Download - jurnal terjemahan

Transcript

Merevisi Pleuritis TB: Karakteristik Cairan Pleura dan Hasil Diagnostik dari Kultur

Mikrobakterial di Daerah Endemik

ABSTRAK

Latar Belakang

Pleuritis TB secara tradisional ditunjukkan dengan limfositosis berat pada cairan pleura dan

kadar kultur cairan efusi yang rendah. Walaupun demikian, ada pertimbangan inkonsistensi

diantara hasil studi sebelumnya. Sebagai tambahan, data tersebut harus diperbaharui menurut

studi-studi efusi terkini dan metode kultur lanjutan.

Metode

Sejak Januari 2004 sampai dengan Juni 2009, pasien-pasien dengan pleuritis TB diidentifikasi

secara retrospektif dari laboratorium mikrobakteriologi dan laboratorium patologi dan registrasi

databaseTB dari dua rumah sakit di Taiwan tempat dimana TB menjadi endemic. Karakteristik

cairan pleura dan hasil kultur mikrobakterial menggunakan media cairan dievaluasi.

Hasil

Sejumlah 382 pasien dengan pleuritis TB diidentifikasi. Nilai tengah persentase limfosit dari sel

total pada cairan pleura adalah sebesar 84% (IQR 64-95%) dan 17% dari kasus mempunyai

persentase limfosit <50%. Persentase limfosit berhubungan secara negatif dengan kemungkinan

hasil kultur yang positif (OR 0,97; 95% CI 0,96 sampai 0,99). Hasil diagnostik untuk kultur efusi

adalah 63%, kultur sputum sebesar 48%, kombinasi kultur efusi dan sputum sebesar 79% dan

pemeriksaaan histology dan biopsy specimen pleura sebesar 74%.

Kesimpulan

Derajat predominan limfosit pada plural TB lebih rendah dari hasil penelitian sebelumnya.

Persentase limfosit pada cairan pleura berhubungan secara negative dengan kemungkinan hasil

kultur cairan efusi yang positif. Dengan implementasi metode kultur cairan, sensitifitas dari

kultur efusi lebih tinggi dari hasil yang pernah dilaporkan, dan kombinasi dari efusi dan kultur

sputum menyediakan hasil alat diagnostik yang baik.

PENDAHULUAN

Pleuritis TB adalah bentuk TB ekstrapulmoner terbanyak kedua dan penyebab umum dari

efusi pleura di daerah endemic TB. Diagnosis definitif dari pleuritis TB biasanya membutuhkan

kultur mikrobakterial dari cairan pleura, biopsy pleura dan alat diagnostic lainnya. Suspek index

tinggi dari analisis cairan pleura adalah penting untuk diagnose. Akan tetapi, konsep tradisional

tentang temuan cairan pleura pada pleuritis TB sebagiann besar dating dari studi yang dilakukan

puluhan tahun yang lalu dan belum divalidasi pada praktek terkini. Cairan pleura telah dipelajari

secara berkala disebabkan oleh penggunaan dari ultrasonografi, yang dapat memodifikasi temuan

cairan pleura pada keberadaan penyakitnya. Sebagai tambahan, data dari studi-studi sebelumnya

dalam hasil diagnostik untuk pleuritis TB mempunyai banyak varian dan tidak konsisten. Studi

ini telah menyarankan hasil diagnostik sebagai berikut: 0-52% untuk kultur sputum dan 50-90%

untuk pemeriksaan histologi dari specimen biopsi pleura. Kami menganggap bahwa variasi dari

hasil studi berhubungan dengan kriteria terpilih pasien, sejumlah kecil kasus pada kebanyakan

studi dan variabilitas prevalensi TB. Lebih lanjut lagi, kemajuan teknik kultur telah memperbaiki

hasil kultur mikrobakterial pada penyakit ini. Kultur media cairan telah menunjukkn hasil yang

lebih tinggi dan hasil yang lebih cepat dibandingkan dengan media padat.

Tujuan dari studi ini adalah untuk menyediakan informasi terkini tentang karakteristik

cairan pleura dan hasil diagnostik kultur mikrobakterial dan biopsy pleura. Perbedaan antara

kasus dengan kultur mikrobakterial efusi positif dan negatif dibandingkan untuk menentukan

predictor kultur efusi yang positif.

METODE

Setting Studi

Studi ini merupakan studi kohort retrospektif yang dilaksanakan pada Rumah Sakit

Universitas Nasional Taiwan and Cabang Rumah Sakit Universitas Nasional Taiwan Yun-Lin,

dua rumah sakit pendidikan universitas yang berafiliasi di Taiwan. Taiwan adalah negara dengan

endemic TB, dengan insidensi 62-74 per 100.000 populasi dari tahun 2004 sampai 2008. The

National Tuberculosis Program di Taiwan mensyaratkan bahwa semua kasus kultur yang

dikonfirmasi sebagai TB atau secara klinis mengarah ke TB harus dilaporkan kepada Pusat

Pengendali Penyakit Taiwan. Kasus tersebut juga dicatat pada database registrasi TB di dua

rumah sakit pendidikan tersebut. Oleh karena tingginya insiden TB, kultur mikrobakterial efusi

adalah pemeriksaan rutin untuk semua efusi pleura yang tidak terdiagnosa tanpa menghiraukan

presentasi klinis dan temuan cairan pleura pada kedua rumah sakit tersebut. Studi ini telah

disetujui oleh Komite Etik Penelitian dari Rumah Sakit Universitas Nasional Taiwan.

