1
ISLAMISASI ILMU-ILMU KONTEMPORER
DAN PERAN UNIVERSITAS ISLAM
DALAM KONTEKS DEWESTERNISASI
DAN DEKOLONISASI
Oleh
Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud
Dalam kuliah ini saya akan memaparkan arkitektonik dan kepentingan strategis dari
Institusi Pendidikan Tinggi dalam perkembangan yang tepat bagi individu dan masyarakat
muslim di berbagai penjuru dunia. Di saat westernisasi dan kolonisasi dalam berbagai
bentuknya masih berpengaruh dalam konteks globalisasi saat ini, saya juga akan mengajukan
hujjah, bahwa upaya sejumlah ilmuwan Muslim untuk melakukan Islamisasi ilmu
pengetahuan kontemporer, dan keterkaitannya dengan diskursus tentang pendidikan dan
universitas dalam Islam, adalah bukan hanya usaha yang sah untuk mempertahankan identitas
agama dan budaya mereka, tetapi juga menawarkan alternatif yang lebih baik dari
modernitas Barat, yang telah menunjukkan defisit yang serius pada level global. Akan segera
tampak bahwa realisasi dari defisit modernitas Barat itu melintasi batas-batas agama,
budaya, dan batas-batas negara, di saat banyak ilmuwan non-muslim dan pembuat kebijakan
menyampaikan hujjah tentang perlunya melakukan usaha de-westernisasi, dekolonialisasi,
dan pribumisasi dari framework ilmu pengetahuan. De-westernisasi dan Islamisasi ilmu
kontemporer dalam keterkaitannya dengan konsep universitas Islam dan adab adalah
salah satu dari usaha-usaha ini. Dibandingkan dengan gerakan sejenis, Islamisasi ilmu
kontemporer, lebih bersifat spiritual, komprehensif, universal dan lebih kuat pengaruhnya. Ini
akan dijelaskan nanti.
Saya akan menegaskan kembali framework epistemologi tradisional, yang telah
dipahami dan dipraktikkan oleh mazhab Sunni. Kerangka filosofis dan metodologis yang
saya gunakan, sebagian besarnya berdasarkan pada apa yang telah dirumuskan oleh Syed
Muhammad Naquib al-Attas, seorang yang dipandang paling otoritatif di dunia muslim
kontemporer, dan juga pendiri sebuah insitusi Perguruan Tinggi yang sangat bermartabat,
yaitu the International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1987-2002.1
1 Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition on the Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998); Wan Mohd Nor Wan Daud and Muhammad Zainiy Uthman, eds. Knowledge, Language, Thought and the Civilization of Islam: Essays in Honour of Syed Muhammad Naquib al-Attas (Skudai; UTM Press, 2010); Ali A. Allawi, The Crisis of Islamic Civilization (New Haven and London: Yale University Press, 2009), Chap. 4; dan Mohd Zaidi Ismail dan Wan Suhaimi Wan Abdullah, eds. Adab dan Peradaban: Karya Pengitirafan untuk Syed Muhammad Naquib al-Attas (Kuala Lumpur: MPH, 2012).
2
Arkitektonik dan Kepetingan Strategis Pendidikan Tinggi
Pendidikan tak diragukan lagi merupakan wahana terpenting bagi individu dan
masyarakat untuk meraih kesejahteraan dan kemajuan. Tujuan pendidikan, sebagaimana
sebagian besar aktivitas manusia yang fundamental, adalah satu refleksi dari pandangan alam
(worldview) tertentu apakah bersifat individual atau sosial yang pada gilirannya akan
dimasukkan ke dalam materi, metodologi, dan evaluasi pendidikan. Suatu worldview pada
umumnya terbentuk oleh agama dan atau orientasi filsafat ditambah dengan lingkungan
sosio-historisnya dalam berbagai derajat interaksi yang sangat kompleks. 2 Dalam beberapa
dekade, komunitas muslim internasional telah dan masih terus menekankan pentingnya
pendidikan dasar dan menengah. Betapa pun, ketika para ilmuwan di Perguruan Tinggi
menekankan pentingnya suatu universitas, mereka sempat dianggap memiliki kepentingan
tertentu oleh sebagian orang. 3
Arkitektonik dan kepentingan strategis dari institusi Pendidikan Tinggi belum lama
dan ekonomi berbasis pengetahuan. 4 Beberapa ilmuwan dengan tepat telah mengakui bahwa
institusi Pendidikan Tinggi telah memainkan sebuah peran meskipun dalam jumlah yang
masih kecil dalam perjuangan meraih supremasi internasional. 5 Sejumlah akademisi
terkemuka, seperti Clerk Kerr, lebih dari setengah abad lalu telah menekankan bahwa bangsa-
bangsa yang bermaksud meraih pengaruh intenasional seyogyanya mendirikan pusat-pusat
studi yang unggul (excellent) pada level tertinggi.6 Kepentingan strategis lembaga semacam
ini, adalah sebagaimana pernah dinyatakan oleh Philip Coombs, mantan wakil Menteri Luar
2 Pemaparan lebih komprehensif dan filosofis tentang worldview of Islam lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995); tentang kaitan worldview of Islam dengan pendidikan tinggi, khususnya, lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Educational Philosophy, especially pp. 33-69; juga Alparslan Acikgenc, Scientific Thought and Its Burdens (Istanbul: Fatih University Publications, 2000), Chap. 2. 3 Roger Dale, Repairing the Deficits of Modernity: The Emergence of Parallel Discourses in Higher Education in Europe. In D. Epstein, R. Boden, R. Deem, F Rizvi and S Wright, eds. Geographies of Knowledge, Geometries of Power: Framing the Future of Higher Education. World Yearbook of Education 2008 (New York and London: Taylor and Francis, 2007), p. 15. 4 Lihat, sebagai contoh, Rajani Naidu, Higher Education: A Powerhouse for Development in a Neo-Liberal Age?, dalam Geographies of Knowledge, hal. 248-261; diskusi menarik tentang kerangka ilmu pengetahuan dan hubungannya dengan ekonomi dan geopolitik, lihat Vinay Lal, Empires of Knowledge: Culture and Plurality in the Global Economy. New and Expanded Edition (New Delhi: Vistaar Publications, 2005), khususnya bab 4 dan 5. Lihat juga Phillip G. Altbach, Higher Education in the Third World: Themes and Variations (Singapore: Maruzen Asia/Regional Institute of Higher Education and Development, 1982), bab 4, Servitude of the Mind? Education, Dependency, and Neocolonialism. 5 Phillip G. Altbach and Gail P. Kelly, Education and Colonialism (New York and London: Longman, 1978), hal. 31. 6 Lihat, Clerk Kerr, The Frantic Rush to Remain Contemporary Deadalus. Journal of the American Academy of Arts and Sciences. Volume 94, No. 4 Fall 1964, hal. 1051. Lihat juga Wan Mohd Nor, Masyarakat Islam Hadhari: Suatu Tinjauan Epistimologi dan Kependidikan ke Arah Penyatuan Pemikiran Bangsa (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006), hal. 19-23.
3
Negeri AS semasa pemerintahan John F Kennedy, bahwa pendidikan dan budaya adalah
aspek keempat dari politik luar negeri, disamping ekonomi, diplomasi dan aspek militer. 7
Babak Perang Dingin telah meningkatkan kepentingan strategis dari Pendidikan Tinggi, saat
dipahami bahwa persenjataan modern sangat bergantung pada ilmu pegetahuan ilmiah
dibandingkan dengan hitungan tradisional jumlah tentara dan banyaknya perlengkapan
militer. 8
Gagasan-gagasan dan konsep-konsep yang disusun oleh para ilmuwan yang
menekankan pentingnya institusi Pendidikan Tinggi dan Pusat Pemikiran berlanjut pada
pembentukan strategi geopolitik. Thomas Farr, yang bekerja di Kebijakan Luar Negeri AS
lebih dari 16 tahun, mengajukan gagasan tentang desekularisasi diplomasi. Ia mengusulkan
agar kebebasan beragama (religious freedom) harus dijadikan sebagai bagian terpenting dari
kebijakan politik luar negeri AS yang akan menghasilkan banyak aspek manfaat. Diantaranya
adalah penguatan keamanan nasional AS, dengan meruntuhkan terorisme Islam transnasional
dan ekstrimisme, menstabilkan perjuangan demokrasi di seluruh dunia Islam dan bagian
dunia lainnya; serta mendorong terjadinya transisi politik tanpa kekacauan di dalam negeri
sebagaimana terjadi di Cina. Kebijakan semacam itu juga dapat mengurangi persepsi di luar
negeri, bahwa AS adalah imperialis, hedonis, dan penjaja demokrasi bebas nilai. Juga, ini
akan mendorong perluasan bantuan kelompok-kelompok kepentingan AS dan memajukan
kerjasama di antara kelompok-kelompok agama di AS. 9
Kepentingan strategis dari Pendidikan Tinggi semakin tampak di masa kini,
khususnya di dunia Arab, dimana meskipun sebagian besar penduduknya memiliki persepsi
negatif terhadap kebijakan luar negeri AS, tetapi mereka memberikan apresiasi terhadap
pendidikan Tinggi AS. Hal ini telah memuluskan berdirinya berbagai cabang universitas-
universitas AS di dunia Arab. 10
Amerikanisasi institusi Pendidikan Tinggi di dunia Arab
difokuskan pada gagasan-gagasan dan nilai-nilai program ilmu-ilmu humaniora (liberal arts).
Menurut Peter Heath, Ketua American University di Beirut, yang merupakan universitas
Amerika tertua di dunia Arab, bahwa universitas-universitas Amerika di dunia Arab,
seharusnya mendidik manusia secara utuh dengan perhatian pada ilmu-ilmu humaniora.
Jika mereka mengerjakan hal itu, maka sekalipun mereka tidak begitu bagus dalam
akademisnya, saya menghormati mereka. Sebab, mereka berada pada jalan yang benar."11
Shafeeq Ghabra, Presiden Universitas Amerika di Kuwait, menyatakan bahwa Amerikanisasi
pendidikan tinggi artinya menerapkan Bahasa Inggris, menggunakan strategi dan model
pendidikan, buku-buku bacaan, kehidupan komunal, dan kegiatan ekstrakurikuler yang
7 Philip Coombs, The Fourth Dimension of Foreign Policy: Education and Cultural Affairs (New York: Harper and Row, 1964). 8 Roger Dale, Repairing the Deficits of Modernity, hal. 18. 9 Thomas F. Farr, World of Faith and Freedom: Why International Religious Liberty is Vital to American National Security (Oxford: OUP, 2008), hal. 26. 10 Shafeeq Ghabra with Margreet Arnold, Studying the American Way: An Assessment of American-Style Higher Education in the Arab Countries. Policy Focus #7 June 2007. Washington DC: The Washington Institute for Near East Policy, 2007). 11
Dikutip dari Gordon Robison, "Education: An American Growth Industry in the Arab World. Sebuah Proyek
dari Pusat USC tentang Diplomasi Publik, Proyek Media Timur Tengah, Los Angeles, Juli 2005, hal. 7-8.
Robison adalah Senior Fellow di USC Annenberg School of Communication.
