udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali...

39
20 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Ada beberapa sumber pustaka yang telah memberikan insipirasi dan wawasan terhadap aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologis terhadap kajian ini, yang ditelusuri dari beberapa pustaka, baik berupa teks, hasil-hasil penelitian, maupun tulisan-tulisan yang dimuat dalam berbagai jurnal ilmiah. Berdasarkan penelurusan sumber-sumber pustaka yang ada diharapkan akan diperoleh informasi, inspirasi, ide-ide, konsep-konsep, serta berbagai hal terkait dengan penelitian. Atas dasar hal tersebut pula akan terlihat perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Pada bagian ini dibahas beberapa referensi dan penelitian yang relevan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan penelitian ini. Sulasmi (2013) mengadakan penelitian berjudul “Hubungan Stigma Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan di RSJ Pusat Bangli. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa perawatan kembali pasien skizofrenia dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain ketidakpatuhan minum obat, stigma keluarga, gejala yang berulang, peristiwa kehidupan yang menimbulkan stres, kerentanan terhadap stres, ekspresi keluarga yang tinggi, dan kurangnya dukungan keluarga dalam penatalaksanaan penyakit

Transcript of udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali...

Page 1: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

20

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Ada beberapa sumber pustaka yang telah memberikan insipirasi dan

wawasan terhadap aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologis terhadap kajian

ini, yang ditelusuri dari beberapa pustaka, baik berupa teks, hasil-hasil penelitian,

maupun tulisan-tulisan yang dimuat dalam berbagai jurnal ilmiah. Berdasarkan

penelurusan sumber-sumber pustaka yang ada diharapkan akan diperoleh

informasi, inspirasi, ide-ide, konsep-konsep, serta berbagai hal terkait dengan

penelitian. Atas dasar hal tersebut pula akan terlihat perbedaan penelitian ini

dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Pada bagian ini dibahas beberapa

referensi dan penelitian yang relevan, baik secara langsung maupun tidak

langsung, dengan penelitian ini.

Sulasmi (2013) mengadakan penelitian berjudul “Hubungan Stigma

Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan

di RSJ Pusat Bangli. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa perawatan

kembali pasien skizofrenia dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain

ketidakpatuhan minum obat, stigma keluarga, gejala yang berulang, peristiwa

kehidupan yang menimbulkan stres, kerentanan terhadap stres, ekspresi keluarga

yang tinggi, dan kurangnya dukungan keluarga dalam penatalaksanaan penyakit

Page 2: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

21

gangguan jiwa yang dialami pasien. Disebutkan pula bahwa adanya stigma pada

keluarga mempunyai peranan pada pasien skizofrenia mengalami perawatan

kembali. Di samping itu, peranan keluarga yang kurang dalam merawat pasien

juga memengaruhi pasien untuk perawatan kembali. Ditekankan bahwa keluarga

perlu memahami cara perawatan pasien saat di rumah. Peningkatan kemampuan

keluarga pasien dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan saat keluarga

datang ke RSJ. Selain itu, juga dapat dilakukan dengan home visit saat pasien di

rumah. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara

stigma keluarga dan perawatan kembali pasien skizofrenia. Atas dasar hal tersebut

pihak RSJ diharapkan memberikan pendidikan kesehatan secara rutin untuk

mengurangi stigma keluarga terhadap pasien dan melakukan kunjungan rumah

secara rutin. Dalam kajiannya home visit dinilai sangat membantu keluarga dalam

merawat pasien dan memberikan informasi yang benar kepada masyarakat sekitar

tentang penyakit skizofrenia. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini mampu

membuka wawasan untuk melakukan penelitian yang lebih komprehensif dan

memperluas wawasan terutama terkait dengan masalah stigma dalam perawatan

kembali pasien ke RSJ.

Selanjutnya hasil penelitian Sipahutar dan Paramita (2011) dengan judul

“Dukungan Keluarga dan Keberfungsian Sosial pada Klien Skizofrenia”.

Penelitian yang dilakukan di RSJ Pusat Bangli ini bertujuan untuk mengetahui

hubungan antara dukungan keluarga dan keberfungsian sosial klien gangguan jiwa

skizofrenia dengan teknik analisis data deskriptif kuantitatif. Menurut mereka,

Page 3: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

22

keberfungsian sosial klien skizofrenia pascaperawatan juga dapat ditingkatkan

melalui program intervensi keluarga secara terstruktur dan dikoordinasikan dalam

model perawatan yang menyeluruh agar lebih efektif sehingga membantu klien

meraih penyesuaian sosial yang maksimal. Gangguan keberfungsian sosial selalu

dialami oleh pasien yang dapat menyebabkan kesulitan dalam memenuhi tuntutan

sosial dan mengakibatkan perubahan pada kemampuan sosial. Kenyataan tersebut

ditandai dengan perilaku yang tidak berorientasi pada kenyataan, adanya

pemikiran atau ide yang kaku dan tidak adaptif, serta ketidakmampuan dalam

pergaulan sosial. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ikatan keluarga

yang kuat sangat membantu ketika keluarga menghadapi masalah. Hal itu penting

karena anggota keluarga yang sakit sangat membutuhkan dukungan dari anggota

keluarga yang lain.

Lebih jauh ditekankan bahwa pemberian dukungan tersebut dapat

mengembalikan kepercayaan diri pasien sehingga memiliki kemampuan untuk

bersosialisasi dengan orang lain dan mengembangkan kemampuannya dalam

menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari serta dapat berfungsi sosial.

Sebaliknya, jika keterampilan sosial (social skill) pasien mengalami gangguan,

secara langsung akan berimplikasi pada keberfungsian sosial klien di masyarakat.

Salah satu di antaranya disebabkan oleh masih ada kurangnya kemauan klien

untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Di samping itu, setelah perawatan di

RSJ, klien kurang mendapatkan pelatihan dan keterampilan kerja (social skill

training yang berupa home visit). Dengan demikian, klien belum mampu

Page 4: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

23

bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini juga

didukung oleh adanya stigma di masyarakat bahwa klien skizofrenia masih

dianggap berbahaya sehingga cenderung kurang diterima oleh masyarakat. Hasil

kajian Sipahutar dan Paramita ini jelas memfokuskan perhatiannya pada hubungan

antara dukungan keluarga dan keberfungsian sosial klien gangguan jiwa

skizofrenia. Namun, tidak sampai pada penjelasan dan pencarian lebih dalam

terkait dengan adanya stigma yang selalu melekat pada diri pasien. Oleh karena

itu, kajian yang ada tersebut dapat dijadikan pedoman dalam menentukan arah

penelitian dan sekaligus dapat memperlihatkan orisinalitas penelitian.

Hasil penelitian lain dilakukan oleh Sumantriani (2013) dalam tulisan

berjudul “Hubungan Stigma Keluarga dengan Penerimaan Keluarga terhadap

Klien Skizofrenia” di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. Hasil penelitian itu

menunjukkan bahwa stigma yang diciptakan oleh keluarga dan masyarakat

terhadap penderita gangguan jiwa secara tidak langsung menyebabkan keluarga

atau masyarakat di sekitar penderita gangguan jiwa enggan untuk memberikan

penanganan yang tepat terhadap keluarga atau tetangga mereka yang mengalami

gangguan jiwa. Dengan demikian, tidak jarang mengakibatkan penderita

gangguan jiwa yang tidak tertangani dengan baik melakukan perilaku kekerasan

atau tindakan tidak terkontrol yang meresahkan keluarga, masyarakat, dan

lingkungan. Lebih jauh peneliti menyoroti pentingnya tugas dan fungsi keluarga

dalam pemahaman proses-proses penyembuhan pasien gangguan jiwa,

kebersediaan keluarga dalam menerima apa yang sedang dialami oleh penderita,

Page 5: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

24

serta bagaimana kondisi kesehatan penderita dapat dipertahankan. Dari hasil

penelitian itu juga disebutkan bahwa masyarakat memiliki peran penting dalam

memberikan dukungan kepada penderita skizofrenia supaya mereka bisa

bersosialisasi dengan baik dan dapat membantu meringankan bebannya. Di

samping itu, juga agar masyarakat tidak memberikan status gila untuk penderita

yang bisa memperparah keadaan penderita karena merasa dikucilkan. Jenis

penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif korelasional yang lebih

memfokuskan kajian pada hubungan stigma keluarga dengan penerimaan keluarga

terhadap pasien gangguan jiwa. Kajian ini sangat penting karena telah

memberikan inspirasi tentang konsep dan ruang lingkup penelitian. Selain itu,

juga sebagai pembuka wawasan dan cakrawala berpikir untuk melakukan

penelitian ini.

