Download - Hubungan antara pmo dengan keberhasilan pengobatan tb

Transcript

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyakit tuberkulosis (TBC) adalah penyakit kronis menular yang masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. World Health Organization (WHO) dalam annual report on global TB control 2003 menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai highburden countries terhadap TBC. Indonesia tiap tahun terdapat 557.000 kasus baru TBC. Berdasarkan jumlah itu, 250.000 kasus (115/100.000) merupakan penderita TBC menular. Dengan keadaan ini Indonesia menempati peringkat ketiga jumlah penderita TBC di dunia, setelah India (1.762.000) dan China (1.459.000). TBC telah membunuh tiga juta orang pertahun. Diperkirakan, kasus TBC meningkat 5-6 persen dari total kasus. Penyakit Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberkulosis. Kuman ini dapat menular lewat percikan ludah yang keluar saat batuk, bersin atau berbicara. Umumnya kuman TBC menyerang paru karena penularannya melalui udara yang mengandung kuman TBC dan terhirup saat bernapas (Rachmawati, 2007). Untuk kegiatan penanggulangan Tuberkulosis (TB), khususnya TB Paru di Indonesia telah dimulai sejak diadakan simposium pemberantasan TB Paru di Cilito pada tahun 1969. Namun sampai sekarang perkembangannya belum menunjukkan hasil yang menggembirakan (Depkes RI, 2002). Namun diakui bahwa terdapat kendala-kendala dalam pelaksanaan program sejak 1969 ini, antara lain terbatasnya jangkauan program, tingginya angka drop out dalam pengobatan karena digunakan obat-obatan jangka panjang. Kebanyakan penderita adalah mereka dari kalangan pendidikan dan sosio-ekonomi rendah (Eliska, 2005). Berdasarkan hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 2001, estimasi prevalensi angka kesakitan di Indonesia sebesar 8 per 1000 penduduk berdasarkan gejala tanpa pemeriksaan laboratorium. Hasil survei SKRT tahun 2001, didapatkan bahwa TBC menduduki rangking ketiga sebagai penyebab kematian (9,4% dari total kematian), setelah penyakit sistem sirkulasi dan sistem pernafasan pada semua golongan usia (Depkes RI, 2002).Sejak tahun 1995, program pemberantasan TBC telah dilaksanakan dengan strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) yang direkomendasi oleh WHO merupakan pendekatan yang paling tepat saat ini dan harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Program ini menekankan pada diagnosis yang benar dan tepat dilanjutkan dengan pengobatan jangka pendek yang efektif serta pengawasan, angka keberhasilan pengobatan mencapai 85%. Pelaksanaan DOTS di klinik perusahaan merupakan peran aktif dan kemitraan yang baik dari pengusaha serta masyarakat pekerja untuk meningkatkan penanggulangan TBC di tempat kerja. Seiring dengan pembentukan gerakan terpadu nasional penanggulangan TBC, maka pemberantasan penyakit tuberkulosis paru berubah menjadi program penanggulangan TBC. Tujuan jangka pendek penanggulangan TBC adalah menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit TBC dengan cara memutuskan rantai penularan, sehingga penyakit TBC tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (Fahrudda, 2005). Pengobatan pada penderita TBC dapat dilakukan dengan beberapa kombinasi obat yang memang ditujukan untuk membasmi kuman. WHO merekomendasikan strategi pengobatan DOTS, yaitu penderita minum obat dengan diawasi pengawas menelan obat. Pengawas ini bisa anggota keluarga, kader, petugas kesehatan atau relawan. Umumnya penderita minum obat selama 6 bulan untuk memastikan kesembuhannya, namun pada beberapa keadaan dapat berbeda dapat lebih lama (Rachmawati, 2007). Kasus penyakit TBC sangat terkait dengan faktor perilaku dan lingkungan. Faktor lingkungan, sanitasi dan higiene terutama sangat terkait dengan keberadaan kuman, dan proses timbul serta penularannya. Faktor perilaku sangat berpengaruh pada kesembuhan dan bagaimana mencegah untuk tidak terinfeksi kuman TBC. Dimulai dari perilaku hidup sehat (makan makanan yang bergizi dan seimbang, istirahat cukup, olahraga teratur, hindari rokok, alkohol, hindari stress), memberikan vaksinasi dan imunisasi baik pada bayi, balita maupun orang dewasa. Penderita dengan berperilaku tidak meludah sembarangan, menutup mulut apabila batuk atau bersin, dan terutama kepatuhan untuk minum obat dan pemeriksaan rutin untuk memantau perkembangan pengobatan serta efek samping (Hendrawati, 2008). Penatalaksanaan lingkungan, terutama pada pengaturan syarat-syarat rumah sehat diantaranya pencahayaan, ventilasi, luas hunian dengan jumlah anggota keluarga, kebersihan rumah dan lingkungan tempat tinggal. Melalui pemberdayaan keluarga sehingga anggota rumah tangga yang lain dapat berperan sebagai pengawas menelan obat (PMO), sehingga tingkat kepatuhan minum obat penderita dapat ditingkatkan yang pada gilirannya kesembuhan dapat dicapai (Hedrawati, 2008). Pasien TBC perlu mendapatkan pengawasan langsung agar meminum obat secara teratur sampai sembuh. Orang yang mengawasi penderita TBC dikenal dengan istilah PMO. Pengawas menelan obat (PMO) sebaiknya orang yang disegani dan dekat dengan pasien TBC, misalnya keluarga, tetangga, atau kader kesehatan. Pengawas menelan obat PMO bertanggung jawab untuk memastikan pasien TBC meminum obat sesuai anjuran petugas puskesmas atau UPK (Hendrawati, 2008).

Mengingat tingginya kasus tuberkulosis serta resiko penularan terhadap orang lain yang cukup tinggi maka penatalaksanaan penyakit tuberkulosis paru harus benar-benar dilaksanakan sesuai dengan kebijaksanaan program pemberantasan penyakit tuberkulosis paru. Peran pengawas menelan obat sangat penting dalam rangka penyembuhan penderita tuberkulosis paru, sehingga pelaksanaan Program Pemberantasan Penyakit TB (P2TB) sangat diperlukan evaluasi untuk mengetahui tingkat keberhasilannya (Gerdunas 2007). Berdasarkan data yang diperoleh dari bidang pemberantasan penyakit menular Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Sidoarjo tahun 2014: bahwa angka penemuan kasus, case detection rate (CDR) tertinggi di Kabupaten Sidoarjo adalah sebanyak 839 kasus (DKK Sidoarjo,2014). Sedangkan di Puskesmas Sukodono, didapatkan 62 kasus baru. Target case detection rate program penanggulangan TBC secara nasional adalah 86,78%. Angka perkiraan nasional penderita baru BTA positif adalah 130/100.000 penduduk (Depkes RI, 2008).

