PERCOBAAN 8
VIABILITAS SEL BAKTERI PADA FOTODINAMIK INAKTIVASI DENGAN SUMBER CAHAYA LED
A. TUJUAN
Menjelaskan mekanisme kerja fotodinamik inaktivasi bakteri, cara kerja instrument
LED untuk aplikasi fotodinamik dan potensi penyinaran LED biru-merah untuk foto
inaktivasi bakteri serta menghitung viabilitas sel bakteri akibat efek foto dinamik
dengan sumber cahaya LED.
B. ALAT DAN BAHAN
- Instrument sumber cahaya LED
- Isolate bakteri
- Bahan dan media untuk isolasi dan kultur bakteri
- Peralatan untuk sterilisasi dan inkubasi bakteri
C. DASAR TEORI
Bakteri Staphylococcus aureus hidup secara komensal pada kulit, saluran
hidung atau tenggorokan manusia. Pada kondisi abnormal, bakteri ini dapat
menyebabkan sejumlah penyakit dari penyakit kulit ringan seperti infeksi kulit, acne
vulgaris, cellulitis folliculitis sampai penyakit berat seperti pneumonia, meningitis,
osteomyelitis endocarditis, toxic shock syndrome, dan septicemia (Jawetz et al.,
2000). Infeksi Staphylococcus aureus dapat juga disebabkan oleh kontaminasi
langsung pada luka, misalnya pada infeksi luka pasca bedah atau infeksi setelah
trauma (Jawetz et al., 2000).
Secara alamiah beberapa bakteri mengakumulasi senyawa porfirin sebagai
molekul fotosensitiser yang bersifat peka terhadap cahaya. Penelitian Penelitian
Papageorgiou (2000) menunjukkan penyinaran cahaya dengan spektrum panjang
gelombang sesuai spektrum serap porfirin fotosensitiser dan dosis energi penyinaran
yang tepat menyebabkan fotoinaktivasi sel bakteri. Mekanisme fotoinaktivasi
melibatkan proses fotosensitisasi, yaitu proses penyerapan cahaya oleh porfirin
bakteri yang mengaktivasi terjadinya reaksi kimia menghasilkan berbagai spesies
oksigen reaktif
(Grossweiner, 2005). Fotosensitisasi bergantung pada jenis dan kuantitas porfirin
(Nitzan et al., 2004) dan kesesuaian spektrum cahaya dengan spektrum serap
fotosensitiser (Papageorgiou et al., 2000).
Fotoinaktivasi adalah penghambatan aktivitas metabolisme sel karena
kerusakan membran sitoplasmik akibat peroksidasi oleh oksigen reaktif pada lipid dan
protein mengakibatkan lisis sel atau inaktivasi sistem transport membran dan sistem
enzim transport membran pada sel bakteri tersebut (Hamblin & Hasan, 2003). Hasil
penelitian Nitzan & ashkenazi (2001) juga melaporkan adanya gangguan sintesis
dinding sel pada fotoinaktivasi bakteri serta munculnya struktur multilamelar di dekat
septum pemisah sel seiring hilangnya ion-ion kalium dari sel bakteri Gram negatif.
Maclean et al. (2008) melaporkan peran oksigen pada fotoinaktivasi Staphylococcus
aureus. Setiap bakteri mengakumulasi jenis porfirin yang spesifik (ramberg &
Johnsson, 2004). Sintesis porfirin bakteri terjadi pada sitoplasma dengan prekursor
alami asam d-aminolevulinat (dALA) ( d-aminolevulinat (dALA) (Grossweiner,
2005) yang menghasilkan berbagai tipe porfirin yaitu, coproporfirin III, uroporfirin III
dan protoporfirin IX. Nitzan et al., 2004 melaporkan bahwa strain bakteri Gram
positif Staphylococci menghasilkan jenis coproporfirin III (68–75%). Grinholcet al.
(2008) melaporkan peran konsentrasi porfirin pada fotoinaktivasi bakteri
Staphylococcus aureus resisten methicillin (40 MRSA) dan sensitif methicillin (40
MSSA) dengan penambahan eksogen fotosensitiser ALA dan protoporfirin IX dengan
penyinaran lampu biostimul 624 nm dosis 0,2 J/cm2 tiap menit. Lipovsky et al. (2009)
meneliti fotoinaktivasi pada strain 101 (sensitif methicilin) dan strain 500 (resisten
methicillin) dengan lampu halogen 400–800 nm dosis energi 18–180 J/cm2 dengan
intensitas 300 mW/cm2 dan waktu penyinaran 1, 5, dan 10 menit.
