Urban Sprawl and Energy Provision (Moview Review and Synthesis to Indonesian Context of The End Of...
-
Upload
bramantiyo-marjuki -
Category
Science
-
view
75 -
download
0
Transcript of Urban Sprawl and Energy Provision (Moview Review and Synthesis to Indonesian Context of The End Of...
TUGAS MATA KULIAH
SISTEM PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH
(PPW604)
Dosen Pengampu Dr. Fadjar Hari Mardiansjah, ST, MT, MDP.
KEMUNCULAN, PERKEMBANGAN DAN PERMASALAHAN KAWASAN PERMUKIMAN DI PINGGIRAN KOTA (SUB-URBAN) AMERIKA UTARA DAN PEMBELAJARANNYA UNTUK
INDONESIA (Review Film Dokumenter The End of Suburbia: Oil Depletion and The Collapse of The
American Dream)
Disusun oleh:
BRAMANTIYO MARJUKI 21040116410036
MISSY HARIYANTI WIJAYA 21040116410015
MAGISTER PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG 2016
--- 1 ---
I. PENDAHULUAN
Film Dokumenter The End of Suburbia: Oil Depletion and The Collapse of The American
Dream adalah sebuah film dokumenter yang dibuat oleh Gregory Greene, Barry Silverthorn dan
Barrie Zwicker, yang diproduksi pada Tahun 2004 dan diterbitkan oleh Electric Wallpaper Co.
Film ini membidik kemunculan, perkembangan dan permasalahan kawasan permukiman
perkotaan di daerah pinggiran (suburbia) yang muncul dan berkembang pasca Perang Dunia ke
II di banyak kota di Amerika Serikat, sebagai efek dari suburbanisasi yang dipicu oleh
pertumbuhan industri perkotaan dan revolusi transportasi berbasis bahan bakar minyak.
Kemunculan awal kawasan suburbia dipandang sebagai realisasi dari American Dream yang
merupakan cita-cita dari masyarakat perkotaan Amerika, namun pada perkembangannya
memberikan banyak permasalahan akibat ketergantungan pada bahan bakar fosil dan selain juga
berbagai faktor lainnya.
Tulisan ini disusun guna merefleksikan apa yang terjadi pada fenomena Suburbia di
Amerika melalui review film tersebut, ditunjang dengan literatur pendukung, dan diakhiri dengan
komparasi dengan fenomena serupa yang terjadi di Indonesia. Struktur tulisan dimulai dari
uraian mengenai konsepsi dan teori pengembangan permukiman, dilanjutkan dengan deskripsi
kasus dari hasil observasi film yang ditunjang dengan literatur pendukung, komparasi aspek teori
dengan realisasi yang terjadi di Amerika, dan diakhiri dengan observasi fenomena serupa di
Indonesia, serta kemungkinan apa yang dapat dipelajari dan dihindari agar permasalahan yang
sama tidak terjadi di Indonesia, terutama jika dilihat dari konsep pengembangan permukiman
berkelanjutan.
II. PENGEMBANGAN PERMUKIMAN BERKELANJUTAN DAN URBAN
SPRAWL
II.1 Permukiman
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang perumahan dan permukiman,
permukiman didefinisikan sebagai bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu
satuan perumahan yang mempuyai prasarana, sarana. Utilitas umum, serta mempunyai
penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau perdesaan. Munculnya permukiman
menurut Batudoka (2005), bermula dari lingkup yang kecil, yaitu aktivitas manusia membuat
rumah untuk bertempat tinggal dan berlindung. Dari rumah secara individual kemudian
berkembang menjadi beberapa rumah yang dihuni oleh keluarga dan pada akhirnya menjadi
banyak rumah membentuk kompleks permukiman. Permukiman berkembang melengkapi diri
dengan sarana seperti sarana sosial, pendidikan, pemerintahan, keagamaan, olahraga, rekreasi,
kesehatan dan perekonomian. Selain itu, permukiman juga berkembang melengkapi diri dengan
--- 2 ---
prasarana pendukung seperti jalan, saluran drainase, dan saluran air bersih. Hasil interaksi
permukiman dengan lingkungan alam, lingkungan binaan dan lingkungan sosial akan
membentuk kawasan permukiman yang berbeda karakteristiknya, seperti permukiman
perkotaan, permukiman perdesaan, permukiman pesisir, dan permukiman kawasan industri
(Dimitra dan Yuliastuti, 2012).
II.2 Pengembangan Permukiman Berkelanjutan
Pengembangan permukiman di abad ke 21 tidak dapat dipisahkan dari konteks tren dan
permasalahan permukiman yang terjadi di seluruh dunia. Bab 7 dari Kesepakatan Agenda 21 dari
hasil Konferensi Tingkat Tinggi Pembangunan Berkelanjutan pada tahun 1992 menyepakati akan
pentingnya isu permukiman berkelanjutan pada saat ini dan di masa mendatang. Pengembangan
permukiman berkelanjutan merupakan aksi multi dimensi yang meliputi: (1) penyediaan rumah
layak; (2) pengelolaan dan penggunaan tanah secara berkelanjutan; (3) penggunaan energi
berkelanjutan; (4) sistem transportasi permukiman berkelanjutan; (5) pengelolaan kawasan
permukiman di daerah rawan bencana; dan (6) industri dan konstruksi berkelanjutan. Konteks
keberlanjutan sendiri menurut hasil KTT Bumi Rio De Janeiro Tahun 1992 dapat didefinisikan
sebagai “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi
berikutnya di masa depan”.
Pembangunan berkelanjutan dipandang sebagai proses banyak dimensi yang
mengkoneksikan dan menyelaraskan antara pembangunan ekonomi, sosial dan budaya dengan
perlindungan dan pelestarian lingkungan. Sehingga dalam hal ini permukiman berkelanjutan
dapat didefinsikan sebagai kota, lingkungan hunian, desa dan masyarakat yang ada di dalamnya
yang memungkinkan untuk hidup dengan cara yang mendukung status keberlanjutan dan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (Warouw, 2014). Khusus untuk lingkungan
perkotaan, aspek keberlanjutan harus tercermin dari atribut kota itu sendiri, baik konstruksi,
sistem kelembagaan sosial ekonomi, UN Habitat dalam Warouw (2014) memperkenalkan lima
prinsip sebagai strategi baru dalam perencanaan lingkungan hunian dan permukiman
berkelanjutan (Gambar 1).
--- 3 ---
Gambar 1 Kriteria Pengembangan Permukiman Berkelanjutan (Sumber: UN HABITAT dalam Warouw, 2014)
II.3 Fenomena Urban Sprawl
Urban sprawl adalah suatu proses perluasan kegiatan perkotaan ke wilayah pinggiran
yang melimpah, dengan kata lain terjadi proses pengembangan kenampakan fisik suatu
perkotaan ke arah luar. Lebih jauh lagi, definisi dari urban sprawl adalah suatu proses perubahan
fungsi dari wilayah yang bernama perdesaan menjadi wilayah perkotaan (Gillham, 2002).
Perdesaan yang selama ini dianggap sebagai penyokong kehidupan perkotaan, yang membantu
kota dalam pemenuhan kebutuhannya terutama dalam bidang pertanian, budidaya, kawasan
lindung dan non-industri, justru mengalami kenaikan tingkat fungsi guna lahan, menjadi kawasan
permukiman padat penduduk, bahkan kawasan industri. Urban sprawl merupakan salah satu
bentuk perkembangan kota yang dilihat dari segi fisik seperti bertambahnya gedung secara
vertikal maupun horisontal, bertambahnya jalan, tempat parkir, maupun saluran drainase kota.
