 yang sebelumnya mengatur tentang pemilihan umum tahun 2009,

telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan

Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011

Tentang Partai Politik. Untuk pembentukan partai politik diatur dalam pasal 2

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Syarat pendirian partai politik antara lain:

Pasal 2

1. Partai politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 (tiga puluh) orang

warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau

sudah menikah dari setiap provinsi.

1.a. Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftarkan oleh paling

sedikit 50 (lima puluh) orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri partai

politik dengan akta notaris.

1.b. Pendiri dan pengurus partai politik dilarang merangkap sebagai anggota partai

politik lain.

2. Pendirian dan pembentukan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

3. Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1.a.) harus memuat AD dan

ART serta kepengurusan partai politik tingkat pusat.

4. AD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit:

a) Asas dan cirri partai politik;

b) Visi dan misi partai politik;

c) Nama, lambang, dan tanda gambar partai politik;

d) Tujuan dan fungsi partai politik;

e) Organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan;

f) Kepengurusan partai politik;

g) Mekanisme rekrutmen keanggotaan partai politik dan jabatan partai politik;

h) Sistem kaderisasi;

i) Mekanisme penyelesaian perselisihan internal partai politik;

Page 60: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

48

j) Peraturan dan keputusan partai politik;

k) Pendidikan politik;

l) Keuangan partai politik; dan

m) Mekanisme penyelesaian perselisihan internal partai politik.

Partai politik yang telah memenuhi persyaratan pendirian partai politik dalam

pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, masih harus memenuhi persyaratan

yang ada dalam pasal 3 untuk ditetapkan sebagai badan hukum yakni:

Pasal 3

1. Partai politik harus didaftarkan ke Kementrian untuk menjadi badan hukum.

2. Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) partai

politik harus mempunyai:

a. Akta notaris pendirian partai politik;

b. Nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan

pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda

gambar yang telah dipakai secara sah oleh partai politik lain sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

c. Kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% (tujuh puluh

lima perseratus) dari jumlah kabupaten/kota yang bersangkutan;

d. Kantor tetap pada tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai

tahapan terakhir pemilihan umum; dan

e. Rekening atas nama partai politik.

Pasal 4

1. Kementrian menerima pendaftaran dan melakukan penelitian dan/atau

verifikasi kelengkapan dan kebenaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 2

dan pasal 3 ayat (2)

2. Penelitian dan/atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya dokumen

persyaratan secara lengkap.

3. Pengesahan partai politik menjadi badan hukum dilakukan dengan Keputusan

Menteri paling lama 15 (lima belas) hari sejak berakhirnya proses penelitian

dan/atau verifikasi.

4. Keputusan Menteri mengenai pengesahan partai politik sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.

5. Ketentuan pasal 5 diubah sehingga pasal 5 berbunyi sebagai berikut:

Page 61: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

49

Pasal 5

1. AD dan ART dapat diubah sesuai dengan dinamika dan kebutuhan partai

politik.

2. Perubahan AD dan ART sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

berdasarkan hasil forum tertinggi pengambilan keputusan partai politik.

3. Perubahan AD dan ART sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

didaftarkan ke Kementrian paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak

terjadinya perubahan tersebut.

4. Pendaftaran perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyertakan

akta notaris mengenai perubahan AD dan ART.

Kemudian untuk persyaratan partai politik peserta pemilihan umum tahun

2014 diatur dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Dalam

pasal itu disebutkan:

Pasal 8

1. Partai politik peserta pemilu pada pemilu terakhir yang memenuhi ambang

batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai

partai politik peserta pemilu berikutnya.

2. Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada

pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi peserta pemilu

setelah memenuhi persyaratan:

a. Berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai

Politik;

b. Memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;

c. Memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah

kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan.

d. Memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di

kabupaten/kota yang bersangkutan;

e. Menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan

perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;

f. Memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1000

(satu perseribu) dari jumlah penduduk pada kepengurusan partai politik

sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan

kartu tandan anggota;

g. Mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkat pusat, provinsi,

dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilu;

h. Mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada

KPU;

Page 62: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

50

i. Menyerahkan nomor rekening dana kampanye pemilu atas nama partai

politik kepada KPU.

Secara hukum ada yang bertentangan antara Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2008 dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Yakni jika melihat

pada pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 di situ disebutkan:

partai politik peserta pemilu pada pemilu sebelumnya dapat menjadi peserta

pemilu pada pemilu berikutnya. Jika melihat rumusan itu, semua partai politik

yang menjadi peserta pemilihan umum tahun 2009, otomatis menjadi peserta

pemilu tahun 2014. Tapi kehadiran pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2012 justru partai politik peserta pemilu pada pemilu sebelumnya, yakni

pemilu tahun 2009 yang memenuhi ambang batas saja yang bisa langsung

ditetapkan sebagai peserta pemilu tahun 2014 tanpa syarat-syarat yang lain.

Sedangkan partai politik yang sudah menjadi peserta pemilu tahun 2009 tapi tidak

memenuhi ambang batas, maka belum bisa ditetapkan sebagai peserta pemilihan

umum tahun 2014.

Ambang batas yang dimaksud pada pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2012 tidak jelas secara hukum. Apakah yang dimaksud adalah ambang

batas pemilu, ambang batas masuk parlemen, atau ambang batas mengajukan

calon presiden. Jika yang dimaksud adalah ambang batas pemilu (electoral

threshold), Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tidak mengatur tentang

ambang batas pemilu. Hanya ada ambang batas masuk DPR yang diatur dalam

pasal 202.

Page 63: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

51

BAB IV

PERSYARATAN PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU TAHUN 2014

PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.52/PUU-X/2012

A. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi No.52/PUU-X/2012 Terhadap

Partai Politik

Partai politik yang telah mendapatkan status badan hukum dari Kementrian

Hukum dan Ham, tidak langsung bisa mengikuti pemilihan umum tahun 2014.

Sebelum adanya judicial review pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2012, ada perbedaan akibat hukum kehadiran pasal 8 tersebut terhadap

partai politik. Akibat hukum yang pertama: partai politik yang telah memenuhi

ambang batas pada pemilu 2009, otomatis ditetapkan sebagai peserta pemilu tahun

2014, tanpa melalui persyaratan lain. Akibat hukum yang kedua, partai politik

yang tidak memenuhi ambang batas, dan partai politik baru, bisa mengikuti

pemilihan umum setelah mengikuti persyaratan yang terdapat pada pasal 8 ayat (2)

undang-undang pemilu legislatif. Partai politik menghendaki agar pasal 8 ayat (1)

dan (2) dihapus oleh Mahkamah Konstitusi, karena sangat merugikan bagi partai

yang tidak memenuhi ambang batas, dan bagi partai politik baru yang harus

memenuhi persyaratan pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012.

Setelah melakukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi, akhihrnya

Mahkamah konstitusi membuat keputusan menghapus pasal 8 ayat (1), dan

menghapus sebagian pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012

Page 64: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

52

sepanjang frasa: yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada pemilu

sebelumnya atau partai politik baru. Semua partai politik baik partai lama, partai

baru, partai politik yang memenuhi ambang batas pada pemilu 2009, atau partai

politik yang tidak memenuhi ambang batas pada pemilu 2009, harus mengikuti

persyaratan yang ada di point-point pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2012 agar bisa mengikuti pemilu tahun 2014. Putusan Mahkamah

Konstitusi ini bersifat final, dan mengikat.

Mau tidak mau, partai politik baru harus memenuhi persyaratan yang tertuang

pada undang-undang pemilu legislatif meski merasa berat untuk memenuhi

persyaratan tersebut. Alasan yang pertama: setiap partai politik sudah memenuhi

persyaratan hingga di tetapkan sebagai badan hukum oleh Kementrian hukum dan

Ham. Dari hasil terakhir putusan KPU yang menyatakan hanya 12 partai politik

yang dapat mengikuti pemilu tahun 2014, tentu selain 12 partai politik tersebut,

tidak dapat menjadi peserta pemilu 2014. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012

juga tidak memberi kesempatan bagi partai politik yang tidak memenuhi

persyaratan peserta pemilu, agar diberi pilihan lain untuk dapat mengikuti

pemilihan umum tahun 2014.

Pada pemilu tahun 2009, partai politik yang tidak memenuhi persyaratan

peserta pemilihan umum, masih diberi kesempatan oleh Undang-Undang Nomor

10 Tahun 2008, pada ketentuan peralihan pasal 315yang menyatakan bahwa;

Partai politik peserta pemilu tahun 2004, yang memperoleh sekurang-

kurangnya 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-

Page 65: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

53

kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar

sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau

memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD

kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah) jumlah

kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai partai politik peserta

pemilu setelah pemilu tahun 2004

Pada pasal 316 memuat ketentuan bagi partai politik yang tidak memenuhi

persyaratan pasal 315, dapat menjadi peserta pemilu apabila;

a. Bergabung dengan partai politik peserta pemilu yang memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 315; atau

b. Bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud pada pasal 315 dan selanjutnya menggunakan

nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung, sehingga

memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau

c. Bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 315 dengan membentuk partai politik

baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan

jumlah kursi; atau

d. Memiliki kursi di DPR RI hasil pemilu 2004; atau

e. Memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU untuk menjadi partai politik

peserta pemilu sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini.

Page 66: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

54

Hal ini berbeda sekali dengan pemilu tahun 2014, yang sama sekali tidak

memberi ruang kepada partai politik ketika tidak memenuhi persyaratan menjadi

peserta pemilu 2014, sama sekali tidak ada kesempatan untuk mengikuti pemilu

tahun 2014 apabila tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam pasal 8

ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 baik sebelum maupun setelah

adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi. Ini tentu menghalangi hak

konstitusional partai politik yang ingin ikut dalam pemilu tahun 2014, terutama

pasal 28 C ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan : setiap orang berhak untuk

memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk

membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Kedaulataran rakyat memang

harus di batasi oleh hukum, tapi pembatasan itu bukan berarti bersifat

diskriminatif, sebagian lain boleh mengikuti pemilu, sebagian yang lain tidak bisa

mengikuti pemilu. Karena sejatinya hukum yang membatasi kedaulatan rakyat itu

dibuat oleh rakyat sendiri, maka dari itu hukum harus merupakan penjelmaan

kehendak seluruh rakyat, bukan sebagian rakyat.55

Selain itu negara adalah suatu

kumpulan berbagai golongan-golongan yang bersepakat untuk hidup bersama, dan

kemudian untuk tujuan kolektif56

, bukan kepentingan sebagian golongan.

Hukum adalah produk politik. Sebagai produk politik, bisa saja undang-

undang berisi hal-hal yang bertentangan dengan UUD atau konstitusi, bahkan

55

Soehino, Ilmu Negara, cet, ke-7, (Yogyakarta: Liberty,2005), , h.161.

56

Kranenburg dan Sabaroedin, Ilmu Negara Umum, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1980), cet,

ke-6, h. 48.

Page 67: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

55

tidak jarang bertentangan dengan budaya masyarakat. Minimal dua hal yang dapat

menyebabkan sebuah undang-undang memuat hal-hal yang bertentangan dengan

UUD 1945 atau konstitusi. Pertama, Pemerintah dan DPR sebagai lembaga

legislatif yang membuat undang-undang, adalah lembaga politik yang sangat

mungkin membuat undang-undang atas dasar kepentingan politik mereka sendiri

atau kelompok yang dominan di dalamnya. Kedua, pemerintah dan DPR, sebagai

lembaga politik, dalam aktanya lebih banyak berisi orang-orang yang bukan ahli

hukum atau kurang biasa berfikir menurut logika hukum. mereka direkrut atas

dasar ketokohannya dan berhasil meraih dukungan politik tanpa pertimbangan

keahlian di bidang hukum.57

Kehadiran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 yang menyebabkan

terlanggarnya hak konstitusional partai politik yang ingin mengikuti pemilihan

umum tahun 2014. Ini menunjukan kehadiran undang-undang pemilu legislatif

tidak tercipta dari orang yang ahli di bidang hukum. dan program legislasi nasional

yang lahir dari kebutuhan masyarakat tidak berjalan maksimal.

Dari sudut pandang ilmu hukum, hal ini bertentangan dengan teori jenjang

norma hukum (stufentheori) dari hans kelsen yang menyatakan bahwa norma

hukum itu berjenjang dan berlapis-lapis, dalam arti, suatu norma yang lebih rendah

57

Moh Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: Rajawali

Pers, 2010), h.127-128.

Page 68: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

56

berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi.58

Dalam hal ini

setiap perundang-undangan mulai dari undang-undang hingga peraturan daerah

tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Banyaknya fakta lahirnya undang-

undang yang bertentangan dengan UUD 1945 menunjukan bahwa undang-undang

tersebut tidak bersumber serta tidak di jiwai oleh UUD 1945.

Memang tidak mudah untuk melahirkan undang-undang khususnya di bidang

politik yang cukup ideal mengaspirasi golongan-golongan di dalam masyarakat.

Akan tetapi, setidaknya pemerintah bersama DPR harus dapat meminimalisir

undang-undang baru yang kemudian justru kehadirannya menimbulkan masalah,

atau bahkan menghalangi hak konstitusional warga negara Indonesia. karena

jumlah undang-undang yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi

jumlahnya cukup banyak, tak terkecuali undang-undang tentang pemilu legislatif.

A. Analisis Persyaratan Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2014 Pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi No.52/PUU-X/2012

Pada tanggal 26 juni tahun 2012, sejumlah 17 partai politik mengajukan

permohonan judicial review Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Dewan perwakilan Rakyat Daerah kepada Mahkamah Konstitusi. Partai

politik tersebut diantaranya : Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan

58

Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan,

(Yogyakarta: Kanisius, 2007), h. 41.

Page 69: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

57

Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai

Demokrasi Kebangsaan (PDK), Partai Republika Nusantara (PRN), dan 12 partai

lain yang kemudian disebut sebagai pemohon.59

Para pemohon merasa hak konstitusionalnya sebagai partai politik dilanggar

dengan adanya ketentuan pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012.

Pasal 8 ayat (1) tersebut berbunyi : Partai politik peserta pemilu pada pemilu

terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah

secara nasional ditetapkan sebagai partai politik peserta pemilu pada pemilu

berikutnya. Selanjutnya di sebutkan dalam pasal 8 ayat (2) : partai politik yang

tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada pemilu sebelumnya atau

partai politik baru dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan

sebagai berikut:

a) Berstatus badan hukum sesuai dengan undang-undang tentang partai

politik;

b) Memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;

c) Memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah

kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;

d) Memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan

di kabupaten/kota yang bersangkutan;

e) Menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen)

keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat

pusat;

f) Memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau

1/1000 (satu perseribu) dari jumlah penduduk pada kepengurusan

partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan

dengan kepemilikan kartu tanda anggota;

g) Memiliki kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkat pusat,

provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilu;

h) Mengajukan nama, lambang, tanda gambar partai politik kepada KPU;

59

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 52/PUU-X/2012.

Page 70: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

58

i) Menyerahkan nomor rekening dana kampanye pemilu atas nama partai

politik kepada KPU.

Ketentuan pasal 8 ayat (1) sepanjang frase “yang memenuhi ambang batas

perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional dan ayat (2) sepanjang frase;

partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada pemilu

sebelumnya merugikan hak konstitusional pemohon. Secara substansi, pengaturan

tentang syarat partai politik peserta pemilu melanggar pasal 28 C UUD 1945:

setiap orang berhak mengajukan dirinya dalam memperjuangkan hak nya secara

kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Syarat partai

politik yang ditentukan dalam pasal 8 ayat (2) tentu terasa mudah bagi partai

politik yang sudah lama berdiri, seperti partai golkar, partai persatuan

pembangunan, partai demokrasi Indonesia perjuangan. Lain halnya dengan partai

yang baru berdiri sejak reformasi, seperti partai karya peduli bangsa, partai

republika nusantara, partai demokrasi kebangsaan merasa kesulitan untuk

memenuhi persyaratan tersebut. Dari sudut pandang hukum, jika diperhatikan, ada

kesamaan antara persyaratan pendirian partai politik sebagai badan hukum, dan

persyaratan mengikuti pemilihan umum, yakni syarat keterwakilan perempuan 30

% (tiga puluh persen), dan memiliki kepengurusan 75% (tujuh puluh lima persen)

kepengurusan dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan.60

60

Perhatikan bunyi pasal 3 ayat 2 huruf (c), pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2011 dan pasal 8 ayat (2) huruf (c), dan (e) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012.

Page 71: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

59

Kinerja lembaga perwakilan rakyat dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR) patut dipertanyakan kinerja proses legislasinya. Mengaapa syarat pendirian

partai politik dan syarat mengikuti pemilu bisa sama secara substansial. Apakah

lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 telah sesuai secara formal dan

secara substansial. Secara formal, setiap proses pembentukan peraturan-

perundang-undangan harus mengacu kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011. Sedangkan secara substansial, hukum harus berangkat dari nilai-nilai yang

hidup di masyarakat serta melibatkan masyarakat dalam pembahasan dan pemberi

masukan.61

Dalam konteks filsafat hukum, proses pembentukan hukum yang

melibatkan masyarakat masuk ke dalam mazhab sociological jurisprudence

Pandangan tentang hukum dan masyarakat juga muncul dari mazhab

sociological jurisprudence dengan tokohnya Eugen Erlich dan Roscoe Pound.

Erlich melihat ada perbedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup di

dalam masyarakat (living law). Menurutnya, hukum positif baru akan memiliki

daya berlaku yang efektif apabila berisikan, atau selaras dengan dengan hukum

yang hidup di dalam masyarakat tadi. Mazhab ini sangat menghargai pentingnya

peranan masyarakat dalam pembentukan hukum.62

Erlich ingin membuktikan

kebenaran teorinya, bahwa titik pusat perkembangan hukum tidak terletak pada

61

Jurnal Pemilu dan Demokrasi, Transparansi, Partisipasi, dan Demokrasi. (Jakarta:

Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi, 2013), edisi februari, h.132.

62

Bernald L Tanya, dkk, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,

(Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), h. 141.

Page 72: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

60

undang-undang, putusan hakim, atau ilmu hukum, tetapi pada masyarakat itu

sendiri.

Selanjutnya menurut Roscoe Pound yang juga penganut sociological

jurisprudence, punya pandangan berbeda terhadap hukum. Bagi Pound hukum

adalah untuk memperbaharui masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut,

menurutnya hukum harus mampu melindungi tiga kepentingan, yakni kepentingan

umum, dalam hal ini negara, kepentingan masyarakat, dan kepentingan pribadi.63

Hubungan mazhab sociological jurisprudence dengan Indonesia sebagai

negara hukum, jika mengacu kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dimana disebutkan adanya

naskah akademik bagi pembentukan undang-undang yang berangkat dari

penelitian terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat, maka

Indonesia menganut mazhab sociological jurisprudence.

Melihat adanya kesamaan pasal diantara dua undang-undang, serta banyak

nya partai politik yang dirugikan oleh keberadaan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2012, maka penulis berpendapat tidak ada komunikasi yang baik dalam

proses pembuatan undang-undang tersebut antara anggota dewan dengan

masyarakat, dalam hal ini partai politik.

Hal lain yang perlu diingat adalah, meski Dewan Perwakilan Rakyat yang

mempunyai wewenang membuat undang-undang diisi oleh partai politik di

63

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia,

2008), h. 130-131.

Page 73: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

61

dalamnya, mereka tetap harus memperhatikan aspirasi partai politik yang tidak

memiliki kursi di DPR. Selain itu, pelaksanaan program legislasi nasional harus

maksimal. Hal ini disebabkan karena hukum mempunyai peranan penting dalam

pembangunan Indonesia. pertama, hukum berfungsi sebagai alat perubahan

masyarakat, instrument penyelesaian masalah (dispute resolution), dan insturmen

pengatur perilaku masyarakat (social control).64

Dalam praktiknya, keterbukaan tersebut belum berjalan sebagaimana

mestinya. Masih terjadi ketertutupan dalam proses penyiapan bahan dan

pembahasan RUU di internal pemerintah maupun DPR belum optimal. Mekanisme

partisipasi dan transparansi belum dibangun dengan baik di tingkat internal

pemerintah dan DPR. Pembahasan yang tertutup menyebabkan RUU-RUU yang

diusulkan sama sekali tidak dapat dijangkau oleh masyarakat. RUU tidak dapat

mendapat perhatian masyarakat, prosesnya akan terus berjalan, sehingga akhirnya

kemudian disahkan.65

Pemerintah serta DPR punya pandangan berbeda dalam menanggapi adanya

persyaratan partai politik sebagai perserta pemilihan umum. Menurut pemerintah,

setiap adanya pemilu perlu adanya ambang batas pemilu (electoral threshold) agar

bisa melihat bahwa partai politik yang mampu memenuhi ambang batas pemilu

adalah cerminan mendapat dukungan mayoritas dari masyarakat, serta dapat

64

Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan Proses dan Teknik Pembentukannya,

(Yogyakarta: Kanisius, 2007), h. 51.

65

Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia,Pemantauan dan Pengkajian Proses legislasi

Serta Pemasalahan Aktual di Bidang Hukum, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI, 2011), h. 6.

Page 74: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

62

mewujudkan penyerderhanaan partai politik di dalam lembaga legislatif. Apabila

penyederhanaan partai dapat terwujud, maka akan tercipta iklim pemerintahan

yang kuat, tegas, bersih, berwibawa; bertanggung jawab, dan transparan. Dari

kacamata sosial, orang yang telah memegang kekuasaan, cenderung akan

mempertahankan kekuasaan tersebut. Cara-cara atau usaha-usaha yang dapat

dilakukannya antara lain : Dengan jalan menghilangkan segenap peraturan-

peraturan lama, terutama dalam bidang politik, yang merugikan kedudukan

penguasa, digantikan dengan peraturan-peraturan baru yang akan menguntungkan

penguasa.66

Secara das sollen memang politiklah yang harus tunduk pada hukum, tapi

secara das sein atau empirik menunjukan hukum justru ditentukan oleh keputusan

politik. Untuk kasus Indonesia terjadi juga fenomena menonjolnya fungsi hukum

sebagai sarana kekuasaan politik dominan yang lebih terasa dibandingkan dengan

fungsi-fungsi lain. Bahkan, fenomena itu dapat dilihat dari nilai dan prosedur

hukum, perundang-undangan dan birokrasi penegak hukum yang bukan hanya

mencerminkan hukum sebagai kondisi dan proses pembangunan melainkan juga

menjadi penopang tangguh struktur politik.67

Contohnya adalah, DPR lebih

tanggap dan merespon perubahan undang-undang yang berkaitan dengan politik

ketimbang yang berhubungan dengan partai politik, pemilu, ketimbang undang-

66

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2007), h.273.

67

Mulyana W Kusumah, Perspektif, Teori dan Kebijaksanaan Hukum, (Jakarta: Rajawali,

1986), h. 19-20.

Page 75: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

63

undang yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat, seperti undang-undang

bantuan hukum, KUHAP.

Pendapat DPR tentang persyaratan partai politik peserta pemilu adalah

sebagai upaya menciptakan sistem presidensil yang efektif dan efisien. Kemudian

terkait pembedaan persyaratan terhadap partai politik yang memenuhi ambang

batas, dengan partai politik yang tidak memenuhi ambang batas, itu bukanlah hal

yang bersifat diskriminatif, melainkan adalah reward (penghargaan) dan

punishment (hukuman) bagi partai politik. Partai politik yang tidak memenuhi

ambang batas pemilu pada tahun 2009, diberikan punishment (hukuman) berupa

syarat-syarat yang berat untuk mengikuti pemilihan umum tahun 2014. Penulis

merasa aneh melihat pendapat DPR dalam putusan Mahkamah Konstitusi seperti

ini, karena hukuman diberikan karena seseorang melakukan pelanggaran yang

ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan ada sanksi yang disebutkan

pula dalam suatu peraturan.

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, tidak ada satu pasal

pun yang menyebutkan jika tidak memenuhi ambang batas, maka diberi sanksi

tidak bisa mengikuti pemilu berikutnya. Dalam kacamata ilmu hukum juga terasa

janggal, ambang batas tidak ada kaitannya dengan norma sosial, norma agama,

atau hati nurani masyarakat, sehingga pemberian hukuman (punishment) terhadap

partai politik yang tidak memenuhi ambang batas, bagi penulis kurang tepat.

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa maksud dari pembuat undang-

undang terhadap penyederhanaan partai peserta pemilu hanya tepat bagi ambang

Page 76: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

64

batas memasuki kursi di DPR, bukan ambang batas mengikuti pemilu. Ambang

batas parlemen (Parliamentary threshold) diterapkan karena jumlah kursi DPR

yang terbatas, dan tidak mungkin bisa mewakili seluruh aspirasi masyarakat

melalui partai politik yang beraneka ragam. Kemudian syarat-syarat terhadap

peserta pemilu tidak boleh berbeda-beda bagi partai politik. Ada partai politik

yang bisa mengikuti pemilu tahun 2014 karena telah mencapai ambang batas

pemilu berikutnya, tapi banyak partai politik yang harus melewati beberapa

persyaratan untuk bisa mengikuti pemilu 2014.

Untuk mencapai persamaan hak masing-masing partai politik ada dua solusi

yang dapat ditempuh, pertama menyamakan persyaratan peserta kepesertaan

pemilu antara partai politik peserta pemilu tahun 2009 dan partai politik peserta

pemilu tahun 2014, atau kedua, mewajibkan seluruh partai politik yang akan

mengikuti pemilu tahun 2014 dengan persyaratan baru yang ditentukan dalam

undang-undang. Demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah menentukan bahwa

untuk mencapai perlakuan yang sama dan adil itu seluruh partai politik peserta

pemilu tahun 2014 harus mengikuti veriikasi. Dengan semangat yang sejalan

dengan maksud pembentuk undang-undang, demi penyederhanaan partai politik,

menurut Mahkamah Konstitusi syarat menjadi peserta pemilihan umum yang

diatur dalam pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 harus

diberlakukan kepada semua partai politik yang akan mengikuti pemilu tahun 2014

tanpa kecuali. Akhirnya dalam putusan Mahkamah Konstitusi terkait judicial

review UU 8/2012 mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian :

Page 77: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

65

1. Pasal 8 ayat (1) dan penjelasan pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah( Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2012 nomor 117

tambahan lembaran negara Republik Indonesia nomor 5316) bertentangan

dengan UUD 1945.

2. Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan

Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (lembaran Negara Republik

Indonesia tahun 2012 nomor 117 tambahan lembaran Negara Republik

Indonesia nomor 5316) sepanjang frase “yang tidak memennuhi ambang

batas perolehan suara pada pemilu sebelumnya atau partai politik baru”

dan penjelasan pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012

Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah( Lembaran

Negara Republik Indonesia tahun 2012 nomor 117 tambahan lembaran

negara Republik Indonesia nomor 5316) sepanjang frasa “yang dimaksud

dengan partai politik baru adalah partai politik yang belum pernah

mengikuti pemilu” bertentangan dengan UUD 1945.68

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No.52/PUU-X/2012 tersebut,

seluruh partai politik yang inign mengikuti pemilihan umum tahun 2014,

diharuskan memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. Berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang Partai Politik;

b. Memiliki kepengurusan di seluruh provinsi

c. Memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima) persen jumlah

kabupaten/kota yang bersangkutan;

d. Memiliki kepengurusan di 50 % (lima puluh) persen jumlah kecamatan di

kabupaten/kota yang bersangkutan;

e. Menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh) persen keterwakilan

perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;

f. Memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1000 9

satu perseribu) dari jumlah penduduk pada kepengurusan partai politik

sebagaimanna dimaksud pada huru c yang dibuktikan dengan kepemilikan

kartu tanda anggota;

68

Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor.52/PUU-X/2012.

Page 78: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

66

g. Mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkat pusat, provinsi, dan

kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilu;

h. Mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU;

dan menyerahkan nomor rekening dana kampanye pemilu atas nama partai

politik kepada KPU.

Partai politik sebenarnya ingin Mahkamah Konstitusi menghapus keseluruhan

pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, karena bagi partai politik

baru, untuk memenuhi persyaratan di atas dirasa cukup berat. Akhirnya

berdasarkan keputusan KPU Nomor: 05/ktps/KPU/TAHUN 2013 tentang

penetapan partai politik peserta pemilu 2014, menetapkan bahwa sepuluh partai

politik dinyatakan memenuhi syarat sebagai peserta pemilu 2014.69

, dan ditambah

3 partai lokal dari aceh. Dan 24 partai politik dinyatakan tidak dapat mengikuti

pemilu 2014 karena tidak memenuhi persyaratan. Ketua KPU, Husni Kamil Manik

menyatakan, sesuai pasal 259 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012,

keputusan KPU dapat berubah, apabila ada keputusan dari lembaga sengketa

penyelengaraan pemilu.

Melihat keputusan KPU pada bulan Januari 2013 yang menetapkan peserta

pemilihan umum hanya 10 partai politik yang bisa mengikuti pemilihan umum,

tentu banyak partai politik yang kecewa terhadap keputusan tersebut, terutama

partai politik yang mengajukan judicial review Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2012. Akhirnya Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) mencoba menguji

keputusan KPU tersebut kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Kemudian

69

Komisi Pemilihan Umum, Suara KPU, edisi Januari, (Jakarta: Komisi Pemilihan Umum,

2013), h. 4.

Page 79: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

67

Bawaslu mengeluarkan Keputusan Nomor 012/SP-2/Set.Bawaslu/I/2013 yang

isinya menetapkan PKPI sebagai peserta pemilihan umum. Melihat keputusan

Bawaslu tersebut, KPU kemudian melaksanakan pleno dan memutuskan, tidak

dapat melaksanakan keputusan tersebut.70

Menurut KPU, keputusan seperti itu sesuai dengan ketentuan pasal 258 ayat

(1) dan pasal 259 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 yang

menyatakan keputusan Bawaslu bersifat mengikat, kecuali keputusan terhadap

sengketa pemilu yang berkaitan dengan verifikasi partai politik peserta pemilu dan

daftar calon tetap anggota, DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota.

Alasan kedua secara hukum adalah Bawaslu tidak mempunyai kompetensi untuk

membatalkan peraturan KPU. Menurut penulis, KPU tidak secara menyeluruh

memandang hukum, khususnya pasal 259 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012.