Diagnosis Pleuritis TB

Efusi pleura didiagnosa sebagai TB berdasarkan kriteria berikut: kultur mikrobakterial

pada cairan positif yang positif atau sampel jaringan biopsy pleura, inflamasi granulomatosa

pada sampel jaringan biopsy pleura, kultur mikrobakterial dari sampel sputum yang positif dan

efusi pleura yang sembuh dengan terapi anti TB, atau secara klinis dicurigai pleuritis TB dan

efusi pleura yang sembuh dengan terapi anti TB. Pada kriteria keempat, ‘suspek klinis’ berarti

bahwa pasien tersebut tidak mempunyai penyakit sistemik, dan dikeluarkan dari keganasan dan

penyakit pleura lainnya. Lebih jauh lagi, ada kata kunci dari TB dari riwayat kontak TB, temuan

radiologis atau presentasi klinis.

Kami memperoleh dan menggabungkan daftar pasien dengan pleuritis TB atau penyakit

TB lainnya bersamaan dengan efusi pleura dari tiga sumber berikut: database registrasi TB,

database laoratorium mikrobaktriologi untuk identifikasi kasus dengan kultur TB positif pada

semua specimen dan database patologi untuk identifikasi kasus dengan inflamasi granulomatosa

pada specimen jaringan pleura. Periode studi adalah dari bulan Januari 2004 sampai dengan

bulan Juni 2009. Kasus yang didentifikasi dievaluasi lebih lanjut jika memenuhi satu dari empat

criteria tersebut. Semua kasus yang gagal memenuhi satu dari criteria tersebut dikeluarkan dari

studi. Pasien dengan empiema TB, digambarkan dengan gambaran pus-like dari cairan pleura

atau usapan acid-fast bacilli (AFB) yang positif pada cairan pleura, juga dkeluarkan.

Ekstraksi Data

Rekam medis direview untuk memperoleh data, meliputi umur, jenis kelamin, komorbid,

tanggal visit pertama untuk efusi pleura, tanggal inisiasi dari terapi anti TB dan tanggal visit

terakhir. Data laboratorium meliputi inisial hitung jenis darah, uji fungsi ginjal, uji fungsi hati,

level protein, level lactate dehydrogenase (LDH), level glukosa di serum dan cairan pleura, sel

darah putih dan diferential cell counts dari cairan pleura. Radiografi dada direview oleh ahli paru

dan ahli radologi untuk memperoleh inisial presentasi radiologis dan respon terhadap terapi.

Hasil dari usapan AFB dan kultur mikrobakterial dari caira pleura dan sputum diperoleh.

Prosedur Bakteriologi

Usapan AFB dilaukan dengan auramine-rhodamine fluorochrome dan diperiksa

menggunakan prosedur standar. Specimen untuk kultur mikrobakterial diproses menggunakan

metode N-acetyl-L-cysteine standar dan metode sodium hydroxide. Kultur mikrobakterial

dilakukan dengan inokulasi 0,5 ml specimen yang diproses kedalam pipa kultur MGIT 960

berdasarkan instruksi pabrik (BACTEC Mycobacteria Growth Indicator Tube 960 System, BD

Diagnostic Instrument Systems, Sparks, Maryland, USA). Teknik fluorometrik BACTEC telah

digunakan untuk mendeteksi pipa positif untuk waktu maksimal 6 minggu. Untuk pipa yang

positif, subkultur dibuat di Middlebrook 7H11 selektif agar (Remel Inc, Lexena, Kansas, USA).

Analisis Statistik

Variable kategorikal dibandingkan menggunakan uji X2 atau uji Fisher’s exact, sesuai

kebutuhan, sementara variable kontinu dibandingkan menggunakan uji t atau uji Mann-Whitney

U. Analisis multivariate logistic regression dilakukan untuk identifikasi predictor dari kultur

mikrobakterial dari efusi yang positif. Variabel yang dianalisis meliputi umur, jenis kelamin,

penyakit yang mendasari, level efusi dari protein, level LDH, level glukosa, hitung jenis sel

darah putih an persentase limfosit dari efusi. Variabel dengan p value <0,2 pada regresi univariat

ditambahkan pada cara yang diatur dan dipilih untuk menentukan model akhir. Model umum

tambahan digunakan untuk memperoleh linearitas dari hubungan antara kultur efusi dan

parameter yang diinginkan. Kurva waktu-peristiwa untuk setiap variabel diperoleh menggunakan

metode Kaplan-Meler dan dibandingkan dengan uji log-rank. Data dianalisis menggunakan Stata

software, V.10 (StataCorp).

HASIL

Kasus dari Pleuritis TB

Ada 3263 pasien dengan definitive dan suspek TB dalam periode studi. Dari pasien

tersebut, 792 pasien mempunyai pleuritis TB atau bentuk lain dari penyakit TB yang terjadi

bersamaan dengan efusi pleura. Tiga pasien dengan usapan AFB positif pada cairan pleuranya

dianggap mempunyai empiema TB dan dikeluarkan untuk analisis. Diantara 789 pasien, 382

pasien didiagnosa mempunyai pleuritis TB, meliputi 241 dengan kultur efusi positif unutk

Mycobacterium tubelculosis dan 141 dengan kultur efusi negatif. Pada 141 pasien dengan kultur

efusi egatif, 48 pasien mendapat diagnosis dengan biopsy pleural, 45 pasien mempunyai kultur

sputum positif dan mempunyai efusi pleura yang sembuh dengan terapi anti TB, dan 48 pasien

suspek klinis dan mempunyai efusi pleura yang sembuh dengan terapi anti TB. Tabel 1

merangkum karakteristik dari 382 pasien tersebut.

