TRANSISI DEMOGRAFI DAN STABILITAS SISTEM KEUANGAN: … · Transisi Demografi dan Stabilitas Sistem...
Transcript of TRANSISI DEMOGRAFI DAN STABILITAS SISTEM KEUANGAN: … · Transisi Demografi dan Stabilitas Sistem...
1
WP/7/2018
WORKING PAPER
TRANSISI DEMOGRAFI DAN STABILITAS SISTEM
KEUANGAN: STUDI KASUS INDONESIA DAN JEPANG
Kiki Nindya Asih, Amalia Insan Kamil
Danny Hermawan A, Sri Noerhidajati
2018
Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.
0
Transisi Demografi dan Stabilitas Sistem Keuangan: Studi Kasus Indonesia dan Jepang
Kiki Nindya Asih 1, Amalia Insan Kamil2 Danny Hermawan A3, Sri Noerhidajati4
Abstrak
Dalam penelitian ini, dengan menggunakan metode regresi dan
kalkulasi Economic Support Ratio, kami menemukan bahwa bonus demografi (demographic dividend) Indonesia diproyeksi akan berakhir pada tahun 2025.
Pada periode tersebut, kebutuhan pembiayaan sektor rumah tangga akan didominasi oleh kelompok usia angkatan kerja muda, yakni 25-29 tahun.
Fenomena tersebut merupakan potensi sekaligus sumber risiko sistemis baru bagi Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). Dalam konteks ini, jumlah konsumen efektif tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan jumlah produsen
efektif. Sebagai contoh, Jepang telah melewati era bonus demografi sejak tahun 1996. Kejadian ini memberikan pelajaran agar pemangku kepentingan (stakeholder) dalam sistem keuangan dapat mempersiapkan diri untuk
menghadapi dampak transisi demografi, antara lain, dengan inovasi produk layanan keuangan dan infrastruktur serta berbagai pengaturan dari otoritas
terkait.
Keywords: bonus demografi, stabilitas sistem keuangan, Indonesia
JEL classification: J110, J140
1 Analis Eksekutif, Kantor Perwakilan Tokyo, Bank Indonesia, email: [email protected] 2 Peneliti, Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia; email: [email protected] 3 Peneliti Senior, Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia; email: [email protected] 4 Peneliti Ahli, Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia; email: [email protected] Penulis mengucapkan terima kasih atas seluruh bantuan dan diskusi dalam penyusunan penelitian ini kepada Sdr. Agni Alam Awirya, Sdri. Nadya Ersalina, dan Sdr. Fauzi Zakaria (Bank Indonesia), serta Sdr. Turro Selrits Wongkaren, dan Sdr. Aditya Harin Nugroho (Lembaga Demografi Universitas Indonesia).
1
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Saat ini dunia tengah mengalami transisi demografis secara masif yang belum
pernah terjadi sebelumnya dan akan terus berlanjut (Batini, et.al.: 2006). Transisi
tersebut ditandai dengan perlambatan pertumbuhan populasi global karena
penurunan angka kelahiran dan peningkatan angka harapan hidup. Akibatnya,
perubahan struktur usia penduduk mulai didominasi oleh penduduk berusia tua
(aging population). Di setiap negara, transisi ini berlangsung pada tahapan dan
kecepatan yang bervariasi. Pada sebagian besar negara maju, termasuk Eropa
(fenomena Greying of Europe) dan Jepang, proses transisi demografi telah
berlangsung selama beberapa tahun dan masih berlanjut hingga saat ini.
Melalui proyeksi penduduk yang disusun oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
(United Nations) hingga tahun 2100, diperkirakan usia harapan hidup di negara
maju dan berkembang akan terus meningkat seiring dengan perlambatan
pertumbuhan penduduk sebesar 100 bps pada tahun 2050. Di samping itu,
populasi dunia juga akan terus mengalami penuaan yang berimplikasi pada
penurunan populasi angkatan kerja dan level tertinggi tercatat di Jepang dan Eropa.
Selain itu, migrasi akan menciptakan kontribusi penting bagi pertumbuhan
populasi di negara maju, tetapi hal itu hanya sedikit mengurangi pertumbuhan
populasi di negara berkembang.
Dampak perubahan demografi terhadap perekonomian telah menjadi isu
hangat dalam dua dekade terakhir. Birdsall et. al. (2001) menyatakan bahwa negara
berkembang dengan tingkat pertumbuhan populasi yang tinggi cenderung memiliki
pertumbuhan ekonomi yang rendah. Lebih khusus, perubahan struktur penduduk
negara di Asia yang disebabkan oleh penurunan tingkat kelahiran menciptakan
“one-time demographic gift”, dalam hal ini, populasi usia kerja menanggung lebih
sedikit dependen (usia muda atau tua). Argumen tersebut diperkuat dengan temuan
Batini, et.al. (2006) yang menyatakan bahwa peningkatan populasi angkatan kerja
akan menciptakan “bonus demografi” berupa peningkatan pertumbuhan
perekonomian bagi negara berkembang dalam 20-30 tahun mendatang, sebelum
datangnya penduduk berusia tua.
2
Transisi Demografi dan Stabilitas Sistem Keuangan
Periode transisi demografi yang menyebabkan penurunan angkatan kerja
akan berdampak pada penurunan pertumbuhan investasi dan perlambatan pasar
modal di negara tersebut (Davis: 2002). Selanjutnya, merujuk pada pola tabungan
berdasarkan Life Cycle Hypothesis, yakni dissaving pada usia muda, saving pada
usia bekerja, dan dissaving pada usia pensiun, penduduk berusia tua akan
menyebabkan penurunan tingkat tabungan nasional. Dengan menggunakan pooled
cross section dan time series data di negara industri, pola tersebut dikonfirmasi oleh
Masson dan Tryon (1990) yang menemukan elastisitas dependancy ratio terhadap
tingkat tabungan sebesar 1 (satu), yang kemudian direduksi menjadi 0,14 dalam
Masson (1995). Dalam studi cross section lainnya, Horioka (1991) mengonfirmasi
hasil tersebut dengan tingkat elastisitas sebesar 0,76. Lebih lanjut, Batini, et.al.
(2006) menemukan bahwa perubahan demografi akan memengaruhi tingkat
tabungan, investasi, dan arus modal. Kondisi ini terlihat di Jepang dan beberapa
negara industri lain yang tercatat sebagai ‘the fastest aging countries’ dengan
penurunan tingkat tabungan karena penggunaan aset pada masa tua.
Temuan lain dinyatakan oleh Smitka (2004), bahwa dalam jangka pendek,
penduduk berusia tua dapat menyebabkan tekanan pada sistem keuangan (financial
system distress). Sistem keuangan di negara berkembang biasanya berpusat pada
sektor perbankan. Dalam hal ini, perlambatan investasi akan berdampak pada
penurunan permintaan terhadap pinjaman di tengah penawaran tabungan yang
rigid. Akibatnya, sistem keuangan rentan terhadap ketidakstabilan. Dalam jangka
panjang, penduduk berusia tua menciptakan ketidakstabilan fiskal dan SSK karena
pembiayaan jaminan sosial secara masif berimplikasi pada kebutuhan peningkatan
pajak secara nasional. Temuan tersebut diperkuat oleh Davis (2002) yang
menyatakan bahwa penduduk berusia tua akan menyebabkan pergeseran pada
kebutuhan pembiayaan yang kemudian dapat berimplikasi pada guncangan sistem
keuangan dan risiko sistemis. Simpulan itu diperoleh berdasar hasil penelitian
sistem pensiun “pay-as-you go” yang bisa mengancam ketahanan sektor fiskal.
Pada paparannya mengenai prospek jasa keuangan pada masa depan, PWC
(2011) menyatakan bahwa populasi yang menua akan menciptakan dampak dan
peluang bagi sektor bisnis. Pada saat masyarakat hidup lebih lama dan memiliki
tren untuk mengurangi angka kelahiran, terdapat pergeseran kebutuhan jasa
keuangan, yaitu meningkatnya kebutuhan untuk manajemen aset pensiun.
3
Pengetahuan dan inovasi produk yang tepat dibutuhkan untuk dapat berkompetisi
dalam pasar ini dalam beberapa tahun ke depan.
Saat ini berbagai negara tengah berusaha mengendalikan transisi demografi
bagi perekonomian negaranya. Sebagai contoh, PM Jepang Shinzo Abe yang baru
terpilih kembali untuk masa jabatan hingga 2021, berjanji memprioritaskan
reformasi ketenagakerjaan dengan menaikkan usia pensiun untuk pegawai negeri
menjadi 65 tahun (sebelumnya 60 tahun) dan membuka ruang bagi pekerja jika
masih ingin aktif berkarya hingga usia 70 tahun. Sementara itu, Australia, Kanada,
dan AS mendorong imigrasi untuk meningkatkan tenaga kerja (Hewitt: 2002). Di sisi
lain, seiring dengan isu penduduk berusia tua yang mulai memasuki kawasan Asia,
serangkaian kajian tengah dilakukan untuk menilai kesiapan China, Korea, dan
berbagai negara Asia lain (Heller (2006) dan Matsukura (2010)).
Sejalan dengan beberapa studi yang telah dilakukan sebelumnya, kajian
mengenai penduduk berusia tua untuk Indonesia menjadi penting untuk
dilaksanakan dalam dimensi manfaat usulan mitigasi. Dengan mempertimbangkan
kondisi tersebut, diperlukan adanya rencana kebijakan yang terstruktur untuk
menghadapi penduduk berusia tua dan menjaga stabilitas sistem keuangan. Kajian
ini merupakan kajian pembuka yang mencakup identifikasi dan estimasi transisi
demografi di Indonesia serta diperkaya dengan international practices di negara
Jepang.
1.2. Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian
Di tengah peningkatan perhatian dari berbagai otoritas terhadap transisi
demografi, riset ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi otoritas terkait dalam
menyikapi potensi dan tantangan fenomena transisi demografi dengan risiko yang
terukur dan dapat dimitigasi. Karena setiap kelompok usia memiliki kebutuhan
ekonomi dan kapasitas produksi yang berbeda, karakteristik perilaku ekonomi
suatu negara dapat berubah seiring dengan transisi demografi yang tengah
berlangsung. Pendekatan yang secara umum digunakan untuk menganalisis
perubahan tersebut adalah identifikasi pola pendapatan, pekerjaan, tabungan, dan
utang sebagai alat ukur perekonomian nasional.
