udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali...
Transcript of udul “Hubungan Stigma tan Kembali Pasien Skizofrenia” · Keluarga dengan Perawatan Kembali...
20
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Ada beberapa sumber pustaka yang telah memberikan insipirasi dan
wawasan terhadap aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologis terhadap kajian
ini, yang ditelusuri dari beberapa pustaka, baik berupa teks, hasil-hasil penelitian,
maupun tulisan-tulisan yang dimuat dalam berbagai jurnal ilmiah. Berdasarkan
penelurusan sumber-sumber pustaka yang ada diharapkan akan diperoleh
informasi, inspirasi, ide-ide, konsep-konsep, serta berbagai hal terkait dengan
penelitian. Atas dasar hal tersebut pula akan terlihat perbedaan penelitian ini
dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Pada bagian ini dibahas beberapa
referensi dan penelitian yang relevan, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dengan penelitian ini.
Sulasmi (2013) mengadakan penelitian berjudul “Hubungan Stigma
Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia”. Penelitian itu dilakukan
di RSJ Pusat Bangli. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa perawatan
kembali pasien skizofrenia dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain
ketidakpatuhan minum obat, stigma keluarga, gejala yang berulang, peristiwa
kehidupan yang menimbulkan stres, kerentanan terhadap stres, ekspresi keluarga
yang tinggi, dan kurangnya dukungan keluarga dalam penatalaksanaan penyakit
21
gangguan jiwa yang dialami pasien. Disebutkan pula bahwa adanya stigma pada
keluarga mempunyai peranan pada pasien skizofrenia mengalami perawatan
kembali. Di samping itu, peranan keluarga yang kurang dalam merawat pasien
juga memengaruhi pasien untuk perawatan kembali. Ditekankan bahwa keluarga
perlu memahami cara perawatan pasien saat di rumah. Peningkatan kemampuan
keluarga pasien dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan saat keluarga
datang ke RSJ. Selain itu, juga dapat dilakukan dengan home visit saat pasien di
rumah. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara
stigma keluarga dan perawatan kembali pasien skizofrenia. Atas dasar hal tersebut
pihak RSJ diharapkan memberikan pendidikan kesehatan secara rutin untuk
mengurangi stigma keluarga terhadap pasien dan melakukan kunjungan rumah
secara rutin. Dalam kajiannya home visit dinilai sangat membantu keluarga dalam
merawat pasien dan memberikan informasi yang benar kepada masyarakat sekitar
tentang penyakit skizofrenia. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini mampu
membuka wawasan untuk melakukan penelitian yang lebih komprehensif dan
memperluas wawasan terutama terkait dengan masalah stigma dalam perawatan
kembali pasien ke RSJ.
Selanjutnya hasil penelitian Sipahutar dan Paramita (2011) dengan judul
“Dukungan Keluarga dan Keberfungsian Sosial pada Klien Skizofrenia”.
Penelitian yang dilakukan di RSJ Pusat Bangli ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara dukungan keluarga dan keberfungsian sosial klien gangguan jiwa
skizofrenia dengan teknik analisis data deskriptif kuantitatif. Menurut mereka,
22
keberfungsian sosial klien skizofrenia pascaperawatan juga dapat ditingkatkan
melalui program intervensi keluarga secara terstruktur dan dikoordinasikan dalam
model perawatan yang menyeluruh agar lebih efektif sehingga membantu klien
meraih penyesuaian sosial yang maksimal. Gangguan keberfungsian sosial selalu
dialami oleh pasien yang dapat menyebabkan kesulitan dalam memenuhi tuntutan
sosial dan mengakibatkan perubahan pada kemampuan sosial. Kenyataan tersebut
ditandai dengan perilaku yang tidak berorientasi pada kenyataan, adanya
pemikiran atau ide yang kaku dan tidak adaptif, serta ketidakmampuan dalam
pergaulan sosial. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ikatan keluarga
yang kuat sangat membantu ketika keluarga menghadapi masalah. Hal itu penting
karena anggota keluarga yang sakit sangat membutuhkan dukungan dari anggota
keluarga yang lain.
Lebih jauh ditekankan bahwa pemberian dukungan tersebut dapat
mengembalikan kepercayaan diri pasien sehingga memiliki kemampuan untuk
bersosialisasi dengan orang lain dan mengembangkan kemampuannya dalam
menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari serta dapat berfungsi sosial.
Sebaliknya, jika keterampilan sosial (social skill) pasien mengalami gangguan,
secara langsung akan berimplikasi pada keberfungsian sosial klien di masyarakat.
Salah satu di antaranya disebabkan oleh masih ada kurangnya kemauan klien
untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Di samping itu, setelah perawatan di
RSJ, klien kurang mendapatkan pelatihan dan keterampilan kerja (social skill
training yang berupa home visit). Dengan demikian, klien belum mampu
23
bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini juga
didukung oleh adanya stigma di masyarakat bahwa klien skizofrenia masih
dianggap berbahaya sehingga cenderung kurang diterima oleh masyarakat. Hasil
kajian Sipahutar dan Paramita ini jelas memfokuskan perhatiannya pada hubungan
antara dukungan keluarga dan keberfungsian sosial klien gangguan jiwa
skizofrenia. Namun, tidak sampai pada penjelasan dan pencarian lebih dalam
terkait dengan adanya stigma yang selalu melekat pada diri pasien. Oleh karena
itu, kajian yang ada tersebut dapat dijadikan pedoman dalam menentukan arah
penelitian dan sekaligus dapat memperlihatkan orisinalitas penelitian.
Hasil penelitian lain dilakukan oleh Sumantriani (2013) dalam tulisan
berjudul “Hubungan Stigma Keluarga dengan Penerimaan Keluarga terhadap
Klien Skizofrenia” di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. Hasil penelitian itu
menunjukkan bahwa stigma yang diciptakan oleh keluarga dan masyarakat
terhadap penderita gangguan jiwa secara tidak langsung menyebabkan keluarga
atau masyarakat di sekitar penderita gangguan jiwa enggan untuk memberikan
penanganan yang tepat terhadap keluarga atau tetangga mereka yang mengalami
gangguan jiwa. Dengan demikian, tidak jarang mengakibatkan penderita
gangguan jiwa yang tidak tertangani dengan baik melakukan perilaku kekerasan
atau tindakan tidak terkontrol yang meresahkan keluarga, masyarakat, dan
lingkungan. Lebih jauh peneliti menyoroti pentingnya tugas dan fungsi keluarga
dalam pemahaman proses-proses penyembuhan pasien gangguan jiwa,
kebersediaan keluarga dalam menerima apa yang sedang dialami oleh penderita,
24
serta bagaimana kondisi kesehatan penderita dapat dipertahankan. Dari hasil
penelitian itu juga disebutkan bahwa masyarakat memiliki peran penting dalam
memberikan dukungan kepada penderita skizofrenia supaya mereka bisa
bersosialisasi dengan baik dan dapat membantu meringankan bebannya. Di
samping itu, juga agar masyarakat tidak memberikan status gila untuk penderita
yang bisa memperparah keadaan penderita karena merasa dikucilkan. Jenis
penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif korelasional yang lebih
memfokuskan kajian pada hubungan stigma keluarga dengan penerimaan keluarga
terhadap pasien gangguan jiwa. Kajian ini sangat penting karena telah
memberikan inspirasi tentang konsep dan ruang lingkup penelitian. Selain itu,
juga sebagai pembuka wawasan dan cakrawala berpikir untuk melakukan
penelitian ini.
Lieberman dan Kopelowicz (2002) dalam kajiannya “Recovery from
Schizophrenia: A Challenge for 21 Century” menyoroti gerakan pemberdayaan
bekas penderita gangguan jiwa tidak hanya bergerak di bidang praktis, tetapi juga
berusaha untuk mengubah teori-teori ilmiah mengenai gangguan mental, terutama
pandangan pesimistis bahwa schizophrenia tidak dapat disembuhkan. Sejumlah
bekas pasien memulai untuk menuliskan pengalaman pribadi dan memublikasikan
pengalaman langsung dari tangan pertama para konsumen yang telah sembuh.