Temuan Cairan Pleura

Tabel 2 menunjukkan data laboratorium untuk pasien. Secara umum, pasien tidak

mempunyai leukositosis namun mempunyai level serum LDH yang meningkat. Eksudat kaya

protein adalah fitur yang umum dari analisis cairan pleura. Gambar 1A menunjukkan distribusi

dari presentase limfosit efusi. Persentase limfosit <50% diamati ada 17% pasien. Differential cell

efusi dari tiga pasien yang dikeluaran karena empiema TB menunjukkan neutrofil sebesar 93%,

92% dan 6%. Kasus dengan netrofil 6% telah diterapi dengan levofloxacin sebelum

thoracentesis.

Dibandingkan dengan kultur efusi negatif, kultur efusi positif mempunyai persentase

limfosit yang lebih rendah (median 92% vs 78%, p<0,001). Kemungkinan kultur efusi positif

berhubungan secara negatif dengan persentase limfosit efusi (gambar 1B). Model multivariate

logistic regression mengidentifikasi empat independen prediktor dari hasil kultur efusi, meliputi

kanker sebagai penyakit yang mendasari (OR 2.66; 95% CI 1,14 sampai 6.19), persentase

limfosit efusi (OR 0.6; 95% CI 0.96 sampai 0.99), level protein efusi (g/ dl) (OR 0.6; 95% CI

0.45 sampai 0.79) dan level LDH efusi (U/ liter) (OR 1.001; 95% CI 1.00 sampai 1.002).

Hasil Diagnostik

Hasil kultur efusi, kultur sputum dan biopsi pleural untuk diagnosis pleuritis TB

dirangkum pada table 3. Hasil diagnostik adalah 63% dan 48% untuk efusi dan kultur sputum.

Kombinasi efusi dan kultur sputum mencapai sensitifitas diagnostic mencapai 79%. Sebaliknya,

hasil dignostik adalah sebesar 74% untuk pemeriksaan histologi untuk biopsy pleura.

Hasil

Gambar 2 menunjukkan kurva survival 180-hari pasien dengan kultur efusi positif dan

negatif. Kemungkinan bertahan hidup secara signifikan berbeda sesuai dengan hasil kultur efusi

(log-rank test, p <0,001). Pada pasien dengan hasil kultur efusi positif, ada 21 (9%) kematian

sebelum waktu diagnosis dibuat.

PEMBAHASAN

Penelitian ini mengungkapkan beberapa temuan penting mengenai diagnosis pleuritis

TB. Hasil diagnostic kultur efusi menggunakan media kultur cair adalah 63% dalam

studi kohort, yang jauh lebih tinggi dibandingkan hasil yang dilaporkan di sebagian besar

penelitian sebelumnya yang kurang dari 35%. Kombinasi dari efusi dan kultur sputum

menyumbangkan hasil yang diagnostik yang baik hingga 79% dibandingkan dengan hasil pada

pemeriksaan histologi biopsi pleura sebesar 74%. Selain itu, penelitian kami menyediakan data

yang diperbarui tentang temuan cairan pleura dalam pleuritis TB (gambar 1A dan tabel 2) dan

menunjukkan bahwa persentase limfosit cairan pleura adalah berhubungan negatif dengan

kemungkinan kultur efusi yang positif (gambar 1B). Selain itu, perbedaan antara kultur efusi

yang positif dan kultur negatif pada pleuritis TB ditekankan dalam penelitian kami.

Dalam studi ini, kami tidak dapat menyimpulkan bahwa kombinasi efusi dan kultur

sputum menghasilkan hasil yang lebih tinggi daripada biopsi pleura karena hanya 149 dari 382

pasien menerima biopsi pleura, dan keputusan untuk melakukan biopsi pleura mungkin menjadi

sumber bias.  Biopsi pleura dianggap prosedur referensi untuk mendiagnosis pleuritis TB karena

hasil yang tinggi dan cepat. Sebuah studi prospektif menunjukkan sensitivitas 66% dan 100%

untuk pemeriksaan histologi jarum tertutup dan thoracoscopic biopsi pleura. Pada 131 pasien

yang menerima semua pemeriksaan biopsi pleura, kultur mikobakteri efusi dan sputum dalam

penelitian kami, biopsi pleura memiliki sensitivitas tertinggi (tabel 4). Namun, pasien yang

menerima tiga pemeriksaan mungkin sebagian kelompok tertentu dalam studi retrospektif

ini. Persentase limfosit cairan pleura mempengaruhi keputusan untuk melakukan biopsi pleura

dan positifnya kultur efusi. Studi prospektif diperlukan untuk memperjelas masalah

ini. Selanjutnya, penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kebanyakan pasien dengan pleuritis

TB memiliki lebih dari 90% limfosit dalam cairan pleura mereka. Sebuah studi melaporkan

bahwa hanya 6,7% pasien memiliki kurang dari 50% limfosit dalam cairan pleura mereka.

