Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu
-
Upload
januar-abdul-razak -
Category
Documents
-
view
39 -
download
0
description
Transcript of Urgensi Predicate Crime Dalam Uu Tppu
“Urgensi Predicate Crime Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang di
Indonesia”
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Money laundering atau pencucian uang atau dalam terminologi hukum
pidana Indonesia disebut dengan tindak pidana pencucian uang, relatif baru
dikenal dalam dunia hukum pidana kita. Indonesia baru menerbitkan
regulasi berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang pada Tahun 2002,
yaitu dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, yang diundangkan dan mulai berlaku sejak tanggal 17
April 2002. Dalam Undang-undang ini tidak ada pengertian atau definisi atau
batasan mengenai apa yang dimaksud dengan pencucian uang atau pun
tindak pidana pencucian uang. Yang ada ialah rumusan perbuatan yang
diancam pidana karena tindak pidana pencucian uang, sebagaimana
dirumuskan dalam pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002. Kemudian dalam penjelasan umum undang-undang tersebut
dijelaskan bahwa upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-
usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini, dikenal sebagai pencucian uang
(money laundering).[1]
Setahun kemudian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut diubah dengan Undang-undang
Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana pencucian Uang, dengan dasar
pertimbangan sebagaimana disebutkan dalam konsiderannya, bahwa agar
upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
dapat berjalan secara efektif, maka Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentan Tindak Pidana Pencucian Uang perlu disesuaikan dengan
perkembangan hukum pidana tentang pencucian uang dan standar
1
internasional.[2] Undang-undang ini diundangkan dan mulai berlaku sejak
tanggal 13 Oktober 2003.
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 ini disebutkan secara
eksplisit apa yang dimaksud dengan pencucian uang, yaitu sebagaimana
bunyi pasal 1 angka 1 undang-undang dimaksud, bahwa pencucian uang
adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan,
membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa
ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan
yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana, dengan
maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta
kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tersebut
dirinci apa yang dimaksud dengan “hasil tindak pidana” yang dimaksud
dalam pengertian pencucian uang dalam pasal 1 angka 1 tersebut diatas,
yaitu adalah harta kekayaan yang diperoleh dari 26 (dua puluh enam) jenis
tindak pidana, yang masing-masing adalah tindak pidana : korupsi,
penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja,
penyelundupan migran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di
bidang asuransi, narkotika, psikotropika, perdagangan manusia,
perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan,
penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di
bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan, atau
tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun
atau lebih.
Kemudian, dengan dasar pertimbangan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 perlu disesuaikan
dengan perkembangan kebutuhan penegakan hukum, praktik, dan standar
internasional, maka Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tersebut
diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
2
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang diundangkan
pada tanggal 22 Oktober 2010 dan mulai berlaku sejak tanggal
diundangkannya tersebut.
Dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang itu
disebutkan bahwa pencucian uang adalah segala perbuatan yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini. Ketentuan dalam Undang-Undang ini (Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2010) yang dimaksud oleh pasal 1 angka 1
tersebut ialah ketentuan pasal 3 dan ketentuan pasal 4, yang menyebutkan
bahwa setiap orang yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana dalam pasal-
pasal 3 atau 4 tersebut, dipidana karena tindak pidana pencucian uang.
Lengkapnya bunyi pasal 3 dan pasal 4 dimaksud adalah sebagai berikut :
Pasal 3 : Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,
membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke
luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat
berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan
asal usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang
dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
banyak Rp 10.000.000.000,oo (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 4 : Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul,
sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak, atau kepemilikan yang
sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat
(1) dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp
5.000.000.000,oo (lima miliar rupiah).
Dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ini, juga
dirinci jenis-jenis tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan sebagai
3
hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 atau pasal 4
undang-undang dimaksud, yang rinciannya hampir sama dengan rincian
yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2003, dengan penambahan tindak pidana kepabeanan dan tindak pidana
cukai, serta perubahan tindak pidana kelautan dalam pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 menjadi tindak pidana kelautan dan
perikanan, sementara tindak pidana penyelundupan barang yang semula
terdapat dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003,
tidak terdapat lagi dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 tersebut.
Jenis-jenis tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan yang
disebut sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 mau pun dalam pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 itu, dikenal dengan sebutan :
“tindak pidana asal” (predicate crime). Pencucian uang adalah tindak pidana
ikutan (underlying crime) dari tindak pidana asal (predicate crime).Tindak
pidana asal akan menjadi dasar apakah suatu transaksi dapat dijerat
dengan undang-undang anti pencucian uang.[3] Menurut Prof. Barda
Nawawi Arie, predicate crime atau predicate offence adalah delik-delik yang
menghasilkan criminal proceedsatau hasil kejahatan yang kemudian dicuci.
[4]
Menurut Prof. Giavanoli, pencucian uang diartikan suatu proses dengan
mana aset-aset pelaku, terutama aset tunai yang diperoleh dari suatu tindak
pidana, dimanipulasi sedemikian rupa sehingga aset-aset tersebut seolah-
olah berasal dari sumber yang sah. Kemudian menurut Neil Jensen,
pencucian uang diartikan sebagai proses perubahan keuntungan dari
kegiatan-kegiatan yang melawan hukum menjadi aset keuangan, dan
terlihat seolah-olah diperoleh dari sumber-sumber yang bersifat legal.
Sedangkan menurut Dr. Pande Silalahi, pencucian uang adalah perbuatan
dengan sengaja melakukan penyetoran atau pemindahan kekayaan (uang)
yang berasal dari kejahatan atau dari suatu tindak pidana dengan maksud
menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul dari kekayaan tersebut.[5]
4
Dengan demikian, dari pengertian pencucian uang atau tindak pidana
pencucian uang sebagaimana dipaparkan diatas, termasuk pengertian
menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 mau pun menurut Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2010 tersebut diatas, sesungguhnya tindak pidana
pencucian uang adalah tindak pidana yang keberadaannya baru terjadi
setelah adanya tindak pidana yang mendahuluinya, yang disebut tindak
pidana asal itu. Dari tindak pidana asal (predicate crime) ini diperoleh harta
kekayaan yang oleh Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 mau pun oleh
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, disebut sebagai “hasil tindak pidana”
atau yang oleh Prof. Badar nawawi Arief disebut sebagai hasil
kejahatan (criminal proceeds). Hasil tindak pidana atau hasil
kejahatan (criminal proceeds) inilah yang kemudian “dicuci” seolah-olah
merupakan harta kekayaan yang diperoleh secara sah, sehingga terjadilah
tindak pidana pencucian uang (money laundering). Sebagai tindak pidana
ikutan (underlying crime), tindak pidana pencucian uang baru ada kalau
sebelumnya ada tindak pidana asal (predicate crime).Namun, dalam konteks
ini, menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 mau pun Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2010, dengan diketahui atau patut diduga saja
bahwa hasil tindak pidana diperoleh dari tindak pidana asal (predicate
crime), sudah cukup untuk memenuhi rumusan tindak pidana pencucian
uang.
