Post on 04-Aug-2015
REFRAT INTERNA
PATOGENESIS DAN MANAJEMEN OSTEOPOROSIS
Oleh :
Fitriana Darmastuti G0004101
Anesy Putri Ampaisa G0005035
Rizkiyani Astuti G0007224
Rr. Theodora Ratih G0007225
Fatimah Az-zahrah G0007505
Pembimbing :
dr. Arifin S., Sp.PD, FINASIM
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U R A K A R T A
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Osteoporosis merupakan penyakit metabolisme tulang yang ditandai
pengurangan massa tulang, kemunduran mikroarsitektur tulang dan fragilitas
tulang yang meningkat, sehingga resiko fraktur menjadi lebih besar
(Kaniawati, 2003)
Dengan meningkatnya usia harapan hidup, maka berbagai penyakit
degeneratif dan metabolik termasuk osteoporosis akan menjadi masalah
musculoskeletal yang memerlukan perhatian khusus, terutama di negara-
negara berkembang termasuk Indonesia. Pada survey kependudukan tahun
1990, ternyata jumlah penduduk yang berusia 55 tahun atau lebih mencapai
9,2 %, meningkat 50 % dibandingkan survey tahun 1971. Dengan demikian,
kasus osteoporosis dengan berbagai akibatnya, terutama fraktur diperkirakan
juga akan meningkat.
Penelitian Roeshadi di Jawa Timur, mendapatkan bahwa puncak masa
tulang dicapai pada usia 30 – 34 tahun dan rata-rata kehilangan massa tulang
pasca menopause adalah 1,4 % / tahun. Penelitian yang dilakukan di klinik
Reumatologi RSCM mendapatkan faktor risiko esteoporosis yang meliputi
umur, lamanya menopause dan kadar estrogen yang rendah, sedangkan faktor
proteksinya adalah kadar estrogen yang tinggi, riwayat berat badan lebih /
obesitas dan latihan yang teratur.
Insiden osteoporosis lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki dan
merupakan problema pada wanita pascamenopause. Osteoporosis di klinik
menjadi penting karena problema fraktur tulang, baik fraktur yang disertai
trauma yang jelas maupun fraktur yang terjadi tanpa disertai trauma yang
jelas.
Berbagai masalah yang cukup prinsipil masih harus dihadapi oleh
Indonesia dalam penatalaksanaan osteoporosis yang optimal, seperti tidak
meratanya alat pemeriksaan densitas massa tulang (DEXA), mahalnya
2
pemeriksaan biokimia tulang dan belum adanya pengobatan standar untuk
osteoporosis di Indonesia (Setiyohadi, 2007)
B. Tujuan
Penulisan refrerat ini bertujuan untuk mengetahui tentang penyakit
osteoporosis, terutama mengenai patogenesis dan manajemen dari
osteoporosis
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tulang
1. Anatomi Tulang
Diafisis atau batang, adalah bagian tengah tulang yang berbentuk
silinder. Bagian ini tersususn dari tulang kortikal yang memiliki kekuatan
yang besar.
Metafisis adalah bagian tulang yang melebar didekat ujung akhir
batang. Daerah ini terutama disusun oleh tulang trabekular atau tulang
spongiosa yang mengandung sel-sel hematopoetik. Sumsum merah
terdapat juga dibagian epifisis dan diafis tulang. Pada orang dewasa,
aktifitas hematopoietik menjadi terbatas hanya pada sternum dan krista
iliaka, walaupun tulang-tulang yang lain masih berpotensi untuk aktif lagi
bila diperlukan. Sumsum kuning yang terdapat pada diafisis tulang orang
dewasa terutama terdiri dari sel-sel lemak. Metafisis juga menopang sendi
dan menyediakan daerah yang cukup luas untuk perlekatan tendon dan
ligamen pada epifisis.
Lempeng epifisis adalah daerah pertumbuhan longitudinal pada
anak-anak, dan bagian ini akan menghilang pada tulang dewasa. Bagian
epifisis langsung perbatasan dengan sendi tulang panjang yang bersatu
dengan metafisis sehingga pertumbuhan memanjang tulang terhenti.
a. Periosteum
Periosteum merupakan lapisan pertama dan selaput terluar tulang
yang tipis. Periosteum mengandung osteoblas (sel pembentuk jaringan
tulang), jaringan ikat dan pembuluh darah. Periosteum merupakan
tempat melekatnya otot-otot rangka (skelet) ke tulang dan berperan
dalam memberikan nutrisi, pertumbuhan dan reparasi tulang rusak.
b. Tulang kompak (korteks)
4
Tulang kompak merupakan lapisan kedua pada tulang yang
memiliki tekstur halus dan sangat kuat. Tulang kompak memiliki
sedikit rongga dan lebih banyak mengandung kapur (Calsium Phosfat
dan Calsium Carbonat) sehingga tulang menjadi padat.
Tulang kompak paling banyak ditemukan pada tulang kaki dan
tulang tangan. Delapan puluh persen tulang di tubuh dibentuk oleh
tulang kompak. Sel tulang kompak berada di lakuna dan menerima
nutrisi dari kanalikulus yang bercabang di seluruh tulang kompak dan
disalurkan melalui kanal havers yang mengandung pembuluh darah. Di
sekeliling tiap kanal havers, kolagen tersusun dalam lapisan konsentris
dan membentuk silinder yang disebut osteon (sistem Havers) atau
disebut juga tulang keras.
Setiap sistem Havers terdiri dari saluran Havers, yaitu suatu
saluran yang sejajar dengan sumbu tulang. Disekeliling sistem havers
terdapat lamella-lamella yang konsentris dan berlapis-lapis. Pada
lamella terdapat rongga-rongga yang disebut lakuna. Di dalam lakuna
terdapat osteosit. Dari lakuna keluar saluran-saluran kecil yang menuju
ke segala arah disebut kanalikuli yang berhubungan dengan lakuna
lain. Di antara sistem havers terdapat lamella interestial yang lamella-
lamellanya tidak berkaitan dengan sistem havers. Pembuluh darah dari
periosteum menembus tulang kompak melalui saluran volkman yang
berhubungan dengan pembuluh darah saluran havers. Kedua saluran
ini arahnya saling tegak lurus.
c. Tulang Spongiosa
Pada lapisan ketiga disebut dengan tulang spongiosa, berada di
dalam korteks dan membentuk sisa 20% tulang di tubuh. Tulang
spongiosa memiliki banyak rongga. Rongga tersebut diisi oleh
sumsum merah yang dapat memproduksi sel-sel darah. Tulang
spongiosa terdiri dari kisi-kisi tipis tulang yang disebut trabekula.
Trabekula terdiri dari spikulum / lempeng, dan sel-sel terletak di
permukaan lempeng. Nutrien berdifusi dari cairan ekstrasel tulang ke
5
dalam trabekula. Lebih dari 90 % protein dalam matriks tulang
tersusun atas kolagen tipe I.
d. Sumsum Tulang (Bone Marrow)
Lapisan terakhir tulang yang paling dalam adalah sumsum tulang.