Sebaliknya, tingkat dominasi limfosit pada pasien kami lebih rendah dibandingkan penelitian

sebelumnya. Perbedaan ini mungkin sebagian berhubungan dengan penggunaan populer dari

USG untuk thoracentesis dan studi tentang efusi terdahulu.

Pleuritis tuberkulosis dapat sembuh secara spontan tanpa pengobatan, tetapi pasien sering

menjadi TB aktif pada kemudian hari. Efusi pleura yang sembuh dengan terapi anti-TB tidak

membenarkan diagnosis yang akurat dari pleuritis TB.

Dengan demikian pasien yang dilibatkan dalam penelitian kami dengan keempat kriteria

milik kelompok dugaan pleuritis TB. Namun, menghapus kasus ini tidak mengubah temuan

penelitian utama tetapi meningkatkan sensitivitas semua metode diagnostik (tabel online

suplementary 1 dan 2). Di daerah endemik TB, beberapa pasien dengan dugaan pleuritis TB

memilih untuk menerima terapi percobaan dengan terapi anti-TB daripada menjalani biopsi

pleura invasif setelah keganasan dan penyakit umum lainnya yang telah dikeluarkan.

Kultur mikobakteri sputum telah diusulkan dalam pengelolaan pasien yang diduga

pleuritis TB, namun sensitivitas kultur sputum bervariasi dari 0% sampai 52% pada penelitian

sebelumnya. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa 48% pasien memiliki kultur sputum

positif dibandingkan dengan studi kasus sebelumnya dengan angka yang lebih besar.

Keterlibatan parenkim paru yang sering pada pasien pleuritis TB ditunjukkan dalam studi CT

yang menggambarkan penggunakan kultur sputum yang rasional untuk diagnosis pleuritis TB.

Oleh karena itu, kombinasi kultur efusi dan sputum adalah pendekatan yang masuk akal dalam

diagnosis pleuritis TB dan dapat mencapai hasil diagnostik yang baik. Studi kami

mendokumentasikan hasil pendekatan diagnostik yang tinggi ini. Keuntungan lain dari

pendekatan ini melebihi pemeriksaan histologis dan tes molekul baru lainnya yang

memungkinkan untuk pengujian kerentanan, yang penting untuk daerah dengan tingkat resistensi

obat yang tinggi.

Hasil diagnostik kultur efusi dalam studi kami 7-35% jauh lebih tinggi daripada nilai

yang dilaporkan di sebagian besar penelitian sebelumnya. Perbedaan ini mungkin sebagian

karena perbedaan metode dalam kultur. Studi dengan hasil kultur efusi yang rendah kebanyakan

menggunakan media kultur padat. Namun, sistem kultur cairan dikenal memiliki hasil yang lebih

tinggi dan lebih cepat dibandingkan mereka yang menggunakan media padat, terutama untuk

penyakit paucibaciler, seperti TB ekstra paru. Selain itu, pemilihan bias memberikan kontribusi

terhadap beragamnya hasil kultur efusi pada penelitian sebelumnya. Banyak studi prospektif dari

pleuritis TB mengeluarkan pasien dengan beberapa penyakit penyerta dan keadaan umum yang

buruk. Namun, pasien yang immunocompromised lebih cenderung memiliki beban mikobakteri

lebih tinggi dalam rongga pleura sehingga memiliki probabilitas kultur efusi positif yang lebih

tinggi. Kriteria eksklusi ini konsekuensinya menurunkan hasil kultur efusi. Selain itu, jika efusi

pleura neutrofilik dianggap tidak menunjukkan pleuritis TB dan dikecualikan dalam studi,

sensitivitas kultur efusi juga menurun. Asosiasi negatif antara persentase limfosit dan kultur efusi

ditunjukkan dengan baik dalam penelitian kami. Dibandingkan dengan studi sebelumnya, seleksi

bias berkurang dalam penelitian kami karena pendaftaran komprehensif dari semua kasus

berdasarkan latar belakang kultur mikobakteri universal untuk semua pasien yang tidak

terdiagnosis efusi pleura dan indeks kecurigaan yang tinggi akibat TB endemik.

Penelitian kami juga menambahkan wawasan baru pada pathogenesis pleuritis TB. Model

patogenesis klasik, rupture dari fokus caseous subpleural diikuti oleh reaksi hipersensitivitas

tertunda terhadap antigen M,tuberculosis, menunjukkan dua fitur utama dari pleuritis TB,

termasuk dominasi limfosit dan hasil kultur efusi yang rendah. Beberapa investigator bahkan

menyarankan bahwa pleuritis TB adalah penyakit yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas

dan bukan infeksi pleura. Namun, hipotesis ini bisa dipatahkan jika limfositosis efusi dan hasil

kultur efusi yang rendah tidak secara universal muncul dalam setiap kasus pleuritis TB.