Pada pasal 259 KPU hanya memandang ayat (1), tapi tidak memandang ayat (2),

bahwa Bawaslu berhak menyelesaikan sengketa pemilu yang berkaitan dengan

verifikasi partai politik peserta pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD

provinsi, DPRD kabupaten/kota. kemudian Sesuai dengan pasal 259 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, para pihak yang merasa kepentingannya

dirugikan oleh keputusan KPU, dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan

Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Akhirnya dua partai politik yakni Partai

Bulan Bintang (PBB) dan Partai keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)

70

Komisi Pemilihan Umum, Suara KPU, edisi Februari, (Jakarta: Komisi Pemilihan Umum,

2013), h.5.

Page 80: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

68

mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN)

Jakarta. PTTUN Jakarta mengabulkan gugatan PKPI Nomor:

25/G/2013/PTTUN.71

PTTUN juga mengabulkan gugatan Partai Bulan Bintang

Nomor : 12/6/2013/PTTUN..JKT. memutuskan bahwa PBB memenuhi syarat

sebagai peserta pemilu 2014 di 12 daerah yang oleh KPU di gagalkan. Alasan

PTTUN Jakarta mengabulkan gugatan kedua partai tersebut karena KPU telah

melakukan perbuatan melawan hukum dengan tidak melaksanakan keputusan

Bawaslu yang sebelumnya telah menetapkan PKPI sebagai peserta pemilu.

Ketua KPU, Husni Kamil berpendapat meski PTTUN telah mengabulkan

gugatan terhadap dua partai politik yang kemudian ditetapkan sebagai peserta

pemilu, hal ini masih memberi ruang bagi KPU untuk melakukan kasasi kepada

Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan PTTUN Jakarta. Tapi, KPU lebih

memilih melaksanakan putusan PTTUN daripada melakukan kasasi, karena jika

dilakukan kasasi, akan memakan waktu sekitar 2 bulan dan hal ini akan

melampaui tahapan pencalonan yang sudah ditetapkan oleh pasal 57 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 menyatakan bahwa pengajuan calon

anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota.

Mencermati rentetan peristiwa di atas, yakni PKPI dan PBB yang pada

akhirnya bisa menjadi peserta pemilihan umum 2014, seharusnya partai politik

lain yang tidak dapat menjadi peserta pemilihan umum yang sebelumnya

71

Komisi Pemilihan Umum, Suara KPU, edisi Maret, (Jakarta: Komisi Pemilihan Umum,

2013), h. 10.

Page 81: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

69

melakukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi yakni : Partai Karya

Peduli Bangsa (PKPB), Partai Republika Nusantara (PRN), Partai Kebangkitan

Nasional Ulama (PKNU), Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), serta partai lain

yang ikut dalam judicial review Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, ikut

mengajukan gugatan kepada Bawaslu atau kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha

Negara agar bisa menjadi peserta pemilu 2014.

Bagi partai politik yang selain PBB dan PKPI tentu terasa berat untuk

memenuhi persyaratan peserta pemilu 2014, karena Mahkamah Konstitusi hanya

menghapus frasa : yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada

pemilu sebelumnya, atau partai politik baru. Sedangkan persyaratan peserta pemilu

tetap pada sebelum dilakukan judicial review. hal ini menyebabkan partai-partai

politik baru sulit untuk memenuhi persyaratan tersebut. Terutama kepengurusan di

seluruh provinsi, kantor tetap, dan keterwakilan perempuan sebanyak 30% (tiga

puluh persen). Pasca putusan Mahkamah Konstitusi, KPU telah mengumunkan

partai politik yang lulus verifikasi administrasi sebanyak 16 partai politik.72

Ke-16

partai tersebut antara lain; Partai Hanura, Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai

PDI-P, Partai Nasdem, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Peduli Rakyat

Nasional, Partai Damai Sejahtera, Partai Demokrat, Partai Nasional Republik,

Partai Partai Kedaulatan, Partai Nasional Indonesia Marhaenisme. Setelah

dilakukan verifikasi faktual, hanya 10 partai politik yang lolos sebelum adanya

72

Jurnal Legislasi Indonesia, Menyongsong Pemilu 2014, (Jakarta: Dirjen Peraturan

Perundang-Undangan KEMENKUMHAM), volume 9, no.4, h. 544-555.

Page 82: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

70

gugatan dari PKPI dan PBB. Verifikasi administrasi dilakukan dengan cara

memeriksa kelengkapan dokumen pendaftaran partai peserta politik yang isinya

berupa syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2012.73

Sedangkan verifikasi faktual adalah memeriksa secara nyata bukti-bukti

dokumen yang telah diberikan partai politik kepada KPU dengan cara memeriksa

secara langsung ke tingkat provinsi, kabupaten/kota. Contohnya memeriksa

susunan partai politik di tingkat provinsi, keterwakilan perempuan, kantor tetap.

Setelah dilakukan veriikasi faktual, hanya 10 partai yang lolos menjadi peserta

pemilu ditambah dengan PKPI dan PBB didahului dengan gugatan kepada

PTTUN. Berarti jika PKPI dan PBB tidak melakukan gugatan kepada PTTUN,

maka kedua partai tersebut tidak lolos sebagai peserta pemilu 2014. Dari 34 partai

politik yang telah mendaftar ke KPU, 12 partai ditetapkan sebagai peserta pemilu,

sehingga jumlah partai politik yang tidak lolos berjumlah 22 partai politik.

Sebagian besar partai politik yang lolos adalah partai parlemen. Hanya dua partai

politik yang bukan partai parlemen, partai nasdem dan partai keadilan dan persatan

Indonesia.

Bagi partai politik yang sudah puluhan tahun berdiri, seperti Golkar, PPP,

PDI-P tentu mudah untuk memenuhi persyaratan, karena jumlah kader nya sudah

banyak, dan sudah ada yang menduduki posisi di parlemen. Lain halnya dengan

partai-partai yang baru dibentuk pasca reformasi, seperti ;Partai Republika

Nusantara, Partai Buruh, Kebangkitan Nasional ulama, tentu sulit memenuhi

73

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 tahun 2012, pasal 15

Page 83: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

71

persyaratan peserta pemilu. Bagi penulis persyaratan yang cukup sulit untuk

dipenuhi partai politik baru adalah kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkat

pusat, provinsi, kabupaten/kota. Butuh biaya yang luar biasa untuk memiliki

kantor tetap di seluruh provinsi Indonesia. kedua adalah persyaratan keterwakilan

perempuan 30% di tingkat pusat. Tidak mudah bagi partai politik untuk merekrut

perempuan untuk masuk kedalam partai. Hal ini disebabkan karena dalam konteks

negara Indonesia yang masih mengalamai ketimpangan gender khususnya di

daerah daerah, yang menganggap tabu bahwa politik hanyalah ranah untuk laki-

laki, sehingga tidak selayaknya perempuan masuk ke dalam ranah politik. Serta

masih banyaknya diskirminasi gender yang menyebabkan perempuan terhalang

untuk berkontribusi aktif dalam kehidupan publik yang selanjutnya akan

menyebabkan kurang maksimalnya pencapaian hidup yang berkualitas.74

Partai politik harus fokus kepada pengkaderan dan pendidikan politik yang

baik khususnya kepada perempuan, jangan hanya berfokus kepada syarat verifikasi

agar bisa ditetapkan sebagai peserta pemilu. Karena banyak partai politik ketika

merekrut perempuan untuk masuk ke dalam partai dilakukan dengan cara paksaan

atau iming-iming agar perempuan bisa bergabung ke dalam partai tersebut. Pada

kenyataannya kita juga jarang menyaksikan di televisi atau di media massa

keterlibatan perempuan dalam hal membicarakan tema-tema politik, kalaupun ada

lebih cenderung kepada tema-tema politik yang ada kaitannya dengan perempuan.

74

Komnas Perempuan, Mendekatkan Akses Keadilan Bagi perempuan Korban: Himpunan

Kertas Posisi Atas Berbagai kebijakan Tahun 2010-2012, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2013), h.

212.

Page 84: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

72

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan penulis adalah

sebagai berikut:

1. Akibat hukum pasca putusan Mahkamah Konstitusi yaitu 22 partai politik

tidak bisa menjadi peserta pemilihan umum tahun 2014, karena

Mahkamah Konstitusi hanya menghapus frasa : “yang tidak memenuhi

ambang batas, atau partai politik baru”. Sedangkan syarat yang

memberatkan partai politik baru tidak dihapus oleh Mahkamah Konstitusi.

2. Persyaratan partai politik peserta pemilihan umum tahun 2014 pasca

putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan hak konstitusional

yang dijamin dalam pasal 28 huruf c ayat (2), pasal 28 huruf d ayat (1),

ayat (3), pasal 28 huruf I ayat (2) UUD 1945, karena hanya 12 partai

politik yang lolos menjadi peserta pemilu tahun 2014. 9 partai politik yang

lolos menjadi peserta pemilu adalah partai parlemen, 2 partai politik baru,

dan 1 partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR pada pemilu tahun

2009.

Page 85: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

73

B. Saran-Saran

Dari hasil penelitian yang dilakukan, penulis merasa perlu untuk

menyampaikan saran-saran sebagai berikut:

1. Penulis menyarankan agar persyaratan peserta pemilu berikutnya tidak

hanya berisi syarat administratif, seperti: kartu anggota partai politik,

berstatus badan hukum, pengajuan nama, lambang, dan tanda gambar,

serta nomor rekening partai politik. Tapi juga memperhatikan peran partai

politik dalam membantu tugas-tugas kemanusiaan, seperti ikut membantu

konflik agrarian yang sering terjadi di daerah-daerah, dan melakukan

pendidikan politik yang baik kepada masyarakat, tidak sekedar hanya

perekrutan menjelang pemilu.

2. Pelaksanaan program legislasi nasional dalam hal ini pembuatan undang-

undang pemilu harus benar-benar berasal dari kebutuhan masyarakat. Dan

jangan sampai kehadiran undang-undang justru menimbulkan masalah

baru serta bertentangan dengan UUD 1945.

Page 86: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

74

DAFTAR PUSTAKA

Kitab Suci

Al Qur’an dan Terjemahan

Buku

Abdullah, Rozali. Mewujudkan Pemilu yang Berkualitas. Jakarta: Rajawali Pers,

2009.

Asshidiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2010.

__________.Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah

Konstitusi. Jakarta: konstitusi press, 2006.

__________.Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta:

Buana Ilmu Komputer, 2007.

__________.Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press

Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, edisi revisi. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, edisi revisi 2009.

__________.Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia, 1989.

Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Jakarta: PT.

Gramedia, 2008.

Dian, Rositawati. Serial Bacaan kursus HAM untuk Pengacara. Jakarta: Elsam, 2005.

Fahmi, Khairul. Pemilihan Umum Kedaulatan Rakyat. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

Fajrul, Falakh dan Arianto Satya. Hukum Hak Asasi Manusia. Pusham UII,

Yogyakarta, 2008

Gaffar, Janedri Muhammad. Demokrasi Konstitusional Praktik Ketatanegaraan

Indonesia setelah perubahan UUD 1945. Jakarta: Konstitusi Press, 2012

Hadi, hardono. Hakikat & Muatan Filsafat Pancasila. Yogyakarta: penerbit kanisius,

1996.

Page 87: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

75

Hartanto, Tubagus Karyo. Mekanisme Judicial Review. Jakarta: Lembaga Studi dan

Advokasi Masyarakat, 2005.

Huda, Ni’matul. UUD 1945 dan Gagasan Amaandemen Ulang. Jakarta: Rajawali

Pers, 2008.

Ibrahim, Johny. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:

Bayumedia Publishing, 2008.

Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan Proses dan Tehnik

Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius, 2007

.

__________.Ilmu Perundang-Undangan Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan.

Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Kaelan, MS. Filsafat Pancasila Pandangan Hidup Bangsa Indonesia.Yogyakarta:

Paradigma, 2002.

Kansil C.S.T. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta,

2000.

Komisi Hukum Nasional. Pemantauan dan Pengkajian Proses Legislasi Serta

Permasalahan Aktual di Bidang Hukum. Jakarta: Komnas Ham, 2011.

Komnas Perempuan. Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban:

Himpunan Kertas Posisi Atas Berbagai Kebijakan Tahun 2010-2012.

Jakarta: Komnas Perempuan, 2013.

Kusuma, Mulyana W. Perspektif, Teori dan Kebijaksanaan Hukum. Jakarta:

Rajawali, 1986.

__________.Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka, 1989.

Lubis, Solly M. Asas-Asas Hukum Tata Negara.cet-2.Bandung: Alumni,1978.

__________.Landasan dan Tehnik Perundang-Undangan. Bandung: Mandar Maju,

1989.

Majda, El Muhtaj. Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia dari UUD 1945

Sampai dengan Amaandemen UUD 1945 Tahun 2002. Jakarta: Kencana

Prenada, 2007.

Page 88: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

76

Mariana, Dede dan Caroline Paskarina. Demokrasi dan Politik Desentralisasi.

Bandung: Graha Ilmu, 2007.

Marzuki, Peter Mahmud.Penelitian Hukum. Jakarta :Kencana Prenada Media Group,

2008.

MD, Moehammad Mahfud. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi.

Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Modeon, Supardan. Teknik Perundang-Undangan di Indonesia. Jakarta: Perca, 2005.

Napitupulu, Paimin. Menuju Pemerintahan Perwakilan. Bandung: PT alumni, 2007.

Palguna, I Gede. Mahkamah Konstitusi Judicial Review dan Welfare State. Jakarta:

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.

Riewanto, Agus. Ensiklopedi Pemilu. Yogyakarta: Lembaga Studi & Agama, 2007.

Rudi, May. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Refika Aditama, 2003.

Sabaroedin, dan Kranenburg. Ilmu Negara Umum. Jakarta: Pradnya Paramitha, 1980.

Sanit, Arbi. Reformasi Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Saydam, Gouzali. Dari Bilik Suara ke Msa Depan Indonesia. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 1999.

Sidharta, B Arief. Kajian Kefilsafatan Tentang Negara Hukum. Jakarta: Pusat Studi

Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2004.

Soehino. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 2005.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2007.

__________.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986.

Supriyanto, Didik dan Topo Santoso. Mengawasi Demokrasi Mengawal Pemilu.

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Tanya, Bernald L. Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan

Generasi. Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.

Page 89: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

77

Thalib, Dahlan. DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta : liberty,

1994.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

TAP MPR No. III Tahun 2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-

Undangan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilu

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai politik

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah.

Risalah

Risalah rapat pansus rancangan Undang-Undang Tentang Pemilu, pembahasan fraksi-

fraksi,rapat pansus, tanggal 12 oktober 2002.

Putusan Pengadilan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012.

Page 90: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

78

Peraturan Komisi Pemilihan Umum

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2012

Karya Ilmiah

Prasetyo, Iwan Budi. Analisis Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2009

ditinjau dari UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret, 2010.

Rudagi, Rendy. Pelaksanaan Verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu Tingkat

Provinsi di Sumatera Barat dalam Pemilihan Umum Periode 2009-2014.

Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2011.

Rika, Anggraini. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Indonesia : Menuju

Sistem Multipartai Sederhana dalam Era Reformasi. Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 2013.

Jurnal

Lutfi, Mustafa. Dan Jazim Hamidi. Ketentuan Konstitusional Pemberlakuan Keadaan

Darurat Dalam Suatu Negara. (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009. Volume 6 no.1

Jurnal Pemilu dan Demokrasi. Transparansi Partisipasi dan Demokrasi. Jakarta:

Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi, 2013.

Risalah

Risalah rapat pansus rancangan Undang-Undang tentang Pemilu, pembahasan fraksi-

fraksi,rapat pansus, tanggal 12 oktober 2002.

Artikel

Suara KPU. edisi Januari,. Jakarta: Komisi Pemilihan Umum, 2013.

Suara KPU. edisi Februari,. Jakarta: Komisi Pemilihan Umum, 2013.

Suara KPU. edisi Maret. Jakarta: Komisi Pemilihan Umum, 2013

Page 91: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

79

Website

http://www.tempo.co/read/news/2012/04/19/078398301/22-Partai-Politik-Gugat-UU-

Pemilu diakses pada 26 Januari 2014

Page 92: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

PUTUSAN Nomor 52/PUU-X/2012

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,

menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor

8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

[1.2] 1. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), beralamat di Jalan Kramat

VI Nomor 8, Jakarta Pusat, yang diwakili oleh Ketua Umum Dewan Tanfidz

DPP PKNU Drs. H. Choirul Anam dan Sekretaris Jenderal Tohadi, S.H.,

M.Si.

2. Partai Bulan Bintang (PBB), beralamat di Jalan Raya Pasar Minggu Km

18 Nomor 1B, Jakarta Selatan, yang diwakili oleh Ketua Umum Dr. H. M.S.

Kaban, S.E., M.Si. dan Sekretaris Jenderal BM. Wibowo, S.E., MM.

3. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), beralamat di Jalan

Diponegoro Nomor 63, Menteng, Jakarta Pusat, yang diwakili oleh Ketua

Umum Dewan Pimpinan Nasional PKPI Dr. (HC) H. Sutiyoso, SH. dan

Sekretaris Jenderal Drs. Lukman F. Mokoginta, M.Si.

4. Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), beralamat di Jalan Cimandiri Nomor

30 Cikini, Menteng, Jakarta, yang diwakili oleh Ketua Umum Dewan

Pimpinan Pusat PKPB Jenderal TNI (Purn) R. Hartono dan Sekretaris

Jenderal Mayjen TNI Marinir (Purn) Hartarto.

5. Partai Persatuan Nasional (PPN), beralamat di Jalan Prof. Dr. Satrio C-4

Nomor 18 Casablanca, Jakarta Selatan, yang diwakili oleh Ketua Umum

DPP PPN Dr. Oesman Sapta dan Sekretaris Jenderal Ratna Ester L.

Tobing, SH., MH.

Page 93: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

2

6. Partai Merdeka, beralamat di Mampang Prapatan XII Nomor 6, Jakarta

Selatan, yang diwakili oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Partai

Merdeka Hasannudin M. Kholil, S.IP. dan Sekretaris Jenderal Aji Erlangga,

SE., M.Si.

7. Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBK Indonesia), beralamat di Penjernihan I Nomor 50, Jakarta, yang diwakili oleh Ketua

Umum Dewan Pimpinan Pusat PNBK Indonesia Erros Djarot dan

Sekretaris Jenderal Syamsunar.

8. Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), beralamat di Jalan Pejaten Barat

Nomor 30, Kelurahan Ragunan, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta

Selatan, yang diwakili oleh Presiden Dewan Pengurus Nasional PDK Ir.

Sayuti Asyathri dan Sekretaris Jenderal Dr. Kun Wardana Abyoto.

9. Partai Sarikat Indonesia (PSI), beralamat di Jalan Kemang Timur Raya

Nomor 55, Jakarta Selatan, yang diwakili oleh Pejabat Ketua Umum DPP

PSI Drs. H. Mardinsyah dan Sekretaris Jenderal Ir. Nazir Muchamad.

10. Partai Kedaulatan, beralamat di Jalan Pulomas Utara Raya Nomor 28,

Pulomas, Jakarta Timur, yang diwakili oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan

Pusat Partai Kedaulatan Denny M. Cilah, S.H., S.E.., M.Si. dan Sekretaris

Jenderal Restianrick Bachsjirun, S.Sos.

11. Partai Indonesia Sejahtera (PIS), beralamat di Jalan Tebet Timur III

Nomor 13, Jakarta Selatan, yang diwakili oleh Ketua Umum DPP PIS H.

Budiyanto Darmastono, S.E., M.Si. dan Wakil Sekretaris Jenderal M. Jaya

Butar-Butar, S.H.

12. Partai Kesatuan Demokrasi Indonesia (PKDI), beralamat di Jalan Bango

I Nomor 1, Cilandak, Jakarta, yang diwakili oleh Ketua Umum DPP PKDI

Maria Anna S., S.H. dan Sekretaris Jenderal Pdt. Michael Hendry

Lumanauw, S.Th.

13. Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI), beralamat di Jalan

Imam Bonjol Nomor 44, Menteng, Jakarta Pusat, yang diwakili oleh Ketua

Umum Daniel Hutapea dan Sekretaris Jenderal H. Rudy Prayitno.

14. Partai Damai Sejahtera (PDS), beralamat di Jalan Letnan Jenderal. S.

Parman Nomor 6G, Bundaran Slipi, Jakarta Barat, yang diwakili oleh Ketua

Page 94: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

3

Umum Magit Les Denny Tewu, S.E., M.M. dan Sekretaris Jenderal Sahat

Sinaga.

15. Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), beralamat di Jalan Tebet Barat

Dalam Raya Nomor 29, Jakarta Selatan, yang diwakili oleh Ketua

Pelaksana Harian Pimpinan Kolektif Nasional (PLH PKN) PDP H. Roy BB

Janis, S.H., M.H. dan Sekretaris Pelaksana Harian Pimpinan Kolektif

Nasional (PLH PKN) PDP KRHT. H. Didi Supriyanto, S.H., M.Hum.

16. Partai Republika Nusantara, beralamat di Jalan Dewi Sartika Nomor 113,

Jakarta Timur, yang diwakili oleh Ketua Presidium Dewan Presidium Pusat

PRN Letjen (Purn) Syahril, dan Sekretaris Presidium Pusat PRN Dr. Drs.

Yus Sudarso, S.H., M.H.

17. Partai Pemuda Indonesia (PPI), beralamat di Jalan KH. Abdullah Syafi’ie

Nomor 53C, Casablanca, Lapangan Rose, Tebet, Jakarta Selatan, yang

diwakili oleh Ketua Dewan Pimpinan Pusat PPI HM. Effendi Saud, MBA

dan Sekretaris Jenderal Satrio Purwanto Subroto.

Dalam hal ini masing-masing, berdasarkan Surat Kuasa bertanggal 6 April 2012, 16

April 2012, 19 April 2012, dan 25 April 2012, memberi kuasa kepada i) Prof. Dr. Yusril

Ihza Mahendra, S.H.; ii) Jamaluddin Karim, S,H., M.H.; iii) Dr. Andi M. Asrun, S.H.,

M.H.; iv) Agus Dwiwarsono, SH., M.H.; v) Widodo Iswantoro, S.H.; vi) Mansyur Munir,

S.H.; vii) Tohadi, S.H., M.Si.; viii) Abdurrahman Tardjo, S.H., M.H.; ix) Didi Supriyanto,

S.H., M.Hum.; x) Ratna Ester Lumbantobing, S.H., M.M.; xi) Mikael Marut, S.H.; xii)

Muslim Jaya Butar Butar, S.H., M.H.; xiii) Ismail Kamarudin Umar, S.H.; xiv) Michael

Wangge, S.H.; xv) Eliza N. Basyaruddin, S.H., M.H.; xvi) Jeffry Palijama, S.H.; xvii)

Syamsunar, S.H.; xviii) Ira Zahara Jatim, S.H.; xix) Yose Rizal, S.H.; dan xx) Paskalis

Da Cunha, S.H., yaitu advokat dan konsultan hukum yang berdomisili di Kantor

Hukum “IHZA & IHZA LAW FIRM“ dan para advokat lain, beralamat di Citra Graha

Building 10th Floor, Jalan Jenderal Gatot Subroto Kavling 35-36, Jakarta, baik sendiri-

sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa;

Selanjutnya disebut sebagai ----------------------------------------------------- para Pemohon;

[1.3] Membaca permohonan para Pemohon;

Mendengar keterangan para Pemohon;

Page 95: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

4

Memeriksa bukti-bukti para Pemohon;

Mendengar keterangan saksi dan ahli para Pemohon;

Mendengar keterangan Pemerintah;

Mendengar dan membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat;

Membaca kesimpulan tertulis para Pemohon;

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan

bertanggal 16 April 2012 yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 29 Mei 2012

berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 189/PAN.MK/2012 yang

dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 52/PUU-X/2012

pada tangga 4 Juni 2012, dan telah diperbaiki dengan permohonan bertanggal 25

Juni 2012 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 26 Juni 2012,

menguraikan hal-hal sebagai berikut:

I. Kewenangan Mahkamah Konstitusi

I.1. Bahwa, Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “Kekuasaan kehakiman

dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di

bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,

lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh

sebuah Mahkamah Konstitusi”. Selanjutnya Pasal 24C ayat (1) menyatakan

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir

yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-

Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran

partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Yang

berkaitan dengan permohonan ini dipertegas Pasal 10 ayat (1) huruf a UU

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang

mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final

Page 96: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

5

untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang–Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 …”. Demikian pula berdasarkan Pasal 29 ayat

(1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009

Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076),

berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang

terhadap Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 …”.

I.2. Bahwa ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan, “Dalam

hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan UUD 1945,

pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi”;

I.3. Bahwa Pasal 8 ayat (1) UU Pemilu sepanjang frasa “yang memenuhi ambang

batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” dan Pasal 8 ayat

(2) UU Pemilu sepanjang frasa “Partai politik yang tidak memenuhi ambang

batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau” serta Pasal 208 UU

Pemilu atau setidak-tidaknya Pasal 208 UU Pemilu sepanjang frasa: ..“ DPRD

provinsi dan DPRD kabupaten/kota“ bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1)

dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1)

dan ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;

I.4. Bahwa beberapa ketentuan UUD 1945 sebagai batu uji atas ketentuan Pasal 8

ayat (1) UU Pemilu sepanjang frasa “yang memenuhi ambang batas perolehan

suara dari jumlah suara sah secara nasional” dan Pasal 8 ayat (2) UU Pemilu

sepanjang frasa “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan

suara pada Pemilu sebelumnya atau” serta Pasal 208 UU Pemilu atau setidak-

tidaknya Pasal 208 UU Pemilu sepanjang frasa: ..“ DPRD provinsi dan DPRD

kabupaten/kota“ secara lengkap adalah sebagai berikut:

Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa;“Pemilihan umum

dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap

lima tahun sekali.”;

Page 97: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

6

Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa:“Peserta pemilihan umum

untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan

Perwakilan Daerah adalah partai politik“;

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa:“ Segala warga negara

kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung

hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya“;

Pasal 28 UUD 1945 menyatakan bahwa:“Kemerdekaan berserikat dan

berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya

ditetapkan dengan undang-undang“;

Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa:“Setiap orang berhak untuk

memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk

membangun masyarakat, bangsa dan negaranya“;

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa:“Setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama di hadapan hukum“;

Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa:“Setiap warga negara

berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan“;“

Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa;“Setiap orang berhak bebas

atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak

mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”;

I.5. Bahwa Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut: UU P3)

mengatur bahwa secara hierarkis kedudukan UUD 1945 lebih tinggi dari

Undang-Undang. Dengan demikian, setiap ketentuan Undang-Undang tidak

boleh bertentangan dengan UUD 1945, sehingga jika terdapat ketentuan dalam

Undang-Undang bertentangan dengan UUD 1945, maka ketentuan tersebut

dapat dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme pengujian Undang-Undang

kepada Mahkamah;

I.6 Bahwa, objek permohonan pengujian Undang-Undang ini adalah Pasal 8 ayat

(1) UU Pemilu sepanjang frasa “yang memenuhi ambang batas perolehan suara

dari jumlah suara sah secara nasional” dan Pasal 8 ayat (2) UU Pemilu

sepanjang frasa “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan

Page 98: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

7

suara pada Pemilu sebelumnya atau” serta Pasal 208 UU Pemilu atau setidak-

tidaknya Pasal 208 UU Pemilu sepanjang frasa: ..“ DPRD provinsi dan DPRD

kabupaten/kota“ terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (3),

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3),

dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;

I.7. Bahwa oleh karena itu Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa,

mengadili dan memutus permohonan ini.

II. Kedudukan Hukum (Legal Standing) dan Kepentingan Konstitusional Para Pemohon

II.1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa Pemohon dalam pengujian Undang-

Undang adalah “pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. pesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia

yang diatur dalam Undang-Undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara.

II.2. Bahwa selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang a quo,

disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional adalah hak-hak

yang diatur dalam UUD 1945";

II.3. Bahwa Mahkamah Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor

006/PUU-III/2005 juncto Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 dan putusan-putusan

selanjutnya telah memberikan pengertian dan batasan tentang apa yang

dimaksud dengan “kerugian konstitusional” dengan berlakunya suatu norma

Undang-Undang, yaitu:

a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa hak konstitusional tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan

oleh suatu Undang-Undang yang diuji;

Page 99: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

8

c. kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus)

dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran

yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan

berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji; dan

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka

kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

II.4. Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, maka terdapat dua syarat yang harus

dipenuhi untuk dapat bertindak sebagai pihak dalam mengajukan permohonan

pengujian Undang-Undang, yakni pertama, mereka yang memiliki kualifikasi

sebagai Pemohon atau legal standing dalam perkara pengujian Undang-

Undang. Kedua, adanya kerugian konstitusional Pemohon oleh berlakunya suatu

Undang-Undang. Hal ini terbukti bahwa;

1. Pemohon I adalah PARTAI KEBANGKITAN NASIONAL ULAMA (PKNU),

beralamat di Jalan Kramat VI Nomor 8, Jakarta Pusat, 10430 adalah Partai

Politik yang didirikan berdasarkan akta Notaris tertanggal 13-10-2006 (tiga

belas Oktober dua ribu enam) Nomor 33, kemudian diubah dengan akta

Notaris tertanggal 12-01-2007 (dua belas Januari dua ribu tujuh) Nomor 26,

keduanya dibuat dihadapan H. Harjono Moekiran, S.H., Notaris di Jakarta,

terakhir diubah dengan akta Notaris tertanggal 10-12-2007 (sepuluh

Desember dua ribu tujuh) Nomor 5, yang dibuat dihadapan Dian Fitriana,

S.H., M.Kn., Notaris di Kota Bekasi, dan kemudian mendapat pengesahan

sebagai badan hukum publik dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia dengan Surat Keputusannya tertanggal 03-04-2008 (tiga

April dua ribu delapan) Nomor M.HH-31.AH.11.01 TAHUN 2008.

Kepengurusan PKNU telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum

dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebagaimana Surat Keputusan

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-

03.AH.11.01 Tahun 2011, tanggal 31 Januari 2011 tentang Pengesahan

Perubahan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga dan Kepengurusan

Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Nasional Ulama Masa Khidmat

2010-2015.

Page 100: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

9

Dalam kepengurusan ini Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKNU adalah

Drs. H. Choirul Anam dan Sekretaris Jenderal Dewan Tanfidz DPP PKNU

adalah Tohadi, S.H., M.Si.,

2. Pemohon II adalah PARTAI BULAN BINTANG (PBB), beralamat di Jalan

Raya Pasar Minggu KM 18 Nomor 1B Jakarta Selatan.

