PERCOBAAN 8

22
PERCOBAAN 8 VIABILITAS SEL BAKTERI PADA FOTODINAMIK INAKTIVASI DENGAN SUMBER CAHAYA LED A. TUJUAN Menjelaskan mekanisme kerja fotodinamik inaktivasi bakteri, cara kerja instrument LED untuk aplikasi fotodinamik dan potensi penyinaran LED biru-merah untuk foto inaktivasi bakteri serta menghitung viabilitas sel bakteri akibat efek foto dinamik dengan sumber cahaya LED. B. ALAT DAN BAHAN - Instrument sumber cahaya LED - Isolate bakteri - Bahan dan media untuk isolasi dan kultur bakteri - Peralatan untuk sterilisasi dan inkubasi bakteri C. DASAR TEORI Bakteri Staphylococcus aureus hidup secara komensal pada kulit, saluran hidung atau tenggorokan manusia. Pada kondisi abnormal, bakteri ini dapat menyebabkan sejumlah penyakit dari penyakit kulit ringan seperti infeksi kulit, acne vulgaris, cellulitis folliculitis sampai penyakit berat seperti pneumonia, meningitis, osteomyelitis endocarditis, toxic shock syndrome, dan septicemia (Jawetz et al., 2000). Infeksi Staphylococcus aureus dapat juga disebabkan oleh kontaminasi langsung

Transcript of PERCOBAAN 8

Page 1: PERCOBAAN 8

PERCOBAAN 8

VIABILITAS SEL BAKTERI PADA FOTODINAMIK INAKTIVASI DENGAN SUMBER CAHAYA LED

A. TUJUAN

Menjelaskan mekanisme kerja fotodinamik inaktivasi bakteri, cara kerja instrument

LED untuk aplikasi fotodinamik dan potensi penyinaran LED biru-merah untuk foto

inaktivasi bakteri serta menghitung viabilitas sel bakteri akibat efek foto dinamik

dengan sumber cahaya LED.

B. ALAT DAN BAHAN

- Instrument sumber cahaya LED

- Isolate bakteri

- Bahan dan media untuk isolasi dan kultur bakteri

- Peralatan untuk sterilisasi dan inkubasi bakteri

C. DASAR TEORI

Bakteri Staphylococcus aureus hidup secara komensal pada kulit, saluran

hidung atau tenggorokan manusia. Pada kondisi abnormal, bakteri ini dapat

menyebabkan sejumlah penyakit dari penyakit kulit ringan seperti infeksi kulit, acne

vulgaris, cellulitis folliculitis sampai penyakit berat seperti pneumonia, meningitis,

osteomyelitis endocarditis, toxic shock syndrome, dan septicemia (Jawetz et al.,

2000). Infeksi Staphylococcus aureus dapat juga disebabkan oleh kontaminasi

langsung pada luka, misalnya pada infeksi luka pasca bedah atau infeksi setelah

trauma (Jawetz et al., 2000).

Secara alamiah beberapa bakteri mengakumulasi senyawa porfirin sebagai

molekul fotosensitiser yang bersifat peka terhadap cahaya. Penelitian Penelitian

Papageorgiou (2000) menunjukkan penyinaran cahaya dengan spektrum panjang

gelombang sesuai spektrum serap porfirin fotosensitiser dan dosis energi penyinaran

yang tepat menyebabkan fotoinaktivasi sel bakteri. Mekanisme fotoinaktivasi

melibatkan proses fotosensitisasi, yaitu proses penyerapan cahaya oleh porfirin

bakteri yang mengaktivasi terjadinya reaksi kimia menghasilkan berbagai spesies

oksigen reaktif

Page 2: PERCOBAAN 8

(Grossweiner, 2005). Fotosensitisasi bergantung pada jenis dan kuantitas porfirin

(Nitzan et al., 2004) dan kesesuaian spektrum cahaya dengan spektrum serap

fotosensitiser (Papageorgiou et al., 2000).