Dengan memperhatikan hal tersebut serta ketersediaan data saat ini,
penelitian ini akan dibatasi pada dampak transisi demografi terhadap fungsi
pembiayaan (lending). Untuk memperkaya sudut pandang dan cakupan potensi
4
risiko, kajian ini dilengkapi dengan pengalaman di negara Jepang. Secara khusus,
kajian ini memiliki tujuan sebagai berikut.
a. Mengidentifikasi transisi demografi di Indonesia; dan
b. Mengestimasi ketahanan SSK berdasar kebutuhan pembiayaan nasional.
1.3. Sistematika Penulisan
Penulisan kajian disusun dalam bentuk Laporan Hasil Penelitian dengan
mengacu pada standar ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Bagian pertama
merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang, ruang lingkup, dan tujuan
riset. Bagian kedua berisi literature review dan international best practices,
khususnya di negara Jepang yang menjadi objek penelitian pembanding dalam
kajian ini. Bagian ketiga berisi tentang data dan metodologi yang digunakan dalam
penelitian. Bagian keempat berupa pembahasan yang memuat hasil analisis
berdasarkan data dan informasi serta hasil literature review dan international best
practices. Bagian kelima merupakan penutup yang berisi tentang simpulan,
rekomendasi, dan area pengembangan ke depan.
5
2. Studi Literatur
2.1. Fenomena Transisi Demografi
Struktur usia di dalam populasi memiliki konsekuensi ekonomi yang penting
(Lee: 1994). Masa muda adalah masa melakukan konsumsi, tetapi memiliki
ketergantungan ekonomi yang sangat tinggi. Sementara itu, pada usia dewasa
adalah saat memupuk tabungan dan memiliki kemandirian secara ekonomi. Pada
usia tua, orang kembali menjadi net consumer, yaitu hanya hidup dari akumulasi
tabungan serta transfer dari generasi yang lebih muda, termasuk salah satunya
manfaat pensiun. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa perubahan struktur usia
dapat mengubah proporsi produsen dan konsumen dalam perekonomian.
Pada awalnya, anak merupakan aset bagi orang tua. Motivasi ini kemudian
tergantikan oleh lembaga keuangan yang menyediakan likuiditas bagi masyarakat
sehingga diduga menyebabkan penurunan tingkat fertilitas (Gallor: 2012) yang
selanjutnya berdampak pada penuaan populasi. Fenomena penduduk berusia tua
kebanyakan terjadi di negara maju, yang diukur dengan pembagian (share) populasi
usia tua dari total populasi, tetapi kecepatan penduduk berusia tua justru terjadi di
negara berkembang. Fenomena ini disebabkan oleh peningkatan pendapatan per
kapita di negara berkembang yang dibarengi dengan peningkatan tingkat dan
kualitas pendidikan antargender serta fenomena peningkatan porsi perempuan
dalam angkatan kerja mengakibatkan angka-angka kelahiran turun dengan cepat.
Secara umum, transisi demografi dapat dipetakan ke dalam tiga kelompok besar
(Worldbank: 2015) sebagai berikut.
Post-dividen, pembagian populasi usia kerja dari total populasi suatu negara
menyusut, baik dalam persentase maupun angka absolut.
Late-dividen, pembagian populasi usia kerja dari total populasi menurun, tetapi
masih terus tumbuh secara absolut.
Early-dividen, angka absolut dan pembagian populasi usia kerja terhadap total
populasi masih terus meningkat.
6
Gambar 1. Klasifikasi Transisi Demografi
Sumber: IMF Regional Economic Outlook, April 2017
2.2. Dependancy Ratio dan Bonus Demografi
Negara dengan proporsi usia muda yang lebih tinggi cenderung
menghabiskan sumber daya yang sangat besar dan menekan laju pertumbuhan
ekonomi. Sebaliknya, jika sebagian besar penduduk suatu negara merupakan
kelompok usia kerja, hal itu berpotensi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
negara tersebut. Kondisi tersebut marak disebut sebagai periode windows of
opportunity bagi suatu negara untuk dapat menghasilkan bonus demografi.
Walaupun demikian, bonus demografi bukan sesuatu yang secara otomatis dapat
diperoleh pada periode tersebut. Dalam hal ini, komitmen penuh dari seluruh
pemangku kepentingan dalam suatu perekonomian sangat diperlukan.
Metodologi untuk mengukur dampak struktur demografi adalah Demographic
Dependency Ratio (DDR) atau Economic Support Ratio (ESR). Indikator DDR
berhubungan dengan kelompok usia dependen (usia muda dan orang tua) terhadap
kelompok usia kerja, sedangkan ESR menghubungkan populasi usia kerja dengan
total populasi. Batas usia untuk populasi anak umumnya mengacu pada usia di
bawah 20 tahun, sedangkan istilah populasi tua mengacu pada usia 65 tahun atau
lebih tua. Orang-orang yang berusia 20 hingga 65 tahun disebut sebagai penduduk
usia kerja5. Sayangnya, batasan seperti itu kurang fleksibel karena tidak
memungkinkan kita untuk mempertimbangkan perbedaan struktur perekonomian,
seperti tingkat inflasi, tingkat konsumsi, dan pendapatan antarwaktu dan negara
5 Definisi ini mengacu pada klasifikasi yang digunakan dalam Statistik Worldbank.
7
yang sangat heterogen. Cutler et.al. (1990) mencoba menutupi celah tersebut
dengan menggunakan bobot pembagian populasi usia kerja dan bobot konsumen.
Mason et.al. (2006) mengembangkan pendekatan National Transfer Account
(NTA) dalam melakukan studi kependudukan. Pendekatan NTA memasukkan
pendapatan nasional dan produk account menurut usia. Dalam hal ini, hal itu
berguna untuk menjelaskan aliran sumber daya ekonomi antargenerasi dan
memberikan informasi yang lebih lengkap tentang transfer antargenerasi daripada
pendekatan lain. Selanjutnya, NTA menyediakan informasi yang komperhensif dan
detail mengenai aliran dana antarusia penduduk, termasuk pendapatan tenaga
kerja, pendapatan aset, transfer publik atau privat, dan konsumsi serta tabungan.
Studi kependudukan menggunakan NTA semakin banyak dilakukan di
berbagai negara dan hal itu sejalan dengan terbentuknya jaringan (network)
pengembangan NTA pada tiap-tiap negara anggota. Secara umum, NTA bertujuan
untuk menggambarkan realokasi sumber daya lintas usia. Saat ini, ada 43 negara
yang berpartisipasi dalam proyek NTA (termasuk 13 negara di Eropa). Pendekatan
NTA juga dapat digunakan untuk memperkirakan bonus demografi yang mungkin
terjadi jika struktur usia suatu populasi berubah. Hubungan positif antara tingkat
pertumbuhan penduduk usia kerja dan total populasi adalah hasil kalkulkasi
akuntansi dari bonus demografi atau di-refer sebagai bonus demografi pertama
(Mason dan Lee: 2007; Bloom dan Canning: 2011).
2.3. Transisi Demografi dan Stabilitas Sistem Keuangan
Di tengah masifnya transisi demografi, literatur mengenai dampak transisi
demografi pada stabilitas sistem keuangan masih sangat minim. Para ekonom masih
cenderung berfokus pada biaya fiskal yang ditimbulkan sehingga studi demografi
dan stabilitas sistem keuangan masih minim eksplorasi dan pendalaman pada
aspek lain di luar fiskal. Selanjutnya, sebagian besar penelitian mengenai hubungan
transisi demografi terhadap SSK saat ini masih bersifat hipotetis dan belum diuji
secara empiris. Salah satu contohnya adalah Bean (2004) yang berspekulasi bahwa
bubble housing di Inggris, sebelum krisis keuangan global, merupakan akibat dari
kebijakan pemerintah yang menutup program pensiun. Akibatnya, hal itu
mendorong golongan usia tua untuk berinvestasi pada housing untuk dikontrakkan
sebagai salah satu instrumen investasi yang memberikan cashflow yang stabil untuk
mendukung masa tua mereaka (Trichet, 2007).
8
Selanjutnya, melalui berbagai cross countries ditemukan bahwa transisi
demografi berdampak langsung pada neraca rumah tangga sebagai net lender dalam
perekonomian. Adapun interlinkage dengan sistem keuangan dan perekonomian
dapat ditelusuri melalui empat jalur transmisi, yakni perubahan model bisnis
perbankan, rebalancing asset neraca rumah tangga, penurunan wealth effect, dan
longevity risk pada sektor rumah tangga aging.
9
3. Data dan Metodologi
3.1. Estimasi Bonus Demografi
Dalam memperhitungkan dampak dari transisi demografi, penelitian ini
menggunakan pendekatan Economic Support Ratio (ESR) untuk mengestimasi bonus
demografi yang pertama (BD1). Pendekatan ini dipilih dengan mempertimbangkan
aspek ekonomi yang ingin dicermati dalam penelitian ini6. Periode dimulai dan
berakhirnya BD1 terkait dengan perubahan struktur usia pada populasi yang
dihubungkan dengan economic life cycle, yaitu populasi usia muda dan usia tua
cenderung lebih banyak melakukan konsumsi daripada produksi. Sementara itu,
kelompok angkatan kerja cenderung akan menghasilkan produksi lebih banyak
(Mason 2007). BD1 dimulai pada saat pertumbuhan ESR-nya positif dan berakhir
pada saat pertumbuhan ESR-nya berada pada posisi negatif (Matsukura, 2010) atau
ketika suatu negara memasuki periode struktur demografi yang baru (BoJ: 2012).
Gambar 2. Metode Estimasi ESR Indonesia
6 Demographic dependancy berfokus pada jumlah populasi usia kerja, sedangkan economic dependancy ratio berfokus pada jumlah populasi yang memiliki pekerjaan (Herrmann: 2014).