Pengalaman-pengalaman tersebut telah menjadi fondasi bagi gerakan pelayanan
kesehatan mental yang berorientasi pada kesembuhan (recovery movement) di
Amerika, memunculkan pentingnya keluar dari anggapan umum, pandangan
25
semu, dan generalisasi yang sempit dan bergerak menuju kenyataan empiris yang
didukung oleh validasi sebuah konsep operasional mengenai kesembuhan. Kajian
ini juga mengkritisi kriteria medis modern bahwa kesembuhan merupakan hal
yang tidak mungkin. Hal tersebut hanyalah mitos belaka. Pandangan medis
modern sering kali dikritik sebagai hal yang terlalu memfokuskan diri pada
penyakit di samping menerapkan kriteria reduksi biologis yang kontradiktif
dengan model konsumen, yaitu person-centered focus. Penelitian ini memperluas
wawasan, yaitu hasil kajian Lieberman dan Kopelowics lebih memfokuskan
perhatian pada aspek pemberdayaan penderita gangguan jiwa dalam konteks
globalisasi, tetapi tidak menyentuh pergulatan globalisasi, negara, dan unsur
lokalitas (budaya lokal) dalam melihat masalah stigma.
Hasil penelitian lain dilakukan oleh Amresh Shrivastava dan Megan E.
Johnston (2011) dalam tulisan yang berjudul “Origin and Impact of Stigma and
Discrimination in Schizophrenia - Patients Perception: Mumbai Study”. Amresh
Shrivastava dan Megan E. Johnston memfokuskan penelitian pada stigma dan
diskriminasi yang dihadapi oleh para pasien gangguan jiwa (skizofrenia). Hal itu
merupakan hambatan yang paling penting dalam mengakses perawatan dan dapat
mengakibatkan keterlambatan penanganan pengobatan yang relatif lama.
Menurutnya, stigma bersifat universal, tetapi sifat, sumber, dan dampak stigma
bervariasi dalam aspek lintas budaya dan daerah. Dengan demikian, menurut
Amresh Shrivastava dan Megan E. Johnston, intervensi harus spesifik. Penelitian
ini juga menilai persepsi pasien gangguan jiwa mengenai stigma dan diskriminasi
26
yang dihadapi dalam kehidupan mereka. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa
stigma dan diskriminasi terkait dengan gangguan jiwa memiliki dampak yang
signifikan terhadap kehidupan individu-individu tersebut. Dari perspektif pasien,
kurangnya pengetahuan, sifat penyakit itu sendiri, dan gejala perilaku dipandang
sebagai alasan utama terjadinya stigma dan diskriminasi. Kajian ini juga
menemukan efek umum stigma, yakni harga diri yang rendah dan diskriminasi
dalam pengaturan keluarga dan pekerjaan. Upaya memberikan perawatan dan
pengobatan diidentifikasi sebagai metode yang paling umum untuk memerangi
stigma. Di samping itu, stigma yang terkait dengan gangguan jiwa skizofrenia
merupakan tantangan untuk perawatan kesehatan mental yang efektif. Upaya
meminimalkan stigma melalui program antistigma dan program psiko-pendidikan
merupakan hal penting dalam upaya intervensi dini mengurangi stigma. Kajian ini
penting dan sekaligus sebagai pembuka wawasan intelektual dan akademis untuk
melakukan penelitian ini karena memberikan inspirasi tentang konsep, teori,
metode, dan ruang lingkup penelitian.
Kajian lain tentang stigma dilakukan oleh Piotr Switaj dan Jacek Wciorka
(2012) dalam penelitian yang berjudul “Experiences of Stigma and Discrimination
Among Users of Mental Health Services in Poland”. Mereka meneliti
pengalaman stigma dan diskriminasi di kalangan pengguna layanan kesehatan
mental di Polandia. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa
stigmatisasi umumnya diakui sebagai salah satu hambatan yang utama
untuk proses pemulihan dan untuk inklusi sosial penderita gangguan jiwa.
27
Responden melaporkan pengalaman tentang seringnya terjadi stigmatisasi dalam
situasi sehari-hari dan hubungan interpersonal, tetapi mereka jarang mengeluh.
Hal ini merupakan contoh spesifik adanya diskriminasi. Adapun sumber yang
paling sering dilaporkan telah memberikan label stigma adalah anggota
masyarakat umum, para profesional kesehatan mental, penyedia layanan
kesehatan umum, perwakilan pemerintah/pejabat publik (para birokrat), dan pihak
media. Dalam kajian ini ditekankan bahwa pihak profesional di bidang perawatan
kesehatan merupakan sumber stigma yang potensial. Temuan kajian ini juga
menggarisbawahi kebutuhan untuk memberikan perhatian ataupun fokus yang
lebih kepada orang-orang dengan masalah gangguan jiwa melalui cara-cara
program mengatasi stigma. Kajian ini memberikan wawasan dan inspirasi secara
lebih terperinci tentang peran semua kelompok yang disebutkan di atas dalam
proses stigmatisasi. Selain itu, hasil pemikiran kajian ini dapat dijadikan pedoman
dalam menentukan arah penelitian agar dapat memperlihatkan orisinalitas.
Hasil penelitian lain dilakukan oleh Angermeyer dan Matschinger (2003)
dalam tulisan berjudul “The Stigma of Mental Illness: Effects of Labelling on
Public Attitudes Towards People with Mental Disorder”. Mereka melakukan
penelitian dengan tujuan untuk menguji dampak label pada sikap masyarakat
terhadap orang dengan gangguan jiwa skizofrenia. Mereka melakukan survei
yang melibatkan orang dewasa berkebangsaan Jerman. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemberian label pada orang dengan gangguan jiwa sebagai
penyakit mental kronis memiliki dampak/efek negatif pada sikap publik terhadap
28
penderita gangguan skizofrenia tersebut. Hal ini merupakan bentuk stereotype
yang berbahaya karena memiliki efek negatif yang kuat. Artinya, orang (publik)
bereaksi secara emosional kepada seseorang dengan gangguan jiwa skizofrenia
dan berimplikasi pada peningkatkan status jarak sosial. Sebaliknya, seseorang
dengan penilaian ataupun mengamati gangguan jiwa skizofrenia merupakan
kondisi untuk meminta pertolongan atau membutuhkan bantuan. Hal itu akan
membangkitkan perasaan psikologis yang campur aduk dan memengaruhi
keinginan masyarakat untuk menjaga jarak sosial, baik secara positif maupun
negatif. Kajian ini sangat membantu memberikan inspirasi tentang konsep, teori,
dan ruang lingkup penelitian. Di samping itu, pemikirannya dapat dijadikan
pedoman dalam menentukan arah penelitian ini agar dapat memperlihatkan
orisinalitas.
Kajian dan pengakuan nyata yang ditulis oleh Isvandiary (2004) dalam
tulisan yang berjudul “Ratu Adil: Memoar Seorang Schizophrenia” juga
memberikan inspirasi dan pembuka wawasan dalam kajian ini. Buku ini mirip
dengan beberapa artikel atau buku yang ditulis oleh para konsumen di Amerika
yang menggambarkan pengalaman-pengalaman ketika menjadi pasien gangguan
jiwa (schizophrenia). Perbedaannya adalah bahwa tulisan para konsumen di
Amerika pada umumnya bertujuan untuk mengubah atau memperbaiki sistem
kesehatan jiwa, tetapi buku Isvandiary ini lebih banyak merupakan dokumentasi
pengalaman pribadi penulis yang pernah mendapat diagnosis sebagai penderita
skizofrenia. Di situ digambarkan bagaimana proses penulis mengalami gangguan
29
jiwa, yang diawali dengan persoalan keluarga, yaitu dia mendapat perlakuan yang
tidak semestinya dari suaminya, yang berujung pada perceraian. Bagian yang
paling banyak dibahas dalam buku tersebut adalah mengenai berbagai pengalaman
penulis ketika mengalami skizofrenia. Bagaimana dia merasa dirinya sebagai ratu
adil, sebuah mitologi dalam masyarakat Jawa yang mirip dengan ide Mesiahisme,
yaitu tokoh yang akan menyelamatkan masyarakat Jawa dari berbagai persoalan.