Di Kabupaten Sidoarjo, angka kesembuhan TBC BTA positif tahun 2014 belum mencapai target nasional yaitu sebesar 83,36%. Namun begitu, angka kesembuhan penderita TBC BTA positif di beberapa puskesmas di Sidoarjo masih barada dibawah target nasional. Salah satunya di wilayah kerja Puskesmas Sukodono. Berdasarkan data profil dinas kesehatan Kabupaten Sidoarjo angka kesembuhan penderita TB Paru di Puskesmas Sukodono tahun 2014 sebesar 45% (27 dari 60 penderita dinyatakan sembuh).

Puskesmas Sukodono merupakan salah satu Puskesmas di Kabupaten Sidoarjo. Berdasarkan studi pendahuluan yang penulis lakukan pada tanggal 25 Mei tahun 2015 di Puskesmas tersebut, dapat diketahui bahwa penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di Puskesmas Sukodono berjumlah 60 orang, yang domisilinya tersebar di seluruh wilayah Kecamatan Sukodono. Selain itu, berdasarkan hasil pencatatan kartu pengobatan TBC dan kartu identitas pasien 10 orang penderita tuberkulosis paru yang ditemui peneliti ketika sedang berobat jalan di Puskesmas Sukodono, ada 2 orang diantaranya 20% tidak mematuhi jadwal pengobatan dan petunjuk-petunjuk pengobatan lainnya yang ditetapkan oleh petugas kesehatan di puskesmas tersebut. Selanjutnya dengan menggunakan teknik wawancara, 2 orang penderita yang tidak mematuhi jadwal pengobatan, ternyata semuanya menyatakan bahwa PMO yang berasal dari keluarga kurang mengawasi penderita TBC dalam minum obat, dikarenakan kesibukan yang dimiliki masing-masing PMO. Penderita kurang kesadaran untuk menjaga lingkungan rumah, pencahayaan, kebersihan, ventilasi, kebiasaan meludah disembarang tempat. Bahkan ketika datang pertama kalinya ke puskesmas, pasien kurang memahami tentang TBC. Terdapat perasaan kekhawatiran tentang penyakit yang dideritanya dan cenderung menutupi penyakitnya.

Berdasarkan fenomena tersebut diatas maka peneliti akan melakukan penelitian tentang Hubungan antara peran pengawas menelan obat (PMO) terhadap keberhasilan pengobatan TB di Puskesmas SukodonoB. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka didapatkan rumusan masalah sebagai berikut : adakah hubungan antara peran pengawas menelan obat (PMO) terhadap keberhasilan pengobatan TB di Puskesmas Sukodono.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara peran pengawas menelan obat (PMO) dengan keberhasilan pengobatan penderita tuberkulosis paru di Puskesmas Sukodono.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi ilmu KedokteranDapat digunakan sebagai bahan atau masalah yang dapat diangkat dalam penyuluhan kesehatan bagi pasien, keluarga, komunitas yang menderita tuberkulosis agar dapat meningkatkan keberhasilan penderita TBC.

2. Bagi dokterDapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dokter dalam memaksimalkan peran PMO dalam upaya pemberantasan TB paru dimasyarakat.

3. Bagi institusi pelayanan

Menentukan kebijakan puskesmas dalam mengevaluasi program pengobatan penyakit tuberkulosis paru yang lebih memperhatikan peran pengawas menelan obat (PMO) dan mampu menanamkan sikap positif penderita tuberkulosis paru, serta lebih menyediakan fasilitas-fasilitas yang menunjang kesehatan.

4. Bagi penderita dan PMO

Diharapkan penderita tuberkulosis paru lebih meningkatkan sikapnya, meliputi antara lain perasaan selama menderita, keyakinan terhadap pengobatan, perilaku-perilaku yang mendukung pengobatan dan ketaatan dalam berobat. PMO lebih meningkatkan lagi pengawasan dalam pengobatan terhadap penderita TBC.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKAA. Tuberkulosis Paru

Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (TBC). Meskipun dapat menyerang hampir semua organ tubuh, namun bakteri TBC lebih sering menyerang organ paru (80-85%) (Depkes, 2007). Tubekulosis yang menyerang paru disebut tuberculosis paru dan yang menyerang selain paru disebut tuberculosis ekstra paru. Tuberculosis paru dengan pemeriksaan dahak menunjukkan BTA (Basil Tahan Asam) positif, dikategorikan sebagai tuberculosis paru menular (Depkes, 2002).

Penyakit TB paru merupakan penyakit menahun, bahkan dapat seumur hidup. Setelah seseorang terinfeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis, hampir 90% penderita secara klinis tidak sakit, hanya didapatkan test tuberkulin positif dan 10% akan sakit. Penderita yang sakit bila tanpa pengobatan, setelah 5 tahun, 50% penderita TB paru akan mati, 25% sehat dengan pertahanan tubuh yang baik dan 25% menjadi kronik dan infeksius (Arifin, 1990). Namun ODHA (orang dengan HIV/AIDS) dengan TB paru aktif yang tidak diobati lebih mungkin meninggal dalam waktu yang lebih singkat (Tjandra, 2002).Bakteri TB paru yang disebut Micobacterium tuberculosis dapat dikenali karena berbentuk batang berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron, tahan terhadap pewarnaan yang asam, sehingga dikenal sebagai bakteri tahan asam (BTA). Sebagian besar bakteri terdiri dari asam lemak dan lipid, yang membuat lebih tahan asam. Bisa bertahan hidup bertahun-tahun. Sifat lain adalah bersifat aerob, lebih menyukai jaringan kaya oksigen (Zulkifli dan Asril, 2006). Bila dijumpai BTA atau Mycobacterium tuberculosis dalam dahak orang yang sering batuk-batuk, maka orang tersebut di diagnosis sebagai penderita TB paru aktif dan memiliki potensi yang sangat berbahaya (Zulkifli dan Asril, 2006).Secara khas bakteri berbentuk granula dalam paru menimbulkan nekrosis atau kerusakan jaringan. Bakteri Mycobacterium tuberculosis akan cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh dapat dormant, tertidur lama selama bertahun-tahun (Zulkifli dan Asril, 2006).1. Cara penularan

Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan di mana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2007).

2. Risiko penularan

Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Penderita TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari penderita TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1 - 3%. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1%, berarti 10 orang di antara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB paru, hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.

Faktor yang memengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB Paru adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/AIDS dan gizi buruk. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh sel uler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta ( oportunistic ), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIVmeningkat, maka jumlah penderita TB paru akan meningkat, dengan demikian penularan TB Paru di masyarakat akan meningkat pula (Depkes RI, 2007).