4
popular dalam sistem pendidikan Amerika.12
Dalam Arab Knowledge Report tahun 2009, hal
terpenting dari kebebasan, sebagai salah satu persyaratan penting dalam mengembangkan
pengetahuan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat, adalah secara empatik dan konsisten
menekankan: "pengetahuan adalah kebebasan dan perkembangan, dan tidak mungkin ada
pengetahuan ataupun perkembangan tanpa kebebasan." (knowledge is freedom and development
and that there can be neither knowledge nor development without freedom).13
Laporan ini
memperingatkan hal yang mungkin relevan bahkan sampai hari ini, bahwa hubungan ini tidak
mekanis maupun terpisahkan14
. Namun, di tempat lain secara kategoris menegaskan bahwa
"hal ini adalah kebebasan faktual dan pengetahuan yang tidak terpisahkan sebagaimana
pengetahuan dan perkembangan"; dan hal itu tidak seharusnya terbatas pada bidang ekonomi
dan politik, tetapi "dalam segala manifestasinya."15
Pada Arab Knowledge Report Tahun
2010/2011 , telah diakui bahwa revolusi dan protes di dunia Arab sejak akhir 2011 ke depan
dimotivasi secara signifikan oleh generasi muda kelas menengah dan atas. Selanjutnya,
generasi muda di kelas sosial lain bergabung, dibantu oleh teknologi informasi dan
komunikasi. Sebagian besar generasi muda kelas menengah dan atas ini "memiliki kesamaan
akan prinsip, keyakinan dan keprihatinan terhadap masalah-masalah sosial dan politik dalam
realitas kehidupan mereka. (yang juga dibantu oleh) globalisasi prinsip-prinsip
keikutsertaan, kewarganegaraan dan organisasi kemasyarakatan."16
Dari perspektif Islam, kesadaran yang relatif baru dari kepentingan jangka panjang
dari pendidikan tinggi ini adalah yang paling akurat. Penekanan Islam pada pentingnya
pendidikan masa kanak-kanak berakar dari Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Muhammad saw.
Anak-anak adalah titipan Tuhan, dan adalah orang tuanya yang mengubah mereka menjadi
Yahudi, Kristen dan Zoroaster.17
Dalam dunia Melayu-Indonesia, pesan ini disampaikan
melalui peribahasa yang sangat popular: jika mahu melentur buluh, biarlah diwaktu
rebungnya (bambu paling mudah dibentuk ketika rebungnya masih muda).
Hal yang tidak ditekankan dalam tradisi yang sering diturunkan ini adalah bahwa
orang dewasanya, terutama orang tua dan para guru, adalah yang paling berperan dalam
proses ini. Nabi dikirim di semua tingkatan masyarakat, namun langsung pada pemikiran
orang dewasa yang matang (bulugh) yang bisa bertanggungjawab.18
Yang terbaik dari
generasi pertama kaum MuslimSahabat para Nabidilahirkan dan dibesarkan dalam masa
12
Ibid., hal. 7. 13
Arab Knowledge Report Tahun 2009: Towards Productive Intercommunication for Knowledge. Diterbitkan
oleh Yayasan Mohammad bin Rashid al Maktoum dan United Nations Development Program/Biro Regional
untuk Negara-negara Arab. Dubai, hal. 220. 14
Ibid., hal. 220. 15
Ibid., hal. 225-226. 16
Arab Knowledge Report Tahun 2010/2011: Preparing Future Generations for the Knowledge Society.
Diterbitkan oleh Yayasan Mohammad bin Rashid al Maktoum dan United Nations Development Program/ Biro
Regional untuk Negara-negara Arab. Dubai, hal. 2. 17
Al-Bukhari, Sahih sv: kitab al-Janaiz, No. 1319 (1292); also Muslim, Sahi sv: kitab al-Qadar,no. 2138
(2658). 18
Hal ini tampaknya konsisten dengan klasifikasi internasional misalnya dari UNESCO yang menganggap
orang dewasa yang di atas usia 15 tahun. Lihat Arab Knowledge Report Tahun 2010/2011, hal. 4. Namun, perlu
disampaikan bahwa kriteria Islami dari masuknya usia tanggung jawab (taklif), kedewasaan (bulugh), tidak
selalu kronologis, tetapi berdasarkan pengalaman, dan spesifik secara gender: menstruasi pertama untuk wanita,
mimpi basah pertama untuk pria.
5
para-Islam, dan kenyataannya, lingkungan anti-Islami yang kuat, tetapi kemampuan yang
mendalam dari pembentuk manusia dewasa, yakni Nabi Muhammad saw, sukses
mengislamkan pandangan alam, etika dan kemanusiaan mereka. Sebagian besar dari mereka
sudah dewasa ketika mereka menerima Islam, dan kemudian melakukan kontribusi yang
penting dan kekal tidak hanya kepada komunitas Muslim tetapi juga pada yang lain.
Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan efektif terjadi di tingkat dewasa, yaitu
institusi Pendidikan Tinggi dalam makna modernnya, dapat mengatasi kelemahan filosofis
dan etis pada tingkat pendidikan yang lebih rendah. Lebih jauh lagi, kesuksesan tingkat dasar
dan menengah tergantung sekali pada kesuksesan terdahulu dan keefektivan dari institusi
Pendidikan Tinggi, di mana pembuat kebijakan, perancang kurikulum, guru-guru,
administrator senior, dan bahkan orang tua sendiri, dididik dan dilatih. Lalu, sejumlah besar
orang-orang di bidang pendidikan non-formal seperti media massa dan elektronik, institusi
keagamaan dan politik adalah produk-produk dari institusi Pendidikan Tinggi. Semua
individu ini, secara langsung maupun tidak, mempengaruhi isi dan metode dari pendidikan
formal dan non-formal pada tingkat yang lebih rendah.
Mengenali kepentingan pendidikan tinggi secara arkitektonik dan strategis, negara-
negara yang memiliki ambisi tinggi, telah membangun tidak hanya jaringan universitas-
universitas terbaik, tetapi juga berbagai institusi untuk pendidikan lanjutan yang secara
serius berusaha memperluas batasan intelektual dan ilmiah di segala bidang ilmu
pengetahuan. Institut dan pusat ilmu semacam ini pertama kali didirikan di Universitas
Princeton, USA pada 1930; lalu dilanjutkan di Bielefeld (1968) dan Berlin (1980) di Jerman.
Lainnya didirikan di Wassenaar, Belanda (1971); Kansas, Jepang (1984); Uppsala, Swedia
(1985); dan Helsinki, Finlandia (2002). Pembangunan ini, nyatanya, disediakan dengan dana
yang cukup dan mempunyai staf akademis dan penelitian yang sangat terpercaya serta
memiliki administrasi yang fleksibel yang menaati budaya akademis dan penelitian yang
sangat kuat.19
Seiring dengan munculnya Cina sebagai salah satu kekuatan ekonomi global dan
militer yang paling dominan, ia juga ingin memiliki pengaruh yang lebih besar dalam hakekat
tatanan dunia baru, yang sampai sekarang hampir seluruhnya dibentuk oleh perspektif sosio-
ekonomi dan budaya Barat. Hal itu menekankan pentingnya pendekatan non-militer (soft
approach), yang berpusat pada ide-ide dan berbagi bentuk kerja sama. Baru-baru ini,
Universitas Fudan (didirikan tahun 1905) membuka institusi baru, Pusat untuk Kajian Budaya
dan Nilai-nilai Cina dalam Konteks Global (Center for the Study of Chinese Culture and
Values in the Global Context (SCCV)) dan mengadakan konferensi internasional dengan tema
"Merevitalisasi Budaya Cina: Nilai-nilai dan Norma-norma pada Satu Era Global", diadakan
26-27 Juni 2011. Di antaranya, konferensi ini mencoba mempelajari bagaimana Cina bisa
merevitalisasi nilai-nilai dan norma-norma budayanya untuk menghadapi tantangan
modernisasi dan globalisasi dan untuk memberikan 'kekuatan non militer' (soft power) untuk
masa depan global. Ia bermaksud untuk berbagi visinya dan menjadi peran utama dalam
19
Wan Mohd Nor Wan Daud, Budaya Ilmu dan Gagasan 1Malaysia: Membina Negara Maju dan Bahagia
(Kuala Lumpur: CASIS/BTN, 2012), hal. 30-31.
6
membentuk dunia baru serta untuk "berbagi visinya dengan dunia serta menjadi pemimpin
dalam membentuk era global yang baru".20
Dekolonisasi dan Dewesternisasi Pengetahuan dan Pendididkan
Globalisasi Eropa dimulai dengan perjalanan-perjalanan penemuan (discovery)
pada akhir abad ke-15. Hal ini diikuti dengan imperialisme, yang dicirikan dengan adanya
penaklukan dan pengendalian politik secara langsung dari kota-kota besar Eropa. Sejak abad
ke-17 dan seterusnya, imperialisme ini berhasil terwujud berkat kolonisasi dengan
pembentukan komunitas-komunitas imigran di wilayah-wilayah penjajahan, meniru kota-kota
besar, dan didukung dengan adanya perbudakan dan buruh kontrak menghasilkan
kolonisasi sebuah kondisi yang mengacu pada penundukan secara sistematis bangsa
terjajah.21
Perkembangan yang saling terkait ini, yang dimungkinkan oleh worldview
Eropasentris yang menggambarkan perspektif epistemik tertentu, telah menimbulkan banyak
penderitaan dan kerugian politik, ekonomi, serta sosial budaya penduduk asli.
Dominasi Barat menjadi lebih intensif dengan ikut berperannya Amerika Serikat
pada pertengahan abad ke-20 dalam bentuk neokolonialisme terutama melalui konsep
modernisasi dan pembangunan, dan kemudian, melalui konsep demokrasi, kebebasan, dan
Hak Asasi Manusia.22
Sepanjang abad ini, globalisasi telah menjadi, secara nyata,
fundamental terkait atas tersebarnya, penanaman pandangan tertentu tentang kebenaran dan
realitas dunia (a particular view of truth and reality of the world); atau dengan kata yang
biasa digunakan para ahli sosiologi, universalisasi rangkaian asumsi dan narasi, melalui
saluran pendidikan dan komunikasi yang informal dan formal, ke seluruh bagian dunia.
Globalisasi saat ini, terutama jika dikaitkan pada kerangka pengetahuan, telah
melampaui proses-proses sosio-geografis, budaya, dan ekonomi, dan menjadi "alasan dan
pembenaran untuk kelanjutan beberapa bentuk yang sangat destruktif eksploitatif.23
Neokolonialisme -- melalui hegemoni proyek modernitasnya -- memperdalam mitos
keunggulan Barat dalam semua dimensi, aturan budaya, ilmiah, dan sosial politik ekonomi.24
Hegemoni ini bahkan memasuki wilayah interpretasi agama masyarakat non-Barat, dimana
sifat atau batas toleransi beragama, moderasi, pluralisme, dan Hak Asasi Manusia ditentukan
secara signifikan dari perspektif Barat dan sekuler; diartikulasikan dan ditanamkan terutama
di lembaga-lembaga Pendidikan Tinggi.
20
Mohon rujuk pada brosur online konferensi di http://www.crvp.org/conf/2011// fudan.htm, downloaded
18/5/2011; see also, Wan Mohd Nor, Budaya Ilmu, hal.31. 21
Peter Cox, Globalization of What? Power, Knowledge and Neo-Colonialism. Paper untuk Implications for Globalisation: Present Imperfect, Future Tense. 17-19 December 2003. Annual Conference. Department of Social and Communication Studies, University College Chester. P. 5. Downloaded 6/14/2005); juga Wan Mohd Nor Wan Daud, Dewesternisation and Islamisation: The Epistemic Framework and Final Purpose. In N. Omar, W Che Dan, Jason S. Ganesan and R. Talif, eds. Critical Perspectives on Literature and Culture in the New World Order (Newcastle Upon Tyne: Cambridge Scholars Publishing, 2010) hal. 1-7.