Banyak alasan yang mendasari terjadinya fenomena urban sprawl ini. Mulai dari perilaku
masyarakat yang lebih memilih untuk bermukim diarea pinggiran kota, asumsi harga lahan yang
lebih murah dan terjangkau serta kondisi udara yang masih sehat, belum banyak tercemari
seperti pusat kota. Selain itu alasan yang juga menyebabkan masyarakat memilih tinggal diarea
pinggiran kota adalah karena belum terlalu padat penduduk yang ada disana, jika dibandingkan
dengan kawasan perkotaan, Ditambah karena memiliki akses yang dekat untuk menuju ke pusat
kota.
--- 4 ---
Seiring berjalannya waktu, dengan semakin meningkatnya pendapatan mereka,
penduduk yang semula menyewa rumah diarea perkotaan karena ingin dekat dengan tempat
dimana mereka bekerja, sebagian besar/mayoritas memilih untuk tinggal di luar kota (pinggiran
kota) agar dapat memiliki rumah tinggal sendiri. Walaupun pada sebagian penduduk yang
berpenghasilan rendah dengan terpaksa menempati rumah tinggal yang sempit dan kumuh,
asalkan rumah tersebut miliknya sendiri. Sehingga biaya sewa rumah tidak lagi menjadi beban
bagi anggaran rutin mereka.
Karena tidak terlalu dekatnya tempat tinggal mereka dengan lokasi dimana mereka
bekerja, masyarakat di pinggiran kota yang lebih cenderung menggunakan moda kendaraan
pribadi seperti sepeda motor dan mobil pribadi untuk menuju lokasi kegiatan mereka yang lebih
terkonsentrasi di pusat kota. Sedangkan banyaknya angkutan umum bermotor seperti bus, oplet
dan taxi dapat mengindikasikan terjadinya fenomena urban sprawl ini. Dimana salah satu
alasannya adalah pembuktian bahwa belum memadainya tingkat pelayanan fasilitas bagi
masyarakat pinggiran kota, dalam hal ini adalah angkutan umum. Kurangnya pelayanan
transportasi (angkutan umum) bagi masyarakat di pinggiran kota untuk menuju pusat kota jika
dibandingkan dengan di pusat kota, sehingga gejala ini menjadikan angkutan umum seolah-olah
disediakan hanya bagi warga yang tidak memiliki kendaraan pribadi (captive people).
Proses urban sprawl menurut Yunus (2005), ditinjau dari proses perkembanganya
spasial fisik kota dapat diidentifikasi:
a. Secara horizontal, yang meliputi:
1. Sentrifugal, adalah proses bertambahnya ruang kekotaan yang berjalan ke arah luar
dari daerah kekotaan yang sudah terbangun dan mengambil tempat di daerah pingiran
kota. Proses inilah yang memicu dan memacu bertambahnya luasnya areal perkotaan.
Makin cepat proses ini berjalan, makin cepat pula perkembangan kota secara fisikal.
2. Sentripetal, adalah proses penambanhan bengunan-bangunan kekotaan di bagian
dalam kota (pada lahan kosong/ruang terbuka kota).
b. Secara Vertikal, penambahan ruang kota dengan menambah jumlah lantai (bangunan
bertingkat).
--- 5 ---
II.4 Karakteristik Urban sprawl
Keberadaan sprawl menurut Gordon dan Richardson (1997) ditandai dengan adanya
beberapa perubahan pola guna lahan yang terjadi secara serempak, seperti sebagai berikut:
1. Single-use zoning
Keadaan ini menunjukkan situasi dimana kawasan komersial, perumahan dan area
industri saling terpisah antar satu dengan yang lain. Sebagai konsekuensinya, bidang
besar tanah digunakan sebagai penggunaan lahan tunggal yang saling terpisahkan, antara
ruang terbuka, infrastruktur atau hambatan lainnya. Sebagai hasilnya, lokasi dimana
masyarakat yang tinggal, bekerja, berbelanja, dan rekreasi memiliki jarak yang jauh,
antara satu dan yang lainnya, sehingga kegiatan seperti berjalan kaki, transit, dan
bersepeda tidak dapat digunakan, tetapi lebih membutuhkan mobil.
2. Low-density zoning
Sprawl mengkonsumsi jauh lebih banyak penggunaan lahan perkapita dibandingkan
perkembangan kota tradisional, karena peraturan penzonaan seharusnya menyatakan
bahwa perkembangan Kota seharusnya berada dalam kepadatan penduduk yang rendah.
Definisi yang tepat mengenai kepadatan yang rendah ini relatif, contohnya rumah tinggal
tunggal, yang sangat luas, kurang dari sama dengan 4 unit per are. Bangunan tersebut
memiliki banyak penggunaan lahan dan saling berjauhan satu sama lain, terpisahkan oleh
halaman rumput, landscape, jalan atau lahan parkir yang luas. Lahan parkir yang luas jelas
didesain untuk jumlah mobil yang banyak. Dampak dari perkembangan kepadatan
penduduk yang rendah ini mengalami peningkatan secepat peningkatan populasi
pula. Overall density is often lowered by “leap-frog development”. Pada umumnya,
pengembang membutuhkan kepastian tingkat persentase bagi pengembangan lahan
untuk penggunaan publik, termasuk jalan raya, lapangan parkir dan gedung sekolah.
Dahulu, saat pemerintah lokal menunjuk suatu lokasi dan ternyata lahannya kurang,
mereka dapat dengan mudah melakukan bernacam jenis perluasan wilayah, karena tidak
ada kekuasaan yang tinggi untuk melakukan penghukuman. Pengembang privat jelas
tidak memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut.
3. Car-dependent communities
Area yang mengalami urban sprawl biasa dikenali dengan tingkat penggunaan mobil yang
tinggi sebagai alat transportasi, kondisi ini biasa disebut dengan automobile dependency.
Kebanyakan aktivitas disana, seperti berbelanja dan melaju (commuting to work),
membutuhkan mobil sebagai akibat dari isolasi area dari zona perumahan dengan
--- 6 ---
kawasan industri dan kawasan komersial. Berjalan kaki dan metode transit lainnya tidak
cocok untuk digunakan, karena banyak dari area ini yang hanya memiliki sedikit bahkan
tidak sama sekali area yang dikhususkan bagi pejalan kaki.
II.5 Dampak-dampak yang terjadi akibat fenomena Urban sprawl
Setiap peristiwa pasti memiliki dampak bagi lingkungan sekitarnya maupun bagi objek
itu sendiri. Sama halnya yang terjadi pada fenomena Urban sprawl ini. Ada beberapa dampak
mengenai fenomena ini (Bhatta, 2010). Dampak positifnya adalah:
1. Bertambahnya jumlah penduduk yang akan meningkatkan kepadatan penduduk di
wilayah tersebut.
2. Semakin berkembangnya wilayah disekitar kota yang terkena dampak, baik perdesaan
maupun perkotaan. Karena akibat semakin banyak penduduk yang bermukim disana,
semakin banyak aktivitas yang terjadi yang akan meningkatkan perekonomian wilayah.