LED (Light Emitting Diode)
LED adalah suatu semikonduktor yang memancarkan cahaya monokromatik
yang tidak koheren ketika diberi tegangan maju. Sebuah LED adalah sejenis diode
semikonduktor istimewa. Seperti sebuah diode normal, LED terdiri dari sebuah chip
bahan semikonduktor yang diisi penuh, atau di-dop, dengan ketidakmurnian untuk
menciptakan sebuah struktur yang disebut p-n junction. Pembawa-muatan - elektron
dan lubang mengalir ke junction dari elektrode dengan voltase berbeda. Ketika
elektron bertemu dengan lubang, dia jatuh ke tingkat energi yang lebih rendah, dan
melepas energi dalam bentuk photon.
Pada dasarnya LED itu merupakan komponen elektronika yang terbuat dari
bahan semi konduktor jenis dioda yang mampu memencarkan cahaya. LED
merupakan produk temuan lain setelah dioda. Strukturnya juga sama dengan dioda,
tetapi belakangan ditemukan bahwa elektron yang menerjang sambungan P-N. Untuk
mendapatkna emisi cahaya pada semikonduktor, doping yang pakai adalah galium,
arsenic dan phosporus. Jenis doping yang berbeda menghasilkan warna cahaya yang
berbeda pula. Keunggulannya antara lain konsumsi listrik rendah, tersedia dalam
berbagai warna, murah dan umur panjang.
Keunggulannya ini membuat LED digunakan secara luas sebagai lampu
indikator pada peralatan elektronik. Namun LED punya kelemahan, yaitu intensitas
cahaya (Lumen) yang dihasilkannya termasuk kecil. Kelemahan ini membatasi LED
untuk digunakan sebagai lampu penerangan. Namun beberapa tahun belakangan LED
mulai dilirik untuk keperluan penerangan, terutama untuk rumah-rumah di kawasan
terpencil yang menggunakan listrik dari energi terbarukan (surya, angin, hidropower,
dll). Alasannya sederhana, konsumsi listrik LED yang kecil sesuai dengan
kemampuan sistem pembangkit energi terbarukan yang juga kecil.
Panjang gelombang dari cahaya yang dipancarkan, dan oleh karena itu
warnanya, tergantung dari selisih pita energi dari bahan yang membentuk p-n
junction. Sebuah diode normal, biasanya terbuat dari silikon atau germanium,
memancarkan cahaya tampak inframerah dekat, tetapi bahan yang digunakan untuk
sebuah LED memiliki selisih pita energi antara cahaya inframerah dekat, tampak, dan
ultraungu dekat. LED biru pertama yang dapat mencapai keterangan komersial
menggunakan substrat galium nitrida yang ditemukan oleh Shuji Nakamura tahun
1993 sewaktu berkarir di Nichia Corporation di Jepang. LED ini kemudian populer di
penghujung tahun 90-an. LED biru ini dapat dikombinasikan ke LED merah dan hijau
yang telah ada sebelumnya untuk menciptakan cahaya putih.
LED dengan cahaya putih sekarang ini mayoritas dibuat dengan cara melapisi
substrat galium nitrida (GaN) dengan fosfor kuning. Karena warna kuning
merangsang penerima warna merah dan hijau di mata manusia, kombinasi antara
warna kuning dari fosfor dan warna biru dari substrat akan memberikan kesan warna
putih bagi mata manusia. LED putih juga dapat dibuat dengan cara melapisi fosfor
biru, merah dan hijau di substrat ultraviolet dekat yang lebih kurang sama dengan cara
kerja lampu fluoresen. Metode terbaru untuk menciptakan cahaya putih dari LED
adalah dengan tidak menggunakan fosfor sama sekali melainkan menggunakan
substrat seng selenida yang dapat memancarkan cahaya biru dari area aktif dan cahaya
kuning dari substrat itu sendiri.
Porfirin
Porfirin merupakan suatu senyawa organik yang banyak terdapat di alam.