22 Ramon Grosfuguel, Decolonizing Political-Economy and Post Colonial Studies: Transmodernity, Border Thinking, and Global Coloniality. Dalam Ramon Grosfuguel, Jose David Saldivar and Nelson Maldonado Torres (eds). Unsettling Postcoloniality: Coloniality, Transmodernity and Border Thinking (Durham: Duke University Press, 2007) versi internet, hal. 7-8
23 Cox, Globalization for What?, hal. 3.
24 Ibid,hal. 6.
7
Karena adanya dominasi global Barat di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, militer
dan ekonomi selama tiga abad terakhir, dapat dipahami -- walaupun bukan berarti diinginkan
-- jika Barat beranggapan bahwa bagian lain dari dunia ini berada di belakangnya dalam
berbagai kriteria utama kemajuan dan pengembangan manusia sebagaimana diterapkan di
Barat. Juga dianggap bahwa semua manusia non-Barat harus menjalani urutan serupa dalam
perkembangan spiritual, sosial, dan politik sebagaimana Barat dalam rangka untuk mengejar
ketinggalannya dengan, dan menjadi bagian dari umat manusia dalam masyarakat yang
berkembang.25
Konsep linier dan evolusi dari sejarah dan kemajuan manusia dari pusat Barat
ini tidak mentoleransi adanya perbedaan pemikiran atau gagasan dari pihak lain yang
bertentangan dengannya. Gagasan-gagasan yang berbeda ini akan dianggap sebagai
reaksioner, anti-modern, anakronistik, tradisional, tidak wajar, radikal, anti-kemanusiaan;
atau akan dikemas ke dalam idiom dan kategori yang dapat diterima oleh pandangan yang
dominan dan kepentingan pusat (Barat). Pandangan non-Barat tentang Kebenaran dan
Realitas, dan bentuk serta perspektif pengetahuan dan pembangunan mereka tentang manusia,
dianggap sebagai bersifat lokal dan partikular, dan karenanya tidak betsifat universal.26
Maka, kemanusiaan dianggap tidak akan memiliki masa depan kecuali apa yang telah
dipahamai dalam kerangka ilmiah dan worldview demokrasi dan liberal Eropa. Bahkan,
panggilan Protagorian, yang menggaris bawahi kerangka sekular kemanusiaan sejak masa
Helenisme Manusia adalah ukuran dari segala hal.,27
saat ini secara praktis dianggap
sebagai Manusia Barat adalah ukuran dari segala hal; segala yang memang benar sebagai
mana adanya; segala yang tidak benar, dan tidak seperti adanya
Dengan itu, bahasa, masyarakat, kebudayaan, ekonomi, dan teknologi China dan
Timur Jauh, India dan Benua Asia, Negara-negara Melayu dan Pasifik, Amerika Latin, Timur
Tengah, dan Afrika telah berubah secara signifikan, yang bahkan dalam beberapa kasus tidak
dapat dikembalikan lagi. Untuk menjadi modern dan beradab dan agar dapat diterima sejajar
dengan Barat, pada dasarnya suatu negara akan menjadi ke-Barat-baratan, sebuah persyaratan
yang sebenarnya diragukan, namun banyak negara non-Barat dan negara muslim yang
tampaknya menerima pandangan semacam itu. Alexander Solzhenitsyn mungkin benar
ketika ia mengamati, dalam pidatonya di Harvard University pada tahun 1978, bahwa
walaupun Jepang masih mempertahankan ciri-ciri ketimuran, tetapi ia tidak lagi menjadi
Negara Timur Jauh (Far East), tetapi lebih menjadi Barat Jauh (Far West) -- (A World Split
Apart).28
25
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Petaling Jaya: Muslim Youth Movement of Malaysia, 1978) ) hal. 25. Setelah ini disingkat IS. Martin Jacques menulis sekitar 40 tahun terakhir, Hitherto the world has been characterized by Western hubristhe Western conviction that its values, belief systems, institutions and arrangements are superior to all others. The power and persistence of this mentality should not be underestimated. Martin Jacques, When China Rules the World (London: Penguin Books, 2009) hal. 167.
26 Ninay Lal, Empires of Knowledge, Introduction dan bab 1; lihat juga Syed Farid Alatas, Alternative Discourses in Asian Social Sciences: Responses to Eurocentrism (New Delhi: Sage Publications, 2006).
27James L Jarrett, Educational Philosophy of the Sophists (New York: Teachers College/Columbia University Press, 1965).
28 Alexander I Solzhenitsyn, A World Split Apart (London: Harper and Row, 1978).
8
Kolonisasi memainkan peran penting dalam konsepsi dan sifat Perguruan Tinggi di
semua negara yang baru merdeka, dalam arti bahwa meskipun banyak diantaranya yang
didirikan sebelum kemerdekaan, namun keberadaan mereka hingga kini -- dan pembentukan
Perguruan Tinggi-Perguruan Tinggi yang baru - dibuat untuk melayani kepentingan
modernisasi bangsa negara baru dengan dibentuk sesuai dengan pola yang "benar" ala Barat.
Perkembangan ekonomi negara-negara "belum berkembang" ini dipaksa untuk mengikuti
dengan ketat semua tahapan Rostowian yang memungkinkan modernisasi termasuk
penerapan semua lembaga yang memungkinkan pencapaian tersebut di Barat, termasuk
Perguruan Tinggi-Perguruan Tinggi.29
Sejak tahun 1950an, beberapa ilmuwan dari berbagai
bangsa seperti Franz Fannon, pada Black Skin, White Masks (1952), Jalal Ale Ahmad, pada
The Occidentosis: Plague from the West (1952), Aime Cesaire, pada Discourse on
Colonialism (1955), Albert Memmi, pada The Colonizer and the Colonized (1957), mengutip
hanya empat ilmuwan tersebut, telah dapat mendokumentasikan bagaimana munculnya
perspektif Barat yang sekaligus memiskinkan bangsa lain, dan dengan demikian melakukan
tindakan merugikan bagi kemajuan manusia secara keseluruhan dan pembangunan di
berbagai belahan dunia. Aspek terburuk dari efek ini adalah apa yang telah dengan tepat
digambarkan oleh Syed Husin Alattas sebagai "captive mind".30
Sejak tahun 1970-an telah
dilakukan banyak diskusi serius mengenai dilakukannya de-westernisasi, dan pada negara-
negara bekas jajahan Barat Amerika Latin, India, Afrika, dan Dunia Islam secara
keseluruhan dilakukan dekolonisasi, sebuah proses yang masih dalam masa pertumbuhan.31
Sejak tahun 1970-an, gerakan Ilmu Pengetahuan Pribumi (Indigenous Knowledge
Movement), terutama di Amerika Utara, yang berusaha untuk menawarkan sebuah sistem
alternatif bagi pendidikan dan ilmu pengetahuan selain yang ditawarkan Eropa, menerima
penghargaan dan pengakuan internasional. Pada tahun 1990-an, gerakan ini telah
menghasilkan wacana dekolonisasi dan memikirkan kembali pendidikan bagi masyarakat
pribumi. Secara konseptual, pengetahuan asli menggarisbawahi orientasi teoritis dan
metodologis dari kerangka Eropasentris dan merekonseptualisasi ketahanan dan kemandirian
masyarakat pribumi, dan menitikberatkan pada orientasi agama, filsafat, dan pendidikan
mereka sendiri. Maka, ia mengisi ruang kosong antara etika dan ilmu pada ilmu dan
penelitian yang bersifat Eropasentris; dan juga menciptakan suatu keseimbangan baru dan
sudut pandang yang segar, untuk dapat menganalisa pendidikan yang bersifat Eropasentris
dan pedagoginya.32
Di antara bangsa-bangsa pertama, masyarakat, setidaknya di Kanada,
29
Roger Dale, Repairing the Deficits of Modernity, hal. 18. 30
Syed Husin Alatas, The Captive Mind and Creative Development. International Social Science Journal (36) 4: 691-700, 1974. Karya lainnya, The Myth of the Lazy Native (1977), dan Intellectuals in Developing Societies (1977) juga relevan.
31 Untuk konteks Malaysia, dapat dilihat misalnya, Mohamad Daud Mohamad dan Zabidah Yahya, (Compilers), Pascakolonialisme Dalam Pemikiran Melayu (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2005), dan Rahimah A. Hamid, Fiksyen Pascakolonial: Yang Menjajah dan Dijajah (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2010); untuk Indonesia, lihat Nyoman Kutha Ratna, Postkolonialisme Indonesia: Relevensi Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008).
32 Marie Battiste, Indigenous Knowledge: Foundations for First Nations, World Indigenous Higher Education Consortium Journal 2005, hal. 2-3. Http://www.win-hec.org/=node/34.. Lihat juga Evangelia Papoutsaki, De-Westernizing Research Methodologies: Alternative Approaches to Research for Higher Education Curricula in
http://www.win-hec.org/=node/34
9
telah memainkan peranan yang sangat penting dalam kapasitas bersama yang dapat
mengentaskan kemiskinan dan menciptakan pembangunan berkelanjutan.33
Banyak ilmuwan di tahun 1990-an, seperti Subaltern Study Group (SSG) terhadap
Amerika Latin, mengembangkan kritik-kritik intelektual dan segala hal yang terkait
denganya. Tapi, kerangka kerja mereka pada dasarnya masih diambil dari, dan dipengaruhi
oleh analisa post-strukturalis dan post-modern yang merupakan produk intelektual Barat.
Sementara kelompok berpengaruh lainnya, yang terpengaruh oleh karya-karya Ranujit Guha,
berusaha untuk mengkritik perspektif pendidikan Barat dari perspektif non-Barat dan
sebagian besar dalam perspektif India, dengan menyajikan kritik post-kolonial. Yang
dimaksudkan SSG dengan kritik post-modern (post-modern critique), adalah sebuah kritik
Erosentris atas Erosentrisme. Sedangkan kritik post-kolonial (postcolonial critique) mereka
dimaksudkan sebagai kritik Erosentrisme dari perspektif subaltern dan kerangka
pengetahuan yang tidak dikembangkan. Walaupun demikian, masih ada pendapat-pendapat
lain, seperti dari Ramon Grosfuguel, yang menyampaikan kebutuhan untuk mendekolonisasi
tidak saja ilmu-ilmu Subaltern, tetapi juga ilmu-ilmu post-kolonial. 34
Yang lain, seperti
Nelson Maldonado-Torres, mengimbau untuk dilakukannya diversalitas radikal dan
dekolonialisasi geopolitik ilmu. Sementara beberapa lainnya, seperti Vinay Lal,
mengusulkan perspektif Gandhi dalam menangani perbedaan pendapat intelektual terhadap
Barat. 35
Afrika dan Cina
Para cendekiawan Afrika telah menganalisis peran Perguruan--perguruan tinggi di
Afrika dalam westernisasi dan kemudian menawarkan beberapa pandangan dalam menangani
tantangan yang meluas. Ali Mazrui, sebagai contoh, telah mengamati bahwa Perguruan
Tinggi di Afrika sejak tahun 1960-an telah berfungsi sebagai suatu korporasi multinasional.
Perkembangan ini menjadi lebih diintensifkan dan meluas.36
Ia berpendapat perlunya
diadakan suatu agenda dekolonisasi dari proses modernisasi, namun tidak dengan
mematikannya.37
Ia mengamati, dengan nada keheranan, bahwa Sebagian besar analis
pengembangan Afrika telah menekankan ketergantungan ekonomi; sedikit perhatian terhadap
sastra atau dalam forum-forum kebijakan diberikan pada isu-isu cultural dependency
(ketergantungan kultural).38
Ia berpendapat bahwa walaupun sarjana perguruan tinggi Afrika
memainkan peran kunci dalam pembebasan politik nasional dari imperialis Barat, mereka,
tanpa menyadari telah melanggengkan ketergantungan budaya dan intelektual, setelah
Developing Countries. Dipresentasikan pada Global Colloquium of the UNESCO Forum on Higher Education, Research and Knowledge. Paris, 29 Nov-1 Des. 2006.
33 Marie Battiste, Indigenous Knowledge,hal.3; Lihat juga McConaghy, Cathryn, Rethinking Indigenous Education: Culturalism, Colonialism and the Politics of Knowing. (Flaxton, Qld: Post Pressed, 2000).
34 Grosfuguel, Decolonizing Political-Economy, hal.3.
35 Nelson Maldonado-Torres, The Topology of Being and the Geopolitics of Knowledge: modernity, Empire, Coloniality CITY, vol 8, no 1 April 2004; Ninay Lal, Empires of Knowledge.
36 Ali A. Mazrui, The African University as a Multinational Corporation: Problems of Penetration and Dependency. In Philip G. Altbach and Gail P. Kelly, eds. Education and Colonialism (New York and London: Longman, 1978).