Fotoinaktivasi adalah penghambatan aktivitas metabolisme sel karena

kerusakan membran sitoplasmik akibat peroksidasi oleh oksigen reaktif pada lipid dan

protein mengakibatkan lisis sel atau inaktivasi sistem transport membran dan sistem

enzim transport membran pada sel bakteri tersebut (Hamblin & Hasan, 2003). Hasil

penelitian Nitzan & ashkenazi (2001) juga melaporkan adanya gangguan sintesis

dinding sel pada fotoinaktivasi bakteri serta munculnya struktur multilamelar di dekat

septum pemisah sel seiring hilangnya ion-ion kalium dari sel bakteri Gram negatif.

Maclean et al. (2008) melaporkan peran oksigen pada fotoinaktivasi Staphylococcus

aureus. Setiap bakteri mengakumulasi jenis porfirin yang spesifik (ramberg &

Johnsson, 2004). Sintesis porfirin bakteri terjadi pada sitoplasma dengan prekursor

alami asam d-aminolevulinat (dALA) ( d-aminolevulinat (dALA) (Grossweiner,

2005) yang menghasilkan berbagai tipe porfirin yaitu, coproporfirin III, uroporfirin III

dan protoporfirin IX. Nitzan et al., 2004 melaporkan bahwa strain bakteri Gram

positif Staphylococci menghasilkan jenis coproporfirin III (68–75%). Grinholcet al.

(2008) melaporkan peran konsentrasi porfirin pada fotoinaktivasi bakteri

Staphylococcus aureus resisten methicillin (40 MRSA) dan sensitif methicillin (40

MSSA) dengan penambahan eksogen fotosensitiser ALA dan protoporfirin IX dengan

penyinaran lampu biostimul 624 nm dosis 0,2 J/cm2 tiap menit. Lipovsky et al. (2009)

meneliti fotoinaktivasi pada strain 101 (sensitif methicilin) dan strain 500 (resisten

methicillin) dengan lampu halogen 400–800 nm dosis energi 18–180 J/cm2 dengan

intensitas 300 mW/cm2 dan waktu penyinaran 1, 5, dan 10 menit.

LED (Light Emitting Diode)

LED adalah suatu semikonduktor yang memancarkan cahaya monokromatik

yang tidak koheren ketika diberi tegangan maju. Sebuah LED adalah sejenis diode

semikonduktor istimewa. Seperti sebuah diode normal, LED terdiri dari sebuah chip

bahan semikonduktor yang diisi penuh, atau di-dop, dengan ketidakmurnian untuk

menciptakan sebuah struktur yang disebut p-n junction. Pembawa-muatan - elektron

dan lubang mengalir ke junction dari elektrode dengan voltase berbeda. Ketika

elektron bertemu dengan lubang, dia jatuh ke tingkat energi yang lebih rendah, dan

melepas energi dalam bentuk photon.

Page 3: PERCOBAAN 8

Pada dasarnya LED itu merupakan komponen elektronika yang terbuat dari

bahan semi konduktor jenis dioda yang mampu memencarkan cahaya. LED

merupakan produk temuan lain setelah dioda. Strukturnya juga sama dengan dioda,

tetapi belakangan ditemukan bahwa elektron yang menerjang sambungan P-N. Untuk

mendapatkna emisi cahaya pada semikonduktor, doping yang pakai adalah galium,

arsenic dan phosporus. Jenis doping yang berbeda menghasilkan warna cahaya yang

berbeda pula. Keunggulannya antara lain konsumsi listrik rendah, tersedia dalam

berbagai warna, murah dan umur panjang.

Keunggulannya ini membuat LED digunakan secara luas sebagai lampu

indikator pada peralatan elektronik. Namun LED punya kelemahan, yaitu intensitas

Page 4: PERCOBAAN 8

cahaya (Lumen) yang dihasilkannya termasuk kecil. Kelemahan ini membatasi LED

untuk digunakan sebagai lampu penerangan. Namun beberapa tahun belakangan LED

mulai dilirik untuk keperluan penerangan, terutama untuk rumah-rumah di kawasan

terpencil yang menggunakan listrik dari energi terbarukan (surya, angin, hidropower,

dll). Alasannya sederhana, konsumsi listrik LED yang kecil sesuai dengan

kemampuan sistem pembangkit energi terbarukan yang juga kecil.