10
Estimasi bonus demografi 1 pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan data populasi 2017, data pendapatan dari Survei Angkatan Kerja
Nasional (SAKERNAS) tahun 2017, dan data konsumsi dari Survei Sosial Ekonomi
Nasional (SUSENAS) tahun 2017. Mengikuti metode Mason (2005) dan Matsukura
(2010), ESR dihitung dan kemudian rata-rata tingkat produksi dinormalisasi
terhadap usia 30-49 tahun. Simpulannya adalah apabila hasil normalisasi suatu
kelompok umur menghasilkan nilai 0,5, artinya kelompok umur memiliki tingkat
produktivitas sebesar 50% dari seseorang pada umur 30-49 tahun.
Penghitungan ESR dilakukan dengan menggunakan variabel Effective
Workers/Producers (EW) dan Effective Consumers (EC). Berbeda dengan
penghitungan Dependancy Ratio (DR), EW menunjukkan hasil penjumlahan dari
perkalian jumlah populasi per kelompok umur dengan koefisien profil produksinya.
Sementara itu, EC menunjukkan hasil penjumlahan dari perkalian jumlah populasi
per kelompok umur dengan koefisien profil konsumsinya. Apabila jumlah EC
dinotasikan sebagai 𝑁 dan jumlah EW didefinisikan sebagai 𝐿,
𝑁(𝑡) = ∑ 𝛼(𝑎)𝑃(𝑎, 𝑡)
𝑎
𝐿(𝑡) = ∑ 𝛾(𝑎)𝑃(𝑎, 𝑡)
𝑎
dengan 𝑃(𝑎, 𝑡) merupakan jumlah populasi usia 𝑎 pada saat 𝑡, sedangkan 𝛼(𝑎) dan
𝛾(𝑎) merupakan koefisien spesifik umur, maka output per EC (𝑌/𝑁) adalah:
𝑌(𝑡)
𝑁(𝑡)=
𝐿(𝑡)
𝑁(𝑡)×
𝑌(𝑡)
𝐿(𝑡)
sehingga
�̇�𝑛(𝑡) = �̇�(𝑡) − �̇�(𝑡) + �̇�(𝑡)
maka (�̇�(𝑡) − �̇�(𝑡)) merupakan notasi dari jumlah pertumbuhan ESR dan BD1
didefinisikan sebagai pertumbuhan dari ESR.
3.2. Identifikasi Pola Pembiayaan Indonesia
Untuk mengukur dampak transisi demografi terhadap SSK, penelitian ini
mengangkat aspek pembiayaan dari sektor perbankan pada sektor rumah tangga
(individual) dengan menggunakan data Sistem Informasi Debitur (SID) tahun 2010-
2017. Informasi dari data pembiayaan kemudian dianalisis bersama dengan data
tabungan yang tersedia di Survei Neraca Rumah Tangga (SNRT) tahun 2017 guna
11
menghasilkan estimasi profil defisit per usia yang dihitung dari tingkat tabungan
dikurangi kebutuhan pinjaman.
Gambar 3. Metode Estimasi Profil Defisit Indonesia
Dalam penghitungan defisit, salah satu tantangan yang ditemukan adalah
perbedaan karakteristik data yang digunakan, yakni terkait jumlah sampel yang
digunakan. Data SID merupakan data populasi pengguna pinjaman dari perbankan,
sedangkan data SNRT diperoleh dari sampel di 14 kota dengan kisaran responden
sebanyak 3.500 orang. Selanjutnya, dengan membandingkan pola data rata-rata
plafon pinjaman dan outstanding loan yang dihasilkan SID dan SNRT pada tahun
2016 dan 2017, terlihat adanya kemiripan pola dengan tingkat korelasi 86,7% (2016)
dan 85,8% (2017) sehingga data tabungan SNRT cukup dapat digunakan bersama
dengan data SID.
12
Gambar 4. Perbandingan Pola Data Pinjaman SID dan SNRT7
Selanjutnya, untuk memperoleh data per usia 𝑀𝑗(𝑎), kami melakukan proses
disagregasi data SNRT dengan menggunakan modifikasi salah satu metode
penyusunan National Transfer Account (NTA), yakni metode regresi. Dengan metode
ini, kami memperoleh estimasi tingkat tabungan per usia dengan tetap
mempertahankan pola asli yang dihasilkan oleh SNRT pada tahun 2017.
𝐶𝐹𝐻𝑗 = ∑ 𝛽
𝑎
(𝑎) 𝑈(𝑎)𝑀𝑗(𝑎) + 𝜀𝑗
7 Proses disagregasi data memiliki konsekuensi metodologi adanya titik yang bernilai negatif, namun kondisi tersebut tidak berpengaruh pada pola yang dihasilkan.
13
4. Pembahasan
4.1. Transisi Demografi Indonesia
Dalam mengidentifikasi transisi demografi nasional, terdapat dua faktor
penting yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini. Pertama, penurunan
angka kelahiran dalam beberapa dekade terakhir telah menurunkan persentase
kelompok usia muda dan meningkatkan persentase kelompok usia tua. Kedua
adalah peningkatan angka harapan hidup.
Selama satu dekade terakhir, penduduk Asia bertumbuh sebesar 1,2% p.a.
hingga mencatatkan angka total populasi sebesar 4,5 miliar jiwa atau hampir 60%
dari populasi dunia pada tahun 2018. Dari angka tersebut, China menduduki
peringkat tertinggi dengan kontribusi 1,5 miliar penduduk dan Indonesia
mencatatkan kontribusi sebesar 260 juta jiwa. Sebagaimana ditunjukkan dalam
Gambar 5, tingkat pertumbuhan penduduk ini sudah mengalami penurunan
dibandingkan dengan tiga dekade sebelumnya yang diproyeksikan akan terus
mengalami perlambatan dan menyentuh level 0% pada kisaran tahun 2056.
Gambar 5. Proyeksi Pertumbuhan Populasi
Sumber: UN Population Prospects, 2017Rev8
8 Proyeksi ini menggunakan skenario tingkat fertilitas skenario-medium. Jika laju fertilitas pada dekade mendatang lebih rendah dibandingkan dengan nilai skenario, proporsi penduduk berusia tua akan meningkat.
14
Gambar 6. Tingkat Kelahiran Penduduk
Sumber: UN Population Prospects, 2017Rev
Secara umum penurunan pertumbuhan penduduk tersebut mayoritas
diperoleh dari tren penurunan tingkat kelahiran penduduk (TFR) secara global. Pada
tahun 2016, rerata angka kelahiran penduduk Asia berada di bawah replacement
level fertility, yaitu sebesar 2,19 yang akan menyebabkan penurunan populasi pada
masa mendatang. Saat ini Indonesia masih berada di atas replacement level, yakni
sebesar 2,3, tetapi UN (2017) memproyeksikan TFR Indonesia akan terus mengalami
penurunan hingga level 2,12 pada periode 2025-2030 dan belum akan mengalami
perbaikan pada periode selanjutnya seiring dengan tren penurunan global.
Gambar 7. Angka Harapan Hidup dan GDP Per Kapita
Sumber: UN Population Prospects (2017 Rev), World Bank, OECD National
Accounts
9 TFR dengan nilai sekitar 2,1 anak per satu wanita dewasa dikatakan replacement-level fertility (UN, Population Division). Nilai ini menyatakan rerata jumlah anak yang perlu dilahirkan seorang wanita agar dia bisa menghasilkan seorang anak perempuan yang bisa bertahan hingga masa suburnya. Jika replacement-level fertility bisa dipertahankan untuk suatu periode yang cukup lama, setiap generasi akan memiliki pengganti dirinya sendiri tanpa perlu diseimbangkan oleh negara melalui migrasi internasional (WHO).
15
Aspek lain dari transisi demografi adalah perkembangan angka harapan
hidup. Apabila dibandingkan dengan pendapatan per kapita (Kurva Preston10),
terdapat hubungan nonlinear yang mengindikasikan tingkat konsumsi barang dan
jasa sesuai dengan kebutuhan dan keinginan. Pada level tertentu, saat seseorang
telah mampu mengonsumsi seluruh kebutuhannya untuk bertahan hidup, orang
tersebut akan menggunakan sisa pendapatannya untuk konsumsi lainnya. Apabila
kebutuhan dasar seluruh penduduk telah terpenuhi, peningkatan pendapatan per
kapita akan memengaruhi angka harapan hidup. Akan tetapi, kondisi ini bukan
premis yang berlaku umum. Kebijakan pemerintah juga memiliki peran dalam
memengaruhi angka harapan hidup suatu negara.
Dari Gambar 7 terlihat adanya korelasi positif antara pendapatan (GDP per
kapita) dan angka harapan hidup. Secara historis terbukti bahwa peningkatan
angka harapan hidup berhubungan kuat dengan peningkatan pendapatan per
kapita (Preston: 1975). Temuan ini serupa dengan hasil penelitian di UK (Chetty,
et.al: 2016) dan USA (Kitagawa et.al.: 1973; Cristia et.al.: 2007). Dari Gambar 7
terlihat bahwa relatif terhadap pendapatan per kapita, angka harapan hidup di
Indonesia masih jauh di bawah negara kawasan emerging market lainnya, yakni
Malaysia dan Thailand. Selanjutnya, Jepang sebagai salah satu negara maju
memiliki angka harapan hidup yang tinggi yang berbanding lurus dengan tingginya
pendapatan per kapita.
Gambar 8. Pertumbuhan Kelompok Usia Tua Indonesia dan Jepang
Sumber: UN Population Prospects, 2017Rev
10 Kurva Preston menunjukkan bahwa individu yang terlahir di negara lebih kaya, secara rata-rata bisa hidup lebih lama dibandingkan dengan individu yang lahir di negara miskin. Pada negara dengan tingkat pendapatan per kapita rendah, peningkatan pendapatan memiliki pengaruh pada peningkatan harapan hidup yang besar. Sebaliknya, pada tingkat pendapatan per kapita tinggi, peningkatan pendapatan memiliki pengaruh kecil pada peningkatan angka harapan hidup (Schultz: 2008).
16
Kombinasi antara penurunan tingkat kelahiran dan peningkatan angka
harapan hidup menunjukkan bahwa dunia sedang mengalami fenomena historis
yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sepanjang rentang periode 2000 hingga
2050, bagian populasi yang berusia 60 tahun ke atas diproyeksikan akan terus
meningkat di setiap negara di dunia (Bloom et.al.: 2008). Kondisi ini memiliki banyak
implikasi penting bagi perekonomian dan bisnis di suatu negara mengingat setiap
kelompok umur memiliki rational behavior dan risk apetite yang berbeda.
