TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PERNIKAHAN...
Transcript of TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PERNIKAHAN...
TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PERNIKAHAN FASAKH
(Studi Kasus Pernikahan Jonas Rivanno Dan Asmiranda)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Rudi Haryanto
108043200010
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436H/2015 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S-1) di UIN Syarif
Hidayatullah.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil penjiplakan dari orang lain atau plagiat, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 6 November 2014
Rudi Haryanto
i
ABSTRAK
Rudi Haryanto. NIM 108043200010, Tinjauan Hukum Islam Tentang
Pernikahan Fasakh (Studi Kasus Pernikahan Jonas Rivanno Dan
Asmiranda). Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum (PMH).
Konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2014 M, Isi vii + 76 Halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana persepsi atau tinjauan
hukum Islam tentang pernikahan Fasakh dalam kaitannya dengan kebohongan
dalam memenuhi rukun dan syarat-syarat sahnya pernikahan (studi kasus
pernikahan jonas rivanno dan asmirandah) bagaimana hukum pernikahan mereka
dan bisakah mereka untuk menikah kembali, dan dikasus pernikahan ini adanya
proses kristenisasi atau pemurtadan yang dilakukan oleh para misionaris untuk
merusak aqidah umat Islam dengan cara perkawinan.
Penelitian ini menggunakan Metode kualitatif analisis deskriptif Research
Library (Studi Pustaka) dari buku ke buku, objek penelitian ini adalah pernikahan
jonas rivanno dan asmirandah, untuk mengetahui bagaimana hukum pernikahan
mereka.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa akad nikah mereka sah karena
mempelai pria dianggap beragama Islam, setelah mempelai pria itu mengeluarkan
statement ke media bahwa dia tidak pernah masuk Islam (mualaf) maka
pernikahan mereka gugur atau batal secara agama (Fasakh), dan mereka bisa
kembali lagi dalam ikatan pernikahan jika si suami kembali ke agama Islam
sebelum habis masa iddah sang istri, dan dalam kasus ini ditemukan adanya
proses kristenisasi atau pemurtadan yang dilakukan oleh para misionaris.
Pembimbing : Dr. Phil.J.M. Muslimin, MA.
Kata Kunci : Tinjauan Hukum Islam Tentang Pernikahan Fasakh
(Studi Kasus Pernikahan Jonnas Rivanno Dan Asmirandah)
ii
KATA PENGANTAR
اهلل الرمحن الرحيم بسم Assalamualaikum Wr, Wb
Segala puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, pemilik
dan segala sumber ilmu, yang hidayahnya diberikan kepada makhluk-Nya,
sehingga penulis yang berada pada bagian yang amat kecil dari sebuah titik
makhluk-Nya, mampu menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “TINJAUAN
HUKUM ISLAM TENTANG PERNIKAHAN FASAKH (Studi Kasus
Pernikahan Jonas Rivanno Dan Asmiranda)” shalawat beserta salam tak lupa
atas baginda makhluk yang paling mulia Nabi Muhammad SAW yang telah
menghantarkan Al-Qur’an sebagai penjelasan kepada manusia melalui haditsnya.
Penulis menyadari kiranya skripsi yang merupakan tugas akademik ini,
ternyata banyak orang yang ikut memberikan aspirasi, inspirasi dan motivasi yang
dibutuhkan penulis dalam proses penyelesaiannya. Maka dari itu penulis
mengucapkan banyak terima kasih yang tulus dari hati kepada :
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Dr. Phil. J.M. Muslimin, MA. dan
sekaligus pembimbing skripsi saya, terima kasih atas ketulusan dan
kesabarannya dalam membimbing saya sehingga terselesaikannya skripsi
ini dan terima kasih banyak untuk nasehat-nasehat dan ilmu yang telah
bapak berikan kepada saya.
2. Ketua Progam Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Dr. H.
Muhammad Taufiki, M.Ag., dan Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si
iii
selaku sekretaris jurusan yang telah memberikan ilmu dan arahan kepada
penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.
3. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan arahan dan
pengembangan intelektualitas penulis dalam menyelesaikan program
kuliah.
4. Para pegawai/staf Fakultas Syariah dan Hukum serta pimpinan dan
karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah yang telah
memberikan pelayanan yang baik kepada penulis.
5. Ibuku Rasitem yang tersayang dan terhebat, seorang single parents yang
bisa menyekolahkan keempat anaknya sampai kependidikan yang lebih
tinggi, Do’aku selalu menyertaimu Mom, semoga sehat selalu dan selalu
dalam lindungan-Nya, terima kasih buat kakak-kakakku, Yu Sani yang
sampai saat ini entah dimana keberadaannya dan bagaimana kabarnya,
karena dialah aku bisa melanjutkan kependidikan yang lebih tinggi,
semoga engkau selalu dalam lindungan-Nya, Aa Damun yang selalu ada
untuk memberi motivasi dan yang membiayai aku kuliah sampai aku lulus,
dan Yu Lina yang selalu memberi nasehat-nasehat dan memasak masak
kesukaanku, terima kasih banyak keluarga kecilku.
6. Teman-teman UKM Khususnya UKM KMM RIAK yang telah banyak
memberikan pengaruh yang baik dalam hal persahabatan dan
berorganisasi, Uda Taufik A. Adam, Bang Ahmed, Bang Nyamuk, Bang
Andi Key, Bang Sule, Bang Kahfi, Bang Lukman, Bang Makki, Bang
Makyun, Sakdu Firtsyan, (Sombrero, Iskandar Zulqornain, Ahsan Nauli),
iv
Amsyirvan Maulana (Dzeta/Rivan), Rizki Pratama (Joker), Akhmad
Raditya, Hadi Safrudin, Rinal, Dewi Febrianti, Rizki Amalia, Upay, Tia,
Umam, Acal, Sucux, Daus, Faris, Srinelvia Edwitri, Liana Sakdiah, Bang
Ridwan Nurdiansyah (Irex), UKM KALACITRA Bang Jangkrik, Latif,
Bang Gembel, Sabqi, Kikim, Elisha, Dias, Zuli Istiqomah, Khaidar
(Temon), Didik, Rahadian Wijaya, terima kasih telah menemani dan
banyak memberikan hal positif kepada penulis selama masa kuliah di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Keluarga Icha (Forte), Keluarga Puput, Keluarga Dewi Puspitasari,
Keluarga Eni, Keluarga Fandi Ahmad, Keluarga Sigit Budiyono, Keluarga
Robbi Cahyadi, Keluarga Hadi Priyono, Keluarga Inang, maturnuwun
sedulur-sedulurku kabeh telah menerima dengan baik kehadiran penulis di
tengah-tengah keluarga.
8. Teman-teman Kelas Perbandingan Hukum Angkatan 2008 Sigit Budiyono,
Fandi Ahmad, Maman Abdurahman, Robbi Cahyadi, Rian Badruzzaman,
H. Imam Taufik, Rizki Syafaat, Imron Rosadi, Imam Syafei, Hayu
Arafika, Ahsan Septianto Purnomo, Gesha Romadona, Nawaul huriyah,
Perbandingan Madzhab Fiqh Angkatan 2008, Fauzan, Azis, maturnuwun
sedulur-sedulurku kabeh Kalian telah memberikan Kenangan yang
terindah selama penulis belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9. Teman-teman KKN Cerdas Leuwiliang Pamijahan Nangka Sari 2011,
Muhammad Sahad, Hadi Priyono, Gofur, Fitri Minawati, Ryan Dcow,
Yusron, Irfan, Qianda, dkk.
v
10. Teman-teman Fakultas lain Dariel Latif, Ridho, Ihsan, Dans Arya, Rizki,
Juki, Praditya Unggul, ZainIkhlas, Ilham, Irpan Taufik (Panjul), Teguh,
Didi Abdirahim, Hary Hariyanto, Sofyan, Yavi Azhar, Heru (Bangor),
Reza Mustaqim, Zahrina, Minda WH Yasin, Agustia, maturnuwun
sedulur-sedulurku kabeh untuk semua kebaikan kalian.
Dengan hamparan kedua tangan disertai ketulusan hati, penulis
mendo’akan semoga bantuan, dukungan, bimbingan dan perhatian yang
telah diberikan oleh semua pihak akan mendapat pahala yang berlipat
ganda dari Allah SWT disertai limpahan rahmat, hidayat serta berkah-
Nya. Amin Ya Rabbal Alamin.
Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sepenuhnya dapat
menenteramkan kegelisahan intelektual serta menyirami dahaga ilmiah, untuk itu
penulis sangat berlapang dada menerima masukan-masukan apalagi kritik
konstruktif. Semoga skripsi dihadapan anda dapat memberikan kontribusi positif,
memperluas wawasan keilmuan serta menambah khazanah perpustakaan.
Jakarta, 17 Juni 2014
Penulis
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ..................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................. 5
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................... 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 6
E. Tinjauan Pustaka (Study Review) ............................................ 7
F. Sistematika Penulisan ............................................................... 9
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG KEBOHONGAN
(PENIPUAN) DAN PERNIKAHAN FASAKH MENURUT
PARA ULAMA
A. Pengertian Kebohongan............................................................ 10
B. Macam-macam Kebohongan .................................................... 12
C. Bentuk-bentuk Kebohongan, Unsur dan Akibat Hukumnya .... 15
D. Hukum Kebohongan atau Penipuan Dalam Islam.................... 19
E. Hukum Pernikahan Fasakh Menurut Para Ulama .................... 25
BAB III MENJELASKAN TENTANG RUKUN DAN SYARAT-
SYARAT PERNIKAHAN
A. Rukun-rukun Pernikahan .......................................................... 35
1. Sighat Pernikahan ............................................................... 38
2. Mempelai (Calon Suami Atau Istri) ................................... 42
3. Wali ..................................................................................... 43
4. Kehadiran Dua Orang Saksi ............................................... 51
vii
B. Syarat-syarat Perkawinan ........................................................ 52
1. Islam ................................................................................... 52
2. Sighat Ijab dan Qabul Harus Kekal dan Tidak Temporal ... 54
3. Kesaksian ............................................................................ 55
4. Menentukan Kedua Mempelai ............................................ 57
5. Salah Satu Mempelai Atau Wali Tidak Sedang dalam
Keadaan Haji Atau Umrah .................................................. 58
6. Mahar (Maskawin) .............................................................. 59
7. Wali ..................................................................................... 60
C. Nikah Fasakh (Beda Agama Atau Campuran ......................... 60
BAB IV ANALISIS HUKUM STATUS PERNIKAHAN FASAKH
MENURUT HUKUM ISLAM
A. Aspek-aspek Yang Mempengaruhi Pernikahan Fasakh ........... 68
B. Analisis Status Hukum Pernikahan Fasakh Menurut Hukum
Islam ......................................................................................... 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 73
B. Saran ........................................................................................ 74
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 75
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seiring perkembangan masyarakat indonesia yang semakin kompleks,
permasalahan yang terjadi juga semakin kompleks. Terutama juga
kompleksitas masalah pernikahan, yang antara lain pernikahan campuran,
kontrak, dan beda agama.