PBB adalah Partai Politik yang didirikan berdasarkan akta Notaris 71, dan

kemudian mendapat pengesahan sebagai badan hukum publik dari Menteri

Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan Surat Keputusan

MU.UM.06.08.77. Kepengurusan PBB telah mendapatkan pengesahan dari

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebagaimana

Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Nomor M.HH-05.AH.11.01. Tahun 2011

Dalam kepengurusan ini Ketua Umum adalah Dr. H. M.S. KABAN, S.E.,

M.Si. dan Sekretaris Jenderal adalah BM. WIBOWO, S.E., MM.,

3. Pemohon III adalah PARTAI KEADILAN DAN PERSATUAN INDONESIA

(PKPI), beralamat di Jalan Diponegoro Nomor 63, Menteng, Jakarta Pusat.

PKPI adalah Partai Politik yang didirikan berdasarkan akta Notaris Nomor 21

tanggal 19 September 2002, dibuat di hadapan Anasrul Jambi, SH., Notaris

di Jakarta, dan kemudian mendapat pengesahan sebagai badan hukum

publik dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

dengan Surat Keputusan Nomor M-05.UM.06.08 Tahun 2003 tanggal 17 Juli

2003.

Kepengurusan PKPI telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum

dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebagaimana Surat Keputusan

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.H.H-

12.AH Tahun 2010 tanggal 27 September 2010.

Dalam kepengurusan ini Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional PKPI

adalah DR. (HC) H. Sutiyoso, SH. dan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan

Nasional PKPI adalah Drs. Lukman F. Mokoginta, M.Si.

4. Pemohon IV adalah PARTAI KARYA PEDULI BANGSA (PKPB), beralamat

di Jalan Cimandiri Nomor 30 Cikini Menteng, Jakarta 12810. PKPB adalah

Page 101: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

10

Partai Politik yang didirikan berdasarkan akta Notaris Nomor 9 tanggal 15

April 2001, dibuat di hadapan Mohamad Rifat Tadjoedin, SH., Notaris di

Jakarta, dan kemudian mendapat pengesahan sebagai badan hukum publik

dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan

Surat Keputusan Nomor M-09. UM.06.08 Tahun 2003 tanggal 17 Juli 2003.

Dalam kepengurusan ini Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PKPB adalah

Jenderal TNI (Purn) R. Hartono dan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan

Pusat PKPB adalah Mayjen TNI Marinir (Purn) Hartarto,

5. Pemohon V adalah PARTAI PERSATUAN NASIONAL (PPN), beralamat di

Jalan Prof. Dr. Satrio C-4 Nomor 18 Casablanca, Jakarta Selatan – 12940.

PPN adalah Partai Politik yang didirikan berdasarkan akta Notaris Nomor 8

tanggal 18 November 2002, dibuat di hadapan Herlina Pakpahan, SH.,

Notaris di Rangkasbitung, dan kemudian mendapat pengesahan sebagai

badan hukum publik dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia dengan Surat Keputusan Nomor M.UM.06.08-284 Tahun 2002

tanggal 18 Desember 2002, kemudian diubah dengan Akta Nomor 1 tanggal

2 Mei 2008 dibuat di hadapan Herlina Pakpahan, SH., Notaris di Jakarta

yang telah mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia Republik Indonesia dengan Surat Keputusan Nomor: M.HH-

57.AH.11.01 Tahun 2008 tanggal 23 Mei 2008, kemudia diubah dengan Akta

Notaris Nomor 10 tanggal 14 Oktober 2010, dibuat di hadapan Herlina

Pakpahan, SH., Notaris di Jakarta yang telah mendapat pengesahan dari

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan Surat

Keputusan Nomor MHH-15.AH.11.01 Tahun 2010 tanggal 8 November

2010, dan terakhir diubah dengan Akta Nomor 35 tanggal 29 November

2011 yang dibuat di hadapan Herlina Pakpahan, SH., Notaris di Jakarta

yang telah mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia Republik Indonesia dengan Surat Keputusan Menteri Hukum dan

Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-04.AH.11.01 Tahun

2012 tanggal 9 Januari 2012.

Kepengurusan PPN telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum

dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebagaimana Surat Keputusan

Page 102: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

11

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-

04.AH.11.01 Tahun 2012 tanggal 9 Januari 2012. Dalam kepengurusan ini

Ketua Umum DPP PPN adalah Dr. Oesman Sapta dan Sekretaris Jenderal

DPP PPN adalah Ratna Ester L. Tobing, SH., MH.,

6. Pemohon VI adalah PARTAI MERDEKA, beralamat di Mampang Prapatan

XII Nomor 6 Jakarta Selatan–12790.

PARTAI MERDEKA adalah Partai Politik yang didirikan berdasarkan akta

Notaris Nomor 16 tanggal 31 Januari 2003, dibuat di hadapan Umar Saili,

SH., Notaris di Jakarta, dan kemudian mendapat pengesahan sebagai

badan hukum publik dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia dengan Surat Keputusan Nomor M-23.UM.06.08 Tahun 2003

tanggal 6 Oktober 2003.

Kepengurusan PARTAI MERDEKA telah mendapatkan pengesahan dari

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebagaimana

Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Nomor M.HH-08.AH.11.01.Tahun 2010 tanggal 11 Mei 2010. Dalam

kepengurusan ini Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional PARTAI

MERDEKA adalah Hasannudin M. Kholil, S.IP. dan Sekretaris Jenderal

Dewan Pimpinan Nasional PARTAI MERDEKA adalah Aji Erlangga, SE.,

M.Si.,

7. Pemohon VII adalah PARTAI NASIONAL BENTENG KERAKYATAN

INDONESIA (PNBK INDONESIA), beralamat di Penjernihan I Nomor 50

Jakarta–10210.

PNBK INDONESIA adalah Partai Politik yang didirikan berdasarkan akta

Notaris Nomor 12 tanggal 9 Januari 2008, dibuat di hadapan MEISSIE

PHOLUAN, SH., Notaris di Jakarta, dan kemudian mendapat pengesahan

sebagai badan hukum publik dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia dengan Surat Keputusan Nomor M.HH-28.AH.11.01

Tahun 2008 tanggal 03 April 2008.

Page 103: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

12

Dalam kepengurusan ini Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PNBK

INDONESIA adalah Erros Djarot dan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan

Pusat PNBK INDONESIA adalah Syamsunar.

8. Pemohon VIII adalah PARTAI DEMOKRASI KEBANGSAAN (PDK),

beralamat di Jalan Pejaten Barat Nomor 30 Kelurahan Ragunan Kecamatan

Pasar Minggu Jakarta Selatan –10210.

PDK INDONESIA adalah Partai Politik yang didirikan berdasarkan akta

Notaris Nomor 68 tanggal 23 Juli 2002, dibuat di hadapan DANIEL, P.M,

SH., Notaris di Jakarta, dan kemudian mendapat pengesahan sebagai

badan hukum publik dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia dengan Surat Keputusan Nomor M-15.UM.06.08 Tahun 2003

berdasar atas Surat Keterangan Direktur Tata Negara Direktorat Jenderal

Administrasi Hukum Umum Nomor AHU.4.AH.11.01-38

Kepengurusan PDK telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum

dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebagaimana Surat Keputusan

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-

08.AH.11.01 Tahun 2012 tanggal 22 Maret 2012.

Dalam kepengurusan ini Presiden Dewan Pengurus Nasional PDK adalah

Ir. Sayuti Asyathri dan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat PDK

adalah DR. Kun Wardana Abyoto.

9. Pemohon IX adalah PARTAI SARIKAT INDONESIA (PSI), beralamat di

Jalan Kemang Timur Raya Nomor 55, Jakarta Selatan.

PSI adalah Partai Politik yang didirikan berdasarkan akta Notaris Nomor 4

tanggal 20 Desember 2002, dibuat di hadapan DRS. ZARKASYI NURDIN,

SH., Notaris di Jakarta, dan kemudian mendapat pengesahan sebagai

badan hukum publik dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia dengan Surat Keputusan Nomor M-04.UM.06.08. Tahun 2003

tanggal 03 April 2008.

Kepengurusan PSI INDONESIA telah mendapatkan pengesahan dari

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebagaimana

Page 104: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

13

Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Nomor M.HH-18.AH.11.01 Tahun 2010 tanggal 27 Desember 2010.

Dalam Kepengurusan ini Pejabat Ketua Umum DPP PSI adalah Drs. H.

Mardinsyah, dan Sekretaris Jenderal DPP PSI adalah Ir. Nazir Muchamad.

10. Pemohon X adalah PARTAI KEDAULATAN, beralamat di Jalan Pulomas

Utara Raya Nomor 28, Pulomas, Jakarta Timur.

PARTAI KEDAULATAN adalah Partai Politik yang didirikan berdasarkan

Akta Notaris Nomor 1 tanggal 2 Oktober 2006, dan Akta Notaris Nomor 2

tanggal 2 Oktober 2006 yang keduanya dibuat di hadapan ZACHARIAS

OMAWELE, SH., Notaris di Jakarta, sebagaimana telah diubah dengan Akta

Notaris Nomor 48 tanggal 24 Desember 2007 dibuat di hadapan Eva

MISDAWATI, SH., Notaris di Jakarta, dan kemudian mendapat pengesahan

sebagai badan hukum publik dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia dengan Surat Keputusan Nomor M.HH-02.AH.11.01

Tahun 2010 tanggal 29 Maret 2010.

Dalam kepengurusan ini Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PARTAI

KEDAULATAN adalah Denny M. Cilah, SH, SE., M.Si dan Sekretaris

Jenderal Dewan Pimpinan Pusat PARTAI KEDAULATAN adalah Restianrick

Bachsjirun, S.Sos.

11. Pemohon XI adalah PARTAI INDONESIA SEJAHTERA (PIS), beralamat di

Jalan Tebet Timur III Nomor 13, Jakarta Selatan – 12820.

PIS adalah Partai Politik yang didirikan berdasarkan akta Notaris Nomor 1,

tanggal 9 September 2006 yang dibuat di Chairunisa Said Selenggang, SH.,

Notaris di Jakarta, sebagaimana diubah dengan Akta Nomor 9 tanggal

9 Februari 2007 yang dibuat Rusnaldy, SH., Notaris di Jakarta, dan yang

terakhir telah diubah dengan Akta Nomor 1 tanggal 1 Februari 2008 yang

dibuat Bambang Sularso, SH., Notaris di Jakarta, dan kemudian mendapat

pengesahan sebagai badan hukum publik dari Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia Republik Indonesia dengan Surat Keputusan Nomor M.HH-

39.AH.11.01 Tahun 2008 tanggal 3 April 2008.

Page 105: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

14

Kepengurusan PIS telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan

Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebagaimana Surat Keputusan

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-

39.AH.11.01 Tahun 2008 tanggal 3 April 2008.

Dalam kepengurusan ini Ketua Umum DPP PIS adalah H. Budiyanto

Darmastono, S.E., M.Si. dan Sekretaris Jenderal DPP PIS adalah Dr.

Marnixon R.C. Wila, SH. MH.;

12. Pemohon XII adalah PARTAI KESATUAN DEMOKRASI INDONESIA

(PKDI), beralamat di Jalan Bango I Nomor 1, Cilandak, Jakarta.

PKDI adalah Partai Politik yang didirikan berdasarkan akta Notaris Nomor 2

tanggal 20 Desember 2002, dibuat di hadapan Eviani Natalia, SH., Notaris di

Jakarta, dan kemudian mendapat pengesahan sebagai badan hukum publik

dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Kepengurusan PKDI telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum

dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebagaimana Surat Keputusan

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-

10.AH.11.01 Tahun 2011 tanggal 14 Juni 2011.

Dalam kepengurusan ini Ketua Umum DPP PKDI adalah Maria Anna S., SH.

dan Sekretaris Jenderal DPP PKDI adalah Pdt. Michael Hendry Lumanauw,

S.Th.,

13. Pemohon XIII adalah PARTAI PENGUSAHA DAN PEKERJA INDONESIA

(PPPI), beralamat di Jalan Imam Bonjol 44, Menteng, Jakarta Pusat.

PPPI adalah Partai Politik yang didirikan berdasarkan akta Notaris Nomor 2

tanggal 26 Januari 2005, dibuat di hadapan Dianar W. Napitupulu, SH.,

Notaris di Jakarta, dan kemudian mendapat pengesahan sebagai badan

hukum publik dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia.

Kepengurusan PPPI telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum

dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebagaimana Surat Keputusan

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M. HH-

66.AH.11.01 Tahun 2008 tanggal 2 Juli 2008. Dalam kepengurusan ini Ketua

Page 106: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

15

Umum adalah Daniel Hutapea dan Sekretaris Jenderal adalah H. Rudy

Prayitno.

14. Pemohon XIV adalah PARTAI DAMAI SEJAHTERA (PDS), beralamat di

Jalan LetJend. S. Parman Nomor 6 G. Bundaran Slipi, Jakarta Barat 1148.

PDS adalah Partai Politik yang didirikan berdasarkan akta Notaris Nomor 2

tanggal 01 Oktober 2001, dibuat di hadapan Elliza Asmawel, SH., Notaris di

Jakarta, dan kemudian mendapat pengesahan sebagai badan hukum publik

dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan

Surat Keputusan Nomor M-12.UM.06.08 Tahun 2003 tanggal 27 Agustus

2003.

Kepengurusan PDS telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum

dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebagaimana Surat Keputusan

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-

14.A.H.11.01. Tahun 2010 02 November 2010. Dalam kepengurusan ini

Ketua Umum adalah Magit Les Denny Tewu, SE., M.M. dan Sekretaris

Jenderal adalah Sahat Sinaga.

15. Pemohon XV adalah PARTAI DEMOKRASI PEMBARUAN (PDP), beralamat

di Jalan Tebet Barat dalam Raya Nomor 29 Jakarta Selatan – 12810.

PDP adalah Partai Politik yang didirikan berdasarkan akta Notaris Nomor 90

tanggal 20 Februari 2008 dibuat di hadapan Harun Kamil, S.H., Notaris di

Jakarta, dan kemudian mendapat pengesahan sebagai badan hukum publik

dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan

Surat Keputusan Nomor M.HH-20.AH.11.01 Tahun 2008. Kepengurusan

PDP telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia Republik Indonesia sebagaimana Surat Keputusan Menteri Hukum

dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-20.AH.11.01

Tahun 2008.

Dalam kepengurusan ini Ketua Pelaksana Harian Pimpinan Kolektif

Nasional (PLH PKN) PDP adalah H. Roy BB Janis, S.H., M.H. dan

Sekretaris Pelaksana Harian Pimpinan Kolektif Nasional (PLH PKN) PDP

adalah KRHT. H. Didi Supriyanto, S.H., M.Hum.,

Page 107: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

16

16. Pemohon XVI adalah PARTAI REPUBLIKA NUSANTARA, beralamat di

Jalan Dewi Sartika Nomor 113, Jakarta Timur.

PRN adalah Partai Politik yang didirikan berdasarkan akta Notaris Nomor 08

tanggal 21 Mei 2007, dibuat di hadapan RETNO WAHYU NINGSIH, SH.,

Notaris di Jakarta, dan kemudian mendapat pengesahan sebagai badan

hukum publik dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia dengan Surat Keputusan Nomor M.HH-37. AH.11.01 Tahun 2008

tanggal 3 April 2008. Ketua Presidium Dewan Presidium Pusat PRN adalah

Letjen (Purn) Syahril, dan Sekretaris Presidium Pusat PRN adalah Dr. Drs.

Yus Sudarso, SH., MH.

17. Pemohon XVII adalah PARTAI PEMUDA INDONESIA (PPI), beralamat di

Jalan KH. Abdullah Syafi’ie Nomor 53C, Casablanca – Lapangan Rose,

Tebet, Jakarta Selatan. PPI adalah Partai Politik yang didirikan berdasarkan

akta Notaris HERLINA PAKPAHAN, SH., di Jakarta, dan mendapat

pengesahan badan hukum dari dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia dengan Surat Keputusan Nomor M.HH-19.11.01 Tahun

2011 tanggal 14 Juni 2011.Ketua Dewan Pimpinan Pusat Pusat PPI adalah

HM. Effendi Saud, dan Sekretaris Pimpinan Pusat adalah Satrio Purwanto.

II.5. Bahwa para Pemohon dalam perkara a quo adalah badan hukum publik (Bukti

PIII-a, P III-b, P III-c; P III-d; P III-e; P III-f; P III-g; P III-h; P III-i; P III-j; P III-k; P

III-l; P III-m; P III-n; P III-o; P III-p; P III-q; dan P III-r) yang didirikan dengan

tujuan untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy).

Oleh karena itu partai politik sebagai badan hukum publik merupakan ekspresi

dari kebebasan berserikat dan berkumpul. Sebagai suatu badan hukum publik,

maka organisasi politik menempatkan diri pada posisi antara (intermediate

structure), sebagai jembatan yang menghubungkan kepentingan ideal negara

(state) dengan masyarakat/warga negara (society). Partai politik diniatkan

menjadi organ penggerak perubahan masyarakat menuju masyarakat yang

unggul dan bermoral. Hal ini berarti partai politik sebagai badan hukum publik

menjadi sarana untuk penyaluran aspirasi dan memperjuangkan kepentingan

umum sebagaimana yang diamanatkan oleh alenia ke empat Pembukaan UUD

1945, sehingga dengan sendirinya dapat mewakili dirinya dan anggotanya untuk

Page 108: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

17

bertindak sebagai subjek hukum dalam memperjuangkan dan mempertahankan

hak-haknya. Di samping itu, hak-hak konstitusional partai politik sebagai badan

hukum publik yang diatur dalam UUD 1945 tidak boleh sedikitpun diciderai oleh

suatu norma hukum yang derajatnya di bawah UUD 1945. Dalam hubungan ini,

maka para Pemohon menganggap bahwa hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya nyata-nyata dirugikan oleh berlakunya Pasal 8 ayat (1)

sepanjang frase “yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah

suara sah secara nasional” dan ayat (2) sepanjang frase “Partai politik yang

tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau”

serta Pasal 208 UU Pemilu atau setidak-tidaknya Pasal 208 UU Pemilu

sepanjang frasa: ..“ DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota“ UU Pemilu;

II.6. Bahwa dengan demikian, para Pemohon memiliki kualifikasi untuk mengajukan

permohonan pengujian a quo, sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 51 ayat (1)

UU MK;

II.7. Bahwa Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009 dalam pengujian formil Perubahan

Kedua Undang-Undang Mahkamah Agung, menyebutkan:“Dari praktik

Mahkamah (2003-2009), perorangan WNI, terutama pembayar pajak (tax payer;

vide Putusan Nomor 003/PUU-I/2003) berbagai asosiasi dan NGO/LSM yang

concern terhadap suatu Undang-Undang demi kepentingan publik, badan

hukum, Pemerintah daerah, lembaga negara, dan lain-lain, oleh Mahkamah

dianggap memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian, baik

formil maupun materii, Undang-Undang terhadap UUD 1945“;

II.8. Bahwa para Pemohon jelas merupakan badan hukum yang juga bertujuan untuk

memperjuangkan kepentingan umum/publik (public interests advocacy) hingga

oleh karenanya para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)

sebagai pemohon (vide: Putusan MK Nomor 002/PUU-I/2003 tertanggal 21

Desember 2004 hlm. 200 dan Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009);

II.9. Bahwa para Pemohon adalah pihak yang mengalami kerugian konstitusional

setidak-tidaknya potensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan

mengalami kerugian konstitusional akibat diberlakukannya Pasal 8 ayat (1)

sepanjang frase “yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah

Page 109: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

18

suara sah secara nasional” dan ayat (2) sepanjang frase “Partai politik yang

tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau”

serta Pasal 208 UU Pemilu atau setidak-tidaknya Pasal 208 UU Pemilu

sepanjang frasa: ..“ DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota“ UU Pemilu;

II.10. Bahwa Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu menyatakan bahwa:”:

(1) Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang

batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan

sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya;

(2) Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada

Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu

setelah memenuhi persyaratan: ...

II.11. Bahwa ketentuan Pasal 8 ayat (1) sepanjang frasa “yang memenuhi ambang

batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” dan ayat (2)

sepanjang frasa “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan

suara pada Pemilu sebelumnya atau” serta Pasal 208 UU Pemilu atau setidak-

tidaknya Pasal 208 UU Pemilu sepanjang frasa: ..“ DPRD provinsi dan DPRD

kabupaten/kota“ UU Pemilu jelas akan merugikan setidak-tidaknya potensial

merugikan para Pemohon. Hal ini karena mengatur ketentuan yang sangat

tidak adil dan bersifat diskriminatif yang diberlakukan kepada para Pemohon

sebagai partai politik peserta pemilu pada Pemilu terakhir (Pemilu 2009) yang

tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sah secara nasional (ambang

batas parlemen atau parliamentary threshold/PT) dalam kepesertaan Pemilu

pada Pemilu berikutnya (2014), melalui persyaratan-persyaratan verifikasi

faktual oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebaliknya, sangat tidak adil dan

bersifat diskriminatif hanya menetapkan partai politik peserta Pemilu pada

Pemilu terakhir (Pemilu 2009) yang memenuhi ambang batas perolehan suara

sah secara nasional secara otomatis ditetapkan sebagai peserta Pemilu

berikutnya (2014) dengan tanpa harus melalui persyaratan-persyaratan

verifikasi faktual yang sangat berat oleh KPU. Para Pemohon telah dirugikan

hak-hak konstitusionalnya karena diperlakukan sangat tidak adil dan bersifat

diskriminatif, suatu perlakuan yang jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 27

Page 110: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

19

ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD

1945.

II.12. Bahwa dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU Pemilu

sepanjang frasa “yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah

suara sah secara nasional” dan Pasal 8 ayat (2) UU Pemilu sepanjang frasa

“Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada

Pemilu sebelumnya atau” serta Pasal 208 UU Pemilu atau setidak-tidaknya

Pasal 208 UU Pemilu sepanjang frasa: ..“ DPRD provinsi dan DPRD

kabupaten/kota“ UU Pemilu itu dapat saja berakibat tidak lolosnya Para

Pemohon dalam verifikasi faktual oleh KPU tersebut. Kerugian lebih jauh akan

dialami oleh Para Pemohon karena akan terhalangi hak-hak konstitusionalnya

dalam hal untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara

kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya, sebagaimana

dijamin oleh Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat

(1) dan ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;

II.13. Bahwa dengan demikian, para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal

standing, legitima persona standi in judicio) untuk bertindak sebagai para

Pemohon dalam permohonan pengujian Undang-Undang a quo.

III. Alasan Permohonan Pengujian

III.1. Bahwa setiap kelembagaan dan apapun bentuknya memiliki posisi dan fungsi

yang bermakna dalam tatanan kehidupan kenenagaraan. Keberadaan

organisasi partai politik, misalnya memiliki posisi dan fungsi tersendiri dalam

menata dan mengembangkan sistem demokrasi. Di samping itu, partai politik

juga dapat difungsikan sebagai penghubung yang strategis (intermediate

structure) dalam menata hubungan pemerintahan dengan warga negara,

sehingga keduanya memiliki akses informasi yang memadai dan hubungan

yang harmoni dan seimbang. Dalam perspektif ini, maka berjalannya sistem

kepartaian akan berpengaruh terhadap kehidupan demokrasi dalam suatu

negara. Kondisi ini akan tercapai manakala tradisi dan kultur berfikir bebas

dapat tumbuh dengan subur, karena dinamika kebebasan berfikir sangat

berpengaruh terhadap tumbuh-kembangnya prinsip kemerdekaan berserikat

Page 111: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

20

yang menjadi pilar bagi tumbuh dan berkembangnya alam demokrasi itu

sendiri. Dengan demikian, mendirikan dan sebaliknya membubarkan organisasi

kepartaian adalah hak setiap orang, dan dalam perspektif ini, maka tidak ada

satu pihakpun yang dapat memaksa untuk mendirikan atau membubarkan

organisasi kepartaian kecuali oleh mereka sendiri. Prinsip ini memberikan

penegasan bahwa penguasa tidak dapat dengan semena-mena membubarkan

suatu partai politik hanya karena berbeda aliran atau pendapat terhadap suatu

masalah negara. Sebaliknya, partai politik juga tidak serta merta memiliki

kekebalan dan seenaknya melakukan aktifitasnya dengan menafikan berbagai

ketentuan terutama yang menjadi materi muatan UUD 1945. Oleh karena itu,

kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28

dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 memiliki kebebasan bukan tanpa batas,

tetapi justeru pembatasnya adalah UUD 1945 itu sendiri.

III.2. Bahwa dalam konsep demokrasi, terkandung asas yaitu kedaulatan rakyat

yang menentukan arah jalannya pemerintahan. Perwujudan asas kedaulatan

rakyat dalam kehidupan pemerintahan tergambar dari keterlibatan rakyat

secara intensif dalam memutuskan arah kebijakan pemerintahan. Ukuran

kedaulatan rakyat dapat dilihat seberapa jauh besaran peran yang dimainkan

rakyat serta semakin selarasnya kepentinganan rakyat dengan kebijakan

pubstlik yang rategis. Dalam perspektif ini maka partai politik memainkan

perannya yaitu menjembatani antara kepentinganan rakyat dengan kebijakan

publik pemerintahan. Oleh karena itu, partai politik sebagai suatu organisasi

politik menempatkan diri pada posisi antara (intermediate structure), sebagai

jembatan yang menghubungkan kepentingan ideal negara (state) dengan

masyarakat/warga negara (society). Partai politik harus mampu menjadi organ

penggerak perubahan masyarakat menuju masyarakat yang unggul dan

bermoral. Perubahan bagi parpol adalah sunatullah dan harus disambut

dengan senyum kreatif, sehingga partai politik tidak pernah berhenti berfikir,

bergerak, dan berkarya. Mengembangkan masyarakat yang modern dan

rasional merupakan upaya transformasi total agar terjadi perubahan-perubahan

yang mendasar baik pada lini individu, keluarga, kelompok sosial, pranata

sosial mapun susunan kemasyarakatan secara keseluruhan. Perubahan

Page 112: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

21

tersebut harus dilakukan secara simultan dan sinergis agar timbul jalinan yang

harmoni dan saling berpengaruh terhadap perubahan-perubahan yang

diinginkan menuju terwujudnya sumber daya manusia yang potensial. Hal ini

berarti perubahan pada dasarnya adalah rekayasa sosial yang teratur dan

berkesinambungan (orderly sustainable change). Oleh karen itu, untuk

mengeliminasi kegagalan suatu pembangunan masyarakat katatau rekayasa

sosial sebagi bagian dari perencanaan pembangunan, maka salah satu kunci

yang harus diperhatikan adalah keterlibatan masyarakat itu sendiri yang

ditempatkan bukan hanya sebagai sasaran pembangunan, tetapi sebagai

pelaku pembangunan. Hal ini berarti masyarakat harus diberikan akses yang

seluas-luasnya untuk ikut merencanakan pembangunan wilayahnya.

Keterlibatan masyarakat ini perlu diorganisir, dan didinamisir agar mereka

mampu mengaktualisasikan berbagai kebutuhan dan kepentingannya dalam

suatu gagasan dan rencana aksi yang aktual dan manageable. Keterlibatan

masyarakat ini juga akan memberikan pengaruh terhadap nilai tanggung jawab

kolektif (colective responsibility velue) terhadap setiap gerak perubahan. Sikap

positif (positive thinking) terhadap perubahan, merupakan bagian dari

kemajuan itu sendiri. Oleh karena itu membangun sebagai sarana untuk

mengarahkan perubahan yang dikehendaki, maka merubah sikap masyarakat

untuk bersikap positif terhadap setiap perubahan merupakan bagian penting

dari pembangunan itu sendiri. Hal ini berarti partai politik memiliki fungsi ideal

diantaranya adalah;

Parpol sebagai sarana recruitment, yaitu bahwa organanisasi partai politik

harus mampu secara aktif melakukan recruitment anggota dan membinanya

menjadi kader partai yang handal yang memiliki kredibilitas dan kapabilitas

sebagai penggerak perubahan masyarakat.

Parpol sebagai sarana komunikasi politik atau artikulasi politik. Hal ini berarti

partai politik merupakan media atau alat (a tool) untuk menyampaikan

aspirasi kepentingan (interest) dan kebutuhan (needs) mayarakat/rakyat

kepada rezim yang memimpin. Inilah hakekat fungsi parpol sebagai

penghubung antara rakyat dan pemerintah.

Page 113: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

22

Parpol sebagai sarana sosialisasi politik. Fungsi ini lebih ditekankan pada

aspek pendidikan politik kepada masyarakat mengenai kedudukan, fungsi,

peran, dan tanggungjawab masyarakat dalam kehidupan bernegara.

Partisipasi politik ini menjadi penting, agar legitimasi politik atas kebijakan

publik dapat dipahami secara merata oleh masyarakat.

Parpol sebagai sarana manajemen konflik. Parpol dituntut untuk mampu

menjadi media dalam menyelesaikan konflik yang diakibatkan perbedaan

pandangan di tataran masyarakat.

III.3. Perencanaan dan pembentukan hukum sebaiknya mengikuti perkembangan

pemikian dalam sains mutakhir, yang pada intinya menolak cara-cara yang

mengotak-kotakkan, dan mereduksi permasalahan yang dihadapi, tetapi segala

masalah tersebut dipandang sebagai suatu kesatuan yang utuh (holistik).

Pikiran yang holisitik dan diikuti oleh metoda pemecahan masalah/analisis

masalah dengan memperhatikan komponen yang berada pada satu jalinan

yang utuh, akan menghasilkan produk hukum yasng realistik tetapi juga

futuristik. Dalam perspektif pemahaman hukum secara holistik, maka hukum

tidak dipahami sekedar dalam teks-teks hukum, atau hanya sekedar memenuhi

kepentingan sesaat bahkan kepentinga kelompok tertentu, melainkan harus

menempatkannya pada konteks yang lebih besar, yaitu masyarakat Indonesia.

Dengan demikian, hukum tidak dilihat sebagai skema-skema abstrak,

melainkan sebagai sesuatu yang utuh dan nyata. Ha ini berarti hukum tidak

hanya dipandang sebagai peraturan (rules) melainkan juga sebagai perilaku

manusia yang terorganisir (organic behavior). Oleh karena itu,

mengembangkan hukum dalam melalui pembentukan hukum baru harus

memperhatikan terhadap nilai yang diyakini masyarakat, sistem sosial, dan

lingkungan yang mempengaruhi. Dalam perspektif ini, maka hukum selalu

konteksual dengan persoalan dan perkembangan masyarakat (the

development of the law gradually works out what is socially reasanable, Karl

Renner: 1969, p. 33-45). Dalam perspektif pembentukan Undang-Undang

Pemilu sebagai perwujudan asas demokrasi berdasar hukum, maka sangat

tidak dibenarkan jika Undang-Undang ini justru mencederai nilai demokrasi,

nilai hukum, dan hak-hak masyarakat. Indikasi ke arah itu tercermin setidak-

Page 114: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

23

tidak pada Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 208 UU Pemilu tahun

2012.