Sebagaimana negara maju lainnya, Jepang memiliki kelompok usia tua
sebesar dua kali dibandingkan dengan negara berkembang, yakni sekitar 20%.
Kondisi ini menyebabkan Jepang mengalami periode hambatan demografi
(demographic burden period) berdasarkan data PBB yang telah berlangsung sejak
1950 (BoJ: 2012). Besarnya proporsi usia tua akan menciptakan beban fiskal suatu
negara, antara lain, melalui besaran pajak yang diperoleh dari angkatan kerja serta
beban jaminan sosial yang disiapkan untuk kelompok usia tua. Sebagai
konsekuensi dari penduduk berusia tua di Jepang, biaya kesejahteraan sosial
menjadi sangat tinggi, yakni mencapai 1/3 pengeluaran pemerintah. Sementara itu,
defisit anggaran semakin meningkat setiap tahun (Yoshino: 2017). Guna
memperlambat penurunan kelompok angkatan kerja serta mempertahankan angka
pertumbuhan ekonomi, hampir seluruh negara maju mempermudah prosedur
tenaga kerja asing dari negara berkembang sebagai solusi sementara saat ini.
4.1.1. Identifikasi Bonus Demografi: Indonesia dan Jepang
Berdasarkan penelitian Mason dan Kinugasa (2008), efek kumulatif dari BD1
di Asia menghasilkan peningkatan ESR sebesar 12,5% antara tahun 1960 hingga
2000. Pada rentang periode tersebut, Jepang dan Indonesia masing-masing
berkontribusi sebesar 10,6% dan 12,7%. Selanjutnya, dengan menggunakan data
tahun 1950-2050, Matsukura (2010) menyatakan bahwa BD1 Jepang berlangsung
selama periode 1950 sampai dengan tahun 1996. Setelah tahun 1996, Jepang
memasuki periode penduduk berusia tua. Pada periode tersebut, penurunan
angkatan kerja menekan pertumbuhan perekonomian nasional serta pertumbuhan
tingkat tabungan dan investasi sehingga disebut periode hambatan demografi (BoJ:
2012).
17
Gambar 9. ESR Jepang Periode 1950-2050
Sumber: Matsukura (2010)
Dengan menggunakan data populasi PBB pada tahun 2015 dan data
konsumsi serta pendapatan tahun 2012, Matsukura (2016) mengestimasi BD1
Indonesia dimulai sejak tahun 1977, berpuncak pada tahun 1999, dan berakhir
pada tahun 2025 atau memiliki periode sepanjang 48 tahun. Adapun angka
kelahiran pada tahun 2025 diestimasikan sebesar 2,19 atau menurun sebesar 0,26
persen dibandingkan pada tahun 1977.
Gambar 10. Pertumbuhan ESR Indonesia
Sumber: Matsukura (2016)
4.1.2. Estimasi Bonus Demografi: Indonesia
Penelitian ini bermaksud untuk mengestimasi kembali periode BD1 Indonesia
dengan menggunakan data terkini. Estimasi ulang ini digunakan untuk
mengidentifikasi transisi demografi Indonesia dengan menggunakan data dan
informasi terkini yang relevan. Kegiatan estimasi juga dilakukan dalam rangka
18
menguji kemungkinan terjadinya pergeseran periode BD1 dalam lima tahun
terakhir11.
Dengan menggunakan data terkini, pertumbuhan ESR mencapai titik negatif
pada tahun 2026 sehingga BD1 Indonesia diproyeksikan akan berakhir pada tahun
2025 dengan titik puncak pada tahun 1999. Berdasarkan hasil dari Matsukura
(2016) dan penelitian ini, dapat kita simpulkan bahwa estimasi akhir BD1 Indonesia
memiliki tingkat proyeksi yang cukup stabil pada tahun 2025 atau tujuh tahun dari
sekarang.
Gambar 11. Estimasi Pertumbuhan ESR Indonesia
4.2. Identifikasi Pola Pembiayaan Indonesia
Seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional, sektor perbankan
mencatatkan pertumbuhan positif total plafon dan outstanding loan pada setiap
tahunnya. Secara rata-rata, struktur utang per kelompok umur memiliki kemiringan
(skewness) ke kiri. Artinya, seiring berjalan waktu, kepemilikan utang didominasi
oleh kelompok usia muda. Selanjutnya, hasil perhitungan level defisit pada Gambar
12 menunjukkan bahwa defisit kebutuhan pembiayaan cukup besar dan tidak dapat
ditutup dengan transfer yang berasal dari tabungan kelompok umur lain sehingga
membutuhkan sumber pembiayaan dari luar sektor rumah tangga.
11 Hasil re-estimasi akan dibandingkan dengan hasil penelitian Matsukura (2016) yang menggunakan data keuangan pada tahun 2012.
19
Gambar 12. Rata-Rata Outstanding Loan (Kiri) dan Defisit (S-L) Per Kelompok
Umur (Kanan)
Dengan menggunakan pola di atas, peneliti mengestimasi pola outstanding
loan pada akhir BD1, yakni 2025 sebagai proksi kebutuhan kredit nasional.
Estimasi dilakukan dengan menggunakan metode fitting model dengan konstrain
tertentu yang kemudian dinormalisasi untuk mendapatkan total 100%. Selanjutnya,
kami mengasumsikan defisit pada tahun 2025 dengan mengasumsikan pola
tabungan tidak berubah dari tahun 2017.
Gambar 13. Estimasi Outstanding Loan Per Kelompok Umur
Hasil estimasi tersebut menunjukkan bahwa outstanding loan yang
diproyeksikan pada akhir BD1 akan didominasi oleh kelompok usia angkatan kerja
muda, yakni 25-29 tahun. Selanjutnya, sekitar 65% pinjaman sektor rumah tangga
diproyeksikan akan dimiliki oleh kelompok umur 15-39 tahun, naik sebesar 0,28
persen dari tahun 2017. Besarnya pangsa pinjaman yang didominasi oleh kelompok
muda menjadi potensi sekaligus sumber risiko sistemik pada saat periode
berakhirnya BD1 dengan jumlah konsumen efektif tumbuh lebih cepat
dibandingkan dengan jumlah produsen efektif.
20
Gambar 14. Estimasi Defisit (S-L) Per Kelompok Umur pada Tahun 2025
Berdasarkan hasil estimasi pada Gambar 14, defisit terbesar akan dicatatkan
oleh kelompok umur 25-29 tahun seiring dengan kebutuhan pembiayaan yang
meningkat. Secara nasional defisit tersebut diperkirakan masih sulit untuk ditutup
dengan ketersediaan dana tabungan di sektor rumah tangga sehingga
membutuhkan sumber pembiayaan dari sektor lain. Apabila potensi risiko tersebut
tidak dijaga dengan baik, kondisi tersebut berpotensi menciptakan sumber risiko
sistematik lain di sektor rumah tangga.
Berdasarkan hasil temuan di atas, diperlukan rancangan kerja bagi berbagai
elemen dalam sistem keuangan, khususnya pemerintah dan sektor perbankan.
Berakhirnya BD1 akan berimplikasi pada beban fiskal sebagai dampak naiknya
belanja negara untuk memenuhi jaminan sosial (BPJS). Proyeksi kebutuhan kredit
yang diperkirakan akan didominasi oleh usia muda juga perlu menjadi perhatian
otoritas terkait serta sektor perbankan. Perlu disusun serangkaian rencana kerja
guna memenuhi kebutuhan pinjaman yang disesuaikan dengan profil risiko dan
kebutuhan per kelompok usia.
4.3. Kebijakan Terkait Transisi Demografi di Jepang
4.3.1. Profil Demografi Jepang dan Implikasinya terhadap Perekonomian
Jepang merupakan negara dengan penduduk tertua di dunia. Lebih dari 25%
penduduknya berusia lebih dari 65 tahun. Japan Statistics memperkirakan bahwa
persentase penduduk Jepang di atas 65 tahun akan meningkat hingga mencapai
36% pada tahun 2040 (Gambar 15). Menurut data Kementerian Dalam Negeri dan
Komunikasi per 1 Maret 2018, jumlah penduduk Jepang yang berusia di atas 75
tahun mencapai 17,7 juta dan yang berusia antara 65-74 tahun sebanyak 17,64
21
juta. Dengan perkembangan tersebut, Jepang “naik kelas” karena jumlah penduduk
yang berusia di atas 75 tahun atau “super-elderly” telah melampaui 65-74 tahun.12
Gaya hidup dan pesatnya teknologi pengobatan mendorong warga Jepang untuk
hidup lebih lama. Oleh karena itu, jumlah penduduk tua bertambah secara rerata
mencapai sekitar 30.000 orang per bulan.
Gambar 15. Populasi Jepang Berdasarkan Kelompok Umur (Kiri) dan Proyeksi
Populasi Berdasarkan Asumsi Medium Fertilitas dan Kematian (Kanan)
Sumber: Statistics Japan, diolah oleh McKinsey
Sumber: Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi, dan National Institute of Population and Social Security Research
2012-2060
Selain menua, penduduk Jepang juga mengalami penurunan jumlah.
Berdasarkan sensus terkini, total populasi Jepang pada 1 Oktober 2015 mencapai
127 juta orang. Setelah mencapai puncaknya sebanyak 128,7 juta orang pada tahun
2010, penduduk Jepang terus menurun sejak tahun 2008. Pemerintah
memperkirakan bahwa total populasi hanya akan sebesar 86,7 juta orang pada
tahun 2060.13 Patut dicermati bahwa penurunan populasi tersebut terjadi pada
kelompok usia kerja (20-59 tahun, Gambar 15). Dalam hal ini, penuruan populasi
disebabkan oleh tingkat kelahiran yang lebih rendah daripada kematian dan tingkat
harapan hidup yang semakin panjang, serta net migrasi asing yang hampir nol
terkait dengan ketatnya kebijakan imigrasi. OECD (2014) mencatat bahwa tingkat
kelahiran di Jepang hanya sebesar 1,4614 atau tidak hanya lebih rendah daripada
replacement ratio (2,1), tetapi juga lebih rendah daripada negara G-3 lain (USA: 1,86
dan Eropa a.l. UK: 1,81; Perancis: 1,96; dan Jerman: 1,47).