Dimana, pernikahan merupakan hal yang sangat penting dalam realita
kehidupan umat manusia. Dengan adanya pernikahan rumah tangga dapat
ditegakan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan
masyarakat. 1
Tujuan dari pernikahan itu adalah membentuk suatu keluarga sakinah
mawaddah warrahmah perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu, agar
tujuan yang disyariatkannya perkawinan tercapai.2
Namun dalam memilih pasangan hidup makin tak mungkin dibatasi
sekat geografis, etnis, warna kulit, bahkan agama. Jika dahulu orang-orang di
Indonesia menikah dengan orang yang paling jauh beda kabupaten, sekarang
sudah kerap dengan orang beda provinsi bahkan negara.
1Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana,
2006), h. 1.
2Ahmad Rofiq, Hukum Islam Indonesia (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 70.
2
Pernikahan beda agama pun tak terhindarkan. Globalisasi
meniscahyakan perjumpaan tak hanya terjadi antar orang-orang yang satu
agama, melainkan juga beda agama. Tunas cinta bisa bersemi di kantor-kantor
modern yang dihuni para karyawan beragam agama, para artis di lokasi
syuting. Ruang-ruang publik seperti kafe, mall, dan lain-lain membuat
perjumpaan kian tak tersekat agama. Sekat primodial agama terus luluh diterjal
media sosial seperti facebook dan twitter. Orang tua tak mungkin membatasi
agar anaknya hanya bergaul dengan yang seagama.
Pengaturan mengenai perkawinan beda agama di berbagai negara
sangat beragam. Di satu sisi ada negara-negara yang membolehkan perkawinan
beda agama, dan di sisi lain terdapat negarayang melarang, baik secara tegas
maupun tidak tegas, adanya perkawinan beda agama.3
Masalahnya, dengan adanya perkawinan beda agama yang terjadi
suatu perbedaan prinsipil dalam perkawinan itu sehingga dikhawatirkan akan
menimbulkan berbagai masalah yang rumit untuk diselesaikan kemudian hari.
Oleh karena itu, hal ini banyak mendapat tantangan dari masyarakat luas, tetapi
juga oleh hukum positif di negara kita serta hukum agama yang mereka anut.
Walau tidak dapat dipungkiri ada saja pihak yang pro terhadap
pernikahan beda agama ini. Islam sendiri sebagai agama yang dianut oleh
mayoritas penduduk Indonesia sebenarnya juga menentang keras mengenai
keberadaan pernikahan antar agama di dalam masyarakat Indonesia saat ini.
Sangat dilarang bagi umat Islam untuk menikahi pasangan yang non muslim.
3 Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan No.
1 Tahun 1974 (Jakarta: Dian Rakyat, 1986, Cet. Ke-1), h. 16.
3
Dalam firman Allah telah disebutkan di surat Al-Baqa‟rah ayat 221
yang mengharamkan orang Islam menikah dengan laki-laki dan perempuan
musyrik. Pada firman Allah SWT di surat Al-Mumtahanah ayat 10 yang
melarang orang Islam menikah dengan orang kafir.
Kasus pernikahan beda agama yang lebih dikenal dengan istilah
perkawinan campuran sampai sekarang masih merupakan masalah yang
sensitif ditengah masyarakat kita, karena kasus ini masih sering terjadi, baik
dikalangan masyarakat biasa maupun dikalangan selebritis. Masyarakat awam
pernikahan beda agama merupakan sesuatu hal yang baru tabu karena mereka
tahu hal yang seperti itu adalah sesuatu yang dilarang agama, padahal
sebenarnya kasus seperti itu telah terjadi di jaman Rasulullah SAW, tapi
kebanyakan mereka mengkaji lagi larangan yang mereka ketahui itu.
Seperti halnya kasus pernikahan pasangan selebriti yang sering
bermain sinetron yaitu Jonas Rivanno dan Asmiranda yang merupakan
pasangan beda agama. Sebelum menikah Jonas Rivanno adalah seorang laki-
laki non muslim, karena Jonas Rivanno ingin menikahi pasangannya
Asmiranda jadi Jonas Rivanno rela masuk Islam demi menikahi Asmiranda.
Tetapi dalam kasus pernikahan Jonas Rivanno dan Asmiranda tersebut
terjadi konflik mengenai adanya ketidak pengakuannya Jonas Rivanno dan
Asmiranda atas masuk Islamnya Jonas Rivanno dan sudah menikahi
Asmiranda dengan menjadi mualaf. Melainkan, Jonas membantah jika Jonas
belum masuk Islam padahal banyak bukti yang menyatakan kalau Jonas
Rivanno tersebut sudah masuk Islam dan Menikahi Asmiranda.
4
Saat ini Forum Pembela Islam (FPI) memiliki bukti-bukti pernikahan
Jonas Rivanno dan Asmiranda, termasuk bukti Jonas Rivanno memakai
identitas Islam. Bukti tersebut diantaranya surat pernikahan, rekaman syahadat
Jonas, surat pengantar nikah, asal-usul Jonas Rivanno, dan KTP Islam.4
Menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Seni dan
Budaya KH A Cholil Ridwan menganggap pernikahan Asmirandah dan Jonas
Rivanno gugur. Pasalnya, Jonas tidak mengakui keislamannya di depan mata.
Padahal, Menurut Cholil, Kantor Urusan Agama (KUA) menikahkan
Asmirandah dan Jonas secara Islam karena keduanya memiliki bukti beragama
Islam. Jonas sendiri memang telah melakukan proses mualaf dibimbing oleh
ketua MUI Depok.
Namun, Jonas membantah telah masuk Islam. Cholil pun berpendapat
jika keislaman Jonas gugur karena tidak mengakui keislamannya berarti
pernikahan gugur. KUA menikahkan secara Islam karena dianggap sebagai
muslim.
Karena pernikahannya gugur, pasangan selebriti yang sering bermain
sinetron bareng tersebut bukan suami istri. Meski diwarnai kontroversi, Jonas
dan Asmirandah memang tetap suami istri dan tinggal bersama.
Menurut Cholil, masuk Islam itu menyatakan kalimat syahadat. Tapi
dia tidak mengaku berarti kemualafannya gugur, keislamannya gugur. Karena
Jonas tidak mengakui keislamannya, otomatis berarti bukan suami istri lagi.5
4Diaksespadatgl 10 November 2014 dari
http://m.tempo.co/read/news/2013/11/15/219529868/FPI-pernikahan-Jonas-dan-Asmirandah-Haram
5Diaksespadatgl 10 November 2014 darihttp://m.okezone.com/read/2013/11/16/33/898107/large
5
Dari alasan pemikiran yang telah diuraikan di atas, penulis selaku
mahasiswa Fakultas Syari‟ah dan Hukum merasa tertarik untuk membahasnya
lebih lanjut dan mencoba untuk membuat karya ilmiah yang berbentuk skripsi
dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Tentang Pernikahan Fasakh (Studi
Kasus Pernikahan Jonas Rivanno dan Asmiranda)”.
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana menurut MUI dan Ulama terhadap pernikahan Jonas dan
Asmiranda setelah statment Jonas?
2. Apakah mereka masih bisa untuk menikah kembali?
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah merupakan usaha untuk menetapkan batasan-
batasan dari masalah penelitian yang akan diteliti. Batasan masalah ini
berguna untuk mengidentifikasi faktor mana saja yang tidak termasuk
dalam ruang lingkup masalah penelitian.6
Dalam penelitian ini, karena masalah yang akan diteliti cukup luas
oleh karena itu penulis memberi batasan sebagai berikut:
a. Dengan judul, pernikahan Fasakh menurut perspektif hukum Islam
b. Penelitian ini hanya pada kasus Jonas Rivanno dan Asmiranda
6 Husaini Usman dan Pramono Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial(Jakarta:
Bumi Aksara, 2006), h. 23.
6
2. Perumusan Masalah
Agar dapat mempermudah dalam penyusunan skripsi ini, maka perlu
kiranya dirumuskan beberapa masalah berikut :
1. Bagaimana menurut hukum Islam mengenai pernikahan Fasakh Jonas
Rivanno dan Asmiranda?
2. Apakah mereka masih bisa untuk menikah kembali?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mencoba untuk memberikan
informasi tentang pengetahuan hukum Islam terhadap pernikahan yang
terjadi antara Jonas Rivanno dan Asmiranda. Penelitian ini memiliki tujuan
utama sebagai berikut:
a) Mengetahui bagaimana hukum Islam terhadap pernikahan Fasakh yang
terjadi antara Jonas Rivanno dan Asmiranda setelah adanya statement
Jonas Rivanno.
b) Mengetahui pendapat dari MUI, KUA, dan Ulama terhadap pernikahan
Fasakh Jonas Rivanno dan Asmiranda.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini diharapkan baik bagi masyarakat
maupun bagi peneliti adalah:
a) Bagi penulis, untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam hukum
Islam pernikahan beda agama antara Jonas Rivanno dan Asmiranda.
7
b) Bagi akademisi, untuk menambah ilmu pengetahuan dan sebagai bahan
referensi sebagai mahasiswa, staf pengajar, dan lainnya dalam
menunjang penelitian selanjutnya.
c) Bagi prodi, untuk memperluas informasi dalam rangka menambah dan
meningkatkan khazanah pengetahuan, khususnya dalam bidang hukum
pernikahan beda agama.
d) Bagi masyarakat, untuk memberikan informasi mengenai hukum Islam
pernikahan fasakh yang dilakukan antara Jonas Rivanno dan Asmiranda.
E. Tinjauan (Review) Study Terdahulu
Penelitian tentang pembahasan ini memang bukan penelitian yang
pertama, penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh:
1. Wahyu Sunandar, Skripsi, Fakultas Ushuluddin, 2011 berjudul Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang bada agama dan respon para
pemuka agama terhadapnya. Dalam penelitian ini membatasi masalah pada
perbedaan antara perkawinan beda agama menurut fatwa MUI
Nomor:4/Munas VII/MUI/8/2005.
Penelitian ini berkesimpulan bahwa fatwa yang dikeluarkan oleh
Majelis Ulama Indonesia tentang pernikahan beda agama adalah kurang
relavan. Karena sepertinya MUI hanya mengambil keputusan berdasarkan
teks-teks suci tanpa melihat realita dan pendapat dari agama-agama lain.
8
Karena pernikahan beda agama bukan menyangkut Islam saja tetapi lebih
bersifat umum antar agama lainnya.
Persamaan penelitian saudara Wahyu dengan penelitian saya ini
adalah sama-sama membahas tentang pernikahan beda agama menurut
Islam. Adapun perbedaannya yang menjadi subyek penelitian ini adalah
pelaku pernikahan yang beda agama.
2. Dedi Irawan, Skripsi, Fakultas Ushuluddin, 2010 berjudul Pernikahan beda
keyakinan dalam Al-qur‟an (Analisis penafsiran al-Maraghi atas Q.S al-
Baqarah ayat 221 dan Q.S. al-Maidah ayat 5). Dalam penelitian ini
membatasi masalah dengan melihat bagaimana pemahaman Al-Maraghi
tentang pernikahan beda agama melalui surat al-Baqarah ayat 221 dan al-
Maidah ayat 5. Kesimpulan dari penelitian ini adalah laki-laki muslim tidak
boleh menikahi wanita musyrik, karena walaupun laki-laki adalah
pemimpin rumah tangga, akan tetapi orang musyrik itu selalu mengajak
untuk terjerumus dalam kemusyrikan. Wanita muslimah tidak boleh
menikahi laki-laki non muslim baik dari kalangan musyrikin maupun
kalangan ahlul kitab, karena ditakutkan wanita tersebut akan mengikuti
agama suaminya.