Selanjutnya penulis merasa bertemu dengan malaikat, tokoh-tokoh spiritual
seperti Budha atau tokoh film serial TV dari Cina, yaitu Sun Go Kong. Buku ini
sama sekali tidak menyentuh isu bagaimana pelayanan dan sikap dokter yang
diberikan ketika dia menjalani perawatan di beberapa rumah sakit jiwa. Akan
tetapi, kajian tersebut sangat bermanfaat dalam menambah wawasan dan inspirasi
untuk membantu pemahaman tentang konsep-konsep dan hal lainnya terkait
dengan masalah stigma.
Mantan penderita skizofrenia lain yang menulis beberapa buku yang
menjadi sumber inspirasi penelitian ini adalah Bachril Hidayat Lubis. Buku
pertama berjudul Aku Sadar Aku Gila (Lubis, 2007). Buku ini menggambarkan
proses kesembuhan penulis dari gangguan jiwa skizofrenia yang dideritanya.
Sebagai seorang yang mendapat pendidikan tinggi di bidang psikologi dan latar
belakang agama yang kuat, proses kesembuhan penulis merupakan perjuangan
pribadi yang panjang. Dia menerapkan banyak prinsip dan nilai Islami yang
dipadu dengan teknik-teknik psikologi, misalnya semangat kesembuhannya itu
30
sendiri dialami setelah dia merenungkan isi Alquran surah ar-Rahman dalam salat
Jumat pada tahun 2004.
Baik Isvandiary maupun Bachril Hidayat Lubis, berusaha memberikan
gambaran mengenai gangguan jiwa skizofrenia yang diderita. Kalau Isvandiary
lebih banyak terfokus pada pengalaman skizofrenianya yang penuh dengan delusi
dan halusinasi yang unik dan menarik sehingga mirip sebagai sebuah novel.
Sementara itu buku Bachril Hidayat Lubis lebih merupakan sebuah refleksi dan
renungan-renungan penulis dalam proses kesembuhan gangguan skizofrenia.
Kemungkinan perbedaan itu selain karena latar belakang pendidikan yang
berbeda, juga sifat gangguan skizofrenia. Isvandiary mengalami gangguan
skizofrenia murni karena faktor psikologis, sedangkan Bachril Hidayat Lubis
karena penyalahgunaan zat psikoaktif. Berdasarkan pengalamannya Isvandiary
dan Bachril Hidayat Lubis memberikan inspirasi penting dalam penelitian ini,
terutama tentang perjuangan tanpa henti penderita gangguan jiwa untuk
memperoleh kesembuhan dan hidup tanpa stigma (destigmatisasi).
Perbedaan mendasar antara penelitian terdahulu dan penelitian disertasi ini
terlihat dari setting atau lokasi penelitian, fokus masalah, landasan teori, dan
pendekatannya. Di samping untuk melengkapi studi-studi terdahulu, kajian ini
juga diharapkan dapat membawa implikasi-implikasi teoretik bagi rimba belantara
kajian budaya.
31
2.2 Konsep
Judul penelitian ini sebagaimana tertera di depan merupakan suatu
ungkapan frasa yang mengandung beberapa istilah yang perlu dikonsepsikan
untuk memberikan arah penelitian. Adapun istilah-istilah tersebut adalah sebagai
berikut.
2.2.1 Stigma
Stigma adalah suatu usaha untuk label tertentu sebagai sekelompok orang
yang kurang patut dihormati daripada yang lain (Sane Research, 2009:1--2).
Dalam kaitannya dengan penderita gangguan jiwa skizofrenia, stigma merupakan
sikap keluarga dan masyarakat yang menganggap bahwa bila salah seorang
anggota keluarga menderita skizofrenia, hal ini merupakan aib bagi keluarga.
Selama bertahun-tahun, banyak bentuk diskriminasi secara bertahap turun-
temurun dalam masyarakat kita. Penyakit mental masih menghasilkan
kesalahpahaman, prasangka, kebingungan, dan ketakutan. Masyarakat masih
mengganggap bahwa gangguan jiwa merupakan aib, baik bagi penderitanya
maupun keluarganya. Selain itu, gangguan jiwa juga dianggap penyakit yang
disebabkan oleh hal-hal supranatural oleh sebagian masyarakat. Sebagai
konsekuensi kepercayaan tersebut, banyak pasien Skizofrenia tidak dibawa
berobat ke dokter (psikiater), tetapi disembunyikan. Kalaupun akan dibawa
berobat, mereka tidak dibawa ke dokter, tetapi dibawa ke “orang pintar” (Hawari,
2007:121--122). Menurut Beigel, stigma terhadap gangguan jiwa bersifat hampir
universal, artinya terlihat pada semua lapisan masyarakat, baik pada pihak
32
penentu kebijakan, perorangan, maupun pada masyarakat keseluruhan
(Bahar, 1999:8).
Menurut Sane Research (2009) melalui web http://www.sane.org,
pemahaman konsep stigma masih tersebar luas di Australia. Ini adalah sistemik
dan dapat dilihat dalam tujuh area yang luas, yaitu (a) politik, (b) alokasi dana, (c)
perencanaan dan pemberian pelayanan, (d) professional, (e) legislatif, (f) media,
dan (g) komunitas. Layanan kesehatan mental menerima sedikit perhatian politik
dibandingkan dengan isu-isu lain. Di samping itu, bukan merupakan wilayah
prioritas walaupun berdampak besar pada kehidupan masyarakat. Terkait dengan
alokasi dana, Australia's menghabiskan sekitar 8% dari anggaran kesehatan pada
pelayanan kesehatan mental. Di negara-negara OECD (Organization for
Economic Cooperation and Development) sebanding, proporsinya adalah 12%
atau lebih. Kekurangan ini memiliki efek drastis pada kapasitas layanan.
Pendanaan penelitian di daerah juga tidak memadai. Dilihat dari perencanaan dan
pemberian pelayanan, walaupun dengan niat baik, pengambilan keputusan
nasional pada layanan kesehatan mental tidak terkoordinasi dengan baik. Artinya,
bidang kesehatan lain sering diberikan prioritas lebih tinggi.
Terkait dengan profesional, profesional kesehatan mental terfokus pada
kegiatan merawat orang-orang ketika sakit akut, sering mengabaikan kebutuhan
untuk pemulihan yang berfokus pada rehabilitasi, serta dukungan bagi keluarga
dan pengasuh lainnya. Di samping itu, juga beberapa memperlakukan penderita
33
penyakit mental dan keluarga mereka dengan cara yang tidak sopan. Di pihak lain
legislatif The Disability Discrimination Act 1992 tidak melindungi penderita
penyakit mental atau cacat lainnya dari fitnah. Hali itu terjadi karena melindungi
kelompok-kelompok dalam masyarakat, misalnya berdasarkan agama ataupun ras.
Ditinjau dari media meskipun ada perbaikan, beberapa media bertahan dalam
mempromosikan stereotip orang sakit mental sebagai kekerasan, tidak kompeten,
atau objek ejekan. Apabila dilihat dari komunitas, tampak bahwa tiga perempat
(75%) dari orang-orang penderita penyakit mental merasa bahwa mereka secara
pribadi telah mengalami stigma. Dalam hal ini, termasuk sikap pemerintah,
pekerja di bidang kesehatan, di media, dan masyarakat umum. Keadaan di
Indonesia tidak jauh berbeda dengan keadaan di Australia tersebut. Orang yang
mengalami gangguan jiwa diperlakukan secara tidak pantas. Kalau dilihat dari
pelayanan kesehatan kita, tampak bahwa bangsal-bangsal yang ada di rumah sakit
umum, banyak yang belum menyediakan bangsal jiwa. Hal ini menunjukkan
bahwa bukan hanya masyarakat awam yang melakukan diskriminasi terhadap
penderita gangguan jiwa, melainkan para profesional kesehatan pun secara tidak
sadar melakukan stigmatisasi terhadap penderita gangguan jiwa.
2.2.2 Stigmatisasi Sosial
Stigmatisasi sosial adalah proses, yaitu satu kondisi atau aspek dari
seseorang dihubungkan secara luas dengan indentitas orang tersebut. Kondisi
34
yang ada tersebut merupakan penghalang utama untuk mencegah orang mencari
bantuan. Banyak orang yang hidup dengan gangguan jiwa mengatakan bahwa
stigma yang dihadapi sering kali lebih buruk daripada gangguan jiwa yang
dialaminya (Mansoury & Dowell, 1989:79--91). Panyakit gangguan jiwa sangat
kuat memengaruhi persepsi orang-orang dari segala usia dan semua lapisan
masyarakat. Hal ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk gangguan jiwa termasuk
depresi, kecemasan, dan skizofrenia.