37 Ibid, hal. 333, and 341.
38 Ibid, hal. 332.
10
kemerdekaan.39
Ia berpendapat bahwa suatu pemikiran baru dan tegas diperlukan untuk
menangani berbagai aspek ketergantungan.40
Perguruan tinggi adalah sebuah institusi kultural yang melibatkan keahlian-keahlian
(skills) dan nilai-nilai (values), dan harus secara berkesinambungan menilai ulang dirinya
sendiri atas program-program dan orientasi-orientasinya, apakah tetap relevan secara praktis
dan kultural. Ia mengakui bahwa beberapa perbaikan memang telah dilakukan dalam aspek-
aspek teknis, tetapi tidak dalam ilmu-ilmu sosial (yang telah mengubah beberapa konten
walaupun bukan metodologinya), terutama dalam mengenali elemen-elemen lokal seperti
penggunaan tradisi-tradisi oral.41
Ia memperingatkan: Jika orang-orang Afrika tidak secara
drastis mengubah metodologi-metodologi asing agar sesuai dengan kondisi masyarakat
Afrika, mereka tidak akan dapat maju lebih jauh pada alur substitusi budaya impor.42
Mazrui menyarankan agar pemikir-pemikir Afrika mengembangkan strategi bergigi
tiga (three-pronged strategy) dalam menangani tantangan-tantangan modernitas Barat dan
untuk memulai Afrikanisasi. Yang pertama adalah domestikasi dari modernitas dalam tiga
wilayah kunci seperti persyaratan masuk perguruan tinggi dan implikasinya terhadap tingkat
pendidikan yang lebih rendah, kriteria -- untuk persyaratan staf akademis -- dan organisasi
perguruan tinggi. Semua ini harus mencerminkan bakat dan kebutuhan non formal yang
memenuhi syarat dari suku asli. Namun demikian, ia mengkritik Gerakan Negritude dari
Leopold Senghor, mantan President Senegal, yang mengagung-agungkan tradisi-tradisi
Afrika yang tidak memiliki maksud yang jelas dan tidak ilmiah, dan keilmuan Marxis Afrika.
Kedua, diversifikasi muatan budaya modernitas yang menyertakan keduanya, muatan lokal
dan muatan asing non-Barat seperti yang berasal dari Timur dan Timur Tengah. Dan ketiga,
kontra penetrasi elemen-elemen dan ide-ide Afrika ke dalam peradaban Barat. Ia menekankan
bahwa domestikasi dan diversifikasi tidak akan dapat berhasil sepenuhnya hingga Afrika
sendiri dapat mempengaruhi Barat. Ia menyarankan bahwa hal ini dapat terjadi dengan
adanya hubungan dengan dunia Arab melalui pengaruh Dunia Arab terhadap Barat karena
minyak, dan melalui ikatan Afrika dengan Afro-Amerika yang merupakan komunitas orang-
orang Afrika terbesar kedua di dunia.43
Mazrui menyimpulkan bahwa pendewasaan penuh dari pendidikan Afrika akan dapat
hadir hanya melalui kapasitas yang independen dan inovatif, yang melibatkan tiga pekerjaan:
menyeimbangkan pengaruh Barat dengan budaya aslinya sendiri; mengijinkan peradaban
non-Barat dihargai oleh elit-elit pendidikan; dan mengubah lingkungan pendidikan dan
intelektual Afrika untuk dapat menghasilkan kreativitas asli. Maka setelah itu modernitas
tidak saja dapat di-dekolonisasi, atau dipartisipasi, tetapi dapat didefinisikan bagi generasi
yang akan datang.44
Ilmuwan-ilmuan dan filsuf-filsuf Afrika terdahulu telah secara aktif
mempelajari subjek-subjek ini selama beberapa waktu, sebagaimana dapat dilihat dari kerja,
39
Ibid, hal. 334, 338-341. 40
Ibid, hal. 341. 41
Ibid, hal. 342, 344. 42
Ibid, hal. 344. 43
Ibid, hal. 346-352. 44
Ibid.
11
misalnya, Okot pBitek, Thingo, Chinwenzu dan Wiredu.45
Wiredu, sejak 1980, sebagai
contoh, telah melaksanakan suatu program yang ia sebut sebagai dekolonisasi konseptual
atas filosofi Afrika (conceptual decolonization of African philosophy) yang melibatkan
domestikasi bidang-bidang ilmu (domestication of disciplines).46
Wacana dan perhatian yang serius ini terus berlanjut dengan publikasi berbagai karya,
sebagaimana diindikasikan oleh suatu publikasi khusus African Philosophy of Education,
pada edisi terbaru jurnal ini, Educational Philosophy and Theory, dimana semua kontributor
berpendapat adanya kebutuhan untuk, dan relevansi beberapa elemen filosofi tradisional
Afrika dalam pendidikan modern Afrika, maka:
Usaha Afrika berabad-abad untuk menaklukan eksploitasi kolonial, mulai
dari perbudakan hingga menciptaan struktur sosial ekonomi dimasa kolonial
yang dirancang sepenuhnya hanya untuk memperoleh hasil dan ekspor yang
maksimum atas bahan-bahan baku, mendatangkan kerusakan serius yang tetap
tampak bertahun-tahun setelah kehancuran pemerintahan kolonial. Hal ini
dapat tercapai ... melalui berbagai macam pengaturan, termasuk filsafat
pendidikan, kurikulum dan praktek-praktek yang berhubungan dengan
pemerintahan kolonial yang berkuasa. Untuk mengatasi keadaan ini, sistem
ilmu pengetahuan asli Afrika memiliki tujuan utnuk memperbaiki prinsip-
prinsip humanistis dan etis dengan menancapkannya pada worldview Afrika,
dan lebih khusus pada konsep communality dan ubuntu. Sistem-sistem ini
juga merupakan upaya untuk mengembangkan baik visi dan praktik
pendidikan yang meletakkan dasar bagi orang-orang Afrika untuk
berpartisipasi dalam menguasai dan mengarahkan jalannya perubahan dan
memenuhi visi belajar untuk tahu, belajar untuk melakukan, belajar untuk
menjadi, dan belajar untuk hidup bersama sebagai sama dengan orang lain.
Wacana semacam ini dalam pendidikan, pengetahuan dan pandangan pikiran
bukan sebagai komoditas, bukan hanya sumber daya manusia untuk
dikembangkan dan dieksploitasi, dan kemudian dibuang, tetapi sebagai harta
yang akan dibudidayakan untuk meningkatkan kualitas hidup dari baik bagi
individu maupun masyarakat. 47
45
Lihat juga Nwa Thiongo, Decolonizing the Mind: The Politics of Language in African Literature (Portmouth: Heinemann, 1986), Chinweizu, Decolonizing the African Mind (Lagos: Pero, Press, 1987), N wa Thiongo, Moving the Centre: the Struggle for Cultural Freedom (London: James Currey, 1993), Wiredu, Cultural Universals and Particulars: An African Perspective (Indianapolis: Indiana University Press, 1996).
46 Kwasi Wiredu, Toward Decolonizing African Philosophy and Religion. African Studies Quarterly. The Online Journal for African Studies. Html:file://G:\Decolonizing%20African%20Philosophy%20and%20Religion.mht. diunduh 21 July 2008.
47
Phillip Higgs, "African Philosophy and the Decolonisation of Education in Africa: Some Critical Reflections". In Educational Philosophy and Theory. Special Issue. African Philosophy of Education. Guest editors, Yusef Waghid and Paul Smeyers. vol 44, no S2, Sept 2012, pp 48-49. Saya ingin berterima kasih pada Prof Yusef Waghid yang telah mengirimkan salinan jurnal ini.
12
Seperti halnya Afrika, Cina dan India juga memiliki tradisi ilmiah dan intelektual
yang panjang, meskipun dengan pandangan alam filosofi keagamaan yang berbeda.
Perkembangan pendidikan tinggi mereka sangat mengesankan; tetapi, sebagaimana diamati
oleh ahli Pendidikan Internasional dunia, Philip G. Altbach, Sebagaimana halnya negara-
negara berkembang pada umumnya, kedua negara (Cina dan India), tidak memanfaatkan
tradisi keilmuan dan budaya asli mereka yang kaya.48
Dalam teori komunikasi, sebuah
bidang ilmu sosial yang baru, disebutkan bahwa Ilmuwan Asia dapat memberikan
kontribusi yang signifikan dalam me-universalkan komunikasi/ ilmu sosial dengan memberi
penjelasan kompleksitas sains dalam kaitannya dengan wawasan yang tertanam dalam
Budisme, Konfusianisme, Taoisme dan Hinduisme, diantara yang lainnya.49
Cina modern, negara terbesar di dunia dan salah satu negara terkemuka dalam
ekonomi dan politik global, senantiasa sadar akan peran khusus dari insitusi Pendidikan
Tinggi terhadap kepentingan nasional dan globalnya. Dalam Project 211 yang diluncurkan
tahun 1995, yang dikatakan sebagai kunci terbesar dalam program konstruksi Pendidikan
Tinggi dalam sejarah negara Cina 50
dan kemudian dalam The Action Plan for Rejuvenating
Education for the 21st Century yang diluncurkan tahun 2001, strategi dan pengembangan
akselerasi Pendidikan Tinggi senantiasa dikaitkan dengan pembangunan ekonomi,
perkembangan sosial, dan keamanan nasional. 51
Sementara pendidikan tinggi di Cina terus berupaya mengembangkan kapasitas
teknologi ke tingkatan tertinggi, penekanan pada promosi reset dalam filsafat dan ilmu-ilmu
social juga ditempatkan sebagai tugas strategis dan mendesak (urgent strategic task).52
Berbagai rencana dan proposal dalam skala besar dihasilkan untuk membentuk apa yang
disebut sebagai socialism with Chinese characteristics.53
Ia menegaskan:
Proposal-proposal itu memerlukan penguatan pengembangan penelitian, baik yang
tradisional, baru, antar-disiplin, maupun yang basis atau aplikatif imbauan untuk
proyek proyek penelitian yang memiliki konsekuensi semua aspek pengembangan
filsafat dan ilmu-ilmu sosial, dan proyek-proyek yang memiliki pengaruh kritis pada
48
Philip G. Altbach, One-third of the Globe: The Future of Higher Education in India and China, Prospects (2009) vol. 39, hal. 13.
49 Shelton A. Gunaratne, De-Westernizing Communication/Social Science Research: Opportunities and Limitations. Media, Culture & Society. Vol 32, no 3, 2010, hal. 474-475. Downloaded from MCS Sagepub.com at University of Colorado on August 25, 2011. Lihat juga S. A. Gunaratne, Buddhist Goals of Journalism and the News Paradigm. Javnost-The Public, vol 16, no 2, hal. 61-75; C.Y. Cheng, Chinese Philosophy and Contemporary Human Communication Theory, dalam D.L. Kincaid, (ed) Communication Theory: Eastern and Western Perspectives. (San Diego: Academic Press, 1987) hal. 23-43; dan Y. Ito, Mass Communication Theories from a Japanese Perspective, Media, Culture and Society vol 12, 1990, hal. 423-264.
50 Zhou Ji, Higher Education in China (Singapore: Thomson, 2006), p. 37. Mr Zhuo Ji adalah Menteri Pendidikan Tinggi China. 51 Ibid, hal. 44-45. 52 Ibid, hal. 128. 53 Ibid, hal. 132.