Persamaan penelitian saudara Dedi Irawan dengan penelitian saya
adalah bagaimana pernikahan beda agama menurut hukum Islam pada ayat Al-
qur‟an. Adapun perbedaannya, lebih fokus pada kasus Jonas Rivanno dan
Asmiranda.
9
F. Sistematika Penulisan
Sistimatika penulisan yang dipergunakan dalam skripsi ini terdiri dari 5
(lima) bab, memiliki kandungan atau isi yang saling berkaitan dalam proses
penelitian dan untuk analisa hasil penelitian dilapangan, berikut adalah ulasan
mengenai isi dari tiap bab tersebut. Berikut ini akan diuraikan sistimatika
penulisan sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan Bab ini terdiri dari latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan (review) studi terdahulu, serta sistematika penulisan.
BAB II Landasan Teori Bab ini berisi tentang Menguraikan pengertian
Umum kebohongan dan pernikahan Fasakh menurut pendapat para ulama.
BAB III Yaitu Berisi Tentang Rukun Dan Syarat-syarat perkawinan
Menurut Hukum Islam.
BAB IV Yaitu berisi tentang analisis Hukum Islam terhadap persoalan-
persoalan yang berkaitan dengan pernikahan Fasakh.
BAB V Penutup Dalam bab ini berisi kesimpulan dan saran atas penelitian
yang dilakukan oleh penulis.
10
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG PENGERTIAN KEBOHONGAN
(PENIPUAN) DAN PERNIKAHAN FASAKH MENURUT PARA ULAMA
A. Pengertian Kebohongan
Kebohongan (juga disebut kepalsuan) adalah jenis penipuan dalam
bentuk pernyataan yang tidak benar, terutama dengan maksud untuk menipu
orang lain, seringkali dengan niat lebih lanjut untuk menjaga rahasia atau
reputasi, perasaan melindungi seseorang atau untuk menghindari hukuman
untuk tolakan satu tindakan. Berbohong adalah menyatakan sesuatu yang tahu
tidak benar atau bahwa orang tidak jujur yakni benar dengan maksud bahwa
seseorang akan membawanya untuk kebenaran. Seorang pembohong adalah
orang yang berbohong sebelumnya telah berbohong, atau yang cenderung
oleh alam untuk berbohong, berulang kali bahkan ketika tidak diperlukan.7
Bohong (Kepalsuan) adalah penyakit yang menghinggapi masyarakat
di segala zaman. Bohong adalah penyebab utama bagi timbulnya segala
macam bentuk kejelekan dan kerendahan. Suatu masyarakat takkan lurus
selamanya jika perbuatan bohong ini merajalela di antara individu-
individunya. Dan suatu bangsa takkan bisa menaiki tangga kemajuan kecuali
jika berlandaskan pada kejujuran. Perbuatan bohong akan menimbulkan rasa
saling membenci antara sesama teman. Rasa saling mempercayai antar
sesama akan hilang, dan akan tercipta suatu bentuk masyarakat yang tidak
berlandaskan asas saling tolong-menolong atau gotong royong. Apabila
7Diakses pada tgl 10 Februari 2014 http://id.wikipedia.org/wiki/Kebohongan
11
bohong sudah merajalela ke dalam tubuh masyarakat, maka hilanglah rasa
senang dan keakraban antara anggota-anggotanya. Mengingat dampaknya
yang sangat negatif dan membahayakan masyarakat, maka Islam melarang
berbohong dan menganggap perbuatan ini sebagai perbuatan dosa besar.8
Berbohong biasanya digunakan untuk merujuk kepada penipuan dalam
komunikasi, lisan atau tertulis. Bentuk lain dari penipuan, seperti penyamaran
atau pemalsuan, biasanya tidak dianggap sebagai kebohongan, meskipun
maksud yang mendasarinya mungkin sama. Namun, bahkan pernyataan yang
sebenarnya dapat digunakan untuk menipu. Dalam situasi ini, itu adalah
maksud yang keseluruhan berbohong, daripada kebenaran pernyataan dari
setiap individu yang dianggap kebohongan.9 Dalam hal ini terdapat bentuk-
bentuk kebohongan terbagi menjadi 3 yaitu:
a. Berdusta dan Saksi Dusta
Berdusta berarti mengatakan yang tidak benar untuk menyesatkan.
Dusta adalah pelanggaran yang paling serius terhadap kebenaran. Berdusta
berarti berbicara atau berbuat melawan kebenaran untuk menyesatkan
orang yang mempunyai hak untuk mengetahui kebenaran.
b. Rekayasa atau Manipulasi
Rekayasa atau manipulasi berarti menyiasati atau mengarahkan
orang lain ke suatu tujuan yang menguntungkan dirinya sendiri, meskipun
barangkali orang lain merugi. Rekayasa dan manipulasi bersifat
mengelabui.
8 Diakses pada tgl 10 Februari 2014 dari http://islamiwiki.blogspot.com/2012/03/bahaya-
berbohong-dan-hukumnya-dalam.html#.UvtKq85qMz0
9 Diakses pada tgl 10 Februari 2014 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kebohongan
12
c. Fitnah dan Umpatan
Fitnah dan umpatan ini sangat jahat, sebab yang difitnah tidak
hadir dan tidak selalu mengetahuinya sehingga sering kali tidak dapat
membela diri. fitnah dapat berkembang tanpa saringan.
Sebab-sebab kebohongan ada bermacam-macam alasan yang
mendorong orang untuk melakukan kebohongan, antara lain sebagai
berikut:
1. Berbohong hanya sekedar iseng, orang dapat berbohong hanya karena
ingin menikmati kesenangan murahan. Orang merasa senang jika ada
orang lain merasa tertipu atau terpedaya.
2. Berbohong untuk memperoleh kepentingan tertentu, para pedagang
misalnya, kadang-kadang menipu untuk memperoleh keuntungan yang
lebih besar.
3. Berbohong karena takut dalam situasi terjepit, untuk menyelamatkan
diri dari situasi terjepit atau dari bahaya yang membahayakan diri
sendiri.10
B. Macam-macam Kebohongan
Ulama, Umara dan orang kaya adalah merupakan tiga pilar penyangga
keadilan dan kebenaran. Secara simbolik, ketiganya menjadi penjaga pintu
neraka agar tak seorang pun masuk kesana. Ulama, Umara dan orang kaya
adalah pelindung masyarakatnya. Dalil moralistik dan idiilnya jelas: bila tiga
golongan ini baik, maka baik pula masyarakatnya. Ulama menjadi teladan
10 Diakses pada tgl 10 Februari 2014 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kebohongan
13
akhlak mulia dan mencerminkan pepatah: orang pandai tempat bertanya,
orang bijak perumus fatwa. Umara sebagai pemegang kendali masyarakat dan
Negara, mengemban sifat amanah dan jujur, dan bukan sibuk menjaga
singgahsananya sendiri, dengan resiko bohong, zalim dan keji yang sudah
menjadi kezaliman disini. Orang kaya menyangga etis dan sosial menjadi
dermawan, seperti tercermin dalam pepatah orang kaya tempat meminta.
Maka, terkutuklah orang yang menyembunyikan kekayaannya karena takut
dituntut jaksa. Ketiga pilar ini ternyata bohong, banyak Ulama yang tak
peduli akan kebobrokan moral masyarakatnya. Penguasa berusaha
memanggul amanat penderitaan rakyat, tapi tak sensitive dengan derita
mereka. Orang kaya banyak yang berlagak sederhana, memakai kaos dan
sandal ataupun sepatu murahan, demi menghindari proposal permintaan
sumbangan seminar, dirinya sendiri pun dibohongi, sebagian malah gigih
menjadi penguasa, tanpa merasakan adanya dilema etis maupun moral, karena
etika dan moralitas bukan ukuran hidup mereka.11
Bila dipetakan secara kategoris, maka dimasyarakat kita temukan tiga
jenis kebohongan:
a. Kebohongan Politik yaitu suatu jenis tindakan biasanya oleh tokoh,
terutama tokoh politik yang sengaja menyembunyikan kebenaran tentang
suatu perkara. Tujuannya untuk penyelamatan politis seseorang. Di
pengadilan, atau dalam pemeriksaan, kebohongan ini menang, tapi rasa
keadilan umum terluka dan dibiarkan terlantar tanpa pembelaan. Dari dulu
11 Diakses pada tgl 11 Februari 2014
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0512/18/persona/2297862.htm
14
hingga kini, orang kuat selalu selamat, saudara, sahabat atau
kepercayaannya ikut aman, dan kebohongan mereka berubah menjadi
kebenaran. Kebohongan inilah yang bikin Negara kita bangkrut secara total
hingga kita kehilangan harga diri. Dalam dunia politik memang banyak
tokoh dan jujur, tapi itu hanya cerminan moralitas individual. Dengan
begitu, anggapan bahwa dunia politik itu bohong, dan culas, bukan sikap
gebyah uyah, melainkan penilaian mendasar, shahih kuat, terpercaya.
b. Kebohongan ilmiah yaitu perilaku culas kaum ilmuwan, yang
menggelapkan data, mengemukakan data fiktif, palsu manupulatif, atau
mengklaim pemikiran dan hasil ijtihad pihak lain sebagai milik dan
karyannya. Ini berbahaya bagi bukan saja dunia ilmu yang karena itu tak
bakal bisa berkembang melainkan juga bagi penegakan hukum dan etika
sosial karena hal itu bisa menjadi ancaman keadilan dan kebenaran. Kalau
sekedar angka dan data saja dicuri, konon pula setumpuk uang rakyat yang
lebih menggiurkan. Orang macam ini menjadi sangat terlatih untuk
bohong. Dan potensial merusak masyarakat.
c. Kebohongan pribadi, yang datang dari orang perorang dan membohongi
orang lain, ternyata pergaulan itu licin dan mudah melukai trust
(kepercayaan) yang semula tampak anggun memahkotai sebuah
persahabatan dikantor atau dimasyarakat. Salahnya kita sering cepat
percanya akan kebaikan orang. Kita lalu kaget setelah kita dibohongi oleh
orang yang untuk waktu yang lama, yang pernah kita anggap sebagai
sahabat. Tujuan hidupnya mencari kemenangan dan bukan kebenaran.
Bohong tak dianggap masalah. Lalu, diam-diam bohong menjadi kebiasaan
15
rutin yang tak terasa, tapi sebetulnya itu tindakan tiranis dan menindas.
Negeri kita bangkrut karena kebohongan para tokoh.