III.4. Bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, ”Kedaulatan berada di tangan

rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” Desain Pasal 1 ayat

(2) UUD 1945 ini menjelaskan bahwa makna kedaulatan rakyat diantaranya

dilakukan melalui pemilihan umum dengan landasan konstitusional, yaitu

bahwa pemilihan umum harus mengacu pada asas-asas pemilihan umum

sebagaimana yang ditegaskan oleh Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945. Pemilihan

umum sebagai wujud demokrasi harus tunduk pada sistem aturan yang

didesain untuk itu, sehingga sistem aturan pemilihan umum tidak boleh

bertentangan dengan asas yang diatur oleh UUD 1945. Sebagai negara yang

memilih sistem pemerintahannya adalah presidensial, maka UUD 1945

menetapkan desain pelaksanaan pemilihan umum yang memosisikan pemilih

sebagai pemberi mandat secara langsung baik kepada pemegang kekuasaan

legislatif maupun pemegang kekuasaan eksekutif. Dalam hubungan ini, Pasal

22E ayat (1) menyatakan bahwa, ”Pemilihan umum dilaksanakan secara

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”

Prinsip”langsung” juga diatur dalam pemilihan Presiden danWakil Presiden

yang dinyatakan dalam Pasal 6A ayat (1) yang berbunyi; ”Presiden dan Wakil

Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.” Hal ini

berarti bahwa prinsip pemilihan secara ”langsung” merupakan ruh/jiwa dari

sistem pemerintahan presidensial. Walaupun kedua ketentuan tersebut

mengamanatkan pemilihan langsung, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden

diatur lebih rinci dalam UUD 1945, tetapi sebaliknya pengaturan tentang

pemilihan langsung anggota legislatif lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang.

Merujuk pengalaman 2 (dua) kali pemilihan umum setelah perubahan UUD

1945, dengan alasan legal policy, pembentuk undang-undang sulit dikendalikan

dalam menetapkan desain pemilihan umum anggota legislatif, yaitu ketika

merumuskan norma ambang batas. Seperti halnya UU Nomor 10 Tahun 2008

tentang Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009 telah memperkenalkan

ambang batas berlapis, yaitu ambang batas elektoral dan ambang batas

parlemen. Kebijakan ambang batas ini sekali lagi dengan dalih legal policy

Page 115: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

24

dalam menyongsong Pemilu 2014 pembentuk Undang-Undang meneguhkan

kembali ambang batas parlemen yang diperberat yakni secara kuantitatif

besaran ambang batas parlemen dinaikkan menjadi 3,5% tetapi juga

diberlakukan secara nasional. Pilihan ini akan menutup peluang bagi partai

politik yang memiliki dukungan di daerah tertentu karena tidak mampu

memenuhi ambang batas secara nasional. Sebenarnya alasan legal policy

dapat dibenarkan jika tidak bertentangan dengan desain dan substansi

konstitusi. Demikian pula jika alasan besaran ambang batas parlemen

dinaikkan menjadi 3,5% sebagai alat untuk menyederhanakan partai politik,

tetapi tetap harus mempertimbangkan hak dasar untuk berserikat dan

berkumpul sebagaimana yang ditegaskan oleh Pasal 28 UUD 1945. Pada

prinsipnya tidak dibenarkan legal policy mengenai ambang batas parlemen

yang diatur dalam suatu norma hukum ternyata bertentangan dengan hak

berkumpul dan berserikat sebagai hak asasi yang diatur dalam norma dasar

yakni Pasal 28 UUD 1945.

III.5. Bahwa peningkatan ambang batas yang tinggi memang dimaksudkan sebagai

upaya untuk menyederhanakan sistem kepartaian, tetapi di lain pihak,

peningkatan ambang batas yang tinggi dan kurang wajar itu juga akan

menambah jumlah suara terbuang. Padahal penambahan jumlah suara

terbuang berakibat pada meningkatnya disproporsionalitas hasil Pemilu dan hal

ini yang seharusnya dihindari dalam sistem Pemilu proporsional. Untuk

mengetahui sejauh mana pengaruh penerapan ambang batas perwakilan

terhadap bekerjanya sistem Pemilu proporsional, perlu dilakukan simulasi

penghitungan besaran ambang batas yang berpengaruh terhadap suara

terbuang sehingga meningkatkan disproporsionalitas. Dalam perspektif ini,

dapat dikemukakan data KPU yang menggambarkan bahwa pada Pemilu 1999

yang tidak menerapkan ambang batas, terdapat 3.755.383 (3,55%) suara

terbuang. Jika ambang batas diterapkan, jumlah suara terbuang akan

bertambah. Misalnya dengan besaran ambang batas 2,5%, yang diterapkan

pada Pemilu 2009, maka jumlah suara terbuang melonjak lima kali lipat

menjadi 14.195.221 (13,41%). Hal ini berarti ambang batas mempunyai

Page 116: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

25

pengaruh positif terhadap peningkatan disproporsionalitas hasil Pemilu dan

secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:

Pemilu 2004 menghasilkan 5.223.845 (4,60%) suara terbuang. Jumlah suara

terbuang bertambah menjadi 19.662.644 (17,33%) jika ambang batas 2,5%

diberlakukan. Jumlah suara terbuang melonjak 5 kali lipat menjadi lebih dari

22.633.131 (19,95%) jika ambang batas ditingkatkan menjadi 3%;

Dengan ambang batas 2,5%, Pemilu 2009 menghasilkan 19.047.481

(18,13%) suara terbuang. Sehingga seecara teoretis an dengan penalaran

sederhana, dengan peningkatan ambang batas menjadi 3,5%, jumlah suara

terbuang itu akan semakin bertambah;

Oleh karena itu, dengan diketahuinya jumlah suara terbuang, maka Indeks

disproporsional bisa dihitung melalui formula Gallagher, memperlihatkan bahwa

peningkatan besaran ambang batas berkorelasi positif terhadap peningkatan

disproporsionalitas hasil Pemilu (Pattern of Democracy: Government Forms

and Performance in Thirty-Six Countries, Arend Lijphart: 1999, p. 153). Artinya,

semakin tinggi besaran ambang batas, maka hasil Pemilu semakin tidak

proporsional. Berdasarkan simulasi pengukuran Indeks disproporsional, terlihat

bahwa peningkatan ambang batas mempengaruhi kenaikan jumlah suara

terbuang dan tingkat disproporsionalitas. Peningkatan besaran ambang batas

berpengaruh langsung terhadap kenaikan jumlah suara terbuang, yang

kemudian berdampak terhadap peningkatan indeks disproporsionalitas.

Padahal semakin besar Indeks Disproporsional dalam sistem Pemilu

proporsional, maka tingkat keterwakilan politik pemilih juga semakin rendah.

Jikalau pun ambang batas diperlukan untuk mengurangi jumlah partai politik di

parlemen, dengan harapan akan dapat menyederhanakan sistem kepartaian,

sementara penerapan ambang batas tetap harus menahan laju suara terbuang

agar tingkat disproporsionalitas tidak meningkat, berapa besaran ambang

batas yang tepat bagi pemilu nasional untuk memilih anggota DPR? atau

berapakah ambang batas yang optimal? Berangkat dari formula yang

dikembangkan oleh Taagepera, dengan indikator yang terdapat dalam UU

Pemilu itu sendiri, yaitu: Ukuran Kursi DPR (S=560), rata-rata besaran

pemilihan (M= 3-10), dan jumlah daerah pemilihan atau (E =77 Dapil), maka

Page 117: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

26

hasil penghitungan menunjukkan bahwa besaran ambang batas perwakilan

optimal untuk Pemilu DPR adalah 1,03% (Seats & Votes: The Effects &

Derterminants of Electoral Systems, Rein Taagepera & Matthew Soberg

Shughart: 1989, p. 267). Hal itu bermakna bahwa, ambang batas 2,5% pada

Pemilu 2009, dan 3,5% pada UU Pemilu Tahun 2012 yang akan digunakan

dalam Pemilu Tahun 2014, secara matematis sebetulnya sudah melampaui

ambang batas optimal. Dengan kata lain, maksud dari pemberlakukan Ambang

Batas Parlemen dalam UU Pemilu yang dimaksudkan untuk penyederhanaan

Partai tidak tepat. Bahkan kenaikan menjadi 3,5%, dapat menimbulkan

ketidakseimbangan bekerjanya sistem pemilu proporsional dengan tujuan

menyederhanakan sistem kepartaian di parlemen.

III.6. Bahwa para Pemohon perlu mengemukakan kritik Mahkamah terhadap kinerja

Pembentuk UU (DPR dan Presiden) karena dalam setiap pembentukan UU

Politik termasuk UU Pemilu selalu tidak konsisten, selalu coba-coba, dan tidak

jelas arahnya. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009,

tanggal, 13 Februari 2009, alinea [3.20], hlm. 130-131), Mahkamah dalam

salah satu pertimbangan dalam putusannya, Mahkamah menyatakan: “[3.20]

Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berpendapat kebijakan PT yang

tercantum dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 sama konstitusionalnya

dengan kebijakan ET yang tercantum dalam UU 3/1999 dan UU 12/2003,

namun Mahkamah menilai pembentuk Undang-Undang tidak konsisten dengan

kebijakan-kebijakannya yang terkait Pemilu dan terkesan selalu bereksperimen

dan belum mempunyai desain yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan

sistem kepartaian sederhana yang hendak diciptakannya, sehingga setiap

menjelang Pemilu selalu diikuti dengan pembentukan Undang-Undang baru di

bidang politik, yaitu Undang-Undang mengenai Partai Politik, Undang-Undang

mengenai Pemilu, dan Undang-Undang mengenai Susunan dan Kedudukan

MPR, DPR, DPD, dan DPRD.” (vide: Putusan MK-RI Nomor 3/PUU-VII/2009,

tanggal, 13 Februari 2009, alinea [3.20], hlm. 130-131)

III.7. Bahwa peringatan konstitusional dari Mahkamah tersebut nampaknya tidak

berbekas bagi para anggota DPR dan Presiden dan seakan-akan hanya

sebagai pernyataan biasa, bukan pernyataan konstitusional yang harus

Page 118: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

27

didengar apalagi diperhatikan dalam pembentukan UU di bidang politik seperti

UU Partai Politik dan UU Pemilu. Masih segar dalam ingatan kita betapa

Pembentuk UU dalam pembentukan perubahan UU Partai Politik, yaitu UU

Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 2008

tentang Partai Politik lalu masih diwarnai ketidakjelasan arah dan visinya.

Pembentuk UU menaruh ketentuan dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 2

Tahun 2011 dan yang terkait dengan itu mewajibkan bagi partai politik yang

sudah berbadan hukum untuk melakukan penyesuaian dengan melakukan

verifikasi, yang lucunya, mengulang persyaratan-persyaratan untuk

mendapatkan suatu badan hukum. Sesuatu yang benar-benar sangat ironi.

Pada akhirnya kinerja pembentuk UU seperti itu mendapatkan “perlawanan”

konstitusional dari para partai politik termasuk di dalamnya Para Pemohon

dengan membawa ketentuan itu untuk diuji materikan kepada Mahkamah dan

kemudian dibatalkan melalui Putusan MK Nomor 15/PUU-IX/2011 juncto

Putusan MK Nomor 18/PUU-IX/2011;

III.8. Bahwa namun demikian, ironi dari Pembentuk UU masih terus berlanjut. Dalam

pembentukan UU Pemilu di tahun 2012 ini lagi-lagi Pembentuk UU

menyuguhkan daftar panjang ironi dari kinerjanya dengan memasukkan

ketentuan kepesertaan Pemilu yang sangat tidak adil dan bersifat diskriminatif

antara partai politik peserta Pemilu sebelumnya (Pemilu 2009) yang memenuhi

ambang batas parlemen dengan partai politik peserta Pemilu sebelumnya

(Pemilu 2009) yang tidak memenuhi ambang batas parlemen seperti halnya

para Pemohon. Juga memasukkan ketentuan kenaikan angka ambang batas

perolehan suara sah secara nasional (biasa disebut: ambang batas parlemen

atau parliamentary threshold/PT) dan pemberlakuannya secara flat

nasional/pusat (untuk penentuan kursi DPR) sampai ke daerah (untuk

penentuan kursi DPRD provinsi dan kabupaten/kota). Adanya ketentuan

pemberlakuan kepesertaan pemilu yang sangat tidak adil dan bersifat

diskriminatif maupun kenaikan angka ambang batas parlemen dan

pemberlakuannya secara flat nasional justru akan menggerus bahkan

menghilangkan adanya kemajemukan atau ke-bhineka tunggal ika-an dan

persatuan maupun prinsip kedaulatan rakyat dan perwakilan rakyat

Page 119: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

28

sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945 yang sesungguhnya harus

menjadi cita-cita hukum (rechtsidee) dari pembentukan UU Pemilu itu sendiri.

III.9. Ketentuan Pasal 8 ayat (1) sepanjang frase “yang memenuhi ambang batas

perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” dan ayat (2) sepanjang

frase “partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada

pemilu sebelumnya atau” UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1)

dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal

28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

III.9.1. Bahwa Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu menyebutkan:

Pasal 8

(1) Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang

memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah

secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada

Pemilu berikutnya;

(2) Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan

suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi

Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: ...

III.9.2. Bahwa beberapa ketentuan dalam UUD 1945 menyatakan bahwa;

Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa, “Pemilihan umum

dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil

setiap lima tahun sekali.”;

Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa, “Peserta

pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat

dan anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah partai politik“;

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, “Segala warga negara

bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan

wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada

kecualinya”;

Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, “Setiap orang berhak

untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara

kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”;

Page 120: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

29

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, “Setiap orang berhak

atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang

adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;

Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyebutkan, “Setiap warga negara

berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”;

Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, “Setiap orang berhak

bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun

dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang

bersifat diskriminatif itu”;

III.9.3. Bahwa ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu mengatur

hal-hal sebagai berikut:

Partai politik peserta pemilu pada pemilu terakhir (Pemilu 2009)

yang memenuhi ambang batas perolehan suara sah secara nasional

(biasa disebut: ambang batas parlemen atau parliamentary

threshold/ PT) secara otomatis ditetapkan sebagai peserta pemilu

berikutnya (2014), dengan tanpa harus melalui persyaratan-

persyaratan verifikasi faktual yang sangat berat oleh KPU;

Partai politik peserta Pemilu pada Pemilu terakhir (Pemilu 2009)

yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sah secara

nasional tidak secara otomatis ditetapkan sebagai peserta pemilu

berikutnya (2014);

Partai politik peserta Pemilu pada Pemilu terakhir (Pemilu 2009)

yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sah secara

nasional disamakan kedudukannya dengan partai politik baru dalam

hal kepesertaan Pemilu berikutnya (2014);

Partai politik peserta Pemilu pada Pemilu terakhir (Pemilu 2009)

yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sah secara

nasional atau partai baru dapat menjadi peserta Pemilu berikutnya

(2014), melalui persyaratan-persyaratan verifikasi faktual yang

sangat berat oleh KPU.

III.9.4. Bahwa ketentuan Pasal 8 ayat (1) sepanjang frasa “yang memenuhi

ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional”

Page 121: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

30

dan ayat (2) sepanjang frase “Partai politik yang tidak memenuhi

ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau” UU

Pemilu bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (3), Pasal 27

ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3),

dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Hal ini karena, sebagai berikut:

1) Ketentuan a quo menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil (fair legal uncertainty).

Ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu a quo

sebenarnya merupakan perubahan atau penggantian dari

ketentuan sebelumnya dalam Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun

2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Ketentuan

Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu

Anggota DPR, DPD, dan DPRD menyatakan, “Partai Politik

Peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya dapat menjadi Peserta

Pemilu pada Pemilu berikutnya.” Dalam Penjelasan Pasal 8 ayat

(2) UU No. 10 Tahun 2008 disebutkan, “Yang dimaksud dengan

“Pemilu sebelumnya” adalah mulai Pemilu tahun 2009 dan

selanjutnya.” Ketentuan Pasal 8 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 8

ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2008 telah menjamin bahwa, partai

politik peserta Pemilu sebelumnya (Pemilu 2009) menjadi peserta

Pemilu berikutnya (2014), tanpa membeda-bedakan apakah partai

politik peserta Pemilu sebelumnya (Pemilu 2009) itu memenuhi

ambang batas parlemen atau tidak.

Mahkamah pun dalam salah satu pertimbangan dalam putusannya

menyatakan:

“[3.18] Menimbang bahwa, menurut Mahkamah, dalil-dalil para

Pemohon tentang inkonstitusionalitas Pasal 202 ayat (1) UU

10/2008 tidaklah cukup beralasan dan mutatis mutandis juga tidak

beralasan untuk menyatakan tidak konstitusional pasal pasal yang

terkait Pasal 202 ayat (1), yakni Pasal 203, Pasal 205, Pasal 206,

Pasal 207, Pasal 208, dan Pasal 209 UU 10/2008. Menurut

Mahkamah, jika dibandingkan dengan kebijakan ET yang

Page 122: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

31

tercantum dalam Undang-Undang Pemilu sebelumnya, yaitu UU

3/1999 dan UU 12/2003, yang mengancam eksistensi Parpol dan

kesempatannya untuk mengikuti Pemilu berikutnya, kebijakan PT

yang tercantum dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 justru lebih

menjamin eksistensi Parpol Peserta Pemilu dan keikutsertaannya

dalam Pemilu berikutnya, sebagaimana tercantum dalam Pasal 8

ayat (2) UU 10/2008 yang berbunyi, “Partai Politik Peserta Pemilu

pada Pemilu sebelumnya dapat menjadi Peserta Pemilu pada

Pemilu berikutnya.” Penjelasan Pasal 8 ayat (2) tersebut berbunyi,

“Yang dimaksud dengan ‘Pemilu sebelumnya’ adalah mulai Pemilu

tahun 2009 dan selanjutnya.” (vide: Putusan MK-RI Nomor 3/PUU-

VII/2009, tanggal, 13 Februari 2009 alinea [3.18], hlm. 129-130).

Dari kutipan di atas, jelas pula bahwa Mahkamah memaknai

ketentuan Pasal 8 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU

Nomor 10 Tahun 2008 telah menjamin bahwa, partai politik peserta

pemilu sebelumnya (Pemilu 2009) menjadi peserta pemilu

berikutnya (2014). Akan tetapi, kemudian ketentuan Pasal 8 ayat

(2) dan Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2008

diubah atau diganti dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2)

UU Pemilu Tahun 2012 ini secara tidak adil dan diskriminatif,

bahwa hanya partai politik peserta Pemilu sebelumnya (Pemilu

2009) yang memenuhi ambang batas parlemen saja secara

otomatis menjadi peserta Pemilu berikutnya (2014). Ketentuan

Pasal 8 ayat (1) sepanjang frasa “yang memenuhi ambang batas

perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” dan ayat

(2) sepanjang frasa “Partai politik yang tidak memenuhi ambang

batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau” UU Pemilu

jelas menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil (fair legal

uncertainty) bagi para Pemohon. Sebab, para Pemohon dari

sebelumnya sudah mendapatkan jaminan untuk menjadi peserta

pemilu berikutnya (Pemilu 2014) sebagaimana ketentuan Pasal 8

ayat (2) dan Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun

Page 123: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

32

2008. Namun demikian, karena sebagai akibat adanya perubahan

atau penggantian menjadi ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) dan

ayat (2) UU Pemilu Tahun 2012, maka para Pemohon tidak

mendapatkan jaminan kepastian hukum yang adil (fair legal

uncertainty) dalam kepesertaan pemilu berikutnya (Pemilu 2014).

Lon Fuller dalam bukunya, The Morality of the Law (Moralitas

Hukum) menyatakan bahwa cita-cita kekuasaan hukum menuntut

agar aturan-aturan bersifat adil. Adapun prinsip-prinsip sebagai

pedoman dalam pembuatan hukum, agar supaya sifat adil daripada

aturan-aturan hukum dapat digalakkan, antara lain, bahwa dalam

hukum harus ada ketegasan. Hukum tidak boleh diubah-ubah

setiap waktu, sehingga orang tidak bisa lagi mengorientasikan

kegiatannya kepadanya (vide: Prof. Dr. A.A.G. Peters dan

Koesriani Siswosoebroto, S.H. (Editor), Hukum dan Perkembangan

Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum, Buku III, Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 1990, hlm. 61-62). Dalam pandangan yang sama, Nonet dan Selznick menyatakan

bahwasannya perubahan atau penggantian hukum harus lebih

menguntungkan terhadap pihak yang terkena aturan. Hukum

dalam negara demokrasi seperti Idonesia, tidak boleh merugikan

atau tidak mempedulikan kepentingan-kepentingan rakyat atau

pihak yang diatur (bersifat represif). Sebab, bersifat represif itu

berarti mengabdi kepada kekuasaan represif. Sebaliknya, haruslah

bersifat responsif dalam arti melayani kebutuhan dan kepentingan

sosial yang dialami dan dan ditemukan, tidak oleh pejabat,

melainkan oleh rakyat (vide: Prof. Dr. A.A.G. Peters dan Koesriani

Siswosoebroto, S.H., Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku

Teks Sosiologi Hukum, Buku III, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta, 1990, hlm. 166-184).

Dapat para Pemohon kemukakan di sini dalam hal kepesertaan

pemilu sudah ada preseden hukum dimana perubahan atau

penggantian hukum justru menguntungkan rakyat in casu partai

Page 124: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

33

politik. Dalam UU Pemilu sebelumnya sebagaimana diatur dalam

Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang

Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD:

Pasal 9

(1) Untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta

Pemilu harus:

a. memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi

DPR;

b. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah

kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di ½

(setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau

c. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah

kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di ½ (setengah) jumlah

kabupaten/kota seluruh Indonesia.

(2) Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengikuti

Pemilu berikutnya apabila:

a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi

ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);

b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan selanjutnya

menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik

yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah

kursi; atau

c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan membentuk partai

politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga

memenuhi perolehan minimal jumlah kursi.

Setelah Pemilu 2004, kemudian ketentuan itu diubah atau diganti

dalam Ketentuan Peralihan Pasal 315 dan Pasal 316 UU Nomor 10

Tahun 2008 Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yang

sesungguhnya sama materi atau isinya dengan ketentuan

Page 125: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

34

sebelumnya dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 12

Tahun 2003, dengan memberikan ‘excuse’ bahwa dapat mengikuti

pemilu berikutnya (Pemilu 2009) dengan ketentuan “memiliki kursi

di DPR hasil Pemilu 2004”.

Ketentuan Pasal 315 dan Pasal 316 UU Nomor 10 tahun 2008,

menyatakan:

BAB XXIII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 315

Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh

sekurang-kurangnya 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR atau

memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah

kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurangkurangnya di 1/2

(setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh

sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD

kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2

(setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan

sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 2004.

Pasal 316

Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang tidak memenuhi

ketentuan Pasal 315 dapat mengikuti Pemilu tahun 2009 dengan

ketentuan:

a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315; atau

b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dan selanjutnya

menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik

yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah

kursi; atau

c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dengan membentuk

Page 126: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

35

partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga

memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau

d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004; atau

e. memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU untuk menjadi Partai

Politik Peserta Pemilu sebagaimana ditentukan dalam Undang-

Undang ini.

Perubahan atau penggantian dari Pasal 8 ayat (2) dan Penjelasan

Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2008 yang telah memberikan

jaminan bagi partai politik peserta Pemilu sebelumnya (Pemilu

2009) menjadi peserta Pemilu berikutnya (Pemilu 2014), kemudian

diubah atau diganti menjadi ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2)

UU Pemilu Tahun 2012 yang menentukan hanya partai politik

peserta Pemilu sebelumnya (Pemilu 2009) yang memenuhi

ambang batas parlemen saja yang menjadi peserta pemilu

berikutnya (Pemilu 2014), hal ini jelas merupakan perubahan atau

penggantian hukum yang tidak bersifat adil, tidak memberikan

jaminan kepastian, dan merugikan kepentingan para Pemohon

(bersifat represif).

Ketentuan Pasal 8 ayat (1) sepanjang frase “yang memenuhi

ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara

nasional” dan ayat (2) sepanjang frase “Partai politik yang tidak

memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu

sebelumnya atau” UU Pemilu Tahun 2012, dengan demikian,

bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1)

UUD 1945.

2) Ketentuan a quo bersifat diskriminatif Ketentuan Pasal 8 ayat (1) sepanjang frase “yang memenuhi

ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara

nasional” dan ayat (2) sepanjang frase “Partai politik yang tidak

memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu

sebelumnya atau” UU Pemilu terang benderang bersifat

diskriminatif.

Page 127: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

36

Para Pemohon perlu mengemukakan pengertian diskriminasi dari

kacamata hukum sebagaimana yang diberikan tafsirnya oleh

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 19/PUU-VIII/2010

tanggal 1 November 2011. Pembedaan yang dapat menimbulkan

diskriminasi hukum adalah pembedaan yang menimbulkan hak

yang berbeda diantara pihak yang dibedakan, pembedaan yang

menimbulkan hak dan/atau kewajiban yang berbeda. Dalam

putusan Mahkamah tersebut dinyatakan bahwa:

[3.15.3] Bahwa terhadap dalil Pemohon di atas, Mahkamah

berpendapat,

terhadap diskriminasi yang selalu dihubungkan dengan adanya

perlakuan yang berbeda terhadap sesuatu hal, tidaklah berarti

bahwa secara serta-merta perlakuan yang berbeda tersebut akan

menimbulkan diskriminasi hukum. Suatu pembedaan yang

menimbulkan diskriminasi hukum, haruslah dipertimbangkan

menyangkut pembedaan apa dan atas dasar apa pembedaan

tersebut dilakukan. Pembedaan yang akan menimbulkan status

hukum yang berbeda tentulah akan diikuti oleh hubungan hukum

dan akibat hukum yang berbeda pula antara yang dibedakan. Dari

pembedaan-pembedaan yang timbul dalam hubungan hukum dan

akibat hukum karena adanya pembedaan status hukum akan

tergambar aspek diskriminasi hukum dari suatu pembedaan,

karena daripadanya akan diketahui adanya pembedaan hak-hak

yang ditimbulkan oleh diskriminasi. Oleh karena itu, pembedaan

yang dapat mengakibatkan diskriminasi hukum adalah pembedaan

yang dapat menimbulkan hak yang berbeda di antara pihak yang

dibedakan. Dengan demikian, hanya pembedaan yang melahirkan

hak dan/atau kewajiban yang berbeda saja yang dapat

menimbulkan diskriminasi hukum. Karena pendukung hak dan/atau

kewajiban adalah subjek hukum, maka hanya pembedaan yang

menimbulkan kedudukan hukum yang berbeda terhadap subjek

hukum saja yang dapat menimbulkan diskriminasi hukum.

Page 128: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

37

(vide: Putusan MK Nomor 19/PUU-VIII/2010 tanggal 1 November

2011, hlm. 131)

Ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu telah

membeda-bedakan antara partai politik peserta pemilu sebelumnya

(Pemilu 2009) yang memenuhi ambang batas parlemen dengan

partai politik peserta Pemilu sebelumnya (Pemilu 2009) yang tidak

memenuhi ambang batas parlemen dalam kepesertaan pada

pemilu berikutnya (Pemilu 2014). Dan HANYA partai politik peserta

pemilu sebelumnya (Pemilu 2009) yang memenuhi ambang batas

parlemen saja yang secara otomatis menjadi peserta Pemilu

berikutnya (Pemilu 2014), dengan tanpa melalui persyaratan-

persyaratan verifikasi faktual yang sangat berat oleh KPU.

Sedangkan di sisi lain, partai politik peserta Pemilu sebelumnya

(Pemilu 2009) yang tidak memenuhi ambang batas parlemen harus

melalui persyaratan-persyaratan verifikasi faktual yang sangat

berat oleh KPU untuk dapat menjadi peserta pemilu berikutnya

(Pemilu 2014).

Dari penjelasan di atas, betapa terlihat jelas bahwa ketentuan

Pasal 8 ayat (1) sepanjang frase “yang memenuhi ambang batas

perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” dan ayat

(2) sepanjang frase “Partai politik yang tidak memenuhi ambang

batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau” UU Pemilu

merupakan pembedaan yang menimbulkan diskriminasi hukum

oleh karena menimbulkan hak yang berbeda diantara pihak yang

dibedakan, pembedaan yang menimbulkan hak dan/atau kewajiban

yang berbeda, di antara partai politik peserta Pemilu sebelumnya

(Pemilu 2009) yang tidak memenuhi ambang batas parlemen

dengan partai politik peserta Pemilu sebelumnya (Pemilu 2009)

yang memenuhi ambang batas parlemen.

Padahal, sebagaimana telah dikemukakan juga, bahwa ketentuan

sebelumnya sebagaimana Pasal 8 ayat (2) dan Penjelasan Pasal

8 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2008 bahwa tidak ada pembedaaan

Page 129: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

38

antara antara partai politik peserta Pemilu sebelumnya (Pemilu

2009) yang memenuhi ambang batas parlemen dengan partai

politik peserta Pemilu sebelumnya (Pemilu 2009) yang tidak

memenuhi ambang batas parlemen dalam kepesertaan pada

Pemilu berikutnya (Pemilu 2014). Bahwa semua politik peserta

Pemilu sebelumnya (Pemilu 2009) mendapatkan jaminan dalam

kepesertaan pada pemilu berikutnya (Pemilu 2014), sebagaimana

juga pendapat Mahkamah dalam Putusan MK-RI Nomor 3/PUU-

VII/2009, tanggal, 13 Februari 2009 alinea [3.18], hlm. 129-130.