12 WHO: suatu negara dikatakan (i) “aging” jika persentase penduduk di atas 65 tahun terhadap total lebih besar dari 7%, (ii) “aged” jika persentase tersebut mencapai 14%, dan (iii) “super-aged” jika persentase tersebut mencapai 21%. 13 “Population Projection for Japan 2012-2060” National Institute of Population and Social Secutity Research, 2012. 14 Puncak TFR Jepang terjadi antara tahun 1950-1955 yang mencapai 2,75 kelahiran untuk setiap wanita.
Sumber: Statistics Japan, diolah oleh McKinsey
Sumber: Kementerian Dalam Negeri dan
Komunikasi, dan National Institute of
Population and Social Security Research 2012-
2060
22
Rendahnya tingkat kelahiran di Jepang dikontribusi terutama oleh
perubahan perilaku pernikahan dan pemburukan kondisi sosial ekonomi (Kato,
2014). Perubahan perilaku pernikahan tampak dari usia rerata wanita menikah
yang semakin menua, yakni dari 24,2 tahun pada 1970-an menjadi 29,3 tahun pada
2013. Sementara itu, pemburukan kondisi sosial ekonomi mendorong warga usia
muda bermigrasi ke area urban, khususnya Tokyo Metropolitan Area (Tokyo, Chiba,
Kanagawa, dan Saitama) untuk memperoleh pendapatan dan pendidikan yang lebih
baik. Ironisnya, area urban tersebut tidak memiliki lingkungan yang memadai untuk
memiliki dan membesarkan anak. Hal tersebut berkonsekuensi logis pada
rendahnya fertilitas. Contohnya, Tokyo memiliki tingkat kelahiran terendah
dibandingkan dengan seluruh provinsi di Jepang. Berbasis pemikiran tersebut,
Japan Policy Council (2014) memproyeksikan bahwa 896 kota madya akan
kehabisan penduduk dalam waktu dekat, sebagai kombinasi rendahnya tingkat
kelahiran dan tingginya tingkat migrasi ke area urban.
Jepang berada pada era hambatan demografi yang menimbulkan berbagai
dampak ekonomi. Kombinasi unik antara naiknya jumlah penduduk menua dan
harapan hidup tinggi serta menurunnya angka kelahiran mengakibatkan total
dependency ratio terus mengalami kenaikan. Shirai (2012) mengutip data UN,
menegaskan bahwa era bonus demografi15 Jepang telah berakhir pada 1985 dan
memasuki tahap berikutnya, yakni era hambatan demografi sejak 1995. Dengan
artikulasi yang berbeda, Matsukura (2018) mengistilahkan era bonus demografi
standar sebagai bonus demografi tahap 1 yang tidak serta merta berganti menjadi
era hambatan demografi, tetapi dapat diteruskan ke era bonus demografi tahap 2.
Berbeda dengan era bonus demografi tahap 1 yang bersifat natural dan cenderung
given, era bonus demografi tahap 2 perlu diupayakan melalui berbagai kebijakan.
Dalam konteks ini, kebijakan untuk meningkatkan literasi keuangan menjadi
krusial untuk tetap menjaga level kesejahteraan penduduk usia tua yang telah
mengalami penurunan pendapatan, tetapi masih memiliki berbagai bentuk aset,
baik aset keuangan maupun aset lain. Terlepas dari perbedaan istilah atau
penahapan tersebut, kondisi demografi Jepang berimplikasi secara
multidimensional, baik dari sisi kebijakan, ekonomi makro, maupun
bisnis/finansial, antara lain, sebagai berikut.
15 Era bonus demografi dimulai ketika total dependency ratio atau (penduduk usia remaja+tua)/populasi penduduk usia kerja mulai mengalami penurunan. Sementara itu, era hambatan demografi dimulai ketika dependency ratio mulai naik.
23
Intergenerational distribution pressures: MacKellar et.al. (2004) menyimpulkan
bahwa berdasarkan model neoklasikal klasik tradisional terdapat peluang yang
sangat besar untuk beradaptasi dalam menghadapi tantangan dari populasi
yang menua, bahkan tanpa mempertimbangkan perubahan kelembagaan dan
kondisi sosial. Aging tidak serta merta mengakibatkan bangkrutnya ekonomi
Jepang. Walaupun demikian, penurunan penduduk usia kerja serta
peningkatan biaya pensiun dan kesehatan dari naiknya jumlah penduduk
lansia memicu terjadinya tekanan distribusi antargenerasi yang memerlukan
campur tangan negara. Dalam konteks ini, penduduk usia muda mungkin
harus membayar pajak dan kontribusi sosial yang lebih besar, lansia bisa jadi
harus aktif bekerja hingga usia lebih tua, dan pensiunan mungkin menikmati
pensiun yang lebih rendah daripada ekspektasi. Selain itu, pengeluaran
pemerintah pun semakin besar untuk dialokasikan bagi social security. Pada
tahun fiskal 2018, sejumlah ¥32.973,20 M atau sekitar 33,7% APBN pemerintah
Jepang didedikasikan untuk menyubsidi jaminan sosial. Hal ini tampak pula
pada Gambar 16 yang menunjukkan bahwa kontribusi dana publik untuk
jaminan sosial terus merangkak naik seiring dengan penuaan populasi. Data
juga menunjukkan bahwa pangsa social benefit yang diterima lansia terus
meningkat sejak 1973 (Gambar 16), angka terkini menunjukkan pangsa
tersebut telah mencapai sekitar 70%. Kondisi demikian cukup memprihatinkan
menimbang minimnya social benefit yang diterima oleh generasi penerus, seperti
bayi dan anak-anak usia sekolah yang menjadi kunci masa depan bagi bangsa
Jepang.
Gambar 16. Sumber Dana Jaminan Sosial (Kiri) dan Social Benefit (Kanan)
Sumber: National Institute of Population and Social Security Research, Social Security
Statistics 2014, Tabel 14
Sumber: National Institute of Population and Social Security Research, Social Security
Statistics 2014, Tabel 18
24
Supply side constraint: IMF (2017) menekankan bahwa aging mengurangi
pasokan tenaga kerja sehingga menurunkan expected return dari akumulasi
kapital dan permintaan untuk barang investasi (serta durables lain) dan beralih
ke produk jasa, seperti health care yang produktivitasnya lebih rendah sehingga
secara keseluruhan menurunkan produktivitas faktor produksi. Liang, Wang,
dan Lazear (2014) mengatakan bahwa aging menurunkan pertumbuhan
produktivitas melalui pengurangan jumlah pengusaha dan memperlambat
adopsi inovasi. Senada dengan temuan Kato (2016) bahwa kondisi Jepang yang
mengalami depopulation aging mengubah perilaku penduduk menjadi
dissaving16 yang kemudian berdampak pada menurunnya akumulasi kapital
dan kemampuan menciptakan/mengadopsi teknologi sehingga menekan sisi
supply.
Low inflation environment: Katagiri, et.al. (2014) berargumen bahwa inflasi
didorong oleh faktor penyebab aging. Jika aging disebabkan terutama oleh
harapan hidup yang makin panjang, dampaknya adalah deflasioner; sedangkan
jika disebabkan oleh lebih cepatnya penurunan angka kelahiran, dampaknya
adalah inflasioner. Penurunan angka kelahiran akan mendorong pemerintah
untuk membuka ruang bagi terjadinya inflasi guna menekan nilai utang dan
tetap solvent. Sebaliknya, kenaikan usia hidup akan mengakibatkan banyaknya
pensiunan dan peran lansia yang lebih besar di perpolitikan sehingga upaya
untuk mencegah inflasi akan menggerus savings. Dalam kasus Jepang, diyakini
bahwa penyebab aging adalah dominasi faktor naiknya usia harapan hidup.
Sementara itu, Bullard, et.al. (2012) menemukan bahwa kaum muda yang
cenderung tidak memiliki aset (hanya gaji sebagai sumber utama pendapatan),
cenderung memiliki ekspektasi inflasi yang tinggi. Sementara itu, kaum tua
yang lebih bergantung pada pendapatan dari aset cenderung berekspektasi
inflasi rendah sehingga ketika kaum tua memiliki pengaruh yang lebih besar
pada kebijakan redistributif, perekonomian cenderung berada pada tingkat
inflasi yang rendah. Fujita dan Fujiwara (2014) mengatakan bahwa saat porsi
penduduk berusia tua meningkat, penurunan tingkat kelahiran menahan
pertumbuhan angkatan kerja, bahkan hingga mencapai level negatif dan
terjadilah deflasi. Hasil running model pada data Jepang sejak 1970-an
16 Pada tahun 80-90-an Jepang tercatat sebagai negara dengan tingkat savings tinggi (mencapai 18,4% pada awal tahun 80-an), tetapi terus menurun hingga mencapai level yang sangat rendah, bahkan negatif pada tahun 2013.
25
menghasilkan bahwa ekonomi Jepang berpotensi mengalami deflasi
berkepanjangan.
Excessive risk taking behaviour: IMF (2017) memandang bahwa di tengah
tantangan demografi, kebijakan moneter ekstra longgar dilakukan Jepang.
Hasilnya adalah dalam jangka pendek, Jepang mampu memacu kenaikan
profitabilitas melalui dampak positifnya ke aktivitas ekonomi dan perbaikan
neraca (dan keseluruhan nilai aset) serta penurunan biaya dana. Namun, dalam
jangka menengah panjang, suku bunga rendah dan kurva imbal hasil yang
mendatar (flat YC) menekan laba institusi keuangan. IMF (2017) mengatakan
bahwa bank yang berperan sebagai financial intermediary akan cenderung
terdampak negatif dari flat YC. Dampak yang lebih besar akan dirasakan oleh
bank tradisional yang banyak bergantung pada core deposit. Selain itu, suku
bunga rendah di Jepang turut memberi insentif yang lebih besar bagi bank
untuk mencari wholesale funding; dan mendorong excessive risk taking dengan
mengurangi monitoring kredit atau mendorong perilaku “reach for yield”. Risk
taking channels ini juga berlaku untuk institusi keuangan lain. Dampak dari
berkurangnya dan semakin tuanya populasi di berbagai provinsi di Jepang juga
mengakibatkan dinamisnya pergerakan LDR di bank regional. Simulasi IMF
(2017) menunjukkan bahwa aging dan penurunan populasi berdampak pada
penurunan LDR bank sekitar 1-1,5 pp per tahun. Bank yang berada di area
metropolitan (misalnya: Tokyo, Osaka, dan Nagoya) cenderung bernasib lebih
baik dibandingkan dengan beberapa bank di area lain yang bisa mengalami
koreksi LDR sampai dengan 2 pp per tahun. Lebih jauh, perbankan daerah
berjuang keras untuk bertahan di tengah kondisi depopulation aging (BoJ, 2015,
lihat Box 1. Upaya Sektor Perbankan Daerah dalam Mengatasi Penurunan
Populasi).