13
inovasi-inovasi berbagai disiplin ilmu, pada pengembangan spirit dan budaya
nasional, pada pengembangan sosial-ekonomi, dan pada keamanan nasional. 54
Cina berkeinginan menjadi masyarakat yang sejahtera di semua bidang pada 2020 dan
adalah tugas pendidikan tinggi untuk mencapai tujuan ini dengan cara mempercepat
pengembangan manusia dan masyarakat yang komprehensif dan mengalihkan beban
penduduk yang besar menjadi sumber daya manusia yang menguntungkan.55
Pada tahap awal
abad ke-21, universitas-universitas di Cina telah mengembangkan model-model Cina yang
unik dalam mengkombinasikan pendidikan, penelitian, dan industri 56
sebagaimana
melakukan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan local untuk memberikan kontribusi
pada pembangunan local, merancang organisasi-organisasi perkembangan sains dan
teknologi untuk mengelola proyek-proyek kerjasama dengan berbagai perusahaan;
mengenalkan modal ventura untuk menginkubasikan dan mengembangkan hasil-hasil
penelitian universitas lebih jauh; mempromosikan dan menyebarkan hasil-hasil penelitian
melalui berbagai pusat penelitian; mengembangkan perusahaan-perusahaan high-tech di
universitas untuk memaksimalkan hasil-hasil penelitian, dan membangun jaringan
universitas sains dan teknologi untuk mendorong kerjasama antara universitas dan
perusahaan.57
Indikasi tentang gambaran unik pendidikan di Universitas Cina lainnya adalah bahwa
perkembangan kesehatan moral dan mental mahasiswa dipantau secara cermat, sekurang-
kurangnya di tingkat pendidikan S1. Setiap kelas mempunyai seorang pembimbing dan
asisten untuk memonitor dan membimbing studi dan kehidupan mahasiswa, cara berfikir,
kecenderungan psikologis dan kesehatan mereka.58 Zhuo Ji menyatakan bahwa universitas-
universitas di Cina telah menjadi penyebar budaya Cina, baik di dalam maupun di luar
negeri.59 Lebih dari 292 lembaga-lembaga Konfusius yang disponsori Pemerintah telah
dibentuk. Lembaga-lembaga ini menyediakan pengajaran bahasa Cina dan program budaya
untuk mahasiswa asing, telah dibentuk. Pada tahun 2007, ada lebih dari 200.000 mahasiswa
asing di Cina, dan lembaga-lembaga Konfusius ini direncanakan akan meningkat menjadi
1000 pada tahun 2025.60
Meningkatnya pengaruh Cina di dunia, terutama di Afrika, telah menyebabkan
keprihatinan di Barat- terutama di Amerika Serikat. Hillary Clinton, mantan Menteri Luar
Negeri AS, belum lama ini memperingatkan terhadap "penjajahan baru" di Afrika ketika ia
berbicara di Lusaka Zambia selama kunjungan kenegaraannya. Dia memperingatkan Afrika
tentang kepentingan ekonomi baru dan aktivitas Cina di Benua (Afrika).61
54 Ibid, hal. 132. 55 Ibid, hal. 276. 56 Ibid, hal. 140. 57
Ibid, hal. 140. 58
Ibid, hal. 166. 59
Ibid, hal. 133. 60
Philip G. Altbach, The Future of higher Education in China and India, hal. 1819. 61
Reuters. Saturday, June 11th, 2011. Clinton warns against new colonialism in Africa.
14
Merupakan pendapat yang benar bahwa penting bagi warga demokrasi liberal Eropa
untuk memahami suara-suara alternatif dan bahkan tidak setuju dengan yang lain, yang
tidak hanya akan memperlambat roda neo-kolonialisme, tetapi yang lebih penting, akan
membuat orang Barat memahami bagaimana mitos superioritas mereka telah merusak diri
mereka sendiri sehingga mereka berusaha untuk membuat dunia yang lebih baik. Mereka
mungkin bisa mulai menangani ekses mereka sendiri; mempertanyakan lembaga dan gaya
hidup mereka sendiri; sebelum memutuskan suatu tindakan yang benar bagi
bangsa/masyarakat lain.62 Kesadaran akan fakta bahwa penafsiran Barat tentang realitas
mungkin bukan satu-satunya yang sah, tercermin dalam dokumen penting dalam wacana
publik Amerika modern, Piagam Williamsburg, yang ditandatangani pada bulan Juni 1988.
Piagam itu mengakui "Kesadaran filosofis dan budaya yang berkembang, bahwa semua
orang hidup dengan komitmen dan cita-cita, bahwa netralitas nilai adalah sesuatu yang
mustahil dalam mengatur masyarakat; dan bahwa kita berada di tepi momen yang
menjanjikan untuk menilai kembali tentang pluralisme dan kebebasan."63
Bahwa, setiap aktivitas manusia yang penting didasarkan pada satu perangkat
tertentu dari orientasi keagamaan, filsafat dan budaya telah menjadi lebih diterima. Yang
sama pentingnya, jika tidak lebih, seperti yang ditunjukkan oleh berbagai wacana
dewesternisasi dan dekolonisasi di atas dan di tempat lain, adalah kenyataan bahwa konsep
Barat tentang modernitas dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya telah sengit
diperdebatkan. Kini, sebuah tantangan yang lebih besar terhadap Barat setelah Perang
Dingin, bukanlah terorisme Islam, tetapi suatu era yang disebut Martin Jacques sebagai
"Era modernitas yang Diperdebatkan" yang menghasilkan dunia dalam beberapa
modernitas.64 Di antara banyak isu-isu kunci, menurut Jacques, ide-ide yang berkaitan
dengan makna kemajuan, pengembangan, dan peradaban tidak akan lagi identik dengan
Barat.65
Seorang pakar Cina kontemporer terkemuka, Huang Ping, dengan percaya diri
menekankan perbedaan mendasar antara peradaban Cina dan Barat dan seseorang akan
berpendapat bahwa, "Praktek Cina sendiri mampu menghasilkan alternatif konsep, teori,
dan framework yang lebih meyakinkan.66
Ulrich Beck, seorang sosiolog di University of Munich dan London School of
Economics, dalam sebuah wawancara baru-baru ini, berbicara tentang bagaimana
kesuksesan besar Modernitas Eropa pertama dari abad ke-18 hingga tahun 1960-an dan
1970-an, kini telah menghasilkan konsekuensi dan dampak yang tak terjawab, seperti
perubahan iklim dan krisis keuangan. Dia menambahkan dengan sindiran, "Krisis keuangan
adalah contoh kemenangan interpretasi spesifik dari modernitas: modernitas neo-liberal
62
Peter Cox, Globalization of What?, hal. 6. 63
The Williamsburg Charter: A Celebration and Reaffirmation of the First Amendment. In Os Guinness, The Case for Civility and Why our Future Depends on It. HarperCollins e-books, 2008, hal. 178.
64 Jacques, When China Rules the World, hal. 166-167.
65Ibid, hal. 167.
66 Dikutip dari Ibid, hal. 129.
15
setelah keruntuhan sistem komunis, yang menyatakan bahwa pasar adalah solusi dan
semakin kita meningkatkan peran pasar, semakin baik. Tapi sekarang kita melihat bahwa
model ini telah jatuh dan kita tidak memiliki jawaban." Menurutnya, " ... modernitas Eropa
adalah proyek bunuh diri ... Menciptakan modernitas kembali bisa menjadi tujuan khusus
untuk Eropa.67
Dunia Arab
Seperti yang telah saya bahas sebelumnya, dunia Arab secara agresif memulai
modernisasi lembaga pendidikan tinggi dengan mengadopsi model pendidikan Barat,
terutama Anglo-Amerika. Erat terkait dengan hal ini adalah proyek Arab yang berusaha
untuk mengurangi kesenjangan defisit pengetahuan antara belahan dunia tersebut dan
daerah yang lebih maju dengan menciptakan dan memelihara lingkungan (dan lembaga)
yang mendukung, serta pribumisasi pengetahuan.
The Arab Knowledge Report 2009 mengakui, meskipun tampaknya tanpa rasa
bangga: "Seperti halnya dengan bangsa-bangsa lain di dunia, orang-orang Arab selama
sejarah mereka telah membangun sebuah saham besar pengetahuan yang mengekspresikan
cara hidup dan keterampilan mereka dalam pekerjaan dan produksi."68 Tapi ini tidak
membantu mereka untuk mendapatkan keuntungan dari kemajuan teknologi, atau
mempribumikan media baru dan mekanisme yang akan memungkinkan mereka untuk
mengakses bentuk-bentuk baru pengetahuan.69
Laporan ini menunjukkan bahwa orang-orang Arab mentransfer dan
mempribumikan semua produk modern dari masyarakat ilmu pengetahuan dengan
"pengembangan bahasa Arab, revitalisasi pemikiran Arab serta adopsi dari prasyarat sejarah
dan perbandingan pemikiran modern.70 Pribumisasi "adalah operasi gabungan yang
menggabungkan pengalihan, terjemahan, pendidikan, pelatihan dan semua aktivitas yang
mengubah apa yang ditransfer ... menjadi tindakan berakar yang baik.... (yang
membutuhkan) pembinaan mentalitas baru yang mampu beradaptasi dengan mekanisme
baru dari pekerjaan dan produksi.71
Ini melibatkan penyalinan dari karakter substantif lokal, spesifik, dan Arab, menuju apa yang ditransfer, baik selama proses maupun setelahnya, sehingga informasi yang ditransfer menjadi terpadu secara organis dengan struktur masyarakat yang menerima.72 Hal ini memerlukan sikap mental keterbukaan dan inter-komunikasi. Dan ini mengandaikan sebuah reformasi budaya dan pendidikan. Hal tersebut mengkIaim bahwa pra-persyaratan konseptual dari revolusi pengetahuan tentang sifat manusia dan alam masih kurang di dunia
67
Ulrich Beck, Germany Has Created An Accidental Empire, Social Europe Journal, 25/3/2013, diakses pada 30/3/2013. 68
Arab Knowledge Report 2009, hal. 223-224. 69
Ibid, hal. 224. 70
Ibid, hal. 228. 71
Ibid, hal. 229. 72
Ibid, hal. 232.
16
Arab.73 Di seluruh teks The Arab Knowledge Report 2009, tidak dijelaskan bagaimana budaya
Arab dan warisan epistemologis, yang dipengaruhi oleh agama Islam, bisa membantu proses pribumisasi dan pengembangan pengetahuan masyarakat. Menarik untuk membandingkan dengan para sarjana dan pemikir Afrika seperti yang dikutip di atas -- meskipun keragaman yang lebih besar di antara para sarjana dan pemikir Afrika -- Arab terlihat tidak peduli dengan memanfaatkan elemen epistemologis dan pendidikan tradisional Arab-Islam dalam pembangunan manusia mereka. Sebaliknya, di akhir Laporan 2010/2011, sangat jelas disarankan bahwa untuk mengembangkan pengetahuan masyarakat melalui pengembangan pendidikan, "Apa yang dibutuhkan adalah untuk membuat lompatan kuantum dari 'pedagogi tradisional' yang berlaku dalam sistem pendidikan di kawasan Arab dan yang didasarkan pada hafalan dan dikte menjadi 'pedagogi konstruktif'".74 Pedagogi alternatif ini memiliki empat komponen yang bisa diidentifikasi, yaitu pusat pembelajaran siswa (student centered learning), evaluasi siswa yang komprehensif (comprehensive student evaluation), kerja informasi dan teknologi komunikasi dalam proses belajar mengajar, dan pendekatan yang fleksibel dalam proses belajar mengajar sesuai dengan pendidikan kontemporer dan bidang ilmiah, kehidupan siswa, dan lingkungan sosial mereka.75
Laporan 2010/2011 mengakui pentingnya peran agama dalam membentuk kehidupan pribadi dan sosial, serta membagi kepekaan agama pada dua perspektif kontras, ekstrimis dan yang tercerahkan secara etik. Perspektif ekstrimis yaitu "menolak ilmu pengetahuan, mengabaikan toleransi, menolak relativitas, [yang mengarah ke] ...penolakan metode ilmiah dan merusak ilmu pengetahuan, yang membatasi kebebasan berpikir, kreativitas, prioritas dialog, dan pengalaman sebagai pembangkit ilmu pengetahuan.76
Di sisi lain, perspektif yang tercerahkan secara etik menekankan pada pembangunan etika ilmu pengetahuan, mengembangkan dan mereformasi wacana agama, dan menanamkan nilai-nilai penelitian, integritas ilmiah, obyektifitas evaluasi, dan kerja keras.