3. Gejala klinis TB paru

Menurut Crofton (2002), gejala yang dirasakan oleh penderita TB paru dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Permulaan sakit

Pertumbuhan TB paru sangat menahun sifatnya, tidak berangsur-angsur memburuk secara teratur, tetapi terjadi secara melompat-lompat. Serangan pertama menyerupai influenzae akan segera mereda dan keadaan akan pulih kembali. Berbulan-bulan kemudian akan timbul kembali serangan influenzae. Tergantung dari daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil, serangan kedua bisa terjadi setelah 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan dan seterusnya. Dikatakan sebagai multiplikasi 3 bulan. Serangan kedua akan bertahan lebih lama dari yang pertama sebelum orang sakit sembuh kembali. Pada serangan ketiga serangan sakit akan lebih lama dibandingkan serangan kedua. Sebaliknya masa tidak sakit menjadi lebih pendek dari masa antara serangan pertama dan kedua. Seterusnya masa aktif influenzae makin lama makin panjang, sedangkan masa bebas influenzae makin pendek. Salah satu keluhan pertama penderita TB paru adalah sering mendapatkan serangan influenzae. Setiap kali mendapat serangan dengan suhu bisa mencapai 40C-41C.

b. Malaise

Peradangan ini bersifat sangat kronik akan di ikuti tanda-tanda malaise: anoreksia, badan makin kurus, sakit kepala, badan terasa pegal-pegal, demam subfebril yang diikuti oleh berkeringat malam dan sebagainya.

c. Batuk

Mycobacterium tuberculosis mulai berkembang biak dalam jaringan paru. Selama bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, orang sakit tidak akan batuk. Batuk pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang produk-produk ekskresi dari peradangan keluar.

d. Batuk darah (hemoptoe)

Batuk darah akan terjadi bila ada pembuluh darah yang terkena dan kemudian pecah. Tergantung dari besarnya pembuluh darah yang pecah maka akan terjadi batuk darah ringan, sedang, atau berat tergantung dari berbagai faktor. Satu hal yang harus diingat adalah tidak semua batuk darah dengan disertai gambaran lesi di paru secara radiologis adalah TB paru. Batuk darah juga terjadi pada berbagai penyakit paru lain seperti penyakit yang namanya bronkiektesi, kanker paru dan lain-lain.

e. Sakit/ Nyeri dada

f. Keringat malam

g. Demam serta Sesak nafas, dll.

Tidak semua penderita TB paru punya semua gejala diatas, kadang-kadang hanya satu atau 2 gejala saja. Berat ringannya masing-masing gejala juga sangat bervariasi (Aditama, 2002).

Gejala-gejala tersebut diatas di jumpai pula pada penyakit paru selain TB paru. Oleh karena itu setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) dengan gejala tersebut diatas, harus di anggap suspek tuberculosis atau tersangka penderita TB paru dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Aditama, 2002).

4. Tipe penderita TB paru

Menurut Depkes RI (2007), ada beberapa tipe penderita TB Paru berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya yaitu :

a. Kasus baru adalah penderita TB Paru yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

b. Kasus kambuh (relaps ) adalah penderita TB Paru yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

c. Kasus setelah gagal (Failure) adalah penderita TB Paru yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

d. Kasus pindahan (Transfer In) adalah penderita TB Paru yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB ke UPK lain untuk melanjutkan pengobatannya.

e. Kasus setelah putus berobat (Default) adalah penderita TB Paru yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih, kemudian kembali berobat dengan BTA positif.

f. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu penderita TB Paru dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

5. Pemeriksaan dahak

Menurut Depkes RI (2002), diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Pemeriksaan tiga spesimen Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS) dahak secara mikroskopis langsung merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah dan murah, dan hampir semua unit laboratorium dapat melaksanakan. Adapun tujuan dari pemeriksaan dahak pada program penanggulangan TB Paru adalah :

a. Menegakkan diagnosis dan menentukan tipe/klasifikasi.

b. Menilai kemajuan pengobatan.

c. Menentukan tingkat penularan. Pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pada :

1) Akhir tahap intensif.

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke- 2 pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke - 3 pengobatan ulang penderita BTA positif kategori 2.

2) Sebulan sebelum akhir pengobatan

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-5 pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke - 7 pengobatan ulang penderita BTA positif dengan kategori 2.

3) Akhir pengobatan

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke- 6 pada penderita BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke- 8 pengobatan ulang BTA positf dengan kategori 2. 6. Diagnosis

Bahwa seseorang ditetapkan sebagai penderita TB Paru apabila melakukan serangkain pemeriksaan menurut Depkes RI (2002) sebagai berikut:

1) Pemeriksaan mikroskopis dahak merupakan cara yang paling dapat diandalkan (paling murah) dan harus diupayakan tiga buah spesimen untuk pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan 3x dengan sewaktu, pagi, sewaktu (SPS) paling baik dipastikan dengan hasil positif berikutnya.

2) Pemeriksaan semua pasien dengan kronis khususnya batuk perokok atau batuk lebih dari 4 minggu, mereka yang turun berat badannya, nyeri dada dan lainnya yang mengakibatkan TB Paru.

3) Foto rontgen, pemeriksaan rontgen diperlukan bila pasien yang memiliki masalah-masalah yang sulit terutama para tersangka TB Paru yang positif Human Immunodeficiency Virus (HIV). Hal ini tidak dilakukan untuk kasus secara massal di negara-negara dengan prevalensi tinggi.

4) Tes tuberkulin, tes ini kurang dapat diandalkan dalam menegakan diagnosis di negara miskin karena gizi buruk, dan penyakit lain. Seperti infeksi HIV atau TB Paru yang sangat parah dapat menghasilkan tes yang lemah meskipun pasien dewasa atau anak berpenyakit TB Paru aktif. Tes pada anak dapat berubah karena Basillus Calmatto Guenin (BCG) (Harun, 2002).

7. Program pemberantasan TB paru

a. Tujuan program

Tujuan jangka panjang : memutuskan rantai penularan sehingga penyakit TB paru tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.

Tujuan jangka pendek :

1) Tercapainya kesembuhan minimal 85% penderita baru BTA positif yang ditemukan.

2) Tercapainya cakupan penemuan penderita secara bertahap hingga mencapai 70% dari semua penderita TB paru

3) Tercapainya resistensi obat tuberkulosis di masyarakat,

4) Menanggulangi penderita akibat penyakit TB paru. b. Kebijakan operasional

1) Penanggulangan TB paru di Indonesia dilaksanakan dengan desentralisasi sesuai dengan kebijakan Departemen Kesehatan.

2) Penggulangan TB paru dilaksanakan oleh seluruh unit pelayanan kesehatan, meliputi Puskesmas, Rumah Sakit, Pemerintah dan swasta, BP4 serta praktik dokter swasta, politeknik umum, politeknik perusahaan dengan melibatkan peran serta masyarakat secara paripurna dan terpadu.