Panjang gelombang dari cahaya yang dipancarkan, dan oleh karena itu

warnanya, tergantung dari selisih pita energi dari bahan yang membentuk p-n

junction. Sebuah diode normal, biasanya terbuat dari silikon atau germanium,

memancarkan cahaya tampak inframerah dekat, tetapi bahan yang digunakan untuk

sebuah LED memiliki selisih pita energi antara cahaya inframerah dekat, tampak, dan

ultraungu dekat. LED biru pertama yang dapat mencapai keterangan komersial

menggunakan substrat galium nitrida yang ditemukan oleh Shuji Nakamura tahun

1993 sewaktu berkarir di Nichia Corporation di Jepang. LED ini kemudian populer di

penghujung tahun 90-an. LED biru ini dapat dikombinasikan ke LED merah dan hijau

yang telah ada sebelumnya untuk menciptakan cahaya putih.

LED dengan cahaya putih sekarang ini mayoritas dibuat dengan cara melapisi

substrat galium nitrida (GaN) dengan fosfor kuning. Karena warna kuning

merangsang penerima warna merah dan hijau di mata manusia, kombinasi antara

Page 5: PERCOBAAN 8

warna kuning dari fosfor dan warna biru dari substrat akan memberikan kesan warna

putih bagi mata manusia. LED putih juga dapat dibuat dengan cara melapisi fosfor

biru, merah dan hijau di substrat ultraviolet dekat yang lebih kurang sama dengan cara

kerja lampu fluoresen. Metode terbaru untuk menciptakan cahaya putih dari LED

adalah dengan tidak menggunakan fosfor sama sekali melainkan menggunakan

substrat seng selenida yang dapat memancarkan cahaya biru dari area aktif dan cahaya

kuning dari substrat itu sendiri.

Porfirin

Porfirin merupakan suatu senyawa organik yang banyak terdapat di alam.

Paling dikenal sebagai pigmen dalam sel darah merah. Porfirin merupakan senyawa

aromatik heterosiklik makrosiklik yang tersusun oleh empat cincin pirol dan

dihubungkan oleh empat jembatan metin interpirol. Struktur cincin tetrapirol pada

porfirin ditunjukkan oleh Gambar 2.1. Adanya jembatan metin akan menghasilkan

senyawa makrosiklik porfirin dengan ikatan rangkap yang terkonjugasi (Ongayi,

2005).

Nama porfirin berasal dari bahasa Yunani porphyra yang berarti ungu. Porfirin

merupakan senyawa aromatik makrosiklik spesifik (senyawa dengan gabungan cincin

aromatik), yang terdiri atas empat cincin pyrolle yang terikat pada jembatan metan

(=CH-) dan membentuk coupled system dari ikatan rangkap (termasuk di dalamnya

18π elektron yang terlokalisasi (4n + 2, dengan n = 4)) (Makarska & Radzki, 2002).

Cincin pyrolle membentuk bidang aromatik tertutup, yang berperan sebagai inti dari

senyawa porfirin. Cincin datar porfirin dapat mengalami deformasi bila terjadi

metalasi (masuknya ion logam menggantikan atom hidrogen pada kelompok imida

pyrolle (=NH-).

Porfirin memiliki karakteristik berupa kristal berwarna ungu tua yang dalam

kloroform akan memberikan larutan berwarna ungu kemerahan dan menunjukkan

fluoresensi merah yang kuat pada radiasi daerah ultraviolet. Porfirin merupakan

senyawa berbentuk planar, larut sempurna dalam pelarut organik dan tidak larut

Page 6: PERCOBAAN 8

dalam air (karena sifat hidrofobiknya). Spektrum sinar tampak porfirin sangat khas.