Mendukung 'keraguan metodis' dalam meneliti dan mengevaluasi pengetahuan berdasarkan kreativitas dan berpikir kritis.Sebuah sistem pendidikan keagamaan baru yang diperlukan pada semua tahap, di mana kegiatan-kegiatan teoritis, ilmiah dan penelitian memenuhi tuntutan zaman.
Laporan (2010/2011), tanpa kualifikasi peringatan, mendesak keluarga dan semua media massa modern "untuk mengadopsi pola-pola pengembangan tertentu yang didasarkan pada penghormatan terhadap intelektual dan pluralisme agama, serta pernghormatan terhadap kepercayaan dan etika masyarakat berilmu pengetahuan: kebebasan, ko-eksistensi, keadilan, keselamatan, kepercayaan, etika lingkungan, informasi, internet, teknologi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan.77 Situasi ini kontras dengan perkembangan di Turki dalam dekade ini, dan di Malaysia sejak lima dekade terakhir, yang telah sangat berhasil dalam memproyeksikan modernitas dengan pengaruh agama yang moderat. Fethullah Gulen, salah satu pemikir kontemporer Turki yang paling berpengaruh, yang mencetuskan gagasan pembangunan ratusan proyek pendidikan dan kemanusiaan, termasuk lebih dari 20 universitas di berbagai belahan dunia,
73
Ibid, hal. 253. 74
Arab Knowledge Report 2010/2011, hal. 43. 75
Ibid, pp 43-44. 76
Ibid, hal. 55. 77
Ibid, hal. 56.
17
merefleksikan kepercayaan pendidikan ini ketika ia mengatakan: Asal usulnya [yakni sistem pemikiran kami] adalah pasti dan dikenal, bercahaya serta berdasarkan dan berhubungan dengan kebenaran yang diciptakan. Jika sebuah penafsiran seperti yang dipahami dalam ruh dan esensinya, maka akan mungkin bahkan hingga pada saat ini untuk mengedepankan dan mewujudkan sistem pemikiran kita sendiri, yang hasilnya akan membawa pembaharuan yang serius di seluruh dunia, membuka lebih banyak jalan dan rute untuk semua orang.78
Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer
Beberapa pemikir Muslim yang serius, terutama yang dipimpin oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas yang telah memahami dasar-dasar perbedaan ontologis, epistemologis, etika dan budaya antara Islam dan Barat sekuler yang dominantelah meluncurkan wacana serius dewesternisasi dan dekolonisasi melalui proyek intelektual Islamisasi pengetahuan kontemporer, yang berpusat di universitas.79 Konsepsi intelektual tentang Islamisasi pengetahuan masa kini, memang merupakan salah satu kontribusi paling revolusioner dan orisinal dalam pemikiran Muslim modern. Hal ini karena pemikiran Muslim modern telah terperangkap dalam rawa-rawa dan tawanan intelektual dalam dilema yang melemahkan antara tampilan indah dari hasil ilmu dan teknologi modern sekular yang tersebar, dan antara kekakuan mutlak dan kebangkrutan pemikiran tradisional itu sendiri, seperti yang telah dikonsep dan disajikan oleh para ahli hukum dan teolog. Meskipun konsepsi Islamisasi pengetahuan kontemporer sebagai ide intelektual dan metode epistemologis merupakan prestasi kontemporer, praktek Islamisasi pengetahuan yang aktual dimulai dengan wahyu pertama dalam ajaran Islam dan berlanjut sepanjang abad, meskipun dengan derajat keberhasilan yang berbeda.80
Konseptualisasi intelektual formal dalam proses Islamisasi, dimana umat Islam dapat melakukan kritik secara tepat dan memperoleh manfaat dari budaya dan peradaban lain, belum pernah dilakukan sampai abad ini. Tampaknya, kesadaran bahwa sains Barat modern adalah ateis secara alami dan oleh karena itu perlu diislamkan, pertama kali terdengar di awal tahun 1930-an, melalui Dr. Sir Muhammad Iqbal yang tidak menjelaskan atau mendefinisikan gagasannya.81 Syed Hosen Nasr, pada tahun 1960 secara implisit menunjuk metode Islamisasi sains modern dengan menyarankan bahwa yang terakhir harus ditafsirkan
78
M. Fethullah Gulen, The Statue of Our Souls: Revival in Islamic Thought and Revivalism (New Jersey: Tughra, 2009) , hal. 139.
79 Syed Muhammad Naquib al-Attas, IS,chap v: De-Westernization of knowledge. Buku yang berpengaruh ini dibaca luas dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa, seperti Arab, Turki, Persia, Benggali, Malayalam, Serbia-Kroatia, Kosovo, dan Indonesia. Bab ini dimuat dalam Jeniffer M. Webb, Powerful Ideas: Perspective on Good Society. 2 vols (Victoria: The Cranlana Programme, 2002) 1: 229-240. Untuk pembahasan lebih detail tentang tema Islamisasi pengetahuan masa kini seperti yang diuraikan oleh al-Attas and Ismail R. al-Faruqi, Seyyed Hossein Nasr dan lain-lainnya, silahkan melihat Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy, bab 6 dan 7.
80 Untuk penjelasan yang baik tentang proses pengembangan berbagai ilmu agama dan non-agama dalam Islam dari kerangka konseptual Islam dari zaman awal, silahkan melihat Alparslan Acikgenc, Scientific Thought and Its Burdens, esp. chaps 4 and 5; and idem, Islamic Scientific Tradition in History (Kuala Lumpur: Institute of Islamic Understanding Malaysia, 2012); lihat juga Wan Mohd Nor Wan Daud, Educational Philosophy, hal. 316-369.
81 Dikutip dari K.G. Saiyidain, Iqbals Educational philosophy (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1942) hal. 99
18
dan diterapkan dalam "konsepsi Islam tentang kosmos".82 Ismail R. al-Faruqi -- yang diuntungkan dari tulisan al-Attas -- dan International Institute of Islamic Thought (IIIT) kemudian mempopulerkan agenda Islamisasi ke banyak bagian dunia Muslim.83 Namun, Islamisasi pertama kali dan paling meyakinkan didefinisikan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas sebagai berikut:
membebaskan manusia pertama-tamanya dari tradisi magis, mitos, animistik, kultur nasional, lalu membebaskan dari jeratan sekular yang membelenggu akal dan bahasanya. Orang Islam adalah orang yang akal dan bahasanya tidak lagi dikontrol oleh magis, mitos, animisme dan tradisi nasionalisme dan kulturalnya. Inilah perbedaan antara Islam dan sekularisme Ia juga membebaskan dari ketundukpatuhan terhadap tuntutan fisik yang condong kepada sekularisme dan ketidakadilan (dan mengabaikan) kebenaran jiwanya, manusia secara fisik condong pada kelupaan terhadap alam sejatinya, mengabaikan tujuan hakikinya dan berlaku tidak adil padanya. Islamisasi adalah proses yang tidak membutuhkan banyak evolusi seperti perpindahan menuju alam aslinya Jadi, dalam tataran individu, keberadaan islamisasi secara personal mengacu pada apa yang dijelaskan di atas, di mana Nabi saw merupakan contoh tertinggi dan paling sempurna; sedangkan dalam tataran kolektif, keberadaan islamisasi secara sosial dan historis merujuk kepada Komunitas yang berjuang menuju realisasi kualitas moral dan etika kesempurnaan sosial yang dicapai selama zaman Nabi Muhammad saw.84 Dari definisi di atas, harus dipahami bahwa meskipun Islamisasi pengetahuan
kontemporer yang diperlukan melibatkan proses dewesternisasi yang selektif, namun pada dasarnya merupakan sebuah proses kembali kepada pandangan alam yang metafisik, kerangka epistemik, dan prinsip-prinsip etika dan hukum Islam. Sayangnya, Islamisasi sering direduksi untuk melegalkan atau menegakkan sebagian entitas sosial-politik, dan ilmu pengetahuan secara serampangan disamakan sebatas fakta, keterampilan dan teknologi. Pengetahuan, sebagai unit makna yang saling berkaitan dengan hal-hal yang masuk akal dan dimengerti yang hadir dalam jiwa manusia, atau ketika jiwa hadir padanya, pastilah tidak netral, karena makna tersebut secara organik berkaitan dengan kualitas dan kapasitas jiwa manusia dan dengan pandangan hidupnya.85 Namun, esensi hakiki dari hal-hal atau fakta yang sebenarnya yang merupakan unit makna tersebut bukanlah semata-mata dari imajinasinya, tetapi fakta tersebut adalah realitas objektif dan universal yang ada secara independen dari pikirannya.86
Maka inilah sebabnya bahwa "fakta", keterampilan dan teknologi secara zatnya, berpotensi menjadi baik atau buruk, benar atau salah, dan dengan demikian bisa
82
S.H. Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, Revised edition (London: Thames and Hudson, 1978) hal. xxi-xxii.
83 Ismail R al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan (Washington DC: IIIT, 1982). Untuk pembahasan masa kini yang lebih lanjut tentang konsepsi al-Faruqi tentang agama dan pengetahuan, silahkan melihat Imtiaz A. Yusuf, Al-Faruqis Concept of Religion in Islamic Thought (London: I.B.Taurus, 2012).
84 Al-Attas, IS, hal. 41-42.
85 Al-Attas, IS, hal. 154, also idem, The Concept of Education in Islam (Petaling Jaya: Muslim Youth Movement
of Malaysia, 1980), hal. 17. Hereafter, it will be cited as CEII. 86
Al-Attas, Islam and the Philosophy of Science (Kuala Lumpur: ISTAC, 1989) hal. 18-25; setelah ini ditulis IPS.
19
bermanfaat secara langsung, jika ditafsirkan dan diterapkan secara tepat sesuai dengan kerangka Islam, sehingga dapat membuatnya lebih berarti, adil, dan bijaksana.87
Namun, sayangnya sebagian besar pengetahuan sekarang ini pada dasarnya diyakinkan dan diinterpretasikan oleh Barat dan oleh karena itu sangat kuat dipengaruhi Barat dalam pandangan orang Timur. Karakteristik dominan dari pandangan hidup dan spirit Barat pada dasarnya didasarkan pada empat pilar utama, yaitu sekularisme, dualisme, humanisme, dan tragedi, yang meliputi seluruh aspek kehidupan dan pemikiran Barat, dan melalui mereka, sebagian besar dari dunia yang sudah terdidik.88 Jadi dewesternisasi dan Islamisasi pengetahuan masa kini mengacu pada proses ganda dengan mengisolasi dan menghapus hal-hal yang tidak Islami ini, hampir sebagian unsur-unsur dan konsep Barat, dan sekaligus menanamkan unsur-unsur dan konsep-konsep Islam ke dalam unsur-unsur dan konsep-konsep baru atau asing. Sebagian unsur-unsur dan konsep-konsep Islam ada yang berkaitan dengan agama (din), manusia (insan), pengetahuan (ilm dan marifah), kebijaksanaan (hikmah), keadilan (adl), dan tindakan yang tepat (amal sebagai adab), di mana pada gilirannya didasarkan pada, dan berhubungan erat dengan konsep Tuhan, Dzat dan sifat-Nya (tauhid), makna dan pesan Al-Qur'an, Sunnah, serta Syariah.89
Meskipun kebanyakan yang telah dibahas di sini secara garis besarnya berhubungan dengan humaniora, tetapi ia juga menyentuh ilmu alam, fisika dan sains terapan, utamanya dalam penafsiran fakta dan perumusan teori.90 Dengan kata lain, dewesternisasi dan Islamisasi pengetahuan masa kini adalah proses ganda dalam memilih, mengevaluasi, dan menafsirkan, di samping juga menilai ide-ide dan fakta, menciptakan dan memproduksi makna yang relevan -baik individu maupun sosial-, sesuai dengan metafisika Islam, epistemologinya, serta prinsip-prinsip etika-hukum. Tetapi, proses itu tidak hanya dilakukan dengan mencangkok atau memindahkan hal-hal ini pada tubuh pengetahuan atau sains masa kini yang merupakan produk dari pandangan alam (worldview) dan kerangka epistemologi sekuler.91
Pembangunan manusia dalam Islam, dalam arti yang fundamental, bergantung pada penanaman pandangan alam, kerangka epistemik, dan prinsip-prinsip etika-hukum. Islam memandang pengetahuan sebagai dasar dalam konsepsi manusia. Kepada Adam, manusia dan Nabi pertama, telah diajarkan "nama-nama benda" oleh Allah sendiri, hingga membuatnya lebih hebat dibanding para malaikat. Hal ini secara epistemologi merupakan sifat positif bagi manusia dalam Islam, yakni refleksi langsung dari tujuannya sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi, yang mengharuskan manusia memiliki kemungkinan untuk mencapai pengetahuan yang cukup tentang dirinya sendiri, tentang Tuhan, dan alam semesta. Oleh karena itu, dalam akidah kaum muslimin, yang bersumber dari Al-Qur'an dan ajaran Nabi Muhammad saw, telah tertanam kemungkinan mencapai suatu pengetahuan dipandang berlawanan dengan sekedar pendapat (ra'y), keraguan (shakk), dan dugaan (zann). Akidah Islam juga jelas-jelas menyatakan adanya beragam sarana diperolehnya pengetahuan yang mencerminkan pandangan kesatuan, yaitu persepsi indrawi, akal sehat, 87
Berkenaan dengan hubungan antara fakta (fact) dan kebenaran (truth), silahkan melihat al-Attas, IPS, hal. 23-24; tentang beragam definisi atau karakterisasi pengetahuan yang dibuat oleh sarjana Muslim, silahkan melihat Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: E.J. Brill, 1972) hal. 46-69.