Paling dikenal sebagai pigmen dalam sel darah merah. Porfirin merupakan senyawa
aromatik heterosiklik makrosiklik yang tersusun oleh empat cincin pirol dan
dihubungkan oleh empat jembatan metin interpirol. Struktur cincin tetrapirol pada
porfirin ditunjukkan oleh Gambar 2.1. Adanya jembatan metin akan menghasilkan
senyawa makrosiklik porfirin dengan ikatan rangkap yang terkonjugasi (Ongayi,
2005).
Nama porfirin berasal dari bahasa Yunani porphyra yang berarti ungu. Porfirin
merupakan senyawa aromatik makrosiklik spesifik (senyawa dengan gabungan cincin
aromatik), yang terdiri atas empat cincin pyrolle yang terikat pada jembatan metan
(=CH-) dan membentuk coupled system dari ikatan rangkap (termasuk di dalamnya
18π elektron yang terlokalisasi (4n + 2, dengan n = 4)) (Makarska & Radzki, 2002).
Cincin pyrolle membentuk bidang aromatik tertutup, yang berperan sebagai inti dari
senyawa porfirin. Cincin datar porfirin dapat mengalami deformasi bila terjadi
metalasi (masuknya ion logam menggantikan atom hidrogen pada kelompok imida
pyrolle (=NH-).
Porfirin memiliki karakteristik berupa kristal berwarna ungu tua yang dalam
kloroform akan memberikan larutan berwarna ungu kemerahan dan menunjukkan
fluoresensi merah yang kuat pada radiasi daerah ultraviolet. Porfirin merupakan
senyawa berbentuk planar, larut sempurna dalam pelarut organik dan tidak larut
dalam air (karena sifat hidrofobiknya). Spektrum sinar tampak porfirin sangat khas.
Pada sekitar 400 nm terdapat puncak yang kuat (ε ~ 200000) disebut puncak Soret
atau B, sedangkan di daerah 500-600 nm biasanya terdapat 4 pita yang berbeda, yang
disebut puncak Q seperti yang terdapat pada gambar 2.2 (Bonnett, 2000). Variasi
yang terjadi pada gugus samping dari cincin porfirin, pembentukan kompleks dengan
logam, dan perubahan pH akan mengakibatkan sedikit pergeseran pada intensitas dan
panjang gelombang absorpsi, yang umumnya hanya mempengaruhi puncak Q,
sedangkan apabila cincin porfirin rusak, akan mengakibatkan hilangnya puncak Soret.
Setiap sistem tetrapirol bersifat unik sehingga akan memiliki warna yang berbeda-
beda (Jiao, 2007).
Dari gambar diatas menunjukkan ringkasan biosintesis dari porfirin pada
bakteri (Hamblin & Hasan, 2003). 5-aminolevulinic acid (5-ALA) adalah prekursor
biosintetik dari semua porfirin alam (Grossweiner, 2005). Sintesis porfirin pada sel
bakteri dimulai dengan pembentukan asam 5-ALA secara endogen dengan
mereaksikan asam amino glycine dan succinyl-CoA dari lingkaran asam sitrat (Bruce
et al., 2009). Dua molekul ALA bergabung menjadi porfobilinogen (PBG) yang
mengandung cincin pyrrole. Empat PBG melalui deamilasi bergabung menjadi
hydroxymethyl bilane (HMB), yang selanjutnya dihidrolisis menjadi circular
tetrapyrrole uroporfirinogen III. Coproporfirin III dengan rumus kimia C36H38N4O8
adalah produk akhir tetrapyrrole dari oksidasi spontan jembatan metilena
coproporfirinogen. Molekul ini mengalami modifikasi lebih lanjut sehingga
dihasilkan protoporfirin IX dengan rumus kimia C34H34N4O4 (HMD, 2008). Hasil
akhir protoporfirin IX dikombinasi dengan besi membentuk heme.
Porfirin fotosensitiser bersifat peka terhadap cahaya. Kepekaan terhadap cahaya ini
terutama berkaitan dengan panjang gelombang cahaya yang dipaparkan. Kebanyakan
porfirin memiliki serapan pada daerah sinar tampak (400 – 700 nm). Gambar 2.7
menunjukkan spektrum serap dari porfirin tipe coproporfirin III dan coproporfirin IX.