Dengan latar belakang seperti yang telah diuraikan diatas itulah,
makalah ini akan mencoba untuk melihat urgensi tindak pidana
asal (predicate crime) untuk terjadinya suatu tindak pidana pencucian uang
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, in
casu sebagai tindak pidana ikutan (underlying crime).
B. Rumusan Masalah.
Bertitik tolak dari uraian latar belakang sebagaimana telah dipaparkan di
atas, bahwa tindak pidana pencucian uang (money laundering) merupakan
tindak pidana ikutan(underlying crime) dari tindak pidana asal (predicate
crime), namun dalam rumusan pengertian tindak pidana pencucian
5
uang (money laundering) dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010,
cukup dengan patut diduga saja hasil tindak pidana diperoleh dari tindak
asal (predicate crime), maka itu sudah cukup untuk memenuhi rumusan
tindak pidana pencucian uang. Dalam kaitan itulah, makalah ini akan
mengkaji lebih jauh masalah-masalah sebagai berikut :
1. Apakah tindak pidana asal (predicate crime) merupakan syarat untuk
terjadinya tindak pidana pencucian uang menurut Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
pencucian Uang ?
2. Apa urgensi tindak pidana asal (predicate crime) dalam tindak pidana
pencucian uang menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 ?
3. Apa implikasinya jika tindak pidana asal (predicate crime) tidak terbukti
adanya, namun tindak pidana pencucian uang dinyatakan terbukti telah
terjadi ?
C. Metode Pendekatan.
Tulisan ini ingin melihat urgensi tindak pidana asal (predicate
crime) dalam tindak pidana pencucian uang (money laundering) di
Indonesia, yaitu sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010, sehingga metode pendekatan yang relevan
dipergunakan dalam penulisan makalah ini ialah pendekatan undang-
undang(statute approach), pendekatan konseptual (conceptual
approach), dan pendekatan analitis (analytical approach).
a. Pendekatan undang-undang (Statute Approach).
Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan
akademis, peneliti perlu mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya
undang-undang tersebut. Dengan mempelajari ratio legis dan dasar
ontologis suatu undang-undang, peneliti sebenarnya mampu menangkap
kandungan filosofi yang ada di belakang undang-undang itu. Memahami
kandungan filosofi yang ada di belakang undang-undang itu, peneliti
tersebut akan dapat menyimpulkan mengenai ada tidaknya benturan
6
filosofis antara undang-undang dengan isu yang dihadapi.[6]Pendekatan ini
digunakan in casu terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang, dan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang.
b. Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach).
Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti
akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum,
konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu
yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-
doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu
argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.[7]
c. Pendekatan Analitis (Analitical Approach).
Pendekatan analitis (analitical approach) ini diperlukan terutama
dikarenakan penulisan makalah ini merupakan penelitian hukum normatif,
yaitu dengan menggunakan data sekunder yang berwujud bahan hukum
primer berupa undang-undang yang mengatur mengenai tindak pidana
pencucian uang tersebut diatas, dan bahan hukum sekunder yang diperoleh
dari penelitian kepustakaan dengan memanfaatkan berbagai literatur, buku-
buku teks, mau pun bahan hukum tersier berupa tulisan-tulisan hukum
dalam website,sehingga timbul kebutuhan untuk menganalisis bahan-bahan
hukum tersebut.
D. Kerangka Teoritik.
Kerangka teoritik atau landasan teori yang akan digunakan untuk
menganalisis permasalahan dalam makalah ini adalah Teori Kausalitas atau
teori sebab-akibat. Yang pertama kali mencetuskan adanya teori kausalitas
7
adalah Von Buri dengan Teori Conditio Sine Qua Non yang pertama kali
dicetuskan pada Tahun 1873.[8]
Menurut Von Buri, bahwa semua faktor, yaitu semua syarat yang turut
serta menyebabkan suatu akibat dan yang tidak
dapat weggedacht (dihilangkan) dari rangkaian faktor-faktor yang
bersangkutan harus dianggap causa (sebab) akibat itu. Tiap faktor yang
dapat dihilangkan (weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor yang adanya
tidak perlu untuk terjadinya akibat yang bersangkutan, tidak diberi nilai.
Demikian sebaliknya, tiap faktor yang tidak dapat dihilangkan (niet
weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor tersebut, yaitu yang adanya perlu
untuk terjadinya akibat yang bersangkutan, harus diberi nilai yang sama.