88 Al-Attas, IS, bab 1 dan 2; idem, CEII, hal. 45-46
89 Al-Attas, IS, bab 3,4 dan 5; idem, CEII, hal. 39-46
90 Al-Attas, IS, hal. 155 ; idem, CEII, hal. 20-25
91 Lihat juga Al-Attas, IS, hal. 156; Nasr, An Introduction, hal. xxii
20
dan berita yang benar (khabar sadiq/wahyu). Kepastian (yaqin) dapat dicapai oleh akal (ilmul yaqin), dengan penglihatan ('ainul yaqin) dan pengalaman (haqqul yaqin).92
Pengetahuan manusia secara alami dimiliki oleh orang tertentu yang berjenis kelamin, berada dalam sosio-historis tertentu, dan dengan tingkat kekuatan spiritual atau kelemahannya. Kenyataan ini, bagaimanapun, tidak selalu berarti relatifnya pengetahuan menurut gender tertentu, kondisi sosio-historis, dan spiritualitas, sehingga menolak kemungkinan universalitas yang menembus batas-batas gender, sosio-historis dan spiritual. Hal ini sangat mendasar dan harus diapresiasi secara memadai, karena dalam Islam, pengetahuan manusia ('ulum), tidak sepenuhnya produk manusia: pengetahuan itu adalah anugerah, cahaya dari Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana termaktub dalam ayat-ayat suci Al Quran: (Allah mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya; Allah mengajarkan Adam nama-nama segala sesuatu; dan ketika Nabi ditanya tentang doa: Tambahkanlah aku ilmu).93 Oleh karena itu merupakan posisi yang diterima secara universal di kalangan semua sarjana Muslim -- sebelum adanya dampak pemikiran Barat tertentu, terutama postmodernisme dan post-strukturalisme -- untuk menolak relativisme epistemologis. Dari awal, epistemologi Islam yang mengakui bahwa pengetahuan adalah setara dengan kepastian dan kebenaran -- terlepas dari pendapat-pendapat, keragu-raguan, dan dugaan-dugaan, serta pengaruh negatif dari berbagai kepentingan manusia, yang secara umum diistilahkan sebagai hawa' -- tentu permanen dan universal.94 Stabilisme Dinamis (Dynamic stabilism)
Maksud baik pembaruan yang dilembagakan oleh kaum modernis dalam semua
masyarakat tradisional, termasuk dunia Islam, yang mencoba untuk mengintegrasikan pemikiran kontemporer, terutama pemikiran Barat dengan ide-ide agama pribumi atau ide-ide tradisional mereka sendiri, sering menghasilkan gangguan pada banyak tradisi dan praktek lama yang terbentuk. Ini menyebabkan kebingungan lebih lanjut dan melemahnya identitas dan lembaga masyarakat mereka. Aktivitas-aktivitas ini bersifat dinamis tetapi mengganggu. Keberhasilan perekonomian Asia Timur yang cepat dan mengagumkan juga melibatkan perubahan terus-menerus, seperti diakui oleh salah satu pengusaha cyber paling sukses Taiwan, Hung Tze Jan: "Kita harus mengubah begitu banyak sekali sistem nilai kita dalam waktu sedemikian singkat."95 Dalam kasus pengalaman Asia Timur, perubahan ini mungkin tampak tidak terlalu mengganggu. Mungkin karena fakta bahwa pandangan alam dan konsepsi kebenaran serta realitas mereka tidak didasarkan pada Kitab Ilahi, yang berisi sejumlah prinsip absolut, seperti dalam Islam. Selain itu, dapat dibantah bahwa agama-agama dan filsafat moral Asia Timur, menjadi agak kabur mengenai bentuk akhirat, yang kehidupan spiritualnya condong sekuler dalam arti bahwa ajaran-ajaran spiritual mereka sebagian besar ditujukan untuk kesuksesan dan kebahagiaan dalam kehidupan duniawi. Hal
92
Untuk pembahasan lebih lanjut dan beberapa rujukan dari al-Quran dan sumber-sumber lainnya, silahkan melihat Wan Mohd Nor Wan Daud, The Concept of Knowledge in Islam: Its Implications for Education in a Developing Country (London and New York: Mansell, 1989), khususnya bab 2, 3 dan 4; idem, Educational Philosophy, bab. 2.
93 Al-Alaq (96): 1-5; al-Baqarah (2): 31; Tha Ha (20): 114.
94 Tentang penolakan terhadap relativisme, lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy, pp
84-96; dan tentang hawa sebagai sebuah lawan kata dari ilmu dalam Islam, lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, The Concept of Knowledge in Islam, bab. 4. 95
Martin Jacques, When China Rules the World, bab. 126.
21
ini dapat dilihat dari ajaran terkenal Konfusius yang tercatat pernah mengatakan, dalam kaitannya dengan pentingnya dasar laki-laki dan wanita yang benar-benar baik (chun-tzu), bahwa kebenaran internal dari pikiran akan menyebabkan keindahan dalam karakter yang mengarah pada keharmonisan dalam rumah dan ketertiban di negara ini, yang akan berujung pada sebuah dunia yang damai.96
Namun, konservatisme agama, khususnya di dunia Arab, anak benua Indo-Pakistan, dan sebagian Afrika, juga harus bersungguh-sungguh dan berusaha untuk melindungi rakyat mereka dari dirusak oleh beberapa ide-ide modern, sehingga dengan demikian mempertahankan dengan ketat ide-ide tradisional dan bentuk eksistensi sosial.97 Konservatisme mereka, tidak diragukan membawa kestabilan, tapi menghalangi rakyat mereka mendapatkan hak atas banyak manfaat dari perkembangan ilmiah, intelektual, dan budaya yang ditawarkan oleh dunia kontemporer.
Dalam porsi lebih besar dari sejarah Islam, pengaruh sebenarnya dari intelektual, agama, dan transformasi budaya dan ilmiah mencerminkan sebuah proses yang saya sebut stabilisme dinamis (dynamic stabilism),98 yang terus menerus menggabungkan, mengadopsi, dan menyesuaikan berbagai ide eksternal, konsep, dan praktek sesuai pandangan alam keagamaan yang terbangun dengan baik, etika, dan hukum Islam. Proses asimilasi dan inkulturasi ini juga berlaku untuk semua pemikir non-Muslim vis a vis agama dan tradisi mereka sendiri. Sampai lingkup yang signifikan, sisi modernitas Asia Timur di Jepang, Korea Selatan, dan Cina mencerminkan stabilisme dinamis ini juga. Meskipun demikian merenungkan, observasi Soltzhenitsyn tentang pembaratan Jepang (dan masyarakat Timur lainnya), aspek yang paling fundamental dari masyarakat Jepang seperti hubungan sosial dan keluarga, operasi kelembagaan, dan budaya politik, tetap tidak terbaratkan.99 Situasi serupa juga ditemukan di Cina, dan masyarakat Asia Timur lainnya.100
Karya-karya dari semua pemikir kreatif Muslim tradisional dan reformis adalah dinamis dalam arti mencerminkan kegiatan mental dan fisik secara terus menerus, yang berusaha untuk memecahkan beberapa problem sejarah, konseptual, dan praktis. Solusi-solusi mereka sebagian besar atau seluruhnya baru. Namun ini tidak secara fundamental mengubah tetapi memperinci, memperbaiki, dan memperkuat metafisika, etika, kerangka hukum, dan social, serta prinsip-prinsip Islam. Oleh karena itu mereka melakukan stabilisasi.
96
Confucius, The Great Learning: A Source Book in Chinese Philosophy. Translated by W.T. Chan (Princeton: Princeton University Press, ), bab. 1, hal. 86; untuk uraian lebih jauh, lihat Tran Van Doan, Ideological Education and Moral Education. Ineds.Trans Van Doan, Vincent Shen and George F. McLean, Chinese Foundations for Moral education and Character Development (Washington, DC: The Council for Research in Values and Philosophy, 1991), hal. 113-153.
97 Di dunia Arab,lihatsebagai contoh, AKR 2010/2011, pp. 54-56; secara umum, dan dari sebagian besar
perspektif Amerika Serikat, lihat juga Christopher M. Blanchard, CRS (Congressional Research Service, Library of Congress)Islamic Religious Schools, Madrasas: Background. Order Code RS21654 Updated January 23, 2007. Laporan ini aslinya ditulis oleh Febe Armanios. Laporannya telah diupdate oleh Christopher Blanchard untuk memasukkan informasi yang relevandengan sessi pertamadari the 110th Congress. Christopher M. Blanchard in an analyst in Middle Eastern Affairs Foreign Affairs, Defense, and Trade Division. 98
Saya telah mendefinisikan konsep ini dalam kata pengantar buku Language, Thought, Education and the Civilization of Islam: Essays in Honour of Syed Muhammad Naquib al-Attas, oleh Wan Mohd Nor Wan Daud and M Zainiy Uthman eds. (Skudai: UTM Press, 2010) hal, 50-51. Sebagai perbandingan, lihat juga karya yang sangat baik tentang Gulen oleh Mehmet Enes Ergene, Tradition Witnessing the Modern Age: An Analysis of the Gulen Movement (New Jersey: Tughra, 2009) terutama hal. 106-113. 99
Martin Jacques, When China Rules the World, hal. 130. 100
Ibid, 119-162.