Lieberman dan Kopelowicz (2002) dalam kajiannya “Recovery from

Schizophrenia: A Challenge for 21 Century” menyoroti gerakan pemberdayaan

bekas penderita gangguan jiwa tidak hanya bergerak di bidang praktis, tetapi juga

berusaha untuk mengubah teori-teori ilmiah mengenai gangguan mental, terutama

pandangan pesimistis bahwa schizophrenia tidak dapat disembuhkan. Sejumlah

bekas pasien memulai untuk menuliskan pengalaman pribadi dan memublikasikan

pengalaman langsung dari tangan pertama para konsumen yang telah sembuh.

Pengalaman-pengalaman tersebut telah menjadi fondasi bagi gerakan pelayanan

kesehatan mental yang berorientasi pada kesembuhan (recovery movement) di

Amerika, memunculkan pentingnya keluar dari anggapan umum, pandangan

Page 6: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

25

semu, dan generalisasi yang sempit dan bergerak menuju kenyataan empiris yang

didukung oleh validasi sebuah konsep operasional mengenai kesembuhan. Kajian

ini juga mengkritisi kriteria medis modern bahwa kesembuhan merupakan hal

yang tidak mungkin. Hal tersebut hanyalah mitos belaka. Pandangan medis

modern sering kali dikritik sebagai hal yang terlalu memfokuskan diri pada

penyakit di samping menerapkan kriteria reduksi biologis yang kontradiktif

dengan model konsumen, yaitu person-centered focus. Penelitian ini memperluas

wawasan, yaitu hasil kajian Lieberman dan Kopelowics lebih memfokuskan

perhatian pada aspek pemberdayaan penderita gangguan jiwa dalam konteks

globalisasi, tetapi tidak menyentuh pergulatan globalisasi, negara, dan unsur

lokalitas (budaya lokal) dalam melihat masalah stigma.

Hasil penelitian lain dilakukan oleh Amresh Shrivastava dan Megan E.

Johnston (2011) dalam tulisan yang berjudul “Origin and Impact of Stigma and

Discrimination in Schizophrenia - Patients Perception: Mumbai Study”. Amresh

Shrivastava dan Megan E. Johnston memfokuskan penelitian pada stigma dan

diskriminasi yang dihadapi oleh para pasien gangguan jiwa (skizofrenia). Hal itu

merupakan hambatan yang paling penting dalam mengakses perawatan dan dapat

mengakibatkan keterlambatan penanganan pengobatan yang relatif lama.

Menurutnya, stigma bersifat universal, tetapi sifat, sumber, dan dampak stigma

bervariasi dalam aspek lintas budaya dan daerah. Dengan demikian, menurut

Amresh Shrivastava dan Megan E. Johnston, intervensi harus spesifik. Penelitian

ini juga menilai persepsi pasien gangguan jiwa mengenai stigma dan diskriminasi

Page 7: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

26

yang dihadapi dalam kehidupan mereka. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa

stigma dan diskriminasi terkait dengan gangguan jiwa memiliki dampak yang

signifikan terhadap kehidupan individu-individu tersebut. Dari perspektif pasien,

kurangnya pengetahuan, sifat penyakit itu sendiri, dan gejala perilaku dipandang

sebagai alasan utama terjadinya stigma dan diskriminasi. Kajian ini juga

menemukan efek umum stigma, yakni harga diri yang rendah dan diskriminasi

dalam pengaturan keluarga dan pekerjaan. Upaya memberikan perawatan dan

pengobatan diidentifikasi sebagai metode yang paling umum untuk memerangi

stigma. Di samping itu, stigma yang terkait dengan gangguan jiwa skizofrenia

merupakan tantangan untuk perawatan kesehatan mental yang efektif. Upaya

meminimalkan stigma melalui program antistigma dan program psiko-pendidikan

merupakan hal penting dalam upaya intervensi dini mengurangi stigma. Kajian ini

penting dan sekaligus sebagai pembuka wawasan intelektual dan akademis untuk

melakukan penelitian ini karena memberikan inspirasi tentang konsep, teori,

metode, dan ruang lingkup penelitian.

Kajian lain tentang stigma dilakukan oleh Piotr Switaj dan Jacek Wciorka

(2012) dalam penelitian yang berjudul “Experiences of Stigma and Discrimination

Among Users of Mental Health Services in Poland”. Mereka meneliti

pengalaman stigma dan diskriminasi di kalangan pengguna layanan kesehatan

mental di Polandia. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa

stigmatisasi umumnya diakui sebagai salah satu hambatan yang utama

untuk proses pemulihan dan untuk inklusi sosial penderita gangguan jiwa.

Page 8: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

27

Responden melaporkan pengalaman tentang seringnya terjadi stigmatisasi dalam

situasi sehari-hari dan hubungan interpersonal, tetapi mereka jarang mengeluh.

Hal ini merupakan contoh spesifik adanya diskriminasi. Adapun sumber yang

paling sering dilaporkan telah memberikan label stigma adalah anggota

masyarakat umum, para profesional kesehatan mental, penyedia layanan

kesehatan umum, perwakilan pemerintah/pejabat publik (para birokrat), dan pihak

media. Dalam kajian ini ditekankan bahwa pihak profesional di bidang perawatan

kesehatan merupakan sumber stigma yang potensial. Temuan kajian ini juga

menggarisbawahi kebutuhan untuk memberikan perhatian ataupun fokus yang

lebih kepada orang-orang dengan masalah gangguan jiwa melalui cara-cara

program mengatasi stigma. Kajian ini memberikan wawasan dan inspirasi secara

lebih terperinci tentang peran semua kelompok yang disebutkan di atas dalam

proses stigmatisasi. Selain itu, hasil pemikiran kajian ini dapat dijadikan pedoman

dalam menentukan arah penelitian agar dapat memperlihatkan orisinalitas.

Hasil penelitian lain dilakukan oleh Angermeyer dan Matschinger (2003)

dalam tulisan berjudul “The Stigma of Mental Illness: Effects of Labelling on

Public Attitudes Towards People with Mental Disorder”. Mereka melakukan

penelitian dengan tujuan untuk menguji dampak label pada sikap masyarakat

terhadap orang dengan gangguan jiwa skizofrenia. Mereka melakukan survei

yang melibatkan orang dewasa berkebangsaan Jerman. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pemberian label pada orang dengan gangguan jiwa sebagai

penyakit mental kronis memiliki dampak/efek negatif pada sikap publik terhadap

Page 9: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

28

penderita gangguan skizofrenia tersebut. Hal ini merupakan bentuk stereotype

yang berbahaya karena memiliki efek negatif yang kuat. Artinya, orang (publik)

bereaksi secara emosional kepada seseorang dengan gangguan jiwa skizofrenia

dan berimplikasi pada peningkatkan status jarak sosial. Sebaliknya, seseorang

dengan penilaian ataupun mengamati gangguan jiwa skizofrenia merupakan

kondisi untuk meminta pertolongan atau membutuhkan bantuan. Hal itu akan

membangkitkan perasaan psikologis yang campur aduk dan memengaruhi

keinginan masyarakat untuk menjaga jarak sosial, baik secara positif maupun

negatif. Kajian ini sangat membantu memberikan inspirasi tentang konsep, teori,

dan ruang lingkup penelitian. Di samping itu, pemikirannya dapat dijadikan

pedoman dalam menentukan arah penelitian ini agar dapat memperlihatkan

orisinalitas.

Kajian dan pengakuan nyata yang ditulis oleh Isvandiary (2004) dalam

tulisan yang berjudul “Ratu Adil: Memoar Seorang Schizophrenia” juga

memberikan inspirasi dan pembuka wawasan dalam kajian ini. Buku ini mirip

dengan beberapa artikel atau buku yang ditulis oleh para konsumen di Amerika

yang menggambarkan pengalaman-pengalaman ketika menjadi pasien gangguan

jiwa (schizophrenia). Perbedaannya adalah bahwa tulisan para konsumen di

Amerika pada umumnya bertujuan untuk mengubah atau memperbaiki sistem

kesehatan jiwa, tetapi buku Isvandiary ini lebih banyak merupakan dokumentasi

pengalaman pribadi penulis yang pernah mendapat diagnosis sebagai penderita

skizofrenia. Di situ digambarkan bagaimana proses penulis mengalami gangguan

Page 10: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

29

jiwa, yang diawali dengan persoalan keluarga, yaitu dia mendapat perlakuan yang

tidak semestinya dari suaminya, yang berujung pada perceraian. Bagian yang

paling banyak dibahas dalam buku tersebut adalah mengenai berbagai pengalaman

penulis ketika mengalami skizofrenia. Bagaimana dia merasa dirinya sebagai ratu

adil, sebuah mitologi dalam masyarakat Jawa yang mirip dengan ide Mesiahisme,

yaitu tokoh yang akan menyelamatkan masyarakat Jawa dari berbagai persoalan.