Semua faktor tersebut adalah sama dan sederajat. Karena adanya faktor-
faktor yang tidak dapat dihilangkan itu perlu untuk terjadinya akibat yang
bersangkutan, maka teori Von Buri disebut pula dengan teori condition sine
qua non. Karena menurut Von Buri semua faktor yang tidak dapat
dihilangkan itu harus diberi nilai sama, maka teorinya juga dikenal dengan
teori ekivalensi (aequivalentie-leer). Dengan demikian teori Von Buri
menerima beberapa causa (meervoudige causa). Disamping itu teori Von
Buri dapat juga disebut dengan Bedingungstheorie, oleh karena menurut
Von Buri antarabedingung (syarat) dengan causa (sebab) itu tidak ada
perbedaan.[9]
Dalam perkembangannya banyak bermunculan teori-teori baru yang
berusaha untuk memperbaiki serta menyempurnakan kekurangan di dalam
teori Von Buri, diantaranya adalah teori
mengindividualisasikan (individualiserende theorien) yang dipelopori oleh
Birkmeyer. Pendapat Birkmeyer berpangkal pada dalil ursache ist die
wirksamste bedingung, yang menjadi causa adalah faktor (bedingung,
kejadian) yang paling berpengaruh (atas terjadinya delik yang
bersangkutan). Teori ini ternyata juga tidak dapat menyelesaikan masalah
terutama apabila diantara semua faktor itu sama berpengaruh atau apabila
sifat dan coraknya dalam rangkaian faktor-faktor itu tidak sama. Di dalam
teori mengindividualisasi ini termasuk juga Teori Uebergewicht yang
8
dikemukakan oleh Binding yang dianut juga oleh Schepper. Kemudian
Ortmann dengan teorinya yang disebut dengan theorie des letzten
Bedingung, yang mengajarkan bahwa faktor yang terakhir yang
mematahkan keseimbanganlah yang merupakan faktor. Kesulitannya ialah
bagaimana menentukan faktor yang terakhir yang mematahkan
keseimbangan itu ?[10]
Dari ketidakpuasan terhadap teori yang mengindividualisasi,
menimbulkan teori baru yang menggeneralisasi (generaliserende
theorie). Pada prinsipnya teori tersebut menjelaskan bahwa teori Von Buri
terlalu luas sehingga harus dipilih satu faktor saja, yaitu yang menurut
pengalaman manusia pada umumnya dipandang sebagai causa.[11]
Yang paling terkenal dalam golongan ini adalah Teori Adequat yang
diajukan oleh J. Von Kris. Menurut teori ini, musabab dari suatu kejadian
adalah syarat yang pada umumnya menurut jalannya kejadian yang normal,
dapat atau mampu menimbulkan akibat atau kejadian tersebut (Simon, 6e
druk hlm. 144 no. 4).[12] Adequaat artinya adalah sebanding, seimbang,
sepadan. Teori Von Kries dapat juga disebut sebagai teori generalisasi yang
subyektif adequaat, oleh karena menurut Von Kries yang menjadi sebab dari
rangkaian faktor-faktor yang berhubungan dengan terwujudnya delik, hanya
satu sebab saja yang dapat diterima, yaitu yang sebelumnya telah dapat
diketahui oleh si pembuat.[13]
Prof. Simons yang pandangannya mengenai hubungan kausal
digolongkan disini, berpendapat bahwa musabab adalah tiap-tiap kelakuan
yang menurut garis-garis umum mengenai pengalaman manusia (naar de
algemene regeien der menselijke ervaring) patut diadakan kemungkinan
bahwa karena kelakuan itu sendiri dapat ditimbulkan akibat.[14]
Menurut Rumelin, faktor-faktor yang layak untuk disebut sebagai
penyebab dari sesuatu peristiwa yang terjadi itu adalah keadaan-keadaan
yang pada umumnya dapat diketahui oleh setiap manusia normal pada saat
9
sesuatu tindakan itu dilakukan, bahwa tindakan tersebut dapat menimbulkan
sesuatu akibat tertentu.[15]
Dr. L. Trager yang bereaksi atas teori Von Buri tersebut diatas, dalam
bukunya yang berjudul Der Kausalbegriff im Straff und Zivilrecht, Marburg,
1904, mengutarakanindividualiseerde theorie dan generaliseerde theorie. Di
dalam teori ini, orang berusaha untuk menyelidiki semua syarat yang kiranya
ada di dalam post factum untuk menemukan satu syarat yang dapat
dianggap paling menentukan atau paling berperan atas timbulnya suatu
akibat. Di dalam generaliseerde theorie itu, orang berusaha untuk membuat
pemisahan antara syarat yang satu dengan syarat yang lain untuk kemudian
kepada masing-masing syarat tersebut diberikan suatu penilaian sesuai
dengan pengertiannya yang umum dan layak dipandang sebagai penyebab
dari suatu peristiwa yang terjadi. Di dalam teori ini orang berusaha untuk
melihat ke dalam ante factum atau berusaha untuk melihat pada saat suatu
tindakan itu telah dilakukan untuk menemukan faktor-faktor tertentu yang
kiranya dapat dipandang sebagai faktor yang layak atau faktor yang adekuat
untuk dapat disebut sebagai penyebab dari suatu peristiwa yang terjadi.[16]
BAB II
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN PERKEMBANGANNYA
a. Sejarah Terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang (Money
Laundering).
Apa yang disebut sebagai pencucian uang (money laundering) ini
sesungguhnya sudah cukup lama dikenal, yang bermula di Amerika Serikat.
Dari banyak literatur diperoleh pemahaman bahwa sejarah pencucian uang
telah berkembang sejak dekade 1920-an. Pencucian uang telah menjadi
mata rantai penting dalam kejahatan. Pelaku kejahatan menyembunyikan
hasil kejahatannya dalam sistem keuangan atau dalam berbagai bentuk
upaya lainnya. Tindakan menyembunyikan hasil kejahatan atau dana-dana
10
yang diperoleh dari tindak pidana dimaksudkan untuk untuk mengaburkan
asal-usul harta kekayaan.[17]
Money laundering sebagai salah satu jenis kejahatan kerah putih
(white collar crime) sebenarnya sudah ada sejak tahun 1967. Pada saat itu,
seorang perompak di laut, Henry Every, dalam perompakannya terakhir
merompak kapal Portugis berupa berlian senilai £325.000 poundsterling
(setara Rp 5.671.250.000,oo). Harta rampokan tersebut kemudian dibagi
bersama anak buahnya, dan bagian Henry Every ditanamkan pada transaksi
perdagangan berlian dimana ternyata perusahaan berlian tersebut juga
merupakan perusahaan pencucian uang milik perompak lain di darat.