Jika para Pemohon yang pada awalnya sudah mendapatkan

jaminan sebagai peserta Pemilu berikutnya (Pemilu 2014)

sebagaimana Pasal 8 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU

Nomor 10 Tahun 2008 juncto Putusan MK-RI Nomor 3/PUU-

VII/2009, tanggal, 13 Februari 2009, akan tetapi kemudian menurut

ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu harus melalui

persyaratan-persyaratan verifikasi faktual yang sangat berat oleh

KPU untuk dapat menjadi peserta Pemilu berikutnya (Pemilu

2014), maka ini berarti terhadap para Pemohon telah diberlakukan

standar ganda (double standard) yaitu pertama, penerapan

ambang batas parlemen atau parliamentary threshold/ PT dan

kemudian, kedua dikenai sanksi electoral threshold, karena Para

Pemohon sebagai partai politik peserta Pemilu sebelumnya

(Pemilu 2009) yang tidak memenuhi ambang batas parlemen

disamakan kedudukannya dengan partai politik baru. Ini sangat

nyata bersifat diskriminatif.

Oleh karena itu, ketentuan Pasal 8 ayat (1) sepanjang frase “yang

memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah

secara nasional” dan ayat (2) sepanjang frase “Partai politik yang

tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu

sebelumnya atau” UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 27 ayat

(1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Page 130: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

39

3) Ketentuan a quo menghalangi para Pemohon untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya

Pengaturan sebagaimana ditentukan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2)

UU Pemilu berarti pula telah menghalangi para Pemohon untuk

memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif

untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Sebab,

para Pemohon untuk dapat menjadi peserta Pemilu berikutnya

(Pemilu 2014) terkena halangan melalui persyaratan-persyaratan

verifikasi faktual yang sangat berat oleh KPU. Tidak sebagaimana

halnya bagi partai politik peserta pemilu sebelumnya (Pemilu 2009)

yang memenuhi ambang batas parlemen. Ini artinya, ketentuan

Pasal 8 ayat (1) sepanjang frase “yang memenuhi ambang batas

perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” dan ayat

(2) sepanjang frase “Partai politik yang tidak memenuhi ambang

batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau” UU Pemilu

bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.

III.10. Ketentuan Pasal 208 atau setidak-tidaknya sepanjang frasa:”DPRD Provinsi

dan DPRD Kabupaten/Kota” UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2),

Pasal 22E ayat (1) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal

28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

III.10.1. Bahwa Pasal 208 UU Pemilu menyatakan: “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas

perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima

perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan

dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan

DPRD kabupaten/ kota“

III.10.2. Bahwa Pembukaan alinea ke-4 UUD 1945 menyatakan:

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara

Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

Page 131: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

40

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban

dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan

keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan

Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia,

yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia

yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan

Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan

Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan

dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan

suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.;

III.10.3. Bahwa beberapa ketentuan dalam UUD 1945 menyatakan bahwa;

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, “Kedaulatan berada di

tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”;

Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa“Pemilihan umum

dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan

adil setiap lima tahun sekali.”;

Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa, “Pemilihan

umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”;

Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa: “Peserta

pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat

dan anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah partai politik“;

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa, “Segala warga

negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu

dengan tidak ada kecualinya.”;

Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, “Setiap orang berhak

untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara

kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.”;

Page 132: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

41

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, “Setiap orang berhak

atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum

yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”;

Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyebutkan, “Setiap warga negara

berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam

pemerintahan.”;

Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, “Setiap orang berhak

bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa

pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan

yang bersifat diskriminatif itu.”;

Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 menyatakan, “Dengan

ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas

Pembukaan dan pasal-pasal.”;

III.10.4. Bahwa Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa, “Pemilihan

umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” Menyimak ketentuan Pasal 22E

ayat (2) UUD 1945, dapat diperoleh penjelasan yang tegas bahwa

pemilihan umum dilaksanakan untuk memilih anggota DPR, anggota

DPD, Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPRD provinsi, dan

anggota DPRD Kabupaten/Kota. Ketentuan tersebut membedakan

secara jelas sasaran penggunaan hak pilih, dan sekaligus penegasan

terhadap pemberian hak suara dilakukan dengan tingkat representasi

yang berbeda. Sebagai salah satu wujud pelaksanaan kedaulatan

rakyat, suara yang ditujukan ke dalam kotak suara tertentu, tidak

boleh menegasikan dan mereduksi makna pemberian suara ke kotak

suara yang lain. Hal ini berarti masing-masing kotak sebagai

representasi hak suara sebagai hak asasi untuk memilih, memiliki nilai

keterwakilan masing-masing, sehingga tidak mungkin karena tidak

mencapai pada ambang batas tertentu pada kota tertentu

menghilangkan representasi pada kotak yang lain. Tegasnya,

Page 133: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

42

representasi keterwakilan pada anggota DPR tidak dapat mereduksi

representasi keterwakilan pada DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

Dengan demikian, pemberlakuan ambang batas parlemen secara

nasional sebagaimana dituangkan dalam Pasal 208 UU Pemilu 2012

jelas menciderai asas demokrasi yang dibangun oleh Pasal 22E ayat

(1) dan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945. Selain itu, ketentuan Pasal 208

UU Pemilu 2012 berpotensi mereduksi kebhinekaan pilihan pemilih,

dan sangat potensial membunuh hak rakyat dalam menentukan

representasi mereka di lembaga legislatif pada setiap tingkatan yang

berbeda. Hal itu sekaligus bermakna bahwa pemberlakuan ambang

batas parlemen secara nasional menjadi mesin pembunuh masal

kebhinekaan berpolitik sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945.

Dengan hilangnya kebhinekaan berpolitik, menjadi ancaman serius

dan sangat mungkin partai politik yang secara tradisional hanya

memiliki basis dukungan di daerah tertentu, tetapi karena tidak

mencapai ambang batas parlemen secara nasional, secara otomatis

suara pemilihnya akan hilang sampai pada tingkat provinsi dan

kabupaten/kota.

III.10.5 Bahwa ketentuan Pasal 208 Pemilu mengatur hal-hal sebagai berikut:

Adanya ketentuan ambang batas perolehan suara sah secara

nasional (biasa disebut: ambang batas parlemen atau

parliamentary threshold/ PT);

Ada kenaikan angka ambang batas parlemen menjadi 3,5% (tiga

koma lima perseratus), dari sebelumnya sebesar 2,5% (dua koma

lima perseratus) sebagaimana diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU

Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan

DPRD;

Pemberlakuan ambang batas parlemen secara flat dari

nasional/pusat (untuk penentuan kursi DPR RI) sampai ke daerah

(untuk penentuan kursi DPRD provinsi dan kabupaten/ kota);

Page 134: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

43

III.10.6. Bahwa ketentuan Pasal 208 UU Pemilu bertentangan dengan

Pembukaan alinea ke-4 UUD 1945, Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 28C

ayat (2) UUD 1945.

Adapun alasan-alasan yang perlu dikemukakan adalah, sebagai

berikut:

1) Ketentuan a quo menghilangkan kedaulatan rakyat dan keterwakilan politik rakyat Bahwa mengenai ambang batas perolehan suara sah secara

nasional (biasa disebut: ambang batas parlemen atau

parliamentary threshold/PT) sebenarnya Mahkamah sudah

memberikan pendapat dan penafsirannya dalam putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009 tanggal, 13 Februari

2009 bahwa hal itu menjadi domain dari Pembentuk UU dengan

catatan tidak boleh bertentangan dengan hak politik, kedaulatan

rakyat, dan rasionalitas.

Mahkamah dalam salah satu pertimbangan dalam putusannya,

menyatakan:

[3.19] Menimbang bahwa dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas

sebagai legal policy bagi eksistensi Partai Politik baik berbentuk

ET maupun PT. Kebijakan seperti ini diperbolehkan oleh

konstitusi sebagai politik penyederhanaan kepartaian karena pada

hakikatnya adanya Undang-Undang tentang Sistem Kepartaian

atau Undang-Undang Politik yang terkait memang dimaksudkan

untuk membuat pembatasan-pembatasan sebatas yang

dibenarkan oleh konstitusi. Mengenai berapa besarnya angka

ambang batas adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-

Undang untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh

Mahkamah selama tidak bertentangan dengan hak politik,

kedaulatan rakyat, dan rasionalitas. Dengan demikian pula,

menurut Mahkamah, ketentuan mengenai adanya PT seperti yang

diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 tidak melanggar

Page 135: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

44

konstitusi karena ketentuan Undang-Undang a quo telah memberi

peluang bagi setiap warga negara untuk membentuk partai politik

tetapi sekaligus diseleksi dan dibatasi secara rasional melalui

ketentuan PT untuk dapat memiliki wakil di DPR. Di mana pun di

dunia ini konstitusi selalu memberi kewenangan kepada

pembentuk Undang-Undang untuk menentukan batasan-batasan

dalam Undang-Undang bagi pelaksanaan hak-hak politik rakyat.

(vide: Putusan MK Nomor 3/PUU-VII/2009 tertanggal, 13 Februari

2009, hlm. 130)

Kenaikan angka ambang batas parlemen dan pemberlakuannya

secara flat nasional jelas akan menghilangkan prinsip kedaulatan

rakyat, oleh karena akan menghilangkan suara rakyat sebagai

pemilih dalam pemilu dan melahirkan para anggota DPR, DPRD

provinsi maupun DPRD kabupaten/kota yang tidak dipilih

berdasarkan pilihan rakyat. Dengan demikian, keterwakilan politik

rakyat politik (political representativeness) yang sesungguhnya

menjadi tujuan Pemilu sebagaimana telah dikemukakan menjadi

tidak ada, sebab ada keterputusan antara pilihan rakyat dengan

yang mewakili rakyat (DPR, DPRD provinsi maupun DPRD

kabupaten/kota). Dari pengalaman Pemilu 2009 sebelumnya

dengan ambang batas parlemen sebesar 2,5% (dua koma lima

perseratus) sebagaimana diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU No.

10 Tahun 2008, terdapat 19.047.481 atau 18,31% suara rakyat

yang hilang atau tidak memperoleh keterwakilan politik dari

jumlah total suara sah sebanyak 104.048.118.

Sedangkan jumlah suara yang tidak sah adalah 17.540.248 atau

14,43% dari jumlah total pemilih sebanyak 121.588.366 suara.

Dengan demikian, total suara yang hilang adalah: 19.047.481 +

17.540.248 = 36.587.720 atau sekitar 30,09 % dari total pemilih

sebanyak 121.588.366 suara. Lihat tabel di bawah ini.

Page 136: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

45

Hasil Penghitungan Suara Sah Parpol Peserta Pemilu 2009

1 Partai Hati Nurani Rakyat 3,925,620 3.77%

2 Partai Karya Peduli Bangsa 1,461,375 1.40%

3 Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia 745,965 0.72%

4 Partai Peduli Rakyat Nasional 1,260,950 1.21%

5 Partai Gerakan Indonesia Raya 4,642,795 4.46%

6 Partai Barisan Nasional 760,712 0.73%

7 Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 936,133 0.90%

8 Partai Keadilan Sejahtera 8,204,946 7.89%

9 Partai Amanat Nasional 6,273,462 6.03%

10 Partai Perjuangan Indonesia Baru 198,803 0.19%

11 Partai Kedaulatan 438,030 0.42%

12 Partai Persatuan Daerah 553,299 0.53%

13 Partai Kebangkitan Bangsa 5,146,302 4.95%

14 Partai Pemuda Indonesia 415,563 0.40%

15 Partai Nasional Indonesia Marhaenisme 317,433 0.31%

16 Partai Demokrasi Pembaruan 896,959 0.86%

17 Partai Karya Perjuangan 351,571 0.34%

18 Partai Matahari Bangsa 415,294 0.40%

19 Partai Penegak Demokrasi Indonesia 139,988 0.13%

20 Partai Demokrasi Kebangsaan 671,356 0.65%

21 Partai Republik Nusantara 631,814 0.61%

22 Partai Pelopor 345,092 0.33%

23 Partai Golongan Karya 15,031,497 14.45%

24 Partai Persatuan Pembangunan 5,544,332 5.33%

25 Partai Damai Sejahtera 1,522,032 1.46%

26

Partai Nasional Benteng Kerakyatan

Indonesia 468,856 0.45%

27 Partai Bulan Bintang 1,864,642 1.79%

28 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 14,576,388 14.01%

29 Partai Bintang Reformasi 1,264,150 1.21%

30 Partai Patriot 547,798 0.53%

31 Partai Demokrat 21,655,295 20.81%

32 Partai Kasih Demokrasi Indonesia 325,771 0.31%

Page 137: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

46

33 Partai Indonesia Sejahtera 321,019 0.31%

34 Partai Kebangkitan Nasional Ulama 1,527,509 1.47%

35 Partai Merdeka 111,609 0.11%

36 Partai Nahdlatul Ummah Indonesia 146,831 0.14%

37 Partai Sarikat Indonesia 141,558 0.14%

38 Partai Buruh 265,369 0.26%

TOTAL SUARA 104,048,118 100%

Jumlah Suara Sah 104,048,118 85.57%

Jumlah Suara Tidak Sah 17,540,248 14.43%

Total Pemilih 121,588,366 100.00%

Jumlah Suara Partai Yang Lolos PT 85,000,637 81.69%

Jumlah Suara Partai Yang Tidak Lolos PT 19,047,481 18.31%

TOTAL SUARA SAH 104,048,118 100.00%

Total Suara Yang Hilang :

Jumlah Suara Partai Yang Tidak Lolos PT 19,047,481 52.06%

Jumlah Suara Tidak Sah 17,540,248 47.94%

TOTAL SUARA HILANG 36,587,729 100.00%

Total Suara Yang Hilang : 36,587,720 30.09%sumber: Diolah dari Drs. Syafriadi S. Yatim, Sigit Joyowardono, SH, dkk., Pemilu 2009 dalam Angka, Satu Suara Untuk Masa Depan !, Jakarta: Komisi Pemilihan Umum, Januari, hlm. 30.

Ini berarti, ketentuan Pasal 208 UU Pemilu bertentangan dengan

Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, yang menyatakan, “... yang

terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang

berkedaulatan rakyat ...”, dan sila ke-4 Pancasila, “Kerakyatan

yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

Permusyawaratan/Perwakilan.” Dan bertentangan dengan Pasal 1

ayat (2) UUD 1945;

Bahwa sebagaimana sudah dikutip di atas, Mahkamah sudah

memberikan pendapat dan penafsirannya bahwa ambang batas

Page 138: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

47

parlemen menjadi domain dari Pembentuk UU dengan catatan

tidak boleh bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat,

dan rasionalitas. Kata “rasional” menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia berarti: menurut pikiran dan timbangan yang logis;

menurut pikiran yang sehat; cocok dengan akal (vide: Tim

Penyusun kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta: Balai

Pustaka, 1999, hlm. 821).

Pasal 208 UU Pemilu mengatur pemberlakuan ambang batas

parlemen secara flat dari nasional/pusat (untuk penentuan kursi

DPR RI) sampai ke daerah (untuk penentuan kursi DPRD provinsi

dan kabupaten/kota). Artinya, jika misalnya suara PKNU untuk

anggota DPR tidak memenuhi ambang batas parlemen yang telah

ditentukan, maka suara PKNU dalam Pemilu untuk anggota DPR

bahkan juga untuk anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD

kabupaten/kota menjadi hilang, meskipun meskipun perolehan

suara PKNU dalam Pemilu untuk anggota DPRD provinsi dan

DPRD kabupaten/kota menang diantara partai-partai lainnya

bahkan sekalipun menang di banyak daerah-daerah. Dan suara

PKNU itu tidak dapat diikutkan untuk penentuan kursi bukan saja

untuk kursi DPR, tetapi secara otomatis juga tidak diikutkan untuk

penentuan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Dari

ketentuan tersebut, terlihat betapa pemilu dalam kaitan ini konsep

ambang batas parlemen menjadi sangat tidak rasional; sangat

tidak logis; sangat tidak bisa diterima pikiran sehat; sangat tidak

masuk akal. Mengapa? Sebab, penentuan kursi DPRD provinsi

dan DPRD kabupaten/kota disandarkan pada perolehan suara

calon dan partai untuk suara DPR, padahal setiap pemilih akan

diberikan 3 (tiga) model kertas suara untuk memilih anggota DPR,

untuk memilih anggota DPRD provinsi, dan untuk memilih

anggota DPRD kabupaten/kota yang berlainan calon-calonnya

maupun tingkatannya. Lalu, untuk apa gunanya kertas suara

Page 139: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

48

untuk memilih anggota DPRD provinsi dan untuk memilih anggota

DPRD kabupaten/kota yang mencantumkan daftar nama-nama

calon itu? Hal lain yang menyebabkan ambang batas parlemen ini

menjadi tidak rasional ialah, karena dengan kenaikan angka

ambang batas parlemen menjadi 3,5% (tiga koma lima

perseratus) dari sebelumnya sebesar 2,5% (dua koma lima

perseratus) akan menyebabkan semakin besar lagi suara rakyat

pemilih yang terbuang dan tidak mendapatkan keterwakilan politik

(political representativeness) baik untuk DPR, DPRD provinsi,

DPRD kabupaten/kota. Dan ini sangat irasional, sebab

sesungguhnya tujuan Pemilu hendak mewujudkan adanya

keterwakilan politik (political representativeness), yakni

terwakilinya kepentingan anggota masyarakat oleh wakil-wakil

mereka di dalam lembaga-lembaga dan proses politik.

2) Ketentuan a quo merusak kemajemukan atau ke-bhineka

tunggal ika-an dan persatuan Kenaikan angka ambang batas parlemen di atas angka

sebelumnya 2,5% dan dengan penerapan sistem flat secara

nasional terang-terang akan merusak adanya kemajemukan

bangsa (ke-bhineka tunggal ika-an). Banyaknya partai politik yang

tidak memenuhi ambang batas parlemen tidak saja kehilangan

kursi di DPR, melainkan juga di tingkat DPRD provinsi dan DPRD

kabupaten/kota. Hal ini akan berakibat banyaknya entitas dan

komunitas lokal tidak terwadahi dan tidak terwakili dalam DPR,

DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Demikian halnya,

aliran pikiran politik yang semula terwakili dalam keragaman

partai politik juga akan hilang karena partai politik tadi terjegal

tidak dapat mengirimkan wakil-wakilnya di parlemen tersebut.

Dalam pada itu, oleh karena banyaknya entitas dan komunitas

lokal serta aliran pikiran politik yang tidak terwakili dalam lembaga

politik dalam hal ini DPR, DPRD provinsi dan DPRD

kabupaten/kota, maka akan berakibat rapuhnya integrasi bangsa

Page 140: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

49

atau persatuan nasional. Ketentuan Pasal 208 UU Pemilu jelas

sangat bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4,

yang menyebutkan, “... untuk membentuk suatu Pemerintah

Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia

dan seluruh tumpah darah Indonesia ...”, dan sila ke-3 Pancasila,

“Persatuan Indonesia”;

3) Ketentuan a quo bertentangan dengan hak politik para Pemohon dalam hal ini untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya Sebagaimana dikemukakan dalam pendapat Mahkamah (vide:

Putusan MK Nomor 3/PUU-VII/2009 tertanggal, 13 Februari 2009,

hlm. 130), bahwa ambang batas parlemen menjadi tidak

konstitusional atau bertentang dengan konstitusi, jika hal itu

bertentangan dengan hak politik. Para Pemohon, salah satunya

dijamin hak politiknya oleh konstitusi (UUD 1945) untuk

memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara

kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.

Ini diatur dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. Namun begitu, hak

politik itu menjadi terampas oleh karena diberlakukannya

ketentuan Pasal 208 UU Pemilu. Sebab, jika seandainya para

Pemohon tidak memenuhi ambang batas parlemen yang telah

ditentukan sebesar 3,5 % (tiga koma lima perseratus) untuk

anggota DPR. Maka, para Pemohon terhalangi untuk memajukan

dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk

membangun masyarakat, bangsa dan negaranya melalui

parlemen (DPR maupun DPRD provinsi dan DPRD

kabupaten/kota), karena tidak dapat mengirimkan perwakilannya

bukan hanya kursi DPR, tetapi secara otomatis juga kursi DPRD

provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

Dengan demikian, Pasal 208 UU Pemilu bertentangan dengan

Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.

Page 141: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

50

III.10.7. Bahwa berdasarkan pada uraian di atas, Pasal 208 UU Pemilu

bertentangan dengan cita-cita hukum (rechtsidee) dari pembentukan

UU Pemilu itu sendiri in casu Pembukaan UUD 1945 aline ke-4 dan

Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1),

Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan

Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

IV. Kesimpulan 1. Bahwa oleh karena itu Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa,

mengadili dan memutus permohonan ini. 2. Bahwa para Pemohon sebagai badan hukum publik memiliki kedudukan

hukum (legal standing, legitima persona standi in judicio) untuk bertindak

sebagai para Pemohon dalam permohonan pengujian Pasal 8 ayat (1)

sepanjang frasa “yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah

suara sah secara nasional” dan ayat (2) sepanjang frasa “Partai politik yang

tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya

atau” UU Pemilu;

3. Bahwa ketentuan Pasal 8 ayat (1) sepanjang frasa “yang memenuhi ambang

batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” dan ayat (2)

sepanjang frase “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan

suara pada Pemilu sebelumnya atau” UU Pemilu merugikan hak

konstitusional para Pemohon karena sangat tidak adil dan bersifat

diskriminatif kepada para Pemohon.

4. Ketentuan a quo menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil (fair legal

uncertainty). Karena para Pemohon dari sebelumnya sudah mendapatkan

jaminan untuk menjadi peserta Pemilu berikutnya (Pemilu 2014) sebagaimana

ketentuan Pasal 8 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 10

Tahun 2008. Namun demikian, karena sebagai akibat adanya perubahan atau

penggantian menjadi ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU

Pemilu Tahun 2012, maka para Pemohon tidak mendapatkan jaminan

kepastian hukum yang adil (fair legal uncertainty) dalam kepesertaan pemilu

berikutnya (Pemilu 2014). Dengan demikian, bertentangan dengan Pasal 22E

ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945

Page 142: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

51

5. Bahwa ketentuan Pasal 8 ayat (1) sepanjang frase “yang memenuhi ambang

batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” dan ayat (2)

sepanjang frase “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan

suara pada Pemilu sebelumnya atau” UU Pemilu bertentangan dengan Pasal

22E ayat (1) dan ayat (3), 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1),

Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

6. Bahwa ketentuan Pasal 208 UU Pemilu jelas-jelas akan merugikan setidak-

tidaknya potensial merugikan para Pemohon. Pemberlakuan kenaikan angka

ambang batas parlemen sekaligus pemberlakuan secara flat dari nasional/

pusat (untuk penentuan kursi DPR RI) sampai ke daerah (untuk penentuan

kursi DPRD provinsi dan kabupaten/kota) akan merugikan para Pemohon,

karena banyak suara rakyat pemilih yang memilih para Pemohon akan hilang

begitu saja jika misalnya perolehan suara dalam pemilu untuk DPR tidak

memenuhi ambang batas parlemen;

7. Bahwa ketentuan Pasal 208 UU Pemilu bertentangan dengan Pembukaan

alinea ke-4 UUD 1945, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28C ayat (2)

UUD 1945. Hal ini dikarenakan ketentuan a quo menghilangkan kedaulatan

rakyat dan keterwakilan politik rakyat. Kenaikan angka ambang batas

parlemen dan pemberlakuannya secara flat nasional jelas akan

menghilangkan prinsip kedaulatan rakyat, oleh karena akan menghilangkan

suara rakyat sebagai pemilih dalam pemilu dan melahirkan para anggota

DPR, DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota yang tidak dipilih

berdasarkan pilihan rakyat. Dengan demikian, keterwakilan politik rakyat

politik (political representativeness) yang sesungguhnya menjadi tujuan

Pemilu menjadi tidak ada, sebab ada keterputusan antara pilihan rakyat

dengan yang mewakili rakyat (DPR, DPRD provinsi maupun DPRD

kabupaten/ kota). Ini berarti, ketentuan Pasal 208 UU Pemilu bertentangan

dengan Pembukaan Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, yang menyatakan,

“... yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang

berkedaulatan rakyat ...”, dan sila ke-4 Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin

oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan.” Dan

bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.

Page 143: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

52

8. Ketentuan a quo merusak kemajemukan atau ke-bhineka tunggal ika-an dan

persatuan. Banyaknya partai politik yang tidak memenuhi ambang batas

parlemen tidak saja kehilangan kursi di DPR, melainkan juga di tingkat DPRD

provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Hal ini akan berakibat banyaknya entitas

dan komunitas lokal tidak terwadahi dan tidak terwakili dalam DPR, DPRD

provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Demikian halnya, aliran pikiran politik

yang semula terwakili dalam keragaman partai politik juga akan hilang karena

partai politik tadi terjegal tidak dapat mengirimkan wakil-wakilnya di parlemen

tersebut. Dengan demikian, akan berakibat rapuhnya integrasi bangsa atau

persatuan nasional. Hal ini berarti bertentangan dengan Pembukaan UUD

1945 alinea ke-4, yang menyebutkan, “... untuk membentuk suatu Pemerintah

Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia ...”, dan sila ke-3 Pancasila, “Persatuan Indonesia”.

Selanjutnya ketentuan a quo akan menghalangi hak konstitusional Para

Pemohon untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara

kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya, sebagaimana

dijamin oleh Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. Hak politik para Pemohon seperti

itu menjadi terampas. Sebab, jika seandainya para Pemohon tidak memenuhi

ambang batas parlemen yang telah ditentukan sebesar 3,5 % (tiga koma lima

perseratus) untuk anggota DPR, maka tidak mempunyai perwakilan rakyat

baik di DPR, DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota.

9. Bahwa dengan demikian Pasal 208 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 1

ayat (2), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat

(2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD

1945.

V. Petitum Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, dengan ini para Pemohon

bermohon kepada Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menerima,

memeriksa, dan mengadili perkara a quo dengan menjatuhkan putusan dengan

amar sebagai berikut:

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;

Page 144: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

53

2. Menyatakan Pasal 8 ayat (1) UU Pemilu sepanjang frasa “yang memenuhi

ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” dan

Pasal 8 ayat (2) UU Pemilu sepanjang frasa “Partai politik yang tidak

memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau”

serta Pasal 208 UU Pemilu atau setidak-tidaknya Pasal 208 UU Pemilu

sepanjang frasa: ..“ DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota“ Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum

Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2012 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5316) bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (1) dan

ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1)

dan ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;

3. Pasal 8 ayat (1) UU Pemilu sepanjang frasa “yang memenuhi ambang batas

perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” dan Psal 8 ayat (2)

UU Pemilu sepanjang frasa “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas

perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau” serta Pasal 208 UU Pemilu

atau setidak-tidaknya Pasal 208 UU Pemilu sepanjang frasa: ..“ DPRD

provinsi dan DPRD kabupaten/kota“ Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan

DPRD (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316 ) tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat;

4. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik

Indonesia sebagaimana mestinya.

Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon agar Majelis Hakim

Konstitusi dapat memutus yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon

mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti

P-6, sebagai berikut:

1. Bukti P-1 Fotokopi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Page 145: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

54

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah;

2. Bukti P-2 Fotokopi UUD 1945;

3. Bukti P-3 Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM

tentang Pengesahan Partai Sebagai Badan Hukum;

4. Bukti P-3a Fotokopi Surat Keterangan Direktur Tata Negara Direktorat

Jenderal Administrasi Hukum Umum Nomor

AHU.4.AH.11.01-38;

5. Bukti P-3b Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM

tentang Pengesahan Partai Sebagai Badan Hukum Nomor

M.HH-20.AH.11.01 Tahun 2008;

6. Bukti P-3c Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM

tentang Pengesahan Partai Sebagai Badan Hukum Nomor

M.HH.37.AH.11.01 Tahun 2008;

7. Bukti P-3d Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM

tentang Pengesahan Partai Sebagai Badan Hukum Nomor

M.12.UM.06.08 Tahun 2003;

8. Bukti P-3e Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM

tentang Pengesahan Partai Sebagai Badan Hukum Nomor

M.09.UM.06.08 Tahun 2003;

9. Bukti P-3f Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM

tentang Pengesahan Partai Sebagai Badan Hukum Nomor

M.HH-39.AH.11.01 Tahun 2008;

10. Bukti P-3g Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM

tentang Pengesahan Partai Sebagai Badan Hukum Nomor

M.HH-30.AH.1.01 Tahun 2008;

11. Bukti P-3h Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM

tentang Pengesahan Partai Sebagai Badan Hukum Nomor

M.05.UM.06.08 Tahun 2003;

12. Bukti P-3i Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM

tentang Pengesahan Partai Sebagai Badan Hukum Nomor

M-23.UM.06.08 Tahun 2003;

Page 146: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

55

13. Bukti P-3j Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM

tentang Pengesahan Partai Sebagai Badan Hukum Nomor

M.HH-28.AH.11.01 Tahun 2008;

14. Bukti P-3k Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM

tentang Pengesahan Partai Sebagai Badan Hukum Nomor

M-04.UM.06.08 Tahun 2003;

15. Bukti P-3l Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM

tentang Pengesahan Partai Sebagai Badan Hukum Nomor

M.HH-31.AH.11.01 Tahun 2008;

16. Bukti P-4 Fotokopi Komisi Pemilihan Umum Berita Acara Nomor

46/5-BA/VII/2008 tentang Penetapan dan Pengundian

Nomor Urut Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun

2009;

17. Bukti P-5 Fotokopi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia Direktorat Jenderal Administrasi

Hukum Umum tentang Daftar Partai Politik yang Berbadan

Hukum;

18. Bukti P-6 Fotokopi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008

tentang Partai Politik.

Selain itu, para Pemohon juga mengajukan dua orang ahli dan seorang saksi,

yaitu Ahli Dr. Margarito Kamis dan Prof. Dr. Saldi Isra, serta Saksi Dr. M.L. Denny Tewu, yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan

tanggal 31 Juli 2012 dan tanggal 6 Agustus 2012, yang pada pokoknya sebagai

berikut:

Ahli Margarito Kamis:

UU 28/2012 memberlakukan ambang batas secara nasional dengan besaran

perolehan suara 3,5%. Partai politik yang tidak memenuhi syarat tersebut tidak

dapat mengirimkan wakil-wakilnya untuk diresmikan menjadi anggota DPR.

Adanya ketentuan tersebut mungkin merugikan partai politik; dan secara pasti

merugikan pemilih. Kerugian tersebut terjadi karena hak pemilih lahir mendahului

Page 147: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

56

partai politik dan kehadiran partai politik merupakan konsekuensi dari hak asasi

pemilih.

Perdebatan-perdebatan BPUPKI dan PPKI tidak menunjukkan impian akan

kedaulatan partai politik, melainkan warga negara menjadi manusia yang

merdeka/berdaulat.

Partai politik adalah alat untuk mengonsolidasi impian tersebut.