Selanjutnya penulis merasa bertemu dengan malaikat, tokoh-tokoh spiritual

seperti Budha atau tokoh film serial TV dari Cina, yaitu Sun Go Kong. Buku ini

sama sekali tidak menyentuh isu bagaimana pelayanan dan sikap dokter yang

diberikan ketika dia menjalani perawatan di beberapa rumah sakit jiwa. Akan

tetapi, kajian tersebut sangat bermanfaat dalam menambah wawasan dan inspirasi

untuk membantu pemahaman tentang konsep-konsep dan hal lainnya terkait

dengan masalah stigma.

Mantan penderita skizofrenia lain yang menulis beberapa buku yang

menjadi sumber inspirasi penelitian ini adalah Bachril Hidayat Lubis. Buku

pertama berjudul Aku Sadar Aku Gila (Lubis, 2007). Buku ini menggambarkan

proses kesembuhan penulis dari gangguan jiwa skizofrenia yang dideritanya.

Sebagai seorang yang mendapat pendidikan tinggi di bidang psikologi dan latar

belakang agama yang kuat, proses kesembuhan penulis merupakan perjuangan

pribadi yang panjang. Dia menerapkan banyak prinsip dan nilai Islami yang

dipadu dengan teknik-teknik psikologi, misalnya semangat kesembuhannya itu

Page 11: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

30

sendiri dialami setelah dia merenungkan isi Alquran surah ar-Rahman dalam salat

Jumat pada tahun 2004.

Baik Isvandiary maupun Bachril Hidayat Lubis, berusaha memberikan

gambaran mengenai gangguan jiwa skizofrenia yang diderita. Kalau Isvandiary

lebih banyak terfokus pada pengalaman skizofrenianya yang penuh dengan delusi

dan halusinasi yang unik dan menarik sehingga mirip sebagai sebuah novel.

Sementara itu buku Bachril Hidayat Lubis lebih merupakan sebuah refleksi dan

renungan-renungan penulis dalam proses kesembuhan gangguan skizofrenia.

Kemungkinan perbedaan itu selain karena latar belakang pendidikan yang

berbeda, juga sifat gangguan skizofrenia. Isvandiary mengalami gangguan

skizofrenia murni karena faktor psikologis, sedangkan Bachril Hidayat Lubis

karena penyalahgunaan zat psikoaktif. Berdasarkan pengalamannya Isvandiary

dan Bachril Hidayat Lubis memberikan inspirasi penting dalam penelitian ini,

terutama tentang perjuangan tanpa henti penderita gangguan jiwa untuk

memperoleh kesembuhan dan hidup tanpa stigma (destigmatisasi).

Perbedaan mendasar antara penelitian terdahulu dan penelitian disertasi ini

terlihat dari setting atau lokasi penelitian, fokus masalah, landasan teori, dan

pendekatannya. Di samping untuk melengkapi studi-studi terdahulu, kajian ini

juga diharapkan dapat membawa implikasi-implikasi teoretik bagi rimba belantara

kajian budaya.

Page 12: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

31

2.2 Konsep

Judul penelitian ini sebagaimana tertera di depan merupakan suatu

ungkapan frasa yang mengandung beberapa istilah yang perlu dikonsepsikan

untuk memberikan arah penelitian. Adapun istilah-istilah tersebut adalah sebagai

berikut.

2.2.1 Stigma

Stigma adalah suatu usaha untuk label tertentu sebagai sekelompok orang

yang kurang patut dihormati daripada yang lain (Sane Research, 2009:1--2).

Dalam kaitannya dengan penderita gangguan jiwa skizofrenia, stigma merupakan

sikap keluarga dan masyarakat yang menganggap bahwa bila salah seorang

anggota keluarga menderita skizofrenia, hal ini merupakan aib bagi keluarga.

Selama bertahun-tahun, banyak bentuk diskriminasi secara bertahap turun-

temurun dalam masyarakat kita. Penyakit mental masih menghasilkan

kesalahpahaman, prasangka, kebingungan, dan ketakutan. Masyarakat masih

mengganggap bahwa gangguan jiwa merupakan aib, baik bagi penderitanya

maupun keluarganya. Selain itu, gangguan jiwa juga dianggap penyakit yang

disebabkan oleh hal-hal supranatural oleh sebagian masyarakat. Sebagai

konsekuensi kepercayaan tersebut, banyak pasien Skizofrenia tidak dibawa

berobat ke dokter (psikiater), tetapi disembunyikan. Kalaupun akan dibawa

berobat, mereka tidak dibawa ke dokter, tetapi dibawa ke “orang pintar” (Hawari,

2007:121--122). Menurut Beigel, stigma terhadap gangguan jiwa bersifat hampir

universal, artinya terlihat pada semua lapisan masyarakat, baik pada pihak

Page 13: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

32

penentu kebijakan, perorangan, maupun pada masyarakat keseluruhan

(Bahar, 1999:8).

Menurut Sane Research (2009) melalui web http://www.sane.org,

pemahaman konsep stigma masih tersebar luas di Australia. Ini adalah sistemik

dan dapat dilihat dalam tujuh area yang luas, yaitu (a) politik, (b) alokasi dana, (c)

perencanaan dan pemberian pelayanan, (d) professional, (e) legislatif, (f) media,

dan (g) komunitas. Layanan kesehatan mental menerima sedikit perhatian politik

dibandingkan dengan isu-isu lain. Di samping itu, bukan merupakan wilayah

prioritas walaupun berdampak besar pada kehidupan masyarakat. Terkait dengan

alokasi dana, Australia's menghabiskan sekitar 8% dari anggaran kesehatan pada

pelayanan kesehatan mental. Di negara-negara OECD (Organization for

Economic Cooperation and Development) sebanding, proporsinya adalah 12%

atau lebih. Kekurangan ini memiliki efek drastis pada kapasitas layanan.

Pendanaan penelitian di daerah juga tidak memadai. Dilihat dari perencanaan dan

pemberian pelayanan, walaupun dengan niat baik, pengambilan keputusan

nasional pada layanan kesehatan mental tidak terkoordinasi dengan baik. Artinya,

bidang kesehatan lain sering diberikan prioritas lebih tinggi.

Terkait dengan profesional, profesional kesehatan mental terfokus pada

kegiatan merawat orang-orang ketika sakit akut, sering mengabaikan kebutuhan

untuk pemulihan yang berfokus pada rehabilitasi, serta dukungan bagi keluarga

dan pengasuh lainnya. Di samping itu, juga beberapa memperlakukan penderita

Page 14: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

33

penyakit mental dan keluarga mereka dengan cara yang tidak sopan. Di pihak lain

legislatif The Disability Discrimination Act 1992 tidak melindungi penderita

penyakit mental atau cacat lainnya dari fitnah. Hali itu terjadi karena melindungi

kelompok-kelompok dalam masyarakat, misalnya berdasarkan agama ataupun ras.

Ditinjau dari media meskipun ada perbaikan, beberapa media bertahan dalam

mempromosikan stereotip orang sakit mental sebagai kekerasan, tidak kompeten,

atau objek ejekan. Apabila dilihat dari komunitas, tampak bahwa tiga perempat

(75%) dari orang-orang penderita penyakit mental merasa bahwa mereka secara

pribadi telah mengalami stigma. Dalam hal ini, termasuk sikap pemerintah,

pekerja di bidang kesehatan, di media, dan masyarakat umum. Keadaan di

Indonesia tidak jauh berbeda dengan keadaan di Australia tersebut. Orang yang

mengalami gangguan jiwa diperlakukan secara tidak pantas. Kalau dilihat dari

pelayanan kesehatan kita, tampak bahwa bangsal-bangsal yang ada di rumah sakit

umum, banyak yang belum menyediakan bangsal jiwa. Hal ini menunjukkan

bahwa bukan hanya masyarakat awam yang melakukan diskriminasi terhadap

penderita gangguan jiwa, melainkan para profesional kesehatan pun secara tidak

sadar melakukan stigmatisasi terhadap penderita gangguan jiwa.