3) Peningkatan mutu pelayanan, penanggulangan obat rasional dan kombinasi obat sesuai dengan strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS).

4) Target program adalah konversi pada akhir pengobatan tahap intensif minimal 80%, angka kesembuhan sediaan dahak yang benar (angka kesalahan 5%).

5) Pemeriksaan uji silang (cross check) secara rutin oleh Balai Laboratorium Kesehatan (BLK) atau laboratorium rujukan yang ditunjuk untuk mendapatkan pemeriksaan dahak yang bermutu

6) Penanggulangan TB paru nasional diberikan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pada penderita secara cuma-cuma dan jaminan ketersediaannya.

7) Pengembangan sistem pemantauan, supervisi dan evaluasi program untuk mempertahankan kualitas pelaksanaan program.

8) Menggalang kerja sama dan kemitraan dengan program terkait, sektor pemerintah dan swasta.

c. Strategi

Strategi DOTS sesuai rekomendasi WHO (2004), yaitu :

1) Komitmen politis dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana.

2) Diagnosis TB paru dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik

3) Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).

4) Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.

5) Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB paru.

8. Pengobatan penyakit TB paru

a. Tatalaksana pengobatan TB paru

Pengobatan diberikan dalam dua tahap Depkes RI (2007), yaitu :

1) Tahap Intensif (awal dimana pasien mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah kekebalan atau resistensi terhadap semua OAT (Obat Anti Tuberkulosis), terutama Rifampisin. Bila tahap ini diberikan secara tepat pasien menular menjadi tidak menular dalam waktu dua minggu. Sebagian besar TBC Paru BTA Positif (+) menjadi BTA Negatif (-) pada akhir pengobatan ini.

2) Tahap lanjutan, pasien mendapat obat dalam jangka waktu yang lebih lama dan jenis obat lebih sedikit untuk mencegah kekambuhan.

Tujuan dari pengobatan pasien TB paru adalah penyembuhan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan resiko penularan. Menyembuhkan pasien dengan gangguan semininal mungkin dalam hidupnya, mencegah kematian pada pasien, mencegah kerusakan paru lebih luas dan komplikasi yang terkait, mencegah kekambuhannya penyakit, mencegah kuman menjadi resisten dan melindungi keluarga dan masyarakat penderita terhadap infeksi (Crofson, 2001).

Jenis obat yang digunakan dalam pemberantasan TB paru antara lain:

a) Isoniasid (H) dikenal dengan INH, bersifat bakteriasid dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan.

b) Rifampisin (R), bersifat bakteriasid dapat membunuh kuman semi dormant (persisten) yang tidak dapat dibunuh oleh INH.

c) iranizamid, (Z), bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel suasana asam

d) Streptomycine (S), bersifat bakterisid

e) Etambutol (E), bersifat bakteriotatik.

b. Program obat anti tuberkulosis

Di Indonesia diterapkan panduan OAT sesuai rekomendasi WHO (World Health Organization) dan IUAT-LD (International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease) dengan jangka 6 (enam) bulan yaitu :

1) Kategori I (2HRZA / 4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazanamid (Z) dan Etamburol (E), obat diberikan setiap hari selama 2 (dua) bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan tahap lanjutan yang terdiri Isoniasid dan Rifampisin diberikan 3 (tiga) kali seminggu selama 4 (empat) bulan (4H3R3).

Panduan OAT kategori I diberikan untuk :

a. Pasien baru TB Paru BTA Positif (+)

b. Pasien baru TBC Paru Negatif (-), Rontgen positif (+) yang sakit berat.

c. Penyakit paru ekstra berat

2) Kategori II (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

Tahap intensif selama 3 bulan, terdiri dari 2 bulan HRZE dan suntikan Steptomisin (S), setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan 3 kali dalamseminggu.

3) Kategori III (2HR2/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari HR2 yang diberikan setiap hari selama 2 bulan diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu.

OAT kategori ini diberikan untuk :

a) Pasien batuk TBC Paru BTA Negatif (-) dan rontgen positif (+) sakit ringan.

b) Pasien ekstra paru ringan, yaitu : Pasien Tuberkulosis kelenjar limfe (limfadenitis), pleuritis eksudtiva unilateral, Tuberkulosis kulit, Tuberkulosis tulang (kecuali tulang belakang, Tuberkulosis sendi dan kelenjar adrenal). c. Hasil Pengobatan

Hasil pengobatan menurut Harun (2002) diklasifikasikan antara lain:

1) Sembuh

Penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow - up) paling sedikit 2 (dua) berturut-turut hasilnya negatif (yaitu pada AP sebulan sebelum AP dan pada satu pemeriksaan Follow up sebelumnya.

2) Pengobatan lengkap

Penderita yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang dahak 2 kali berturut-turut negatif. Tindak lanjut : Penderita diberi tahu apabila muncul kembali supaya memeriksakan diri dengan mengikuti prosedur tetap.

3) Pindah

Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu Kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke Kabupaten ini dan penderita harus membawa surat pindah / rujukan (TB 09)4) Drop out (DO)

Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA Positif.5) Gagal

Penderita BTA Positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan atau lebih dan penderita dengan hasil BTA Negatif Rontgen positif menjadi BTA Positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.

6) Meninggal

Penderita TB paru yang diketahui meninggal karena sebab apapun.

9. Pengendalian penderita dan penentuan keberhasilan pengobatan

Pengendalian pengobatan penderita dilaksanakan pada saat kunjungan penderita ke unit pelayanan kesehatan atau dengan kunjungan ke rumah penderita yang dilakukan oleh petugas kesehatan maupun petugas pengawas menelan obat (PMO). Penentu status penderita atau keberhasilan dan keketebalan ditentukan pada akhir masa pengobatan (Depkes, RI, 2003).

Keberhasilan pengobatan Tuberkulosis dinilai berdasarkan : uji bakteriologi, radiologi dan klinik. Uji bakteriologi pada akhir pengobatan TB Paru BTA Positif menjadi negatif dan hasil rontgen ulang menjadi baik atau tidak ada masalah dengan paru-parunya.

B. Peran Pengawas Menelan Obat Dalam Keberhasilan Pengobatan TB ParuSalah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO Pengawas Menelan Obat (PMO) Pengawas Menelan Obat PMO adalah orang yang bertugas mengawasi pasien TB dalam melaksanakan kepastian obat TB dapat diminum secara tepat oleh pasien.1. Persyaratan PMO

Menurut Depkes RI (2007), persyaratan seorang PMO adalah:

1. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.

2. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.

3. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.

4. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama- sama dengan pasien

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru imunisasi dan lain-lain2. Tugas Seorang PMO

Menurut Depkes RI (2007), tugas seorang PMO adalah: Peran seorang PMO adalah mengawasi pasien tuberculosis agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan sebelum PMO melakukan tugas ini seorang PMO sudah dibekali tentang tata cara menelan obat setiap hari secara teratur,cara pemberian OAT dan Jenis OAT sesuai kategorinya, tugas berikutnya adalah memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat secara teratur, memberitahu pasien tentang tata cara mengeluarkan dahak yang akan diperiksa ulang dahaknya pada waktu yang telah ditentukan dan memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien tuberculosis yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan tuberculosis untuk segera memeriksakan diri ke rumah sakit atau unit pelayanan kesehatan.Seorang PMO harus bersedia mendapat penjelasan di poliklinik maupun sarana kesehatan lain,agar mampu memberikan penyuluhan-penyuluhan dan mampu menjawab pertanyaan dari penderita. Seorang PMO juga harus mampu mengenali efek samping dari obat tuberculosis,mampu menjelaskan kepada pasien bahwa efek samping yang terjadi adalah hal yang wajar.Tapi jika efek samping terasa berat PMO harus dengan segera merujuk pasien untuk mendapat pertolongan pada sarana kesehatan. Selain hal-hal diatas seorang PMO juga harus mampu mengenali tanda-tanda tersangka TB agar dengan cepat melaporkan dan merujuk penderita ke sarana kesehatan terdekat.Kadang kalanya pasien tidak bisa untuk mengambil obat dimana tempat pasien berobat,disini PMO dapat membatu mengambilkan obat bagi penderita. Seorang yang telah ditunjuk menjadi PMO harus mampu melaksanakan tugasnya sebagai berikut :1.Mefasilitasi penderita TB untuk memenuhi jadwal pengobatannya.Sebelum diminum OAT harus dicek terlebih dahulu dan pada saat diminum,PMO harus melihat langsung penderita menelan semua OAT. Respon secepatnya bila penderita melewatkan jadwal pengobatan.Bila lebih dari 24 jam, segera kunjungi rumah penderita untuk memberikan obat.Bila penderita menolak hubungi petugas kesehatan untuk membantu.Bila PMO atau penderita akan berpergian maka buat kesepakatan tentang minum obat. Minta bantuan orang terdekat lainnya untuk menggantikan PMO sementara

2. Mencatat di kartu kontrol setiap penderita selesai minum obat3.Tingkatkan semangat penderita TB untuk melanjutkan pengobatannya4. Pergi ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk mengambil perbekalan pengobatan tiap bulan.Tunjukkan kartu pengobatan penderita TB.Review dan diskusi terkait perkembangan penderita dan masalah yang dihadapi dengan petugas

5.Waspada terhadap adanya efek samping pengobatan.Bila efek samping pengobatan semakin berat,rujuk penderita ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat.

6. Pastikan penderita pergi ke fasilitas pelayanan kesehatan ketika harus melakukan pemeriksaan ulang sputum ( PPTI 2010,WHO 2002)

Tugas diatas sangat penting untuk dilaksanakan dalam rangka menjami keteraturan pengobatan penderita TB.3. Informasi penting yang perlu disampaikan

a. TB Paru bukan penyakit keturunan atau kutukan.

b. TB Paru dapat disembuhkan dengan berobat teratur.

c. Tata laksana pengobatan penderita pada tahap intensif dan lanjutan.

d. Pentingnya berobat secara teratur, karena itu pengobatan perlu diawasi.

e. Efek samping obat dan tindakan yang harus dilakukan bila terjadi efek samping tersebut.

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Keterangan :

: Variabel terikat yang diteliti: Variabel bebas yang diteliti

: Variabel bebas yang tidak diteliti

Gambar III.1 Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka konsep tersebut, maka dapat diketahui bahwa peran pengawas menelan obat (PMO) berkaitan dengan keberhasilan pengobatan penderita tuberkulosis paru dimana tujuan PMO adalah mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan,memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur, mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang ditentukan, memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke UPK (Depkes RI,2007). Keberhasilan peran PMO dapat ditunjang oleh faktor-faktor seperti umur, pendidikan, pekerjaan dan pengetahuan PMO mengenai tuberkulosisB. Hipotesa

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara peran Pengawas Menelan Obat (PMO) dengan keberhasilan pengobatan penderita TB paru di Puskesmas Sukodono.BAB IVMETODE PENELITIAN

A. Jenis dan Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian analitik dengan desain studi cross sectional karena pengambilan data variabel bebas dan terikat dilakukan dalam waktu bersamaan. Desain ini digunakan karena rancangan penelitian ini mudah dilaksanakan, sederhana, ekonomis dalam hal waktu, dan hasilnya dapat diperoleh dengan cepat (Notoatmodjo). Desain dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui dan mempelajari hubungan antara variabel bebas yaitu peran PMO dengan variabel terikat yaitu keberhasilan pengobatan TB Paru.B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Puskesmas Sukodono pada bulan Juni 2015.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi penelitian adalah semua pasien penderita TB paru yang telah mendapat pengobatan sampai dengan bulan ke 5 dimana akhir pengobatanya dihitung pada kurun waktu 2014- juni 2015 sejumlah 62 pasien2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang nilai/karakteristiknya diukur dan yang nantinya dipakai untuk menduga karakteristik dari populasi (Sabri, 2008). Besar sampel ditentukan dengan rumus Lemesaow (1997) sebagai berikut:n = Z2 x p x qn = (1,96)2 x 0,45 x 0,55 d2

(0,15)2

n = 43 Keterangan:n : Jumlah sampel minimal yang diperlukan

Z2: Tingkat kepercayaan yang dikehendaki (1,96%)

p: Proporsi kunjungan balita yang datang

q: 1-pd:tingkat ketepatan yang diinginkan (15%)

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunanakan teknik counsecutive sampling yaitu semua sampel yang ada dan memenuhi kriteria penelitian dimasukkan ke dalam penelitian sampai jumlah yang diperlukan terpenuhi. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien TB yang sudah mendapat pengobatan selama 5 bulanKriteria inklusi pada penelitian ini:

a. Pasien TB yang tinggal menetap di Wilayah Kerja Puskesmas Sukodono.

b. Pasien TB yang baru pertama kali menjalani pengobatan TBC (5 bulan pengobatan).

c. Pasien TB yang mampu berkomunikasi dengan baik dan tidak buta huruf.

d. Pasien TB yang bersedia menjadi responden.