3. Bertambahnya infrastruktur di wilayah yang terkena dampak, sebagai supply dari
pemerintah setempat akan kebutuhan masyarakatnya.
Namun ternyata, selain memiliki dampak positif, fenomena urban sprawl ini juga memiliki
dampak yang negatif. Bahkan dengan jumlah yang lebih banyak, diantaranya adalah:
1. Semakin berkurangnya lahan subur untuk pertanian dan lahan sebagai habitat
bagi makhluk hidup, selain manusia.
Para petani terkadang lebih memilih untuk menjual sawah mereka untuk pengembangan
perumahan oleh stakeholders dan meningkatkan persediaan keuangan mereka untuk
simpanan dihari tua. Sedangkan kawasan lindung, yang seharusnya memiliki peran untuk
melindungi kawasan, serta habitat yang ada didalamnya, keberadaannya juga semakin
menyempit karena mengalami perubahan guna lahan, yang dimanfaatkan untuk
pembangunan gedung dan perumahan untuk kepentingan manusia.
2. Morfologi kota yang semakin tidak teratur
Akibat terjadinya pemekaran kota keluar area yang tidak diawali dengan rencana
mengakibatkan morfologi kota menjadi tidak teratur. Terjadi banyak perubahan
penggunaan lahan dikawasan yang terkena urban sprawl tersebut, Kondisi existing tidak
lagi sesuai dengan rencana awal guna lahan yang tercantum pada Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW). Para stakeholders umumnya akan berasumsi bahwa nilai guna
ekonomis suatu lahan akan semakin meningkat jika lahan tersebut dijadikan sebagai
perumahan, bahkan area komersil yang tentunya akan menguntungkan bagi mereka.
--- 7 ---
3. Meningkatnya biaya pajak
Lokasi kawasan permukiman yang semakin meluas dan menjauh, terpisah dari pusat
kota, menyebabkan biaya dari penyediaan dan pelayanan fasilitas dan infrastruktur yang
semakin mahal karena ongkos kirimnya yang lebih mahal. Sehingga pemerintah lokalpun
membutuhkan biaya yang ekstra untuk memperluas jaringan pelayanan yang kemudian
meningkatkan harga wajib pajak bagi masyarakat setempat.
4. Meningkatnya tingkat polusi pada tanah, air dan udara serta meningkatnya
konsumsi energi oleh manusia
Semakin banyaknya penduduk yang tinggal disuatu wilayah maka semakin banyak
sumber daya yang dibutuhkan dari alam untuk pemenuhan kebutuhan mereka. Semakin
banyak juga pengeluaran/ sisa buangan dari proses pengolahannya. Sesuai dengan fungsi
alam yang sebenarnya, yaitu sebagai penyedia sumber daya sekaligus sebagai tempat
penampungan/limbah yang dihasilkan dari kegiatan manusia tersebut. Oleh karena itu
selain menyebabkan peningkatan polusi dari hasil sisa tersebut, ketersediaan dari energi
dan sumber daya alam juga akan semakin berkurang karena tingkat konsumsi dari
manusia yang semakin tingi pula.
II.6 Urban sprawl bukan sesuatu yang tidak dapat dihindari.
Banyak sekali masyarakat yang beranggapan bahwa pasar dan mekanismenya-lah yang
mengakibatkan Urban sprawl, serta ketergantungan terhadap kendaraan bermotor, dan pilihan
dalam memilih tempat tinggal. Kesimpulan tersebut sangat keliru. Justru, munculnya urban
sprawl sebenarnya bisa dikatakan sebagai sebuah upaya yang dikoordinasikan dimana setelah
perang dunia II kepentingan swasta mulai diijinkan secara illegal untuk mengganti/ merubah
moda transportasi yang telah ada dan berjalan baik ke moda transportasi lain yang memicu
timbulnya urban sprawl. Sebagai contoh, Pacific Electric Railway di Los Angeles yang telah
menghubungkan seluruh bagian kota dihapuskan akibat lobby yang kuat dari perusahaan
pengembang jalan bebas hambatan (Highway). Dengan alasan lebih ekonomis, maka system
jaringan kereta api diganti dengan jaringan jalan bebas hambatan yang pada akhirnya
mengakibatkan timbulnya kota yang melebar (sprawl).
Kota-kota transit yang berkembang pada tempat pemberhentian stasiun KA berubah
dengan pola pembangunan yang membentang dan menerus (ribbon development). Lebih lanjut,
eratnya hubungan pengembangan jalan bebas hambatan dengan pemerintah telah
mengakibatkan dominasi penggunaan kendaraan bermotor, perubahan sistem pajak, dan
perubahan peraturan zonasi (zone law) yang pro sprawl. Menurut Lewinnek (2014), akhir-akhir
ini kesadaran bahwa Urban sprawl bukan pilihan terbaik untuk tinggal mulai muncul. Kesadaran
--- 8 ---
ini ditandai dengan tumbunya pergerakan pembangunan dan arsitektural yang dinamakan “ New
Urbanism” yang dimulai tahun 80-an sebagai suatu cara untuk menghambat para pengembang
dalam membangun sistem perumahan yang mendorong ketergantungan terhadap kendaraan
bermotor, mendorong pengembangan pola jalan lingkungan yang ramah masyarakat (people
friendly), rumah dengan beranda depan, bangunan multiguna, dan perumahan dengan penghuni
dari berbagai kelas masyarakat. New urbanisme ini merupakan upaya untuk kembali membangun
masyarakat Amerika Serikat yang sesungguhnya. Uraian lebih lanjut mengenai permasalahan
urban sprawl di Amerika akan dibahas pada Bagian III.
III. STUDI KASUS PENGEMBANGAN PERMUKIMAN TIDAK
BERKELANJUTAN DI AMERIKA. MUNCUL DAN BERKEMBANGNYA
KAWASAN PERMUKIMAN DI PINGGIRAN KOTA (SUB-URBAN) DI
AMERIKA SERIKAT SERTA PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Muncul dan berkembangnya kawasan permukiman perkotaan di daerah pinggiran kota
(suburbanisasi) di Amerika Serikat utamanya mulai nampak setelah Perang Dunia ke II selesai.
Proses suburbanisasi sendiri jika ditilik dari sisi sejarah telah muncul di Amerika sejak Tahun
1880-an seiring dengan hadirnya teknologi transportasi trem listrik, sehingga memungkinkan
penduduk untuk bertempat tinggal tidak harus dekat dengan pusat kota/lokasi tempat kerja
(Ames, 1995). Jaringan Trem listrik (Gambar 1) mampu membuka akses ke wilayah belakang
yang memungkinkan untuk dilakukan pengembangan permukiman baru dengan waktu tempuh
kurang lebih 30 menit ke pusat kota, sehingga suburbanisasi yang muncul pertama kali polanya
bersifat radial mengikuti jaringan rel trem (Ames, 1995). Suburbanisasi kemudian berkembang
lebih jauh ke belakang pada periode antara Perang Dunia ke I dan Perang Dunia ke II seiring
dengan munculnya inovasi teknologi mobil dan kendaraan bermotor pribadi. Suburbanisasi
sempat terinterupsi oleh Perang Dunia ke II dan resesi ekonomi yang mengikuti perang tersebut,
namun suburbanisasi meningkat lagi dan semakin membesar pada periode pasca perang.