2.2.2 Stigmatisasi Sosial

Stigmatisasi sosial adalah proses, yaitu satu kondisi atau aspek dari

seseorang dihubungkan secara luas dengan indentitas orang tersebut. Kondisi

Page 15: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

34

yang ada tersebut merupakan penghalang utama untuk mencegah orang mencari

bantuan. Banyak orang yang hidup dengan gangguan jiwa mengatakan bahwa

stigma yang dihadapi sering kali lebih buruk daripada gangguan jiwa yang

dialaminya (Mansoury & Dowell, 1989:79--91). Panyakit gangguan jiwa sangat

kuat memengaruhi persepsi orang-orang dari segala usia dan semua lapisan

masyarakat. Hal ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk gangguan jiwa termasuk

depresi, kecemasan, dan skizofrenia.

2.2.3 Gangguan Jiwa

Konsep gangguan jiwa dari the Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorder (DSM-IV) yang merupakan rujukan dari PPDGJ-III (Direktorat

Kesehatan Jiwa Depkes RI, 1993:7) menyatakan sebagai berikut.

“Mental disorder is conceptualized as clinically significant behavioral orpsychological syndrome or pattern that occurs in an individual and that isassociated with present distress (eg., a painful symptom) or disability (ie.,impairment in one or more important areas of functioning) or with asignificant increased risk of suffering death, pain, disability, or onimportant loss of freedom”.

Artinya, gangguan jiwa dikonseptualisasikan secara klinis sebagai sindrom

psikologis atau pola perilaku yang terdapat pada seorang individu dan

diasosiasikan dengan distres (misalnya gejala yang menyakitkan) atau disabilitas

(yakni hendaya di dalam satu wilayah fungsi yang penting atau lebih) atau

diasosiasikan dengan risiko mengalami kematian, penderitaan, disabilitas, atau

kehilangan kebebasan diri yang penting sifatnya, yang meningkat secara

signifikan.

Page 16: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

35

Dalam uraian tentang pengertian gangguan jiwa ada beberapa pendapat

ahli psikologi, di antaranya salah satu definisi gangguan jiwa dikemukakan oleh

Frederick H. Kanfer dan Arnold P. Goldstein. Menurut kedua ahli tersebut,

gangguan jiwa adalah kesulitan yang harus dihadapi oleh seseorang karena

hubungannya dengan orang lain, kesulitan karena persepsinya tentang kehidupan

dan sikapnya terhadap diri sendiri (Ancok, 2001:9). Sementara itu menurut

Suliswati, gangguan jiwa adalah perubahan perilaku yang terjadi tanpa alasan

yang masuk akal, berlebihan, berlangsung lama, dan menyebabkan kendala

terhadap individu atau orang lain (Suliswati, 2005:3).

Ciri-ciri orang yang mengalami gangguan jiwa menurut Kanfer dan

Goldstein adalah sebagai berikut: Pertama, hadirnya perasaan cemas (anxiety) dan

perasaan tegang (tension) di dalam diri. Kedua, merasa tidak puas (dalam arti

negatif) terhadap perilaku diri sendiri. Ketiga, perhatian yang berlebihan terhadap

problem yang dihadapinya. Keempat, ketidakmampuan untuk berfungsi secara

efektif di dalam menghadapi problem. Kadang-kadang ciri tersebut tidak

dirasakan oleh penderita, tetapi yang merasakan akibat perilaku penderita adalah

masyarakat di sekitarnya. Artinya, orang di sekitarnya merasa bahwa perilaku

yang dilakukan adalah merugikan diri penderita, tidak efektif, dan merusak

dirinya sendiri. Dalam kasus seperti itu sering kali terjadi orang-orang merasa

terganggu dengan perilaku penderita (Suliswati, 2005:91).

Gangguan jiwa merupakan penyakit yang dialami oleh seseorang yang

memengaruhi emosi, pikiran, atau tingkah laku mereka, di luar kepercayaan

Page 17: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

36

budaya dan kepribadian mereka, dan menimbulkan efek yang negatif bagi

kehidupan mereka atau kehidupan keluarga mereka (Maramis, 2005:3). Dengan

demikian, dapat dipahami bahwa gejala-gejala gangguan jiwa ialah hasil interaksi

yang kompleks antara unsur somatik, psikologik, dan sosiobudaya. Gejala-gejala

inilah sebenarnya menandakan dekompensasi proses adaptasi, terutama pada

pemikiran, perasaan, dan perilaku (Maramis, 2005:93).

Menurut Brugha & Brewin (1993:218--224), tidak seperti penyakit fisik,

ketika sumber daya sosial dimobilisasi, orang dengan gangguan jiwa akan dihapus

dari dukungan-dukungan potensial. Hasil yang lebih buruk pada gangguan mental

kronis yang mungkin terjadi ketika jaringan sosial pasien dikurangi, bahkan

hilang. Berbagai elemen institusi dan masyarakat sibuk menciptakan kategori dan

definisi gangguan jiwa beserta cara-cara penanganannya. Melalui definisi dan

kategori itu mereka merasa berhak menentukan mana orang dengan gangguan

jiwa dan mana yang waras, siapa yang sehat dan siapa yang sakit, serta apa yang

normal dan apa yang abnormal. Pada gilirannya mereka mengintroduksi

mekanisme-mekanisme tertentu dan berbeda tentang bagaimana seharusnya

memperlakukan mereka.

Dari konsep tersebut dapat dirumuskan bahwa di dalam konsep gangguan

jiwa didapatkan butir-butir berikut. Pertama, adanya gejala klinis yang bermakna

berupa sindrom atau pola perilaku dan sindrom atau pola psikologik. Kedua,

gejala klinis tersebut menimbulkan “penderitaan” (distress), antara lain dapat

berupa rasa nyeri, tidak nyaman, tidak tenteram, dan disfungsi organ tubuh.

Page 18: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

37

Ketiga, gejala klinis tersebut menimbulkan “disabilitas” (disability) dalam

aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri

dan kelangsungan hidup.

Lebih lanjut pandangan gangguan jiwa dari sudut pandang kebudayaan,

yaitu tingkah laku dan sikap seseorang dianggap normal dan abnormal akan

disesuaikan dengan sekeliling sosial (kebudayaan setempat) di mana dia hidup

dan bergerak. Sekarang ini sudut pandang kebudayaan mengalami kesamaran

terutama setelah dunia mengalami era global. Ada dua faktor yang mengalami

keadaan seperti itu. Pertama, dalam masyarakat atau pergaulan dunia pola-pola

kebudayaan selalu bersimpang siur dan bercampur aduk, harus disadari bahwa

adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, sikap-sikap yang dirasakan normal dalam suatu

kelompok kebudayaan tertentu mungkin dianggap abnormal dalam kelompok

kebudayaan yang lain. Kedua, apa yang dinamakan abnormal seabad atau

segenerasi yang lalu mungkin diterima dalam masyarakat dewasa ini (Baihaqi,

2005:16).

1.2.4 Stigma terhadap Gangguan Jiwa

Menurut Longhorn, stigma terhadap gangguan jiwa merupakan istilah

yang sebenarnya sukar didefinisikan secara khusus karena istilah tersebut meliputi

aspek yang luas, tetapi disepakati mengandung konotasi kemanusiaan yang

kurang. Istilah ini berarti suatu sikap jiwa yang muncul dalam masyarakat, yang

mengucilkan anggota masyarakat yang memiliki kelainan jiwa. Stigma dapat pula

diartikan sebagai keyakinan atau kepercayaan yang salah yang lebih sering

Page 19: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

38

merupakan kabar angin yang diembuskan berdasarkan reaksi emosi untuk

mengucilkan dan menghukum mereka yang sebenarnya sangat banyak

membutuhkan atapun memerlukan pertolongan (Gunawan, 2013: 1).

Stigma gangguan jiwa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebuah

fenomena sosial tentang sikap masyarakat terhadap individu yang mengalami

gangguan jiwa dan menunjukkan abnormalitas pada pola perilakunya. Di samping

itu, juga dipandang memiliki identitas sosial yang menyimpang sehingga

membuat masyarakat tidak dapat menerima sepenuhnya. Akibatnya sikap

masyarakat menjadi cenderung mendiskreditkan dan diskriminatif.