22
Islamisasi adalah proses transformasi tersebut. Dalam konteks de-westernisasi dan dekolonisasi Pendidikan Tinggi dalam masyarakat Muslim di era modern, terutama sejak awal 1970-an, sebagian besar wacana tentang produk akhir Islamisasi pendidikan adalah penulisan buku-buku teks, pembaruan disiplin akademis, dan menciptakan atau mereformasi lembaga-lembaga sosial-budaya dan ekonomi. Apa yang tampak dilupakan atau diambil tanpa dipikirkan terlebih dahulu adalah kenyataan bahwa tujuan akhir dari de-westernisasi, dekolonisasi, dan Islamisasi pengetahuan dan pendidikan kontemporer harus benar-benar fokus pada penciptaan manusia yang baik (good man) yang akan melakukan berbagai peran dalam masyarakat. Proyek dekolonisasi, de-westernisasi, dan Islamisasi bukan sekedar reaksi untuk kondisi eksternal yang tidak Islami belaka, tetapi yang lebih penting, dan mendasar, kembali kepada tujuan dan sifat asli manusia yang membawa manusia ke tujuan penerimaan dan penyebaran pengetahuan dan makna dan tujuan pendidikan. Pengembangan sumber daya manusia dalam Islam terpusat dan berakar pada pendidikan, yang tujuannya, sebagaimana akan diuraikan kemudian dalam kuliah ini, bukan hanya untuk menghasilkan seorang warga negara yang baik (good citizen) bagi negara-bangsa maupun pekerja yang baik bagi suatu perusahaan, tetapi lebih mendasar, yaitu sebagai seorang manusia yang baik, sebagai seorang yang beradab.101 Seorang warga negara yang baik atau pekerja di sebuah negara sekuler atau organisasi belum tentu menjadi orang yang baik, tetapi seorang manusia yang baik, bagaimana pun, pasti akan menjadi pekerja dan warga negara yang baik.102
Hal ini jelas bahwa jika majikan atau negara yang baik sebagaimana didefinisikan dari kerangka holistik Islam, maka menjadi pekerja yang baik dan warga mungkin identik dengan menjadi orang yang baik. Tetapi sebuah negara Islam mengisyaratkan keberadaan dan keterlibatan aktif dari masyarakat, laki-laki dan perempuan yang berfikir Islami. Menekankan pada aspek individu, mengimplikasikan diraihnya pengetahuan tentang kecerdasan, kebajikan, dan roh, dan tentang tujuan dan kedudukan tertinggi seseorang. Hal ini juga karena kecerdasan, kebajikan, dan roh adalah unsur yang melekat dalam individu. Sebaliknya menekankan pada aspek masyarakat dan negara membuka pintu untuk legalisme dan politik. Fokus utama pada individu sangat mendasar karena tujuan akhir dan puncak dari etika dalam Islam adalah bersifat individu.103 Hal ini karena gagasan tanggung jawab individu dan akuntabilitas sebagai agen moral dalam Islam adalah individu yang harus diberi ganjaran atau hukuman pada hari kiamat.
Karena lembaga-lembaga pendidikan tinggi, khususnya universitas, merupakan lembaga yang paling arkitektonik dan strategis untuk mendidik dan melatih individu dan
101
S.M.N al-Attas, IS, hal. 141. 102
S.M.N. al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin. Sebuah diktat panjang tulisan tangan untuk sekretarisnya dalam bulan Maret 1973. para 14, hal. 51-52. Karya ini kemudian dipublikasikan dengan judul yang sama oleh ISTAC pada tahun 2001; idem, Islam: The Meaning of Religion and the Foundation of Ethics and Morality (Petaling Jaya: Muslim Youth Movement of Malaysia, 1976), hal. 33-34; idem, editor. Aims and Objectives of Islamic Education (London: Hodder & Stoughton/King A. Aziz University, 1979) hal. 32-33, juga idem, CEII, hal. 25. Saya telah megnuraikan ide Al-Attas ini dalam artikel saya, Insan Baik Teras Kewarganegaraan (The Good Man as the Core of the Good Citizen), Pemikir, Januari-Maret 1996, hal. 1-24. 103
IS, hal. 70; merujuk pula pada hadits Nabi dalam Muslim, Sahih: kitab amr bil maruf wa nahy anil mungkar, (70) 49 :"Barangsiapa melihat suatu tindakan jahat (munkar), ia harus mengubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu, dengan lidahnya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan yang terakhir itu adalah selemah-lemah iman."
23
reformasi masyarakat yang sangat penting -- dimana proses Islamisasi seharusnya diartikulasikan dan dibahas dengan cara terbaik maka konsepsi yang tepat dari universitas dalam Islam adalah yang pertama kali harus dipahami. Konsep Universitas dalam Islam
Visi untuk universitas Islam modern yang mampu menjawab tantangan-tantangan epistemologis Barat modern, ide-ide budaya, sosial-politik dan ekonomi serta pengaruh-pengaruhnya, adalah hal yang telah dipahami dengan baik oleh beberapa pemikir Muslim yang berwawasan luas. Bahwa, inti sebenarnya dari masalah yang timbul di negeri-negeri Muslim adalah masalah pengetahuan (the problem of knowledge). Oleh karenanya diusulkan, bahwa Universitas Islam didirikan dengan struktur dan konsepsi tentang apa yang membentuk ilmu pengetahuan, tujuan dan sasaran pendidikan, berbeda dengan Universitas sekuler modern. Tujuan Pendidikan Tinggi bukan untuk menghasilkan warga negara yang lengkap (complete citizen), melainkan untuk menghasilkan manusia seutuhnya (complete man), atau manusia universal. Seorang sarjana Muslim adalah orang yang bukan spesialis dalam salah satu cabang pengetahuan tetapi bersifat universal dalam pandangannya dan berwibawa dalam beberapa cabang ilmu pengetahuan terkait.104
Konsep sebuah universitas, sama seperti konsep kunci (key concept) lainnya dalam Islam, harus mencerminkan semangat stabilisme dinamis. Dalam arti bahwa meskipun memiliki ciri-ciri dasar permanen tertentu, tetapi ia juga berisi prinsip-prinsip dan metode-metode yang memungkinkan untuk melakukan transformasi, dan adaptasi dengan situasi baru.105 Dasar-dasar konseptual dan intelektual, yang dikembangkan oleh para sarjana yang otoritatif, adalah salah satu aspek yang paling penting dari lembaga Pendidikan Tinggi, yang didukung oleh banyak penyokong dari kalangan orang kaya dan penguasa di masa lalu. Lembaga-lembaga Pendidikan Tinggi Islam yang besar, apakah mereka menjadi Jamiah, madrasah, khaniqah-zawiyyah, atau tekkes, atau di dunia Melayu, pesantren atau pondok, membangun visi dan program mereka di sekitar tokoh, ulama karismatik.106 Dengan ini dapat ditegaskan bahwa pendidikan Islam di puncaknya, berpusat di sekitar ulama, yang
104
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Letter to the Islamic Secretariat, dated 15th
May 1973, pp. 1-2. Untuk sebuah diskusi mendetail tentang ide dan relaitas dari Universitas Islam, lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Educational Philosophy, bab 4. 105
Bandingkan ini dengan educationism, konsep yang tetap dan tidak berubah dari Universitas dan sektornya, dalam Roger Dale, Repairing the Deficits of Modernity, hal. 15. 106
Untuk tradisi pembelajaran tinggi Muslim, lihat Ahmad Shalaby, History of Muslim Education (Beirut: Dar al-Kashshaf, 1954); Bayard Dodge, Al-Azhar; A Millenium of Muslim Learning (Washington, D.C. The Middle East Institute, 1961); idem, Muslim Education in Medieval Times (Washington D.C; The Middle East Institute, 1962); Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350 (Boulder: University of Colorado Press, 1964); Munir ud-Din Ahmed, Muslim Education and the Scholars Social Status Up to the 5
th.
Century Muslim Era (11th
Century Christian Era) in the Light of Tarikh Baghdad (Zurich: Verlag der Islam 1968); Gorge Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981); Barbara Daly Metcalf, Islam Revival in British India: Deoband, 1860-1900 (Princeton: Princeton University Press, 1982); A.Chris Eccel, Egypt, Islam and Social Changer: Al-Azhar in Conflict and Accomodation (Berlin: Klaus Schwarz Verlag, 1984); Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Mutiara, 1966), Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement 1900-1942 (Singapore: OUP, 1973); Mehmet Ipsirli, Scholarship and Intellectual Life in the Reign of Suleyman the Magnificient, in Ministry of Culture and Tourism of the Turkish Republic, The Ottoman Empire in the Reign of Suleyman the Magnificient.2 parts in 1 (Ankara: Ministry of Culture and Tourism, 1988) 2:15-58.
24
menjadi lembaga. Calon siswa sangat disarankan untuk memilih guru-guru mereka dengan hati-hati berdasarkan pembelajaran, karakter, dan pengalaman mereka.107 Tren serupa juga bisa dilihat di zaman kuno di dunia Barat dan dalam periode awal pertumbuhan beberapa universitas Barat abad pertengahan di Spanyol, Italia, Perancis dan Inggris.108 Meskipun praktek ini berlanjut ke zaman modern, di mana para ilmuwan terkemuka, secara individu dicari oleh universitas dan mahasiswa, sifat bawaan kelembagaan dari lembaga akademis telah digantikan otoritas individu ulama.
Secara konseptual, pembentukan lembaga Pendidikan Tinggi Muslim sebagai mikrokosmos sebuah universitas Islam yang ideal tergantung pada pengalaman yang luas dan kemampuan multi-disiplin pemimpin tertinggi organisasi dan akademik. Filosofi dari sebuah lembaga pendidikan Islam yang lebih tinggi berkaitan dengan pendidikan dan riset adalah: "... didasarkan pada konsep ilmiah bahwa pengetahuan bersifat universal (kulliy), yaitu pengetahuan memiliki karakteristik universal yang mencakup semua aspek kehidupan dan penciptaan. Pengetahuan harus mencerminkan universalitas, dan penelitian di bidang khusus ... harus dilakukan tidak hanya untuk memahami secara spesifik, tetapi juga untuk memahami hubungan mereka vis--vis dengan keseluruhan ".109 Secara organisasi, universitas seharusnya tidak dibagi menjadi departemen terpisah dan saling eksklusif seperti yang biasa dilakukan di Fakultas akademik dari universitas yang paling modern.110
Ada beberapa perbedaan struktural, epistemologis, dan teleologis mendasar antara "universitas Islam dan sebuah universitas sekuler Barat. Hal ini tidak cukup beralasan menyamakan lembaga Pendidikan Tinggi muslim pada periode awal, seperti madrasah, dengan istilah "universitas", dilihat secara umum dalam konsepsi Barat, dan khususnya sekuler.111 Namun telah dibuktikan bahwa universitas Barat pada periode-priode awal, secara konseptual dan historis sama sekali berbeda dari lembaga Pendidikan Tinggi Islam (madrasah atau Jami'ah), dan dengan demikian membuktikan tidak adanya pengaruh dari universitad di Barat pada lembaga pendidika Islam pada periode awal. Memang benar bahwa istilah Barat "universitas" -- dari Bahasa Latin universitas -- dalam beberapa hal, sangat berbeda dari Jami'ah Islam atau madrasah. Secara konseptual, dan seperti yang dipahami dalam pengertian Barat aslinya, "universitas" berarti suatu kumpulan, pluralitas, dan suatu kelompok orang-orang. Dalam konteks pendidikan, istilah "universitas" berarti serikat atau lembaga para master, seperti di Paris, atau mahasiswa, seperti di Bologna, yang keduanya berkembang pada akhir abad ke-12 Masehi. Ada dua universitas yang dianggap sebagai arketipe universitas-universitas Barat. Menurut Rashdall, pada Zaman Pertengahan
107
Burhan al-Din al-Zarnuji, Talim al-Mutaallim: Tariq al-Taallum (Instruction of the Student: The Method of Learning). Terjemah dan pengantar oleh G.E. Von Grunebaum dan T.A. Abel (New York : Kings Crown Press, 1947) hal. 28-29. 108
Untuk munculnya pendidikan tinggi di jaman kuno dan jaman pertengahan di Barat, lihat H.I. Marrou, A History of Education in Antiquity.Trans. George Lamb (Madison: The University of Wisconsin Press, 1982); Hastings Rashdall, The Universities of Europe in the Middle Ages. Edited by F.M. Powicke and A.B. Emden.3 vols. New edition of 1936. (Oxford: Clarendon Press, 1987); Charles Homer Haskins, The Rise of Universities. Reprint of 1923 ed. (Ithaca and London: Cornell Univesity Press, 1957). 109
Lihat Dasar dan Matlamat, dalamRencana Pengajian Lanjutan Serta Luasan Penyelidikan dan Dasar Ilmiah Institut Bahasa.Kesusasteraan dan Kebudayaan Melayu, Univeristi Kebangasan Malaysia. N.d,
Top Related