Pada sekitar 400 nm terdapat puncak yang kuat (ε ~ 200000) disebut puncak Soret

atau B, sedangkan di daerah 500-600 nm biasanya terdapat 4 pita yang berbeda, yang

disebut puncak Q seperti yang terdapat pada gambar 2.2 (Bonnett, 2000). Variasi

yang terjadi pada gugus samping dari cincin porfirin, pembentukan kompleks dengan

logam, dan perubahan pH akan mengakibatkan sedikit pergeseran pada intensitas dan

panjang gelombang absorpsi, yang umumnya hanya mempengaruhi puncak Q,

sedangkan apabila cincin porfirin rusak, akan mengakibatkan hilangnya puncak Soret.

Setiap sistem tetrapirol bersifat unik sehingga akan memiliki warna yang berbeda-

beda (Jiao, 2007).

Dari gambar diatas menunjukkan ringkasan biosintesis dari porfirin pada

bakteri (Hamblin & Hasan, 2003). 5-aminolevulinic acid (5-ALA) adalah prekursor

biosintetik dari semua porfirin alam (Grossweiner, 2005). Sintesis porfirin pada sel

bakteri dimulai dengan pembentukan asam 5-ALA secara endogen dengan

mereaksikan asam amino glycine dan succinyl-CoA dari lingkaran asam sitrat (Bruce

et al., 2009). Dua molekul ALA bergabung menjadi porfobilinogen (PBG) yang

mengandung cincin pyrrole. Empat PBG melalui deamilasi bergabung menjadi

hydroxymethyl bilane (HMB), yang selanjutnya dihidrolisis menjadi circular

tetrapyrrole uroporfirinogen III. Coproporfirin III dengan rumus kimia C36H38N4O8

adalah produk akhir tetrapyrrole dari oksidasi spontan jembatan metilena

Page 7: PERCOBAAN 8

coproporfirinogen. Molekul ini mengalami modifikasi lebih lanjut sehingga

dihasilkan protoporfirin IX dengan rumus kimia C34H34N4O4 (HMD, 2008). Hasil

akhir protoporfirin IX dikombinasi dengan besi membentuk heme.

Porfirin fotosensitiser bersifat peka terhadap cahaya. Kepekaan terhadap cahaya ini

terutama berkaitan dengan panjang gelombang cahaya yang dipaparkan. Kebanyakan

porfirin memiliki serapan pada daerah sinar tampak (400 – 700 nm). Gambar 2.7

menunjukkan spektrum serap dari porfirin tipe coproporfirin III dan coproporfirin IX.

Spektrum porfirin terdiri atas 2 pita terpisah, muncul pada daerah ultraviolet

dekat dan daerah cahaya tampak, yang menyebabkan porfirin kaya warna. Spektrum

porfirin terbentuk dari transisi π – π* (teori Gouterman) (Makarska & Radzki, 2002),

yang menunjukkan bahwa cincin porfirin merupakan sistem terkopel yang mengikuti

hukum aromatik Hückel 4n + 2, sehingga cincin porfirin dikatakan sebagai senyawa

16 polyene siklik pembawa 18π elektron. Pada kasus ini, keadaan dasar makrosiklik

berhubungan dengan orbital lengkap dengan μ = 0, ± 1, ..... , ± 4, sedangkan orbital

eksitasi terendah dihubungkan dengan transisi dari μ = ± 4 menuju μ = ± 5.

Interaksi Cahaya dengan Porfirin

Proses Photofisika

Saat penyinaran cahaya terjadi absorpsi satu foton cahaya oleh molekul

porphyrin. Peristiwa absorpsi primer berlangsung sangat cepat (berlangsung sekitar

10015 s) diikuti dengan eksitasi molekul pada tingkat energy yang lebih tinggi.