2.2.5 Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali adalah rumah sakit jiwa satu-satunya di

Provinsi Bali yang memberikan pelayanan kesehatan jiwa yang didirikan pada

tahun 1933 di bawah pimpinan dr. K. Loedin. Walaupun prioritas pelayanan

rumah sakit jiwa adalah pasien dengan gangguan jiwa, juga dilengkapi dengan

pelayanan pendukung lain, seperti rehabilitasi narkoba, rehabilitasi mental,

fisioterapi, dan laboratorium. Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali adalah rumah sakit

milik pemerintah Provinsi Bali yang berlokasi di Kabupaten Bangli.

2.3 Landasan Teori

Ada beberapa teori terkait diaplikasikan secara eklektis dalam penelitian

ini. Secara garis besar, teori yang diaplikasikan adalah teori wacana, teori

dekonstruksi, dan teori hegemoni. Selain teori tersebut, digunakan pula orientasi

Page 20: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

39

teori mengenai explanatory model (EM) dari Kleinman dan orientasi teori dari

Rosenstock yang mengembangkan model “kepercayaan kesehatan” (health belief

model) sebagai teori penunjang. Adapun gagasan-gagasan dan asumsi-asumsi

dasar teori tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

2.3.1 Teori Wacana

Wacana merupakan satu istilah keilmuan yang paling banyak cakupan

maknanya, yang digunakan dalam berbagai disiplin ilmu, antara lain linguistik

(kritis), psikologi, sosiologi, sastra, dan budaya. Wacana menunjuk pada

keseluruhan bidang sebagai praktik penggunaan bahasa yang disebut “teks”

(Aminuddin, 2002:1). Salah satu definisi yang paling luas dan relevan dengan

penelitian ini adalah definisi yang digunakan oleh Foucault, yaitu ‘the general

domain of all statements’; that is, all utterances or texts which have meaning and

which have some effects in the real world count as discourse’ (arena seluruh

pernyataan yang bersifat umum; yaitu berbagai bentuk ujaran atau teks yang

memiliki makna dan pengaruh dalam dunia realitas dipandang sebagai wacana).

Definisi yang komprehensif ini digunakan oleh Foucault ketika membahas wacana

pada level konsep teoretis. Definisi lainnya adalah ‘an individualizable groups of

statements’ (sekelompok pernyataan yang berdiri sendiri) yang memiliki

keteraturan, koherensi, dan kekuatan dalam struktur. Definisi ini digunakan

Foucault ketika membahas struktur-struktur tertentu dalam wacana (Mills,

1997:7).

Page 21: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

40

Foucault (dalam Lubis, 2003:148) memperkenalkan istilah wacana dan

diskursus (discourse) mengandung makna yang sama. Wacana/diskursus adalah

keseluruhan bidang (domain) dengan menggunakan bahasa. Domain ini berakar

dalam praktik-praktik kehidupan, dalam lembaga-lembaga dan tindakan manusia

pada umumnya. Praktik diskursif diterima secara umum sehingga menjadi sulit

bagi seseorang untuk berpikir di luarnya karena mau tidak mau mereka bergerak

dalam kekuasaan dan wacana atau praktik diskursif yang diterima umum. Wacana

itu tidak statis karena mengalami perubahan dalam ruang dan waktu. Menurut

Barker (2005: 106), diskursus menyediakan cara-cara membincangkan suatu topik

tertentu, dengan motif atau ide, praktik-praktik, dan bentuk-bentuk pengetahuan

yang diulang-ulang di beberapa wilayah aktivitas.

Dalam hal diskursus dan pengetahuan, Foucault memandang kekuasaan

dan pengetahuan sangat erat terkait dalam hal yang disebut sebagai formasi

diskursif, yaitu sebuah kerangka kerja konseptual dan rasional yang

memungkinkan diterimanya beberapa modus pemikiran dan ditolaknya modus-

modus pemikiran lainnya. Diskursus merupakan sarana bagi suatu institusi untuk

meraih kekuasaan melalui proses definisi dan eksklusi atau formasi diskursif

tertentu, yang memiliki otoritas untuk mendefinisikan apa yang mungkin untuk

dikatakan orang tentang suatu topik. Suatu formasi diskursif terdiri atas

sekelompok aturan tak tertulis yang berusaha mengontrol apa yang dapat ditulis,

dipikirkan, dan dilakukan pada suatu bidang pembahasan tertentu (Storey,

2003:132--133).

Page 22: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

41

Setiap pengetahuan memungkinkan untuk mengetahui dan menjamin

pelaksanaan kekuasaan. Pengetahuan tidak bersumber pada subjek, tetapi berada

dalam hubungan-hubungan kekuasaan. Kekuasaan menghasilkan pengetahuan,

kekuasaan dan pengetahuan saling terkait. Foucault (2002:9) melihat bahwa

diskursus merupakan cara menghasilkan pengetahuan, praktik sosial, bentuk

subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang mendasari

pengetahuan dan praktik sosial tersebut, yang masing-masing dan/atau semuanya

saling terkait. Dengan demikian, setiap wacana tidak bisa dipisahkan dari relasi

kekuasaan yang tersembunyi di baliknya yang merupakan produk dari praktik

kekuasaan.

Berdasarkan pemikiran Foucault, diketahui bahwa diskursus adalah

sesuatu yang menyatukan bahasa dan praktik, gagasan yang mengacu pada

produksi pengetahuan lewat bahasa yang memberikan makna pada praktik-praktik

sosial dan objek-objek material. Pengetahuan dan bahasa dibentuk secara

diskursif, mengonstruksi, mendefinisikan, dan memproduksi objek-objek

pengetahuan secara rasional sekaligus mengeksklusi (mengabaikan) “cara-cara

yang tidak masuk akal”. Sejalan dengan hal tersebut, wacana merujuk pada

komunikasi pikiran dengan kata-kata, ekspresi ide-ide atau gagasan-gagasan,

percakapan, kata, komunikasi secara umum, terutama sebagai suatu subjek studi

dan pokok telaah dalam risalah tulisan, disertasi formal, kuliah, ceramah, kotbah,

lisan atau tulisan yang pembahasannya merupakan hubungan antara kontek-

konteks yang terdapat dalam teks (Sobur, 2009:9--10).

Page 23: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

42

Berdasarkan paparan di atas, dapat diketahui bahwa aplikasi teori wacana

dalam penelitian diarahkan pada analisis teks-teks yang dapat mengungkap

hegemoni kekuasaan. Relevansi teori wacana dalam hal ini tampak dari

kemunculan wacana dari berbagai sumber. Wacana yang diproduksi oleh negara

melalui peraturan dan kebijakan (baik undang-undang tentang kesehatan jiwa

maupun peraturan dan keputusan menteri terkait dengan upaya-upaya kesehatan

jiwa) serta lembaga-lembaga pemerintah dan swasta dengan ideologi negara.

Adapun produksi wacana yang bersumber dari lokalitas Bali adalah etiologi

(penyebab) gangguan jiwa secara personalistik. Sementara itu para ahli kesehatan

jiwa menciptakan kategori-kategori dan definisi-definisi/istilah-istilah gangguan

jiwa beserta cara-cara penanganannya. Melalui definisi dan kategori itu para ahli

jiwa merasa berhak menentukan mana orang gila dan mana yang waras, siapa

yang sehat dan siapa yang sakit, serta apa yang normal dan apa yang abnormal.

Pada gilirannya para ahli jiwa juga akan mengintroduksi mekanisme-

mekanisme tertentu dan berbeda tentang bagaimana seharusnya memperlakukan

penderita gangguan jiwa. Demikian juga kategori-kategori abnormalitas dan

menyimpang merupakan konstruksi sosial yang telah menjadi mitos. Sebuah

mitos rasionalitas yang dibangun oleh aparat-aparat kemajuan, rezim

pengetahuan, dan modernisme. Atas dasat itulah, teori wacana digunakan melihat

asumsi-asumsi itu dan kekuasaan (kuasa pengetahuan, kuasa institusi, kuasa

otoritas tertentu) di baliknya. Penggunaan teori ini juga bertujuan untuk

membongkar secara holistik wacana yang berkembang di masyarakat tentang

Page 24: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

43

stigma yang dilihat dalam dimensi horizontal dan dimensi vertikal. Selanjutnya

mencari aktor-aktor yang memproduksi wacana serta bagaimana proses stigma

dan wacana tersebut berada dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini kita

dituntut memiliki sensitivitas dan kepekaan dalam melihat kenyataan, apakah

suatu konsep atau sistem pengetahuan tertentu lebih humanis dan emansipatoris

atau sebaliknya justru melakukan dehumanisasi.