Berdasarkan temuan dari studi kami, kami mengusulkan sebuah konsep baru untuk

pleuritis TB. Kami mempunyai hipotesis bahwa pleuritis TB adalah spektrum berkelanjutan dari

penyakit (diilustrasikan secara online suplemenatry pada gambar 1) daripada membedakan dua

penotip klinis dari reaksi hipersensitivitas tertunda atau infeksi pleural yang nyata. Empiema

tuberkulosis merupakan kondisi ekstrim, dengan persentase yang tinggi dari neutrofil dan beban

mikobakteri yang tinggi dalam cairan pleura. Penelitian sebelumnya telah melaporkan adanya

leukositosis neutrofilik di empiema TB dan peningkatan persentase neutrofil dalam kultur efusi

pleura TB yang positif. Efusi tuberkulosis parapneumonia menunjukkan presentasi umum

paucibaciler dari pleuritis TB. Persentase efusi limfosit berhubungan secara negatif dengan

beban micobakterial pleura dan kemungkinan kultur efusi yang positif. Perlu dicatat bahwa

hipotesis ini diajukan hanya berdasarkan temuan dari studi kami dan membutuhkan studi

tambahan untuk menguji itu.

Para pasien dengan kultur positif dikaitkan dengan tingkat kematian yang lebih tinggi

dalam studi kohort (gambar 2). Namun, kultur efusi positif juga dikaitkan dengan tingkat kanker,

gagal ginjal, sirosis hati yang lebih tinggi dan kadar protein serum yang lebih rendah. Hal ini

tidak jelas apakah tingkat kematian yang lebih tinggi pada pasien dengan kultur efusi positif

disebabkan oleh beban mikobakteri intrapleural yang lebih tinggi atau status kesehatan yang

buruk dari host dalam penelitian retrospektif ini. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk

memperjelas penyebabnya.

Penelitian kami memiliki beberapa keterbatasan. Penelitian ini adalah analisis retrospektif

dan efek dari data yang hilang pada hasil tidak diketahui. Selain itu, penelitian ini dilakukan di

sebuah daerah endemik TB dan hasilnya mungkin tidak dapat digeneralisasikan untuk daerah

lainnya.

Singkatnya, penelitian kami menghasilkan beberapa temuan penting yang berkontribusi

pada pemahaman diagnosis pleuritis TB terkini. Karena menggunakan media kultur cair,

sensitivitas kultur efusi lebih tinggi dari yang telah dilaporkan sebelumnya. Kombinasi dari

kultur efusi dan sputum menawarkan hasil diagnostik yang baik dan mungkin merupakan

pendekatan alternatif untuk mendiagnosa pleuritis TB di daerah dimana biopsi pleura dan tes

diagnostik lainnya terbatas. Meskipun validasi lebih lanjut dibutuhkan, konsep spektrum

berkelanjutan dari pleuritis TB menawarkan pertimbangan baru dan lebih praktis untuk penyakit

ini.

REFERENSI

1. Peto HM, Pratt RH, Harrington TA, et al. Epidemiology of extrapulmonary tuberculosis

in the United States, 1993-2006. Clin Infect Dis 2009; 49: 1350-7.

2. Kruijshaar ME, Abubakar I. Increase in extrapulmonary tuberculosis in England and

Wales 1999-2006. Thorax 2009;64:1090-5.

3. Liam CK, Lim KH, Wong CM. Causes of pleural exudates in a region with a high

incidence of tuberculosis. Respirology 2000;5:33-8.

4. Valdes L, Alvarez D, Valle JM, et al. The etiology of pleural effusions in an area with

high incidence of tuberculosis. Chest 1996;109:158-62.

5. Light RW. Update on tuberculous pleural effusion. Respirology 2010;15:451-8.

6. Gopi A, Madhavan SM, Sharma SK, et al. Diagnosis and treatment of tuberculous pleural

effusion in 2006. Chest 2007;131:880-9.

7. Berger HW, Mejia E. Tuberculous pleurisy. Chest 1973;63:88-92.

8. Seibert AF, Haynes J Jr, Middleton R, et al. Tuberculous pleural effusion. Twenty year

experience. Chest 1991;99:883-6.

9. Sibley JC. A study of 200 cases of tuberculous pleurisy with effusion. Am Rev Tuberc

1950;62:314-23.

10. Levine H, Szanto PB, Cugell DW. Tuberculous pleurisy. An acute illness. Arch Intern

Med 1968;122:329-32.

11. Rahman NM, Singanayagam A, Davies HE, et al. Diagnostic accuracy, safety and

utilisation of respiratory physician-delivered thoracic ultrasound. Thorax 2010;65:449-

53.

12. Conde MB, Loivos AC, Rezende VM, et al. Yield of sputum induction in the diagnosis of

pleural tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med 2003;167:723-5.

13. Arrington CW, Hawkins JA, Richert JH, et al. Management of undiagnosed pleural

effusions in positive tuberculin reactors. Am Rev Respir Dis 1966;93:587-93.

14. Valdes L, Alvarez D, San Jose E, et al. Tuberculous pleurisy: a study of 254 patients.

Arch Intern Med 1998;158:2017-21.

15. Escudero Bueno C, Garcia Clemente M, Cuesta Castro B, et al. Cytologic and

bacteriologic analysis of fluid and pleural biopsy specimens with Cope’s needle. Study of

414 patients. Arch Intern Med 1990;150:1190-4.

16. Kumar S, Seshadri MS, Koshi G, et al. Diagnosing tuberculous pleural effusion:

comparative sensitivity of mycobacterial culture and histopathology. Br Med J (Clin Res

Ed) 1981;283:20.

17. Diacon AH, Van de Wal BW, Wyser C, et al. Diagnostic tools in tuberculous pleurisy: a

direct comparative study. Eur Respir J 2003;22:589-91.