Namun istilah money laundering sudah muncul ketika Al Capone, salah
satu mafia besar di Amerika Serikat, pada tahun 1920-an, memulai
bisnis Laundromats (tempat cuci otomatis). Bisnis ini dipilih karena
menggunakan uang tunai yang mempercepat proses pencucian uang agar
uang yang mereka peroleh dari hasil pemerasan, pelacuran, perjudian, dan
penyelundupan minuman keras terlihat sebagai uang yang halal. Walau
demikian, Al Capone tidak dituntut dan dihukum dengan pidana penjara atas
kejahatan tersebut, akan tetapi lebih karena telah melakukan penggelapan
pajak. Selain Al Capone, terdapat juga Meyer Lansky, mafia yang
menghasilkan uang dari kegiatan perjudian dan menutupi bisnis ilegalnya itu
dengan mendirikan bisnis hotel, lapangan golf dan perusahaan pengemasan
daging. Uang hasil bisnis illegal ini dikirimkan ke beberapa bank-bank di
Swiss yang sangat mengutamakan kerahasian nasabah, untuk
didepositokan. Deposito ini kemudian diagunkan untuk mendapatkan
pinjaman yang dipergunakan untuk membangun bisnis legalnya. Berbeda
dengan Al Capone, Meyer Lansky justru terbebas dari tuntutan melakukan
penggelapan pajak, tindak pidana termasuk tindak pidana pencucian uang
yang dilakukannya.[18]
Pada perkembangannya ternyata uang-uang dalam golongan ini juga
berasal dari hasil kegiatan haram yang semakin marak pula, seperti
perdagangan obat bius, karena itu kemudian muncul istilah narco
dollar atau drug money. Perkembangan selanjutnya, metode pencucian
11
uang ini dilakukan dengan cara menggunakan institusi perbankan atau pihak
perantara fiansial lainnya. Uang haram tersebut dimasukkan ke dalam
sistem perbankan atau sistem penanaman modal lainnya sehingga uang
tersebut bercampur dengan uang lainnya. Dengan demikian eksistensinya
semakin sulit dilacak.[19]
Eksistensi pencucian uang dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa
kejahatan (besar) tetap hidup. Kejahatan dan tindak pidana pencucian uang
bagaikan dua sisi mata uang, selalu berdampingan, saling membutuhkan,
dan tidak mungkin dilepaskan satu sama lainnya. Pncucian uang mungkin
sama tuanya dengan eksistensi uang itu sendiri.[20] Walau pun demikian,
pencucian uang tidak serta merta dinyatakan sebagai tindak pidana. Adalah
Amerika Serikat yang pertama kali menyatakan pencucian uang sebagai
suatu kejahatan. Pada dekade 1920-an sampai 1930-an, pada saat mana
kelompok penjahat yang dipimpin Al Capone melakukan pencucian uang
dari kegiatan ilegalnya seperti penjualan alkohol yang saat itu dilarang,
pengelakan pembayaran pajak. Al Capone pun dijebloskan ke dalam
penjara berdasarkan pelanggaran terhadap Volsted Act.[21]
Sedangkan dalam konteks pengadilan atau hukum, penggunaan
istilah money laundering muncul pertama kali pada Tahun 1982 dalam suatu
perkara US $ 4,255,625.39 (1982) 551 F Supp.314. Sejak itu, istilah tersebut
telah diterima dan digunakan secara luas di seluruh dunia.[22] Kemudian
istilah ini populer pada Tahun 1984 ketika Interpol mengusut pemutihan
uang mafia Amerika Serikat yang terkenal dengan pizza connection. Kasus
ini menyangkut dana sekitar US $ 600 juta, yang ditransfer ke sejumlah
bank di Swiss dan Italia. Cara pencucian uang ini dilakukan dengan
menggunakan restoran-restoran pizza yang berada di Amerika Serikat
sebagai sarana usaha untuk menyamarkan sumber-sumber dana tersebut.
[23]
b. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering).
Tidak ada definisi yang seragam dan komperehensif mengenai
pencucian uang ataumoney laundering. Masing-masing negara memiliki
12
definisi mengenai pencucian uang sesuai dengan terminologi kejahatan
menurut hukum negara yang bersangkutan. Pihak penuntut dan lembaga
penyidikan kejahatan, kalangan pengusaha dan perusahaan, negara-negara
yang telah maju dan negara-negara dari dunia ke-tiga, masing-masing
mempunyai definisi sendiri berdasarkan prioritas dan persepektif yang
berbeda.[24]
Pencucian uang (money laundering) adalah suatu upaya untuk
menyembunyikan asal usul uang atau kekayaan hasil kejahatan melalui
berbagai transaksi keuangan agar uang atau harta tersebut tampak seolah-
olah berasal dari kegiatan yang legal.[25]
Secara populer money laundering (pencucian uang) didefinisikan
sebagai perbuatan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan
lainnya atas hasil dari suatu tindak pidana yang seringkali dilakukan
oleh organization crime maupun individu yang melakukan tindakan korupsi,
perdagangan narkotika, kejahatan di bidang perbankan, pasar modal dan
tindak pidana lainnya dengan tujuan menyembunyikan atau mengaburkan
asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut, sehingga
dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa terdeteksi
bahwa aset tersebut dari hasil kegiatan yang ilegal.[26]
Black’s Law Dictionary memberikan pengertian pencucian uang
sebagai term used to describe investmentor other transfer of money flowing
from racketeeting, drug transaction, and other illegal sourcesinto legitimate
channels so that is original source cannot be traced (pencucian uang adalah
istilah untuk menggambarkan investasi di bidang-bidang yang illegal melalui
jalur yang sah, sehingga uang tersebut tidak dapat diketahui lagi asal-
usulnya).[27]
Menurut Prof. Giavanoli, pencucian uang diartikan suatu proses dengan
mana aset-aset pelaku, terutama asset uang tunai yang diperoleh dari suatu
tindak pidana dimanipulasi sedemikian rupa sehingga asset-aset tersebut
seolah-olah berasal dari sumber yang sah. Kemudian menurut Neil Jensen,
13
pencucian uang diartikan sebagai proses perubahan keuntungan dari
kegiatan-kegiatan yang melawan hokum menjadi asset keuangan, dan
terlihat seolah-olah diperoleh dari sumber-sumber yang bersifat legal.
Sedangkan menurut Dr. Pande Silalahi, pencucian uang adalah perbuatan
dengan sengaja melakukan penyetoran atau pemindahan kekayaan (uang)
yang berasal dari kejahatan atau dari suatu tindak pidana dengan maksud
menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul dari kekayaan tersebut.
Dengan kata lain, pencucian uang adalah suatu proses mentransformasikan
uang haram menjadi uang halal.[28]
Dari berbagai sudut pandang mengenai pengertian pencucian
uang (money laundering) tersebut diatas, kiranya dapat dipahami bahwa
pencucian uang (money laundering) adalah serangkaian kegiatan atau
upaya untuk mengaburkan atau menghilangkan jejak harta kekayaan yang
diperoleh sebagai hasil dari suatu tindak pidana dengan cara memasukkan
atau mencampurkan harta kekayaan tersebut ke dalam suatu sistem
keuangan atau investasi yang sah, dengan tujuan agar harta kekayaan
tersebut menjadi seolah-olah harta kekayaan yang diperoleh secara sah.
c. Tahap-Tahap Tindak Pidana Pencucian Uang.