Business opportunities: MacKellar et.al. (2004) menyitir bahwa hampir seluruh
peneliti umumnya sepakat bahwa kondisi penduduk yang menua akan
menekan saving. Hal ini terjadi karena kontribusi pendapatan lansia yang
lazimnya lebih rendah daripada penduduk usia kerja. Comprehensive Survey of
Living Conditions pada tahun 2014 mengindikasi bahwa secara umum rumah
tangga lansia memiliki pendapatan tahunan yang melampaui nilai konsumsinya
sehingga tampaknya mereka tetap memiliki budaya menabung. Di samping itu,
mereka memiliki kesadaran akan harapan hidup mereka yang semakin panjang
sehingga menabung merupakan konsekuensi logis guna intertemporal
26
consumption smoothing. Sementara itu, data NSFIE (National Survey of Family
Income and Expenditure) menunjukkan bahwa perilaku saving berbeda
antarkelompok umur. Pada tahun 2014, generasi yang lebih muda memiliki
preferensi lebih kuat untuk liquid and safer assets dibandingkan dengan usia
tua. Generasi yang lebih tua memiliki instrumen nonbank yang jauh lebih
banyak, termasuk saham, dibandingkan dengan generasi yang lebih muda. Di
sini upaya untuk meningkatkan literasi keuangan masyarakat menjadi krusial,
baik secara umum maupun bagi lansia (Matsukura, 2018). Di sisi penyedia jasa
keuangan, terbuka ruang untuk mengembangkan berbagai variasi instrumen
untuk menyerap kelebihan dana lansia, misalnya, introduksi produk asuransi
berbasis merit system dan cakupan yang lebih luas.17 Sementara itu, Takata
(2018) mengestimasi bahwa pada 2035 terdapat sekitar ¥150 triliun ($1,42
triliun) surat-surat berharga yang akan berada di tangan lansia dengan
dementia sehingga likuiditas pasar berpotensi terganggu karena turunnya
transaksi. Kondisi ini membuka peluang bagi institusi keuangan untuk
menyediakan berbagai jasa guna mempermudah nasabah lansia dalam
menyerahkan aset keuangan miliknya kepada anggota keluarga. Dari sisi
konsumsi, hampir separuh konsumsi rumah tangga didominasi oleh lansia
sampai dengan usia 75 tahun (Gambar 17). Berdasarkan data Comprehensive
Survey of Living Conditions tahun 2014, tercatat 50,43 juta rumah tangga di
Jepang dengan 25,66 juta atau 50,9% memiliki kepala keluarga yang berusia
60 tahun atau lebih. Rumah tangga tersebut didominasi oleh one-person
household, yang sekitar 60%-nya adalah perempuan. Dalam konteks ini, sejalan
dengan rerata usia hidup perempuan yang lebih panjang, yaitu mencapai 86,8
tahun pada tahun 2014. Berdasarkan survei ditemukan pula fakta bahwa
konsumsi lansia, terutama dalam bentuk kesehatan dan perawatan, pariwisata,
pengeluaran sosial, dan makanan. Penduduk lansia juga mengonsumsi lebih
sedikit pendidikan dan transportasi/komunikasi dibandingkan dengan
penduduk usia muda. Fakta ini menunjukkan bahwa terbuka peluang bisnis
yang besar bagi perusahaan Jepang untuk mengembangkan usahanya sehingga
dapat menangkap potensi pasar yang besar dari kebutuhan konsumsi produk
dan jasa lansia (Shirai, 2012).
17 Sumber: diskusi dengan SMBC, salah satu anak usahanya menyediakan jasa asuransi dengan premi yang lebih rendah pada tahun berikutnya apabila hasil tes kesehatan klien menunjukkan hasil yang lebih baik pada tahun berjalan. Selain itu, terdapat asuransi untuk hewan peliharaan. Hal demikian selaras dengan kondisi penelitian terkini bahwa manusia yang memiliki hewan peliharaan cenderung lebih sehat dan berumur panjang.
27
Gambar 17. Konsumsi Berdasar Kelompok Umur (Kiri) dan Konsumsi Penduduk
Lansia >60 Tahun (Kanan)
Sumber: Kementerian Dalam Negeri dan
Komunikasi
Sumber: Kementerian Kesehatan,
Ketenagakerjaan, dan Kesejahteraan, dan
Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi
4.3.2. Kebijakan terkait Penduduk Berusia Tua di Jepang
Depopulation aging dan dampak sosial ekonominya yang luas mendorong
pemerintah Jepang untuk menempuh berbagai kebijakan. Laporan riset dari
persemakmuran Australia (2001) sebagaimana disitir oleh Raikhola dan Kuroki
(2009) menunjukkan bahwa pemerintah Jepang telah menyediakan dukungan
publik terhadap lansia sejak tahun 1874. Dirilisnya Relief Order menjadi basis bagi
penyediaan bantuan untuk orang-orang tua dengan usia 70 tahun ke atas yang
tidak memiliki keluarga untuk membantu mereka. Sesuai dengan laporan
Kementerian Kesehatan, Ketenagakerjaan, dan Kesejahteraan Jepang (2014),
pengalaman Jepang menerapkan kebijakan terkait aging dapat dibedakan menjadi
(i) kebijakan di bidang kesehatan, pengobatan, dan perawatan; serta (ii) kebijakan
di bidang pendapatan dan partisipasi sosial.
Sistem pensiun dan asuransi telah dioperasikan di Jepang sejak sebelum
Perang Dunia Kedua. Namun, warga di sektor informal, termasuk pertanian dan
wirausahawan, belum tercakup. Kendala ini mampu diatasi setelah perang, yakni
saat ekonomi mengalami perbaikan dan dirilisnya aturan baru untuk universal
coverage pensiun dan asuransi kesehatan. Selanjutnya, biaya pengobatan gratis
untuk lansia mulai dikenalkan pada 1973. Seiring dengan biaya kesehatan yang
terus meningkat, pengaturan cost sharing mulai diberlakukan pada 1983.
Permasalahan lain pada era 70-an adalah terdapat lansia yang dirawat di rumah
sakit dalam jangka waktu lama karena keterbatasan perawatan di rumah. Berkaitan
dengan mitigasi, perawatan di rumah (in-home) mulai digalakkan, yaitu dengan
menyediakan fasilitas di luar rumah sakit melalui dukungan pembiayaan dari Gold
Plan (strategi sepuluh tahunan untuk kesehatan dan kesejahteraan lansia) dan
Undang-Undang Long Term Care Insurance juga mulai diberlakukan.
28
Gambar 18. Milestone Kebijakan terkait Penduduk Berusia Tua di Jepang dan
ASEAN+3
Sumber: Sekretariat Kementerian Kesehatan, Ketenagakerjaan, dan
Kesejahteraan Jepang
Pada tahun 1995, pemerintah merilis Undang-Undang No. 129 yang bertajuk
“The Basic Law on Measures for the Aged Society” yang bertujuan untuk (i)
menciptakan masyarakat yang adil dan energetik yang orang-orangnya memiliki
keyakinan bahwa mereka memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam aktivitas
sosial yang bervariasi atau bekerja sepanjang hidupnya; (ii) menciptakan
masyarakat yang orang-orangnya dihargai sebagai elemen penting sepanjang
hidupnya dengan membangun komunitas lokal berdasarkan semangat kebebasan
dan solidaritas; dan (iii) menciptakan masyarakat yang makmur yang warganya
hidup damai dan terpenuhi kebutuhannya sepanjang hidup. Prinsip fundamental
dari Undang-Undang tersebut sejalan dengan terminologi “active aging” yang
digunakan di komisi Eropa dan WHO.18
Selanjutnya, sebagai langkah untuk meningkatkan kesehatan lansia,
pemerintah menginisiasi “Second Movement to Strengthen Citizen’s Health in 21st
Century” (juga dikenal sebagai program Healthy Japan 21)19. Program ini
menjabarkan poin-poin mendasar yang dibutuhkan untuk secara komprehensif
untuk meningkatkan kesehatan warga negara Jepang melalui sistem jaminan sosial
18 “active aging” diartikan sebagai kemampuan beraktivitas lebih lama dengan usia pensiun yang lebih tinggi dan bekerja dengan tata cara yang telah diadaptasi dengan usia pegawai. Kondisi ini meningkatkan interaksi sosial secara kolektif. 19 First movement: 2002-2012, second movement: 2013-2023
29
yang berkelanjutan, perbaikan gaya hidup, dan lingkungan sosial, serta saling
mendukung satu sama lain, dari muda hingga tua, dengan harapan dan aspirasi
untuk menciptakan masyarakat yang warganya memiliki semangat untuk hidup
sehat dan terpenuhi kebutuhannya sepanjang tahapan kehidupan (selaras pula
dengan pendekatan “active aging”). Pada tahun 2012, Undang-Undang Asuransi dan
Manfaat Asuransi direvisi dengan penyesuaian pada peningkatan keberadaan
komunitas sistem perawatan secara terintegrasi yang menumbuhkan pendekatan
lokal dalam mendukung lansia.