Selama transisi elektronik satu dari electron dieksitasikan dari keadaan dasar dengan

energy rendah selanjutnya menempati orbital dengan energy yang lebih tinggi,

Page 8: PERCOBAAN 8

sehingga electron memiliki perbedaan energy dari 2 keadaan elektronik molekul

absorbsi, yaitu :

ΔEn = En – E0 = NAhv = (N_A hc)/λ

dengan

h = konstanta Planck = 6,626 x 10-34 J.S

v = frekuensi,

c = kecepatan cahaya dalam ruang hampa = 3 x 108 ms-1

Na = Bilangan Avogadro = 6,023 x 1023 mot-1

Electron tiap orbital dikarakterisasikan oleh spin yang direpresentasikan oleh satu

daru dua nilai diskrit s=1/2 dans=-1/2. Total bilangan kuantum spin dari orbital

didefinisikan sebagai jumlah dari spin elektronik S. keadaan elektronik kebanyakan

molekul organic berada pada keadaan singlet dimana semua electron dalam molekul

adalah spin berpasangan, dan triplet dimana satu set dari spin electron tidak

berpasangan.

Absorpsi radiasi oleh molekul akan mengeksitasi molekul tersebut dari level

vibrasional dalam keadaan dasar singlet elektronik S0 ke salah satu level vibrasional

dalam keadaan eksitasi elektronik. Eksitasi molekul menuju keadaan energy yang

lebih tinggi harus kembali ke keadaan dasar meskipun terlibat pada reaksi kimia atau

berubah bentuk. Pada molekul polyatomic (seperti porphyrin) ada beberapa jalur bagi

molekul tereksitasi untuk mengeluarkan energy eksitasi. Jalur yang berbeda ini

dikelompokkan pada proses photofisika molekul tereksitasi elektronik, yang dikenal

sebagai diagram Jablonski.

Selain proses fluoresensi, kelebihan energy dikeluarkan dalam bentuk panas

dan radiationless transfer, yaitu internal conversion, transisi menuju tingkat vibrasi

yang tinggi pada S0 dan intersystem crossing, yaitu transisi menuju keadaan triplet.

Keadaan triplet Tn memiliki energy elektronik yang lebih rendah daripada keadaan

singlet eksitasi yang berhubungan Sn. Probabilitas terjadinya intersystem crossing

meningkat jika level vibrasi dari dua keadaan ini overlap, misalnya level vibrasional

singlet terendah dapat overlap dengan satu dari level vibrasional lebih tinggi dari

keadaan triplet (Juzenas, 2002). Sebuah molekul dalam level vibrasional tinggi dari

keadaan eksitasi triplet dapat kehilangan energy pada saat bertumbukan dengan

molekul lain, meninggalkannya pada level vibrasional paling rendah dari keadaan

triplet. Kemudian molekul tersebut dapat mengalami intersystem crossing kedua pada

level vibrasional tinggi dari keadaan dasar elektronik S. Akhirnya molekul kembali ke

Page 9: PERCOBAAN 8

level vibrasional paling rendah dari keadaan dasar elektronik S0 oleh relaksasi vibrasi.

Karena transisi T1 menuju S0 terlarang, maka keadaan trplet memiliki lifetime yang

lebih lama. Karena memiliki energy yang lebih, maka terjadi reaksi biokimia pada

phtosensitizaer.

Proses Photokimia

Photokimia merupakan perubahan kimia yang disebabkan oleh cahaya (Coyle,

1991), yaitu radiasi elektromagnetik (EM) pada range Ultraviolet (UV) dan visible.

Perubahan kimia hanya terjadi jika cahaa diarbsorpsi oleh system (rohatgi, 1978).

Perubahan kimia merupakan peristiwa yang muncul pada tingkatan molekuler akibat

absorpsi oleh fotom, meskipun foton tidak berperan dalam keseluruhan perubahan

kimia. Proses photokimia memiliki kaitan erat dengan proses photofisika, yang

berperan dalam perubahan energy dan struktur elektronik akibat eksitasi molekul

setelah peristiwa absorpsi. Mekanisme photokimia dibagi menjadi dua :

- tipe 1 , molekul photosensitive pertama yang tereksitasi bereaksi dengan

komponen mayor system lain selanjutnya bereaksi dengan molekul

oksigen photosensitizer yang tereksitasi S* mengoksidasi atau mereduksi

molekul subtract ®. Subtract tereduksi (Rred) dan photosensitiser

tereduksi (S-) dapat berubah menjadi superoksida (O2-) melalui reaksi

dengan molekul oksigen yang selanjutnya menyebabkan kerusakan

biomolekul tetangganya.