Kita marah pada mereka, tapi lupa tiap tokoh datang dari masyarakat
kita juga. Maka, demi perbaikan kita harus membenahi basis sosial di bawah,
dengan pendidikan yang membentuk watak jujur, lurus, amanah, lewat cara
hidup di keluarga, di kantor, di masyarakat, di sekolah, dengan kontrol sosial
dan penegakan etika secara tegas. Dan kita memiliki cadangan tokoh-tokoh
yang berkualitas, sikap kita pun jelas, kebohongan itu racun moral dan
patologi sosial yang merusak. Para tokoh masa depan tak boleh terkena radiasi
kebohongan macam itu.12
C. Bentuk-bentuk Kebohongan, Unsur dan Akibat Hukumnya
1. Penipuan pokok
Menurut pasal 378 KUHP penipuan (kebohongan) adalah barang
siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
melawan hukum, baik menggunakan nama palsu atau keadaan palsu,
maupun dengan tipu daya, atau pun dengan rangkaian perkataan-
perkataan bohong, membujuk orang supaya menyerahkan barang atau
supaya membuat utang atau menghapus piutang.13
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam penipuan
tidak menggunakan paksaan akan tetapi dengan tipu muslihat seseorang
12 Diakses pada tgl 11 Februari 2014
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0512/18/persona/2297862.htm
13
Diakses pada tgl 14 Februari 2014
http://efrizal93.blogspot.com/2012/03/tindak-pidana-penipuan.html
16
untuk mempengaruhi orang lain sehingga orang tersebut bertindak tanpa
kesadaran penuh.
Unsur-unsur penipuan pokok tersebut dapat dirumuskan:
a. Unsur-unsur objektif:
1. Perbuatan: membujuk atau menggerakan
2. Yang digerakan: orang
3. Perbuatan tersebut bertujuan agar:
a) Orang lain menyerahkan suatu benda
b) Orang lain memberi hutang dan
c) Orang lain menghapuskan piutang
4. Menggerakan tersebut dengan memakai:
a) Dengan nama palsu
b) Tipu muslihat
c) Martabat palsu dan
d) Rangkaian kebohongan
e) Unsur subjektif:
1. Dengan maksud (met het ogmerk)
2. Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
3. Dengan melawan hokum.
2. Penipuan ringan
Penipuan ringan telah dirumuskan dalam pasal 378 KUHP yang
berbunyi : perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 378 jika benda yang
diserahkan itu bukan ternak dan harga dari benda, hutang atau piutang itu
tidak lebih dari Rp. 250,00 pidana denda paling banyak Rp. 900,00.
17
Dalam masyarakat kita binatang ternak dianggap mempunyai nilai yang
lebih khusus, sehingga mempunyai nilai sosial yang lebih tinggi dari
binatang lainnya.14
Akan tetapi, apabila nilai binatang ternak tersebut
kurang dari Rp. 250,00- maka bukan berarti penipuan ringan:
Adapun yang dimaksud hewan menurut pasal 101 yaitu:
- binatang yang berkuku satu: kuda, keledai dan sebagainya
-binatang yang memamah biak: sapi, kerbau, kambing, biri-biri dan
sebagainya.
Sedangkan harimau, anjing dan kucing bukan merupakan hewan yang
dimaksud dalam pasal ini.
Unsur-unsur penipuan ringan adalah:
a. Semua unsur yang merupakan unsur pada pasal 378 KUHP
b. Unsur-unsur khusus yaitu:
1. Benda objek bukan ternak;
2. Nilainya tidak lebih dari Rp. 250,00-
Selain penipuan ringan yang terdapat menurut pasal 379 di
atas, terdapat juga pada pasal 384 dengan dinamakan (bedrog)
penipuan ringan tentang perbuatan curang oleh seorang penjual
terhadap pembeli adalah dengan rumusan, perbuatan yang
dirumuskan dalam pasal 383 dikenai pidana paling lama 3 bulan
dan denda paling banyak Rp. 900,00- jika jumlah keuntungan
tidak lebih dari Rp. 250,00.15
14 Diakses pada tgl 14 Februari 2014 dari
http://efrizal93.blogspot.com/2012/03/tindak-pidana-penipuan.html
15
Diakses pada tgl 14 Februari 2014 dari
http://efrizal93.blogspot.com/2012/03/tindak-pidana-penipuan.html
18
3. Penipuan Dalam Karya Ilmiah dan Lain-lain
Tindak pidana membubuhkan nama atau tanda palsu pada karya-
karya pada bidang sastra, dibidang ilmu pengetahuan dan dibidang seni
telah diatur dalam pasal 380 KUHP, yang menyatakan :
1. Diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau
denda paling banyak lima ribu rupiah: (1) barang siapa menaruh
nama atau tanda secara palsu di atas atau didalam kesusasteraan,
keilmuan, kesenian, atau memalsukan nama atau tanda yang asli
dengan maksud untuk menimbulkan kesan bahwa karya tersebut
berasal dari orang yang nama atau tandanya ditaruh diatas atau
didalam karya tersebut, (2) barang siapa dengan sengaja menjual,
menawarkan, menyerahkan, mempunyai persediaan untuk dijual atau
memasukkan ke Indonesia karya-karya sastra, ilmiah, seni atau
kerajinan didalam satu di atasnya dibubuhi nama atau tanda palsu,
atau yang nama atau tandanya yang asli telah dipalsu seakan-akan itu
benar-benar buah hasil orang yang nama atau tandanya telah ditaruh
secara palsu tadi.
2. Jika karya tersebut kepunyaan terpidana, hakim dapat menyatakan
karya itu disita untuk kepentingan Negara. Tindak pidana yang diatur
dalam pasal 380 ayat (1) angka 1 KUHP itu mempunyai unsur-unsur
sebagai berikut:
a. Unsur subyektif : dengan maksud untuk menimbulkan kesan
seolah-olah karya tersebut berasal dari orang, yang nama atau
tandanya telah ia bubuhkan pada atau didalam karya tersebut.
19
b. Unsur obyektif : barang siapa membubuhkan secara palsu suatu
nama atau tanda, memalsukan nama yang sebenarnya atau tanda
yang asli pada suatu karya sastra, ilmiah, seni atau kerajinan.
Selain itu juga melanggar ayat (1) undang-undang No. 19 Tahun
2002 tentang hak cipta, yang berbunyi : “dalam Undang-undang ini
ciptaan yang di lindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu
pengetahuan, seni dan sastra yang mencakup : buku, program
komputer, pamphlet, perwajahan (lay out) karya tulis yang ditertibkan,
dan semua hasil karya tulis lain; ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan
lain yang sejenis dengan itu; alat peraga yang dibuat untuk kepentingan
pendidikan dan ilmu pengetahuan; lagu atau musik dengan atau tanpa
teks; drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan
pantomime; seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar,
seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase dan seni terapan;
arsitektur; peta; seni batik; fotografi; sinematografi; terjemahan tafsir,
saduran, bunga rampai, database dan karya lain dari hasil pengalih
wujudan.16
D. Hukum Kebohongan Atau Penipuan Dalam Islam
Allah SWT telah menjadikan umat Islam bersih dalam kepercayaan,
segala perbuatan dan perkataannya. Kejujuran adalah barometer kebahagiaan
suatu bangsa. Tiada kunci dan ketentraman haqiqi melainkan bersikap jujur,
baik jujur secara vertikal maupun horizontal.
16 Wirjono prodjodikoro. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Bandung: Refika
AditamaA. h. 17.
20
Kejujuran merupakan nikmat Allah SWT yang teragung setelah nikmat
Islam, sekaligus penopang pertama bagi berlangsungnya Kehidupan dan
kejayaan Islam. Sedangkan sifat bohong merupakan ujian terbesar jika
menimpa seseorang, karena kebohongan merupakan penyakit yang
menggerogoti dan menghancurkan kejayaan Islam.
Bohong adalah perbuatan yang haram, karena membahayakan orang
lain, tetapi dalam kondisi tertentu berubah hukumnya menjadi mubah bahkan
wajib.17
Para ulama menetapkan pembagian hukum dusta sesuai dengan lima
kategori hukum syar‟i, meskipun pada dasarnya hukum bohong adalah haram.
Adapun pembagiannya adalah sebagai berikut :
a. Haram yaitu kebohongan yang tidak berguna atau yang merugikan
orang lain menurut kacamata syar‟i.
b. Makruh yaitu dusta yang dipergunakan untuk memperbaiki kemelut
rumah tangga dan yang sejenisnya.
c. Sunnah yaitu seperti kebohongan yang ditempuh untuk menakut-
nakuti musuh Islam dalam sesuatu peperangan, seperti pemberitaan
(yang berlebihan) tentang jumlah tentara dan perlengkapan kaum
muslimin (agar pasukan musuh gentar).
d. Wajib yaitu seperti dusta yang dilakukan untuk menyelamatkan jiwa
seorang muslim atau hartanya dari kematian atau kebinasaan.
e. Mubah yaitu misalnya yang dipergunakan untuk mendamaikan
persengketaan ditengah masyarakat.18
17 Diakses pada tgl 14 maret 2014 dari
http://tarekatqodiriyah.wordpress.com/2010/01/28/hukum-berbohong-dalam-islam/
18
Diakses pada tgl 14 maret 2014 dari
http://tarekatqodiriyah.wordpress.com/2010/01/28/hukum-berbohong-dalam-islam/
21
Islam mengharamkan segala bentuk macam kebohongan atau
penipuan, baik dalam masalah jual beli maupun dalam seluruh macam
mu‟amalah, seorang muslim dituntut untuk berlaku jujur dalam segala
urusannya, sebab keikhlasan dalam beragama, nilainya lebih tinggi daripada
seluruh usaha duniawi.
Ibnu Sirin pernah menjual seekor kambing, kemudian dia berkata
kepada si pembelinya: „Saya akan menjelaskan kepadamu tentang ciri
kambingku ini, yaitu kakinya cacat. Begitu juga al-Hassan bin Shaleh pernah
menjual seorang hamba perempuan (jariyah), kemudian ia berkata kepada si
pembelinya: "Dia pernah mengeluarkan darah dari hidungnya satu kali."
Walaupun hanya sekali, tetapi jiwa seorang mu'min merasa tidak enak kalau
tidak menyebutkan cacatnya itu, sekalipun berakibat menurunnya harga.19
“Sesungguhnya kejujuran akan menunjukkan akan kebaikan dan kebaikan itu
akan menghantarkan kepada surga. Seseorang yang berbuat jujur oleh Allah
akan dicatat sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya bohong itu
membawa kelaliman, dan kelaliman itu akan menghantarkan ke arah neraka.