Jaringan permukiman radial akibat proses suburbanisasi gelombang pertama pra-perang
kemudian berdifusi ke segala arah pada suburbanisasi gelombang kedua pasca-perang
membentuk pusat pertumbuhan baru (kota satelit) dan permukiman-permukiman baru yang
letaknya jauh dari pusat kota (Ames, 1995).
--- 9 ---
Gambar 2. Jaringan Transportasi Trem Listrik yang memicu Suburbanisasi Pra-Perang Dunia I
(Sumber: Silverthorn dan Greene, 2004)
Suburbanisasi di kawasan pinggiran kota pada periode pasca 1945 muncul sebagai imbas
kepadatan permukiman dan industrialisasi masif di pusat kota yang menyebabkan pusat kota
mengalami penurunan kualitas lingkungan dan menjadi tempat yang kurang layak huni. Hadirnya
jaringan transportasi publik trem dan jaringan jalan beserta inovasi mobil berbahan bakar
minyak memungkinkan untuk pengembangan permukiman baru di daerah pinggiran yang jauh
dari pusat kota. Permukiman baru dibangun dalam pola grid yang dikoneksikan oleh jaringan
jalan berpola Cul De Sac.
Gambar 3. Permukiman Suburban yang dikembangkan periode pasca perang
(Sumber: Silverthorn dan Greene, 2004)
Pada awalnya, pengembangan permukiman baru di daerah pinggiran (countryside)
ditujukan untuk memfasilitasi veteran muda Perang Dunia II yang telah kembali dari perang,
dimana mereka harus segera bekerja dan berkeluarga dan otomatis memerlukan tempat tinggal.
Namun dalam perkembangannya, pengembangan permukiman baru ini menarik minat keluarga
--- 10 ---
muda yang baru memasuki usia produktif dan masyarakat kelas menengah ke atas untuk
melakukan migrasi karena menawarkan harga perumahan yang murah dengan kondisi
lingkungan yang lebih sehat, namun masih memiliki akses ke pusat kota yang efisien. Terlebih,
pengembangan permukiman di kawasan pinggiran ini juga diikuti dengan pengembangan
fasilitas ekonomi pemenuh kebutuhan seperti dealer mobil, shopping center, taman, wahana
rekreasi dan fasilitas umum lainnya (Gambar 3). Singkatnya, pengembangan kawasan
permukiman di pinggiran kota menawarkan kenikmatan dan kemudahan hidup bagi setiap orang
yang bertempat tinggal di situ (American dream).
Gambar 4. Representasi American Dream (Sumber: Silverthorn dan Greene, 2004)
Fenomena suburbanisasi yang melahirkan urban sprawl di perkotaan Amerika terus
berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Infrastruktur transportasi dan fasilitas pelayanan terus
dibangun guna mendukung dan mengikuti perkembangan tersebut. Jumlah kepemilikan
kendaraan pribadi terus meningkat karena penduduk memerlukan akses dari satu tempat ke
tempat lain. Pertumbuhan kendaraan pribadi ini turut menyumbang pertumbuhan ekonomi
Amerika Serikat pada pertengahan abad ke 20. Selain itu, pada periode ini produksi minyak
mentah di Amerika juga sedang melimpah sehingga pertumbuhan kendaraan yang diikuti dengan
permintaan bahan bakar yang tinggi dapat diimbangi oleh produksi energi. Pertumbuhan
ekonomi dan pendapatan yang diperoleh dari pertumbuhan tersebut digunakan oleh Pemerintah
Amerika untuk terus membangun jaringan jalan (utamanya jaringan jalan tol) yang
mengkoneksikan pusat-pusat pertumbuhan permukiman baru yang terus mundur ke belakang di
kebanyakan kota di Amerika Utara.
Fenomena urban sprawl di Amerika Serikat terus berkembang dan meningkat hingga saat
ini, namun pola dan kecenderungan perkembangannya mulai berubah sejak tahun 1970-an. Studi
yang dilakukan oleh Lopez (2014) menunjukkan laju pertumbuhan urban sprawl di beberapa
--- 11 ---
kawasan metropolitan Amerika sejak tahun 1970-an mulai mengalami penurunan atau tren yang
tetap (steady rate). Penurunan laju urban sprawl ini utamanya disebabkan oleh menurunnya
pertumbuhan penduduk perkotaan sejak tahun 1970-an, halangan geografis, kebijakan anti-
sprawl, dan keterbatasan pendanaan pembangunan infrastruktur (Lopez, 2014).
Berkurangnya laju urban sprawl di Amerika pasca 1970 didasari antara lain oleh
munculnya kesadaran bahwa suburbanisasi lebih banyak membawa permasalahan di masa
depan daripada menyelesaikan permasalahan kebutuhan perumahan dan permukiman. Urban
sprawl di kawasan suburbia Amerika dicirikan dengan pengembangan kelompok permukiman
(cluster) kepadatan rendah yang dihubungkan oleh jaringan jalan dengan pola cul de sac (Gambar
5). Pola pengembangan ini dalam perkembangannya dianggap tidak efektif karena pola ini sangat
mengandalkan pada kendaraan pribadi untuk melakukan aktivitas ekonomi. Transportasi publik
tidak akan efektif untuk mengkoneksikan seluruh wilayah pada tipologi kawasan seperti ini
karena memerlukan banyak titik pengumpulan penumpang (shelter) dan rute yang berputar-
putar tidak efisien. Di sisi lain, permukiman yang ada memiliki kepadatan yang rendah sehingga
kapasitas pengangkutan penumpang di setiap shelter tidak akan efektif jika transportasi publik
diharapkan menjangkau seluruh kawasan. Kenyataan yang terjadi di Amerika menunjukkan pada
akhirnya penduduk di kawasan suburbia tetap mengandalkan kendaraan pribadi dalam
beraktivitas dan seiring dengan terus bertumbuhnya kawasan, permasalahan lain muncul, yaitu
kemacetan lalulintas (traffic congestion).
Gambar 5 Foto Udara Kawasan Suburbia Amerika dengan Pola Cul de sac (Sumber: Thetyee.com)
Pengembangan kawasan suburban di Amerika dengan pola cluster dan jaringan jalan cul
de sac juga memerlukan lahan yang luas dan pada akhirnya mengancam lahan pertanian di
daerah perdesaan (countryside). Kelestarian lingkungan pun ikut terancam karena dalam praktek
pengembangannya, kawasan suburban mengekspansi lahan-lahan yang memberikan fungsi
lindung bagi keragaman biota darat dan keseimbangan ekologis. Hal ini cukup ironis, karena
maksud awal dari pengembangan kawasan suburban adalah menawarkan kehidupan suasana
--- 12 ---
perdesaan yang asri dan sehat, namun dalam kenyataannya masyarakat yang terbentuk masih
terikat dengan kota dan tetap memilih beraktivitas di kota, sehingga kawasan suburbia justru
malah membawa efek negatif perkotaan menuju perdesaan (individualisme, kemacetan, polusi,
sampah, pencemaran air).