18. Somoskovi A, Magyar P. Comparison of the mycobacteria growth indicator tube with

MB redox, Lowenstein-Jensen, and Middlebrook 7H11 media for recovery of

mycobacteria in clinical specimens. J Clin Microbiol 1999;37:1366-9.

19. Cruciani M, Scarparo C, Malena M, et al. Meta-analysis of BACTEC MGIT 960 and

BACTEC 460 TB, with or without solid media, for detection of mycobacteria. J Clin

Microbiol 2004;42:2321-5.

20. Taiwan Centers for Disease Control. Taiwan Tuberculosis Control Report 2009. Tainan

City: Taiwan Centers for Disease Control, 2009.

21. Murray PR, Baron EJ. Manual of Clinical Microbiology. Washington, DC: ASM Press,

2003.

22. Nitta H, Yamazaki S, Omori T, et al. An introduction to epidemiologic and statistical

methods useful in environmental epidemiology. J Epidemiol 2010;20:177-84.

23. Ferrer J. Pleural tuberculosis. Eur Respir J 1997;10:942-7.

24. Roper WH, Waring JJ. Primary serofibrinous pleural effusion in military personnel. Am

Rev Tuberc 1955;71:616-34.

25. Porcel JM. Tuberculous pleural effusion. Lung 2009;187:263-70.

26. Kim HJ, Lee HJ, Kwon SY, et al. The prevalence of pulmonary parenchymal tuberculosis

in patients with tuberculous pleuritis. Chest 2006;129:1253-8.

27. Hillemann D, Richter E, Rusch-Gerdes S. Use of the BACTEC Mycobacteria Growth

Indicator Tube 960 automated system for recovery of Mycobacteria from 9,558

extrapulmonary specimens, including urine samples. J Clin Microbiol 2006;44:4014-17.

28. Lu D, Heeren B, Dunne WM. Comparison of the Automated Mycobacteria Growth

Indicator Tube System (BACTEC 960/MGIT) with Lowenstein-Jensen medium for

recovery of mycobacteria from clinical specimens. Am J Clin Pathol 2002;118:542-5.

29. Luzze H, Elliott AM, Joloba ML, et al. Evaluation of suspected tuberculous pleurisy:

clinical and diagnostic findings in HIV-1-positive and HIV-negative adults in Uganda. Int

J Tuberc Lung Dis 2001;5:746-53.

30. Stead WW, Eichenholz A, Stauss HK. Operative and pathologic findings in twentyfour

patients with syndrome of idiopathic pleurisy with effusion, presumably tuberculous. Am

Rev Tuberc 1955;71:473-502.

31. Allen JC, Apicella MA. Experimental pleural effusion as a manifestation of delayed

hypersensitivity to tuberculin PPD. J Immunol 1968;101:481-7.

32. Leibowitz S, Kennedy L, Lessof MH. The tuberculin reaction in the pleural cavity and its

suppression by antilymphocyte serum. Br J Exp Pathol 1973;54:152-62.

33. Murray JF, Mason RJ. Murray and Nadel’s Textbook of Respiratory Medicine. 5th

edn. Philadelphia, PA: Saunders/Elsevier, 2010.

34. Bai KJ, Wu IH, Yu MC, et al. Tuberculous empyema. Respirology 1998;3:261-6.

35. Liu SF, Liu JW, Lin MC. Characteristics of patients suffering from tuberculous pleuritis

with pleural effusion culture positive and negative for Mycobacterium tuberculosis, and

risk factors for fatality. Int J Tuberc Lung Dis 2005; 9:111-15.

PR (Karateristik Cairan Peura)

Cairan pleura adalah cairan dalam rongga pleura dalam paru – paru. Fungsiya sebagai

pelumas. Normalnya cairan pleura sangat sedikit jumlahnya hampir tidak bisa diukur volumenya.

Karena kondisi patologis, caiaran jumlahnya meningkat sehingga dapat dianalisa dan akan

berupa transudat atau eksudat.

Transudat adalah penimbunan cairan dalam rongga serosa sebagai akibat karena

gangguan keseimbangan cairan dan bukan merupkan proses radang(tekanan osmosis koloid,

stasis dalam kapiler atau tekanan hidrostatik, kerusakan endotel, dsb), sedangkan eksudat adalah

cairan patologis yang berasal dari proses radang.

Bila radang terjadi pada pleura, maka cairan radang juga dapat mengisi jaringan sehingga

terjadi gelembung, hal ini misalnya terjadi pada kebakaran. Cairan yang terjadi akibat radang

mengandung banyak protein sehingga berat jenisnya lebih tinggi daripada plasma normal. Begitu

pula cairan radang ini dapat membeku karena mengandung fibrinogen. Cairan yang terjadi akibat

radang ini disebut eksudat. Jadi sifat-sifat eksudat ialah mengandung lebih banyak protein

daripada cairan jaringan normal, berat jenisnya lebih tinggi dan dapat membeku. Cairan jaringan

yang terjadi karena hal lain daripada radang, misalnya karena gangguan sirkulasi, mengandung

sedikit protein, berat jenisnya rendah dan tidak membeku, cairan ini disebut transudat. Transudat

misalnya terjadi pada penderita penyakit jantung. Pada penderita payah jantung , tekanan dalam

pembuluh dapat meninggi sehingga cairan keluar dari pembuluh dan masuk ke dalam jaringan.