Seseorang yang terus menerus berbuat bohong akan ditulis oleh Allah sebagai
pembohong.”(Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
Pertanda orang yang munafik itu ada tiga: apabila berbicara
berbohong, apabila berjanji mengingkari janjinya dan apabila dipercaya
berbuat khianat” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
19 Diakses pada tgl 14 maret 2014 dari http://islamiwiki.blogspot.com/2012/03/bahaya-
berbohong-dan-hukumnya-dalam.html#.UvtKq85qMz0
22
1. Dalam ajaran agama Islam ada beberapa kebohongan yang diperbolehkan
diantaranya seperti berikut :
a. Keadaan Perang atau Marabahaya
Ketika Rasulullah Saw membonceng Abu Bakar
radhiyallahu‟anhu diatas kendaraan beliau, maka jika ada seseorang
yang bertanya kepada Abu Bakar radhiyallahu‟anhu tentang
Rasulullah Saw di tengah perjalanan, beliau mengatakan, “ini adalah
seorang penunjuk jalanku.” maka orang bertanya tersebut mengira
bahwa jalan yang dimaksud adalah makna hakiki, padahal yang
dimaksud oleh Abu Bakar radhiyallahu‟anhu adalah jalan kebaikan
(sabilul khair). Semata-mata demi kemaslahatan Rasulullah Saw dari
ancaman musuh-musuh beliau. (HR. al-Bukhari)
b. Mendamaikan Manusia
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallah „alaihi wasallam
dalam hadits Ummu Kultsum radhiyallahu‟anha, sesungguhnya ia
berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah
dikatakan pendusta orang yang mendamaikan manusia (yang
berseteru), melainkan apa yang dikatakan adalah kebaikan.” (Mutaffaq
„Alaih)
c. Mendamaikan suami istri
Imam Muslim menambahkan dalam suatu riwayat, berkata
Ummu Kultsum radhiyallahu „anha, “Aku tidak pernah mendengar
Rasulullah Saw memberikan keringanan (rukhshah pada apa yang
23
diucapkan oleh manusia (berdusta) kecuali dalam tiga perkara, yakni
: perang, mendamaikan perseteruan atau perselisihan diantara manusia,
dan ucapan suami kepada istrinya atau sebaliknya.”20
2. Beberapa Faktor-faktor yang mempengaruhi untuk berdusta atau
berbohong :
a. Sedikitnya rasa takut kepada Allah SWT dan tak adanya perasaan
bahwa Allah SWT selalu mengawasi setiap gerak-geriknya, baik yang
kecil maupun yang besar.21
b. Upaya mengaburkan fakta, baik bertujuan untuk mendapatkan
keuntungan atau mengurangi takaran, dengan maksud
menyombongkan diri atau untuk memperoleh keuntungan dunia, atau
karena motif-motif lainnya. Misalnya saja: orang yang berdusta
tentang harga beli tanah atau mobil, atau menyamarkan data-data yang
tak akurat tentang wanita yang akan dipinang yang dilakukan pihak
keluarganya.
c. Mencari perhatian dengan membawakan cerita-cerita fiktif dan
perkara-perkara yang dusta.
d. Tidak adanya rasa tanggung jawab dan berusaha lari dari kenyataan,
baik dalam kondisi sulit atau kondisi lainnya.
e. Terbiasa melakukan dusta sejak kecil. Ini merupakan hasil pendidikan
yang buruk. Karena, sejak tumbuh kuku-kukunya (sejak kecil), sang
20 Diakses pada tgl 14 maret 2014 dari
http://salafytobat.wordpress.com/2013/01/07/berbohong-yang-diperbolehkan-menurut-hukum-
islam/
21
Diakses pada tgl 14 maret 2014 dari
http://tarekatqodiriyah.wordpress.com/2010/01/28/hukum-berbohong-dalam-islam/
24
anak biasa melihat ayah dan ibundanya berdusta, sehingga ia tumbuh
dan berkembang dalam lingkungan sosial semacam itu.
f. Merasa bangga dengan berdusta, ia beranggapan bahwa kedustaan
menandakan kepiawaian, tingginya daya nalar dan perilaku yang
baik.22
Diantara sebab terbanyak yang menjerumuskan anak Adam ke lembah
kemaksiatan adalah mereka yang tak menjaga dua hal yaitu lidah dan
kemaluannya. Sehingga Rasulullah bersabda,
مه مه يي ه بي ه مب لي يض لي ه بي ه ومب لح مه زج ال جىت له أض Artinya : “Barangsiapa siapa yang mampu menjaga apa yang terdapat
diantara dua janggutnya dan apa yang ada diantara dua kakinya, maka aku
jamin akan masuk surga.” (HR. Bukhari no. 6474. At-Tirmidzi, no. 2408).
Kemaksiatan yang ditimbulkan dari kemaluan adalah zina dan
kemaksiatan yang ditimbulkan oleh lisan adalah dusta. Terkadang dengan
lisannya seseorang mengucapkan kata-kata tanpa dipertimbangkan dan
dipikirkan sebelumnya, sehingga menimbulkan fitnah dan kemudharatan yang
banyak bagi dirinya maupun bagi orang lain. Oleh karena itu jelaslah bahwa
diantara keselamatan seorang hamba adalah tergantung pada penjagaannya
terhadap lisannya. Nabi sendiri pernah menasehati „Uqbah bin Amir ketika dia
bertanya tentang keselamatan lalu beliau bersabda, “Peliharalah lidahmu,
betahlah tinggal dirumahmu dan tangisilah dosa-dosamu.” (HR. Tirmidzi,
Hadits Hasan).
22Diakses pada tgl 14 Maret 2014 dari
http://tarekatqodiriyah.wordpress.com/2010/01/28/hukum-berbohong-dalam-islam/
25
E. Hukum Pernikahan Fasakh Menurut Para Ulama
Pernikahan antara Non muslim kepada wanita Muslimah sebagaimana
isyarat surat al-Baqarah ayat 221 adalah haram. Dengan demikian, selama
seorang laki-laki masih berstatus Non Muslim, maka selama itu pula haram
hukumnya seorang perempuan Muslimah menjadi isterinya. Sesudah itu juga
merupakan sesuatu yang terang bahwa ia meninggalkan agamanya yang lama
dengan menjadi pemeluk agam Islam, maka menjadilah ia seorang Muslim.
Dan karena sudah menjadi seorang Muslim, maka halal-lah seorang
perempuan Muslimah menjadi isterinya.23
Apabila orang seorang masuk Islam sekedar “bersiasat”, maka
sesungguhnya ia bersiasat kepada Allah SWT. Dalam hal ini Allah SWT
Maha Mengetahui terhadap niat seorang itu dan kelak akan
mempertanggungkan perbuatannya di hadapan Allah SWT. Seseorang yang
ingin menikahi wanita Muslimah dengan cara menyatakan diri masuk ke
dalam agama Islam, adalah seseorang yang ingin mengambil sesuatu dari diri
orang Muslim yang pada mulanya tidak ada hak darinya untuk hal tersebut.
Karena pada mulanya pernikahan antara dia (pria non muslim) dan wanita
Muslimah itu dianggap tidak pernah terjadi (fasakh/batal demi hukum).
Kemudian dengan masuknya ia ke dalam agama Islam, merubah kedudukan
“batal” menjadi “sah”.24
Menurut hukum Islam, akad perkawinan suatu perbuatan hukum yang
sangat penting dan mengandung akibat-akibat serta konsekuensi-
konsekuensinya tentu sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syari‟at Islam.
23
Ahmad Sudirman abbas. Problematika Pernikahan dan Solusinya, (Jakarta: Prima Heza
Lestari, 2006) h. 60-61. 24
Ibid, h. 65.
26
Oleh karena itu, pelaksanaan akad pernikahan yang tidak sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan oleh syari‟at Islam adalah perbuatan yang sia-
sia, bahkan dipandang sebagai perbuatan yang melanggar hukum yang wajib
dicegah oleh siapa pun yang mengetahuinya, atau dengan cara pembatalan
apabila pernikahan itu telah dilaksanakannya. Hukum Islam menganjurkan
agar sebelum pernikahan dibatalkan perlu terlebih dahulu diadakan penelitian
yang mendalam untuk memperoleh keyakinan bahwa semua ketentuan yang
telah ditetapkan oleh syari‟at Islam sudah terpenuhi. Jika persyaratan yang
telah ditentukan masih belum lengkap atau masih terdapat halangan
pernikahan, maka pelaksanaan akad pernikahan haruslah dicegah.25
Menurut Al-Jaziri26
jika perkawinan yang telah dilaksanakan oleh
seorang tidak sah karena kekhilafan dan ketidaktahuan atau tidak sengaja dan
belum terjadi persetubuhuan, maka perkawinan tersebut harus dibatalkan,
yang melakukan perkawinan itu dipandang tidak berdosa, jika telah terjadi
persetubuhan maka itu dipandang sebagai wathi’ syubhat, tidak dipandang
sebagai perzinaan, yang bersangkutan tidak dikenakan sanksi zina, istri
diharuskan ber-iddah apabila pernikahan telah dibatalkan, anak yang
dilahirkan dari perkawinan itu dipandang bukan sebagai anak zina dan
nasabnya tetap dipertalikan kepada ayah dan ibunya. Tetapi jika perkawinan
yang dilakukan oleh seorang sehingga perkawinan itu menjadi tidak sah
karena sengaja melakukan kesalahan memberikan keterangan palsu,
persaksian palsu, surat-surat palsu atau hal-hal lain yang tidak sesuai dengan
ketentuan berlaku, maka perkawinan yang demikian itu wajib dibatalkan. Jika
25
Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana,
2008), h. 42. 26
Abdurrahman Al-Jaziri, jilid IV, h. 119.
27
perkawinan yang dilaksanakan itu belum terjadi persetubuhan, maka istri
tersebut tidak wajib ber-iddah, orang melaksanakan perkawinan itu dipandang
bersalah dan berdosa, dapat dikenakan tuntutan pidana, persetubuhan itu
dipandang sebagai perzinahan dan dikenakan had, nasab anak yang dilahirkan
tidak dapat dipertalikan kepada ayahnya, hanya dipertalikan kepada ibunya.27
Problema nikah fasakh (rusak) menurut Wahbah Zuhaili dalam
bukunya Fiqh Islam Wafadilatuhu bahwa nikah yang bisa dianggap rusak atau
nikah fasakh sifatnya dapat dikategorikan beberapa kelompok yaitu kapan
terjadinya perpisahan dikategorikan fasakh:
1. Menurut Imam Hanafi
a. Menurut Imam Hanafi terjadinya nikah yang fasakh apabila istri
kembali menjadi kafir setelah ia masuk Islam atau setelah suaminya
mengIslamkannya. Menurut Imam Abu Hanifa dan Muhammad
apabila suami yang kembali menjadi kafir maka jatuhnya talak
sedangkan menurut Abi Yusuf jatuhnya fasakh.28
b. Murtadnya suami atau istri sebagaimana yang telah dijelaskan diatas
bahwa jika salah satu dari pasangan suami istri tersebut ada yang
berpindah agama maka terputuslah akad pernikahan mereka, begitu
juga jika salah satu dari pasangan tersebut berpindah keyakinan, misal
: menyekutukan Allah, membandingkan Allah dengan makhluk
ciptaan-Nya, dll.29
27
Ibid, h. 42-43 28
Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu (Beirut: Dar al-fikr, t.th), h. 6866 29
Ibid, h. 6866
28
Dalam pernikahan fasakh ini para ulama berpendapat, pernikahannya
sah pada saat akad nikah karena pengantin laki-laki mengaku sebagai muslim.