Sumsum tulang wujudnya seperti jelly yang kental dan dilindungi oleh
tulang spongiosa. Sumsum tulang berfungsi memproduksi sel-sel darah
yang ada dalam tubuh.
Gambar 1. Struktur tulang
Gambar 2. Sistem kanalis Haversi
6
2. Histologi Tulang
Tulang terdiri dari komponen matriks dan sel. Matriks tulang terdiri dari
komponen organik dan anorganik. Sedangkan sel tulang terdiri dari sel
osteoprogenitor, osteoblas, osteoklas, dan osteoid.
a. Matriks Anorganik
Merupakan 50% dari berat kering matriks. Terdiri dari mineral kalsium,
fosfat, bikarbonat, sitrat, magnesium, kalium, natrium. Kalsium dan fosfat
membentuk Kristal hidrosiapatit dengan komponen Ca10(PO4)6(OH)2.
Ion permukaan hidrosiapatit berhidrasi dan selapis air dan ion terbentuk di
sekitar kristal. Lapisan ini, yaitu lapisan hidrasi membantu pertukaran ion
antara kristal dan cairan tubuh.
b. Matriks Organik
Matriks organik mengandung kolagen tipe I, glikosaminoglikan sulfat,
asam hialuronat, glikoprotein osteokalsin dan osteoponin yang berikatan
erat dengan kristal kalsium selama mineralisasi tulang dan sialoprotein
yang mengikat osteoblas pada matriks ekstraselular melalui integrin
protein membrane plasma.
c. Osteoprogenitor
Merupakan embryonic mesenchymal cells, sehingga menjaga
kemampuan mitotik (sangat berpotensi untuk berdiferensiasi menjadi
Osteoblas). Berada pada bagian dalam periosteum, lapisan canal harvest,
dan di dalam endosteum (Junquiera, 2007).
d. Osteoblas.
Berasal dari sel mesenkimal, berada di permukaan tulang,dan
merupakan sel yang bertanggung jawab dalam proses formasi (pemben-
tukan) tulang dengan membentuk kolagen tipe I dan proteoglikan sebagai
matriks organik (osteoid) (Setiyohadi, 2007).
Ketika sedang aktif menyintesis osteoid, osteoblas mensekresikan
sejumlah besar alkali fosfatase yang memegang peranan penting dalam
7
mengendapkan kalsium dan fosfat ke dalam matriks tulang. Sebagian dari
alkali fosfatase akan memasuki aliran darah. Dengan demikian, maka
kadar alkali fosfatase dalam darah merupakan indikator yang baik tentang
tingkat pembentukan tulang (Carter, 2005).
Selain itu, osteoblas juga berperan memulai proses resorpsi tulang
dengan cara membersihkan permukaan osteoid yang akan diresorpsi
melalui berbagai proteinase netral yang dihasilkannya. (Junquiera, 2007).
e.Osteosit
Adalah osteoblas matur, terletak di lakuna, memiliki juluran
sitoplasma yang berperan dalam transmisi signal dan stimuli dari satu sel
dengan sel lainnya dan juga dengan bone lining cells di permukaan tulang.
Osteosit mempertahankan keseimbangan kadar kalsium dan fosfat dalam
tulang dan darah. Setelah osetoblas menyintesis osteoid, osteoblas akan
langsung berubah menjadi osteosit dan terbenam dalam osteoid yang
disintesisnya (Setiyohadi, 2007).
f. Osteoklas
Adalah sel-sel besar berinti banyak yang termasuk dalam turunan sel
makrofag mononukleus-monosit. Sel ini bertanggung jawab terhadap
proses resorpsi tulang dengan menghasilkan enzim-enzim proteolitik yang
memecahkan matriks tulang dan beberapa asam yang melarutkan mineral
tulang, sehingga kalsium dan fosfat terlepas ke dalam aliran darah. (Carter,
2005).
8
Gambar 3. Osteoblas, Osteosit, Osteoklas
2. Remodelling Tulang
Selama kehidupan proses resorpsis dan formasi tulang terus
berlangsung. Pada awalnya pembentukan tulang lebih cepat dibanding
dengan resorpsi, yang menghasilkan tulang mejadi besar, berat dan padat.
Setelah pertumbuhan berhenti dan puncak massa tulang tercapai, maka
proses remodeling tulang akan dilanjutkan pada permukaan endosteal. Osteoklas
akan melakukan resorpsi tulang, sehingga meninggalkan rongga yang disebut
lacuna Howship pada tulang trabekular atau cutting cone pada tulang kortikal.
Setelah resorpsi selesai, maka osteoblas akan melakukan formasi tulang pada
rongga yang ditinggalkan osteoklas, membentuk matriks tulang yang disebut
osetoid, dilanjutkan dengan mineralisasi primer dan mineralisasi sekunder
sehingga tulang menjadi keras.
Pada tulang dewasa, formasi tulang hanya akan terjadi bila didahului
9
dengan proses resorpsi tulang. Sehingga urutan proses yang terjadi pada
remodeling adalah aktifasi-resorpsi-formasi (ARF).
3. Regulasi Osteoblas dan Osteoklas
Osetoblas berasal dari stromal stem cell , untuk diferensiasi dan maturasi
osteoblas dibutuhkan faktor pertumbuhan local seperti fibroblast growth factor
(FGF), bone morphogenetic proteins (BMPs) dan Wnt proteins. Selain itu juga
dibutuhkan faktor transkripsi yaitu Core binding factor 1 (Cbfa) atau Runx2 dan
Osterix (Osx).
Sedangkan osteoklas, berasal dari sel hemopoetik/fagosit mononuclear.
Diferensiasinya di fase awal membutuhkan factor transkripsi PU-1, dan MiTf
yang akan merubah sel progenitor menjadi sel-sel seri myeloid. Selanjutnya
dengan rangsangan M-CSF, sel-sel ini berubah menjadi sel-sel monositik yang
berproliferasi mengekspresikan reseptor RANK. Selanjutnya, dengan adanya
RANK ligand (RANKL) sel ini berdiferensiasi menjadi osteoklas. Setelah
melalui proses resorpsi, osteoklas akan mengalami apoptosis dengan pengaruh
estrogen.
Membran plasma osteoblas kaya akan fosfatase alkali dan memiliki
reseptor untuk hormon paratiroid dan prostaglandin. Selain itu osteoblas juga
mengekspresikan reseptor estrogen dan vitamin D, CSF-1, dan reseptor anti
nuclear factor kB ligand (RANKL) dan osteoprotegrin (OPG). Perlekatan OPG
pada RANKL akan menghambat perlekatan RANKL terhadap RANK di
permukaan osteoklas, sehingga akan menghambat maturasi osteoklas dan
resorpsi tulang. Ekspresi OPG di sel stromal dan osteoblas akan ditingkatkan
oleh TGF β.
10
4. Faktor Yang Mempengaruhi Regulasi Osteoblas dan Osteoklas
Hormon Pertumbuhan ( Growth Hormone, GH ).Hormon ini merupakan efek langsung dan tidak langsung terhadap osteoblas
untuk meningkatkan remodeling tulang dan pertumbuhan tulang endokondral.