Pengembangan kawasan suburbia mengharuskan pemerintah Amerika mengalokasikan
dana yang tidak sedikit guna membangun jaringan jalan untuk mengkoneksikan pusat-pusat
permukiman yang menyebar. Dana pembangunan dan pengelolaan jaringan jalan ini sedemikian
besar sehingga alokasi untuk transportasi publik semakin berkurang. Oleh karena itu tidak heran
apabila jaringan trem listrik yang menjadi moda transportasi utama di gelombang suburbanisasi
tahap pertama kini telah menghilang di Amerika. Satu – satunya kota yang masih menyisakan
jaringan trem listrik masa lalu hanya Kota Toronto. Kota lainnya memilih untuk menghapus atau
mengubah moda transportasinya ke moda lain yang dianggap lebih efisien seperti bis kota. Selain
itu terdapat spekulasi akan adanya konspirasi perusahaan otomotif di Amerika yang memaksa
pemerintah untuk menghapus sistem trem listrik karena dianggap menganggu transportasi
kendaraan pribadi dan menyebabkan kemacetan.
Permasalahan terkait kawasan suburbia akhirnya bermuara pada penyebab awal
mengapa dulu pengembangan kawasan ini menjadi pilihan utama, yaitu ketersediaan energi dan
bahan bakar untuk menjalankan berbagai aktivitas ekonomi. Cadangan minyak di Amerika secara
umum semakin menipis pada Tahun 1970-an, sementara urban sprawl dan dampak yang
mengikutinya membutuhkan bahan bakar fosil agar tetap berjalan. Harga BBM menunjukkan
gejala kenaikan mulai dasawarsa 70-an, dan semakin tinggi pada tahun – tahun terakhir.
Sementara itu kebutuhan energi dalam negeri semakin tinggi dari tahun ke tahun (Gambar 5).
Dengan demikian pengembangan kawasan suburbia di Amerika mulai menunjukkan sisi
ketidakberlanjutan (unsustainable) dan semakin memberatkan perekonomian Amerika secara
umum. Apabila pada akhirnya bahan bakar fosil ini habis, maka bisa dipastikan perekonomian
Amerika dan kehidupan sosial yang ada didalamnya akan menjadi runtuh dan berakhir dengan
ketidastabilan bernegara tanpa akhir.
Gambar 6 Harga BBM (kiri) dan Konsumsi BBM (kanan) di Amerika
--- 13 ---
Pengurangan suburbanisasi di Amerika tidak berjalan dengan mudah karena masyarakat
masih membutuhkan perumahan dengan harga murah dengan akses baik (yang secara umum
hanya tersedia di kawasan suburbia). Di sisi lain, kenaikan harga bahan bakar yang membuat
pilihan bertempat tinggal di kawasan suburbia menjadi semakin mahal membuat sebagian
masyarakat Amerika mulai meninggalkan kawasan tersebut melalui penjualan aset atau
ditinggalkan begitu saja untuk berpindah ke tempat lain (atau kawasan suburbia lain yang
dianggap menjanjikan biaya hidup lebih murah). Oleh karena itu, di Amerika kini mulai muncul
kawasan permukiman suburban yang mati, tidak terawat dan tidak termanfaatkan (Gambar 6).
Sebagian masyarakat lain yang memilih bertahan harus menyesuaikan diri sehingga terdapat
banyak aspek hidup yang dikorbankan dan berujung pada penurunan kualitas hidup, yang
tercermin dari permukiman yang mulai menurun kualitasnya serta mulai menunjukkan
kecenderungan kekumuhan (fenomena Ghetto).
Berbagai strategi dan upaya telah dirumuskan untuk mengurangi dan meminimalisir
urban sprawl, diantaranya adalah konsep Perencanaan Smart Growth, kompensasi kelestarian
lahan pertanian oleh pemerintah, In-fill Development, strategi Compact City dan Penggunaan
Lahan Multifungsi. Strategi lain yang lebih membidik aspek sosial dan tingkah laku adalah
paradigma urbanisme baru (new urbanism). Urbanisme baru bertujuan untuk mengembalikan
gaya hidup dan cara beraktivitas seperti masa lampau, dimana aktivitas perkotaan lebih banyak
dilakukan dengan berjalan kaki dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Strategi
ini walaupun dapat menjadi alternatif solusi, namun pada prakteknya tidak mudah untuk
diimplementasikan. Pengembalian kultur berjalan kaki mengharuskan tata kota harus diubah
sedemikian rupa. Hunian vertikal harus dikembangkan, fasilitas pemenuh kebutuhan harus
dibuat di setiap blok hunian, dan aktivitas ekonomi perseorangan atau skala kecil (retail) harus
ditumbuhkan. Implementasi urbanisme baru pada lingkungan perkotaan yang sudah terpencar
(sprawled) sedemikian rupa jelas membutuhkan biaya yang sangat besar dan kenyataannya
pemerintah Amerika saat ini lebih memilih mengusahakan minyak semaksimal mungkin,
termasuk harus mencari dan mengaksesnya ke Timur Tengah dan belahan dunia lain. Sebuah
strategi yang berpotensi semakin merapuhkan perekonomian Amerika Serikat sendiri di masa
mendatang, tidak mempunyai prospek keberlanjutan dan tidak menyelesaikan permasalahan
suburbanisasi dan urban sprawl.
--- 14 ---
IV. KESESUAIAN KONSEP PENGEMBANGAN PERMUKIMAN KAWASAN
PINGGIRAN (SUB-URBAN) DENGAN REALISASINYA DI AMERIKA
Pengembangan permukiman dan perumahan di Amerika Serikat pada kawasan sub urban
pada masa pasca perang sampai saat ini mendatangkan banyak permasalahan, salah satunya
adalah dalam penyediaan energi sebagaimana dibahas dalam Film dokumenter The End of
Suburbia. Apa yang terjadi di Amerika Serikat jika dibandingkan dengan kriteria pengembangan
permukiman berkelanjutan menurut UN HABITAT (Gambar 1) sama sekali bukan merupakan
pengembangan permukiman yang berkelanjutan.
Prinsip pertama dari pengembangan rumah berkelanjutan menurut UN HABITAT adalah
ruang yang cukup untuk jalan dan jaringan jalan harus efisien. Efisien yang dimaksud adalah
jaringan jalan harus meliputi setidaknya 30 persen dari lahan kawasan dengan panjang jalan total
18 km per luasan 1 km2 (lihat Gambar 7). Jaringan jalan ini juga harus terkoneksi di setiap
simpang dengan didukung ketersediaan lahan parkir. Jaringan jalan juga harus ramah terhadap
pejalan kaki dan pesepeda (tidak terlalu jauh untuk pergi dari satu tempat ke tempat lain) dan
mendukung pengembangan transportasi publik. Kenyataan yang ada di Amerika, jaringan jalan
dengan pola cul de sac membuat koneksi dari satu tempat ke tempat lain tidak efektif, jaringan
transportasi publik sulit dikembangkan secara optimal, waktu dan jarak tempuh untuk mencapai
fasilitas cukup jauh dan lama, sehingga orang akhirnya sulit untuk mengurangi ketergantungan
pada kendaraan pribadi.