Bahwa dia ternyata hanya berpura-pura itu lain soal. Namun begitu tahu
bahwa suaminya balik lagi keagama asalnya, maka dia harus meminta cerai
pada saat itu juga. Karena pernikahan seorang wanita dengan seorang laki-laki
non-muslim adalah tidak sah atau batal dengan senidirinya. Nikahnya
dihukumi sah sejak awal bila pada saat mengucapkan sahadat tidak ada
sesuatu yang menafikkan sahadatnya (yang bersifat ucapan atau perbuatan),
namun setelah adanya pengakuan dari sang suami bahwa dia telah kembali
keagamanya yang semula, maka nikahnya telah rusak (fasakh), batal atau
gugur dengan sendirinya.30
Bila batal dari awal maka :
a. Jika belum pernah di wathi maka wajib mengembalikan mahar
b. Jika sudah pernah di wathi dan mahar yang sudah diterima sesuai
dengan mahar mistilnya maka tidak wajib mengembalikan, namun bila
lebih dari mahar mistil maka harus dikembalikan
Tidak diperbolehkan bagi seorang wanita muslimah menikah dengan
seorang laki-laki kafir sebelum masuk Islam. Akan tetapi jika si lelaki kafir itu
masuk Islam maka dibolehkan bagi wanita muslimah menikahi dengannya
setelah mendapatkan izin dari walinya. Namun demikian hendaklah si wanita
muslimah betul-betul memastikan kesungguhan dan kejujuran lelaki tersebut
untuk masuk Islam. Hal itu dikarenakan tidak jarang cara-cara seperti ini
30Diakses pada tgl 11 februari 2014 dari
http://ponpesaswaja.blogspot.com/2013/11/hukum-menikah-beda-agama.html#more
29
digunakan oleh orang-orang kafir untuk meracuni keturunan-keturunan kaum
muslimin dengan aqidah-aqidah sesat mereka dan pada akhirnya tidak jarang
rumah tangga mereka pecah ditengah jalan dikarenakan si lelaki kembali
kepada kekufuran sementara si wanita tetap dengan keislamannya. Jadi wanita
muslim dilarang atau diharamkan menikah dengan seorang laki-laki non-
muslim apapun alasannya. Jika seorang muslimah memaksakan dirinya
menikah dengan laki-laki non-muslim, maka akan dianggap telah berzina.31
Tidak ada seorang ulama pun yang membolehkan wanita muslimah
menikah dengan seorang laki-laki non-muslim, bahkan „ijma ulama
menyatakan bahwa haramnya wanita muslimah menikahi seorang laki-laki
non-muslim baik dari kalangan musyrikin (Budha, Shinto, Majusi, Hindu,
Konghucu, penyembah kuburan dan lain-lain) ataupun dari kalangan orang-
orang murtad dan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani). Hal berdasarkan firman
Allah surah Al-Mumtahanah 60:10:
أيهب ٱلريهي م جبءم إذا ا ج ءامى ى ؤمى ثفٱلم جس ه م ٱلل ٱمخحى ىه ه ىهه بئيم أعلم
إلى حسجع ىه ه فل ج ؤمى م علمخ م ىه ه فبز فئن ه مٱلن ول له م حل ه ه ل
له ه يحلىن ىه ه ءاحيخ م إذا ىه ه حىنح أن م علين ىبح ج ولأوفق ىا ب م وءاح ىه م
بعصم ح مسن ىا ولىزه ه وليس وسٱلنىافسأ ج أوفقخ م مب م ل ىا لن ذ
أوفق ىا مب ل ىا
نم ح وم يحن ٱلل م ٱلل بيىن (06:06)ممخهىت/عليمحنيم
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu
telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula
bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah
mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar
31Diakses pada tgl 10 Februari 2014 dari
http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/saudara-baru.htm#.Uvzw_s5qMz0
30
kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali
(perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta
mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang
telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara
kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-
Mumtahanah 60:10)
Dalam ayat ini sangat jelas sekali Allah SWT menjelaskan bahwa
wanita muslimah itu tidak halal bagi orang kafir. Dan diantara hikmah
pengharaman ini adalah bahwa Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi
darinya. Dan sesungguhnya laki-laki itu memiliki hak qawamah
(pengendalian) atas istrinya dan istri wajib mentaatinya di dalam perintah
yang ma‟ruf.
Kemudian seorang suami yang kafir itu tidak mengakui akan agama
wanita muslimah, bahkan dia itu mendustakan kitabnya, mengingkari rasulnya
dan tidak mungkin rumah tangga bisa damai dan kehidupan bisa terus
berlangsung bila disertai perbedaan yang sangat mendasar ini.
Ada beberapa pendapat ulama yang berpendapat tentang masalah
pernikahan ini yaitu :
a. Ibnu Katsir Asy Syafi‟iy rahimahullah berkata, “Janganlah
menikahkan wanita-wanita muslimah dengan orang-orang musyrik.”
b. Al Imam Al Qurthubiy rahimahullah berkata, “Janganlah menikahkan
wanita muslimah dengan orang musyrik. Dan Umat ini telah berijma‟
bahwa laki-laki musyrik itu tidak boleh menggauli wanita mu‟minah,
bagaimanapun bentuknya, karena perbuatan itu merupakan penghinaan
terhadap Islam.”
31
c. Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, (Ulama ijma‟) bahwa muslimah
tidak halal menjadi istri orang kafir.
d. Syaikh Abu Bakar Al Jaza‟iriy hafidhahullah berkata, “Tidak halal
bagi muslimah menikah dengan orang kafir secara mutlaq, baik Ahlul
Kitab ataupun bukan.”
e. Syaikh Shalih Al Fauzan hafidhahullah berkata, “Laki-laki kafir tidak
halal menikahi wanita muslimah,” berdasarkan firman-Nya Subhanahu
wa Ta’ala :
ىا حىنح ولول م أعجبخن ولى شسمت م ه م خيس ؤمىت م ولمتي ؤمه حخى ج شسم ٱلم
ئل ل أ و م أعجبن ولى شسك م مه خيس ؤمه م ولعبد
ي ؤمى ىا حخى شسميه ٱلم ىا ح ىنح
و ٱلىبز إلى ىن لعله ميدع للىبس خهۦ ءاي وي بيه بئذوهۦ وٱلمغفسة ٱلجىت إلى ا ى يدع ٱلل
ون (2:220البقسة/(يخرمس
Artinya : Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik
dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. Al-Baqarah 2:221).
Menanggapi fenomena Pernikahan fasakh ini, Ketua Tim Forum
Antisipasi Kegiatan Pemurtadan (FAKTA) Abu Deedat menyatakan bahwa
kasus ini adalah salah satu bentuk Kristenisasi.“Ini adalah strategi nyata dari
Kristenisasi lewat perkawinan. Modusnya sang lelaki pura-pura masuk Islam
agar bisa menikahi muslimah,”
32
Menurutnya, wanita rentan menjadi korban, karena resiko
mempertahankan keimanan dalam pernikahan beda agama bagi seorang
muslimah adalah diceraikan.
Ketika sudah menikah, pria Kristen yang pura-pura masuk Islam akan
kembali ke ajaran Kristennya, sang muslimah akan dihadapkan pada dua
pilihan berat, ikut pindah agama bersama suaminya atau diceraikan, “berat
bagi muslimah yang lemah imannya jika harus menyandang status janda,
apalagi kalau sudah mengandung.32
Para penentang kawin beda agama selalu berprinsip bahwa kami punya
hak untuk mempertahankan dan melindungi keimanan umat kami dari upaya
permutadan yang dilakukan pihak lain.33
Argumentasi yang sangat legitimate
dari sisi HAM.34
Bagi kelompok ini, melegalkan kawin beda agama dalam UU
Perkawinan sama halnya dengan memberi peluang bagi kemurtadan kaumnya
dan memberi peluang kepada pihak lain untuk menginjak-nginjak keimanan
kaumnya.
Di tengah modernitas zaman saat ini, penegakan HAM memang tidak
harus berhenti, melainkan tetap dilanjutkan. Hanya saja, penegakan HAM
harus tetap terbungkus HAM, bukan sebaliknya, misi politis berbungkus
HAM atau misi teologis berbungkus HAM. Sebab, bagaimana pun juga, HAM
adalah konsep yang sebenarnya netral. Ia akan ditarik ulur ke mana saja sesuai
kemauan penariknya. Tidak mengherankan kalau kemudian banyak oknum
32Diakses pada tgl 10 Februari 2014 dari
http://www.bersamadakwah.com/2014/01/asmirandah-akui-foto-berdoa-di-gereja.html 33
M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak (Malang: UIN Malang Press, 2008), h.
252. 34
Lihat, The Universal Declaration of Human Right, pasal 18
33
berlindung dibalik HAM demi tercapainya misi terselubung yang sudah
terskenario secara matang dan sistematis. Membungkus tendensi politis
dengan HAM berarti mereduksi makna luhur HAM, pelecehan dan
pelanggaran HAM itu sendiri.35
Perkawinan adalah salah satu upaya paling efektif dalam menjalankan
Kristenisasi. Dalam banyak kasus, perkawinan bagi misionaris sangat gencar
dilakukan dengan cara mendekati orang-orang Islam. Untuk mencapai
tujuannya itu, tidak jarang melangsungkan perkawinan dengan cara Islam,
tentu setelah mereka menyatakan masuk Islam. Namun, mereka akan kembali
murtad ketika waktunya tepat. Pihaknya berlomba-lomba bagaimana bisa
menikah dengan pria atau wanita muslim, apapun cara akan dilakukan asalkan
tujuannya itu tercapai.36
Sesungguhnya bagi mereka yang terjebak dalam perangkap tersebut
bukanlah kebahagiaan rumah tangga yang didapat justru meruntuhkan aqidah
yang dianut selama ini. Kenyataannya banyak diantara wanita muslim
menderita akibat perkawinan itu. Setelah ia memiliki satu, dua anak atau lebih,
mereka harus memilih jalan terpahit dari dua pilihan, yaitu meninggalkan
aqidahnya yang benar atau ditinggalkan suami dan anak-anaknya. Tidak hanya
keadaan demikian yang harus diterima, ia juga menerima penyiksaan baik
batin maupun pisik. Banyak kasus yang menimpa wanita muslimah dalam hal
ini.37
35
Ibid, h. 254 36
Bakhtiar, Nurman Agus, Murisal, Ranah Minang ditengah Cengkraman Kristenisasi
(Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005), h. 46. 37
Ibid, h. 46-47
34
Cara lain yang dilakukan misionaris adalah melalui pemerkosaan,
mengggauli dan akhirnya dinikahi. Cara ini biasanya terjadi secara beruntun.
Awalnya pacari, kemudian gauli, kalau tidak mau diperkosa. Setelah
kehermotannya direnggut, mereka akan melakukan cara-cara lebih tidak
manusiawi lagi, yaitu dengan cara mengancam. Mereka akan menawarkan dua
pilihan terpahit diantara yang pahit, akan dinikahi bilamana mau masuk
kristen atau photo-photonya ketika diperkosa akan dipublikasikan pada orang
lain. Tiada pilihan lain, apalagi iman yang masih belum kuat, keadaan tidak
stabil itu mereka akan meninggalkan aqidahnya.38
Menurut Abu Deedat, dalam masa-masa awal pernikahan itu, biasanya
sang muslimah akan dicuci otaknya dengan doktrin yang menjelek-jelekkan
Islam, terutama menggunakkan isu seperti poligami, Islam tidak penyayang,
dan mengangkat citra buruk umat muslim lainnya. Abu Deedat juga berpesan
agar masyarakat mewaspadai betul strategi kristenisasi lewat jalur pernikahan.