Defisiensi GH pada manusia akan menyebabkan gangguan pertumbuhan tulang.
Efek GH langsung pada tulang adalah melalui interaksi dengan reseptor GH pada
permukaan osteoblas, sedangkan efek tidak langsungnya melalui produksi insulin-
like growth factor-1 ( IGF-1 ).
Insulin-like Growth Factor-1 dan 2 ( IGF-1 dan IGF-2 ).IGF merupakan growth hormone-dependent polypeptides. IGF I mempunyai efek
merangsang sintesis matriks dan kolagen tulang dan juga merangsang replikasi
sel-sel turunan osteoblas, juga menurunkan degradasi kolagen tulang. IGF I
memegang peranan penting pada formasi tulang dan juga berperan
mempertahankan massa tulang. Berbagai faktor sistemik dan lokal turut berperan
mengatur sintesis IGF-1 oleh osteoblas antara lain estrogen, PTH, PGE2 dan BMP-
2, sedangkan PDGF dan glukokortikoid menghambat ekspresi IGF-1 dan 1,25
(OH)2D3, TGFb dan FGF-2 memiliki efek stimulator dan inhibitor ekspresi IGF-1.
Di dalam sirkulasi, IGF akan terikat pada IGF binding proteins (IGFBPs).
Bone Morphogenetic Proteins ( BMPs ).
Merupakan anggota superfamili TGFβ disintesis oleh sel-sel seri osteoblas dan
berperan pada diferensiasi osteoblas. Selain itu BMPs juga berperan pada osifikasi
endokondral dan kondrogenesis.
Protein Wnt.
Memiliki aktivitas yang sama dengan BMP dan menginduksi diferensiasi sel.
Signal Wnt yang optimal pada osteoblas membutuhkan lipoprotein receptor-
related protein 5 (LRP 5). LRP 5 diekspresikan oleh osteoblas dan sel stromal dan
distimulasi oleh BMP. Mutasi yang menyebabkan inaktifasi LRP 5 yang
menyebabkan penurunan densitas tulang sedangkan mutasi yang menyebabkan
LRP 5 resisten terhadap inaktifasi menyebabkan peningkatan massa tulang.
TGF β.
Berfungsi menstimulasi replikasi preosteoblas, sintesis kolagen dan menghambat
resorpsi tulang dengan cara menginduksi apoptosis osteoklas.
11
Fibriblast Growth Factors ( FGFs ).
FGF 1 dan 2 bersifat angiogenik dan berperan pada neovaskularisasi,
penyembuhan luka dan reparasi tulang. FGF 1 dan 2 akan merangsang replikasi
sel tulang sehingga populasi sel tersebut meningkat dan memungkinkan terjadinya
sintesis kolagen tulang. FGF juga memiliki peran kecil pada resorpsi tulang, yaitu
meningkatkan ekspresi MMP 13 yang berperan pada degradasi kolagen dan
remodeling tulang.
Platelet-Derived Growth Factor ( PDGF ).
PDGF berfungsi merangsang replikasi sel dan sintesis kolagen tulang. Selain itu,
PDGF-BB juga berperan meningkatkan jumlah osteoklas dan menginduksi
ekspresi MMP 13 oleh osteoblas.
Vascular Endothelial Growth Factors ( VEGF ).
Merupakan polipeptida yang berperan pada angiogenesis yang sangat penting
pada perkembangan skeletal. VEGF berperan sangat penting pada osifikasi
endokondral. Selama osifikasi endokondral, terjadi invasi pembuluh darah ke
dalam rawan sendi selama mineralisasi matriks, apoptosis kondrosit yang
hipertrofik, degradasi matriks dan formasi tulang.
Sitokin
Diantara group sitokin yang menstimulasi osteoklastogenesis antara lain adalah:
IL-1, IL-3, IL-6, Leukemia Inhibitory Factor (LIF), Oncostatin M (OSM), Ciliary
Neurotropic Factor (CNTF), Tumor Necrosis Factor (TNF), Granulocyte
Macrophage-Colony Stimulating Factor (GM-CSF), dan Macrophage-Colony
Stimulating Factor (M-CSF). Sedangkan IL-4, IL-10, IL-18, dan interferon-γ,
merupakan sitokin yang menghambat osteoklastogenesis.
Hormon paratiroid (PTH)
Berperan merangsang resorpsi tulang secara tidak langsung, karena osteoklas
tidak memiiki reseptor PTH. Efeknya melalui peningkatan produksi Cbfa, yang
akan meningkatkan ekspresi RANKL oleh sel osteoblas.
Insulin
Mempunyai peranan dalam merangsang sintesis matriks tulang dan pembentukan
tulang rawan. Selain itu, insulin juga sangat penting pada mineralisasi tulang yang
12
normal, dan merangsang produksi IGF I oleh hati. Peranan insulin pada sintesis
matriks terutama pada fungsi diferensiasi osteoblas,
1,25-Dihydroxyvitamin D3 [1,25(OH)2D3], merupakan hormon yang disintesis
secara primer oleh ginjal dan mempunyai fungsi yang sama dengan PTH, yaitu
merangsang resorpsi tulang dan efek ini berlangsung melalui peningkatan ekspresi
RANKL oleh osteoblas. Selain itu, 1,25(OH)2D3 dapat meningkatkan sintesis
osteokalsin oleh osteoblas, menghambat sintesis kolagen tulang, meningkatkan
ikatan IGF I pada pada reseptornya yang terdapat di sel-sel turunan osteoblas dan
merangsang selected IGF binding proteins yang dapat memodifikasi aksi dan
konsentrasi IGF.
Kalsitonin
Merupakan inhibitor yang poten terhadap efek resorpsi tulang dari osteoklas,
Selain itu, kalsitonin juga menyebabkan pemecahan osteoklas menjadi sel
mononuklear dan menghambat pembentukan osteoklas.
Glukokortikoid
Mempunyai efek merangsang resopsi tulang, melalui penurunan absorbsi kalsium
yang kemudian akan diikuti oleh peningkatan PTH. Pemberian glukokortikoid
jangka pendek pada konsentrasi fisiologik, akan merangsang sintesis kolagen
tulang. Pada pemberian jangka panjang dapat menurunkan replikasi tulang sel
preosteoblastik, sehingga jumlah osteoblas menurun dan pembentukan matriks
tulang terhambat. Selain itu, glukokortikoid juga menghambat sintesis IGF I oleh
sel tulang.
Hormon tiroid
Berperan merangsang resorpsi tulang. Hal ini akan menyebabkan pasien
hipotiroidisme akan disertai hiperkalsemia dan pasien pasca-menopause yang
mendapat supresi tiroid jangka panjang akan mengalami osteopenia.
Prostaglandin
PGE2 pada dosis rendah berperan merangsang formasi tulang, sedangkan pada
dosis tinggi berperan meningkatkan resorpsi tulang tanpa menghambat formasi
tulang. Pada fase resorpsi tulang, produksi PGE2 akan meningkat, sedangkan
pada formasi tulang, produksi PGE2 akan menurun.