Gambar 7 Jaringan Jalan Grid Yang Memenuhi Prinsip Keberlanjutan
(Sumber: UN HABITAT, 2014)
Prinsip kedua adalah kepadatan permukiman yang tinggi. Ukuran yang ditentukan
setidaknya 15 ribu jiwa per km2. Pengembangan permukiman kepadatan tinggi (hunian vertikal)
akan membawa dampak positif diantaranya: (1) penggunaan lahan yang efisien; (2) mengurangi
biaya pelayanan publik; (3) mendukung pelayanan komunitas yang lebih baik; (4) mengurangi
--- 15 ---
ketergantungan pada kendaraan pribadi dan mendukung transportasi publik; (5) kesetaraan
sosial; (6) mendukung pemenuhan ruang terbuka publik sebagai implikasi penggunaan lahan
yang efisien; dan (7) efisiensi penggunaan energi dan pengurangan polusi. Kenyataan dari
pengembangan kawasan suburban di Amerika ditandai dengan permukiman kepadatan rendah,
dengan setiap rumah mempunyai halaman dan garasi yang memerlukan lahan luas dan tidak
mudah dikoneksikan transportasi publik. Efek lebih lanjut dari pengembangan permukiman
tersebar ini adalah biaya pelayanan publik menjadi tinggi karena ada biaya transportasi
tambahan dari rumah ke rumah. Selain itu, kebutuhan lahan yang besar juga terbukti mengancam
lahan pertanian yang ada di kawasan pinggiran, dan meningkatkan polusi udara sebagai imbas
penggunaan kendaraan pribadi.
Prinsip ketiga adalah penggunaan lahan campuran (mixed landuse). Pengembangan
hunian vertikal sebagaimana diuraikan pada prinsip pertama dalam pengalokasiannya harusnya
mempertimbangkan penggunaan lahan di hunian tersebut di sebagian lantainya untuk
penggunaan pelayanan ekonomi dan fasilitas umum. Proporsi ideal menurut UN Habitat (2014)
adalah 40 sampai 60 persen untuk aktivitas ekonomi, 30 sampai 50 persen untuk hunian, dan 10
persen untuk pelayanan publik, di tiap lantainya. Dalam kenyataan pengembangan kawasan
permukiman di suburban area Amerika, fasilitas ekonomi dan pelayanan publik menempati
lokasi tertentu di kawasan yang mana orang harus melakukan perjalanan yang terkadang cukup
jauh untuk mengaksesnya. Hal ini berakibat pada pemborosan energi melalui penggunaan
kendaraan pribadi, dan meningkatkan polusi udara, terutama pada akhir pekan ketika orang
biasanya berdatangan ke fasilitas-fasilitas umum untuk mendapatkan hiburan atau sekedar
berekreasi.
Prinsip keempat merupakan lanjutan dari prinsip ketiga, yaitu pencampuran kelas sosial
(social mix). Dalam hal ini, hunian vertikal yang dikembangkan, sekitar 20 sampai 50 persen area
hunian harus ditujukan untuk kalangan menengah ke bawah. Sementara slot untuk hunian
dengan status kepemilikan permanen proporsinya tidak melebihi 50 persen dari total area.
Strategi social mix ditujukan untuk: (1) mempromosikan interaksi sosial antar kelas sosial; (2)
memunculkan kesempatan kerja; (3) untuk mengurangi stigma pengkelasan permukiman
berdasarkan kemampuan ekonomi; dan (4) menarik pelayanan baru di sekitar hunian. Kenyataan
di Amerika, sebagian besar hunian di kawasan suburban pada awalnya memang ditawarkan
dengan harga cukup murah, namun seiiring berjalannya waktu menjadi semakin mahal akibat
harga lahan yang meningkat, sehingga hanya kelas sosial tertentu yang mampu bertempat tinggal
di lingkungan tersebut. Hal ini akan membawa permasalahan kecemburuan sosial, mengingat
pada pengembangan permukiman di Suburban menghendaki perhatian pemerintah untuk terus
--- 16 ---
membangun fasilitas dan mengkoneksikan setiap klaster perumahan melalui jaringan jalan yang
memakan biaya besar.
Prinsip kelima adalah pembatasan penggunaan lahan tunggal (limited landuse
specialization). Prinsip ini selaras dengan prinsip ketiga, namun membidik di sisi kebijakan
penataan ruang. Pembatasan penggunaan lahan tunggal akan memicu penggunaan lahan
campuran (mixed landuse) yang tidak hanya menghemat biaya transportasi untuk memperoleh
pelayanan, tetapi juga berpotensi mengurangi permasalahan yang umum terjadi di kawasan
perkotaan seperti, kemacetan, segregasi permukiman, ketergantungan pada kendaraan pribadi
dan lain-lain. Kenyataan yang terjadi di Kawasan Suburban Amerika, pemerintah tidak sepenuh
hati memperkuat dan mendukung kebijakan pembatasan penggunaan lahan, karena Urban
Sprawl tetap terus terjadi setiap tahun, walaupun dengan intensitas yang berbeda dari
perkembangannya di tahun-tahun awal.
Dengan berkaca pada prinsip permukiman berkelanjutan menurut UN Habitat di atas,
pengembangan Kawasan Permukiman Suburban Amerika merupakan pengembangan
permukiman yang tidak berkelanjutan, karena terbukti menciptakan banyak permasalahan dan
ketergantungan yang besar pada energi fosil. Di sisi lain, pemerintah tidak dapat mengubah
permukiman yang sudah ada (redevelopment) menjadi permukiman baru yang memenuhi
kriteria UN Habitat, mengingat usaha ini akan memerlukan waktu yang tidak sedikit dan biaya
yang sangat besar, mengingat kawasan sudah terlanjut dikembangkan.
V. PENGEMBANGAN PERMUKIMAN KAWASAN PINGGIRAN DI
INDONESIA BERKACA DARI KASUS AMERIKA
Suburbanisasi di Amerika Serikat membawa banyak permasalahan perkotaan dan
berimbas pada sektor ekonomi, politik dan sosial. Keberlanjutan kehidupan bernegara di
Amerika akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana pemerintah Amerika mengelola, mengurangi
dan mengendalikan suburbanisasi dan urban sprawl yang masih terjadi, baik pada saat ini
maupun di masa mendatang. Pengalaman Amerika seharusnya menjadi pelajaran bagi negara
lain agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Namun demikian, tampaknya Indonesia telah
melakukan kesalahan yang sama dengan Amerika Serikat.
Pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang dimulai sejak periode keterbukaan ekonomi
orde baru pada tahun 1980-an ikut berpengaruh pada pengembangan dan pertumbuhan
kawasan terbangun di kota-kota besar di Pulau Jawa (Firman, 2008). Berbagai penelitian yang
telah dilakukan di berbagai kota, antara lain Jakarta (Hidajat et al, 2013), Surabaya (Mahriyar dan
Rho, 2014), Makassar (Sastrawati dan Santoso, 2011), Bandung (Ardiwijaya et al, 2014),
--- 17 ---
Semarang (Handayani dan Rudiarto, 2014), dan Yogyakarta (Pradoto, 2011), menunjukkan
bahwa urbanisasi dan suburbanisasi yang membentuk kawasan pinggiran (urban fringe) yang
mirip dengan Suburbia di Amerika telah terjadi di Indonesia (Gambar 8).
Gambar 8. Urban Sprawl di Semarang (Handayani dan Rudiarto, 2014) dan Bandung (Ardiwijaya et al, 2014)
Urbanisasi ini muncul karena adanya kesadaran peluang pekerjaan yang dianggap lebih
baik di perkotaan akibat investasi industri dalam dan luar negeri yang memancing penduduk
perdesaan atau perkotaan yang lebih kecil untuk berpindah ke kota besar guna memperoleh
penghidupan yang lebih baik. Kota besar menjadi semakin padat dan menurun fungsinya untuk
mendukung kehidupan yang lebih sehat, dan sektor penyediaan perumahan swasta/pemerintah
melihat peluang ini untuk kemudian mulai melakukan akuisisi lahan pertanian di daerah
pinggiran untuk dibangun menjadi kawasan permukiman. Strategi pemasaran yang digunakan
pun mirip dengan di Amerika, yaitu tawaran kehidupan urban yang lebih sehat dengan harga
murah dan akses ke pusat kota yang terjangkau dari sisi waktu tempuh, serta fasilitas pendukung
seperti shopping center, minimarket, taman dan lain-lain.