Selanjutnya, pemerintah Jepang mengarahkan kebijakan “ageless society”
dengan upaya mendorong warga senior untuk tetap sehat dan bekerja. PM Jepang
Shinzo Abe yang baru terpilih kembali untuk masa jabatan hingga 2021 berjanji
memprioritaskan reformasi ketenagakerjaan dengan menaikkan usia pensiun untuk
pegawai negeri menjadi 65 tahun (sebelumnya 60 tahun) dan membuka ruang bagi
pekerja jika masih ingin aktif berkarya hingga usia 70 tahun. Pada konsep revisi
kelima kebijakan pemerintah untuk lansia yang dirilis Januari 2018 lalu, warga
Jepang diperbolehkan untuk menunda penerimaan pensiun sampai usia melampaui
70 tahun dengan harapan agar mereka tetap menjadi bagian angkatan kerja. Saat
ini secara prinsip pensiun diterima sejak usia 65 tahun, tetapi pekerja dapat mulai
menerima manfaat pensiun setiap saat antara usia 60-70 tahun. Jumlah uang
pensiun bulanan yang diterima akan lebih besar jika usia awal menerima pensiun
diundur.
Selain itu, pemerintah juga akan mengambil langkah-langkah untuk
memfasilitasi kembalinya lansia ke dunia kerja. Selanjutnya, pemerintah
menawarkan pinjaman dari Japan Finance Corporation untuk mereka yang ingin
memulai usaha dan membuka konsultasi kerja untuk lansia di lembaga
ketenagakerjaan publik bertajuk Hello Work. Pemerintah menargetkan jumlah
tenaga kerja usia 60-64 tahun menjadi 67% pada tahun 2020 (naik dari 63,6% pada
tahun 2016). Profesor Yoshikazu Kenjo dari Keio University memandang bahwa
langkah pemerintah membuka ruang penundaan pensiun dan pada waktunya
memperoleh uang pensiun yang lebih besar akan mendorong lansia untuk merasa
lebih terjamin hidup lebih lama. Jika demikian, selaras dengan karakteristik orang
Jepang yang memandang bekerja secara aktif, bahkan pada usia tua tidak saja
untuk memperoleh pendapatan, tetapi juga untuk memperbaiki kualitas hidup,
menjaga kesehatan, dan juga untuk menjalin pertemanan serta jejaring.
30
Upaya Sektor Perbankan Daerah Mengatasi Penurunan Populasi20
Semenjak tahun 2000-an, profitabilitas lembaga keuangan cenderung
semakin menurun. Laba bersih dari bisnis inti dan pendapatan bunga terus
menipis. Kondisi ini menjadi tantangan bagi otoritas dalam menjaga stabilitas sistem
keuangan. Penurunan kinerja lembaga keuangan, terutama disebabkan oleh
tekanan struktural berupa penurunan populasi serta kondisi makro dari
berlanjutnya suku bunga yang sangat rendah dan deflasi berkepanjangan.
Penurunan margin laba terjadi across the board, tetapi lembaga keuangan daerah
terdampak lebih parah dibandingkan dengan bank besar.
Penurunan angka kelahiran dan migrasi warga ke kota besar menjadi
penyebab utama penurunan populasi di berbagai daerah di Jepang. Kondisi
demikian menekan perekonomian lokal, yaitu menciutnya permintaan di tengah
semakin menuanya pengusaha lokal sehingga membatasi kemampuan mereka
untuk melakukan ekspansi dan inovasi. Selain itu, pergeseran struktur industri,
yaitu terjadinya pemindahan basis produksi ke luar negeri juga semakin menekan
aktivitas ekonomi dan penciptaan lapangan kerja lokal. Hal itu mendorong warga
usia muda bermigrasi ke kota besar untuk memperoleh pekerjaan dan pendidikan
yang lebih baik. Aksi migrasi ini berdampak pada semakin terkonsentrasinya
aktivitas ekonomi di area metropolitan, seperti lebih dari 50% laba usaha di seluruh
Jepang disumbangkan oleh perusahaan-perusahaan yang ada di Tokyo.
Depopulation aging dan penurunan aktivitas ekonomi lokal menyebabkan
menyusutnya permintaan kredit dari perusahaan. Hal demikian menciutkan margin
laba dari aktivitas intermediasi keuangan daerah. Untuk itu, agar bertahan hidup,
lembaga keuangan daerah berlomba-lomba menyasar pemberian kreditnya ke luar
provinsi, yakni ke kota-kota besar tempat berkumpulnya populasi dan aktivitas
usaha. Namun, sayangnya pemberian kredit ke luar provinsi sejauh ini belum
meningkatkan profitabilitas secara substansial dan masif. Dalam hal ini, ketatnya
persaingan yang terjadi justru menjadi tekanan untuk menurunkan suku bunga
kredit agar lebih menarik dibandingkan dengan kompetitor. Ketatnya persaingan
tersebut, terutama terjadi di area Tokyo, Osaka, dan Aichi, yang seluruhnya
memiliki angka indeks Herfindahl yang tinggi. Selain dihadapkan pada persaingan,
tekanan menurunkan suku bunga kredit juga disumbang oleh terbatasnya
kemampuan lembaga keuangan daerah untuk memproses informasi debitur
20 Dialihbahasakan ke bahasa Indonesia dan disarikan dari Suplemen Financial System Report (BoJ, 2015) yang bertajuk sama.
31
sehingga kredit hanya mampu dikucurkan kepada debitur berkredibilitas tinggi
yang tentunya memiliki posisi tawar yang mumpuni.
Berkurangnya populasi dengan struktur yang menua dan penurunan
aktivitas ekonomi daerah juga menekan kemampuan menghimpun dana. Deposito
milik pribadi secara level masih bertambah, tetapi mulai terlihat aliran dana keluar
provinsi ke kota besar, misalnya, terkait dengan pemberian warisan. Hal itu
diperparah dengan suku bunga dana yang sangat rendah, bahkan nol untuk
deposito dengan nilai kecil dan simpanan lain yang sifatnya likuid. Oleh karena itu,
kenaikan suku bunga diharapkan berdampak positif terhadap kinerja lembaga
keuangan daerah. Kendati secara spasial perlu dicermati bahwa dampak positif
tersebut belum tentu mampu dinikmati di setiap daerah atau pada seluruh lembaga
keuangan daerah. Hal itu menimbang market share, target pasar, dan ketahanan
individual yang berbeda-beda dari tiap lembaga keuangan daerah. Sehubungan
dengan itu, lembaga keuangan daerah perlu melakukan evaluasi dan analisis
mendalam mengenai dampak kenaikan suku bunga terhadap model bisnisnya.
Selanjutnya, tantangan yang dihadapi lembaga keuangan daerah masih
cukup berat sehingga berbagai upaya masih diperlukan. Dinamika populasi
diperkirakan masih akan berkontribusi negatif pada kinerja lembaga keuangan.
Begitu pula dengan kebijakan suku bunga yang kenaikannya sangat bergantung
pada proses perbaikan ekonomi Jepang. Sehubungan dengan itu, lembaga
keuangan daerah dapat menempuh berbagai upaya guna tetap menjaga
eksistensinya, antara lain, melalui (i) penguatan kapasitas untuk menjalankan
fungsi intermediasi guna mendukung revitalisasi industri/perusahaan lokal; (ii)
perluasan dan penyempurnaan lingkup bidang usaha dan penggalian kebutuhan
finansial yang baru; (iii) perekayasaan ulang proses bisnis dan inovasi (misalnya,
melalui pemanfaatan teknologi informasi) atau peninjauan kembali struktur biaya;
dan (iv) perbaikan asset and liability management, termasuk penempatan pada
surat-surat berharga dengan return yang lebih tinggi dengan mempertimbangkan
risiko. Berbagai upaya tersebut berpotensi meningkatkan nilai tambah dan efisiensi
jasa keuangan hingga mampu meningkatkan profitabilitas, tidak hanya dalam skala
individu, tetapi juga sektor keuangan daerah secara keseluruhan.
Langkah aliansi/integrasi bisnis dapat dipertimbangkan sebagai salah satu
alternatif guna mendorong upaya-upaya di atas agar menjadi lebih efektif sehingga
mampu berkontribusi semakin besar bagi komunitas setempat. Integrasi bisnis
melalui pembentukan holding company membuka peluang bagi penurunan biaya
32
dan investasi yang sesuai dengan skala ekonomi. Selain itu, terdapat keuntungan
lain, misalnya, intensifikasi promosi usaha untuk area bisnis yang lebih luas.
Namun, perlu dicermati bahwa variasi yang tinggi antarlembaga keuangan daerah
mungkin mengakibatkan proses integrasi tidak dapat serta merta diselesaikan
dalam waktu pendek.
Agar terus mampu menopang ekonomi daerah, sektor keuangan haruslah
terus menjadi suatu “industri” yang kuat dan menguntungkan. Untuk itu, perbaikan
kinerja lembaga keuangan daerah perlu terus dilakukan melalui berbagai langkah
reformasi tata kelola perusahaan. Perbaikan tata kelola akan meningkatkan
kemampuan manajerial oleh lembaga-lembaga keuangan secara swadaya. Namun,
untuk merespons tantangan demografi dan perekonomian, otoritas terkait dan
lembaga keuangan daerah perlu mempertimbangkan langkah-langkah strategis dan
sinergis berupa (1) penguatan kerja sama dengan pemerintah dan swasta untuk
mendukung revitalisasi ekonomi daerah, (2) perbaikan sistem dan regulasi terkait
bisnis perbankan/keuangan, dan (3) pemetaan bentuk ideal dari pembiayaan oleh
lembaga keuangan publik.
Sehubungan dengan itu, peran Bank of Japan selaku bank sentral
difokuskan pada pemberian dukungan bagi lembaga keuangan daerah, antara lain,
turut memperdalam dialog dengan para pengusaha setempat mengenai
tantangan/isu bisnis yang berkembang, termasuk mendiskusikan berbagai upaya
yang diperlukan untuk membenahi iklim dan revitalisasi ekonomi/keuangan lokal.
Bank sentral akan terus menawarkan know how bagi lembaga keuangan daerah,
antara lain, terkait upaya peningkatan fungsi intermediasi, manajemen risiko,
adaptasi teknologi informasi, dan bagi hasil analisis yang dimiliki dalam berbagai
bentuk.
4.3.3. Lesson Learnt
Berdasarkan pengalaman Jepang, setidaknya terdapat beberapa pelajaran
yang dapat dipetik sebagai berikut.