13
Estrogen
Estrogen merupakan hormon yang berperan sebagai regulator pertumbuhan dan
homeostasis tulang yang cukup penting. Estrogen dapat memiliki efek langsung
maupun tak langsung kepada tulang. Efek langsung estrogen adalah melalui
perantaraan sitokin. Efek tidak langsungnya adalah homeostasis kalsium
(regulasi absoprsi kalsium usus, modulasi kalsitriol, ekskresi Ca di ginjal, serta
sekresi hormon PTH).
Selain itu, estrogen berperan dalam menurunkan sekresi sitokin pro-inflamasi oleh
monosit darah serta sumsum tulang seperti IL-1, TNF α, dan IL-6. Sitokin pro-
inflamasi ini berguna untuk menstimulasi perekrutan dan aktivitas osteoklas
melalui peningkatan ekspresi RANKL dan menurunkan ekspresi OPG. RANKL
menstimulasi RANK untuk mengaktivasi faktor transkripsi NF-κB yang
mengaktivasi dan mempertahankan kehidupan osteoklas. OPG dan RANK(L)
bekerja secara antagonis. Selain dipengaruhi oleh estrogen dan sitokin pro-
inflamasi, OPG dan RANK(L) juga dipengaruhi oleh hormon lain (paratiroid,
testosteron, glukokortikoid), vitamin D, dan faktor pertumbuhan (seperti BMP).
Oleh karena itu, penurunan estrogen meningkatkan aktivitas osteoklas sehingga
terjadi laju turn-over tulang yang sangat tinggi sedangkan aktivitas osteoblas
tidak dapat mengejar aktivitas osteoklas
14
B. Osteoporosis
1. Definisi
Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh
penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang
sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Pada tahun 2001, National
Institute of Health (NIH) mengajukan definisi baru osteoporosis sebagai
penyakit tulang sistemik yang di tandai oleh compromised bone strength
sehingga tulang mudah patah (Setiyohadi, 2007).
Osteoporosis adalah suatu kondisi berkurangnya masa tulang secara nyata
yang berakibat pada rendahnya kepadatan tulang (Hortono, 2000).
2. Faktor Resiko
a) Riwayat Keluarga
Faktor genetik ini terutama berpengaruh pada ukuran dan densitas tulang.
Disamping itu keluarga juga berpengaruh dalam hal kebiasaan makan dan
aktifitas fisik. Ras kaukasia dan oriental lebih sering terkena osteoporosis dari-
pada kulit hitam dan polinesia.
b) Jenis Kelamin
Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini disebabkan pengaruh
hormon estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35
tahun.
c) Usia
Tiap peningkatan 1 dekade, risiko menigkat 1,4 -1,8 kali karena tulang
menjadi berkurang kekuatan dan kepadatannya. Berkurangnya massa tulang
mulai terjadi setelah usia antara 30 sampai 35 tahun. Patah tulang meningkat
pada wanita usia >45 tahun, sedangkan pada laki-laki patah tulang baru
meningkat pada usia >75 tahun. Penyusutan massa tulang sampai 3-6%
pertahun terjadi pada 5-10 tahun pertama pascamenopause. Pada usia lanjut
penyusutan terjadi sebanyak 1% per tahun. Namun, pada wanita yang
memiliki faktor risiko penyusutan dapat terjadi hingga 3% per tahun. Selain
itu, pada usia lanjut juga terjadi penurunan kadar 1,25 (OH)2D yang
15
disebabkan oleh kurangnya masukan vitamin D dalam diet, gangguan absorpsi
vitamin D, dan berkurangnya vitamin D dalam kulit.
d) Aktifitas Fisik
Kurang berolahraga dapat menghambat proses pembentukan tulang sehingga
kepadatan massa tulang akan berkurang. Semakin banyak bergerak dan olah
raga, maka otot akan memacu tulang untuk membentuk massa. Aktivitas fisik
harus mempunyai unsur pembebanan pada tubuh dan penekanan pada aksis
tulang untuk meningkatkan respon osteogenik dari estrogen.
e) Status Gizi
Zat gizi dan gaya hidup juga mempengaruhi kondisi tulang. Perawakan kurus
cenderung memiliki bobot tubuh cenderung ringan merupakan faktor risiko
terjadinya kepadatan tulang yang rendah.
f) Kebiasaan Konsumsi Asupan Kalsium
Kalsium (Ca), fosfor (P), dan magnesium (Mg) merupakan komponen utama
pembentuk tulang. Sebagai mineral terbanyak, berat Ca yang terdapat pada
kerangka tulang orang dewasa kurang lebih 1 kilogram. Penyimpanan mineral
dalam tulang akan mencapai puncaknya (Peak Bone Mass atau PBM) sekitar
umur 20-30 tahun. Pada priode PBM ini jika massa tulang tercapai dengan
kondisi maksimal akan dapat menghindari terjadinya osteoporosis pada usia
berikutnya.
g) Kebiasaan Merokok
Zat nikotin di dalam rokok mempercepat penyerapan tulang dan membuat
kadar dan aktivitas hormon estrogen dalam tubuh berkurang.
h) Penyakit Diabetes Mellitus
Orang yang mengidap DM lebih mudah mengalami osteoporosis. Pemakaian
insulin merangsang pengambilan asam amino ke sel tulang sehingga
meningkatkan pembentukkan kolagen tulang.
3. Klasifikasi Osteoporosis
a. Osteoporosis primer, terjadi akibat kekurangan massa tulang yang terjadi
karena faktor usia secara alami. Osteoporosis primer ini terdiri dari dua
bagian:
16
Tipe I ( Post Menopausal)
Pada masa menopause, fungsi ovarium menurun sehingga produksi hor-
mon estrogen dan progesteron juga menurun. Estrogen berperan dalam proses
mineralisasi tulang dan menghambat resorpsi tulang serta pembentukan
osteoklas melalui produksi sitokin. Ketika kadar hormon estrogen darah
menurun, proses pengeroposan tulang dan pembentukan mengalami
ketidakseimbangan. Pengeroposan tulang menjadi lebih dominan
(Wirakusumah, 2007).
Tipe II (Senile)
Terjadi pada pria dan wanita usia ≥70 tahun, karena menurunnya absorbsi
kalsium, vitamin D, dan produksi estrogen yang berhubungan dengan makin
bertambahnya usia.
Karakteristik Tipe I Tipe IIUmur (tahun) 50-75 >70Perempuan: Laki-laki 6:1 2:1Tipe kerusakan tulang Terutama trabekular Trabekular dan kortikalBone turnover Tinggi RendahLokasi fraktur terbanyak
Vertebra, radius distal
Vertebra, kolum femoris
Fungsi PTH Menurun MeningkatEfek estrogen Terutama skeletal Terutama ekstraskeletalEtiologi utama Defisiensi estrogen Penuaan, defisiensi
estrogenTabel 1. Karakteristik Osteoporosis tipe I dan II
b. Osteoporosis sekunder
Dapat terjadi pada tiap kelompok umur yang disebabkan oleh penyakit
tertentu, konsumsi obat-obatan, dan gaya hidup yang mempengaruhi
kepadatan massa tulang. Contoh penyebab osteoporosis sekunder antara lain:
Penyakit endokrin: hiperparatiroidisme, hipertirodisme, hipogonadisme
Penyakit saluran cerna yang menyebabkan kurangnya absorbsi kalsium,
fosfor, dan vitamin D di usus.