Untuk dapat mengaburkan atau menghilangkan jejak harta kekayaan
yang diperoleh dari suatu kejahatan atau tindak pidana agar menjelma
menjadi seolah-olah harta kekayaan yang sah, pencucian uang mengenal
pola yang umumnya dilakukan dengan suatu proses yang memiliki 3 (tiga)
rangkaian, yaitu apa yang dikenal dengan :
penempatan (placement), pengaburan (layering) dan integrasi (integration).
Penempatan (placement) merupakan langkah pertama, yaitu uang hasil
kejahatan diubah ke dalam bentuk yang kurang atau tidak menimbulkan
kecurigaan melalui penempatan kepada sistem keuangan dengan berbagai
cara.[29] Atau dengan kata lain penempatan (placement) adalah upaya
menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem
keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cek,
wesel bank, serifikat deposito, dan lain-lain) kembali ke dalam sistem
14
keuangan, terutama perbankan, baik di dalam mau pun di luar
negeri. Placement dapat pula dilakukan dengan pergerakan fisik dari uang
tunai, baik melalui penyelundupan uang tunai dari suatu negara ke negara
lain, mau pun menggabungkan uang tunai yang berasal dari kejahatan
dengan uang yang diperoleh dari kegiatan yang sah. Proses placement ini
merupakan tahap yang paling lemah dan paling mudah untuk dilakukan
pendeteksian terhadap upaya pencucian uang.[30]
Langkah kedua adalah apa yang disebut dengan pelapisan (layering) ,
yaitu melakukan transaksi keuangan yang kompleks, berlapis
dan anonim ke berbagai rekening sehingga sulit untuk dilacak asal muasal
dana tersebut.[31] Layering adalah upaya untuk mentransfer harta kekayaan
yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil
ditempatkan pada penyedia jasa keuangan (terutama bank) sebagai hasil
upaya penempatan (placement), ke penyedia jasa keuangan lain. Pada
tahap ini pelaku pencucian uang bermaksud memperpanjang rangkaian dan
memperumit transaksi, sehingga asal-usul uang menjadi sukar untuk
ditemukan pangkalnya.[32]
Langkah ketiga disebut dengan integrasi (integration), yaitu merupakan
tahapan dimana pelaku memasukkan kembali dana yang sudah kabur asal-
usulnya ke dalam transaksi yang sah. Ini merupakan tahap akhir dalam
tindak pidana pencucian uang, yaitu menggunakan harta kekayaan yang
berasal dari tindak pidana yang telah masuk ke dalam sistem keuangan
melalui penempatan atau transfer, sehingga menjadi harta kekayaan
halal (clean money) untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai
kembali kegiatan kejahatan.[33]
Meski pun dikatakan ketiga jenis upaya tersebut merupakan tahap-
tahap pencucian uang, namun dengan salah satu tahap saja, misalnya
tahap penempatan (placement),upaya tidak pidana pencucian uang telah
terjadi, namun pendeteksiannya menjadi lebih mudah daripada kedua tahap
berikutnya, yaitu pelapisan (layering) atau integrasi(integration).
15
BAB III
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA
Tindak pidana pencucian uang baru dikenal di Indonesia sejak
diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang, yang diundangkan dan mulai berlaku sejak tanggal
17 April 2002.
Munculnya regulasi pertama mengenai tindak pidana pencucian uang di
Indonesia tidak lepas dari lahirnya rezim hukum internasional anti pencucian
uang, yang ditandai dengan dikeluarkannya United Nations Convention
Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substance
1988 (Konvensi Wina 1988) yang dipandang sebagai tonggak sejarah dan
titik puncak dari perhatian masyarakat internasional terhadap pencucian
uang.[34] Kemudian pada Tahun 2000 dikeluarkan pula Konvensi
Palermo(The International Convention Against Transnational Organized
Crimes) di Palermo, Italia. Sehubungan dengan pencucian uang, Konvensi
Palermo mewajibkan negara yang sudah meratifikasinya untuk : (i)
mengkriminalisasi pencucian uang yang meliputi seluruh tindak pidana
berat (serious crime) yang dilakukan baik di dalam mau pun di luar negeri,
dimana tindak pidana berat (serious crime) diartikan dengan tindak pidana
yang diancam hukuman minimal empat tahun; (ii) membentuk rezim di
bidang pengaturan dan pengawasan untuk mencegah dan mendeteksi
pencucian uang, antara lain melalui penerapan prinsip mengenal nasabah,
kewajiban memelihara arsip transaksi keuangan, dan kewajiban melaporkan
transaksi keuangan mencurigakan; (iii) mengatur kerjasama dan pertukaran
16
informasi antar berbagai instansi, baik di dalam mau pun di luar negeri, dan
mendirikan financial intelligent unit (FIU) yang menerima laporan,
menganalisis dan meneruskannya kepada penegak hukum; dan (iv)
mendorong kerjasama internasional.[35]
a. Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002.
Dalam konsideran Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang, disebutkan dasar pertimbangan
diterbitkannya undang-undang tersebut, yaitu antara lain bahwa kejahatan
yang menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah besar semakin meningkat,
baik kejahatan yang dilakukan dalam batas wilayah Negara Republik
Indonesia mau pun yang melintasi batas wilayah negara. Asal-usul harta
kekayaan yang merupakan hasil dari kejahatan tersebut, disembunyikan
atau disamarkan dengan berbagai cara yang dikenal sebagai pencucian
uang. Disebutkan pula bahwa pencucian uang bukan saja merupakan
kejahatan nasional, tetapi juga kejahatan internasional, oleh karena itu harus
diberantas, antara lain dengan melakukan kerjasama regional atau
internasional melalui forum bilateral atau multilateral.[36]
Meski pun diterbitkan sebagai Undang-Undang tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, namun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tidak
memberikan pengertian atau batasan atau definisi mengenai apa yang
dimaksud dengan tindak pidana pencucian uang dimaksud. Hanya
disebutkan dalam konsideran undang-undang dimaksud, seperti telah
diuraikan diatas, bahwa upaya menyembunyikan atau menyamarkan
dengan berbagai cara asal-usul harta kekayaan yang merupakan hasil
kejahatan tersebut, dikenal sebagai pencucian uang. Kemudian dalam
penjelasan umum undang-undang tersebut dijelaskan bahwa asal usul harta
kekayaan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh para penegak
hukum. Upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta
kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang ini, dikenal sebagai pencucian uang (money laundering).