2.3.2 Teori Dekonstruksi

Teori dekonstruksi Derrida menunjukkan sikap kritis yang menekankan

gagasan tentang keberagaman, yaitu realitas bersifat terbuka sehingga beragamnya

cara dan sudut pandang dalam membaca realitas secara logis akan menghasilkan

makna yang beragam pula (Lajar, 2005:163). Dekonstruksi berarti membongkar

dimensi-dimensi ideologi dan atau kekuasaan yang dominan dan hegemonik.

Pembongkaran dilakukan dalam rangka mengawali suatu permulaan baru tanpa

perlu melakukan penghancuran (destruction) elemen-elemen yang telah ada.

Tujuannya adalah untuk menemukan dan menelanjangi berbagai asumsi, strategi

retoris, dan ruang kosong teks (Barker, 2004:402--403).

Makna dilihat oleh Derrida bersifat sangat kontekstual, relatif, dan multi

interpretasi sehingga tidak dimungkinkan adanya konvensi ataupun konsensus

bersama di baliknya. Konsep difference Derrida menyiratkan sebuah relasi tanda

di dalam sebuah ruang interpretasi yang sangat terbuka, dinamis, dan produktif

tanpa pernah berhenti pada sebuah titik konsensus yang disebut makna atau

kebenaran akhir (Pilliang, 2004:222). Di sini terlihat bahwa dekonstruksi

Page 25: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

44

memfokuskan diri pada pencarian makna baru melalui kebebasan penafsiran. Di

samping itu, dekonstruksi juga mencoba untuk menjadikan hal-hal yang semula

dianggap tidak penting, “pinggiran”, “sang liyan” (the others) menjadi sesuatu

yang penting. Menurut Magnis Suseno (Ristiyantoro, t.t.:83), dekonstruksi

sebenarnya adalah ‘menganalisis dengan teliti’.

Teori dekonstruksi ini juga menjelaskan bahwa kebenaran tidak pernah

terbayangkan. Hal itu selalu hadir dari unsur-unsur budaya yang besar. Jalan

mencari kebenaran selalu dicari secara kreatif dan memberikan makna budaya.

Makna budaya yang telah ada perlu didekonstruksi (dibongkar) sebab konstruksi

yang ada diasumsikan kurang mampu dan gagal menemukan kebenaran

(Endraswara, 2003:148). Perubahan pemaknaan suatu tanda sesuai dengan

kehendak pemakai tanda, ruang, dan waktu. Tanda adalah teks yang akan selalu

dalam keadaan terbuka, disuguhkan, dan tidak terungkap, bahkan kita tidak

menyadari bahwa teks sebenarnya tidak terungkap (Spivak, 2003:72).

Teori dekonstruksi digunakan secara eklektik dengan teori-teori lain untuk

mengungkap rumusan masalah pertama tentang bentuk-bentuk yang ada di balik

stigma yang dialami penderita gangguan jiwa. Di samping itu, juga untuk

mengungkap rumusan masalah kedua, yakni faktor-faktor yang memengaruhi

terjadinya stigma terhadap penderita gangguan jiwa. Selain mendekonstruksi

aspek-aspek tersebut, pada rumusan masalah ketiga juga digunakan teori

dekonstruksi untuk membongkar implikasi yang ada di balik stigma terhadap

penderita gangguan jiwa dan keluarganya. Dengan teori ini juga diungkap

Page 26: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

45

ideologi di balik mitos dan informasi yang salah tentang gangguan jiwa yang

melahirkan berbagai bentuk konstruksi stigma yang beragam sesuai ruang dan

waktu. Misalnya, gangguan jiwa merupakan gangguan psikologis yang sangat

berbeda dengan masalah medis lainnya, orang yang menderita gangguan jiwa

berarti orang yang lemah, jika seseorang menderita gangguan jiwa, berarti ia tidak

akan mampu mengejar karier dan tujuan-tujuan hidup lainnya, dan tidak adanya

pengobatan yang efektif untuk orang yang menderita gangguan jiwa.

2.3.3 Teori Hegemoni

Gramsci dalam Barker (2004: 84) menggambarkan hegemoni sebagai

situasi yang di dalamnya terdapat suatu kelompok yang berkuasa dan

mendapatkan kewenangan, dan kepemimpinan atas kelompok subordinat dengan

cara memenangi kesadaran. Dikatakan bahwa agar pihak yang dikuasai mematuhi

penguasa/superordinat, yang dikuasai tidak hanya merasa mempunyai dan

menginternalisasi nilai dan norma penguasa, tetapi juga memberikan persetujuan

atas subordinasi mereka. Hal inilah yang disebut “hegemoni” atau menguasai

dengan “kepemimpinan moral dan intelektual” secara konsepsual. Dalam

hegemoni, konsensus memang dibuat oleh para penghegemoni, tetapi berdasarkan

kepentingan-kepentingan yang terhegemoni. Oleh karena itu, tampak hegemoni

mengekspresikan hal-hal yang menjadi keinginan pihak terhegemoni.

Pemikiran Gramsci tentang kekuasaan berbeda dengan pemikiran

Marxisme Ortodoks. Menurut Gramsci, superstruktur tidak selalu bergantung

pada ekonomi (basis), tetapi juga dapat memengaruhinya (superstruktur).

Page 27: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

46

Kekuasaan untuk dominasi bagi Gramsci tidak hanya bersumber dari basis

(ekonomi), tetapi juga dari superstruktur. Gramsci berkeyakinan bahwa kelompok

dominan menjadi dominan karena kekuasaan bersumber tidak hanya dari

penguasaan ekonomi, tetapi juga dari ideologi. Keduanya bersifat resiprokal atau

saling menguatkan yang harus dicapai dalam dan melalui perjuangan politik

(Gramsci, 1971:366).

Superstruktur merupakan bentuk yang mengandung kekuasaan dan

membentuk kekuatan materiel dari basis. Hal itu membuatnya koheren dan utuh.

Artinya, masyarakat bertindak tidak hanya berdasarkan alasan ekonomi, tetapi

juga berdasarkan persepsinya terhadap sesuatu (ideologis) (Gramsci, 1971:162).

Dengan demikian, pada level ideologilah manusia menjadi sadar tentang konflik-

konflik yang terjadi di dunia ekonomi.

Kemenangan ideologi tidak hanya menghasilkan penguasaan ekonomi dan

politik, tetapi juga kemenangan intelektual dan moral sehingga menciptakan

hegemoni kelompok sosial dominan atas berbagai kelompok subordinat.

Pentingnya pengaruh ideologi ini membuat Gramsci menekankan analisisnya

tentang peran ideologi dalam membangun dan melanggengkan hegemoni di

samping pentingnya peran intelektual dalam pengembangan dan praktik ideologi

pada level hegemonik. Hegemoni ide-ide hanya dapat berjalan efektif dan

menemukan kekuatannya tatkala menggunakan bahasa sebagai alat dominasi,

sekaligus mungkin juga alat represif (Santoso, 2007:24).

Page 28: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

47

Menurut Gramsci, pengaruh ideologi berperan penting dalam formasi dan

pelanggengan kekuasaan (dominasi). Kelompok-kelompok dominan mendapatkan

dukungan (konsensus) dari kelompok subordinat tidak hanya melalui upaya

mengintegrasikan kepentingan ekonomi kelompok subordinat dalam operasinya.

Akan tetapi, juga dengan membuat kelompok tersebut memahami kepentingannya

sebagai kepentingan bersama masyarakat secara keseluruhan. Pandangan Gramsci

ini beroperasi melalui alat hegemoni dalam kerangka suatu medan perang.

Artinya, di dalamnya terjadi perjuangan aktif untuk memperebutkan hegemoni di

antara berbagai ideologi yang bersaing seperti kapitalisme, sosialisme, dan

feodalisme. Pengaruh ideologi kelompok dominan “memanfaatkan” kesadaran

kelompok subordinat ke dalam perspektifnya. Hal inilah yang dinamakan Gramsci

sebagai hegemoni, yang juga bisa berarti dominasi pada bidang-bidang lainnya

yang lebih umum, seperti pandangan hidup, kebudayaan, dan ideologi (Santoso,

2007:23).