Untuk proses urbanisasi yang melahirkan urban sprawl di Indonesia, utamanya di kawasan
JABODETABEK mungkin dapat dijelaskan sebagai berikut. Seiring dengan meningkatnya jumlah
penduduk setiap tahunnya dan perpindahan (migrasi) masyarakat dari luar Provinsi DKI Jakarta
yang ingin memperbaiki kehidupan, mereka dan memilih untuk mencari pekerjaan di Jakarta ini.
Untuk memiliki rumah dikawasan pusat kota tentu mahal harganya, namun tetap ingin memiliki
rumah sendiri, oleh karena itu banyak dari mereka yang memilih untuk memiliki tempat tinggal
dipinggiran kota. Namun tidak hanya migran yang tinggal dipinggiran kota, masyarakat asli baik
yang menengah ke atas maupun menengah kebawah juga lebih memilih tinggal dikawasan
--- 18 ---
pinggiran kota, dengan alasan menjauh dari keramaian dan kemacetan. Agar lebih aman dan
mengurangi konsumsi polusi dari pusat kota. Walaupun jarak dari perkantoran ke permukiman
menjadi lebih jauh. Namun hal ini sebenarnya bisa dihindari jika ada penerapan kebijakan yang
lebih tegas dari pemerintah terkait pelanggaran dalam penggunaan lahan dan kepemilikan tanah.
Terkait dengan permasalahan transportasi (kemacetan, pemborosan energi, polusi
lingungan) dalam urban sprawl di Indonesia, kira-kira dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada saat
yang bersamaan dengan meningkatnya urbanisasi, industri otomotif yang berasal dari modal
asing (utamanya Jepang) mulai masuk dan mulai melakukan ekspansi pasar otomotif dengan
menyediakan kendaraan pribadi dengan harga terjangkau. Ekspansi dan penguasaan pasar
otomotif ini semakin kuat pada tahun 2000-an ketika strategi kredit kendaraan bermotor
diimplementasikan, yang berimbas pada kemudahan untuk memiliki kendaraan pribadi.
Sebagaimana di Amerika, ketergantungan penggunaan kendaraan pribadi yang dianggap lebih
efisien pelan-pelan mematikan transportasi publik (bis dan angkot) di banyak kota di Jawa yang
sebelumnya relatif mampu menjangkau seluruh kawasan perkotaan (pengecualian untuk Jakarta,
Bogor dan Bandung yang masih menunjukkan kemauan menggunakan transportasi publik untuk
aktivitas dalam kota). Peningkatan jumlah kendaraan pribadi yang tidak terkontrol ini pada
akhirnya yang menyebabkan munculnya permasalahan transportasi tersebut diatas, mengingat
kondisi yang ada
Satu hal yang berbeda dari Urban Sprawl yang terjadi di Amerika dan di Indonesia adalah
bahwa pengembangan transportasi pribadi dalam bentuk kendaraan bermotor (sepeda motor,
mobil) tidak berasal sepenuhnya dari investasi dalam negeri, melainkan dari investasi asing
(utamanya dari jepang). Hal ini membuat keuntungan ekonomi dari pengembangan industri dan
hasil dari pertumbuhan ekonomi diambil kembali oleh si pemilik modal, sehingga keuntungan
ekonomi yang didapat dari hasil industrialisasi mungkin tidak cukup digunakan untuk
mendukung sektor lain, misalnya subsidi sektor pertanian dan pengembangan agroindustri.
Dengan demikian urban sprawl di Indonesia mempunyai dampak negatif yang lebih buruk
daripada di Amerika.
Terkait dengan peran transportasi publik, sebagaimana di Amerika, kota – kota di Pulau
Jawa juga pernah memiliki jaringan trem listrik warisan dari pemerintah kolonial, namun trem
ini sudah dimatikan dua dasawarsa sebelum urbanisasi mulai masif. Transportasi publik berbasis
rel yang tersisa saat ini adalah transportasi rel jarak jauh yang desain awalnya adalah untuk
menghubungkan antar kota, sehingga walaupun dimanfaatkan untuk melayani ulang alik
(commuting) dari kawasan pinggiran ke pusat kota, aksesbilitasnya tidak mampu menjangkau
seluruh kawasan yang terpengaruh urbanisasi sehingga tidak cukup efisien untuk mengurangi
ketergantungan pada kendaraan pribadi. Terlebih jika dilihat dari tipologi, pola dan struktur
--- 19 ---
urban sprawl di perkotaan Indonesia, urban sprawl di Indonesia dicirikan oleh perumahan dan
permukiman kepadatan rendah yang dihubungkan oleh jaringan jalan berpola dentritik. Tipologi
ini kurang lebih mirip dengan di Amerika, sehingga implementasi transportasi publik yang
mampu menjangkau seluruh kawasan tetap tidak akan efektif dalam mengurangi ketergantungan
pada kendaraan pribadi. Strategi yang lebih sosial seperti urbanisme baru akan sulit
diimplementasikan mengingat ketergantungan penduduk kawasan pinggiran pada aktivitas
ekonomi dan industri di pusat kota sangat tinggi. Dengan demikian pada akhirnya Indonesia
terjebak pada permasalahan yang sama dengan Amerika Serikat.
Pada akhirnya, permasalahan akibat urbanisasi dan urban sprawl di Amerika terjadi juga
di Indonesia seperti kemacetan lalulintas, konsumsi BBM yang tinggi, dan degradasi lingkungan.
Respon yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia juga relatif mirip dengan Amerika seperti
misalnya pembangunan infrastruktur transportasi berbiaya tinggi (jalan tol) guna
mempermudah akses atau pemberian subsidi BBM untuk menjaga daya jangkau masyarakat
terhadap energi, yang kesemuanya ini tidak memenuhi kaidah keberlanjutan (sustainability),
terutama jika dilihat dari risiko krisis energi fosil global yang semakin terakselerasi waktu
kedatangannya.
VI. KESIMPULAN
Urban Sprawl dan suburbanisasi yang terjadi di Amerika Serikat pada masa pasca Perang
Dunia ke II telah membawa banyak permasalahan lahan, lingkungan dan energi, baik pada saat
ini maupun di masa mendatang. Permasalahan ini mungkin tidak disadari sejak awal
pengembangannya atau mungkin disadari, hanya Pemerintah Amerika terlambat mengantisipasi
permasalahan tersebut, sehingga saat ini Amerika menjadi sangat rentan dengan ketidastabilan
ekonomi akibat ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Dilihat dari kesesuaian dengan kriteria pembangunan permukiman berkelanjutan
menurut UN Habitat, pengembangan permukiman di Kawasan Suburban Amerika sama sekali
tidak memenuhi satu pun unsur permukiman berkeberlanjutan, sehingga harus disusun strategi
dan upaya lintas sektor untuk memperbaiki kondisi tersebut. Namun demikian, Pemerintah
Amerika masih cenderung untuk tidak memprioritaskan strategi tersebut, dan lebih berupaya
mengamankan kebutuhan energi dalam rangka menghadapi risiko krisis energi global di masa
mendatang.