17
Kemudian dalam pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2002 tersebut dinyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja :
a. menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik
atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
b. mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke
Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas
nama pihak lain;
c. membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas
namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
d. menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya
sendiri maupun atas nama pihak lain;
e. menitipkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas
nama pihak lain;
f. membawa ke luar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana;
g. menukarkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga
lainnya; atau
h. menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ;
dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,oo (lima miliar rupiah) dan paling
banyak Rp 15.000.000.000,oo (lima belas miliar rupiah).
b. Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2003.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 ini merupakan undang-undang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tersebut diatas.
18
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 ini diberikan batasan secara
eksplisit apa yang dimaksud dengan pencucian uang, yaitu sebagaimana
disebutkan dalam pasal 1 angka 1 undang-undang dimaksud, yang
menyatakan bahwa pencucian uang adalah perbuatan menempatkan,
mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau
perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga
merupakan hasil tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan
atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi
harta kekayaan yang sah.
Kemudian dalam pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2003 dirumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana karena tindak
pidana pencucian uang, yang merupakan perubahan atas rumusan pasal 3
ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002. Pasal 3 ayat (1) tersebut
menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja :
a. menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana ke dalam penyedia jasa keuangan, baik atas
nama sendiri atau atas nama pihak lain;
b. mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana dari suatu penyedia jasa keuangan ke
penyedia jasa keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas
nama pihak lain;
c. membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas
namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
d. menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya
sendiri maupun atas nama pihak lain;
e. menitipkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas
nama pihak lain;
f. membawa ke luar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau
19
g. menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan
mata uang atau surat berharga lainnya;
dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,oo (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 15.000.000.000,oo (lima belas miliar rupiah).
c. Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ini diterbitkan untuk
menggantikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tersebut diatas.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang ini memberi pengertian mengenai tindak
pidana pencucian uang, bahwa pencucian uang adalah segala perbuatan
yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini. Yang dimaksud ketentuan dalam undang-undang ini
(Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010), adalah ketentuan pasal 3 dan
pasal 4 undang-undang dimaksud, yang masing-masing berbunyi :
Pasal 3 : Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,
membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke
luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat
berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan
asal usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang
dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
banyak Rp 10.000.000.000,oo (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 4 : Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul,
sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak, atau kepemilikan yang
sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
20
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat
(1) dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp
5.000.000.000,oo (lima miliar rupiah).
Dari pengertian tindak pidana pencucian uang atau pun rumusan
perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana pencucian uang yang
terdapat dalam ketiga undang-undang tersebut diatas, terdapat frasa yang
tidak pernah berubah, yaitu frasa yang berbunyi : “…. harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ….. “.
BAB IV
PREDICATE CRIME DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI
INDONESIA
a. Pengertian Predicate Crime.
Tindak pidana pencucian uang selalu terkait dengan suatu tindak pidana
lain yang terjadi sebelumnya. Tindak pidana sebelumnya ini menghasilkan
harta kekayaan yang disebut sebagai hasil tindak pidana. Hasil tindak
pidana inilah yang kemudian disamarkan atau disembunyikan, ditempatkan,
ditransfer, dan lain sebagainya itu, sehingga terjadi tindak pidana baru yang
dinamakan tindak pidana pencucian uang dimaksud. Tindak pidana yang
terjadi sebelumnya itu dinamakan tindak pidana asal atau predicate crime.
Sedangkan tindak pidana pencucian uang atas hasil tindak pidana
asal (predicate crime)tersebut merupakan tindak pidana ikutan (underlying
crime).
Menurut Prof. Barda Nawawi Arief, seperti telah disebutkan pada bagian
latar belakang makalah ini, bahwa predicate crime atau predicate
offence adalah delik-delik yang menghasilkan criminal proceeds atau hasil
kejahatan yang kemudian dicuci. Dengan demikian, tindak pidana pencucian
21
uang adalah tindak pidana ikutan (underlying crime)dari tindak pidana
asal (predicate crime).
Reuter and Truman (2004) berdasarkan hasil penelitiannya memasukkan
lima macam kejahatan asal (predicate offence) dari pencucian uang,
yaitu drug distribution, other blue collar crime, white collar crime, bribery and
corruption, and terrorism.[37]
b. Jenis-jenis Predicate Crime Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Di
Indonesia.
Dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 dicantumkan
adnya 10 (sepuluh) jenis tindak pidana asal (predicate crime), yaitu masing-
masing tindak pidana : korupsi, penyuapan, penyelundupan barang,
penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, perbankan,
narkotika, psikotropika, perdagangan budak, wanita, dan anak, perdagangan
senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, dan
penipuan.
Setelah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 diubah dengan Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2003, cakupan tindak pidana asal (predicate
crime) diperluas menjadi 26 (dua puluh enam) jenis, yaitu masing-masing
tindak pidana : korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan
tenaga kerja, penyelundupan migran, di bidang perbankan, di bidang pasar
modal, di bidang asuransi, narkotika, psikotropika, perdagangan manusia,
perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan,
penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di
bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan, atau
tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun
atau lebih.
Kemudian, dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang
menggantikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah
ddiubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, cakupan tindak
22
pidana asal diperluas lagi menjadi 27 jenis, yang rinciannya hampir sama
dengan rincian yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2003, dengan penambahan tindak pidana kepabeanan dan
tindak pidana cukai, serta perubahan tindak pidana kelautan dalam pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 menjadi tindak pidana
kelautan dan perikanan, dan penyebutan tindak pidana perdagangan
manusia pada pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003
diubah menjadi tindak pidana perdagangan orang, sementara tindak pidana
penyelundupan barang yang semula terdapat dalam pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, tidak terdapat lagi dalam pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tersebut.