1. Jepang telah melewati era bonus demografi standar yang hanya bergantung pada
tingkat fertilitas sejak beberapa dekade lalu. Setelah era tersebut, ekonomi
Jepang dihadapkan pada berbagai tantangan, tetapi tidak serta merta
mengalami kebangkrutan ekonomi karena keberadaan berbagai kebijakan
pemerintah (by design) untuk meningkatkan harapan hidup dan partisipasi
dalam perekonomian (active aging). Berbagai kebijakan inilah yang menopang
33
berlanjutnya aliran pendapatan, belanja, dan savings. Kendati demikian, patut
dicermati bahwa di tengah kebijakan moneter ekstra longgar yang mendorong
excessive risk taking, upaya peningkatan literasi keuangan menjadi komponen
krusial yang perlu terus diupayakan guna (minimal) menjaga nilai aset milik
penduduk usia tua dan mencegah propagasi risiko lebih lanjut akibat aksi yield
enhancement yang dapat mengakibatkan tekanan pada stabilitas sistem
keuangan dan bahkan krisis (sebagaimana dicontohkan pascamaraknya CDO di
USA yang akhirnya bergulir secara masif menjadi krisis keuangan global).
2. Kondisi demografi Jepang yang dikategorikan sebagai negara “super aging” tidak
hanya membawa konsekuensi logis berupa tantangan, tetapi juga peluang bisnis
untuk mengembangkan berbagai produk, khususnya produk/jasa keuangan
yang sesuai dengan kebutuhan lansia. Sehubungan dengan itu, industri
keuangan perlu terus menumbuhkembangkan langkah inovasi dan kreativitas
untuk menciptakan terobosan dan bahkan mewujudkan “game changer”yang
menjadi kunci revitalisasi kinerja sektor keuangan di tengah kecenderungan
menurunnya profitabilitas sebagai imbas kondisi lingkungan makro. Langkah
industri keuangan ini perlu terus diantisipasi oleh otoritas melalui penyediaan
infrastruktur, antara lain, aturan dan sistem sehingga tetap berada dalam
koridor demi memastikan tetap terjaganya stabilitas sistem keuangan.
34
5. Penutup
5.1. Simpulan
Indonesia tengah menghadapi transisi demografi menuju akhir bonus
demografi. Dengan berkaca pada pengalaman Jepang, kondisi tersebut akan
berimplikasi pada perekonomian dan ketahanan SSK nasional, antara lain, melalui
peningkatan beban fiskal serta ketahanan pemangku kepentingan dalam sistem
keuangan. Berdasarkan analisis dengan menggunakan data terkini, ditemukan
bahwa bonus demografi (BD) di Indonesia akan berakhir pada tahun 2025. Dari segi
SSK, kondisi tersebut memiliki implikasi besar. Kebutuhan pinjaman pada periode
tersebut diproyeksikan akan didominasi oleh kelompok usia 25-29 tahun. Jika
dibandingkan dengan proyeksi ketersediaan dana tabungan sebagai komponen DPK
perbankan, kebutuhan pinjaman tersebut tidak dapat dipenuhi sehingga
membutuhkan sumber pembiayaan di luar sektor rumah tangga.
Meningkatnya penduduk usia tua membawa tantangan tersendiri bagi suatu
negara. Pengalaman Jepang yang telah mengalami akhir bonus demografi sejak dua
dekade yang lalu dapat dijadikan pelajaran berharga. Pemerintah Jepang berupaya
memperpanjang bonus demografi dengan meningkatkan angka harapan hidup serta
partisipasi aktif penduduk usia tua dalam perekonomian. Berbagai kebijakan yang
dilakukan, antara lain, mendorong penduduk usia tua untuk tetap bekerja,
menaikkan usia pensiun, dan memfasilitasi pinjaman untuk berusaha. Implikasi
langsung bagi perbankan adalah terjadinya perubahan bisnis model perbankan.
Fenomena deleveraging menimbulkan masalah potensial, yaitu penurunan
profitabilitas bank. Low profitability adalah kondisi yang vulnerable terhadap
guncangan-guncangan makro, seperti nilai tukar dan suku bunga serta dapat
mengganggu kestabilan sistem keuangan. Perbankan melakukan ekstensifikasi
model bisnis menjadi service based diiringi oleh inovasi dan kreativitas produk-
produk perbankan dan asuransi. Walaupun demikian, evolusi sistem keuangan ini
terus untuk diantisipasi oleh otoritas Jepang melalui penyediaan infrastruktur,
seperti aturan dan framework sehingga tetap berada dalam koridor kehati-hatian
demi terjaganya stabilitas sistem keuangan. Dengan berakhirnya BD1 di Indonesia,
kapasitas perekonomian Indonesia menuju penduduk berusia tua menjadi lebih
rendah.
35
5.2. Rekomendasi
Dari sudut pandangan kebijakan, transisi demografi menciptakan tantangan
yang bervariasi. Fakta bahwa kondisi ini belum pernah terjadi sebelumnya
menunjukkan bahwa kita tidak bisa memberikan usulan rekomendasi kebijakan
yang sudah pernah digunakan sebelumnya. Kabar baiknya adalah karena Indonesia
bukan merupakan negara yang pertama kali mengalami kondisi ini. Kita bisa belajar
dari negara lain mengenai rangkaian kebijakan yang digunakan dalam rangka
menjaga stabilitas sistem keuangan.
Dengan memperhatikan adanya perbedaan profil antarkelompok usia, dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kebutuhan dan risk apetitte yang harus
diperhatikan. Sebagaimana dilakukan di Jepang, saat ini sektor perbankan sudah
mulai berlomba menciptakan produk manajemen kekayaan (wealth management)
guna mengoptimalisasi tingkat konsumsi kelompok usia tua dan mempertahankan
pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, mereka juga tengah memperkaya
produk manajemen kekayaan untuk kelompok angkatan kerja dalam rangka
sekuritisasi aset dan optimalisasi tingkat pengembalian investasi pada masa
pensiun.
Seiring dengan meningkatnya isu bonus demografi di Indonesia, sektor
perbankan nasional mulai mengembangkan produk pembiayaan untuk kelompok
angkatan kerja. Penerbitan produk tersebut menyasar pada kelompok muda yang
relatif baru memasuki dunia kerja, tetapi memiliki kebutuhan pembiayaan yang
cukup besar, antara lain, untuk pembelian properti (KPR milenial oleh Bank Mandiri
dan Bank MNC). Akan tetapi, belum ada perkembangan produk lebih lanjut yang
dikhususkan untuk mengakomodasi pengelolaan aset kelompok usia tua guna
menjaga tingkat konsumsi penduduk berusia tua. Kondisi ini perlu menjadi
perhatian otoritas terkait guna menjaga pertumbuhan perekonomian di tingkat
nasional.
5.3. Pengembangan Selanjutnya
Masih terdapat ruang untuk pengembangan penelitian ini, antara lain,
pembaharuan BD dengan menggunakan data pada periode 2-3 tahun yang akan
datang serta estimasi bonus demografi. Kedua, mengukur akumulasi kekayaan
kelompok usia tua (nonangkatan kerja) yang dapat digunakan untuk
mempertahankan pertumbuhan perekonomian nasional. Selain itu, perlu dilakukan
komparasi BD di antara negara emerging market lain.
36
Daftar Pustaka
Birdsal, Nancy, Kelley, A.C dan Sinding, Steven W. (2001). ” Population Matters:
Demographic Change, Economic Growth, and Poverty in the Developing
World”. Oxford University Press, 2003.
https://www.cgdev.org/doc/expert%20pages/birdsall/Population%20_Mat
ters.pdf
Bloom, David E., Canning, David, dan Fink, Günther. (2008). “Population Aging and
Economic Growth”. PGDA Working Paper No. 31.
https://cdn1.sph.harvard.edu/wpcontent/uploads/sites/1288/2013/10/
PGDA_WP_31.pdf
Davis E. P. (2002), “Ageing and financial stability”, in eds H Herrmann and A
Auerbach, “Ageing and Financial Markets”, Springer Verlag – Deutsche
Bundesbank
(http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.474.6795&rep
=rep1&type=pdf)
DSF, Indonesia’s Intergovernmental Transfer Response on Future Demographic and
Urbanization: Improving the Policy Framework for Fiscal Decentralisation
(the Grand Design of Fiscal Decentralization), November 2011.
http://documents.worldbank.org/curated/en/548511468260133592/pdf
/684550ESW0P11900Urbanization0shifts.pdf
Herrmann, Michael. (2014). “The Economic Challenges of Population Aging in
Emerging Markets”. Modern Economy, Vol. 5 No.2 (2014), pp. 161-173.
http://dx.doi.org/10.4236/me.2014.52018
Hewitt. Paul S. (2001). “Depopulation and Ageing in Europe and Japan: The
Hazardous Transition to a Labor Shortage Economy”. International Politics
and Society, January 2002.
https://web.archive.org/web/20071227192352/http://www.globalaging.o
rg/health/world/depopulationeuropejapan.htm
Mason, Andrew, dan Kinugasa, Tomoko. (2008). “East Asian Economic Development:
Two Demographic Dividens”. J Asian Econ. 2008 Nov; 19(5-6): 389–399.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2634856/
Mason, Andrew. (2005). “Demographic Transitory and Demographic Dividends in
Developed and Developing Countries”.
http://www.un.org/esa/population/meetings/Proceedings_EGM_Mex_200
5/mason.pdf
Mason, Andrew, and others. (2017). “Support Ratios and Demographic Dividends:
Estimates for the World”. UN Technical Paper no.2017/1.
37
Ogawa, Naohiro., Mason, Andrew., Chawla, Amonthep., dan Matsukura, Rikiya.
(2010). “Japan’s Unprecedented Aging and Changin Intergenerational
Transfers”. University of Chicago Press: The Economic Consequences of
Demographic Change in East Asia, NBER-EASE Volume 19.
PWC Global, “Demographic Change” accessed: Sep, 21.
https://www.pwc.com/gx/en/industries/financial-
services/projectblue/demographic-change.html
Yoshino, Naoyuki, dan Taghizadeh-Hesary, Farhad. (2017). “Japan’s Lost Decade:
Causes and Remedies”. ADB Institue Series on Development Economics,
DOI 10.1007/978-981-10-5021-3_1.