Konsumsi obatan-obatan: kortikosteroid (lebih dari 6 bulan), aromatase
inhibitor, pengganti hormon tiroid
17
Penyakit keganasan (leukimia, multiple mieloma)
Gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, kurang olahraga
4. Patogenesis
Patogenesis utama dari osteoporosis meliputi: (a) kegagalan untuk mencapai
kerangka kekuatan optimal selama pertumbuhan dan perkembangan, (b)
resorpsi tulang yang berlebihan yang mengakibatkan hilangnya massa tulang
dan gangguan arsitektur, dan (c ) kegagalan untuk menggantikan tulang yang
hilang akibat cacat dalam pembentukan tulang.
a. Patogenesis Osteoporosis Tipe 1
Setelah menopause, maka resorpsi tulang akan meningkat, terutama
pada dekade awal setelah menopause, sehingga insiden fraktur, terutama
fraktur vertebra dan radius distal meningkat. Penurunan densitas tulang
terutama pada tulang trabecular, karena memiliki permukaan yang luas dan
hal ini dapat dicegah dengan terapi sulih estrogen. Petanda resorpsi tulang dan
formasi tulang, keduanya meningkat menunjukkan adanya peningkatan bone
turnover.
18
Estrogen juga berperan menurunkan produksi berbagai sitokin oleh
bone marrow stromal cells dan sel-sel mononuclear, seperti IL-1, IL-6, dan
TNF-α yang berperan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut,
sehingga aktivitas osteoklas meningkat.
Selain peningkatan aktivitas osteoklas, menopause juga menurunkan
absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal. Selain
itu, menopause juga menurunkan sintesis berbagai protein yang membawa
1,25(OH)2D, sehingga pemberian estrogen akan meningkatkan 1,25(OH)2D
di dalam plasma. Tetapi pemberian estrogen transdermal tidak akan
meningkatkan sintesis protein tersebut, karena estrogen transdermal tidak
diangkut melewati hati. Walaupun demikian, estrogen transdermal tetap dapat
meningkatkan absorbsi kalsium di usus secara langsung tanpa dipengaruhi
vitamin D. Untuk mengatasi keseimbangan negatif kalsium akibat menopause,
maka kadar PTH akan meningkat pada wanita menopause, sehingga
osteoporosis akan semakin berat.
b. Patogenesis Osteoporosis Tipe II
Pada dekade kedelapan dan sembilan kehidupan, terjadi
ketidakseimbangan remodeling tulang, di mana resorpsi tulang meningkat,
sedangkan formasi tulang tidak berubah atau menurun. Hal ini akan
menyebabkan kehilangan massa tulang, perubahan mikroarsitektur tulang, dan
peningkatan risiko fraktur yang independen terhadap BMD. Penyebab
penurunan fungsi osteoblast pada orang tua, diduga karena penurunan kadar
estrogen dan IGF-1.
Defisiensi kalsium dan vitamin D juga sering didapatkan pada orang
tua karena asupan kalsium dan vitamin D yang kurang, anoreksia, malabsorbsi
dan paparan sinar matahari yang rendah. Akibat defisiensi kalsium, akan
timbul hiperparatiroidisme sekunder yang persisten sehingga akan semakin
meningkatkan resorpsi tulang dan kehilangan massa tulang, terutama pada
orang-orang yang tinggal di daerah 4 musim.
Defisiensi estrogen, ternyata juga merupakan masalah yang penting
sebagai salah satu penyebab osteoporosis pada orang tua, baik pada laki-laki
19
maupun perempuan. Demikian juga kadar testosterone pada laki-laki.
Defisiensi estrogen pada laki-laki juga berperan pada kehilangan massa
tulang. Estrogen pada laki-laki berfungsi mengatur resorpsi tulang, sedangkan
estrogen dan progesterone mengatur formasi tulang. Kehilangan massa tulang
trabecular pada laki-laki berlangsung linier, sehingga terjadi penipisan
trabekula, tanpa disertai putusnya trabekula seperti pada wanita. Penipisan
trabekula pada laki-laki terjadi karena penurunan formasi tulang, sedangkan
putusnya trabekula pada wanita disebabkan karena peningkatan resorpsi yang
berlebihan akibat penurunan kadar estrogen yang drastis pada waktu
menopause.
20
Dengan bertambahnya usia, kadar testosterone pada laki-laki akan
menurun sedangkan kadar sex hormone binding globulin (SHBG) akan
meningkat. Peningkatan SHBG akan meningkatkan pengikatan estrogen dan
testosterone membentuk kompleks yang inaktif.
Penurunan hormone pertumbuhan (GH) dan IGF-1, juga berperan
terhadap peningkan resorpsi tulang. Tetapi penurunan kadar androgen adrenal
(DHEA dan DHEA-S) ternyata menunjukkan hasil yang kontroversial
terhadap penurunan massa tulang pada orang tua.
5. Gambaran Klinis
Osteoporosis disebut dengan silent disease karena gejala muncul setelah
beberapa dekade. Beberapa gejala yang khas pada osteoporosis adalah:
Patah tulang akibat trauma yang ringan terutama pada vertebra,
pergelangan tangan, pinggul, humerus, dan tibia
Tubuh makin pendek, kifosis dorsal bertambah, nyeri tulang.
Adanya deformitas tulang, leg-length inequality
6. Pemerikasaan Penunjang
Pengukuran densitas tulang merupakan kriteria utama untuk menegakkan
diagnosis dan monitoring osteoporosis dengan densitometri, computed
tomography scan (CT Scan), atau ultrasound.
Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mengukur kepadatan mineral
tulang adalah sebagai berikut:
a. Dual-Energy X-ray Absorptiometry (DEXA), menggunakan dua sinar–X
berbeda, dapat digunakan untuk mengukur kepadatan tulang belakang dan
pangkal paha. Sejumlah sinar-X dipancarkan pada bagian tulang dan
jaringan lunak yang dibandingkan dengan bagian yang lain. Tulang yang
mempunyai kepadatan tulang tertinggi hanya mengizinkan sedikit sinar-x
yang melewatinya. DEXA merupakan metode yang paling akurat untuk
mengukur kepadatan mineral tulang. DEXA dapat mengukur sampai 2%
mineral tulang yang hilang tiap tahun. Penggunaan alat ini sangat cepat dan
hanya menggunakan radiasi dengan dosis yang rendah tetapi lebih mahal
dibandingkan dengan metode ultrasounds. Satuan : gr/cm2.