Spektrum porfirin terdiri atas 2 pita terpisah, muncul pada daerah ultraviolet
dekat dan daerah cahaya tampak, yang menyebabkan porfirin kaya warna. Spektrum
porfirin terbentuk dari transisi π – π* (teori Gouterman) (Makarska & Radzki, 2002),
yang menunjukkan bahwa cincin porfirin merupakan sistem terkopel yang mengikuti
hukum aromatik Hückel 4n + 2, sehingga cincin porfirin dikatakan sebagai senyawa
16 polyene siklik pembawa 18π elektron. Pada kasus ini, keadaan dasar makrosiklik
berhubungan dengan orbital lengkap dengan μ = 0, ± 1, ..... , ± 4, sedangkan orbital
eksitasi terendah dihubungkan dengan transisi dari μ = ± 4 menuju μ = ± 5.
Interaksi Cahaya dengan Porfirin
Proses Photofisika
Saat penyinaran cahaya terjadi absorpsi satu foton cahaya oleh molekul
porphyrin. Peristiwa absorpsi primer berlangsung sangat cepat (berlangsung sekitar
10015 s) diikuti dengan eksitasi molekul pada tingkat energy yang lebih tinggi.
Selama transisi elektronik satu dari electron dieksitasikan dari keadaan dasar dengan
energy rendah selanjutnya menempati orbital dengan energy yang lebih tinggi,
sehingga electron memiliki perbedaan energy dari 2 keadaan elektronik molekul
absorbsi, yaitu :
ΔEn = En – E0 = NAhv = (N_A hc)/λ
dengan
h = konstanta Planck = 6,626 x 10-34 J.S
v = frekuensi,
c = kecepatan cahaya dalam ruang hampa = 3 x 108 ms-1
Na = Bilangan Avogadro = 6,023 x 1023 mot-1
Electron tiap orbital dikarakterisasikan oleh spin yang direpresentasikan oleh satu
daru dua nilai diskrit s=1/2 dans=-1/2. Total bilangan kuantum spin dari orbital
didefinisikan sebagai jumlah dari spin elektronik S. keadaan elektronik kebanyakan
molekul organic berada pada keadaan singlet dimana semua electron dalam molekul
adalah spin berpasangan, dan triplet dimana satu set dari spin electron tidak
berpasangan.
Absorpsi radiasi oleh molekul akan mengeksitasi molekul tersebut dari level
vibrasional dalam keadaan dasar singlet elektronik S0 ke salah satu level vibrasional
dalam keadaan eksitasi elektronik. Eksitasi molekul menuju keadaan energy yang
lebih tinggi harus kembali ke keadaan dasar meskipun terlibat pada reaksi kimia atau
berubah bentuk. Pada molekul polyatomic (seperti porphyrin) ada beberapa jalur bagi
molekul tereksitasi untuk mengeluarkan energy eksitasi. Jalur yang berbeda ini
dikelompokkan pada proses photofisika molekul tereksitasi elektronik, yang dikenal
sebagai diagram Jablonski.
Selain proses fluoresensi, kelebihan energy dikeluarkan dalam bentuk panas
dan radiationless transfer, yaitu internal conversion, transisi menuju tingkat vibrasi
yang tinggi pada S0 dan intersystem crossing, yaitu transisi menuju keadaan triplet.
Keadaan triplet Tn memiliki energy elektronik yang lebih rendah daripada keadaan
singlet eksitasi yang berhubungan Sn. Probabilitas terjadinya intersystem crossing
meningkat jika level vibrasi dari dua keadaan ini overlap, misalnya level vibrasional
singlet terendah dapat overlap dengan satu dari level vibrasional lebih tinggi dari
keadaan triplet (Juzenas, 2002). Sebuah molekul dalam level vibrasional tinggi dari
keadaan eksitasi triplet dapat kehilangan energy pada saat bertumbukan dengan
molekul lain, meninggalkannya pada level vibrasional paling rendah dari keadaan
triplet. Kemudian molekul tersebut dapat mengalami intersystem crossing kedua pada
level vibrasional tinggi dari keadaan dasar elektronik S. Akhirnya molekul kembali ke
level vibrasional paling rendah dari keadaan dasar elektronik S0 oleh relaksasi vibrasi.