Kriteria eksklusi:a. Pasien TB yang menjalani pengobatan ulang TB (kasus kambuh).

b. Pasien TB yang tidak mampu berkomunikasi dengan baik.c. Tidak bersedia menjadi responden.D. Variabel Penelitian

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah peran Pengawas Menelan Obat (PMO). Sedangkan variabel terikatnya adalah keberhasilan pengobatan TB paru.E. Definisi Operasional Tabel IV.1 Definisi OperasionalVariabelDefinisi OperasionalKategori Kriteria Alat UkurSkala

Peran PMOPeran Pengawas menelan obat peran yang dijalankan oleh orang yang bertugas mengawasi pasien TB dalam melaksanakan kepastian obat TB dapat diminum secara tepat oleh pasien.Dengan menggunakan 15 butir pertanyaan tentang peran pengawas menelan obat:

1: jika penderita menjawab ya pada pertanyaan

0: jika penderita menjawab tidak pada pertanyaan Peran PMO mendukung skor

76%-100%

Cukup Mendukung 56%-75%

Tidak

mendukung

0,05 berarti secara statistik tidak ada perbedaan yang signifikan antara variabel independen dengan variabel dependen (Sabri & Hastono, 2010).BAB V

HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian dilakukan di Puskesmas Sukodono dimulai pada tanggal 4 Juni 2015. Berdasarkan kriteria sampel dan persyaratan dalam pemilihan sampel ditentukan sebanyak 43 responden.a. Peran PMO

Tabel V.1Distribusi frekuensi responden berdasarkan peran PMO di Puskesmas Sukodono I, n= 43.Peran PMOFrekuensiPersentase (%)

Tidak mendukungCukup Mendukung 16737,2%

16,2 %

Mendukung 2046,6%

Jumlah43100,0

Berdasarkan tabel V.1 didapatkan bahwa sebagian besar peran PMO adalah mendukung yaitu sebanyak 20 responden (46,6%),cukup mendukung 7 responden (16,2%) yang tidak mendukung sebanyak 16 responden (37,2%).b. Keberhasilan Pengobatan

Tabel V.IIDistribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Keberhasilan Pengobatan Di Puskesmas Sukodono, n= 43.Keberhasilan pengobatanFrekuensiPersentase (%)

Berhasil3070%

Tidak berhasil1330%

Jumlah43100,0

Berdasarkan tabel V.2 didapatkan bahwa sebagian besar responden berhasil dalam pengobatan TB yaitu sebanyak 30 responden (70%) dan hanya 13 responden (30%) yang tidak berhasil dalam pengobatan TB.c. Peran PMO terhadap keberhasilan pengobatan TB

Tabel V.III Tabel Silang Antara Peran PMO Terhadap Keberhasilan Pengobatan TB Di Puskesmas Wonosobo I, N= 43.Peran PMOKeberhasilan pengobatanJumlah

BerhasilTidak berhasil

F%f%f%

Tidak Mendukung743,75956,2516100,0

Cukup Mendukung571,5228,57100,0

Mendukung178531520100,0

Jumlah2967,41432,643100,0

P value: 0,008

Berdasarkan tabel V.3 didapatkan hasil bahwa keberhasilan pengobatan TB didukung oleh peran PMO yang mendukung pada responden sebanyak 85% (17 responden), sedangkan ketidak berhasilan pengobatan TB dipengaruhi oleh peran PMO yang tidak mendukung sebanyak 56,25 % (9 responden).

Hasil uji analisis dengan menggunakan uji pearson antara peran PMO terhadap keberhasilan pengobatan TB di Puskesmas Sukodono didapatkan nilai p 0,008 artinya terdapat hubungan yang signifikan antara peran PMO terhadap keberhasilan pengobatan TB di Puskesmas Sukodono.B. Pembahasan

1. Peran PMO

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar peran PMO adalah mendukung yaitu sebanyak 20 responden (46,6%),cukup mendukung 7 responden (16,2%) dan yang tidak mendukung sebanyak 16 responden (37,2%). Hasilnya sebagian besar peran PMO mendukung klien untuk melakukan pengobatan TB. Sebagian besar PMO mendukung terhadap pengobatan pasien TB dimungkinkan karena PMO merasa sangat perlu untuk membantu menyelesaikan masalah penyakit yang dialami oleh penderita karena khawatir jika tidak dibantu untuk menyelesaikan akan berdampak tidak baik bagi anggota keluarganya yang lainnya. Hal ini dikarenakan pasien TBC perlu mendapatkan pengawasan langsung agar meminum obat secara teratur sampai sembuh.

Peran PMO antara lain mengingatkan untuk menelan obat setiap hari, mengingatkan untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan, memberikan penyuluhan tentang gejala-gejala TB paru kepada anggota keluarga yang lain, menyarankan untuk memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan apabila ada anggota keluarga yang menederita batuk lebih dari 3 minggu, menyampaikan bahwa TB paru bukan penyakit keturunan atau kutukan, menyampaikan bahwa TB paru dapat disembuhkan dengan berobat teratur, memberikan penyuluhan tentang pentingnya berobat secara teratur, memberikan penyuluhan tentang resiko apabila tidak minum obat secara teratur, memberikan penyuluhan tentang cara penularan TB paru, menginformasikan tentang efek samping obat yang ditelan, menginformasikan tentang tindakan yang harus dilakukan apabila terjadi efek samping, dan menginformasikan tentang tata cara pengobatan TB paru secara lengkap.

2. Keberhasilan Pengobatan

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar responden berhasil dalam pengobatan TB yaitu sebanyak 30 responden (70%) dan hanya 13 responden (30%) yang tidak berhasil dalam pengobatan TB. Hasilnya adalah sebagian besar responden berhasil melakukan pengobatan TB. Sebagian besar responden berhasil dalam melakukan pengobatan, hal ini dimungkinkan karena adanya PMO yang ikut serta membantu mengawasi penderita minum OAT secara teratur. Pada umumnya kegagalan pengobatan disebabkan oleh karena pengobatan yang terlalu singkat, pengobatan yang tidak teratur dan obat kombinasi yang jelek (Crofton, 2002). Pengobatan yang salah atau tidak adekuat mungkin menyebabkan kegagalan dalam menyembuhkan penderita, membuat dia kebal terhadap obat-obatan dan menyulitkan penyembuhan serta membuat dia hidup dengan infeksi yang sudah kebal terhadap pengobatan sehingga memudahkan penularan kepada orang lain (Crofton, 2002).

3. Analisis hubungan antara peran PMO terhadap keberhasilan pengobatan TB di Puskesmas SukodonoBerdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil bahwa keberhasilan pengobatan TB didukung oleh peran PMO yang mendukung pada responden sebanyak 85% (17 responden),peran PMO yang cukup mendukung 71,5% (5 responden) sedangkan ketidak berhasilan pengobatan TB dipengaruhi oleh peran PMO yang tidak mendukung sebanyak 56,25% (9 responden).