21
b. Peripheral Dual-Energy X-ray Absorptiometry (P-DEXA), merupakan
hasil modifikasi dari DEXA. Alat ini mengukur kepadatan tulang anggota
badan seperti pergelangan tangan, tetapi tidak dapat mengukur kepadatan
tulang yang berisiko patah tulang seperti tulang belakang atau pangkal paha.
c.Dual Photon Absorptiometry (DPA), menggunakan zat radioaktif untuk
menghasilkan radiasi. Dapat mengukur kepadatan mineral tulang belakang
dan pangkal paha, juga menggunakan radiasi sinar dengan dosis yang sangat
rendah tetapi memerlukan waktu yang cukup lama. Satuan : gr/cm2.
d.Ultrasounds, pada umumnya digunakan untuk tes pendahuluan. Jika
hasilnya mengindikasikan kepadatan mineral tulang rendah maka dianjurkan
untuk tes menggunakan DEXA. Ultrasounds dalam penggunaannya cepat,
mudah dan tidak menggunakan radiasi seperti sinar-X. Salah satu
kelemahan ultrasounds adalah tidak dapat menunjukkan kepadatan mineral
tulang yang berisiko patah tulang karena osteoporosis. Satuan : gr/cm2.
e.Quantitative Computed Tomography (QCT), adalah suatu model dari CT-
scan yang dapat mengukur kepadatan tulang belakang. Pada umumnya
pengukuran dengan QCT jarang dianjurkan karena sangat mahal,
menggunakan radiasi dengan dosis tinggi dan kurang akurat dibandingkan
dengan DEXA, P-DEXA atau DPA. Satuan : gr/cm2.
untuk menilai hasil pemeriksaan Densitometri, digunakan kriteria WHO, yaitu:
Normal bila densitas massa tulang di atas -1 SD rata-rata nilai densitas massa
tulang orang dewasa muda (T-score)
Osteopenia bila densitas massa tulang diantara -1 SD dan -2,5 SD dari T-
score.
Osteoporosis bila densitas massa tulang -2,5 SD T-score atau kurang.
(Raisz, 2005).
7. Penatalaksanaan
Secara teoritis, osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat kerja
osteoklas (antiresorptif) dan / atau meningkatkan kerja osteoblas (stimulator
tulang). Walaupun demikian, saat ini obat yang beredar pada umumnya
bersifat anti resorptif. Yang termasuk golongan obat anti resorptif adalah
22
estrogen, anti estrogen, bisfosfonat dan kalsitonin. Sedangkan yang termasuk
stimulator tulang adalah Na-fluorida, PTH dan lain sebagainya. Kalsium dan
vitamin D tidak mempunyai efek anti resorptif maupun stimulator tulang,
tetapi diperlukan untuk optimalisasi mineralisasi osteoid setelah proses
formasi oleh osteoblas. Kekurangan kalsium akan menyebabkan peningkatan
produksi PTH (hiperparatiroidisme sekunder) yang dapat menyebabkan
pengobatan osteoporosis menjadi tidak efektif. (Setiyohadi, 2007).
a. Edukasi dan pencegahan
Anjurkan pasien untuk melakukan aktivitas fisik yang teratur untuk
memelihara kekuatan, kelenturan, dan koordinasi system neuromuscular
serta kebugaran, sehingga dapat mencegah risiko terjatuh. Berbagai latihan
yang dapat dilakukan meliputi berjalan 30-60 menit/hari, bersepeda
maupun berenang.
Jaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari, baik melalui makanan sehari-hari
maupun suplementasi
Hindari merokok dan minum alkohol
Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi testosterone pada
laki-laki dan menopause awal pada wanita
Hindari mengangkat barang-barang yang berat pada pasien yang sudah
pasti osteoporosis
Hindari berbagai hal yang dapat menyebabkan pasien terjatuh, misalnya
lantai yang licin, obat-obat sedatif dan obat anti hipertensi yang dapat
menyebabkan hipotensi ortistatik ( Rosen, 2005; Setiyohadi, 2007).
b. Latihan dan program rehabilitasi
Dengan latihan yang teratur, pasien akan menjadi lebih lincah, tangkas
dan kuat otot-ototnya sehingga tidak mudah terjatuh. Selain itu latihan juga
akan mencegah perburukan osteoporosis karena terdapat rangsangan
biofisikoelektrokemikal yang akan meningkatkan remodeling tulang.
Pada pasien yang belum mengalami osteoporosis, maka sifat latihan
adalah pembebanan terhadap tulang, sedangkan pada penderita yang sudah
23
osteoporosis, maka latihan dimulai dengan latihan tanpa beban, kemudian
ditingkatkan secara bertahap sehingga mencapai latihan beban yang adekuat
(Rosen, 2005; Setiyohadi, 2007).
c. Estrogen
Absorpsi estrogen sangat baik melalui kulit, mukosa (misalnya vagina)
dan saluran cerna. Pemberian estradiol transdermal akan mencapai kadar yang
adekuat di dalam darah pada dosis 1/20 dosis oral. Estrogen oral akan
mengalami metabolism terutama di hati. Estrogen yang beredar di dalam
tubuh sebagian besar akan terikat dengan sex hormone-binding globulin
(SHBG) dan albumin, hanya sebagian kecil yang tidak terikat, tapi justru
fraksi inilah yang aktif. Estrogen akan diekskresi lewat saluran empedu,
kemudian direabsorpsi kembali di usus halus (sirkulasi enterohepatik). Pada
fase ini, estrogen akan dimetabolisme menjadi bentuk yang tidak aktif dan di
ekskresikan lewat ginjal.
Beberapa preparat estrogen yang dapat dipakai dengan dosis untuk anti
resorptifnya adalah estrogen terkonyugasi 0,625 mg/hari, 17β- estradiol oral 1-
2 mg/hari, 17β- estradiol transdermal 50 µg/hari, 17β- estradiol perkutan 1,5
mg/hari, dan 17β- estradiol subkutan 25-50 mg setiap 6 bulan.
d. Raloksifen
Raloksifen merupakan anti estrogen yang mempunyai efek seperti
estrogen di tulang dan lipid, tetapi tidak menyebabkan perangsangan
endometrium dan payudara. Golongan preparat ini disebut juga selective
estrogen receptor modulators (SERM Mekanisme kerja raloksifen terhadap
tulang, sama dengan estrogen, tidak sepenuhnya diketahui dengan pasti, tetapi
diduga melibatkan TGFβ3 yang dihasilkan oleh osteoblas dan osteoklas yang
berfungsi menghambat diferensiasi osteoklas dan kehilangan massa tulang.
Aksi raloksifen diperantarai oleh ikatan raloksifen pada reseptor
estrogen, tetapi mengakibatkan ekspresi gen yang diatur estrogen yang
berbeda pada jaringan yang berbeda. Dosis yang direkomendasikan untuk
mencegah osteoporosis adalah 60 mg/hari (Rosen, 2005).
24
e. Bisofasfonat
Bisfosfonat merupakan obat yang digunakan untuk pengobatan
osteoporosis, baik sebagai pengobatan alternative setelah terapi pengganti
hormonal pada osteoporosis pada wanita, maupun pengobatan osteoporosis
pada laki-laki dan osteoporosis akibat steroid.