2.2.3 Gangguan Jiwa
Konsep gangguan jiwa dari the Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder (DSM-IV) yang merupakan rujukan dari PPDGJ-III (Direktorat
Kesehatan Jiwa Depkes RI, 1993:7) menyatakan sebagai berikut.
“Mental disorder is conceptualized as clinically significant behavioral orpsychological syndrome or pattern that occurs in an individual and that isassociated with present distress (eg., a painful symptom) or disability (ie.,impairment in one or more important areas of functioning) or with asignificant increased risk of suffering death, pain, disability, or onimportant loss of freedom”.
Artinya, gangguan jiwa dikonseptualisasikan secara klinis sebagai sindrom
psikologis atau pola perilaku yang terdapat pada seorang individu dan
diasosiasikan dengan distres (misalnya gejala yang menyakitkan) atau disabilitas
(yakni hendaya di dalam satu wilayah fungsi yang penting atau lebih) atau
diasosiasikan dengan risiko mengalami kematian, penderitaan, disabilitas, atau
kehilangan kebebasan diri yang penting sifatnya, yang meningkat secara
signifikan.
35
Dalam uraian tentang pengertian gangguan jiwa ada beberapa pendapat
ahli psikologi, di antaranya salah satu definisi gangguan jiwa dikemukakan oleh
Frederick H. Kanfer dan Arnold P. Goldstein. Menurut kedua ahli tersebut,
gangguan jiwa adalah kesulitan yang harus dihadapi oleh seseorang karena
hubungannya dengan orang lain, kesulitan karena persepsinya tentang kehidupan
dan sikapnya terhadap diri sendiri (Ancok, 2001:9). Sementara itu menurut
Suliswati, gangguan jiwa adalah perubahan perilaku yang terjadi tanpa alasan
yang masuk akal, berlebihan, berlangsung lama, dan menyebabkan kendala
terhadap individu atau orang lain (Suliswati, 2005:3).
Ciri-ciri orang yang mengalami gangguan jiwa menurut Kanfer dan
Goldstein adalah sebagai berikut: Pertama, hadirnya perasaan cemas (anxiety) dan
perasaan tegang (tension) di dalam diri. Kedua, merasa tidak puas (dalam arti
negatif) terhadap perilaku diri sendiri. Ketiga, perhatian yang berlebihan terhadap
problem yang dihadapinya. Keempat, ketidakmampuan untuk berfungsi secara
efektif di dalam menghadapi problem. Kadang-kadang ciri tersebut tidak
dirasakan oleh penderita, tetapi yang merasakan akibat perilaku penderita adalah
masyarakat di sekitarnya. Artinya, orang di sekitarnya merasa bahwa perilaku
yang dilakukan adalah merugikan diri penderita, tidak efektif, dan merusak
dirinya sendiri. Dalam kasus seperti itu sering kali terjadi orang-orang merasa
terganggu dengan perilaku penderita (Suliswati, 2005:91).
Gangguan jiwa merupakan penyakit yang dialami oleh seseorang yang
memengaruhi emosi, pikiran, atau tingkah laku mereka, di luar kepercayaan
36
budaya dan kepribadian mereka, dan menimbulkan efek yang negatif bagi
kehidupan mereka atau kehidupan keluarga mereka (Maramis, 2005:3). Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa gejala-gejala gangguan jiwa ialah hasil interaksi
yang kompleks antara unsur somatik, psikologik, dan sosiobudaya. Gejala-gejala
inilah sebenarnya menandakan dekompensasi proses adaptasi, terutama pada
pemikiran, perasaan, dan perilaku (Maramis, 2005:93).
Menurut Brugha & Brewin (1993:218--224), tidak seperti penyakit fisik,
ketika sumber daya sosial dimobilisasi, orang dengan gangguan jiwa akan dihapus
dari dukungan-dukungan potensial. Hasil yang lebih buruk pada gangguan mental
kronis yang mungkin terjadi ketika jaringan sosial pasien dikurangi, bahkan
hilang. Berbagai elemen institusi dan masyarakat sibuk menciptakan kategori dan
definisi gangguan jiwa beserta cara-cara penanganannya. Melalui definisi dan
kategori itu mereka merasa berhak menentukan mana orang dengan gangguan
jiwa dan mana yang waras, siapa yang sehat dan siapa yang sakit, serta apa yang
normal dan apa yang abnormal. Pada gilirannya mereka mengintroduksi
mekanisme-mekanisme tertentu dan berbeda tentang bagaimana seharusnya
memperlakukan mereka.
Dari konsep tersebut dapat dirumuskan bahwa di dalam konsep gangguan
jiwa didapatkan butir-butir berikut. Pertama, adanya gejala klinis yang bermakna
berupa sindrom atau pola perilaku dan sindrom atau pola psikologik. Kedua,
gejala klinis tersebut menimbulkan “penderitaan” (distress), antara lain dapat
berupa rasa nyeri, tidak nyaman, tidak tenteram, dan disfungsi organ tubuh.
37
Ketiga, gejala klinis tersebut menimbulkan “disabilitas” (disability) dalam
aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri
dan kelangsungan hidup.
Lebih lanjut pandangan gangguan jiwa dari sudut pandang kebudayaan,
yaitu tingkah laku dan sikap seseorang dianggap normal dan abnormal akan
disesuaikan dengan sekeliling sosial (kebudayaan setempat) di mana dia hidup
dan bergerak. Sekarang ini sudut pandang kebudayaan mengalami kesamaran
terutama setelah dunia mengalami era global. Ada dua faktor yang mengalami
keadaan seperti itu. Pertama, dalam masyarakat atau pergaulan dunia pola-pola
kebudayaan selalu bersimpang siur dan bercampur aduk, harus disadari bahwa
adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, sikap-sikap yang dirasakan normal dalam suatu
kelompok kebudayaan tertentu mungkin dianggap abnormal dalam kelompok
kebudayaan yang lain. Kedua, apa yang dinamakan abnormal seabad atau
segenerasi yang lalu mungkin diterima dalam masyarakat dewasa ini (Baihaqi,
2005:16).
1.2.4 Stigma terhadap Gangguan Jiwa
Menurut Longhorn, stigma terhadap gangguan jiwa merupakan istilah
yang sebenarnya sukar didefinisikan secara khusus karena istilah tersebut meliputi
aspek yang luas, tetapi disepakati mengandung konotasi kemanusiaan yang
kurang. Istilah ini berarti suatu sikap jiwa yang muncul dalam masyarakat, yang
mengucilkan anggota masyarakat yang memiliki kelainan jiwa. Stigma dapat pula
diartikan sebagai keyakinan atau kepercayaan yang salah yang lebih sering
38
merupakan kabar angin yang diembuskan berdasarkan reaksi emosi untuk
mengucilkan dan menghukum mereka yang sebenarnya sangat banyak
membutuhkan atapun memerlukan pertolongan (Gunawan, 2013: 1).
Stigma gangguan jiwa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebuah
fenomena sosial tentang sikap masyarakat terhadap individu yang mengalami
gangguan jiwa dan menunjukkan abnormalitas pada pola perilakunya. Di samping
itu, juga dipandang memiliki identitas sosial yang menyimpang sehingga
membuat masyarakat tidak dapat menerima sepenuhnya. Akibatnya sikap
masyarakat menjadi cenderung mendiskreditkan dan diskriminatif.
2.2.5 Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali adalah rumah sakit jiwa satu-satunya di
Provinsi Bali yang memberikan pelayanan kesehatan jiwa yang didirikan pada
tahun 1933 di bawah pimpinan dr. K. Loedin. Walaupun prioritas pelayanan
rumah sakit jiwa adalah pasien dengan gangguan jiwa, juga dilengkapi dengan
pelayanan pendukung lain, seperti rehabilitasi narkoba, rehabilitasi mental,
fisioterapi, dan laboratorium. Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali adalah rumah sakit
milik pemerintah Provinsi Bali yang berlokasi di Kabupaten Bangli.