Hegemoni bagi Gramsci juga berarti suatu situasi, yaitu sebuah blok

historis, faksi-faksi kelas dominan (penguasa) menggunakan otoritas sosial dan

kepemimpinannya pada kelas-kelas subordinat melalui kombinasi paksaan dan

persetujuan (Gramsci, 1971:57; Barker, 2005:513). Hegemoni terjadi apabila cara

berpikir kelompok subordinat telah menerima cara berpikir kelompok dominan.

Hegemoni beroperasi melalui berbagai modus untuk membentuk persepsi,

keyakinan, cita-cita, dan selera rakyat tentang realitas sosial, baik aktif maupun

pasif, dalam bentuk intelektual dan moral. Di samping itu, juga terjadi melalui

Page 29: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

48

perasaan massa yang secara tetap terikat dengan ideologi dan kepemimpinan

politik negara sebagai ungkapan keyakinan dan aspirasinya.

Menurut Gramsci, untuk menghilangkan pengaruh hegemoni diperlukan

‘counterhegemony’, yaitu penyadaran yang mencakup aspek sosial, budaya,

politik, dan ekonomi. Selain itu, juga menyentuh aspek kognitif tentang

ketertindasan yang disebabkan oleh hegemoni. Counterhegemony ini harus

disertai dengan kampanye politik dan program-program pengembalian kesadaran

kaum tertindas. Pengembalian kesadaran ini dapat menghilangkan efek atau

pengaruh hegemoni (Takwin, 2009:74).

Dalam penelitian ini teori hegemoni digunakan untuk mengkaji beragam

pemaknaan pengetahuan dalam proses stigma terhadap penderita gangguan jiwa

sebagai pihak yang terhegemoni dengan ideologi sebagai sarana hegemoni.

Ideologi itu bisa berupa ideologi pasar (globalisasi), ideologi negara (aturan-

aturan dan kebijakan-kebijakan politik penguasa), bisa juga berupa gagasan-

gagasan yang bersumber pada budaya lokal (etiologi gangguan jiwa secara

personalistik) sebagai pihak penghegemoni. Ideologi-ideologi ini mampu

memengaruhi dan menentukan pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan.

Di samping itu, di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan di

masyarakat, baik secara institusional maupun perorangan. Konsep itu

mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan

politik, serta seluruh hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan

moral. Berdasarkan pemikiran tersebut dapat dijelaskan pula bahwa ideologi di

Page 30: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

49

balik stigma tersebut secara tidak langsung atau tanpa disadari merupakan suatu

kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, dan kebudayaan

sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap

kelompok masyarakat lainnya (para penderita gangguan jiwa). Hal tersebut diikuti

secara sadar oleh kelompok yang didominasi. Kelompok yang didominasi oleh

kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas, tetapi merasa bahwa hal itu

seharusnya terjadi. Dalam hal ini jelas terlihat bahwa kelas dominan (negara,

rezim pengetahuan, dan masyarakat) melakukan penguasaan kepada kelas bawah

(para penderita gangguan jiwa) menggunakan ideologi. Artinya, masyarakat kelas

dominan tersebut merekayasa kesadaran masyarakat kelas bawah sehingga tanpa

disadari, mereka rela dan mendukung kekuasaan kelas dominan.

2.3.4 Explanatory Model (EM)

Pemahaman mengenai perilaku perawatan kesehatan masyarakat yang

berlatar belakang sosiobudaya mendorong Kleinman mengembangkan orientasi

teori explanatory model (EM) yang kemudian dikembangkan dan

dioperasionalkan dalam penelitian oleh Ross (1983) dan Kalangie (1980).

Explanatory model yang dikembangkan ini pertama kali dioperasionalkan oleh

Kleinman dalam penelitian di Taiwan mengenai perilaku perawatan kesehatan

dalam setting rumah sakit pada penderita pasien gangguan jiwa. EM merupakan

unsur penting dari suatu keputusan dalam rangka pemilihan sektor-sektor

perawatan kesehatan yang akan digunakan. Dikatakan penting sebab EM

merupakan suatu konsep atau peta-peta kognitif yang senantiasa diacu dan

Page 31: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

50

digunakan oleh individu-individu (anggota masyarakat atau praktisi medis) untuk

menjelaskan kausalitas kejadian sakit, diagnosis, dan pengobatannya. Atas dasar

EM ini pula individu-individu dalam masyarakat mengklasifikasi jenis-jenis

penyakit yang bisa atau seharusnya ditangani oleh dokter atau rumah sakit dan

jenis penyakit yang harus dibawa ke dukun (pengobat tradisional) yang tahu dan

mampu mengobatinya. EM menempatkan kecenderungan individu pada kebiasaan

yang istimewa dan mudah berubah-ubah yang sangat besar dipengaruhi oleh

kepribadian dan budaya. Penjelasan yang diberikan sebagian atas kesadaran dan

sebagian lagi di luar kesadaran. Ciri EM individu-individu ini adalah kekaburan,

banyak arti, serta terjadi perbedaan antara ide dan pelaksanaannya. Hal ini tentu

berbeda dengan EM dokter yang berdasarkan ilmu pengetahuan modern

(Kleinman, 1980:104--118).

Atas dasar hal tersebut, alternatif mencari pelayanan kesehatan pengobatan

gangguan jiwa tidak terlepas dari keyakinan keluarga pasien. Seperti yang

dikatakan oleh Kleinman (1985:65) dalam explanatory model bahwa keyakinan

memutuskan untuk memilih pelayanan kesehatan dapat dipengaruhi oleh berbagai

factor. Faktor-faktor yang dimaksud adalah (1) etiologi dan kondisi penyakit, (2)

waktu dan jenis gejala yang menyerang, (3) proses pengobatan, (4) tingkat

keparahan penyakit, dan (5) pengobatan yang layak untuk kondisi tersebut.

Dengan model ini akan terbentuk suatu respons tertentu, terutama berkenaan

dengan proses terjadinya sakit. Kenyataan ini tidak identik dengan kepercayaan

umum tentang sakit (illness) yang dipengaruhi masyarakat.

Page 32: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

51

2.3.5 Health Belief Model (Model Kepercayaan Kesehatan)

Model kepercayaan kesehatan (health belief model) yang dikembangkan

oleh Rosenstock pada dasarnya menekankan bahwa perilaku individu dalam

masyarakat ditentukan oleh motif dan kepercayaannya tanpa memedulikan apakah

motif dan kepercayaannya tersebut sesuai atau tidak dengan realitas atau dengan

pandangan orang lain terkait dengan apa yang baik untuk individu tersebut. Dalam

hal ini sangat penting dibedakan antara kebutuhan kesehatan yang objektif dan

yang subjektif. Kebutuhan kesehatan objektif diidentifikasi oleh petugas

kesehatan berdasarkan penilaiannya secara profesioanl, yaitu adanya gejala yang

dapat mengganggu/membahayakan kesehatan individu. Sebaliknya, secara

subjektif berarti individu menentukan sendiri apakah dirinya menderita penyakit

berdasarkan perasaan dan penilaian sendiri. Pendapat/kepercayaan ini dapat sesuai

dengan realitas, tetapi dapat pula berbeda dengan realitas. Pendapat subjektif

inilah yang justru merupakan kunci dilakukannya (atau dihindarinya) suatu

tindakan kesehatan. Artinya, individu itu akan melakukan suatu tindakan untuk

penyembuhan penyakitnya jika dia benar-benar merasa terancam oleh penyakit

tersebut. Sebaliknya, jika tidak, dia tidak akan melakukan tindakan apa-apa

(Sarwono, 1993:66--67).

Dalam kaitan penelitian ini, model kepercayaan kesehatan (health belief

model) digunakan untuk mengkaji lebih jauh tindakan kesehatan yang dilakukan

oleh keluarga penderita terhadap salah seorang anggota keluarganya yang

mengalami gangguan jiwa untuk mencapai kesembuhan. Dalam hal ini keluarga

Page 33: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

52

berusaha untuk menghilangkan segala sesuatu yang menyebabkan anggota

keluarganya mengalami gangguan, sehingga tidak dapat memenuhi tugas dan

kewajibannya di masyarakat. Artinya, dengan segala daya upaya keluarga

berusaha untuk menyembuhkan sakit anggota keluarganya terlebih dahulu.