Bisfosfonat dapat mengurangi resorpsi tulang oleh osteoklas dengan
cara berikatan pada permukaan tulang dan menghambat kerja osteoklas
dengan cara mengurangi produksi proton dan enzim lisosomal di bawah
osteoklas. Selain itu, beberapa bisfosfonat juga dapat mempengaruhi aktivasi
precursor osteoklas, diferensiasi precursor osteoklas menjadi osteoklas yang
matang, kemotaksis, perlekatan osteoklas pada permukaan tulang dan
apoptosis osteoklas.
Bisfosfonat juga memiliki efek tak langsung terhadap osteoklas dengan
cara merangsang osteoblas menghasilkan substansi yang dapat menghambat
osteoklas dan menurunkan kadar stimulator osteoklas. Pemberian bisfosfonat
oral akan di absorpsi di usus halus dan absorpsinya sangat buruk, kurang dari
5 % dari dosis yang di minum. Jumlah yang diabsorpsi juga tergantung pada
dosis yang diminum. Absorpsi juga akan terhambat bila bisfosfonat diberikan
bersama-sama dengan kalsium, kation divalent lainnya dan berbagai minuman
lain kecuali air.
Sekitar 20-50 % bisfosfonat yang diabsorpsi, akan melekat pada
permukaan tulang setelah 12-24 jam. Setelah berikatan dengan tulang dan
beraksi terhadap osteoklas, bisfosfonat akan tetap berada didalam tulang
selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, tetapi tidak aktif lagi.
Bisfosfonat yang tidak melekat pada tulang, tidak akan mengalami
metabolism didalam tubuh dan akan diekskresikan dalam bentuk utuh melalui
ginjal, sehingga pemberiannya pada pasien gagal ginjal harus berhati-hati.
Beberapa preparat bisofasfonat
Etidronat
Untuk terapi osteoporosis, etidronat dapat diberikan dengan dosis 400 mg/hari
selama 2 minggu, dilanjutkan dengan suplementasi kalsium 500 mg/hari se-
25
lama 76 hari. Siklus ini diulang tiap 3 bulan. Pemberian secara siklik bertujuan
untuk mengatasi gangguan mineralisasi akibat pemberian etidronat jangka
panjang terus menerus.
Klodronat
Klodronat dapat diberikan dengan dosis 400 mg/hari selama 1 bulan dilan-
jutkan dengan suplementasi kalsium selama 2 bulan. Siklus ini dapat diulang
setiap 3 bulan. Pemberian klodronat jangka panjang terus menerus juga akan
mengganggu mineralisasi tulang.
Pamidronat
Biasanya diberikan melalui infuse intravena.
Alendronat
Merupakan aminobisfosfonat yang sangat poten. Dapat diberikan dengan
dosis 10 mg/hari setiap hari secara kontinyu, karena tidak menganggu
mineralisasi tulang.
Risedronat
Merupakan bisfosfonat generasi ketiga yang poten, untuk terapi osteoporosis
diperlukan dosis 5 mg/hari secara kontinu.
Asam Zoledronat
Merupakan bisfosfonat terkuat yang saat ini ada. Sediaan yang ada adalah se-
diaan intravena yang harus diberikan per drip selama 15 menit untuk dosis 4
mg. Untuk pengobatan osteoporosis cukup diberikan dosis 4 mg per tahun.
(Favus, 2010).
f. Kalsitonin
Kalsitonin adalah suatu peptide yang terdiri dari 32 asam amino, yang
dihasilkan oleh sel C kelenjar tiroid dan berfungsi menghambat resorpsi tulang
oleh osteoklas.Sekresi kalsitonin secara akut diatur oleh kadar kalsium dalam
darah dan secara kronik dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin. Kadar
kalsitonin wanita lebih rendah daripada pria. Kalsitonin juga akan
meningkatkan ekskresi kalsium dan fosfat di ginjal, sehingga akan
menimbulkan hipokalsemia dan hipofosfatemia.
26
Dosis yang dianjurkan untuk pemberian intra nasal adalah 200 U per hari.
Kadar puncak di dalam plasma akan tercapai dalam waktu 20-30 menit, dan
akan dimetabolisme dengan cepat di ginjal. Pada sekitar separuh pasien yang
mendapatkan kalsitonin lebih dari 6 bulan, ternyata terbentuk antibody yang
akan mengurangi efektivitas kalsitonin (Rosen, 2005).
g. Natrium Fluorida
Natrium fluoride merupakan stimulator tulang yang sampai sekarang
belum disetujiui oleh FDA tapi tetap digunakan di beberapa megara. Saat ini
tersedia 2 preparat, yaitu natrium fluoride (NaF) dalam bentuk tablet salut
yang bersifat lepas lambat, dan tablet monofluorofosfat (MFP).
Fluorida merupakan mitogenik terhadap osteoblas yang aksinya
membutuhkan ketersediaan faktor pertumbuhan. Berbeda dengan efek anti
resorptif yang sangat lambat, pemberian fluoride akan meningkatkan massa
tulang spinal secara dramatic dan linier rata-rata 9% per tahun selama 4 tahun.
Walau demikian, ternyata pemberian fluoride akan menyebabkan penurunan
densitas pada tulang kortikal sehingga meningkatkan risiko fraktur tulang
perifer. Risiko ini dapat dikurangi dengan pemberian fluoride secara siklik
(ada massa bebas fluoride) atau dengan mengkombinasikannya dengan
kalsium dan vitamin D.
Dosis NaF di bawah 30-40 mg/hari ternyata tidak memberikan efek
terapetik yang nyata, tetapi dosis di atas 75-80 mg/ hari akan menyebabkan
kelainan tulang.
Efek samping lain selain peningkatan risiko fraktur perifer adalah iritasi
lambung dan arthralgia yang mungkin berhubungan dengan mikrofraktur atau
remodeling tulang yang terlalu cepat. Untuk mengatasi iritasi lambung, dapat
digunakan tablet salut NaF atau preparat MFP.
h. Hormon Paratiroid
Hormon paratiroid berfungsi untuk mempertahankan kadar kalsium di
dalam cairan ekstraselular dengan cara merangsang sintesis 1,25 (OH)2D di
ginjal, sehingga absorbs kalsium di usus meningkat. Selain itu juga
merangsang formasi tulang.