- tipe 2 , photosensitiser pada keadaan tereksitasi (S*) mentransfer energy

ke molekul oksigen, menjadi oksigen singlet (O*2) yang kemudian

bereaksi dengan molekul subtract (R), menghasilkan produk R’. oksigen

singlet tereksitasi (O*2) dihasilkan dari photosensitizer dengan energy gap

antara keadaan triplet dasar dan eksitasi yang lebih besar daripada energy

EΔ yang diperlukan untuk eksitasi oksigen ke keadaan singlet tereksitasi.

Proses Photobiologi

Efek cahaya tampak pada organism telah banyak diinvestigasi pada tingkat

kompleksitas yang berbeda – beda. Produk photokimia berupa radical oxygen singlet

(ROS) adalah agen pengoksidasi yang dapat secara langsung bereaksi dengan banyak

molekul biologi. Residu asam amino dalam protein adalah target yang penting seperti

cysteine, methionine, tyrosine, histidine, dan tryptophan (Grune et al., 2001). Oksigen

singlet (1O2) adalah elektrophilic dan bereaksi dengan molekul yang kaya electron

menyebabkan kerusakan membrane akibat peroksidasi membrane lipid,

Page 10: PERCOBAAN 8

mengakibatkan kebocoran isi dan kandungan pada sel serta menginaktivasi system

transport membrane dan enzim – enzim, gangguan sintesis dinding sel dan munculnya

struktur multilamelar disisi sekat sel – sel yang membelah, seiring dengan bocornya

ion – on potassium dari dalam sel (Demidova and Hamblin, 2005).

D. DATA HASIL PENGAMATAN

Cawan Ke - KontrolPerlakuan (menit)

5 Menit 10 Menit 15 Menit1 81 34 73 752 87 97 75 783 83 66 27 65

Jumlah 251 197 175 218Rata – rata 83.67 65.67 58 72.67

E. ANALISIS DATA

Dari data yang didapatkan, maka dapat dianalisis dengan perhitungan sebagai

berikut :

5 Menit

% penurunan jumlah koloni bakteri

= |∑ Perlakuan−∑ kontrol

∑ kontrol | x100%

= |65.75 –83.6783.67 | x100% = 21.4 %

10 Menit

% penurunan jumlah koloni bakteri

= |∑ Perlakuan−∑ kontrol

∑ kontrol | x 100%

= |58 –83.6783.67 | x100% = 30.68 %

15 Menit

% penurunan jumlah koloni bakteri

= |∑ Perlakuan−∑ kontrol

∑ kontrol | x 100%

Page 11: PERCOBAAN 8

= |72.67 –83.6783.67 | x100% = 13.15 %

F. PEMBAHASAN

Staphylococcus aureus (S. aureus) adalah bakteri gram positif yang

menghasilkan pigmen kuning, bersifat aerob fakultatif, tidak menghasilkan spora dan

tidak motil, umumnya tumbuh berpasangan maupun berkelompok, dengan diameter

sekitar 0,8-1,0 µm. S. aureus tumbuh dengan optimum pada suhu 37oC dengan waktu

pembelahan 0,47 jam. S. aureus merupakan mikroflora normal manusia. Bakteri ini

biasanya terdapat pada saluran pernapasan atas dan kulit. Keberadaan S. aureus pada

saluran pernapasan atas dan kulit pada individu jarang menyebabkan penyakit,

individu sehat biasanya hanya berperan sebagai karier. Infeksi serius akan terjadi

ketika resistensi inang melemah karena adanya perubahan hormone, adanya penyakit,

luka, atau perlakuan menggunakan steroid atau obat lain yang memengaruhi imunitas

sehingga terjadi pelemahan inang.