Pengembangan kawasan permukiman di pinggiran kota di Indonesia ternyata mengikuti
pola pengembangan yang terjadi di Amerika, dimana kawasan komersial, perumahan dan area
--- 20 ---
industri saling terpisah antar satu dengan yang lain. Sebagai konsekuensinya penggunaan lahan
saling terpisahkan, antara ruang terbuka, infrastruktur atau hambatan lainnya. Pengaturan
penggunaan lahan seperti ini menyebabkan lokasi dimana masyarakat yang tinggal, bekerja,
berbelanja, dan rekreasi memiliki jarak yang jauh, sehingga kegiatan seperti berjalan kaki, transit,
dan bersepeda tidak dapat digunakan, tetapi lebih membutuhkan mobil.
Sebagaimana di Amerika, pengembangan kawasan pinggiran juga ditandai dengan tingkat
penggunaan mobil yang tinggi sebagai alat transportasi, kondisi ini biasa disebut
dengan automobile dependency. Kebanyakan aktivitas disana, seperti berbelanja dan melaju
(commuting to work), membutuhkan mobil atau sepeda motor sebagai akibat dari isolasi area
dari zona perumahan dengan kawasan industri dan kawasan komersial. Berjalan kaki dan metode
transit lainnya tidak cocok untuk digunakan, karena banyak dari area ini yang hanya memiliki
sedikit bahkan tidak sama sekali area yang dikhususkan bagi pejalan kaki. Sebagai dampak dari
fenomena ini adalah meningkatnya konsumsi energi oleh manusia yang menyebabkan
peningkatan polusi dari hasil aktivitas tersebut, juga ketersediaan dari energi dan sumber daya
alam juga akan semakin berkurang karena tingkat konsumsi dari manusia yang semakin tinggi
pula.
Untuk mengurangi pengembangan permukiman yang tidak berkelanjutan ini, strategi dan
upaya baru pengembangan permukiman harus mulai disusun dan diimplementasikan. Kota
megapolitan Indonesia seperti DKI Jakarta saat ini telah memulai pembangunan-pembangunan
hunian vertikal yang ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Langkah ini cukup baik
karena dapat mengurangi intensitas permasalahan yang akan muncul sebagai imbas dari
pembangunan permukiman yang tidak berkelanjutan. Melalui kebijakan relokasi dari
permukiman kumuh ke hunian vertikal, secara langsung atau tidak langsung Pemerintah DKI
Jakarta telah mengupayakan dan memperkenalkan prinsip New Urbanism kepada masyarakat
umum bahwa kepemilikan rumah tidak harus disertai dengan kepemilikan tanah, mengingat
lahan relatif terbatas dan tidak semua bisa digunakan untuk penggunaan lahan permukiman.
--- 21 ---
DAFTAR PUSTAKA
Ames, D. L. 1995. Interpreting Post-World War II Suburban Landscape as Historic Resources.
Dalam Slaton, D., & Schiffer, R. A (ed). Preserving The Recent Past. Washington, DC:
Historic Preservation Education Foundation.
Ardiwijaya, V. S., Soemardi, T. P., Suganda, E., & Temenggung, Y. A. (2014). Bandung Urban Sprawl and Idle Land: Spatial Development Perspectives. APCBEE Procedia, 10, 208-213.
Batudoka, Z. (2005). Kota Baru dan Aspek Permukiman Mendepan. Jurnal Smartek, 3 (1), 27-36.
Bhatta, B. 2010. Analysis of Urban Growth and Sprawl from Remote Sensing. Berlin: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Bruegmann, R. 2005. Sprawl: A Compact History. Chicago: University of Chicago Press.
Dimitra, S., & Yuliastuti, N. (2012). Potensi Kampung Nelayan Sebagai Modal Permukiman Berkelanjutan di Tambaklorok, Kelurahan Tanjung Mas. Jurnal Teknik PWK, 1 (1), 11-19.
Firman, T. (2008). The Patterrns of Indonesia’s Urbanization, 1980-2007. Paper dipresentasikan di 2008 Population Association of America Annual Meeting Program.
Gillham, O. (2002). The Limitless City: A Primer on the Urban Sprawl Debate. Washington D.C: Island Press.
Gordon, P., & Richardson, H. (1997). Are Compact Cities a Desirable Planning Goal?. Journal of the
American Planning Association, 63 (1), 95-106.
Handayani, W., & Rudiarto, I. (2014). Dynamics of Urban Growth in Semarang Metropolitan – Central Java: An Examination Based on Built-Up Area and Population Change. Journal of Geography and Geology, 6 (4), 80-87.
Hayden, D. 2004. A Field Guide to Sprawl. New York: W. W. Norton & Co.
Hidajat, J.T., Sitorus, S. R. P., Rustiandi, E., & Machfud. (2013). Urban Sprawl Effects on Settlement Areas in Urban Fringe of Jakarta Metropolitan Area. Journal of Environment and Earth Science, 3 (12), 172-179.
James, P., Holden, M., Lewin, M., Neilson, L., Oakley, C., Truter, A., & Wilmoth, D. (2013). Managing
Metropolises by Negotiating Mega-Urban Growth. Dalam Mieg, H., & Töpfer, K.
Institutional and Social Innovation for Sustainable Urban Development. London:
Routledge.
Lewinnek, E. 2014. The Working Man's Reward: Chicago's Early Suburbs and the Roots of American
Sprawl. Oxford: Oxford University Press.
Lopez, R. (2014). Urban Sprawl in the United States: 1970-2010. Cities and Environment, 7 (1), 1-
19.
Mahriyar, Z. M., & Rho, Y. J. (2014). The Compact City Concept in Creating Resilent City and Transportation System in Surabaya. Procedia – Social and Behavioral Sciences, 135, 41-49.
Pradoto, W. (2011). Dynamics Of Peri-Urbanization And Socioeconomic Transformation: Case of Metropolitan Yogyakarta, Indonesia. International Journal Of Arts & Sciences, 4 (27), 19-29.
--- 22 ---
Sastrawati, I., & Santoso, L. (2011). Perubahan Guna Lahan Di Suburban Selatan Kota Makassar. Prosiding Hasil Penelitian Fakultas Teknik Unhas, 5, 978–979.
Silverthorn, B. (Produser), & Greene, G. (Sutradara). (2004). The End of Suburbia: Oil Depletion
and the Collapse of the American Dream [Gambar Bergerak]. Kanada: The Electric
Wallpaper Co.
Suarez, R. 1999. The Old Neighborhood: What we lost in the great suburban migration: 1966-1999.
New York: Free Press.
UN Habitat. (2014). A New Strategy of Sustainable Neighbourhood Planning: Five Principles. UN
Habitat Discussion Note 3 Urban Planning.
Vicino, T. J. 2008. Transforming Race and Class in Suburbia: Decline in Metropolitan Baltimore. New
York: Palgrave Macmillan.
Warouw, F. (2014). Pendekatan Desain Berkelanjutan Pada Perumahan Kota di Indonesia “For
Better Engineering”. Media Matrasain, 11 (2), 1-11.
Winkler, R. 2003. Going Wild: Adventures with Birds in the Suburban Wilderness. Washington, D.C.:
National Geographic.
Yunus, H. S. 2005. Klasifikasi Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.