Pasal 27 dan Pasal 28 UUD 1945 yang tidak pernah diubah hingga saat ini,

menyatakan bahwa harga diri setiap orang akan terjamin hanya dengan cara

memastikan hak-hak yang diakui secara universal sebagai hak asasi manusia

dalam konstitusi.

Hak asasi adalah ibu dari Pemilu, hak asasi adalah akar kedaulatan rakyat, yang

diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Tidak akan ada Pemilu untuk mengisi

jabatan tunggal maupun jamak DPR bila setiap orang tidak diakui haknya sebagai

individu merdeka atau setiap orang tidak berdaulat.

Pembentuk undang-undang memiliki kebebasan menilai hak yang hendak diatur

dan yang tidak diatur.

Kebijakan hukum pembentuk Undang-Undang untuk mengatur sesuatu dan

sebaliknya, memang tidak dapat dinilai dengan ukuran benar atau salah,

melainkan harus diukur dengan ukuran pantas atau tidak pantas. Tetapi

kepantasan macam apakah penghangusan suara pemilih dengan alat 3,5% suara

sah nasional?

Mengurangi jumlah partai politik, sekaligus mengurangi jumlah fraksi, sehingga

hubungan antara Presiden dengan DPR akan efektif. Namun, bagaimana bisa

suara pemilih yang menjadi pangkal pembentukan pemerintah, bahkan hukum,

dihanguskan dengan dalil mengefektifkan penyelenggaraan pemerintahan atau

mengefektifkan hubungan antara presiden dengan DPR?

Kebijakan pedoman 3,5% tidak masuk akal dilihat dari sudut kepantasan

demokrasi konstitusional, spirit, dan logika hukum, sehingga norma tersebut

inkonstitusional.

Partai politik, yang oleh Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 dipredikatkan sebagai

peserta pemilu legislatif, adalah alat pemilih dalam Pemilu untuk menyatakan

kehendaknya tentang haluan bernegara dalam lima tahun yang akan datang.

Page 148: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

57

Para perumus pasal a quo tidak menyatakan norma tersebut sebagai dasar

konstitusional pembentukan fraksi di DPR. Fraksi yang tidak lain adalah alat partai

politik di DPR, justru diberi nilai hukum sebagai subjek hukum tata negara.

Pembentuk Undang-Undang menilai fraksi menentukan apa yang mesti dibuat

atau tidak bisa dibuat oleh anggota DPR. Fraksi berubah sifat menjadi seolah-

olah DPR itu sendiri. Semakin banyak fraksi, semakin tidak efektif

penyelenggaraan pemerintahan. Berdasarkan hal tersebut, agar hubungan

fungsional Presiden dengan DPR tidak rumit, maka jumlah partai harus dikurangi,

dengan cara mengubah pranata ambang batas perolehan suara sah secara

nasional menjadi 3,5%.

Secara konstitusional, relasi Presiden dengan DPR adalah relasi legal yang

bersifat imperatif dengan pijakan norma konstitusi, sementara relasi politik adalah

relasi tawar-menawar. Dengan demikian, apakah masuk akal kerumitan relasi

tersebut dibebankan kepada pemilih dengan cara menghanguskan suara pemilih.

Perdebatan pembentuk UUD 1945 di PPKI, serta perdebatan MPR tahun 1999-

2002 tidak sekalipun menyatakan kehendak menjadikan fraksi sebagai entitas

konstitusi.

DPR, karena jangkauan fungsinya tidak mungkin dijadikan pijakan membangun

nalar konstitusionalisme untuk menyamakan dengan DPRD provinsi maupun

kabupaten/kota. Proses seleksi yang serentak semata-mata merupakan

konsekuensi.

Daerah dibentuk oleh pembentuk Undang-Undang dengan tujuan mengefektifkan

manajemen penyelenggaraan pemerintahaan.

Dalam negara kesatuan tidak dikenal urusan pemerintahan yang saling berhimpit

antara pemerintah pusat dan daerah. Pranata dekonsentrasi dan medebewind,

misalnya, memastikan bahwa daerah bukan entitas konstitusi yang lahir

mendahului pusat.

Daya ikat hukum yang dibuat oleh DPRD berbeda dengan DPR, begitu juga

dengan sumber kewenangannya.

Dengan demikian, menyamakan angka ambang batas 3,5% secara nasional tidak

memiliki pijakan konstitusional.

Page 149: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

58

Hak pemilih tidak boleh dihanguskan dengan alasan pengurangan partai politik

atau pengefektifan hubungan antara presiden dan DPR, atau antara kepala

daerah dengan DPRD.

Kursi orang pertama yang diperoleh secara sah tidak dapat dialihkan kepada

orang kedua yang tidak berhak dengan dalih partai orang pertama tidak mencapai

ambang batas perolehan sah secara nasional.

Ahli Saldi Isra:

Pemberlakuan ambang batas parlemen secara nasional menabrak prinsip

otonomi daerah.

Keragaman daerah akan terbungkam oleh mekanisme ambang batas parlemen

secara nasional. Jika partai politik lokal tidak terpilih di DPRD, maka keragaman di

daerah tidak akan terwakili. Sehingga yang duduk di DPRD bukan wakil pilihan

rakyat.

Penerapan ambang batas parlemen secara nasional tidak sesuai dengan tujuan

pemilihan umum. Oemilu adalah mekanisme pemindahan konflik dari masyarakat

ek parlemen. Keadaan ini mengakibatkan pemindahan konflik tidak terjadi karena

masyarakat lokal yang memilih partai politik lokal, ternyata partai politik lokal

tersebut tidak dapat masuk parlemen.

Pemilihan DPRD tidak linier dengan pemilihan anggota DPR, karena pemilih bisa

memilih partai A untuk DPRD tetapi memilih partai lain untuk DPR.

Penerapan ambang batas secara nasional berpotensi mendelegitimasi

keberadaan DPRD.

Saksi M.L. Denny Tewu Lahirnya parpol baru telah memberikan kesempatan lebih luas kepada rakyat

Indonesia untuk berpartisipasi dalam Pemilu.

Pada Pemilu 2009 ditentukan parliamentary threshold 2,5% dari hasil suara sah

nasional.

Pada Pemilu 2009, saksi sebagai calon anggota DPR RI dari Dapil Sulawesi

Utara memperoleh suara 78.804 suara (5,25%) dan menempati peringkat

keempat. Saksi seharusnya menduduki kursi DPR RI karena kursi yan

diperebutkan di Dapil Sulawesi Utara adalah sejumlah enam kursi. Namun

Page 150: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

59

demikian saksi tidak dilantik, tetapi justru yang dilantik adalah caleg lain yang

perolehan suaranya di bawah saksi.

Seandainya partai saksi (PDS) mendapat 5,25% suara di pulau Jawa, maka PT

akan mudah dilampaui. Tetapi di daerah yang jumlah penduduknya rendah, partai

pemenang belum tentu mudah mencapai parliamentary threshold.

UU Parpol yang baru mewajibkan partai politik yang tidak memenuhi

parliamentary threshold dalam Pemilihan Umum Tahun 2009 untuk diverifikasi

ulang.

Mahkamah Konstitusi pada Senin, 4 Juli 2011, menerbitkan Putusan Nomor

18/PUU-IX/2011 yang mengabulkan permohonan judicial review Pasal 51 ayat (1)

dan Pasal 51 ayat (1a) sepanjang frasa verifikasi partai politik sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan seterusnya tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Jika ada partai politik yang harus diverifikasi, maka semua partai politik juga harus

diverifikasi.

UU 10/2008 seharusnya diselaraskan dengan empat pilar kebangsaan.

Dalam UU 8/2012, besaran parliamentary threshold harus dihitung secara

proporsional yang dapat merepresentasikan seluruh wilayah NKRI.

Penghitungan Perludem menyatakan bahwa parliamentary threshold secara

nasional yang ideal adalah 1,03%.

[2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Pemerintah

menyampaikan opening statement secara lisan dalam persidangan tanggal 17 Juli

2012, yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:

I. Pokok Permohonan Pemohon 1. Bahwa para Pemohon beranggapan dengan diterbitkannya Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2012 tersebut, telah merugikan Pemohon. Karena dengan

diterbitkannya undang-undang tersebut, mengakibatkan hilangnya kedaulatan

rakyat dan keterwakilan politik rakyat dalam Pemilu.

2. Bahwa Pembentukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 dinilai telah merusak

kemajemukan atau kebhinekatunggalikaan dan persatuan, serta mengakibatkan

entitas dan komunitas lokal tidak terwadahi dan terwakili dalam DPR dan DPRD.

Page 151: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

60

3. Bahwa dengan diterbitkannya objek permohonan a quo yang dinilai telah

menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil (fair legal uncertainty),

menimbulkan kekacauan masyarakat dan meyimpang dari tujuan untuk

membentuk undang-undang yang lebih baik karena partai politik Pemohon tidak

mendapatkan jaminan dalam kepesertaan Pemilu Tahun 2014.

4. Singkatnya, menurut para Pemohon, Pasal 8 ayat (1), Pasal 208 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD

bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 22A, Pasal 22E ayat (1) dan ayat

(3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3),

dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

II. Tentang Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon

Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa Pemohon adalah pihak

yang menganggap hak dan/atau kewajiban konstitusionalnya dirugikan oleh

berlakunya undang-undang.

Lebih lanjut, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan

secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang

timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, vide

Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007.

Dengan demikian, Pemerintah perlu mempertanyakan kepentingan para

Pemohon, apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau

kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan diberlakukannya Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan

DPRD?

Selain itu, apakah terdapat kerugian konstitusional para Pemohon yang bersifat

khusus, spesifik, dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut

penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi? Dan apakah ada hubungan

sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang

yang dimohonkan untuk diuji.

Page 152: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

61

Menurut Pemerintah, para Pemohon tidak dapat mendalilkan kerugian

konstitusional yang dideritanya atas keberlakuan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2),

serta Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum

Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Kemudian tentang kedudukan hukum (legal standing) Pemohon akan dijelaskan

secara lebih rinci dalam keterangan Pemerintah, selengkapnya akan disampaikan

pada persidangan berikutnya atau melalui Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Namun demikian, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua Majelis

Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya, apakah para

Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak, sebagaimana

yang ditentukan oleh Pasal 51 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi, maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah

Konstitusi terdahulu (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor

11/PUU-V/2007).

III. Penjelasan Pemerintah atas Materi Permohonan yang Dimohonkan untuk Diuji Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Bahwa di samping mengajukan uji

materiil, para Pemohon juga mengajukan Pengujian Formil Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Terhadap anggapan para Pemohon tersebut, Pemerintah dapat memberikan

keterangan sebagai berikut:

1. Pengaturan mengenai uji formil diatur dalam Pasal 51 ayat (3) huruf a juncto

Pasal 51A ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2012 yang menyatakan, “Pemohon wajib menguraikan

dengan jelas bahwa pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan

berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.” Pasal 22A Undang-Undang Dasar

1945 menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan

undang-undang diatur dengan undang-undang.”

2. Sehingga menurut Pemerintah, pengujian formil terkait dengan apakah

pembentukan Undang-Undang telah sesuai atau tidak dengan ketentuan

Undang-Undang Dasar 1945 maupun berdasarkan peraturan perundang-

Page 153: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

62

undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-

undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan dalam Pengujian Formil

yang menjadi titik perhatian adalah apakah pembentukan suatu undang-

undang yang diajukan pengujian formil telah memenuhi syarat-syarat dan tata

cara, sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Menurut Pemerintah, proses penyusunan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD telah sesuai

dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik

maupun materi, jenis, hierarki, dan materi muatan, dan lembaga yang

membentuk. Selain itu, Pemohon dalam permohonannya tidak secara spesifik

dan jelas, pada proses manakah pembentukan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD tidak

memenuhi ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, maupun berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang mengatur tata cara

pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

4. Bahwa terhadap ketentuan ambang batas sebagaimana dinyatakan dalam

Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Pemerintah berpendapat

bahwa peserta pemilu DPR dan DPRD adalah partai politik yang memenuhi

nilai ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 2,5% pada Pemilu

2009. Atau partai politik sudah mempunyai kursi di DPR sebagai representasi

dari dukungan rakyat dan partai politik yang lulus verifikasi di KPU.

5. Bahwa persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) untuk

menjadi peserta Pemilu 2014 diharuskan memenuhi kepesertaan Pemilu

sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 yang disinkronkan

dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik,

sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang

Partai Politik. Hal ini juga telah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi

yang menyatakan bahwa partai politik yang berbadan hukum tidak perlu

Page 154: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

63

diverifikasi untuk menjadi badan hukum. Dengan demikian, maka partai politik

yang sudah mempunyai kursi di DPR, tidak perlu lagi diverifikasi untuk

menjadi peserta Pemilu.

6. Terkait dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, menurut

Pemerintah pembahasannya telah mempertimbangkan hal-hal yang

mendasar, terkait dengan pembentukan Undang-Undang tersebut, yaitu

bahwa untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pemilihan umum sebagai

sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat yang

aspiratif, berkualitas, dan bertanggung jawab berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa untuk

memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pemilihan umum sebagai sarana

perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat yang aspiratif,

berkualitas, dan bertanggung jawab berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Bahwa pemilihan umum wajib menjamin tersalurkannya suara rakyat secara

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Bahwa Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

perlu diganti sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan

masyarakat.

7. Bahwa persoalan besaran nilai ambang batas mengikuti pemilu (electoral

threshold/ET) maupun ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT)

merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang. PT merupakan tingkat

minimal dukungan yang harus diperoleh partai politik untuk mendapatkan

perwakilan kursi di DPR. Berkaitan dengan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2012 mempunyai arti bahwa partai politik yang memenuhi PT

pada Pemilu terakhir dijadikan sebagai ET untuk Pemilu tahun berikutnya.

Dengan demikian, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD memberlakukan PT tahun

2009 sebagai ET tahun 2014 dengan melengkapi persyaratan sebagai diatur

Page 155: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

64

pada Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Pemerintah berpendapat

bahwa peserta pemilu DPR dan DPRD.

8. 8. Terkait dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,

sebagaimana dibenarkan oleh konstitusi Pasal 28J ayat (2) UUD 1945

menyangkut untuk tunduk kepada pembatasan, ditetapkan oleh undang-

undang untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan

kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil, sehingga

Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 membolehkan perlakuan khusus dimaksud. Hal

ini berarti, partai politik yang memiliki kursi di DPR tidak perlu diverifikasi lagi.

Ketentuan pasal a quo dapat menimpa semua partai politik jika yang

bersangkutan tidak lolos angka threshold pada Pemilu yang akan datang.

Sebab hasil sebuah pemilu dimana partai politik memperoleh sejumlah suara

yang kemudian dapat dikonversi menjadi kursi, merupakan indikasi atau

parameter utama apakah partai politik tersebut mendapatkan dukungan

rakyat secara signifikan atau tidak. Pemilu adalah momentum untuk melihat

dukungan tersebut. Oleh karena itu, ketentuan persyaratan tersebut bukan

merupakan bentuk diskriminatif.

9. Bahwa penyempurnaan sistem kepartaian mutlak dilakukan dalam rangka

penyelenggaraan Pemerintah yang efektif dan produktif, serta menciptakan

stabilitas politik. Apabila penyederhanaan partai dapat terwujud, maka akan

tercipta iklim pemerintahan yang kuat, tegas, bersih, berwibawa, bertanggung

jawab, dan transparan, sehingga bangsa Indonesia dapat memanfaatkan

seluruh potensinya untuk menjadi bangsa yang besar, damai, dan

bermartabat.

10. Kebijakan terkait pemberlakuan PT secara nasional diharapkan dapat

menciptakan sinergitas program yang dijalankan pemerintah pusat dan

daerah. Fakta yang terjadi sebelumnya sering kali program yang dicanangkan

pemerintah pusat tidak sejalan dengan kebijakan yang ada di daerah. Hal ini

disebabkan masing-masing keterwakilan partai politik di DPR dan DPRD

berbeda latar belakangnya dikarenakan dalam Pemilu Tahun 2009, partai

politik yang terwakili di DPR belum tentu mempunyai keterwakilan di DPRD,

Page 156: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

65

begitu juga sebaliknya. Hal ini sangat memengaruhi sinergitas program

pembangunan di pusat dan daerah, sehingga penyelenggaraan Pemerintah

kurang efektif.

11. Terkait dengan surat suara sah secara nasional yang harus diperoleh partai

politik untuk mendapatkan kursi di DPR, DPD, DPRD dalam pemilu yang

demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, justru

pencapaian partai atas syarat tersebut diperoleh melalui proses demokrasi

yang diserahkan kepada rakyat pemilih yang berdaulat. Hal demikian juga

sebagai tolok ukur, apakah partai politik yang menjadi peserta Pemilu 2014

mendapatkan dukungan dari rakyat.

12. Mengenai konstitusionalitas Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012

tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD pada frasa dalam

perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota,

Pemerintah berpendapat bahwa Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar

1945 mengamanatkan agar pemilu dilaksanakan dengan partisipasi rakyat

seluas-luasnya atas prinsip demokrasi, langsung, umum, bebas, rahasia,

jujur, dan adil. Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD kabupaten/kota dengan

ambang batas perolehan suara sah secara nasional memberikan kebebasan

partai politik untuk berkompetisi secara sehat dalam penyelenggaraan Pemilu

2014, untuk mendapatkan suara rakyat cara mudah untuk menentukan partai

politik mana yang terpilih secara nasional, untuk menghindari adanya

persoalan-persoalan sengketa Pemilu. Hal tersebut merupakan legal policy

yang didelegasikan oleh Pasal 22E ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945

sebagai kebijakan legislasi yang didelegasikan dalam pelaksanaan Pemilu

adalah sah dan konstitusional sebagai dasar kebijakan tersebut yang

diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945.

13. Sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011

menyatakan bahwa partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional,

yang dibentuk oleh sekelompok warga negara secara sukarela atas dasar

kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan cita-cita untuk

memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat,

bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila

Page 157: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

66

dan Undang-Undang Dasar 1945. Semangat memerlukan PT secara nasional

adalah untuk membentuk partai politik yang bersifat nasional, baik secara

kesekretariatan, maupun keterwakilan di DPR, dan DPRD kabupaten/kota.

Dengan demikian, partai politik dapat secara efektif memperjuangkan dan

membela kepentingan politik baik di tingkat pusat, maupun daerah.

14. Pemerintah berpendapat tentang berbagai pengaturan secara nasional bahwa

hal tersebut merupakan pendelegasian oleh Undang-Undang Dasar 1945

untuk diatur dengan atau dalam undang-undang secara diskrimatif, maka

legal policy threshold secara nasional yang demikian tidak bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar 1945.

15. Kebijakan ambang batas secara nasional yang tercantum dalam Pasal 208

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, terkait Pemilu yang oleh Pasal 22E

ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945 didelegasikan kepada pembentuk

Undang-Undang untuk mengaturnya dengan Undang-Undang juga, tidak

bertentangan dengan konstitusi karena ketentuan a quo tidak mengandung

unsur-unsur yang diskrimatif, mengingat bahwa kebijakan threshold secara

nasional tersebut berlaku untuk semua partai politik peserta Pemilu. Hal

tersebut berlaku secara objektif bagi seluruh parpol peserta Pemilu dengan

keseluruhan para calon anggota DPR, dari parpol peserta Pemilu tanpa

terkecuali, dan tidak ada faktor pembeda, ras, agama, jenis kelamin, serta

sosial, dan lain-lain, sebagaimana dimaksud Undang-Undang 39 Tahun 1999

tentang HAM dan International Covenant on Civil Political Rights.

16. Kebijakan PT secara nasional dalam Pasal 208 Undang-Undang 8 Tahun

2012 sama sekali tidak mengabaikan prinsip-prinsip HAM yang terkandung

dalam Pasal 28D ayat (1) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945 karena setiap

orang warga negara dan partai politik peserta pemilu diperlakukan sama dan

mendapat kesempatan yang sama, mulai kompetisi secara demokratis dalam

Pemilu 2014 yang merupakan kebutuhan dan kepentingan bangsa Indonesia

ke depan.

Page 158: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

67

IV. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Ketua Majelis

Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, megadili, dan

memutus Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dapat

memberikan keputusan sebagai berikut.

1. Menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing).

2. Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya

menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk

verklaard).

3. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan.

4. Menyatakan ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan (2), serta Pasal 208 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD tidak

bertentangan dengan ketentuan Pasal ayat (1), ayat (2), Pasal 22A, Pasal 22E

ayat (1) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1),

Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

[2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan

Perwakilan Rakyat menyampaikan keterangan secara lisan dalam persidangan

tanggal 31 Juli 2012, dan keterangan tertulis tanpa tanggal bulan Juli 2012 yang

diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 9 Agustus 2012 yang pada pokoknya

menyatakan sebagai berikut:

A. Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD yang dimohonkan pengujian terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam perkara ini para Pemohon mengajukan pengujian atas Pasal 8 ayat (1)

sepanjang frasa “yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah

suara sah secara nasional” dan Pasal 8 ayat (2) sepanjang frasa “Partai Politik

yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya

Page 159: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

68

atau” serta Pasal 208 sepanjang frasa “… DPRD Provinsi dan DPRD

Kabupaten/kota” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 yang dianggap

bertentangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

B. Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap para Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.

Para Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak

konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar atau setidak-tidaknya potensial

yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan terjadi kerugian oleh berlakunya

Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2012 pada pokoknya sebagai berikut:

a. Bahwa ketentuan Pasal 8 ayat (1) sepanjang frasa “yang memenuhi ambang

batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” dan Pasal 8 ayat

(2) sepanjang frasa “Partai Politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan

suara pada Pemilu sebelumnya atau” serta Pasal 208 UU pemilu Legislatif

setidak-tidaknya Pasal 208 sepanjang frasa “….DPRD Provinsi dan DPRD

Kabupaten/kota” jelas merugikan setidak-tidaknya merugikan Para Pemohon

karena mengatur ketentuan yang sangat tidak adil dan bersifat diskriminatif

kepada Para Pemohon sebagai Partai Politik peserta Pemilu terakhir (Pemilu

2009) yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sah secara nasional

dalam kepersertaan pemilu berikutnya (2014) yaitu melalui persyaratan-

persyaratan verifikasi faktual yang sangat berat oleh KPU, sebaliknya sangat

tidak adil dan bersifat diskriminatif hanya menetapkan parpol peserta pemilu

terakhir yang memenuhi ambang batas suara sah secara nasional otomatis

ditetapkan sebagai peserta Pemilu berikutnya tanpa melalui verifikasi faktual, hal

ini jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal

28 ayat (3), dan Pasal 28I ayat 2 UUD 1945;

b. Bahwa dengan diberlakukannya Pasal a quo, berakibat tidak lolosnya para

Pemohon dalam verifikasi faktual oleh KPU, oleh karenanya para Pemohon

akan terhalangi hak-hak konstitusionalnya dalam hal memajukan diri dalam

memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa

dan Negara sebagaimana dijamin oleh Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C

Page 160: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

69

ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;

c. Bahwa dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 208 UU Pemilu Legislatif

bertentangan dengan Pembukaan alinea ke-4 UUD 1945, Pasal 1 ayat (2), dan

Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, bahwa ketentuan a quo menghilangkan

kedaulatan rakyat dan keterwakilan politik rakyat, mengingat dengan kenaikan

angka ambang batas perlemen menjadi 3.5 % dan pemberlakuan flat nasional

jelas akan menghilangkan prinsip kedaulatan rakyat, oleh karena akan

menghilangkan suara rakyat sebagai pemilih dalam pemilu dan melahirkan para

anggota DPR, DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota yang tidak dipilih

berdasarkan pilihan rakyat, karena ada keterputusan antara pilihan rakyat

dengan yang mewakili rakyat maka keterwakilan politik rakyat yang menjadi

tujuan utama Pemilu tidak akan tercapai.

C. Keterangan DPR RI

Terhadap dalil para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Permohonan a quo,

DPR dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai

kedudukan hukum (legal standing) dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh para Pemohon sebagai Pihak telah diatur

dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat UU Mahkamah Konstitusi), yang

menyatakan bahwa “para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak

dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-

undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara.”

Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51

ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa “yang dimaksud

dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang

Page 161: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

70

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Ketentuan Penjelasan Pasal

51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur

dalam UUD Tahun 1945 saja yang termasuk “hak konstitusional”.

Oleh karena itu, menurut UU Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu

pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal

standing) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD Tahun

1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:

a. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi;

b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud

dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh

berlakunya Undang-Undang.

Mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah

memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang

timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang harus memenuhi 5 (lima)

syarat (vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor

011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan

oleh UUD Tahun 1945;

b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut

dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang

diuji;

c. bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang

dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat

potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan

berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka

kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan

atau tidak lagi terjadi.

Page 162: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

71

Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam perkara

pengujian UU a quo, maka Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan

hukum (legal standing) sebagai Pihak Pemohon.

Menanggapi permohonan para Pemohon a quo, DPR berpandangan bahwa

para Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar para

Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk

diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak

dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya

ketentuan yang dimohonkan untuk diuji.

Terhadap kedudukan hukum (legal standing) tersebut, DPR menyerahkan

sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulya

untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki

kedudukan hukum (legal standing) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh

Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan

berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005

dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007DPR menyerahkan sepenuhnya kepada

Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan

menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)

sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) UU tentang Mahkamah

Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor

006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007

2. Pengujian atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

Terhadap permohonan pengujian Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 208

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota

DPR, DPR dan DPRD, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut:

Terhadap permohonan pengujian materil Pasal 8 ayat (1) sepanjang frasa

“yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara

nasional” dan Pasal 8 ayat (2) sepanjang frasa “Partai Politik yang tidak

memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau” UU

Pemilu Legislatif, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut:

Page 163: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

72

a. Bahwa sebagai sebuah upaya menciptakan sistem presidensiil yang efektif

dan efisien dengan beberapa asas yang harus kita penuhi, maka diatur

beberapa ketentuan yang merupakan penyempurnaan ketentuan

sebelumnya yang diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2008. Untuk diketahui

bahwa asas-asas sistem presidensiil yang dikemukakan Lijphart adalah

sebagai berikut:

1. stabilitas eksekutif yang didasarkan pada masa jabatan presiden yang

tertentu (fixed term);

2. pemilihan kepala pemerintahan oleh rakyat dianggap lebih legitimate; dan

3. bahwa pemisahan kekuasaan berarti pemerintahan yang dibatasi

sehingga terjadi perlindungan individu atas tirani pemerintah.

b. Bahwa dengan beberapa asas tersebut, maka pembentuk Undang-Undang

berupaya untuk mendekatkan agar sistem presidensiil berlangsung di

Indonesia secara lebih baik. Hal itu tercermin dalam ketentuan Pasal 8 ayat

(2) bahwa partai politik yang hendak mengikuti pemilu harus memenuhi

sejumlah persyaratan. Disadari bahwa terdapat frasa “... yang tidak

memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau

partai politik baru” yang sebenarnya merupakan sebuah mekanisme reward

and punishment bagi setiap partai politik yang akan ikut Pemilu. Disadari

pula bahwa threshold bukan satu-satunya cara untuk menyederhanakan

partai politik, namun threshold juga harus diakui sebagai salah satu cara

yang paling banyak digunakan di berbagai negara untuk membatasi jumlah

partai politik yang dapat duduk di parlemen dan dalam UU Nomor 8 tahun

2012 merupakan salah satu persyaratan bagi partai politik untuk mengikuti

pemilu berikutnya yang tercermin dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU

Nomor 8 tahun 2012. Penentuan threshold merupakan sebuah electoral

system engineering guna menciptakan sebuah sistem Pemilu yang lebih

berkualitas. DPR, sebagai lembaga pembentuk undang-undang memiliki

kewenangan untuk membuat kebijakan itu (open legal policy) yang tidak

bertentangan dengan UUD 1945. Patut disadari oleh semua parpol bahwa

ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2012 bukan merupakan

ketentuan diskriminatif tapi justru merupakan persyaratan berat sebuah

Page 164: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

73

Parpol untuk bisa ikut serta pada Pemilu berikutnya dan ketentuan tersebut

berlaku bagi semua Parpol. Sebab sebuah parpol tidak mudah untuk dapat

lolos angka PT jika tidak mendapat dukungan rakyat dalam pemilu. Sebuah

parpol tidak cukup hanya dengan modal loloas syarat administratif untuk ikut

pemilu, tetapi syarat pengakuan dukungan rakyatlah yang terpenting. Hal itu

terlihat nyata dalam syarat lolos PT. c. Terkait dengan keberatan para Pemohon dengan diberlakukannya ketentuan

Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) tersebut dianggap merugikan dan bersifat

diskriminatif, dan akan menimbulkan suatu ketidakpastian hukum dan

perlakuan yang tidak sama dalam hukum bagi semua partai politik sehingga

para Pemohon akan terhalangi hak-hak konstitusionalnya dalam hal

memajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk

membangun masyarakat, dapat dijelaskan bahwa sebenarnya ketentuan

Pasal a quo berlaku untuk semua partai politik jika yang bersangkutan tidak

lolos angka threshold pada Pemilu yang akan datang. Sebab, hasil sebuah

pemilu di mana partai politik memperoleh sejumlah suara yang kemudian

dapat dikonversi menjadi kursi merupakan indikasi atau parameter utama

apakah partai politik tersebut mendapat dukungan rakyat secara signifikan

atau tidak. Pemilu adalah momentum untuk melihat dukungan tersebut. Oleh

karena itu ketentuan persyaratan tersebut bukan merupakan bentuk

diskriminatif. d. Ketentuan ini juga melihat bahwa tidak ada larangan bagi setiap warga

negara untuk membentuk partai politik dan selanjutnya untuk ikut Pemilu.

Sebab, hal itu sudah diatur dalam UU tentang Partai Politik dengan sejumlah

persyaratan dan UU Pemilu ini mengatur tentang partai politik yang dapat

ikut pemilu dengan sejumlah persyaratan.

e. Sebagai penjelasan juga harus disadari bahwa partai politik yang memenuhi

ambang batas pada Pemilu sebelumnya, harus juga menyerahkan sejumlah

dokumen sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 8 ayat (2) UU a quo

sebagai wujud keseriusan dan komitmen apakah partai politik tersebut

hendak ikut pemilu lagi atau tidak, meskipun dalam Pasal 8 ayat (1) UU

a quo disebutkan secara otomatis ditetapkan sebagai peserta Pemilu.