c. Kedudukan Predicate Crime Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang
di Indonesia.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya dari bab ini, bahwa tindak
pidana pencucian uang merupakan tindak pidana ikutan (underlying
crime) dari suatu tindak pidana asal (predicate crime), sehingga keberadaan
tindak pidana pencucian uang tidak bisa dilepaskan dari tindak pidana
asalnya. Tindak pidana asal (predicate crime) adalah cikal bakal terjadinya
tindak pidana pencucian uang. Misalnya, dalam suatu tindak pidana
peredaran narkotika (drug distribution), dari hasil peredaran/penjualan
narkotika tersebut, akan diperoleh uang atau harta kekayaan sebagai hasil
tindak pidana penjualan narkotika dimaksud (criminal proceeds), yang
kemudian “dicuci” dalam suatu transaksi keuangan atau diinvestasikan
dalam suatu bisnis yang legal, sehingga uang hasil tindak pidana dari
peredaran narkotika yang semula adalah dirty money, kemudian
menjadiclean money. Dengan demikian telah terjadi tindak pidana
pencucian uang. Dari rangkaian kegiatan tersebut, dapat dilihat bahwa
keberadaan tindak pidana peredaran narkotika sebagai tindak pidana
asal (predicate crime) adalah menjadi penyebab terjadinya tindak pidana
pencucian uang dimaksud. Kalau tidak ada tindak pidana peredaran
narkotika (predicate crime) tersebut, tidak akan diperoleh uang atau harta
kekayaan sebagai hasil tindak pidana (criminal proceeds). Kalau tidak ada
diperoleh uang sebagai hasil tindak pidana, maka tidak ada pula uang yang
23
“dicuci” dalam transaksi keuangan atau diinvestasikan dalam suatu bisnis
yang legal. Kalau sudah demikian, maka tidak akan ada tindak pidana
pencucian uang dimaksud. Sehingga kedudukan tindak pidana
asal (predicate crime) sangat penting dan merupakan causa (sebab)
yang adequaatuntuk terjadinya akibat berupa tindak pidana pencucian uang
dari hasil tindak pidana asal(predicate crime) yang bersangkutan. Tindak
pidana asal (predicate crime) tetap dapat terjadi meski pun tidak diikuti oleh
tindak pidana pencucian uang, akan tetapi tindak pidana pencucian uang
tidak akan terjadi jika tidak didahului oleh suatu tindak pidana
asal (predicate crime).
Namun, seperti telah diuraikan dalam bab sebelumnya, bahwa undang-
undang tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 mau pun
Undang-Undang yang berlaku sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, merumuskan tindak pidana
pencucian uang sudah cukup terjadi dengan “diketahuinya atau patut
diduganya” saja harta kekayaan yang menjadi obyek tindak pidana
pencucian uang adalah merupakan hasil tindak pidana asal (predicate
crime). Dengan rumusan tindak pidana pencucian uang seperti itu, maka
tindak pidana asal (predicate crime) tidak benar-benar harus ada, cukup
dengan patut diduga saja bahwa sebelumnya telah terjadi tindak pidana
asal (predicate crime) yang menghasilkan harta kekayaan yang kemudian
“dicuci”, maka tindak pidana pencucian telah terbukti terjadi. Tindak pidana
asal(predicate crime) tidak benar-benar harus menjadi causa (sebab)
terjadinya tindak pidana pencucian uang. Ia (predicate crime) boleh ada atau
boleh juga tidak ada, cukup patut diduga saja keberadaannya.
Sehingga, tindak pidana asal (predicate crime) adalah merupakan syarat
untuk terjadinya suatu tindak pidana pencucian uang menurut undang-
undang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di
Indonesia, namun bukan merupakan syarat mutlak. Kalau tindak pidana
asal (predicate crime) ada, maka berlakulah ketentuan alternatif pertama,
yaitu “diketahuinya” harta kekayaan yang menjadi obyek pencucian tersebut
24
tersebut berasal dari suatu tindak pidana asal (predicate crime). Sebaliknya,
jika tindak pidana asal (predicate crime) tidak ada atau belum diketahui
keberadaannya, maka berlakulah alternatif ke-dua, yaitu bahwa harta
kekayaan dimaksud “patut diduga” merupakan hasil dari suatu tindak pidana
asal (predicate crime).
Dengan demikian, apakah urgen keberadaan tindak pidana
asal (predicate crime)dalam tindak pidana pencucian uang menurut hukum
positif di Indonesia ? Jawabannya, adalah tidak urgen ! Dikatakan demikian,
oleh karena ia boleh ada atau boleh juga tidak ada, cukup dengan patut
diduga saja. Sehingga urgensi predicate crime dalam tindak pidana
pencucian uang menurut undang-undang tentang pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia, hanya
merupakan alternatif pilihan untuk dapat dikatakan menjadi penyebab
atau causa dari suatu tindak pidana pencucian uang.
Namun, rumusan tindak pidana pencucian uang yang terdapat dalam
undang-undang tentang pencegahan dan tindak pidana pencucian uang di
Indonesia yang sedemikian itu, kiranya dapat dipahami, sebab tindak pidana
pencucian uang adalah kejahatan transnasional yang melintasi batas-batas
yurisdiksi suatu negara, sehingga apabila tindak pidana asal (predicate
crime)-nya dilakukan di luar wilayah yurisdiksi negara Indonesia, sedangkan
tindak pidana pencucian uangnya dilakukan di Indonesia, maka tentu sangat
sulit mempersyaratkan untuk dibuktikan terlebih dahulu terjadinya predicate
crimedimaksud, sebagai syarat terjadinya tindak pidana pencucian uangnya.
Sehingga undang-undang kita merumuskan dengan alternatif, yaitu
“diketahui” atau “patut diduga” saja mengenai tindak pidana asal (predicate
crime) tersebut.
Kendati pun demikian, tetap akan ada permasalahan hukum yang
muncul dengan rumusan tindak pidana pencucian uang sedemikian itu, yaitu
dalam hal dengan unsur “patut diduga” saja bahwa harta kekayaan yang
“dicuci” adalah merupakan hasil tindak pidana dari tindak pidana
asal (predicate crime), kemudian dinyatakan telah terbukti terjadi tindak
pidana pencucian uang yang bersangkutan, padahal dikemudian hari
diputuskan oleh pengadilan bahwa tindak pidana asal (predicate
crime) dimaksud tidak terbukti menurut hukum. Kalau sudah demikian
25
halnya, bagaimana dengan tindak pidana pencucian uangnya yang
dinyatakan telah terbukti itu ? Menurut hemat penulis, putusan pengadilan
yang menyatakan telah terbukti tindak pidana pencucian uang dimaksud,
dapat dibatalkan melalui upaya hukum luar biasa peninjauan kembali.