2.3 Landasan Teori
Ada beberapa teori terkait diaplikasikan secara eklektis dalam penelitian
ini. Secara garis besar, teori yang diaplikasikan adalah teori wacana, teori
dekonstruksi, dan teori hegemoni. Selain teori tersebut, digunakan pula orientasi
39
teori mengenai explanatory model (EM) dari Kleinman dan orientasi teori dari
Rosenstock yang mengembangkan model “kepercayaan kesehatan” (health belief
model) sebagai teori penunjang. Adapun gagasan-gagasan dan asumsi-asumsi
dasar teori tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
2.3.1 Teori Wacana
Wacana merupakan satu istilah keilmuan yang paling banyak cakupan
maknanya, yang digunakan dalam berbagai disiplin ilmu, antara lain linguistik
(kritis), psikologi, sosiologi, sastra, dan budaya. Wacana menunjuk pada
keseluruhan bidang sebagai praktik penggunaan bahasa yang disebut “teks”
(Aminuddin, 2002:1). Salah satu definisi yang paling luas dan relevan dengan
penelitian ini adalah definisi yang digunakan oleh Foucault, yaitu ‘the general
domain of all statements’; that is, all utterances or texts which have meaning and
which have some effects in the real world count as discourse’ (arena seluruh
pernyataan yang bersifat umum; yaitu berbagai bentuk ujaran atau teks yang
memiliki makna dan pengaruh dalam dunia realitas dipandang sebagai wacana).
Definisi yang komprehensif ini digunakan oleh Foucault ketika membahas wacana
pada level konsep teoretis. Definisi lainnya adalah ‘an individualizable groups of
statements’ (sekelompok pernyataan yang berdiri sendiri) yang memiliki
keteraturan, koherensi, dan kekuatan dalam struktur. Definisi ini digunakan
Foucault ketika membahas struktur-struktur tertentu dalam wacana (Mills,
1997:7).
40
Foucault (dalam Lubis, 2003:148) memperkenalkan istilah wacana dan
diskursus (discourse) mengandung makna yang sama. Wacana/diskursus adalah
keseluruhan bidang (domain) dengan menggunakan bahasa. Domain ini berakar
dalam praktik-praktik kehidupan, dalam lembaga-lembaga dan tindakan manusia
pada umumnya. Praktik diskursif diterima secara umum sehingga menjadi sulit
bagi seseorang untuk berpikir di luarnya karena mau tidak mau mereka bergerak
dalam kekuasaan dan wacana atau praktik diskursif yang diterima umum. Wacana
itu tidak statis karena mengalami perubahan dalam ruang dan waktu. Menurut
Barker (2005: 106), diskursus menyediakan cara-cara membincangkan suatu topik
tertentu, dengan motif atau ide, praktik-praktik, dan bentuk-bentuk pengetahuan
yang diulang-ulang di beberapa wilayah aktivitas.
Dalam hal diskursus dan pengetahuan, Foucault memandang kekuasaan
dan pengetahuan sangat erat terkait dalam hal yang disebut sebagai formasi
diskursif, yaitu sebuah kerangka kerja konseptual dan rasional yang
memungkinkan diterimanya beberapa modus pemikiran dan ditolaknya modus-
modus pemikiran lainnya. Diskursus merupakan sarana bagi suatu institusi untuk
meraih kekuasaan melalui proses definisi dan eksklusi atau formasi diskursif
tertentu, yang memiliki otoritas untuk mendefinisikan apa yang mungkin untuk
dikatakan orang tentang suatu topik. Suatu formasi diskursif terdiri atas
sekelompok aturan tak tertulis yang berusaha mengontrol apa yang dapat ditulis,
dipikirkan, dan dilakukan pada suatu bidang pembahasan tertentu (Storey,
2003:132--133).
41
Setiap pengetahuan memungkinkan untuk mengetahui dan menjamin
pelaksanaan kekuasaan. Pengetahuan tidak bersumber pada subjek, tetapi berada
dalam hubungan-hubungan kekuasaan. Kekuasaan menghasilkan pengetahuan,
kekuasaan dan pengetahuan saling terkait. Foucault (2002:9) melihat bahwa
diskursus merupakan cara menghasilkan pengetahuan, praktik sosial, bentuk
subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang mendasari
pengetahuan dan praktik sosial tersebut, yang masing-masing dan/atau semuanya
saling terkait. Dengan demikian, setiap wacana tidak bisa dipisahkan dari relasi
kekuasaan yang tersembunyi di baliknya yang merupakan produk dari praktik
kekuasaan.
Berdasarkan pemikiran Foucault, diketahui bahwa diskursus adalah
sesuatu yang menyatukan bahasa dan praktik, gagasan yang mengacu pada
produksi pengetahuan lewat bahasa yang memberikan makna pada praktik-praktik
sosial dan objek-objek material. Pengetahuan dan bahasa dibentuk secara
diskursif, mengonstruksi, mendefinisikan, dan memproduksi objek-objek
pengetahuan secara rasional sekaligus mengeksklusi (mengabaikan) “cara-cara
yang tidak masuk akal”. Sejalan dengan hal tersebut, wacana merujuk pada
komunikasi pikiran dengan kata-kata, ekspresi ide-ide atau gagasan-gagasan,
percakapan, kata, komunikasi secara umum, terutama sebagai suatu subjek studi
dan pokok telaah dalam risalah tulisan, disertasi formal, kuliah, ceramah, kotbah,
lisan atau tulisan yang pembahasannya merupakan hubungan antara kontek-
konteks yang terdapat dalam teks (Sobur, 2009:9--10).
42
Berdasarkan paparan di atas, dapat diketahui bahwa aplikasi teori wacana
dalam penelitian diarahkan pada analisis teks-teks yang dapat mengungkap
hegemoni kekuasaan. Relevansi teori wacana dalam hal ini tampak dari
kemunculan wacana dari berbagai sumber. Wacana yang diproduksi oleh negara
melalui peraturan dan kebijakan (baik undang-undang tentang kesehatan jiwa
maupun peraturan dan keputusan menteri terkait dengan upaya-upaya kesehatan
jiwa) serta lembaga-lembaga pemerintah dan swasta dengan ideologi negara.
Adapun produksi wacana yang bersumber dari lokalitas Bali adalah etiologi
(penyebab) gangguan jiwa secara personalistik. Sementara itu para ahli kesehatan
jiwa menciptakan kategori-kategori dan definisi-definisi/istilah-istilah gangguan
jiwa beserta cara-cara penanganannya. Melalui definisi dan kategori itu para ahli
jiwa merasa berhak menentukan mana orang gila dan mana yang waras, siapa
yang sehat dan siapa yang sakit, serta apa yang normal dan apa yang abnormal.
Pada gilirannya para ahli jiwa juga akan mengintroduksi mekanisme-
mekanisme tertentu dan berbeda tentang bagaimana seharusnya memperlakukan
penderita gangguan jiwa. Demikian juga kategori-kategori abnormalitas dan
menyimpang merupakan konstruksi sosial yang telah menjadi mitos. Sebuah
mitos rasionalitas yang dibangun oleh aparat-aparat kemajuan, rezim
pengetahuan, dan modernisme. Atas dasat itulah, teori wacana digunakan melihat
asumsi-asumsi itu dan kekuasaan (kuasa pengetahuan, kuasa institusi, kuasa
otoritas tertentu) di baliknya. Penggunaan teori ini juga bertujuan untuk
membongkar secara holistik wacana yang berkembang di masyarakat tentang
43
stigma yang dilihat dalam dimensi horizontal dan dimensi vertikal. Selanjutnya
mencari aktor-aktor yang memproduksi wacana serta bagaimana proses stigma
dan wacana tersebut berada dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini kita
dituntut memiliki sensitivitas dan kepekaan dalam melihat kenyataan, apakah
suatu konsep atau sistem pengetahuan tertentu lebih humanis dan emansipatoris
atau sebaliknya justru melakukan dehumanisasi.