Hasil uji analisis dengan menggunakan uji pearson antara peran PMO terhadap keberhasilan pengobatan TB di Puskesmas Sukodono didapatkan nilai p 0,008, artinya terdapat hubungan yang signifikan antara peran PMO terhadap keberhasilan pengobatan TB di Puskesmas Sukodono. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan PMO berhubungan dengan kesembuhan penderita TB Paru dikarenakan distribusi responden yang menyatakan ada dukungan PMO.

Peran PMO dengan keberhasilan pengobatan sangat penting, karena penderita selama menjalani pengobatan yang panjang kemungkinan ada rasa bosan harus setiap hari mengkonsumsi obat, sehingga dikhawatirkan terjadi putus obat atau lupa minum obat karena putus asa penyakitnya tidak sembuh-sembuh. Peran PMO diharapkan dapat mencegah putus obat karena bila terjadi untuk pengobatan selanjutnya memerlukan waktu yag lebih panjang. Terlaksananya peran PMO dengan baik yaitu untuk menjamin ketekunan, keteraturan pengobatan, menghindari putus pengobatan sebelum obat habis, mencegah ketidaksembuhan pengobatan, memantau konsumsi makanan penderita TB paru dalam hal ini protein (Depkes RI, 2001).

BAB VIKESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan1. Sebagian besar peran PMO adalah mendukung yaitu sebanyak (46,6%),Cukup mendukung (16,2%) dan yang tidak mendukung sebanyak (37,2%).

2. Sebagian besar responden berhasil dalam pengobatan TB yaitu sebanyak (70%) dan yang tidak berhasil dalam pengobatan TB sebanyak (30%).

3. Terdapat hubungan yang signifikan antara peran PMO terhadap keberhasilan pengobatan TB di Puskesmas Sukodono p value: 0,008 (p < 0,05)

B. Saran1. Bagi PMO

a. PMO perlu meningkatkan kinerja terutama dalam hal memberikan informasi (penyuluhan) pada anggota keluarga dengan TB karena jika informasi tidak diberikan dikhawatirkan akan terjadi penularan penyakit TB lebih banyak.

2. Bagi Doktera. Dokter agar meningkatkan kinerja dalam memberikan pelayanan pada penderita TB, dengan selalu memotivasi pasien dan PMO agar menjalan pengobatannya dengan baik sampai akhir pengobatan. b. Dokter dapat mengoptimalkan perannya sebagai edukator dengan melakukan edukasi tentang pentingnya keberhasilan pengobatan dan konsekwensi pengobatan TB yang tidak berhasil

3. Ilmu kedokteranHasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi bagi mahasiswa kedokteran,dokter muda maupun dokter lainnya tentang arti penting kinerja PMO bagi penderita TB paru sehingga institusi kedokteran dapat bekerja sama dengan pihak-pihak terkait tentang kebutuhan kualitas pelayanan yang memadai melalui penyuluhan kepada pasien TB paru dan PMO.

4. Bagi peneliti lebih lanjut

a. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan variabel lain yang lebih kompleks faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan tuberkulosis sehingga dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan pada pasien TB paru secara lengkap.

b. Perlu dilakukan penelitian kualitatif dan penelitian dengan observasi yang dapat menggambarkan kinerja pengawas minum obat pada pasien TB paru secara lebih detil.DAFTAR PUSTAKAAditama, Tjandra Y. 2002. Tuberkulosis : Diagnosis, Terapi dan Masalahnya. Yayasan IDI. Jakarta.Arifin N, 1990, Diagnosis Tuberkulosis Paru, Cermin Dunia Kedokteran No. 63.Arikunto, S. 2006, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Jakarta: Rineka CiptaCrofton, John. 2002. Tuberkulosis Kl inis. Edisi 2, Widya Medika. Jakarta.DEPKES RI. 2002, Pedoman Penyakit Tuberkulosis Penanggulangannya, Cetakan EmpatDepkes.RI. 2003. Pedoman Penemuan dan Pengobatan Penderita TB Paru. Jakarta. Depkes. DEPKES RI . 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2, Cetakan Pertama. Jakarta.Eliska. 2005. Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan,dan Peran Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Puskesmas Teladan Medan Tahun 2005.Skripsi, FKM USU. Medan. Fahrudda, Ansarul, 2005, Paguyuban Penderita TB Paru Kec. Sumberjambe Kab. Jember (Suatu Model Peningkatan Penemuan Penderita TB dan Pengawas Minum Obat Berbasis Masyarakat), Laporan supervise PTO-East Java, Surabaya.Gerdunas-TB 2007, Pedoman Nasional Penenggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Hendrawati P.A. 2008. Hubungan Antara Partisipasi Pengawas Menelan Obat Keluarga Dengan Sikap Penderita Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Banyu Anyar Surakarta. Fakultas Ilmu kesehatan UNS. Surakarta.John Crofson. 2001. Norman Horne Fredmiller. Tuberkulosis Klinis. Widya Medika. Jakarta.Muharman Harun, Ella Sutiana. 2002. Tuberkulosis Klinis. Widya Medika.. JakartaNadesul, Hendrawan. 2006. Penyebab, Pencegahan dan Pengobatan TB Paru. Jakarta : Puspas Swara.Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. PPTI. (2010a). Buku Saku Perkumpulan Pemberantasan Tuberculosis Indonesia (PPTI). Jakarta: Perkumpulan Pemberantasan Tuberculosis Indonesia. (PPTI)

Rachmawati, dkk., 2007. Hubungan Antara Karakteristik Lingkungan Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) Pada Anak Di Kecamatan Paseh Kabupaten Subang, Fakultas Ilmu Keperawatan. Bandung: Universitas Padjadjaran.Sabri, L dan Hastono,S. P. 2009.Statistik Kesehatan. Jakarta : PT. Raja Grafindo persadaTjandra Yoga Aditama. 2002. Tuberkulosis, diagnosis, terapi dan masalahnya. Edisi 4. Jakarta: Yayasan Penerbitan IDI.WHO. (2002).A Guide For Tuberculosis Treatment Supporters. Geneva : WHO Press.

WHO. TB Control in the Workplace, Report of an Intercontry Consultan, New Delphi. 2004. Depkes 2002, http://www.depkes.go.id/index.php?option2 articles&arcid=154&item=3, 20 Mei 2004.Zulkifli Amin., Asril Bahar. 2006. Tuberkulosis paru. Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbit IPD FKUI

KUESIONER

HUBUNGAN ANTARA PERAN PENGAWAS MENELAN OBAT (PMO) DENGAN KEBERHASILAN PENGOBATAN PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS SUKODONO

Beri tanda centang ( ) pada setiap jawaban yang sesuai

A. Identitas Responden

1. Nama Responden:

2. Jenis Kelamin

:

3. Umur

:

4. Pekerjaan

:5. Penghasilam/bulan : 1.500.000 1.600.000 - 2.500.000

2.600.000

B. Identitas Pengawas Menelan Obat

a. Pekerjaan PMO

:

b. Pendidikan terakhir PMO : SMP >SMP

c. Usia PMO : Lebih muda dari pasien

Lebih tua dari pasien

d. Hubungan pasien dengan PMO : Keluarga,Sebutkan..........