Infeksi S. aureus diasosiasikan dengan beberapa kondisi patologi, diantaranya

bisul, jerawat, pneumonia, meningitis, dan arthritits. Sebagian besar penyakit yang

disebabkan oleh bakteri ini memproduksi nanah, oleh karena itu bakteri ini disebut

piogenik. S. aureus juga menghasilkan katalase, yaitu enzim yang mengkonversi

Page 12: PERCOBAAN 8

H2O2 menjadi H2O dan O2, dan koagulase, enzim yang menyebabkan fibrin

berkoagulasi dan menggumpal. Koagulase diasosiasikan dengan patogenitas karena

penggumpalan fibrin yang disebabkan oleh enzim ini terakumulasi di sekitar bakteri

sehingga agen pelindung inang kesulitan mencapai bakteri dan fagositosis terhambat.

S. aureus termasuk bakteri osmotoleran, yaitu bakteri yang dapat hidup di lingkungan

dengan rentang konsentrasi zat terlarut (contohnya garam) yang luas, dan dapat hidup

pada konsentrasi NaCl sekitar 3 Molar. Habitat alami S aureus pada manusia adalah di

daerah kulit, hidung, mulut, dan usus besar, di mana pada keadaan sistem imun

normal, S. aureus tidak bersifat patogen (mikroflora normal manusia).

Sampel percobaan adalah bakteri Staphylococcus aureus ATCC 6538P dengan

media Nutrient Broth (Pronadisa CAT 1216), Staphylococcus Agar (Pronadisa CAT

1032), dan 0,1 M Phosphate Buffer Saline (PBS) pH 6,5. Peralatan yang diperlukan

adalah seperangkat peralatan LED untuk penyinaran, peralatan sterilisasi, kultur dan

penghitungan bakteri (otoklaf, laminar, shaker inkubator, spektroskopi UV-Vis,

fluoresense dan Quebec Colony Counter).

Pertumbuhan bakteri

Bakteri ditumbuhkan pada media Staphylococcus Agar steril selama 18 jam,

kemudian dipindahkan ke media Nutrien broth steril 50 ml dengan kerapatan (OD)

0,20–0,250 pada 660 nm, ditumbuhkan pada shaker inkubator temperatur 37° C

selama 3 jam dengan OD 0,40–0,45 pada 660 nm. 10 ml suspensi diencerkan 50 kali

10 ml suspensi diencerkan 50 kali dengan 0,1 M PBS pH 6,5 steril. 2 ml suspensi

bakteri . 2 ml suspensi bakteri dimasukkan pada cawan plastik steril diameter 3,5 cm

untuk penyinaran. Metode eksperimen menggunakan rancangan acak lengkap pola

faktorial (Kusriningrum, 2008), terdiri atas faktor A (daya penyinaran) 4 taraf (28, 57,

75 dan 96) mW dan faktor B (lama waktu penyinaran) 5 taraf (10, 20, 30, 40 dan 50)

menit. Tiap perlakuan disertai kelompok kontrol. Jadi terdapat 20 kelompok

perlakuan dengan pengulangan 3 kali.

Peralatan Penyinaran

Peralatan penyinaran adalah instrumen sumber cahaya LED biru biru super

bright produk lokal dengan arus maximum super bright produk lokal dengan arus

maximum super bright produk lokal dengan arus maximum 30 mA dan tegangan 5 V,

berdimensi 20 × 20 cm yang terdiri dari 20 × 18 LED, dengan puncak emisi (429,8 ±

3,7) nm (Wavelength Meter SR 530 Stanford Research System Inc.) dan bandwidth

65 nm.