Page 165: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

74

Namun harus dirangkai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU a quo yang

menyatakan harus diserahkannya sejumlah dokumen sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 15 UU a quo dengan perbedaan hanya pada Pasal

15 huruf f UU a quo yang diganti dengan bukti perolehan suara pada pemilu

sebelumnya yang mencapai threshold dan jumlah perolehan kursi di DPR

dan DPRD yang dikeluarkan oleh KPU. f. Adapun perlunya verifikasi terhadap partai politik sebagaimana yang

disebutkan dalam Pasal 16 dimaksudkan sebagai wujud keseriusan dan

kecermatan agar tidak terulang lagi berbagai praktek tahun 2009 di mana

KPU seringkali menemukan kantor fiktif dan keanggotaan fiktif ketika

dilakukan verifikasi. Hal tersebut juga merupakan sebuah proses yang fair

guna melihat bagaimana eksistensi partai politik tersebut selama kurun

waktu pasca-penyelenggaraan Pemilu. Hal itu dalam upaya meningkatkan

kapasitas kelembagaan partai politik yang tidak hanya bekerja menjelang

Pemilu saja.

g. Untuk diketahui bahwa semua fraksi menyatakan secara tegas agar tidak

ada diskriminasi dalam proses kepesertaan Pemilu. Namun demikian

haruslah diberikan semacam reward bagi partai politik yang sudah mencapai

threshold pada pemilu sebelumnya dengan tetap disertai berbagai bukti

administratif melalui penyerahan sejumlah persyaratan kepada KPU

sebagaimana disebutkan di muka. Hal tersebut menjadi salah satu

penekanan dalam proses pembahasan RUU tentang Pemilu oleh Pansus

bahwa untuk mengikuti Pemilu harus memenuhi sejumlah persyaratan baik

bagi parpol yang ikut Pemilu sebelumnya maupun parpol yang benar-benar

baru demi mewujudkan sebuah Pemilu yang berkualitas, demokratis, dan

akuntabel. Proses selanjutnya adalah verifikasi guna kepastian kesiapan

parpol dalam mengikuti Pemilu dan disepakati bahwa tahapan tersebut

sudah harus selesai 15 bulan sebelum waktu pemungutan suara dengan

maksud memberikan waktu yang cukup baik parpol menyiapkan diri dan

memberikan waktu yang cukup bagi masyarakat untuk mengenal parpol

peserta pemilu legislatif. Dengan demikian maka akan terjadi kondisi saling

mengenal satu sama lain dan pada gilirannya terjadi “chemistry” antara

Page 166: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

75

parpol peserta pemilu dan masyarakat pemilih guna mewujudkan demokrasi

perwakilan yang lebih baik;

h. DPR RI berpandangan bahwa ketentuan persyaratan bagi calon peserta

pemilu termasuk proses verifikasi tersebut merupakan bentuk pengaturan

untuk menentukan kualifikasi calon peserta pemilu secara lebih baik dari

ketentuan sebelumnya. Artinya, ketentuan tersebut merupakan

penyempurnaan dari ketentuan dalam UU Nomor 10 tahun 2008, sehingga

diharapkan adanya kesiapan yang lebih baik dari calon peserta Pemilu

dalam mengikuti Pemilu berikutnya, termasuk parpol peserta pemilu

sebelumnya baik yang mencapai angka ambang batas tertentu maupun

yang tidak mencapai ambang batas.

Terhadap permohonan pengujian materil Pasal 208 sepanjang frasa “…DPRD

Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota” UU Pemilu Legislatif, DPR

menyampaikan keterangan sebagai berikut

a. Terkait dengan keberatan Para Pemohon yang menyatakan dengan

diberlakukan ketentuan Pasal a quo telah menganulir pilihan rakyat

khususnya di daerah, karena pemilih untuk diwakili dalam lembaga

perwakilan tidak selamanya sama dengan pilihan di tingkat Pusat, dapat

dijelaskan bahwa terhadap lahirnya ketentuan Pasal 208 yang berbunyi

“Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan

suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara

sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi

anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”, merupakan hasil

Rapat Paripurna DPR pada saat pengambilan keputusan tingkat II melalui

mekanisme pemungutan suara.

b. Sejatinya, pasal tersebut merupakan sebuah upaya dalam meningkatkan

kapasitas kelembagaan partai politik yang bersifat nasional. Hal tersebut

sama sekali tidak mengebiri kehadiran partai yang bersifat lokal. Tetapi

dalam pengaturan tentang kepesertaan pemilu dalam UU Nomor 8 Tahun

2012 ini, adalah sejumlah persyaratan yang mengarah kepada terciptanya

partai politik yang bersifat nasional seperti jumlah kepengurusan di tingkat

provinsi yang harus 100% (seratus persen) atau berada di seluruh provinsi,

Page 167: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

76

serta syarat kepengurusan 75% (tujuh puluh lima persen) kabupaten di

provinsi yang bersangkutan.

Pengertian partai lokal adalah seperti yang terdapat di Provinsi Aceh yang

diatur secara lex specialis dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh. Dalam Pasal 1 angka 14 UU Nomor 11 Tahun 2006

tentang Pemerintahan Aceh disebutkan definisi Partai Politik Lokal yaitu:

“Partai politik lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok

warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara suka rela atas

dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan

kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan

anggota DPRA/DPRK, Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan

walikota/wakil walikota”. Selanjutnya secara rinci diatur dalam Bab XI UU

Nomor 11 Tahun 2006 tersebut. Terhadap ketentuan threshold bagi partai

politik lokal di Aceh, diatur dalam Pasal 90 yang berbunyi:

“Untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya, partai politik lokal peserta pemilu

harus:

a. memperoleh sekurang-kurangnya 5% (lima persen) jumlah kursi DPRA;

atau

b. memperoleh sekurang-kurangnya 5% (lima persen) jumlah kursi DPRK

yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah) jumlah kabupaten/

kota di Aceh.

Dengan ketentuan Pasal 90 tersebut terlihat jelas bahwa secara khusus

diatur tentang threshold yang berlaku bagi parpol lokal di Aceh dan hal itu

menjadi dasar hukum khusus bagi parpol lokal di Aceh. Sementara di tempat

(provinsi) lain belum diatur, sehingga niatan awal undang-undang ini untuk

menciptakan parpol yang bersifat nasional tidak bermakna menganulir

pilihan rakyat di daerah karena ketentuan persyaratan parpol untuk ikut

Pemilu juga bersifat nasional.

c. Pemberlakuan threshold bersifat nasional ini merupakan ikhtiar DPR RI

bersama Pemerintah dalam menciptakan harmoni dan keterpaduan antara

parlemen tingkat pusat dan daerah. Berkaca kepada pengalaman tahun

2009 di mana banyak partai politik di DPRD yang tidak memiliki wakil di DPR

Page 168: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

77

yang seringkali tersumbatnya saluran aspirasi secara inten atas berbagai

persoalan di tingkat daerah. Belum lagi suburnya praktek “kurang terpuji”

pada saat pemilu kepala daerah yang akhirnya menimbulkan persoalan

baru. Ketentuan ini diharapkan dapat memperbaiki keadaan di daerah,

sehingga akan hadir keterpaduan dan kesinambungan penataan

pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah.

d. Dalam proses pembahasan, DPR secara sadar membahas bahwa

penerapan threshold ini memiliki berbagai konkesuensi apalagi fakta empirik

hasil Pemilu 2009 terdapat sejumlah partai politik yang tidak mencapai

threshold 2,5 % (dua koma lima persen) menjadi pemenang di beberapa

kabupaten. Namun demikian DPR juga berusaha agar berbagai persoalan

lain yang muncul di daerah harus dijembatani menjadi persoalan nasional

melalui sebuah sistem kepartaian yang bersifat nasional. Oleh karena itu

Pansus mendorong hadirnya partai politik yang bersifat nasional dalam

konteks berjalannya sistem pemerintahan presidensiil dalam kerangka

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

e. Pada saat pembahasan di tingkat Panitia Kerja (Panja), persoalan

penerapan threshold menjadi salah satu proses pembahasan yang

membutuhkan waktu cukup. Hal ini disebabkan karena niat awal penerapan

threshold adalah demi tercapai efisiensi dan efektivitas sistem

keparlemenan. Apalagi pada saat penerapan threshold berdasarkan UU

Nomor 10 Tahun 2008 yang lalu, upaya ini seolah menjadi sebuah “PR”

bahwa penerapan threshold yang berlaku pada Pemilu 2009 (hanya di

tingkat DPR RI) akan dilanjutkan dengan penerapan threshold hingga ke

tingkat daerah. Niat ini kemudian dilanjutkan oleh Pansus DPR dalam

membahas RUU tentang Pemilu yang menghasilkan UU Nomor 8 Tahun

2012 ini, bahwa penerapan threshold akan diberlakukan secara nasional

mulai DPR, DPR provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota). Pembahasan

tentang hal ini merupakan bentuk dari keseriusan dalam menciptakan sistem

pemilu yang lebih baik dan mendorong partai politik bekerja lebih baik demi

kepentingan rakyat banyak sehingga semakin memperoleh kepercayaan

rakyat dalam Pemilu. Harapan kita agar rakyat tidak bingung dengan terlalu

Page 169: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

78

banyaknya parpol sebagaimana yang dikeluhkan saat ini dan mendorong

setiap partai politik peserta Pemilu untuk mengkonsolidasikan setiap

kegiatan dan programnya dan menyampaikannya kepada rakyat dalam

kampanye. Kita tidak ingin angka “Golput” semakin meningkat pada Pemilu

2014 dan selanjutnya akibat semakin tidak dipercayainya partai politik oleh

rakyat. Padahal, kehadiran partai politik merupakan suatu keniscayaan

dalam sistem demokrasi yang dipilih oleh bangsa Indonesia, meskipun

sistem kepartaian yang kita anut adalah sistem kepartaian multi partai

moderat. Hal itu karena Indonesia merupakan bangsa yang heterogen yang

relatif memiliki pemilahan sosial cukup tinggi. Namun demikian

sesungguhnya tujuan akhirnya sama, yakni menciptakan sebuah negara dan

bangsa yang adil dan sejahtera bagi rakyatnya.

f. Proses selanjutnya diakui tidak mencapai titik temu dalam proses

pembahasan di Pembicaraan Tingkat I DPR, dan selanjutnya dibahas dalam

forum lobby pada saat Rapat Paripurna berlangsung dan kemudian lahir

suatu rumusan tentang penerapan threshold secara nasional. Pada saat

disampaikan dalam Rapat Paripurna, rumusan ini kemudian disempurnakan

dan menjadi materi voting guna menghasilkan keputusan yang akan dipilih

karena masih ada perbedaan pandangan terhadap penerapan threshold

secara nasional tersebut. Hasilnya adalah penerapan threshold secara

nasional sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 208.

g. Dengan hadirnya ketentuan Pasal 208 ini diharapkan semua parpol peserta

pemilu mempersiapkan lebih baik dan mampu menjadi partai politik yang

bersifat nasional sebagaimana persyaratan dalam Pasal 8.

h. Terkait dengan treshhold, perlu mengingatkan kembali bahwa merujuk pada

Keputusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 3/PUU-VII/2009

tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD terhadap Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah berpendapat:

a) Terhadap kebijkan ET, Mahkamah pernah memutus permohonan

pengujian ET yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 12

Tahun 2003 yang diajukan oleh 13 Parpol Peserta Pemilu 2004 yang

Page 170: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

79

tidak mengikuti ET (sebagaian parpol tersebut juga mengajukan

permohonan dalam Perkara Nomor 3/PUU-VII/2009) dengan

argumentasi yang serupa dan mengajukan ahli yang justru mengusulkan

ET diganti dengan PT. Putusan Mahkamah menyatakan permohonan

ditolak dengan pertimbangan antara lain, bahwa kebijakan ET tidak

diskriminatif karena berlaku untuk semua Parpol, merupakan kebijakan

pembentuk Undang-Undang (legal policy) yang diamanatkan oleh Pasal

22E ayat (6) UUD 1945 yang sifatnya sangat terbuka, yaitu: ”ketentuan

lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”

sehingga, menurut Mahkamah Konstitusi, baik kebijakan ET maupun PT

sama konstitusionalitasnya (vide Putusan Nomor 16/PUU-V/2007

bertanggal 23 Oktober 2007) [3.16 huruf b]; b) Menimbang bahwa dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lembaga

legislative dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy bagi

eksistensi Partai Politik baik berbentuk ET maupun PT. kebijakan seperti

ini diperbolehkan oleh konstitusi sebagai politik penyederhanaan

kepartaian karena pada hakikatnya adanya Undang-Undang tentang

Sistem Kepartaian atau Undang-Undang Politik yang terkait memang

dimaksudkan untuk membuat pembatasan-pembatasan sebatas yang

dibenarkan koleh konstitusi. Mengenai berapa besarnya angka ambang

batas adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk

menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh Mahkamah selama tidak

bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat dan rasionalitas.

Dengan demikian pula, menurut Mahkamah, ketentuan mengenai

adanya PT seperti yang diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU Nomor 10

Tahun 2008 tidak melanggar konstitusi karena ketentuan undang-

undang a quo telah memberi peluang bagi setiap warga negara untuk

membentuk partai politik tetapi sekaligus diseleksi dan dibatasi secara

rasional melalui ketentuan PT untuk dapat memiliki wakil di DPR. Di

manapun di dunia ini konstitusi selalu memberikan kewenangan kepada

pembentuk undang-undang untuk menentukan batasan-batasan dalam

undang-undang bagi pelaksanaan hak-hak politik rakyat [3.19];

Page 171: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

80

Bahwa selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis sebagaimana

diuraikan di atas, terkait dengan pengujian materi ketentuan Pasal 208 dan

Penjelasan Pasal 208 UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota

DPR, DPD dan DPRD dipandang perlu melihat latar belakang perumusan Undang-

Undang a quo dalam risalah rapat pembahasan Rancangan Undang-Undang a quo

yang kami sampaikan sebagai Lampiran yang tidak terpisahkan dari keterangan ini.

Keterangan DPR ini disampaikan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi Mahkamah

Konstitusi untuk memeriksa, memutus, dan mengadili Perkara a quo dan dapat

memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menerima Keterangan DPR secara keseluruhan;

2. Menyatakan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 208 Undang-Undang Nomor

8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD tidak

bertentangan dengan UUD Tahun 1945;

3. Menyatakan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 208 Undang-Undang Nomor

8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD tetap

mempunyai kekuatan hukum mengikat.

[2.5] Menimbang bahwa para Pemohon telah menyampaikan kesimpulan tertulis

bertanggal 8 Agustus 2012 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal

10 Agustus 2012 yang pada pokoknya tetap pada pendirian semula;

[2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala

sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan,

yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah untuk

menguji konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan

Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor

117 Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 5316, selanjutnya disebut

UU 8/2012), yaitu:

Page 172: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

81

(i) Pasal 8 ayat (1) sepanjang frasa,

“yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara

nasional”;

(ii) Pasal 8 ayat (2) sepanjang frasa,

“Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu

sebelumnya atau”;

(iii) Pasal 208 yang menyatakan,

“Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara

sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara

nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD

provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” atau setidak-tidaknya sepanjang frasa,

“DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota”;

terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya

disebut UUD 1945);

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,

Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan

mempertimbangkan:

a. Kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo;

b. Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan permohonan

a quo;

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat

(1) huruf a UU MK sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), serta Pasal 29 ayat

(1) huruf a UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU Nomor 48/2009), salah satu

kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan

Page 173: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

82

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap

Undang-Undang Dasar;

[3.4] Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah untuk menguji

konstitusionalitas norma frasa yang terdapat dalam Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat (2),

serta Pasal 208 secara keseluruhan atau setidaknya pada frasa tertentu terhadap

UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga oleh

karenanya Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;

Kedudukan Hukum (Legal Standing) para Pemohon

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta

Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang

terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu

Undang-Undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai

kepentingan sama);

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

diatur dalam Undang-Undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945

harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:

a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat

(1) UU MK;

b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945

yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

[3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan

Page 174: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

83

selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional

sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh

UUD 1945;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap

dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau

setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan

akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan

berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian

konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf

[3.5] dan [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai

kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dalam permohonan a quo sebagai

berikut:

[3.8] Menimbang bahwa pada pokoknya para Pemohon, yaitu Partai Kebangkitan

Nasional Ulama (PKNU), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan Persatuan

Indonesia (PKPI), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Persatuan Nasional

(PPN), Partai Merdeka, Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBK

Indonesia), Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), Partai Sarikat Indonesia (PSI),

Partai Kedaulatan, Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Kesatuan Demokrasi

Indonesia (PKDI), Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI), Partai Damai

Sejahtera (PDS), Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Republika Nusantara,

Partai Pemuda Indonesia (PPI), mendalilkan sebagai badan hukum publik (partai

politik) yang disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (vide Bukti P-3a sampai dengan Bukti P-3L) yang memiliki hak-hak konstitusional yang diatur dalam

UUD 1945. Hak konstitusional tersebut telah dirugikan akibat berlakunya ketentuan

Page 175: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

84

pasal, ayat, dan bagian pasal atau ayat dari Undang-Undang a quo, yang dimohonkan

oleh para Pemohon untuk diuji.

Setelah mencermati bukti yang diajukan para Pemohon mengenai kedudukan hukum

masing-masing Pemohon, Mahkamah menemukan fakta bahwa para Pemohon adalah

badan hukum yang bertujuan memperjuangkan kepentingan publik serta sebagai partai

politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2009, gabungan partai politik peserta Pemilihan

Umum Tahun 2009, dan/atau perubahan dari partai politik peserta Pemilihan Umum

Tahun 2009;

[3.9] Menimbang bahwa dengan memperhatikan potensi akibat yang dialami

oleh para Pemohon terkait keberadaan pasal, ayat, bagian pasal, maupun bagian

ayat UU a quo yang dimintakan pengujian, terutama potensi dihalanginya hak para

Pemohon untuk menjadi peserta Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Tahun

2014, menurut Mahkamah para Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal

standing) untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang a quo;

[3.10] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili

permohonan a quo, dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing),

selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan;

Pokok Permohonan

Pendapat Mahkamah

[3.11] Menimbang bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah pengujian

konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor

117 Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 5316), yaitu:

(i) Pasal 8 ayat (1) sepanjang frasa,

“yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara

nasional”;

Page 176: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

85

(ii) Pasal 8 ayat (2) sepanjang frasa,

“Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu

sebelumnya atau”;

(iii) Pasal 208 yang menyatakan,

“Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara

sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara

nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD

provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”

atau setidak-tidaknya sepanjang frasa,

“DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota”;

terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya

disebut UUD 1945), yaitu:

Pasal 22E ayat (1) yang menyatakan,

“Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan

adil setiap lima tahun sekali”;

Pasal 22E ayat (3) yang menyatakan,

“Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan

anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik“;

Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan,

“Segala warga negara kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib

menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya“;

Pasal 28 yang menyatakan,

“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan

tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang“;

Pasal 28C ayat (2) yang menyatakan,

“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya

secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya“;

Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan,

Page 177: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

86

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum

yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum“;

Pasal 28D ayat (3) yang menyatakan,

“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam

pemerintahan“;

Pasal 28I ayat (2) yang menyatakan,

“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa

pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat

diskriminatif itu”;

[3.12] Menimbang bahwa pemilihan umum (Pemilu), dalam negara demokrasi

Indonesia, merupakan sarana yang dipergunakan rakyat (pemilih) untuk memilih

orang-orang yang akan menduduki jabatan politik tertentu, khusus untuk Indonesia

adalah Presiden dan Wakil Presiden serta wakil-wakil rakyat yang akan duduk di kursi

DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. UUD 1945 menegaskan

bahwa sistem pemilu yang dilaksanakan di negara Indonesia adalah sistem pemilu

yang bersifat kepartaian. Artinya partai politik memiliki posisi yang dominan dalam

proses rekrutmen untuk pengisian jabatan-jabatan politik;

[3.13] Menimbang bahwa sejak masa perjuangan merebut kemerdekaan, masa

proklamasi dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, hingga saat ini, sejarah

perjuangan bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari keberadaan organisasi

dan/atau partai politik. Terlepas dari pilihan ideologis dan sikap moral partai politik

maupun individu yang terlibat di dalamnya, keberadaan partai politik pada setiap era

kehidupan bangsa-negara Indonesia menunjukkan posisi strategis dan peran penting

partai politik bagi kemajuan bangsa dan negara. Menurut Mahkamah, keberadaan

partai politik tertentu yang tidak sejalan dengan cita-cita bangsa dan negara dalam

lintasan panjang sejarah bangsa Indonesia, tidak lantas berarti partai politik sebagai

entitas organisasi politik menjadi tidak penting dan tidak perlu;

[3.14] Menimbang bahwa Mahkamah sependapat dengan pendapat para ahli

mengenai fungsi partai politik sebagai sebuah organisasi yang memperjuangkan

Page 178: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

87

suatu ideologi di negara demokrasi. Partai politik setidaknya memiliki empat fungsi,

yaitu i) partai sebagai sarana komunikasi politik; ii) partai sebagai sarana sosialisasi

politik; iii) partai sebagai sarana rekrutmen politik; dan iv) partai sebagai sarana

pengatur konflik.

Keempat fungsi tersebut, jika dimanfaatkan secara ideal, akan dapat bersinergi

sebagai satu alur dengan pemilihan umum dalam mengisi jabatan-jabatan politik;

yang tentunya akan menghasilkan pilihan-pilihan serta kebijakan politik yang sesuai

dengan aspirasi/kehendak rakyat. Untuk menjalankan keempat fungsi partai politik

secara maksimal/ideal, menurut Mahkamah, diperlukan suatu kondisi yang

memberikan ruang bagi kebebasan untuk mendirikan ataupun membubarkan partai

politik;

[3.15] Menimbang bahwa kebebasan dalam sebuah negara hukum tentunya

harus dibingkai dalam suatu peraturan perundang-undangan demi menjamin, antara

lain, kesamaan kedudukan di dalam hukum [vide Pasal 27 ayat (1) UUD 1945] serta

kemerdekaan berserikat dan berkumpul [vide Pasal 28 UUD 1945]. Namun demikian,

menurut Mahkamah, sebagaimana juga ditegaskan oleh UUD 1945, kebebasan, baik

sebagai konsep maupun tindakan, bukanlah tanpa batas. Kebebasan bersifat

paradoksal, manakala dilepaskan tanpa batas justru akan merusak/menghancurkan

kebebasan itu sendiri. Kebebasan sebagian rakyat atau kelompok senantiasa memiliki

kemungkinan untuk dibatasi semata-mata demi menghormati dan menjaga

kebebasan sebagian rakyat atau kelompok lainnya [vide Pasal 28J ayat (2) UUD

1945].

[3.16] Menimbang bahwa menurut Mahkamah semua partai politik yang didirikan

di Indonesia dimaksudkan untuk mengikuti pemilihan umum dan menempatkan wakil-

wakilnya di DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Fakta terbatasnya

jumlah kursi di lembaga perwakilan akan membatasi pula partai politik yang dapat

menempatkan wakil-wakilnya. Keadaan tersebut pada akhirnya menjadikan

keragaman aspirasi, yang berbanding lurus dengan jumlah partai politik, tidak dapat

terwakili seluruhnya, karena faktanya hanya ada beberapa partai politik saja yang

dapat menempatkan wakilnya di lembaga perwakilan tersebut. Dengan demikian, hal

Page 179: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

88

yang harus diperhatikan adalah kecilnya dukungan pemilih kepada partai politik

tertentu berkemungkinan menghalangi keterwakilan pemilih yang bersangkutan di

DPR maupun di DPRD. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah,

politik hukum berkenaan dengan pembatasan partai politik adalah suatu kewajaran

karena banyaknya jumlah partai politik yang tidak secara efektif mendapat dukungan

dari masyarakat, sehingga partai politik tersebut tidak dapat menempatkan wakilnya di

lembaga perwakilan adalah wajar bila partai politik yang bersangkutan harus

menggabungkan diri dengan partai lain yang sepandangan/sejalan dengannya;

[3.17] Menimbang bahwa dalam membatasi jumlah partai politik, terutama yang

akan mengikuti pemilihan umum, pembentuk undang-undang tidak melakukan

pembatasan dengan menetapkan jumlah partai politik sebagai peserta Pemilu,

melainkan, antara lain dengan menentukan syarat-syarat administratif sebagaimana

diatur dalam Pasal 8 UU 8/2012. Tidak dibatasinya jumlah partai politik sebagai

peserta Pemilu yang akan mengikuti pemilihan umum merupakan perwujudan dari

maksud pembentuk undang-undang dalam mengakomodasi kebebasan warga negara

untuk berserikat dan berkumpul, sekaligus menunjukkan bahwa semua warga negara

memiliki hak yang sama untuk mendirikan atau bergabung dengan partai politik

tertentu, tentunya setelah memenuhi syarat-syarat sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Atas dasar pengertian yang demikian, menurut

Mahkamah, tindakan pembentuk undang-undang yang membatasi jumlah partai

politik peserta pemilihan umum dengan tanpa menyebut jumlah partai peserta Pemilu

adalah pilihan kebijakan yang tepat dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena

pembatasan tersebut tidak ditentukan oleh pembentuk undang-undang melainkan

ditentukan sendiri oleh rakyat yang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya

secara alamiah.

Pengujian Konstitusionalitas Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012

[3.18] Menimbang bahwa dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia,

Mahkamah menginventarisasi adanya dua tahapan bagi partai politik untuk dapat

mengikuti pemilihan umum, yaitu tahapan pendirian partai politik dan tahapan

keikutsertaan partai politik dalam pemilihan umum. Tahap pendirian atau

Page 180: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

89

pembentukan partai politik diatur dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008

tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang

Partai Politik. Tahap pendaftaran sebagai peserta pemilihan umum diatur dengan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah. Dari kedua Undang-Undang yang mengatur tahapan tersebut, menurut

Mahkamah, ada kehendak pembentuk Undang-Undang untuk melakukan

penyederhanaan partai politik. Selain itu, penyederhanaan partai politik dilakukan

dengan menentukan pemenuhan ambang batas perolehan suara (parliamentary

threshold atau PT) pada pemilihan umum sebelumnya sebagai syarat yang harus

dipenuhi oleh partai politik lama untuk mengikuti pemilihan umum [vide Pasal 8 ayat

(1) UU 8/2012] dan menentukan bahwa partai politik lama yang tidak memenuhi

ambang batas perolehan suara tersebut serta partai politik baru harus memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat menjadi peserta pemilihan umum [vide Pasal 8

ayat (2) UU 8/2012].

Ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012, menurut Mahkamah, tidak memenuhi asas

keadilan bagi partai politik lama karena pada saat verifikasi untuk menjadi peserta

Pemilihan Umum Tahun 2009, semua persyaratan administrasi sudah dipenuhi oleh

semua partai politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2009, sehingga tidak tepat jika

partai politik yang pada Pemilihan Umum Tahun 2009 telah dinyatakan memenuhi

persyaratan, namun pada pemilihan umum berikutnya diwajibkan memenuhi syarat

ambang batas perolehan suara, atau jika partai politik bersangkutan tidak memenuhi

ambang batas, diwajibkan memenuhi persyaratan yang berbeda dengan partai politik

peserta Pemilihan Umum Tahun 2009. Ketentuan yang demikian, menurut

Mahkamah, tidak memenuhi prinsip keadilan karena memberlakukan syarat-syarat

berbeda bagi pihak-pihak yang mengikuti suatu kontestasi yang sama;

[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut

Mahkamah, dipenuhinya ambang batas perolehan suara pada Pemilihan Umum

Tahun 2009 tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya ketentuan mengenai syarat

atau kriteria dalam keikutsertaan partai politik lama sebagai peserta Pemilihan Umum

Page 181: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

90

Tahun 2014. Karena ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam UU 10/2008

berbeda dengan ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam UU 8/2012 yang

menjadi dasar penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2014. Dengan demikian,

meskipun para Pemohon hanya meminta dihapuskannya frasa “yang memenuhi

ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” yang terdapat

dalam Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012, namun menurut Mahkamah ketidakadilan tersebut

justru terdapat dalam keseluruhan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012. Ketidakadilan juga

terdapat pada Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012. Hal yang terakhir ini

didasarkan pada pertimbangan bahwa tidak ada penjelasan dari suatu pasal yang

dapat berdiri sendiri, sehingga Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012 harus

mengikuti putusan mengenai pasal yang dijelaskannya;

Pengujian Konstitusionalitas Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012

[3.20] Menimbang, Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012 menentukan bahwa partai politik

yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada pemilihan umum

sebelumnya dan partai politik baru untuk menjadi peserta pemilihan umum harus

memenuhi persyaratan tertentu. Setelah mempersandingkan Pasal 8 Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2008 dengan Pasal 8 UU 8/2012 mengenai persyaratan partai politik

menjadi peserta pemilihan umum, Mahkamah menemukan fakta hukum mengenai

perbedaan syarat sebagai berikut:

Pasal 8 UU 10/2008

“(1) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai

Politik; b. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi; c. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di

provinsi yang bersangkutan; d. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus)

keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; e. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000

(satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;

f. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan sebagaimana pada huruf b dan huruf c; dan

g. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.

Page 182: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

91

(2) Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya dapat menjadi Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya.”

Pasal 8 UU 8/2012

“(1) Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya.

(2) Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai

Politik; b. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; c. memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah

kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; d. memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di

kabupaten/kota yang bersangkutan; e. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan

perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; f. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000

(satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;

g. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;

h. mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan

i. menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU.”

Dari persandingan tersebut, yang sangat menonjol adalah terdapatnya fakta hukum

bahwa syarat yang harus dipenuhi oleh partai politik untuk mengikuti pemilihan umum

legislatif tahun 2009 ternyata berbeda dengan persyaratan untuk pemilihan umum

legislatif tahun 2014. Syarat untuk menjadi peserta pemilihan umum bagi partai politik

tahun 2014 justru lebih berat bila dibandingkan dengan persyaratan yang harus

dipenuhi oleh partai politik baru dalam pemilihan umum legislatif tahun 2009. Dengan

demikian adalah tidak adil apabila partai politik yang telah lolos menjadi peserta

pemilihan umum pada tahun 2009 tidak perlu diverifikasi lagi untuk dapat mengikuti

pemilihan umum pada tahun 2014 sebagaimana partai politik baru, sementara partai

politik yang tidak memenuhi PT harus mengikuti verifikasi dengan syarat yang lebih

berat. PT sejak awal tidak dimaksudkan sebagai salah satu syarat untuk menjadi

Page 183: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

92

peserta Pemilu berikutnya [vide Pasal 1 angka 27, Pasal 8 ayat (2), dan Pasal 202

ayat (1) UU 10/2008], tetapi adalah ambang batas bagi sebuah partai poltik peserta

Pemilu untuk mendudukkan anggotanya di DPR;

[3.21] Menimbang bahwa Mahkamah dapat memahami maksud pembentuk

Undang-Undang untuk melakukan penyederhanaan jumlah partai politik, namun

penyederhanaan tidak dapat dilakukan dengan memberlakukan syarat-syarat yang

berlainan kepada masing-masing partai politik. Penyederhanaan partai politik dapat

dilakukan dengan menentukan syarat-syarat administratif tertentu untuk mengikuti

pemilihan umum, namun syarat-syarat tersebut harus diberlakukan sama untuk

semua partai politik yang akan menjadi peserta pemilihan umum tanpa pengecualian.