2.3.2 Teori Dekonstruksi
Teori dekonstruksi Derrida menunjukkan sikap kritis yang menekankan
gagasan tentang keberagaman, yaitu realitas bersifat terbuka sehingga beragamnya
cara dan sudut pandang dalam membaca realitas secara logis akan menghasilkan
makna yang beragam pula (Lajar, 2005:163). Dekonstruksi berarti membongkar
dimensi-dimensi ideologi dan atau kekuasaan yang dominan dan hegemonik.
Pembongkaran dilakukan dalam rangka mengawali suatu permulaan baru tanpa
perlu melakukan penghancuran (destruction) elemen-elemen yang telah ada.
Tujuannya adalah untuk menemukan dan menelanjangi berbagai asumsi, strategi
retoris, dan ruang kosong teks (Barker, 2004:402--403).
Makna dilihat oleh Derrida bersifat sangat kontekstual, relatif, dan multi
interpretasi sehingga tidak dimungkinkan adanya konvensi ataupun konsensus
bersama di baliknya. Konsep difference Derrida menyiratkan sebuah relasi tanda
di dalam sebuah ruang interpretasi yang sangat terbuka, dinamis, dan produktif
tanpa pernah berhenti pada sebuah titik konsensus yang disebut makna atau
kebenaran akhir (Pilliang, 2004:222). Di sini terlihat bahwa dekonstruksi
44
memfokuskan diri pada pencarian makna baru melalui kebebasan penafsiran. Di
samping itu, dekonstruksi juga mencoba untuk menjadikan hal-hal yang semula
dianggap tidak penting, “pinggiran”, “sang liyan” (the others) menjadi sesuatu
yang penting. Menurut Magnis Suseno (Ristiyantoro, t.t.:83), dekonstruksi
sebenarnya adalah ‘menganalisis dengan teliti’.
Teori dekonstruksi ini juga menjelaskan bahwa kebenaran tidak pernah
terbayangkan. Hal itu selalu hadir dari unsur-unsur budaya yang besar. Jalan
mencari kebenaran selalu dicari secara kreatif dan memberikan makna budaya.
Makna budaya yang telah ada perlu didekonstruksi (dibongkar) sebab konstruksi
yang ada diasumsikan kurang mampu dan gagal menemukan kebenaran
(Endraswara, 2003:148). Perubahan pemaknaan suatu tanda sesuai dengan
kehendak pemakai tanda, ruang, dan waktu. Tanda adalah teks yang akan selalu
dalam keadaan terbuka, disuguhkan, dan tidak terungkap, bahkan kita tidak
menyadari bahwa teks sebenarnya tidak terungkap (Spivak, 2003:72).
Teori dekonstruksi digunakan secara eklektik dengan teori-teori lain untuk
mengungkap rumusan masalah pertama tentang bentuk-bentuk yang ada di balik
stigma yang dialami penderita gangguan jiwa. Di samping itu, juga untuk
mengungkap rumusan masalah kedua, yakni faktor-faktor yang memengaruhi
terjadinya stigma terhadap penderita gangguan jiwa. Selain mendekonstruksi
aspek-aspek tersebut, pada rumusan masalah ketiga juga digunakan teori
dekonstruksi untuk membongkar implikasi yang ada di balik stigma terhadap
penderita gangguan jiwa dan keluarganya. Dengan teori ini juga diungkap
45
ideologi di balik mitos dan informasi yang salah tentang gangguan jiwa yang
melahirkan berbagai bentuk konstruksi stigma yang beragam sesuai ruang dan
waktu. Misalnya, gangguan jiwa merupakan gangguan psikologis yang sangat
berbeda dengan masalah medis lainnya, orang yang menderita gangguan jiwa
berarti orang yang lemah, jika seseorang menderita gangguan jiwa, berarti ia tidak
akan mampu mengejar karier dan tujuan-tujuan hidup lainnya, dan tidak adanya
pengobatan yang efektif untuk orang yang menderita gangguan jiwa.
2.3.3 Teori Hegemoni
Gramsci dalam Barker (2004: 84) menggambarkan hegemoni sebagai
situasi yang di dalamnya terdapat suatu kelompok yang berkuasa dan
mendapatkan kewenangan, dan kepemimpinan atas kelompok subordinat dengan
cara memenangi kesadaran. Dikatakan bahwa agar pihak yang dikuasai mematuhi
penguasa/superordinat, yang dikuasai tidak hanya merasa mempunyai dan
menginternalisasi nilai dan norma penguasa, tetapi juga memberikan persetujuan
atas subordinasi mereka. Hal inilah yang disebut “hegemoni” atau menguasai
dengan “kepemimpinan moral dan intelektual” secara konsepsual. Dalam
hegemoni, konsensus memang dibuat oleh para penghegemoni, tetapi berdasarkan
kepentingan-kepentingan yang terhegemoni. Oleh karena itu, tampak hegemoni
mengekspresikan hal-hal yang menjadi keinginan pihak terhegemoni.
Pemikiran Gramsci tentang kekuasaan berbeda dengan pemikiran
Marxisme Ortodoks. Menurut Gramsci, superstruktur tidak selalu bergantung
pada ekonomi (basis), tetapi juga dapat memengaruhinya (superstruktur).
46
Kekuasaan untuk dominasi bagi Gramsci tidak hanya bersumber dari basis
(ekonomi), tetapi juga dari superstruktur. Gramsci berkeyakinan bahwa kelompok
dominan menjadi dominan karena kekuasaan bersumber tidak hanya dari
penguasaan ekonomi, tetapi juga dari ideologi. Keduanya bersifat resiprokal atau
saling menguatkan yang harus dicapai dalam dan melalui perjuangan politik
(Gramsci, 1971:366).
Superstruktur merupakan bentuk yang mengandung kekuasaan dan
membentuk kekuatan materiel dari basis. Hal itu membuatnya koheren dan utuh.
Artinya, masyarakat bertindak tidak hanya berdasarkan alasan ekonomi, tetapi
juga berdasarkan persepsinya terhadap sesuatu (ideologis) (Gramsci, 1971:162).
Dengan demikian, pada level ideologilah manusia menjadi sadar tentang konflik-
konflik yang terjadi di dunia ekonomi.
Kemenangan ideologi tidak hanya menghasilkan penguasaan ekonomi dan
politik, tetapi juga kemenangan intelektual dan moral sehingga menciptakan
hegemoni kelompok sosial dominan atas berbagai kelompok subordinat.
Pentingnya pengaruh ideologi ini membuat Gramsci menekankan analisisnya
tentang peran ideologi dalam membangun dan melanggengkan hegemoni di
samping pentingnya peran intelektual dalam pengembangan dan praktik ideologi
pada level hegemonik. Hegemoni ide-ide hanya dapat berjalan efektif dan
menemukan kekuatannya tatkala menggunakan bahasa sebagai alat dominasi,
sekaligus mungkin juga alat represif (Santoso, 2007:24).
47
Menurut Gramsci, pengaruh ideologi berperan penting dalam formasi dan
pelanggengan kekuasaan (dominasi). Kelompok-kelompok dominan mendapatkan
dukungan (konsensus) dari kelompok subordinat tidak hanya melalui upaya
mengintegrasikan kepentingan ekonomi kelompok subordinat dalam operasinya.
Akan tetapi, juga dengan membuat kelompok tersebut memahami kepentingannya
sebagai kepentingan bersama masyarakat secara keseluruhan. Pandangan Gramsci
ini beroperasi melalui alat hegemoni dalam kerangka suatu medan perang.
Artinya, di dalamnya terjadi perjuangan aktif untuk memperebutkan hegemoni di
antara berbagai ideologi yang bersaing seperti kapitalisme, sosialisme, dan
feodalisme. Pengaruh ideologi kelompok dominan “memanfaatkan” kesadaran
kelompok subordinat ke dalam perspektifnya. Hal inilah yang dinamakan Gramsci
sebagai hegemoni, yang juga bisa berarti dominasi pada bidang-bidang lainnya
yang lebih umum, seperti pandangan hidup, kebudayaan, dan ideologi (Santoso,
2007:23).
Hegemoni bagi Gramsci juga berarti suatu situasi, yaitu sebuah blok
historis, faksi-faksi kelas dominan (penguasa) menggunakan otoritas sosial dan
kepemimpinannya pada kelas-kelas subordinat melalui kombinasi paksaan dan
persetujuan (Gramsci, 1971:57; Barker, 2005:513). Hegemoni terjadi apabila cara
berpikir kelompok subordinat telah menerima cara berpikir kelompok dominan.