Karena transisi T1 menuju S0 terlarang, maka keadaan trplet memiliki lifetime yang
lebih lama. Karena memiliki energy yang lebih, maka terjadi reaksi biokimia pada
phtosensitizaer.
Proses Photokimia
Photokimia merupakan perubahan kimia yang disebabkan oleh cahaya (Coyle,
1991), yaitu radiasi elektromagnetik (EM) pada range Ultraviolet (UV) dan visible.
Perubahan kimia hanya terjadi jika cahaa diarbsorpsi oleh system (rohatgi, 1978).
Perubahan kimia merupakan peristiwa yang muncul pada tingkatan molekuler akibat
absorpsi oleh fotom, meskipun foton tidak berperan dalam keseluruhan perubahan
kimia. Proses photokimia memiliki kaitan erat dengan proses photofisika, yang
berperan dalam perubahan energy dan struktur elektronik akibat eksitasi molekul
setelah peristiwa absorpsi. Mekanisme photokimia dibagi menjadi dua :
- tipe 1 , molekul photosensitive pertama yang tereksitasi bereaksi dengan
komponen mayor system lain selanjutnya bereaksi dengan molekul
oksigen photosensitizer yang tereksitasi S* mengoksidasi atau mereduksi
molekul subtract ®. Subtract tereduksi (Rred) dan photosensitiser
tereduksi (S-) dapat berubah menjadi superoksida (O2-) melalui reaksi
dengan molekul oksigen yang selanjutnya menyebabkan kerusakan
biomolekul tetangganya.
- tipe 2 , photosensitiser pada keadaan tereksitasi (S*) mentransfer energy
ke molekul oksigen, menjadi oksigen singlet (O*2) yang kemudian
bereaksi dengan molekul subtract (R), menghasilkan produk R’. oksigen
singlet tereksitasi (O*2) dihasilkan dari photosensitizer dengan energy gap
antara keadaan triplet dasar dan eksitasi yang lebih besar daripada energy
EΔ yang diperlukan untuk eksitasi oksigen ke keadaan singlet tereksitasi.
Proses Photobiologi
Efek cahaya tampak pada organism telah banyak diinvestigasi pada tingkat
kompleksitas yang berbeda – beda. Produk photokimia berupa radical oxygen singlet
(ROS) adalah agen pengoksidasi yang dapat secara langsung bereaksi dengan banyak
molekul biologi. Residu asam amino dalam protein adalah target yang penting seperti
cysteine, methionine, tyrosine, histidine, dan tryptophan (Grune et al., 2001). Oksigen
singlet (1O2) adalah elektrophilic dan bereaksi dengan molekul yang kaya electron
menyebabkan kerusakan membrane akibat peroksidasi membrane lipid,
mengakibatkan kebocoran isi dan kandungan pada sel serta menginaktivasi system
transport membrane dan enzim – enzim, gangguan sintesis dinding sel dan munculnya
struktur multilamelar disisi sekat sel – sel yang membelah, seiring dengan bocornya
ion – on potassium dari dalam sel (Demidova and Hamblin, 2005).
D. DATA HASIL PENGAMATAN
Cawan Ke - KontrolPerlakuan (menit)
5 Menit 10 Menit 15 Menit1 81 34 73 752 87 97 75 783 83 66 27 65
Jumlah 251 197 175 218Rata – rata 83.67 65.67 58 72.67
E. ANALISIS DATA
Dari data yang didapatkan, maka dapat dianalisis dengan perhitungan sebagai
berikut :
5 Menit
% penurunan jumlah koloni bakteri
= |∑ Perlakuan−∑ kontrol
∑ kontrol | x100%
= |65.75 –83.6783.67 | x100% = 21.4 %
10 Menit
% penurunan jumlah koloni bakteri
= |∑ Perlakuan−∑ kontrol
∑ kontrol | x 100%
= |58 –83.6783.67 | x100% = 30.68 %
15 Menit
% penurunan jumlah koloni bakteri
= |∑ Perlakuan−∑ kontrol
∑ kontrol | x 100%
= |72.67 –83.6783.67 | x100% = 13.15 %
F. PEMBAHASAN
Staphylococcus aureus (S. aureus) adalah bakteri gram positif yang
menghasilkan pigmen kuning, bersifat aerob fakultatif, tidak menghasilkan spora dan
tidak motil, umumnya tumbuh berpasangan maupun berkelompok, dengan diameter
sekitar 0,8-1,0 µm. S. aureus tumbuh dengan optimum pada suhu 37oC dengan waktu
pembelahan 0,47 jam. S. aureus merupakan mikroflora normal manusia. Bakteri ini
biasanya terdapat pada saluran pernapasan atas dan kulit. Keberadaan S. aureus pada
saluran pernapasan atas dan kulit pada individu jarang menyebabkan penyakit,
individu sehat biasanya hanya berperan sebagai karier. Infeksi serius akan terjadi
ketika resistensi inang melemah karena adanya perubahan hormone, adanya penyakit,
luka, atau perlakuan menggunakan steroid atau obat lain yang memengaruhi imunitas
sehingga terjadi pelemahan inang.