Kasus seperti ini, menurutnya, sudah banyak terjadi. Abu Deedat berpesan
kepada orang tua agar tidak terlalu mudah percaya jika ada pria non-muslim
yang bersedia masuk Islam untuk menikahi putrinya. “mereka agresif
menyebarkan Kristen, dan kepada kaum muslimah agar di jaga pergaulannya
dengan lelaki non-muslim, sebab bisa jadi mereka punya motif
mengkristenkan anda.39
38
Ibid, h. 47
39
Diakses pada tgl 10 Februari 2014 dari
http://www.bersamadakwah.com/2014/01/asmirandah-akui-foto-berdoa-di-gereja.html
35
BAB III
RUKUN DAN SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
MENURUT PARA ULAMA
A. Rukun-rukun Perkawinan
Rukun menurut para ulama Hanafiah adalah hal yang menentukan
keberadaan sesuatu, dan menjadi bagian di dalam esensinya. Sedangkan
syarat menurut mereka adalah hal yang menentukan keberadaan sesuatu,
dan bukan merupakan bagian di dalam esensinya. Rukun menurut jumhur
ulama adalah hal yang menyebabkan berdiri dan keberadaan sesuatu.
Sesuatu tersebut tidak akan terwujud melainkan dengannya. Atau dengan
kata lain merupakan hal yang harus ada. Dalam perkataan mereka yang
masyur: rukun adalah hal yang hukum syar‟i tidak mungkin ada melainkan
dengannya. Atau hal yang menentukan esensi sesuatu, baik merupakan
bagian darinya maupun bukan. Sedangkan syarat menurut mereka adalah
hal yang menentukan keberadaan sesuatu dan bukan merupakan bagian
darinya.1
Namun perkawinan mempunyai arah, tugas dan tujuan, maka
hendaklah dalam melakukannya dipenuhi dan terpenuhi rukun-rukun dan
syarat-syarat yang mengikat, memelihara dan menjaga baik
kelangsungannya maupun kelestariannya dan kewajiban untuk hidup
sejati. Perkawinan memang dimulai dengan akad nikah, tetapi itu adalah
1 Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 (Jakarta : Gema Insani,
2011), h. 45.
36
semata tugas yang harus dilakukan. Memang, dasar perkawinan sempurna
secara resmi dengan akad itu, tetapi itu hanya kunci rumah tangga
perkawinan dan pergaulan yang sah dan halal. Maka akad nikah ini
sebagai kunci resmi untuk memasuki rumah perkawinan calon istri dan
suami.
Sekalipun ini dilaksanakan dengan ucapan yang dinamakan ijab
dan Kabul dari dua pihak yang bersangkutan, namun ucapan itu besar
artinya, sebab kata itu mengikat, sama dengan dikatakan “manusia itu
diikat dari lidahnya” dan lidah itu adalah manusia itu sendiri. Lidah tidak
bertulang, tetapi memegang tulang persoalan dan penting didalam hidup
beragama dan dunia, shalatpun dikatakan: Ucapan dan perbuatan yang
dimulai dengan kata “ALLAHU AKBAR” dan diakhiri dengan
“ASSALAMU‟ALAIKUM”. Selain dari dua kata ini shalat itupun
mengandung ucapan-ucapan lain yang penuh kesucian dan mengikat
manusia dengan shalat.2
Seperti halnya semua jenis akad lainnya, akad nikah membutuhkan
kerelaan dari kedua belah pihak, kehadiran beberapa saksi, dan persetujuan
seorang wali sang mempelai. Nikah juga mengandung unsur lain yang
memiliki keterkaitan semisal mahar, nafkah, dan tempat tinggal. Selain itu,
akad nikah memiliki bermacam-macam syarat, hukum, dan etika yang
harus dipenuhi sehingga akad tersebut terlaksana dengan sah dan carayang
2 Fuad Mohd. Fachruddin, Kawin Mut’ah Dalam Pandangan Islam (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya), h. 27
37
ditempuh menjadi aman. Keseluruhan unsur dalam akad nikah ini
disyariatkan karena akad nikah adalah persoalan yang besar dan urusan
yang amat penting. Di dalamnya terdapat cakupan tuntutan menjaga
kehormatan, kemuliaan, harta, dan nama baik dua keluarga.3
Para ulama bersepakat bahwa ijab dan qabul adalah rukun. Karena
dengan keduanya salah satu dari kedua mempelai mengikat diri dengan
yang lain, sedangkan keridhaan adalah syarat. Rukun pernikahan menurut
para ulama Hanafiah hanya ijab dan qabul saja. Sedangkan menurut
jumhur ulama ada empat, yaitu shigat (ijab dan qabul), istri, suami, dan
wali. Suami dan wali adalah dua orang yang mengucapkan akad.
Sedangkan hal yang dijadikan akad adalah al-istimtaa‟ (bersenang-senang)
yang merupakan tujuan kedua mempelai dalam melangsungkan
pernikahan. Sedangkan mahar bukan merupakan sesuatu yang sangat
menentukan dalam akad. Mahar hanyalah merupakan syarat dalam akad
nikah. Dengan demikian, saksi dan mahar dijadikan rukun menurut istilah
yang beredar di kalangan sebagian ahli fiqh.4
Menurut para ulama Hanafiah, ijab adalah perkataan yang pertama
kali keluar dari salah satu kedua pihak yang berakad, baik dari pihak suami
maupun istri. Sedangkan qabul menurut mereka adalah perkataan yang
kedua dari salah satu pihak yang berakad. Adapun ijab menurut jumhur
ulama adalah perkataan yang keluar dari wali istri atau orang yang
3 Syahrul Anam, Kado Untuk Sang Tunangan (Risalah Nikah Untuk Remaja) Cet. Ke 1,
(M2KD: Majelis Musyawarah Kutubuddiniyah PP. Mambaul Ulum Bata-bata, 2010), h. 45 4 Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 (Jakarta : Gema Insani,
2011), h. 45.
38
menggantikannya sebagai wakil. Karena qabul hanya merupakan reaksi
dari adanya ijab. Jika qabul itu diucapkan sebelum ijab maka bukan
namanya qabul karena sudah tidak bermakna lagi. Qabul adalah perkataan
yang menunjukan akan keridhaan untuk menikah yang diucapkan oleh
pihak suami.
Jika seorang lelaki berkata kepada seorang perempuan,
“Nikahkanlah dirimu kepadaku.”Kemudian si perempuan menjawab, “Aku
terima.”Menurut para ulama Hanafiah, ucapan yang pertama merupakan
ijab, sedangkan yang kedua merupakan qabul. Adapun menurut jumhur
ulama justru sebaliknya. Karena wali perempuanlah yang memberikan hak
milik kepada suami untuk bersenang-senang, maka perkataannya
merupakan ijab. Sedangkan si suami yang menginginkan memiliki hak
tersebut, oleh karenanya disebut qabul. Perundangan syiria (pasal 5) telah
mencantumkan bahwasannya pernikahan dapat terlaksana dengan ijab dari
salah satu pihak yang melakukan akad dan qabul dari pihak yang lain.5
1. Sighat Pernikahan
a). Lafal-Lafal Pernikahan
Pernikahan adalah akad peradaban yang tidak ada formalisasi di
dalamnya. Sedangkan akad merupakan pengikat bagian-bagian perilaku,
yaitu ijab dan qabul secara syar‟i, yang dimaksud dengan akad disini
adalah makna masdharnya, yaitu al-irtibaath (keterikatan).Syariat
5 Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 (Jakarta : Gema Insani,
2011), h. 46.
39
menghukumi bahwa ijab dan qabul ada lahir, dan saling mengikat secara
legal. Masing-masing dari ijab dan qabul terkadang berbentuk ucapan,
terkadang juga berupa tulisan atau isyarat. Lafal-lafal ijab dan qabul, di
antaranya ada yang disepakati sah untuk menikah, ada yang disepakati
tidak sah, dan ada juga yang masih diperselisihkan.6
Para ulama Syafi‟iah dan Hanabilah berkata, “Tidak sah
pernikahan dengan menggunakan lafal-lafal tersebut. Dan tidak sah
kecuali dengan lafal nikah dan kawin, karena keduanya telah termaktub di
dalam teks Al-Qur‟an sebagaimana yang sudah dijelaskan. Oleh
karenanya, harus mencukupkan shighat dengan kedua kata tersebut.
Pernikahan tidak akan sah jika menggunakan lafal selain dua kata tersebut.
Itu karena pernikahan merupakan sebuah akad yang mempertimbangkan
niat dan lafal khusus baginya.
Menurut para Ulama Hanafiah,7 pernikahan sah dengan semua lafal
(kata) yang menunjukkan akan pemberian hak milik sesuatu seketika itu,
seperti lafal hibah (memberi hadiah), tamliik (memberi hak milik),
sedekah, pemberian, pinjaman, jaminan, al-isti’jaar, perdamaian,
pertukaran, al-ju’lu, menjual dan membeli, dengan syarat adanya niat atau
indikasi untuk menikah dan dipahami oleh para saksi. Menurut pendapat
yang paling benar, tidak sah menikah dengan mengucapkan, “Aku
6 Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 (Jakarta : Gema Insani,
2011), h. 46. 7 Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 (Jakarta : Gema Insani,
2011), h. 47.
40
menikahi separuh dirimu”, demi lebih hati-hati dalam masalah tersebut.
Bahkan harus mengiringi dengan lafal yang menunjukkan akan
keseluruhan jiwa dan raga si perempuan, seperti lafal adz-dzahr
(punggung) dan al-bathn (perut).8
Sedangkan menurut para ulama Malikiah,9 pernikahan sah dengan
lafal “at-tazwiij” (mengawinkan) dan “at-tamliik” (memberi hak milik),
dan lafal-lafal yang senanda dengan kedua lafal tersebut seperti, hibah,
sedekah dan pemberian. Untuk melakukan akad tidak diperlukan
penyebutan mahar, sekalipun mahar adalah suatu yang harus ada. Dengan
demikian, mahar tersebut menjadi syarat akad nikah agar sah, seperti
halnya saksi, kecuali jika memakai lafal hibah.
b. Sighat Fi‟il (Bentuk Kata Kerja)
Terkadang bentuk fi‟il dalam ijab dan qabul berupa maadhi
(lampau), mudhari‟ (masa sekarang) dan amr (kata perintah). Para ahli fiqh
bersepakat akan sahnya akad nikah dengan menggunakan bentuk fi‟il
maadhi. Mereka berselisih mengenai fi‟il mudhari‟ dan amr‟.10
Sah
akadnya menurut ulama Hanafiah dan Malikiah, jika terdapat indikasi
yang menunjukkan keinginan melangsungkan akad seketika itu, bukan
janji untuk masa yang akan datang. Indikasi tersebut seperti keadaan
8 Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 (Jakarta : Gema Insani,
2011), h. 47. 9 Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 (Jakarta : Gema Insani,
2011), h. 48. 10
Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 (Jakarta : Gema Insani), h.
49
41
tempat akad (majelis) yang telah siap untuk dilangsungkannya akad nikah.