Pemeriksaan cairan badan yang tersangka transudat atau eksudat bermaksud untuk

menetukan jenisnya dan sedapat-dapatnya untuk mendapat keterangan tentang causanya.

Bila sel-sel atau jaringan tubuh mengalami cedera atau mati, selama hospes tetap hidup

ada respon yang menyolok pada jaringan hidup disekitarnya. Respon terhadap cedera ini

dinamakan peradangan. Yang lebih khusus peradangan adalah reaksi vascular yang hasilnya

merupakan pengiriman cairan, zat-zat yang terlarut dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-

jaringan interstitial pada daerah cedera atau nekrosis. Peradangan sebenarnya adalah gejala yang

menguntungkan dan pertahanan, hasilnya adalah netralisasi dan pembuangan agen

penyerang,penghancuran jaringan nekrosis dan pembentukan keadaan yang dibutuhkan untuk

perbaikan dan pemulihan. Reaksi peradangan itu sebenarnya adalah peristiwa yang dikoordinasi

dengan baik yang dinamis dan kontinyu. Untuk menimbulkan reaksi peradangan maka jaringan

harus hidup dan khususnya harus memiliki mikrosirkulasi fungsional. Jadi yang dimaksud

dengan radang adalah rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan cedera. Pada proses

peradangan terjadi pelepasan histamine dan zat-zat humoral lain kedalam cairan jaringan

sekitarnya.

Akibat dari sekresi histamine tersebut berupa:

1.      Peningkatan aliran darah local

2.      Peningkatan permeabilitas kapiler

3.      Perembesan ateri dan fibrinogen kedalam jaringan interstitial

4.      Edema ekstraseluler local

5.      Pembekuan cairan ekstraseluler dan cairan limfe.

Peradangan dapat juga dimasukkan dalam suatu reaksi non spesifik, dari hospes terhadap

infeksi. Adapun kejadiannya sebagai berikut: pada setiap luka pada jaringan akan timbul reaksi

inflamasi atau reaksi vaskuler.Mula-mula terjadi dilatasi lokal dari arteriole dan kapiler sehingga

plasma akan merembes keluar. Selanjutnya cairan edema akan terkumpul di daerah sekitar luka,

kemudian fibrin akan membentuk semacam jala, struktur ini akan menutupi saluran limfe

sehingga penyebaran mikroorganisme dapat dibatasi.Dalam proses inflamasi juga terjadi

phagositosis, mula-mula phagosit membungkus mikroorganisme, kemudian dimulailah digesti

dalam sel. Hal ini akan mengakibatkan perubahan pH menjadi asam. Selanjutnya akan keluar

protease selluler yang akan menyebabkan lysis leukosit.Setelah itu makrofag mononuclear besar

akan tiba di lokasi infeksi untuk membungkus sisa-sisa leukosit. Dan akhirnya terjadilah

pencairan (resolusi) hasil proses inflamasi lokal. Cairan kaya protein dan sel darah putih yang

tertimbun dalam ruang ekstravaskular sebagai akibat reaksi radang disebut eksudat.

EKSUDAT

Jenis-Jenis Eksudat :

1.      Eksudat non seluler

Eksudat serosa

Pada beberapa keadaan radang, eksudat hampir terdiri dari cairan dan zat-zat yang terlarut

dengan sangat sedikit leukosit. Jenis eksudat nonseluler yang paling sederhana adalah eksudat

serosa,yang pada dasamya terdiri dari protein yang bocor dari pembuluh-pembuluh darah yang

permiable dalam daerah radang bersama-sama dengan cairan yang menyertainya. Contoh

eksudat serosa yang paling dikenal adalah cairan luka melepuh.

Eksudat fibrinosa

Jenis eksudat nonseluler yang kedua adalah eksudat fibrinosa yang terbentuk jika protein yang

dikeluarkan dari pembuluh dan terkumpul pada daerah peradangan yang mengandung banyak

fibrinogen. Fibrinogen ini diubah menjadi fibrin, yang berupa jala jala lengket dan elastic

(barangkali lebih dikenal sebagai tulang belakang bekuan darah). Eksudat fibrinosa sering

dijumpai diatas permukaan serosa yang meradang seperti pleura dan pericardium dimana fibrin

diendapkan dipadatkan menjadi lapisan kasar diatas membran yang terserang. Jika lapisan fibrin

sudah berkumpul di permukaan serosa,sering akan timbul rasa sakit jika terjadi pergeseran atas

permukaan yang satu dengan yang lain. Contoh pada penderita pleuritis akan merasa sakit

sewaktu bernafas, karena terjadi pergesekan sewaktu mengambil nafas.

Eksudat musinosa (Eksudat kataral)

Jenis eksudat ini hanya dapat terbentuk diatas membran mukosa, dimana terdapat sel-sel yang

dapat mengsekresi musin. Jenis eksudat ini berbeda dengan eksudat lain karena eksudat ini

merupakan sekresi set bukan dari bahan yang keluar dari aliran darah. Sekresi musin merupakan

sifat normal membran mukosa dan eksudat musin merupakan percepatan proses dasar

fisiologis.Contoh eksudat musin yang paling dikenal dan sederhana adalah pilek yang menyertai

berbagai infeksi pemafasan bagian atas.