Hegemoni beroperasi melalui berbagai modus untuk membentuk persepsi,
keyakinan, cita-cita, dan selera rakyat tentang realitas sosial, baik aktif maupun
pasif, dalam bentuk intelektual dan moral. Di samping itu, juga terjadi melalui
48
perasaan massa yang secara tetap terikat dengan ideologi dan kepemimpinan
politik negara sebagai ungkapan keyakinan dan aspirasinya.
Menurut Gramsci, untuk menghilangkan pengaruh hegemoni diperlukan
‘counterhegemony’, yaitu penyadaran yang mencakup aspek sosial, budaya,
politik, dan ekonomi. Selain itu, juga menyentuh aspek kognitif tentang
ketertindasan yang disebabkan oleh hegemoni. Counterhegemony ini harus
disertai dengan kampanye politik dan program-program pengembalian kesadaran
kaum tertindas. Pengembalian kesadaran ini dapat menghilangkan efek atau
pengaruh hegemoni (Takwin, 2009:74).
Dalam penelitian ini teori hegemoni digunakan untuk mengkaji beragam
pemaknaan pengetahuan dalam proses stigma terhadap penderita gangguan jiwa
sebagai pihak yang terhegemoni dengan ideologi sebagai sarana hegemoni.
Ideologi itu bisa berupa ideologi pasar (globalisasi), ideologi negara (aturan-
aturan dan kebijakan-kebijakan politik penguasa), bisa juga berupa gagasan-
gagasan yang bersumber pada budaya lokal (etiologi gangguan jiwa secara
personalistik) sebagai pihak penghegemoni. Ideologi-ideologi ini mampu
memengaruhi dan menentukan pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan.
Di samping itu, di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan di
masyarakat, baik secara institusional maupun perorangan. Konsep itu
mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan
politik, serta seluruh hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan
moral. Berdasarkan pemikiran tersebut dapat dijelaskan pula bahwa ideologi di
49
balik stigma tersebut secara tidak langsung atau tanpa disadari merupakan suatu
kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, dan kebudayaan
sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap
kelompok masyarakat lainnya (para penderita gangguan jiwa). Hal tersebut diikuti
secara sadar oleh kelompok yang didominasi. Kelompok yang didominasi oleh
kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas, tetapi merasa bahwa hal itu
seharusnya terjadi. Dalam hal ini jelas terlihat bahwa kelas dominan (negara,
rezim pengetahuan, dan masyarakat) melakukan penguasaan kepada kelas bawah
(para penderita gangguan jiwa) menggunakan ideologi. Artinya, masyarakat kelas
dominan tersebut merekayasa kesadaran masyarakat kelas bawah sehingga tanpa
disadari, mereka rela dan mendukung kekuasaan kelas dominan.
2.3.4 Explanatory Model (EM)
Pemahaman mengenai perilaku perawatan kesehatan masyarakat yang
berlatar belakang sosiobudaya mendorong Kleinman mengembangkan orientasi
teori explanatory model (EM) yang kemudian dikembangkan dan
dioperasionalkan dalam penelitian oleh Ross (1983) dan Kalangie (1980).
Explanatory model yang dikembangkan ini pertama kali dioperasionalkan oleh
Kleinman dalam penelitian di Taiwan mengenai perilaku perawatan kesehatan
dalam setting rumah sakit pada penderita pasien gangguan jiwa. EM merupakan
unsur penting dari suatu keputusan dalam rangka pemilihan sektor-sektor
perawatan kesehatan yang akan digunakan. Dikatakan penting sebab EM
merupakan suatu konsep atau peta-peta kognitif yang senantiasa diacu dan
50
digunakan oleh individu-individu (anggota masyarakat atau praktisi medis) untuk
menjelaskan kausalitas kejadian sakit, diagnosis, dan pengobatannya. Atas dasar
EM ini pula individu-individu dalam masyarakat mengklasifikasi jenis-jenis
penyakit yang bisa atau seharusnya ditangani oleh dokter atau rumah sakit dan
jenis penyakit yang harus dibawa ke dukun (pengobat tradisional) yang tahu dan
mampu mengobatinya. EM menempatkan kecenderungan individu pada kebiasaan
yang istimewa dan mudah berubah-ubah yang sangat besar dipengaruhi oleh
kepribadian dan budaya. Penjelasan yang diberikan sebagian atas kesadaran dan
sebagian lagi di luar kesadaran. Ciri EM individu-individu ini adalah kekaburan,
banyak arti, serta terjadi perbedaan antara ide dan pelaksanaannya. Hal ini tentu
berbeda dengan EM dokter yang berdasarkan ilmu pengetahuan modern
(Kleinman, 1980:104--118).
Atas dasar hal tersebut, alternatif mencari pelayanan kesehatan pengobatan
gangguan jiwa tidak terlepas dari keyakinan keluarga pasien. Seperti yang
dikatakan oleh Kleinman (1985:65) dalam explanatory model bahwa keyakinan
memutuskan untuk memilih pelayanan kesehatan dapat dipengaruhi oleh berbagai
factor. Faktor-faktor yang dimaksud adalah (1) etiologi dan kondisi penyakit, (2)
waktu dan jenis gejala yang menyerang, (3) proses pengobatan, (4) tingkat
keparahan penyakit, dan (5) pengobatan yang layak untuk kondisi tersebut.
Dengan model ini akan terbentuk suatu respons tertentu, terutama berkenaan
dengan proses terjadinya sakit. Kenyataan ini tidak identik dengan kepercayaan
umum tentang sakit (illness) yang dipengaruhi masyarakat.
51
2.3.5 Health Belief Model (Model Kepercayaan Kesehatan)
Model kepercayaan kesehatan (health belief model) yang dikembangkan
oleh Rosenstock pada dasarnya menekankan bahwa perilaku individu dalam
masyarakat ditentukan oleh motif dan kepercayaannya tanpa memedulikan apakah
motif dan kepercayaannya tersebut sesuai atau tidak dengan realitas atau dengan
pandangan orang lain terkait dengan apa yang baik untuk individu tersebut. Dalam
hal ini sangat penting dibedakan antara kebutuhan kesehatan yang objektif dan
yang subjektif. Kebutuhan kesehatan objektif diidentifikasi oleh petugas
kesehatan berdasarkan penilaiannya secara profesioanl, yaitu adanya gejala yang
dapat mengganggu/membahayakan kesehatan individu. Sebaliknya, secara
subjektif berarti individu menentukan sendiri apakah dirinya menderita penyakit
berdasarkan perasaan dan penilaian sendiri. Pendapat/kepercayaan ini dapat sesuai
dengan realitas, tetapi dapat pula berbeda dengan realitas. Pendapat subjektif
inilah yang justru merupakan kunci dilakukannya (atau dihindarinya) suatu
tindakan kesehatan. Artinya, individu itu akan melakukan suatu tindakan untuk
penyembuhan penyakitnya jika dia benar-benar merasa terancam oleh penyakit
tersebut. Sebaliknya, jika tidak, dia tidak akan melakukan tindakan apa-apa
(Sarwono, 1993:66--67).
Dalam kaitan penelitian ini, model kepercayaan kesehatan (health belief
model) digunakan untuk mengkaji lebih jauh tindakan kesehatan yang dilakukan
oleh keluarga penderita terhadap salah seorang anggota keluarganya yang
mengalami gangguan jiwa untuk mencapai kesembuhan. Dalam hal ini keluarga
52
berusaha untuk menghilangkan segala sesuatu yang menyebabkan anggota
keluarganya mengalami gangguan, sehingga tidak dapat memenuhi tugas dan
kewajibannya di masyarakat. Artinya, dengan segala daya upaya keluarga
berusaha untuk menyembuhkan sakit anggota keluarganya terlebih dahulu.