Logika hukumnya sebagai berikut : apabila tindak pidana asal (predicate
crime) tidak terbukti, maka tidak terbukti pula atau tidak ada harta kekayaan
yang disebut sebagai hasil tindak pidana yang menjadi obyek tindak pidana
pencucian uang itu, sebab dengan tidak terbuktinya tindak pidana
asal (predicate crime), maka tidak ada tindak pidana, sehingga harta
kekayaan yang diperoleh daripadanya bukan merupakan hasil tindak
pidana, melainkan merupakan harta kekayaan yang sah, sehingga dapat
diinvestasikan atau ditransaksikan secara legal dan tidak dikategorikan
sebagai tindak pidana pencucian uang.
Untuk mencegah terjadinya permasalahan hukum seperti tersebut diatas,
seharusnya tindak pidana asal (predicate crime)-nya yang harus diproses
hukum terlebih dahulu, disidik, dilakukan penuntutan, dan disidangkan
terlebih dahulu, baru kemudian apabila dinyatakan tindak pidana
asal (predicate crime) terbukti, dilakukan proses hukum terhadap tindak
pidana pencucian uangnya. Sebaliknya pula, dalam hal predicate
crimedinyatakan tidak terbukti oleh pengadilan, maka tidak perlu dilanjutkan
dengan melakukan proses hukum penyidikan, apalagi penuntutan atau
persidangan di depan pengadilan atas tindak pidana pencucian uangnya.
Dengan langkah seperti ini, logika hukum kita tidak akan dibuat terbalik,
akibat dapat dibuktikan tanpa adanya causa(sebab).
Di bidang legislasi, timbulnya permasalahan hukum sebagaimana
dimaksud diatas kiranya dapat dicegah dengan melakukan perubahan atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut, yaitu dengan
mengubah pengertian mau pun rumusan tindak pidana pencucian uang
sebagaimana terdapat dalam pasal 3 dan pasal 4 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 itu, yaitu dengan mengubah frasa : “…. atas harta kekayaan
yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ……
dst.” menjadi : “…. atas harta kekayaan yang diketahuinya merupakan hasil
tindak pidana ….. dst.” Jadi, kata-kata “patut diduganya” dihilangkan saja.
26
Dengan demikian, rumusan tersebut akan lebih menjamin adanya kepastian
dalam penegakan hukum, bahwa tindak pidana pencucian uang tidak
didasarkan atas adanya dugaan, melainkan didasarkan pada pengetahuan
pelaku bahwa harta kekayaan yang dijadikan obyek pencucian uang adalah
hasil tindak pidana dari suatu tindak pidana asal (predicate crime).
BAB V
K E S I M P U L A N
Berdasarkan seluruh uraian dan pembahasan serta analisis yang
tergambar dalam keseluruhan bab makalah ini, maka kiranya dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Tindak pidana asal (predicate crime) dalam undang-undang tentang
pencegahan dan pemberantasan pencucian uang di Indonesia ditempatkan
sebagai syarat untuk dapat terjadinya suatu tindak pidana pencucian uang,
namun keberadaannya bukan sebagai syarat yang mutlak harus ada.
Sebab, menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, harta kekayaan yang
menjadi obyek tindak pidana pencucian uang, cukup “diketahui” atau “patut
diduga” merupakan hasil dari suatu tindak pidana asal (predicate
crime).“Diketahui” atau “patut diduga” itu merupakan alternatif, cukup dipilih
salah satu saja, yaitu : “diketahui” atau “patut diduga”. Pilihan “diketahui”
diterapkan manakala tindak pidana asal (predicate crime) diketahui telah
terjadi dan terbukti menurut hukum. Sedangkan pilihan “patut diduga”
diterapkan apabila tindak pidana asal(predicate crime) tidak atau belum
dapat dibuktikan.
2. Dengan demikian, urgensi tindak pidana asal (predicate crime) dalam
tindak pidana pencucian uang menurut hukum positif mau pun rezim hukum
27
yang berlaku sebelumnya, adalah relatif-alternatif. Keberadaannya tidak
urgen. Tanpa ada dan terbukti tindak pidana asal (predicate crime) pun,
tindak pidana pencucian uang tetap dapat terjadi, yaitu dengan “patut
diduga” saja.
3. Dengan pengertian dan formulasi hukum mengenai tindak pidana
pencucian uang yang sedemikian itu, maka langsung atau tidak langsung
hal tersebut telah membuka ruang untuk terjadinya permasalahan atau
persoalan hukum, yaitu dalam hal tindak pidana pencucian uang dinyatakan
terbukti dengan menerapkan unsur patut diduga bahwa harta kekayaan
yang “dicuci” (yang menjadi obyek tindak pidana pencucian uang) itu
merupakan hasil tindak pidana dari suatu tindak pidana asal (predicate
crime), padahal dikemudian hari tindak pidana asal (predicate
crime) dimaksud dinyatakan tidak terbukti oleh pengadilan. Kalau tindak
pidana asal (predicate crime)-nya diputuskan oleh pengadilan tidak terbukti,
maka tidak terbukti pula adanya harta kekayaan sebagai hasil tindak pidana.
Dengan demikian harta kekayaan tersebut adalah harta kekayaan yang
legal, sehingga dapat ditransaksikan mau pun diinvestasikan dalam suatu
transaksi keuangan atau transaksi investasi yang legal, dan hal tersebut
tidak merupakan tindak pidana pencucian uang.
Dari kesimpulan sebagaimana diuraikan diatas, nampaknya diperlukan
perubahan pengertian atau rumusan tindak pidana pencucian uang
sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, supaya
ada kepastian hukum bahwa tindak pidana pencucian uang tidak didasarkan
pada adanya dugaan, melainkan pada pengetahuan pelaku bahwa harta
kekayaan yang dijadikan obyek pencucian uang adalah merupakan hasil
tindak pidana dari suatu tindak pidana asal (predicate crime). Karena
bagaimana pun tindak pidana pencucian uang sebagai tindak pidana
ikutan (underlying crime) tidak dapat dilepaskan dari tindak pidana
asal (predicate crime)-nya. Tindak pidana asal (predicate crime)adalah
merupakan penyebab (causa) yang adequaat dari suatu tindak pidana
pencucian uang. Sehingga pengertian atau rumusan tindak pidana
28
pencucian uang dalam undang-undang tentang pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang, seyogyanya menempatkan
tindak pidana asal (predicate crime) sebagai tindak pidana yang
keberadaannya harus dibuktikan terlebih dahulu sebelum membuktikan
terjadinya tindak pidana pencucian uangnya.
29