27
h. Vitamin D
Pada penelitian didapatkan suplementasi 500 IU kalsiferol dan 500 mg
kalsium peroral selama 18 bulan ternyata mampu menurunkan fraktur
nonspiral sampai 50% (Dawson-Hughjes, 1997). Vitamin D diindikasikan
pada orang-orang tua yang tinggal di Panti Werda yang kurang terpapar sinar
matahari, tetapi tidak diindikasikan pada populasi Asia yang banyak terpapar
sinar matahari.
i. Kalsitriol
Penelitian Galagher (2001) mendapatkan bahwa pemberian kalsitriool 0,25
mg, 2 kali perhari selama ternyata meningkatkan BMD pada daerah lumbal
hanya 1,7%, dan tidak diindikasikan sebagai pilihan pertama pengobatan
osteoporosis pasca menopause. Kalsitriol diindikasikan bila terdapat
hipokalsemia yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pemberian kalsium
peroral. Kalsitriol juga diindikasikan untuk mencegah hiperparatiroidisme
sekumder, baik akibat hipokalsemia, maupun akibat gagal ginjal terminal.
j. Kalsium
Preparat kalsium yang terbaik adalah kalsium karbonat, karena
mengandung kalsium elemen 400 mg/gram, disusul kalsium fosfat yang
mengandung kalsium elemen 230 mg/ gram, kalsium sitrat yang mengandung
kalsium elemen 211 mg/ gram, kalsium laktat yang mengandung kalsium
elemen 130 mg/ gram dan kalsium glukonat yang mengandung kalsium
elemen 90 mg/ gram.
k. Fitoestrogen
Fitoestrogen adalah fitokimia yang memiliki aktivitas estrogenic. Ada
banyak senyawa fitoestrogen, tetapi yang telah diteliti adalah isoflavon dan
lignans. Isoflavon yang berefek estrogenic antara lain genistein, daidzein dan
gliklosidanya yang banyak ditemukan pada golongan kacang-kacangan
(Leguminosae) seperti soy bean dan red clover. Sampai saat ini belum ada
bukti dari clinical trial bahwa fitoestrogen dapat mencegah maupun mengobati
osteoporosis (Alekel, 2000; Potter 1998).
28
l. Terapi Kombinasi
Kombinasi antara 2 antiresorptif atau antiresorptif dan stimulator tulang,
ternyata memberikan hasil yang menjanjikan. Tujuan terapi kombinasi adalah
untuk mendapatkan efek maksimal 2 macam obat yang berbeda
mekanismenya dan mendapatkan efek ekstraskeletal khusus dari masing-
masing obat tersebut.
Kombinasi etidronat dengan estrogen memberikan hasil yang baik, baik
pada wanita yang baru mengalami menopause, maupun pada wanita dengan
osteoporosis pasca menopause. Pada wanita yang baru mengalami menopause,
pemberian kombinasi estrogen dan etidronat selama 4 tahun ternyata dapat
meningkatkna BMD pada daerah lumbal sebesar 10,9% sedangkan pada
daerah leher femur 7,25%.
Kombinasi estrogen dan risedronat juga menunjukkan hasil yang sangat
baik, dimana penelitian 1 tahun kombinasi tersebut menunjukkan peningkatan
BMD lumbal sebesar 5,2% dan daerah leher femur sebesar 2,6%, sedangkan
pasien yang hanya mendapatkan estrogen menunjukkan peningkatan BMD
lumbal hanya 4,8% dan BMD leher femur hanya 1,8%.
Kombinasi alendronate dan raloksifen juga telah diteliti selama 1 tahun
pada 330 pasien osteoporosis pasca menopause. Peningkatan BMD lumbal
pada kelompok alendronate sendiri adalah 2%, raloksifen sendiri 4,3% dan
kombinasi mencapai 5,2%.
Kombinasi PTH dengan estrogen atau kalsitonin, atau bisfosfonat atau
SERM juga menunjukkan hasil yang sangat baik.
Dari penelitian-penelitian ini, ternyata kombinasi obat-obat osteoporosis
ternyata memberikan hasil yang cukup baik dibandingkan pemberian obat-
obat tersebut secara tersendiri (Rosen, 2005).
m. Pembedahan
Pembedahan pada pasien osteoporosis dilakukan bila terjadi fraktur,
terutama fraktur panggul. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan pada
terapi bedah pasien osteoporosis adalah :
29
- Pasien osteoporosis usia lanjut dengan fraktur, sebaikknya segera dilakukan
sehingga dapat dihindari imobilisasi lama dan komplikasi fraktur.
- Tujuan terapi bedah adalah untuk mendapatkan fiksasi yang stabil, sehingga
mobilisasi pasien dapat dilakukan sedini mungkin.
- Asupan kalsium tetap harus diperhatikan, agar mineralisasi kalus sempurna.
- Pengobatan medikamentosa osteoporosis dengan bifosfonat, atau raloksifen,
atau terapi pengganti hormonal, maupun kalsitonin, tetap harus diberikan.
Evaluasi Hasil Pengobatan
Evaluasi hasil pengobatan dapat dilakukan dengan mengulang
pemeriksaan densitometry setelah 1-2 tahun pengobatan dan dinilai
peningkatan densitasnya. Bila dalam waktu 1 tahun tidak terjadi peningkatan
maupun penurunan densitas massa tulang, maka pengobatan sudah dianggap
berhasil, karena resorpsi tulang sudah dapat ditekan.
Selain mengulang pemeriksaan densitas massa tulang, maka pemeriksaan
petanda biokimia tulang juga dapat digunakan untuk evaluasi pengobatan.
Penggunaan petanda biokimia tulang, dapat menilai hasil terapi lebih cepat
yaitu dalam waktu 3-4 bulan setelah pengobatan. Yang dinilai adalah
penurunan kadar berbagai petanda resorpsi dan formasi tulang (Setiyohadi,
2007).
30
DAFTAR PUSTAKA
Carter, Michael. 2005. Anatomi dan Fisiologi Tulang dan Sendi. Dalam:
Patofosiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6. Jakarta: EGC
Favus, Murray. J. 2010. Bisphosphonates for Osteoporosis. In: N Engl J Med
2010; 363:2027-2035. http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMct1004903
( 16 Januari 2012)
Jilka, Robert. 1995. Bone Marrow, Cytokines, and Bone Remodeling: Emerging
Insights into the Pathophysiology of Osteoporosis. In: N Engl J Med 1995;
332:305-311. http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM199502023320506
(16 Januari 2012).
Junqueira. 2007. Histologi Dasar: Teks dan Atlas. Edisi 10. Jakarta: EGC
Hortono M., 2000. Mencegah dan Mengatasi Osteoporosis. Jakarta: Puspa Swara
Kaniawati, M., Moeliandari, F, 2003, Penanda Biokimia untuk
Osteoporosis.Forum Diagnosticum Prodia Diagnostics Educational Services.
Raisz, Lawrence G (1). 2005. Screening for Osteoporosis. In: N Engl J Med 2005;
353:164-171. http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMcp042092 ( 16
Januari 2012)
Raisz, Lawrence G (2). 2005. Pathogenesis of osteoporosis: concepts, conflicts,
and prospects. In: Journal Clinical Investigation 2005;115(12):3318–3325.
http://www.jci.org/articles/view/27071. (16 Januari 2012)
Rosen, Clifford. 2005. Postmenopausal Osteoporosis. In: N Engl J Med 2005;
353:595-603. http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMcp043801 ( 16
Januari 2012)
Setiyohadi, Bambang (1). 2007. Osteoporosis. dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Jilid II Edisi IV. Jakarta: Departmen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Setiyohadi, Bambang (2). 2007. Struktur dan Metabolisme Tulang. dalam: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II Edisi IV. Jakarta: Departmen Ilmu
Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
31