2.      Eksudat Seluler

Eksudat netrofilik

Eksudat yang mungkin paling sering dijumpai adalah eksudat yang terutama

terdiri dari neutrofil polimorfonuklear dalam jumlah yang begitu banyak sehingga bagian

cairan dan protein kurang mendapat perhatian. Eksudat neutrofil semacam ini disebut

purulen. Eksudat purulen sangat sering terbentuk akibat infeksi bakteri.lnfeksi bakteri

sering menyebabkan konsentrasi neutrofil yang luar biasa tingginya di dalam jaringan

dan banyak dari sel-sel ini mati dan membebaskan enzim-enzim hidrolisis yang kuat

disekitarnya. Dalam keadaan ini enzim-enzim hidrolisis neutrofil secara harafiah

mencernakan jaringan dibawahnya dan mencairkannya. Kombinasi agregasi netrofil dan

pencairan jaringan-jaringan di bawahnya ini disebut suppuratif,atau lebih sering disebut

pus/nanah.

Jadi pus terdiri dari :

Ø  neutrofil PMN yang hidup dan yang mati neutrofil PMN yang hancur

Ø  hasil pencairan jaringan dasar (merupakan hasil pencernaan)

Ø  eksudat cair dari proses radang

Ø  bakteri-bakteri penyebab

Ø  nekrosis liquefactiva.

3.      Eksudat Campuran

Sering terjadi campuran eksudat seluler dan nonseluler dan campuran ini dinamakan

sesuai dengan campurannya.Jika terdapat eksudat fibrinopurulen yang terdiri dari fibrin dan

neutrofil polimorfonuklear, eksudat mukopurulen, yang terdiri dari musin dan neutrofil, eksudat

serofibrinosa dan sebagainya.

Eskudat seringkali sembuh dan tak berulang bila telah dikeluarkan seluruhnya.

Menurut lokalisasinya disebut :

Ø  Pleuritis eksudativa

Ø  Perikarditis eskudativa

Ø  Perotinitis eksudativa

Ø  Arthritis eksudativa

Sifat-sifat eksudat tergantung pada bahan-bahan yang dikandungnya, jadi eksudat dapat

berbentuk :

-          Serous

-          Fibrinous

-          Haemorrhagis

-          Purulent

-          Berbentuk kombinasi

Ciri-ciri eksudat spesifik :

Ø  Warna (karakteristik purulen = putih ² kuning, hemoragis = merah, dsb)

Ø  Kejernihan keruh

Ø  Berat jenis => 1,018 (1,018 ² 1,030)

Ø  Ada bekuan, atau membeku dalam jangka waktu cepat

Ø  Bau tidak khas. Infeksi kuman anaerob / E.coli : bau busuk

Ø  Protein > 3 gr % (tes rivalta positif)

Ø  Glukosa << plasma

Ø  Lemak mungkin positif (infeksi tuberculosis)

Ø  Jumlah lekosit : 500 ² 40.000 / mm3

Ø  Jenis sel : > polinuklear

Ø  Bakteri sering (+++)

TRANSUDAT

Transudat mempunyai kecenderungan reseidif jika faktor penyebab tidak dihilangkan.

Menurut lokalisasinya, transudat disebut dengan istilah :

-          Hidrotoraks

-          Hidroperikardium

-          Hidroperitoneum

-          Hidroarrosis

Kelainan-kelainan yang dapat menimbukan transudat :

-          Penurunan tekanan osmotic plasma karena hipoalbuminemi

-          Sindroma nefrotik

-          Cirrhosis hepatis

-          Peningkatan retensi Natrium dan air

-          Penggunaan natrium dan air yang meningkat

-          Penurunan ekskresi Natrium dan air (contoh : gagal ginjal)

-          Meningkatnya tekanan kapilaer / vena

-          Kegagalan jantung

-          Obstruksi vena porta

-          Perikarditis constrictif

-          Obstruksi limfe

-          Hidrothoraks

-          Elephantiasis

-          Pasca mastektomi radikal

Ciri-ciri transudat spesifik :

Ø  Warna agak kekuningan

Ø  Kejernihahan : jernih

Ø  Berat jenis <1,018 (1,006 ² 1,015)

Ø  Tak ada bekuan, atau membeku lambat / dalam jangka waktu lama

Ø  Bau tidak khas

Ø  Protein < 2,5 gr % (tes rivalta negative)

Ø  Glukosa = plasma

Ø  Lemak : negative (kecuali bila chylous +)

Ø  Jumlah lekosit : <500 mm3

Ø  Jenis sel : > mononuclear

Ø  Bakteri negative atau jarang (+)

Perbedaan cairan transudat dan eksudat

TRANSUDAT EKSUDAT

Bukan proses radang Merupakan proses radang

Bakteri (-) Bakteri (+)

Warna kuning muda Warna sesuai penyebabnya

Jernih dan encer Keruh dan kental

Tidak menyusun bekuan Menyusun bekuan

Fibrinogen (-) Fibrinogen (+)

Jumlah leukosit <500 sel/µl Jumlah leukosit >500 sel/µl

Kadar protein < 2,5g/dl Kadar protein > 2,5g/dl

Kadar glukosa sama dengan plasma darah Kadar glukosa lebih kecil dari plasma darah

Zat lemak (-) Zat lemak (+)