Page 13: PERCOBAAN 8

Penyinaran Bakteri dengan LED

Cawan petri yang berisi bakteri diletakkan pada holder di dalam kotak acrylic

diatas platform motor servo. Penyinaran LED biru (429,8 ± 3,7) nm dilakukan pada

biru (429,8 ± 3,7) nm dilakukan pada (429,8 ± 3,7) nm dilakukan pada berbagai daya

dan lama waktu penyinaran. Selanjutnya bakteri pada kelompok perlakuan dan

kontrol ditumbuhkan pada media Staphylococcus Agar dan disimpan dalam inkubator

temperatur 37°C selama 24 jam.

Penghitungan jumlah koloni bakteri

Sampel dikeluarkan dari inkubator dan dihitung jumlah koloni bakteri yang

tumbuh dengan metode pencawanan (Total Plate count) menggunakan Quebec

Colony Counter, dan dilakukan penghitungan jumlah prosentase penurunan jumlah

koloni bakteri yang tumbuh pada tiap perlakuan: ½(S koloni perlakuan - S koloni

kontrol)/Skoloni kontrol | × 100%.

Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa penurunan jumlah koloni paling

banyak ketika waktu pemaparan 10 menit, yaitu 30,68%. Sedangkan ketika lama

pemaparan 5 menit yaitu 21,4% dan pemaparan 15 menit yaitu 13,15%. Hasil

menunjukkan bahwa pemaparan sinar LED dapat menurunkan jumlah koloni bakteri

Staphylococcus aureus, walaupun hasilnya tidak terlalu besar. Berdasarkan penelitian

yang telah dilakukan sebelumnya. Dihasilkan bahwa dengan lama pemaparan 30

menit dan PWM 75% dapat menurunkan jumlah koloni bakteri Staphylococcus aureus

dengan emnggunakan LED biru sebesar 75%

LED biru sangat berpotensi berperan sebagai photodinamik inaktivasi karena

mampu menurunkan koloni bakteri tersebut. Sehingga perlu dilakukan penelitian

lebih lanjut tentang dosis PWM optimal serta waktu pemaparan yang lebih optimal

juga dibandingkan dengan yang telah dilakukan ini. Selain itu juga perlu dilakukan

penelitian tentang potensi LED dengan spectrum lainnya yang lebih baik.

G. KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil praktikum yang telah diperoleh baik perhitungan maupun data

pengamatan dapat ditarik kesimpulan bahwa pemaparan 10 menit memiliki prosentase

penurunan jumlah koloni bakteri Staphylococcus aureus paling tinggi dibandingkan

pemaparan 5 menit ataupun 15 menit. LED biru berpotensi sebagai photodinamik

inaktivasi bakteri Staphylococcus aureus.

Page 14: PERCOBAAN 8

Saran yang dapat diberikan pada praktikum ini adalah lebih banya diperlukan

ketelitian dan kecermatan untuk pengambilan sampel terutama pada saat membuat

sampel koloni bakteri dengan prosen yang rumit dan panjang. Apalagi pada praktikum

ini beberapa kali terjadi kegagalan dalam pengambilan data karena sampel tersebut

gagal.

H. DAFTAR PUSTAKA

Ama, Fadli.,dkk 2012. Pedoman Praktikum Biomekanika dan Biotransportasi.

FSAINTEK: Surabaya

Astuti, Suryani Dyah, dkk. 2011. POTENSI PHOTODINAMIK

INAKTIVASI Staphylococcus aureus DAN Vibrio cholera DENGAN ENDOGEN

PHOTOSENSITIZER PADA PENYINARAN LED BIRU (430±4) nm DAN

MERAH (629±6) nm. Surabaya: Berk. Penel. Hayati.

Puguh. 4 Maret 2011. LED (light Emitting Diode).

http://rasapas.wordpress.com/2011/03/04/8/

Medika, Kuanta. 7 April 2012. Porphyrin.

http://kuantamedika.blogspot.com/2012_04_01_archive.html

http://www.pasca.unair.ac.id/download/sites/pasca.unair.ac.id.graduates/

files/Ati%20Kristiani/download_form/2012/10/744/

vol_13_no_3_september_2011_pdf_10264.pdf

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29289/3/Chapter%20II.pdf

I. LAMPIRAN

Data Viabilitas