Selanjutnya mencari orang yang dipercaya mengetahui penyebab (etiologi)
penyakit tersebut. Dalam proses ini mula-mula diusahakan mengobati atau
menghilangkan sakit dengan cara yang dilakukan oleh keluarga sendiri. Jika tidak
berhasil barulah mereka (keluarga) mendatangi siapa saja yang mampu
menghilangkan sakit yang diderita anggota keluarganya. Dalam proses panjang
perjalanan pengobatan gangguan jiwa tersebut, jika anggota keluarga mereka yang
mengalami sakit menunjukkan kemajuan/kesembuhan, terlepas dari apakah cara
yang dilakukan itu rasional atau tidak, mereka akan menerimanya dengan penuh
kepercayaan tentang tindakan kesehatan yang dijalankan terhadap anggota
keluarganya.
53
2.4 Model Penelitian
Gambar 2.1 Model Penelitian
Keterangan:
: Hubungan korelasi
: Hubungan satu arah
: Tujuan akhir
Bayang-Bayang Stigmaterhadap Penderita
Gangguan Jiwa
Etiologi (Penyebab)Gangguan Jiwa secara
Naturalistik:(trauma, stressor psikososial:
konflik klrga & pengangguran,kelemahan mental)
Etiologi (Penyebab)Gangguan Jiwa secara
Personalistik:(kelinggihan/kepongor,
leak/leyak, desti,papasangan, bebahi/bebai)
Lokalitas
Kondisi sosial budaya Bali
Bentuk stigmapenderita gangguan
jiwa
Faktor yang memengaruhiterjadinya stigma penderita
gangguan jiwa
Implikasi stigmagangguan jiwa
terhadap penderita &keluarga penderita
- Kedamaian dan penderita gangguan
jiwa tanpa stigma (destigmatisasi),
- Kualitas hidup yang lebih baik
Negara
Aturandan
Kebijakan
Globalisasi
Kondisi sosial budaya global
54
Penjelasan Model
Gambar 2.1 menjelaskan bahwa penelitian ini mengkaji fenomena
perjalanan panjang penderita gangguan jiwa di bawah bayang-bayang stigma.
Aspek-aspek yang dipahami berkaitan dengan bentuk-bentuk stigma gangguan
jiwa, faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya stigma terhadap penderita
gangguan jiwa, dan implikasi stigma gangguan jiwa terhadap penderita dan
keluarga penderita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami
kenyataan-kenyataan faktual dalam konteks stigma pada penderita gangguan jiwa
yang mendapat perawatan (rawat inap dan rawat jalan) di RSJ Pusat Bangli.
Selanjutnya, globalisasi, negara, dan lokalitas Bali memiliki hubungan
yang saling terkait dan sekaligus merupakan faktor-faktor yang sangat
berpengaruh terhadap stigma sosial pada penderita gangguan jiwa. Pertama,
globalisasi. Proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi informasi
memberikan dampak terhadap nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat.
Sementara tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama untuk
menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan tersebut. Akibatnya, saat ini
gangguan jiwa telah menjadi masalah kesehatan global. Gangguan jiwa yang
terjadi di era globalisasi dan persaingan bebas dewasa ini cenderung meningkat.
Gangguan jiwa dalam hal ini diakibatkan oleh kelemahan mental dan spiritual,
stressor psikososial dalam peristiwa kehidupan yang penuh dengan tekanan,
seperti konflik keluarga, kehilangan orang yang dicintai, putusnya hubungan
sosial, pengangguran, masalah dalam pernikahan, kesulitan ekonomi, tekanan di
55
pekerjaan yang semuanya meningkatkan risiko penderita gangguan jiwa. Ekses ini
merupakan konsekuensi logis dari paradigma modernisme yang terlalu bersifat
materialistik dan mekanistik di samping unsur nilai-nilai normatif yang terabaikan
hingga melahirkan problem-problem kejiwaan yang variatif. Keadaan ini
diperparah oleh adanya stigma yang dialami si penderita. Berbagai istilah
ditemukan di masyarakat dan digunakan dalam pemberitaan media massa,
misalnya orang gila, sakit gila, dan sakit jiwa. Stigma merupakan konsep
multikomponen yang melibatkan proses labeling, stereotyping, dan pengucilan
secara sosial, kehilangan status, diskriminasi. Semua hal itu berperan dalam
kekuatan yang berbeda-beda antara pemberi stigma dan kelompok yang terstigma.
Kedua, negara. Intervensi negara biasanya melakukan praktik kekuasaan
melalui aturan-aturan dan kebijakan-kebijakan sebagai tempat lahirnya keputusan-
keputusan besar. Wacana yang diproduksi oleh negara melalui peraturan dan
kebijakan (baik undang-undang tentang kesehatan jiwa maupun peraturan dan
keputusan menteri terkait dengan upaya-upaya kesehatan jiwa) serta lembaga-
lembaga pemerintah dan swasta dengan ideologi negara. Namun, dalam
pelaksanaannya, hingga saat ini sistem perundang-undangan yang berlaku belum
cukup banyak membantu dalam hal peningkatan upaya layanan kesehatan jiwa. Di
samping itu, dirasakan kurang dapat melindungi penderita gangguan jiwa.
Semetara itu negara (melalui para ahli kesehatan jiwa) menciptakan kategori-
kategori dan definisi-definisi/istilah-istilah gangguan jiwa beserta cara-cara
penanganannya. Melalui definisi dan kategori itu para ahli jiwa merasa berhak
56
menentukan mana orang gila dan mana yang waras, siapa yang sehat dan siapa
yang sakit, serta apa yang normal dan apa yang abnormal. Pada gilirannya para
ahli jiwa juga akan mengintroduksi mekanisme-mekanisme tertentu dan berbeda
tentang bagaimana seharusnya memperlakukan penderita gangguan jiwa.
Demikian juga kategori-kategori abnormalitas dan menyimpang merupakan
konstruksi sosial yang telah menjadi mitos. Sebuah mitos rasionalitas dibangun
oleh aparat-aparat kemajuan, rezim pengetahuan, dan modernisme.
Ketiga, lokalitas (kondisi sosial budaya Bali). Kepercayaan masyarakat
Bali terhadap etiologi (penyebab) gangguan jiwa secara personalistik (niskala)
masih melekat kuat, antara lain disebabkan oleh kelinggihan/kepangor, leak
(leyak), desti, papasangan, bebahi/bebai. Hal itu juga berpengaruh besar terhadap
terjadinya stigma sosial pada penderita gangguan jiwa. Masyarakat Bali percaya
bahwa keadaan sakit tersebut dipandang sebagai sebab adanya campur tangan
agen (perantara), seperti makhluk halus, jin, setan, atau roh-roh tertentu. Hal ini
menjadi landasan yang digunakan untuk menjelaskan sebab terjadinya
abnormalitas pada pola perilaku manusia yang dikaitkan dengan pengaruh
supranatural atau hal-hal gaib. Implikasinya penderita gangguan jiwa tidak dibawa
berobat ke dokter (psikiater), tetapi disembunyikan. Kalaupun akan dibawa
berobat, mereka tidak dibawa ke dokter, tetapi dibawa ke “orang pintar/dukun”
(balian).
Persoalan kesehatan mental merupakan masalah yang kompleks, artinya
tidak hanya berkaitan dengan profesional kesehatan jiwa, pasien, dan keluarga,
57
tetapi juga menyangkut masalah masyarakat yang lebih luas, terutama masalah
stigma dan perlindungan terhadap harkat dan martabat mereka. Pandangan bahwa
gangguan jiwa adalah sebuah penyakit yang tidak dapat disembuhkan tidak hanya
mendominasi di antara kalangan profesional di bidang kesehatan mental.
Pandangan serupa juga telah terbentuk sebagai sikap komunitas terhadap
penderita gangguan jiwa. Hal ini telah membentuk stigma dan konstruksi
pemahaman sosial mengenai apa yang dimaksud dan makna gangguan jiwa.
Pada akhirnya peningkatan kemandirian dan produktivitas para penderita
gangguan jiwa (pemberdayaan penderita) dipandang sangat penting dan
diharapkan dapat berpengaruh terhadap stigma pasien gangguan jiwa yang selama
ini ada di masyarakat. Di samping itu, juga sekaligus diharapkan dapat
mengurangi bayang-bayang stigma masyarakat terhadap gangguan jiwa. Pada
gilirannya juga diharapkan tercapainya kedamaian dan penderita gangguan jiwa
tanpa stigma (destigmatisasi) dalam rangka mewujudkan kualitas hidup yang
lebih baik.
20