Memberlakukan syarat yang berbeda kepada peserta suatu kontestasi (pemilihan

umum) yang sama merupakan perlakuan yang tidak sama atau perlakuan secara

berbeda (unequal treatment) yang bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) serta Pasal

28D ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian menurut Mahkamah, terhadap

semua partai politik harus diberlakukan persyaratan yang sama untuk satu kontestasi

politik atau pemilihan umum yang sama, yaitu Pemilihan Umum Tahun 2014;

[3.22] Menimbang bahwa para Pemohon, terkait Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012,

hanya memohon dihilangkannya frasa “Partai politik yang tidak memenuhi ambang

batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau” namun demi keadilan dan

persamaan kedudukan di hadapan hukum, menurut Mahkamah permohonan para

Pemohon dapat dikabulkan dengan mengakomodasi pula kepentingan atau

keberadaan partai politik baru yang akan mengikuti pemilihan umum legislatif tahun

2014;

Bahwa menghilangkan perlakuan yang berbeda dalam pemilihan umum memiliki arti,

partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada pemilihan

umum sebelumnya tidak boleh diperlakukan secara berbeda dengan partai politik

yang dapat memenuhi persyaratan ambang batas perolehan suara pada pemilihan

umum sebelumnya. Berdasarkan asas persamaan kedudukan di dalam hukum dan

pemerintahan, partai politik baru juga tidak boleh diperlakukan secara berbeda

dengan partai politik lama (yang pernah mengikuti Pemilihan Umum Tahun 2009),

Page 184: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

93

atau jika suatu partai politik dikenai syarat tertentu, maka partai politik yang lain juga

harus dikenai syarat yang sama.

Untuk mencapai persamaan hak masing-masing partai politik ada dua solusi yang

dapat ditempuh yaitu, pertama, menyamakan persyaratan kepesertaan Pemilu antara

partai politik peserta Pemilu tahun 2009 dan partai politik peserta Pemilu tahun 2014,

atau kedua, mewajibkan seluruh partai politik yang akan mengikuti Pemilu tahun 2014

dengan persyaratan baru yang ditentukan dalam Undang-Undang a quo. Dalam hal

ini, demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah menentukan bahwa untuk mencapai

perlakuan yang sama dan adil itu seluruh partai politik peserta Pemilu tahun 2014

harus mengikuti verifikasi. Dengan semangat yang sejalan dengan maksud

pembentuk undang-undang, demi penyederhanaan partai politik, menurut Mahkamah,

syarat menjadi peserta pemilihan umum yang diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UU

8/2012 harus diberlakukan kepada semua partai politik yang akan mengikuti

Pemilihan Umum Tahun 2014 tanpa kecuali;

[3.23] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, meskipun para

Pemohon dalam petitumnya hanya memohon penghapusan frasa “Partai politik yang

tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau”

dalam Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012, namun menurut Mahkamah, demi memenuhi

rasionalitas persamaan dan keadilan, justru yang seharusnya dihapuskan adalah

frasa “yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya

atau partai politik baru” dalam Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012. Oleh karena itu, menurut

Mahkamah, Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012 selengkapnya menjadi:

(2) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan:

a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik;

b. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;

c. memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota

di provinsi yang bersangkutan;

d. memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di

kabupaten/kota yang bersangkutan;

e. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan

perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;

Page 185: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

94

f. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu

perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik

sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan

kartu tanda anggota;

g. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi,

dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;

h. mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan

i. menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik

kepada KPU;

Pengujian Konstitusionalitas Pasal 208 UU 8/2012

[3.24] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan para

Pemohon terkait Pasal 208 UU 8/2012, Mahkamah memandang perlu menegaskan

hal yang menjadi pokok pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Perkara Nomor 22-

24/PUU-VI/2008 bertanggal 23 Desember 2008, sebagai berikut:

“Di dalam kehidupan setiap negara yang menyatakan dirinya sebagai negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum, akan selalu terjadi tarik menarik antara dua kepentingan yang sama-sama fundamental, yaitu kepentingan untuk membentuk hukum (undang-undang) guna menjamin dan memastikan bekerjanya tertib hukum dalam masyarakat, sekaligus untuk melindungi kepentingan masyarakat (umum) dan kepentingan untuk menjaga hak atau kebebasan individu (individual liberty) sebagai unsur inheren;

Konsekuensi negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum, sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, tidak hanya berarti bahwa proses pembentukan hukum dan materi muatannya (in casu undang-undang) harus mengindahkan prinsip-prinsip demokrasi, tetapi juga berarti bahwa praktik demokrasi harus tunduk pada prinsip negara hukum (rechtsstaat, rule of law) yang menempatkan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi (supreme law). Oleh karena itulah, undang-undang, baik proses pembentukannya maupun materi muatannya, dapat diuji terhadap undang-undang dasar sebagai hukum tertinggi;

Kewenangan Mahkamah, untuk mengadili dan memutus permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, mengandung amanat konstitusi kepada Mahkamah untuk mengawal konstitusi. The guardian of the constitution dalam hubungan ini, yang dimaksud adalah Mahkamah harus memastikan tidak ada undang-undang yang melanggar hak konstitusional warga negara semata-mata karena alasan menciptakan tertib hukum. Namun, di lain pihak, Mahkamah juga harus memastikan tidak terjadi keadaan yang dengan alasan melindungi hak konstitusional warga negara mengesampingkan kepentingan masyarakat;

Page 186: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

95

Bahwa oleh karena itu, semua pihak, terlebih lagi Mahkamah, haruslah berpendirian bahwa setiap undang-undang adalah konstitusional (principle of constitutionality) sampai terbukti melalui proses peradilan di hadapan Mahkamah bahwa undang-undang yang bersangkutan inkonstitusional”;

Terkait perkara a quo yang pada pokoknya mempersoalkan mengenai ambang batas

perolehan suara bagi partai politik peserta pemilihan umum, Mahkamah perlu merujuk

pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Perkara Nomor 3/PUU-VII/2009

bertanggal 13 Februari 2009, yang menyatakan sebagai berikut:

“a. Bahwa semenjak Pemilu Tahun 1999 dan dilanjutkan dengan Pemilu Tahun 2004, pembentuk Undang-Undang melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU 3/1999) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU 12/2003) telah menerapkan kebijakan ambang batas persentase perolehan kursi atau suara bagi Parpol Peserta Pemilu agar dapat mengikuti Pemilu berikutnya yang di Indonesia lazim dikenal dengan istilah “Electoral Threshold” (disingkat ET). Melalui kebijakan ET tersebut diharapkan akan mampu menciptakan sistem kepartaian sederhana sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Hasil dari kebijakan tersebut, pada Pemilu 1999 hanya enam Parpol yang memenuhi ET dan pada Pemilu 2004 hanya tujuh Parpol yang memenuhi ET, sedangkan bagi Parpol-Parpol yang tidak memenuhi ET untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya harus bergabung dengan Parpol lainnya yang memenuhi ET atau tidak memenuhi ET agar memenuhi ET sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU 12/2003. Meskipun jumlah Parpol tetap banyak akibat berdirinya Parpol-parpol baru atau Parpol lama yang bermetamorfosis menjadi Parpol baru, namun akibat kebijakan ET dalam UU 3/1999 jumlah Parpol Peserta Pemilu 2004 menurun 50% dari 48 Parpol pada Pemilu 1999 menjadi 24 Parpol pada Pemilu 2004, sedangkan jumlah Parpol yang mendapatkan kursi di DPR pada Pemilu 1999 adalah 16 Parpol dan pada Pemilu 2004 berjumlah 21 Parpol;

b. Terhadap kebijakan ET tersebut, Mahkamah pernah memutus permohonan pengujian kebijakan ET yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) UU 12/2003 yang diajukan oleh 13 Parpol Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ET (sebagian Parpol tersebut juga mengajukan permohonan dalam Perkara Nomor 3/PUU-VII/2009) dengan argumentasi yang serupa dan mengajukan ahli yang justru mengusulkan agar ET diganti PT. Putusan Mahkamah menyatakan, permohonan ditolak dengan pertimbangan, antara lain, bahwa kebijakan ET tidak diskriminatif karena berlaku untuk semua Parpol, merupakan kebijakan pembentuk Undang-Undang (legal policy) yang diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 yang sifatnya sangat terbuka, yaitu “Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”, sehingga menurut MK, baik kebijakan ET maupun PT sama konstitusionalitasnya (vide Putusan Nomor 16/PUU-V/2007 bertanggal 23 Oktober 2007);

Page 187: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

96

c. Bahwa kebijakan ET yang dianut dalam UU 3/1999 dan UU 12/2003 kemudian oleh UU 10/2008 diganti dengan kebijakan baru yang terkenal dengan istilah “Parliamentary Threshold” (disingkat PT) yang tercantum dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 yang berbunyi, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.” Melalui kebijakan PT ini, tampaknya pembentuk Undang-Undang (DPR dan Pemerintah) bermaksud menciptakan sistem kepartaian sederhana melalui pengurangan jumlah Parpol yang dapat menempatkan wakilnya di DPR, berubah dari cara sebelumnya dengan kebijakan ET yang bermaksud mengurangi jumlah peserta Pemilu; …

… Ketentuan Pasal 22E UUD 1945 tersebut menunjukkan bahwa yang menjadi rambu-rambu Konstitusi mengenai Pemilu adalah: a) Pemilu dilakukan secara periodik setiap lima tahun sekali; b) dianutnya asas Pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil; c) tujuan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden; d) peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik, sedangkan peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan; dan e) penyelenggara Pemilu adalah suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Dengan demikian, ketentuan selebihnya yang berkaitan dengan Pemilu, misalnya tentang sistem Pemilu, Daerah Pemilihan, syarat-syarat untuk ikut Pemilu, hak pilih, dan sebagainya, oleh UUD 1945 didelegasikan kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya dalam Undang-Undang secara bebas sebagai kebijakan hukum (legal policy) pembentuk Undang-Undang, sudah barang tentu sepanjang tidak menegasikan prinsip-prinsip yang terkandung dalam UUD 1945, seperti prinsip kedaulatan rakyat, prinsip persamaan, prinsip keadilan, dan prinsip non diskriminasi; …”

Dalam Putusan Nomor 3/PUU-VII/2009 tersebut, Pemohon mendalilkan pula

sebagaimana tersebut dalam paragraf [3.17] poin c:

“... Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 melanggar prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, karena menurut para Pemohon ada perlakuan yang berbeda bagi calon anggota DPR yang dikenai kebijakan PT bagi Parpol untuk menempatkan wakilnya di DPR, sedangkan ketentuan tersebut tidak diberlakukan bagi penentuan kursi anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa kebijakan tersebut sudah tepat, karena kedudukan DPRD dalam sistem ketatanegaraan memang berbeda dengan DPR yang bersifat nasional dan memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang [Pasal 20 ayat (1) UUD 1945], serta menjadi penyeimbang kekuasaan Presiden dalam sistem checks and balances, lagipula kekuasaan DPRD sebagai bagian dari pemerintahan daerah masih dapat dikontrol oleh Pemerintah (pusat). Dalam hal ini, Mahkamah juga sependapat dengan argumentasi DPR, Pemerintah, dan ahli dari Pemerintah, bahwa ketentuan PT yang hanya berlaku bagi penentuan kursi DPR dan tidak berlaku bagi penentuan kursi DPRD, bukanlah kebijakan yang diskriminatif, melainkan justru kebijakan yang proporsional;

Page 188: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

97

... Menurut Mahkamah, kebijakan PT dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 sama sekali tidak mengabaikan prinsip-prinsip HAM yang terkandung dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, karena setiap orang, setiap warga negara, dan setiap Parpol Peserta Pemilu diperlakukan sama dan mendapat kesempatan yang sama melalui kompetisi secara demokratis dalam Pemilu. Kemungkinannya memang ada yang beruntung dan ada yang tidak beruntung dalam suatu kompetisi yang bernama Pemilu, namun peluang dan kesempatannya tetap sama;

... Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 sama sekali tidak mengandung sifat dan unsur-unsur yang diskriminatif, karena selain berlaku secara objektif bagi semua Parpol Peserta Pemilu dan keseluruhan para calon anggota DPR dari Parpol Peserta Pemilu, tanpa kecuali, juga tidak ada faktor-faktor pembedaan ras, agama, jenis kelamin, status sosial, dan lain-lain sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR);

[3.19] Menimbang bahwa dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy bagi eksistensi Partai Politik baik berbentuk ET maupun PT. Kebijakan seperti ini diperbolehkan oleh konstitusi sebagai politik penyederhanaan kepartaian karena pada hakikatnya adanya Undang-Undang tentang Sistem Kepartaian atau Undang-Undang Politik yang terkait memang dimaksudkan untuk membuat pembatasan-pembatasan sebatas yang dibenarkan oleh konstitusi. Mengenai berapa besarnya angka ambang batas adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh Mahkamah selama tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas. Dengan demikian pula, menurut Mahkamah, ketentuan mengenai adanya PT seperti yang diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 tidak melanggar konstitusi karena ketentuan Undang-Undang a quo telah memberi peluang bagi setiap warga negara untuk membentuk partai politik tetapi sekaligus diseleksi dan dibatasi secara rasional melalui ketentuan PT untuk dapat memiliki wakil di DPR. Di mana pun di dunia ini konstitusi selalu memberi kewenangan kepada pembentuk Undang-Undang untuk menentukan batasan-batasan dalam Undang-Undang bagi pelaksanaan hak-hak politik rakyat;

[3.20] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berpendapat kebijakan PT yang tercantum dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 sama konstitusionalnya dengan kebijakan ET yang tercantum dalam UU 3/1999 dan UU 12/2003, namun Mahkamah menilai pembentuk Undang-Undang tidak konsisten dengan kebijakan-kebijakannya yang terkait Pemilu dan terkesan selalu bereksperimen dan belum mempunyai desain yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan sistem kepartaian sederhana yang hendak diciptakannya, sehingga setiap menjelang Pemilu selalu diikuti dengan pembentukan Undang-Undang baru di bidang politik, yaitu Undang-Undang mengenai Partai Politik, Undang-Undang mengenai Pemilu, dan Undang-Undang mengenai Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD;”

Oleh karena itu, menurut Mahkamah, pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 22-

24/PUU-VI/2008, bertanggal 23 Desember 2008, dan Putusan Nomor 3/PUU-

VII/2009, bertanggal 13 Februari 2009, sebagaimana dikutip di atas, mutatis mutandis

berlaku pula untuk pertimbangan hukum dalam perkara a quo, yaitu pengujian

Page 189: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

98

konstitusionalitas Pasal 208 UU 8/2012 mengenai pemberlakuan PT 3,5% (tiga koma

lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan

perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, yang

konsekuensi hukumnya akan menghilangkan suara partai politik yang tidak mencapai

PT 3,5% di tingkat nasional tersebut. Dengan demikian partai politik yang tidak

mencapai PT 3,5% di tingkat nasional tidak memiliki juga kursi pada DPRD provinsi

dan DPRD kabupaten/kota;

[3.25] Menimbang bahwa, menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 208 UU 8/2012

dan Penjelasannya bertujuan untuk penyederhanaan kepartaian secara alamiah.

Namun demikian, dari sudut substansi, ketentuan tersebut tidak mengakomodasi

semangat persatuan dalam keberagaman. Ketentuan tersebut berpotensi

menghalang-halangi aspirasi politik di tingkat daerah, padahal terdapat kemungkinan

adanya partai politik yang tidak mencapai PT secara nasional sehingga tidak

mendapatkan kursi di DPR, namun di daerah-daerah, baik di tingkat provinsi atau

kabupaten/kota, partai politik tersebut memperoleh suara signifikan yang

mengakibatkan diperolehnya kursi di lembaga perwakilan masing-masing daerah

tersebut. Bahkan secara ekstrim dimungkinkan adanya partai politik yang secara

nasional tidak memenuhi PT 3,5%, namun menang mutlak di daerah tertentu. Hal

demikian akan menyebabkan calon anggota DPRD yang akhirnya duduk di DPRD

bukanlah calon anggota DPRD yang seharusnya jika merunut pada perolehan

suaranya, atau dengan kata lain, calon anggota DPRD yang akhirnya menjadi

anggota DPRD tersebut tidak merepresentasikan suara pemilih di daerahnya. Politik

hukum sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 208 UU 8/2012 dan Penjelasannya

tersebut justru bertentangan dengan kebhinnekaan dan kekhasan aspirasi politik yang

beragam di setiap daerah;

[3.25.1] Menurut Mahkamah, pemberlakuan PT secara nasional yang mempunyai

akibat hukum pada hilangnya kursi-kursi partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR

namun partai politik bersangkutan memenuhi ketentuan bilangan pembagi pemilih di

daerah dan menjadikan kursi-kursi tersebut dimiliki partai politik lain yang sebenarnya

tidak memenuhi bilangan pembagi pemilih namun memiliki kursi di DPR, justru

bertentangan dengan kedaulatan rakyat, hak politik, dan rasionalitas, sehingga

Page 190: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

99

bertentangan pula dengan tujuan pemilihan umum itu sendiri yaitu untuk memilih wakil

rakyat mulai dari tingkat pusat hingga daerah;

[3.25.2] Mahkamah juga menilai sekiranya PT 3,5% diberlakukan secara bertingkat,

masing-masing 3,5% untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, dapat

menimbulkan kemungkinan tidak ada satu pun partai politik peserta Pemilu di suatu

daerah (provinsi atau kabupaten/kota) yang memenuhi PT 3,5% sehingga tidak ada

satupun anggota partai politik yang dapat menduduki kursi DPRD. Hal ini mungkin

terjadi jika diasumsikan partai politik peserta Pemilu berjumlah 30 partai politik dan

suara terbagi rata sehingga maksimal tiap-tiap partai politik peserta Pemilu hanya

memperoleh maksimal 3,3% suara. Selain itu, terdapat pula kemungkinan di suatu

daerah hanya ada satu partai politik yang memenuhi PT 3,5% sehingga hanya ada

satu partai politik yang menduduki seluruh kursi di DPRD atau sekurang-kurangnya

banyak kursi yang tidak terisi. Hal itu justru bertentangan dengan ketentuan konstitusi

yang menghendaki Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD, yang ternyata

tidak tercapai karena kursi tidak terbagi habis, atau akan terjadi hanya satu partai

politik yang duduk di DPRD yang dengan demikian tidak sejalan dengan konstitusi;

[3.26] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut

Mahkamah, permohonan Pemohon sepanjang mengenai frasa “DPRD Provinsi, dan

DPRD kabupaten/kota” dalam Pasal 208 UU 8/2012 beralasan hukum. Dengan demikian,

ketentuan PT 3,5% hanya berlaku untuk kursi DPR dan tidak mempunyai akibat hukum

terhadap penentuan/penghitungan perolehan kursi partai politik di DPRD provinsi maupun

di DPRD kabupaten/kota;

Konstitusionalitas pasal, ayat, maupun frasa dalam pasal dan/atau ayat UU 8/2012 yang terkait pasal, ayat, maupun frasa dalam pasal dan/atau ayat yang dimohonkan pengujian

[3.27] Menimbang bahwa putusan mengenai Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012 dan

Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012 memiliki konsekuensi terhadap ketentuan-

ketentuan dalam pasal maupun ayat dari UU 8/2012 yang merujuk kepada ketentuan

Pasal 8 ayat (1) a quo. Meskipun tidak secara tegas dimohonkan oleh para Pemohon

untuk diuji, namun setelah mencermati UU 8/2012, Mahkamah menemukan fakta

Page 191: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

100

hukum bahwa Pasal 17 ayat (1) UU 8/2012 terkait erat (merujuk) kepada ketentuan

Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012 yang dimohonkan pengujian secara materiil oleh para

Pemohon.

Begitu pula, frasa “DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” dalam Pasal 208 UU

8/2012, menurut Mahkamah, terkait erat dengan frasa yang sama dalam Pasal 209

ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2012, sehingga putusan terhadap Pasal 208 UU 8/2012

serta merta membawa akibat hukum terhadap Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) UU

8/2012 beserta Penjelasannya;

[3.28] Menimbang bahwa dengan adanya putusan-putusan mengenai pasal-pasal

dalam UU 8/2012, terutama terkait dengan ketentuan mengenai verifikasi partai

politik, maka segala sesuatu yang berakibat secara hukum dengan proses

penyelenggaraan pemilihan umum legislatif tahun 2014 harus disesuaikan ulang

dengan tidak mengubah jadwal pemungutan suara;

[3.29] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di

atas, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon mengenai pengujian

konstitusionalitas Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat (2), dan Pasal 208 UU 8/2012, atau

sebagian frasa dari pasal atau ayat dimaksud, beralasan hukum untuk sebagian;

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di

atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

[4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk

mengajukan permohonan a quo;

[4.3] Permohonan beralasan hukum untuk sebagian.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Page 192: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

101

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5076);

5. AMAR PUTUSAN

Mengadili,

Menyatakan:

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

1.1. Pasal 8 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117 Tambahan Lembaran

Negara Repulik Indonesia Nomor 5316) bertentangan dengan UUD 1945;

1.2. Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan

Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2012 Nomor 117 Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor

5316) sepanjang frasa ”yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara

pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru” dan Penjelasan Pasal 8 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117

Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 5316) sepanjang frasa

”yang dimaksud dengan ”partai politik baru” adalah partai politik yang belum

pernah mengikuti Pemilu” bertentangan dengan UUD 1945;

1.3. Pasal 17 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Page 193: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

102

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117 Tambahan Lembaran

Negara Repulik Indonesia Nomor 5316) bertentangan dengan UUD 1945;

1.4. Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012

Nomor 117 Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 5316)

sepanjang frasa ”DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” bertentangan

dengan UUD 1945;

1.5. Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2012 Nomor 117 Tambahan Lembaran Negara Repulik

Indonesia Nomor 5316) sepanjang frasa ”DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota” bertentangan dengan UUD 1945;

1.6. Pasal 8 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117 Tambahan Lembaran

Negara Repulik Indonesia Nomor 5316) tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat;

1.7. Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan

Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2012 Nomor 117 Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor

5316) sepanjang frasa ”yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara

pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru” dan Penjelasan Pasal 8 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117

Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 5316) sepanjang frasa

Page 194: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

103

”yang dimaksud dengan ”partai politik baru” adalah partai politik yang belum

pernah mengikuti Pemilu” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

1.8. Pasal 17 ayat (1) serta Penjelasan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117 Tambahan Lembaran

Negara Repulik Indonesia Nomor 5316) tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat;

1.9. Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012

Nomor 117 Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 5316)

sepanjang frasa ”DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat;

1.10. Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2012 Nomor 117 Tambahan Lembaran Negara Repulik

Indonesia Nomor 5316) sepanjang frasa ”DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

2. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;

3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia

sebagaimana mestinya;

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh delapan

Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad

Sodiki, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim,

Anwar Usman, dan Hamdan Zoelva, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal lima belas, bulan Agustus, tahun dua ribu dua belas, dan

diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal dua puluh sembilan, bulan Agustus, tahun dua ribu dua belas,

Page 195: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

104

oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap

Anggota, Achmad Sodiki, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar,

Muhammad Alim, Anwar Usman, dan Hamdan Zoelva, masing-masing sebagai

Anggota, dengan dibantu oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta

dihadiri oleh para Pemohon/Kuasa, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan

Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.

KETUA,

ttd.

Moh. Mahfud MD.

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd. td

Achmad Sodiki

ttd.

Ahmad Fadlil Sumadi

ttd.

Maria Farida Indrati

ttd.

M. Akil Mochtar

ttd.

Muhammad Alim

ttd.

Anwar Usman

ttd.

Hamdan Zoelva

6. PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION)

Terhadap Putusan Mahkamah ini, khusus untuk pertimbangan hukum

terhadap Pasal 208 UU 8/2012, Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar memiliki

pendapat berbeda (dissenting opinion), sebagai berikut:

Page 196: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

105

[6.1] Menimbang bahwa penerapan model parliamentary threshold dalam sistem

Pemilu Indonesia tidak sejalan dengan tujuan penyederhanaan sistem kepartaian

dalam rangka efektifitas sistem presidensiil melalui penguatan kelembagaan

parlemen. Selain itu, penerapan model parliamentary threshold mengakibatkan

terhambatnya saluran aspirasi dari kelompok minoritas dalam sistem bangunan

kenegaraan Indonesia yang demokratis dan dijamin oleh UUD 1945. Atas dasar

inilah, saya menyatakan pendapat berbeda.

Bahwa dalam setiap sistem Pemilu pasti terdapat batasan (threshold) yang

mengakibatkan keterpilihan seseorang untuk menduduki jabatan publik. Ambang

batas ini merupakan sifat alamiah dalam sistem Pemilu (natural threshold).

Bahwa UU 8/2012 yang menggunakan sistem proporsional terbuka memberikan

penghargaan kepada suara rakyat secara terbuka, bebas memilih dan menentukan

anggota legislatif. Sistem ini juga menghilangkan tindakan pengabaian atas

terbuangnya suara rakyat secara cuma-cuma serta menjamin prinsip keterwakilan

yang didasari penghargaan terhadap kelompok-kelompok minoritas di dalam

masyarakat Indonesia yang majemuk.

[6.2] Menimbang bahwa Putusan Mahkamah Nomor 22-24/PUU-VI/2008

bertanggal 23 Desember 2008 dalam pertimbangan hukumnya telah secara tegas

menyatakan menjamin terpenuhi prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip keterwakilan

dengan pertimbangan yang berbunyi, “... karena itu keterpilihan calon anggota

legislatif tidak boleh bergeser dari keputusan rakyat yang berdaulat kepada keputusan

pengurus partai politik sebagaimana amanat konstitusi yang termaktub dalam

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945”.

Bahwa ambang batas (parliamentary threshold) sekurang-kurangnya 3,5% (tiga

setengah persen) dari jumlah perolehan suara sebagaimana diatur pada Pasal 208

UU 8/2012, pembentuk Undang-Undang perlu mempertimbangkan hal-hal yang

berkenaan dengan parliamentary threshold. Sebagai perbandingan, Dewan Parlemen

(Parliamentary Assembly) Eropa, misalnya, dalam Resolusi Nomor 1547 yang

dikeluarkan pada tahun 2007 mengatur bahwa penetapan ambang batas (threshold)

di atas 3% (tiga persen) tidaklah memiliki landasan hukum yang kuat dalam sebuah

Page 197: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

106

sistem negara demokratis yang mapan. Demokrasi harus mampu memberikan

jaminan sebesar-besarnya untuk perlindungan kebebasan mengeluarkan pendapat,

berserikat, dan berkumpul. Pembatasan yang ketat atas perlindungan kebebasan

tersebut merupakan pemberangusan terhadap nilai-nilai demokrasi.

[6.3] Menimbang bahwa memperhatikan prinsip yang terkandung di dalam Pasal

22E ayat (1) UUD 1945 pelaksanaan pemilihan umum yang berkualitas harus

melibatkan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas dasar prinsip demokrasi yang

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Penerapan asas-asas pemilu harus

menjadi landasan utama untuk dikembangkan dan diimplementasikan melalui

Undang-Undang Pemilihan Umum dan diimplementasikan melalui Undang-Undang

Pemilihan Umum sebagai dasar bagi pelaksanaan seluruh tahapan pemilihan umum

agar dapat dipertanggungjawabkan. Dalam pelaksanaan pemilu, rakyat merupakan

subjek utama dalam penegakan prinsip kedaulatan rakyat. Rakyat tidak boleh

diposisikan sebagai obyek oleh para pemangku kepentingan demi memperoleh

kemenangan politik semata.

Bahwa untuk kesekian kalinya, undang-undang yang mengatur mengenai penetapan

ambang batas jumlah perolehan suara partai politik digugat melalui jalur judicial

review. Mahkamah pernah memeriksa perkara dengan permasalahan yang serupa

dalam Perkara Nomor 3/PUU-VII/2009. Dalam dissenting opinion pada putusan

perkara tersebut, saya mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan penerapan

model parliamentary threshold demi penyederhanaan sistem kepartaian. Saya sampai

pada kesimpulan bahwa penerapan parliamentary threshold dalam sistem Pemilu

Indonesia melanggar prinsip keterwakilan (representativeness) sehingga

menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan ketidakadilan (injustice)

bagi anggota partai politik yang sudah lolos pada perolehan suara di Pemilu legislatif

tetapi partainya terhambat untuk memperoleh kursi di parlemen yang diakibatkan

berlakunya parliamentary threshold.

[6.4] Menimbang bahwa selain hal tersebut di atas, dalam putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009, Mahkamah menilai langkah kebijakan yang diambil

oleh pembentuk undang-undang dalam rangka penyederhanaan sistem kepartaian

Page 198: ALDO PUTRA HARSA-FSH.pdf

107

tidak konsisten dan tidak memiliki desain besar (grand design) serta perencanaan

yang matang. Sikap ini nampak jelas dari eksperimentasi yang dilakukan oleh

pembentuk undang-undang dengan mengubah, bahkan mengganti, undang-undang

di bidang politik setiap menjelang penyelenggaraan pemilu. Penyederhanaan sistem

kepartaian tidak dapat dilakukan sekejap mata dan semudah membalikkan telapak

tangan, dibutuhkan konsistensi, waktu yang panjang dan perencanaan yang matang.

Jumlah partai politik dapat dibatasi melalui perekayasaan sosial berdasarkan aturan-

aturan hukum tanpa harus mengorbankan kebebasan berekspresi dan hak

konstitusional warga negara untuk berserikat dan berkumpul.

Oleh karena itu, serupa dengan pendapat saya dalam Putusan Nomor 3/PUU-

VII/2009 bahwa model parliamentary threshold, sebagaimana diatur pada Pasal 208

UU 8/2012, dalam rangka penyederhanaan sistem kepartaian Indonesia adalah

bertentangan dengan UUD 1945.

PANITERA PENGGANTI,

ttd.

Mardian Wibowo