Selanjutnya mencari orang yang dipercaya mengetahui penyebab (etiologi)

penyakit tersebut. Dalam proses ini mula-mula diusahakan mengobati atau

menghilangkan sakit dengan cara yang dilakukan oleh keluarga sendiri. Jika tidak

berhasil barulah mereka (keluarga) mendatangi siapa saja yang mampu

menghilangkan sakit yang diderita anggota keluarganya. Dalam proses panjang

perjalanan pengobatan gangguan jiwa tersebut, jika anggota keluarga mereka yang

mengalami sakit menunjukkan kemajuan/kesembuhan, terlepas dari apakah cara

yang dilakukan itu rasional atau tidak, mereka akan menerimanya dengan penuh

kepercayaan tentang tindakan kesehatan yang dijalankan terhadap anggota

keluarganya.

Page 34: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

53

2.4 Model Penelitian

Gambar 2.1 Model Penelitian

Keterangan:

: Hubungan korelasi

: Hubungan satu arah

: Tujuan akhir

Bayang-Bayang Stigmaterhadap Penderita

Gangguan Jiwa

Etiologi (Penyebab)Gangguan Jiwa secara

Naturalistik:(trauma, stressor psikososial:

konflik klrga & pengangguran,kelemahan mental)

Etiologi (Penyebab)Gangguan Jiwa secara

Personalistik:(kelinggihan/kepongor,

leak/leyak, desti,papasangan, bebahi/bebai)

Lokalitas

Kondisi sosial budaya Bali

Bentuk stigmapenderita gangguan

jiwa

Faktor yang memengaruhiterjadinya stigma penderita

gangguan jiwa

Implikasi stigmagangguan jiwa

terhadap penderita &keluarga penderita

- Kedamaian dan penderita gangguan

jiwa tanpa stigma (destigmatisasi),

- Kualitas hidup yang lebih baik

Negara

Aturandan

Kebijakan

Globalisasi

Kondisi sosial budaya global

Page 35: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

54

Penjelasan Model

Gambar 2.1 menjelaskan bahwa penelitian ini mengkaji fenomena

perjalanan panjang penderita gangguan jiwa di bawah bayang-bayang stigma.

Aspek-aspek yang dipahami berkaitan dengan bentuk-bentuk stigma gangguan

jiwa, faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya stigma terhadap penderita

gangguan jiwa, dan implikasi stigma gangguan jiwa terhadap penderita dan

keluarga penderita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami

kenyataan-kenyataan faktual dalam konteks stigma pada penderita gangguan jiwa

yang mendapat perawatan (rawat inap dan rawat jalan) di RSJ Pusat Bangli.

Selanjutnya, globalisasi, negara, dan lokalitas Bali memiliki hubungan

yang saling terkait dan sekaligus merupakan faktor-faktor yang sangat

berpengaruh terhadap stigma sosial pada penderita gangguan jiwa. Pertama,

globalisasi. Proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi informasi

memberikan dampak terhadap nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat.

Sementara tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama untuk

menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan tersebut. Akibatnya, saat ini

gangguan jiwa telah menjadi masalah kesehatan global. Gangguan jiwa yang

terjadi di era globalisasi dan persaingan bebas dewasa ini cenderung meningkat.

Gangguan jiwa dalam hal ini diakibatkan oleh kelemahan mental dan spiritual,

stressor psikososial dalam peristiwa kehidupan yang penuh dengan tekanan,

seperti konflik keluarga, kehilangan orang yang dicintai, putusnya hubungan

sosial, pengangguran, masalah dalam pernikahan, kesulitan ekonomi, tekanan di

Page 36: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

55

pekerjaan yang semuanya meningkatkan risiko penderita gangguan jiwa. Ekses ini

merupakan konsekuensi logis dari paradigma modernisme yang terlalu bersifat

materialistik dan mekanistik di samping unsur nilai-nilai normatif yang terabaikan

hingga melahirkan problem-problem kejiwaan yang variatif. Keadaan ini

diperparah oleh adanya stigma yang dialami si penderita. Berbagai istilah

ditemukan di masyarakat dan digunakan dalam pemberitaan media massa,

misalnya orang gila, sakit gila, dan sakit jiwa. Stigma merupakan konsep

multikomponen yang melibatkan proses labeling, stereotyping, dan pengucilan

secara sosial, kehilangan status, diskriminasi. Semua hal itu berperan dalam

kekuatan yang berbeda-beda antara pemberi stigma dan kelompok yang terstigma.

Kedua, negara. Intervensi negara biasanya melakukan praktik kekuasaan

melalui aturan-aturan dan kebijakan-kebijakan sebagai tempat lahirnya keputusan-

keputusan besar. Wacana yang diproduksi oleh negara melalui peraturan dan

kebijakan (baik undang-undang tentang kesehatan jiwa maupun peraturan dan

keputusan menteri terkait dengan upaya-upaya kesehatan jiwa) serta lembaga-

lembaga pemerintah dan swasta dengan ideologi negara. Namun, dalam

pelaksanaannya, hingga saat ini sistem perundang-undangan yang berlaku belum

cukup banyak membantu dalam hal peningkatan upaya layanan kesehatan jiwa. Di

samping itu, dirasakan kurang dapat melindungi penderita gangguan jiwa.

Semetara itu negara (melalui para ahli kesehatan jiwa) menciptakan kategori-

kategori dan definisi-definisi/istilah-istilah gangguan jiwa beserta cara-cara

penanganannya. Melalui definisi dan kategori itu para ahli jiwa merasa berhak

Page 37: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

56

menentukan mana orang gila dan mana yang waras, siapa yang sehat dan siapa

yang sakit, serta apa yang normal dan apa yang abnormal. Pada gilirannya para

ahli jiwa juga akan mengintroduksi mekanisme-mekanisme tertentu dan berbeda

tentang bagaimana seharusnya memperlakukan penderita gangguan jiwa.

Demikian juga kategori-kategori abnormalitas dan menyimpang merupakan

konstruksi sosial yang telah menjadi mitos. Sebuah mitos rasionalitas dibangun

oleh aparat-aparat kemajuan, rezim pengetahuan, dan modernisme.

Ketiga, lokalitas (kondisi sosial budaya Bali). Kepercayaan masyarakat

Bali terhadap etiologi (penyebab) gangguan jiwa secara personalistik (niskala)

masih melekat kuat, antara lain disebabkan oleh kelinggihan/kepangor, leak

(leyak), desti, papasangan, bebahi/bebai. Hal itu juga berpengaruh besar terhadap

terjadinya stigma sosial pada penderita gangguan jiwa. Masyarakat Bali percaya

bahwa keadaan sakit tersebut dipandang sebagai sebab adanya campur tangan

agen (perantara), seperti makhluk halus, jin, setan, atau roh-roh tertentu. Hal ini

menjadi landasan yang digunakan untuk menjelaskan sebab terjadinya

abnormalitas pada pola perilaku manusia yang dikaitkan dengan pengaruh

supranatural atau hal-hal gaib. Implikasinya penderita gangguan jiwa tidak dibawa

berobat ke dokter (psikiater), tetapi disembunyikan. Kalaupun akan dibawa

berobat, mereka tidak dibawa ke dokter, tetapi dibawa ke “orang pintar/dukun”

(balian).

Persoalan kesehatan mental merupakan masalah yang kompleks, artinya

tidak hanya berkaitan dengan profesional kesehatan jiwa, pasien, dan keluarga,

Page 38: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

57

tetapi juga menyangkut masalah masyarakat yang lebih luas, terutama masalah

stigma dan perlindungan terhadap harkat dan martabat mereka. Pandangan bahwa

gangguan jiwa adalah sebuah penyakit yang tidak dapat disembuhkan tidak hanya

mendominasi di antara kalangan profesional di bidang kesehatan mental.

Pandangan serupa juga telah terbentuk sebagai sikap komunitas terhadap

penderita gangguan jiwa. Hal ini telah membentuk stigma dan konstruksi

pemahaman sosial mengenai apa yang dimaksud dan makna gangguan jiwa.

Pada akhirnya peningkatan kemandirian dan produktivitas para penderita

gangguan jiwa (pemberdayaan penderita) dipandang sangat penting dan

diharapkan dapat berpengaruh terhadap stigma pasien gangguan jiwa yang selama

ini ada di masyarakat. Di samping itu, juga sekaligus diharapkan dapat

mengurangi bayang-bayang stigma masyarakat terhadap gangguan jiwa. Pada

gilirannya juga diharapkan tercapainya kedamaian dan penderita gangguan jiwa

tanpa stigma (destigmatisasi) dalam rangka mewujudkan kualitas hidup yang

lebih baik.

Page 39: udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan ... itu, kajian yang ada tersebut dapat

20