Bukan Keluarga, Sebutkan........

C. Peran Pengawas Menelan Minum Obat

a) Peran PMO Mengawasi Penderita

1. Menurut saudara apakah dalam minum obat TB Paru perlu diawasi dandikontrol terus oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) ?

Ya Tidak

2. Apakah PMO selalu mengingkatkan Saudara untuk menelan obat setiap hari?

Ya Tidak3. Apakah setiap kali minum obat saudara diawasi oleh PMO ?

Ya Tidak

b) Peran PMO Memberi Dorongan Kepada Penderita4. Apakah Saudara percaya terhadap PMO ?

Ya Tidak

5. Apakah PMO selalu memotivasi saudara untuk tidak patah semangat agar cepat sembuh dari penyakit TB ?

Ya Tidak

6. Apakah PMO memberikan dorongan untuk berobat secara teratur ?

Ya Tidak

c) Peran PMO Mengingatkan Penderita

7. Apakah saudara selalu diingatkan untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan ?

Ya Tidak

d) Peran PMO Memberikan Penyuluhan Kepada Penderita

8. Apakah PMO memberikan penyuluhan tentang gejala-gejala TB paru kepada saudara dan anggota keluarga yang lain ?

Ya Tidak

9. Apakah PMO menyarankan untuk memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan apabila ada anggota keluarga yang menderita batuk lebih dari 3 minggu ?

Ya Tidak

10. Apakah PMO pernah menyampaikan ke Saudara bahwa TB paru bukan penyakit keturunan atau kutukan ?

Ya Tidak

11. Apakah PMO memberikan penyuluhan tentang resiko apabila tidak minum obat secara teratur ?

Ya Tidak

12. Apakah PMO memberikan penyuluhan tentang cara penularan TB paru ?

Ya Tidak

13. Apakah PMO menginformasikan kepada saudara tentang efek samping obat yang ditelan ?

Ya Tidak

14. Apakah PMO menginformasikan kepada saudara tentang tindakan yang harus dilakukan apabila terjadi efek samping ?

Ya Tidak

15. Apakah PMO mampu menjawab pertanyaan dari saudara mengenai hal-hal yang tidak dimengerti yang berkaitan dengan penyakit (TB) saudara ?

Ya Tidak

D. Keberhasilan Pengobatan

Hasil pemeriksaan mikroskopis BTA : +/-

Kesimpulan Pengobatan

1. Berhasil (BTA - )

2. Tidak Berhasil (BTA +)

LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDENKepada Yth.

Calon Responden Peneliti

Di Tempat.

Dengan hormat,

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama

: Hasyim Hanafi S.kedNIM

: 09700050Adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya yang sedang melakukan penelitian dengan judul Hubungan Antara Peran Pengawas Menelan Obat (PMO) Dengan Keberhasilan Pengobatan Penderita Tuberkulosis Paru Di Puskesmas SukodonoPenelitian ini tidak menimbulkan akibat yang merugikan bagi Saudara sebagai responden, kerahasiaan semua informasi yang diberikan akan dijaga dan akan digunakan hanya untuk kepentingan penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada Saudara. Jika Saudara tidak bersedia menjadi responden, maka tidak ada ancaman bagi Saudara. Dan jika Saudara telah bersedia menjadi responden dan terjadi hal-hal yang memungkinkan untuk mengundurkan diri, maka Saudara diperbolehkan untuk tidak ikut dalam penelitian ini. Apabila Saudara menyetujui, maka saya mohon untuk menandatangani persetujuan dan mengisi kuesioner yang telah peneliti siapkan.

Atas perhatian dan kesediaan Saudara, saya ucapkan terima kasih.

Penanggung Jawab Penelitian

PenelitiLEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :

Nama

: (Inisial)

Alamat

:

Menyatakan bersedia untuk menjadikan responden penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya yang sedang melakukan penelitian dengan judul Hubungan Antara Peran Pengawas Menelan Obat (PMO) Dengan Keberhasilan Pengobatan Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas SukodonoSaya memahami bahwa dalam penelitian ini tidak ada unsur yang merugikan, untuk itu saya setuju dan bersedia menjadi responden dengan menandatangani persetujuan ini.

Sukodono, Juni 2015

Responden (Tanpa Nama)NPARTESTS

/K-S(NORMAL)=PMOBTA

/MISSINGANALYSIS.NParTestsNotes

Output Created12-Jun-2015 12:35:19

Comments

InputActive DatasetDataSet0

Filter

Weight

Split File

N of Rows in Working Data File43

Missing Value HandlingDefinition of MissingUser-defined missing values are treated as missing.

Cases UsedStatistics for each test are based on all cases with valid data for the variable(s) used in that test.

SyntaxNPAR TESTS

/K-S(NORMAL)=PMO BTA

/MISSING ANALYSIS.

ResourcesProcessor Time00:00:00.000

Elapsed Time00:00:00.015

Number of Cases Alloweda157286

a. Based on availability of workspace memory.

[DataSet0]One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

PMOBTA

N4343

Normal ParametersaMean1.911.33

Std. Deviation.921.474

Most Extreme DifferencesAbsolute.303.428

Positive.303.428

Negative-.254-.248

Kolmogorov-Smirnov Z1.9852.808

Asymp. Sig. (2-tailed).001.000

a. Test distribution is Normal.

CORRELATIONS

/VARIABLES=PMOBTA

/PRINT=TWOTAILNOSIG

/MISSING=PAIRWISE.CorrelationsNotes

Output Created12-Jun-2015 12:37:03

Comments

InputActive DatasetDataSet0

Filter

Weight

Split File

N of Rows in Working Data File43

Missing Value HandlingDefinition of MissingUser-defined missing values are treated as missing.

Cases UsedStatistics for each pair of variables are based on all the cases with valid data for that pair.

SyntaxCORRELATIONS

/VARIABLES=PMO BTA

/PRINT=TWOTAIL NOSIG

/MISSING=PAIRWISE.

ResourcesProcessor Time00:00:00.031

Elapsed Time00:00:00.031

[DataSet0]Correlations

PMOBTA

PMOPearson Correlation1.398**

Sig. (2-tailed).008

N4343

BTAPearson Correlation.398**1

Sig. (2-tailed).008

N4343

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Variabel bebas

Variabel terikat

Peran PMO

Keberhasilan pengobatan TB Paru

Mengawasi

Mendorong

Mengingatkan

penyuluhan

Umur

Pendidikan

Pekerjaan

Pengetahuan

48

_1390293633.unknown