Infeksi S. aureus diasosiasikan dengan beberapa kondisi patologi, diantaranya
bisul, jerawat, pneumonia, meningitis, dan arthritits. Sebagian besar penyakit yang
disebabkan oleh bakteri ini memproduksi nanah, oleh karena itu bakteri ini disebut
piogenik. S. aureus juga menghasilkan katalase, yaitu enzim yang mengkonversi
H2O2 menjadi H2O dan O2, dan koagulase, enzim yang menyebabkan fibrin
berkoagulasi dan menggumpal. Koagulase diasosiasikan dengan patogenitas karena
penggumpalan fibrin yang disebabkan oleh enzim ini terakumulasi di sekitar bakteri
sehingga agen pelindung inang kesulitan mencapai bakteri dan fagositosis terhambat.
S. aureus termasuk bakteri osmotoleran, yaitu bakteri yang dapat hidup di lingkungan
dengan rentang konsentrasi zat terlarut (contohnya garam) yang luas, dan dapat hidup
pada konsentrasi NaCl sekitar 3 Molar. Habitat alami S aureus pada manusia adalah di
daerah kulit, hidung, mulut, dan usus besar, di mana pada keadaan sistem imun
normal, S. aureus tidak bersifat patogen (mikroflora normal manusia).
Sampel percobaan adalah bakteri Staphylococcus aureus ATCC 6538P dengan
media Nutrient Broth (Pronadisa CAT 1216), Staphylococcus Agar (Pronadisa CAT
1032), dan 0,1 M Phosphate Buffer Saline (PBS) pH 6,5. Peralatan yang diperlukan
adalah seperangkat peralatan LED untuk penyinaran, peralatan sterilisasi, kultur dan
penghitungan bakteri (otoklaf, laminar, shaker inkubator, spektroskopi UV-Vis,
fluoresense dan Quebec Colony Counter).
Pertumbuhan bakteri
Bakteri ditumbuhkan pada media Staphylococcus Agar steril selama 18 jam,
kemudian dipindahkan ke media Nutrien broth steril 50 ml dengan kerapatan (OD)
0,20–0,250 pada 660 nm, ditumbuhkan pada shaker inkubator temperatur 37° C
selama 3 jam dengan OD 0,40–0,45 pada 660 nm. 10 ml suspensi diencerkan 50 kali
10 ml suspensi diencerkan 50 kali dengan 0,1 M PBS pH 6,5 steril. 2 ml suspensi
bakteri . 2 ml suspensi bakteri dimasukkan pada cawan plastik steril diameter 3,5 cm
untuk penyinaran. Metode eksperimen menggunakan rancangan acak lengkap pola
faktorial (Kusriningrum, 2008), terdiri atas faktor A (daya penyinaran) 4 taraf (28, 57,
75 dan 96) mW dan faktor B (lama waktu penyinaran) 5 taraf (10, 20, 30, 40 dan 50)
menit. Tiap perlakuan disertai kelompok kontrol. Jadi terdapat 20 kelompok
perlakuan dengan pengulangan 3 kali.
Peralatan Penyinaran
Peralatan penyinaran adalah instrumen sumber cahaya LED biru biru super
bright produk lokal dengan arus maximum super bright produk lokal dengan arus
maximum super bright produk lokal dengan arus maximum 30 mA dan tegangan 5 V,
berdimensi 20 × 20 cm yang terdiri dari 20 × 18 LED, dengan puncak emisi (429,8 ±
3,7) nm (Wavelength Meter SR 530 Stanford Research System Inc.) dan bandwidth
65 nm.
Penyinaran Bakteri dengan LED
Cawan petri yang berisi bakteri diletakkan pada holder di dalam kotak acrylic
diatas platform motor servo. Penyinaran LED biru (429,8 ± 3,7) nm dilakukan pada
biru (429,8 ± 3,7) nm dilakukan pada (429,8 ± 3,7) nm dilakukan pada berbagai daya
dan lama waktu penyinaran. Selanjutnya bakteri pada kelompok perlakuan dan
kontrol ditumbuhkan pada media Staphylococcus Agar dan disimpan dalam inkubator
temperatur 37°C selama 24 jam.
Penghitungan jumlah koloni bakteri
Sampel dikeluarkan dari inkubator dan dihitung jumlah koloni bakteri yang
tumbuh dengan metode pencawanan (Total Plate count) menggunakan Quebec
Colony Counter, dan dilakukan penghitungan jumlah prosentase penurunan jumlah
koloni bakteri yang tumbuh pada tiap perlakuan: ½(S koloni perlakuan - S koloni
kontrol)/Skoloni kontrol | × 100%.
Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa penurunan jumlah koloni paling
banyak ketika waktu pemaparan 10 menit, yaitu 30,68%. Sedangkan ketika lama
pemaparan 5 menit yaitu 21,4% dan pemaparan 15 menit yaitu 13,15%. Hasil
menunjukkan bahwa pemaparan sinar LED dapat menurunkan jumlah koloni bakteri
Staphylococcus aureus, walaupun hasilnya tidak terlalu besar. Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan sebelumnya. Dihasilkan bahwa dengan lama pemaparan 30
menit dan PWM 75% dapat menurunkan jumlah koloni bakteri Staphylococcus aureus
dengan emnggunakan LED biru sebesar 75%
LED biru sangat berpotensi berperan sebagai photodinamik inaktivasi karena
mampu menurunkan koloni bakteri tersebut. Sehingga perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut tentang dosis PWM optimal serta waktu pemaparan yang lebih optimal
juga dibandingkan dengan yang telah dilakukan ini. Selain itu juga perlu dilakukan
penelitian tentang potensi LED dengan spectrum lainnya yang lebih baik.
G. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil praktikum yang telah diperoleh baik perhitungan maupun data
pengamatan dapat ditarik kesimpulan bahwa pemaparan 10 menit memiliki prosentase
penurunan jumlah koloni bakteri Staphylococcus aureus paling tinggi dibandingkan
pemaparan 5 menit ataupun 15 menit. LED biru berpotensi sebagai photodinamik
inaktivasi bakteri Staphylococcus aureus.
Saran yang dapat diberikan pada praktikum ini adalah lebih banya diperlukan
ketelitian dan kecermatan untuk pengambilan sampel terutama pada saat membuat
sampel koloni bakteri dengan prosen yang rumit dan panjang. Apalagi pada praktikum
ini beberapa kali terjadi kegagalan dalam pengambilan data karena sampel tersebut
gagal.
H. DAFTAR PUSTAKA
Ama, Fadli.,dkk 2012. Pedoman Praktikum Biomekanika dan Biotransportasi.
FSAINTEK: Surabaya
Astuti, Suryani Dyah, dkk. 2011. POTENSI PHOTODINAMIK
INAKTIVASI Staphylococcus aureus DAN Vibrio cholera DENGAN ENDOGEN
PHOTOSENSITIZER PADA PENYINARAN LED BIRU (430±4) nm DAN
MERAH (629±6) nm. Surabaya: Berk. Penel. Hayati.
Puguh. 4 Maret 2011. LED (light Emitting Diode).
http://rasapas.wordpress.com/2011/03/04/8/
Medika, Kuanta. 7 April 2012. Porphyrin.
http://kuantamedika.blogspot.com/2012_04_01_archive.html
http://www.pasca.unair.ac.id/download/sites/pasca.unair.ac.id.graduates/
files/Ati%20Kristiani/download_form/2012/10/744/
vol_13_no_3_september_2011_pdf_10264.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29289/3/Chapter%20II.pdf
I. LAMPIRAN
Data Viabilitas
Top Related