Keberadaan kesiapan tempat tersebut menghilangkan keinginan untuk
sekedar melakukan pernajian atau tawar menawar pernikahan. Kesiapan
itu juga menunjukkan adanya keinginan untuk melangsungkan prosesi
akad nikah. Karena pernikahan kebalikan dari jual beli, yang memang
telah didahului dengan khitbah.11
Jika tempat akad nikah tidak siap untuk dilangsungkannya prosesi
akad nikah, dan tidak ada indikasi yang menunjukkan keinginan untuk
melangsungkan akad nikah pada saat itu, maka akad nikahnya tidak sah.
Tidak boleh akad dilakukan dengan kata sindiran, seperti, “aku halalkan
putriku.” Karena para saksi tidak dapat mengetahui akan niat orang yang
mengucapkan kalimat tersebut. Seandainya wali perempuan mengatakan,
“Aku Kawinkan Kamu,” lantas si lelaki menjawab, “aku terima,” maka
tidak sah menurut para ulama Syafi‟iah, dan sah menurut jumhur ulama
selain Syafi‟iah.
Menurut para ulama Hanafiah dan Malikiah, akad nikah sah
dengan menggunakan fi’il amr. Seperti seorang lelaki mengakatan kepada
seorang perempuan, “Nikahkanlah dirimu denganku!” dengan perkataan
itu dia bermaksud untuk melakukan akad nikah bukan khitbah. Kemudian
si perempuan menjawab, “Aku nikahkan kamu dengan diriku” maka
pernikahan keduanya sah. Penjelasan mengenai hal itu dari para ulama
11
Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 (Jakarta : Gema Insani), h.
50
42
Hanafiah12
adalah sesungguhnya perkataan si lelaki mengandung
pemberian hak wakil kepada perempuan untuk menikahkan si lelaki
dengan dirinya. Sedangkan jawaban si perempuan, “Aku nikahkan kamu
dengan diriku” menempati posisi ijab dan qabul. Sedangkan penjelasan
dari para ulama malikiah, bahwa sesungguhnya bentuk fi‟il amr (kata kerja
perintah) dianggap sebagai ijab dalam akad secara adat. Bukan merupakan
kandungan dari pemberian hak wakil, dan pendapat ini lebih jelas.
Pernikahan itu sah dengan adanya ijab atau istijab (meminta ijab).
Menurut jumhur ulama selain ulama hanabilah tidak diisyaratkan
mendahulukan ijab dari pada qabul, akan tetapi hanya dianjurkan, seperti
wali perempuan berkata, “aku kawinkan kamu dengannya atau aku
nikahkan kamu dengannya.” Para ulama Hanabilah berkata, “jika qabul
mendahului ijab maka akadnya tidak sah, baik itu diucapkan dengan
memakai sighat fi‟il madhi maupun fi‟il amr.”13
2. Mempelai (Calon Suami atau Istri)
Mempelai adalah dua orang yang akan melangsungkan akad nikah.
Kedua orang tersebut adalah calon suami dan calon istri. Mempelai
merupakan salah satu rukun yang harus dipenuhi dalam pernikahan.
Mempelai harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Jika tidak, maka akad
yang dilaksanakan akan batal.
12
Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 (Jakarta : Gema Insani), h.
51 13
Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 (Jakarta : Gema Insani), h.
51
43
Adapun syarat-syarat mempelai antara lain ialah:
a. Keduanya tidak ada ikatan mahram baik secara garis kekeluargaan
(nasab), susuan (radla‟) maupun faktor pernikahan (mushaharah).
b. Salah satu dari keduanya tidak sedang melakukan ihram. Baik ihram
yang dilakukan dalam rangkaian ibadah haji atau umrah. Baik hajinya
sah atau fasakh (rusak).
c. Wanita yang hendak dinikahi tidak berada dalam ikatan pernikahan
dengan seorang lelaki manapun. Al-Qur‟an telah melarang menikahi
wanita yang telah bersuami.
d. Bukan wanita yang sedang berada pada masa iddah atau ragu akan
berakhirnya masa iddah. Baik iddah disebabkan kematian sang suami
atau disebabkan perceraian.
e. Wanita yang akan dinikahi harus ditentukan (ta‟yiin). Hal ini bias
terjadi tatkala seorang wali hendak menikahkan kedua putrinya tanpa
disertai penjelasan, baik dengan sifat atau identitas lain. Sementara
dalam akad tersebut tidak diketahui mana yang hendak dinikahkan oleh
wali.
3. Wali
Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al-
Wali dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau
penolong. Sedangkan menurut istilah, kata “wali” mengandung pengertian
orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus
kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan
44
pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan akad
nikah dengan pengantin pria). Wali dalam nikah adalah yang padanya
terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali).
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu:
1. Wali Nasab
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon
mempelai wanita dan berhak menjadi wali.
Dalam menetapkan wali nasab terdapat perbedaan pendapat di
kalangan ulama. Perbedaan ini disebabkan oleh tidak adanya petunjuk
yang jelas dari nabi, sedangkan Al-Qur‟an tidak membicarakan sama
sekali siapa-siapa yang berhak menjadi wali. Jumhur ulama membaginya
menjadi dua kelompok:
Pertama: wali dekat (wali qarib), yaitu ayah dan kalau tidak ada
ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan mutlak
terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya.
Kedua: wali jauh (wali ab’ad), yaitu wali dalam garis kerabat
selain dari ayah dan kakek, juga selain dari anak dan cucu. Adapun wali
ab’ad adalah sebagai berikut:
a) Saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
b) Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
c) Anak saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
d) Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
e) Paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
45
f) Paman seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
g) Anak paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
h) Anak paman seayah,
i) Ahli waris kerabat lainya kalau ada.
2. Wali Hakim
Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk
bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat
menggantikan wali nasab apabila calon mempelai wanita tidak mempunyai
wali nasab sama sekali.
a) Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.
b) Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang
sederajat dengan dia tidak ada.
c) Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri (sejauh
perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.
d) Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai.
e) Wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh.
f) Anak Zina (dia hanya bernasab dengan ibunya).
g) Walinya gila atau fasik.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987,
yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA
Kecamatan.
46
3. Wali Muhakkam
Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon
suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka.
Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang
terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat,
berpandangan luas, adil, Islam dan laki-laki.
Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun
menikahkan dirinya sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan
oleh wanita sendiri, maka pernikahannya tidak sah.
Pernikahan selain merupakan urusan kehendak yang lahir dari
perasaan antara pribadi wanita dan lelaki yang akan menjalaninya, Allah
juga menjadikan pernikahan sebagai representasi tanggung jawab seorang
ayah atau seorang yang dapat menggantikan posisinya sebagai pihak dari
wanita yang akan dinikahkan.
Maka dari itu, seorang wanita tidak boleh melangsungkan akad
nikahnya sendiri tanpa adanya persetujuan seorang wali.Pasalnya, seorang
wanita memiliki pandangan yang terbatas meskipun telah dianggap
dewasa. Seorang wanita mudah terjebak pada kata-kata rayuan dan tertipu
oleh maneuver seorang lelaki. Sehingga dikhawatirkan ia menikah dengan
seseorang yang tidak sesuai atau tidak kufu‟ dengannya.14
14
Syahrul Anam, Kado Untuk Sang Tunangan (Risalah Nikah Untuk Remaja) Cet. Ke 1,
(M2KD: Majelis Musyawarah Kutubuddiniyah PP. Mambaul Ulum Bata-bata, 2010), h. 47
47
Hikmah adanya rukun nikah yang berupa persetujuan seorang wali
ini adalah dapat menghindarkan seorang anak dari dinikahi oleh lelaki
fasik atau lelaki yang gemar melecehkan martabat seorang wanita.Dengan
hikmah ini, maka diimbangi dengan kehadiran dan pemikiran seorang
ayah atau orang yang dapat menggantikan posisinya dalam aspek wilayah
(perwalian). Seorang ayah atau yang dapat menggantikan posisinya dalam
perwalian merupakan orang yang benar-benar mempunyai tanggung jawab
terhadap wanita yang akan dinikahkan itu.
Apabila seseorang perempuan telah meminta kepada walinya untuk
dinikahkan dengan seorang laki-laki yang setingkat (sekufu), dan walinya
berkeberatan dengan tidak ada alasan, maka hakim berhak menikahkannya
setelah ternyata keduanya setingkat (sekufu), dan setelah memberi nasihat
kepada wali agar mencabut keberatannya itu. Apabila wali tetap
berkeberatan, maka hakim berhak menikahkan perempuan itu.15
Setingkat dalam pernikahan antara laki-laki dengan perempuan ada
lima sifat, yaitu menurut tingkat kedua ibu bapak.
a. Agama
b. Merdeka atau hamba
c. Perusahaan
d. Kekayaan
e. Kesejahteraan.
15
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Cet Ke-64 (Bandung: Sinar Baru Algesindo), h. 386
48
Kufu ini tidak menjadi syarat bagi pernikahan. Tetapi jika tidak
dengan keridaan masing-masing, yang lain boleh mem-fasakh pernikahan
itu dengan alasan tidak kufu (setingkat). Kufu (persamaan setingkat) itu
adalah hak perempuan dan walinya, keduanya boleh melanggarnya
dengan keridaan bersama. Menurut pendapat yang lebih kuat, ditinjau
dari alasannya, kufu itu hanya berlaku mengenai keagamaan, baik
mengenai pokok agama seperti Islam dan buku Islam maupun
kesempurnaannya, misalnya orang yang baik (taat) tidak sederajat
dengan orang yang jahat atau orang yang tidak taat.16
Keberhakan yang dimiliki wali ini disebabkan orang tua lebih
mengenali pandangannya. Dan memiliki pandangan luas, lebih mampu
bersikap hati-hati dalam mencarikan pasangan hidup untuk anak-
anaknya.17
Dalam masalah wali tidak semua orang bias melakukannya, sebab
ia memang harus mempunyai hak (wewenang). Wewenang tersebut
diperoleh dengan salah satu sebab dibawah ini.18
a. Berstatus Sebagai Seorang Ayah atau Kakek (al-ubuwwah)
Ini merupakan sebab yang paling kuat dalam masalah
kekuasaan. Otoritas dan wewenang seorang ayah dan kakek lebih kuat
dan lebih berhak daripada orang lain. Kedua wali ini oleh ulama
16
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Cet Ke-64 (Bandung: Sinar Baru Algesindo), h. 391 17
Al-Bajuri, juz ll h. 106. 18
Raudlatut Thalibin, juz V h. 401
49
diistilahkan dengan wali mujbir, karena mereka mempunyai hak ijbar
(wewenang) untuk mengawinkan anak gadisnya. Hak ijbar tersebut
otoritas seorang wali untuk menikahkan anaknya meskipun masih kecil
atau sedang mengalami gangguan mental, (baik masih kecil atau sudah
dewasa), yang masih perawan meskipun telah baligh dan berakal, yang
hal itu dapat dibenarkan meski tanpa adanya persetujuan atau kerelaan
dari wanita tersebut.
Bagi wali mujbir diharuskan agar memperhatikan ketentuan
dan syarat tertentu. Jika wali mujbir tidak mematuhi ketentuan
tersebut, maka pernikahannya tidak sah. Ketentuan tersebut adalah:
1. Tidak ada permusuhan secara terang-terangan antara wali dan
anaknya.
2. Tidak ada permusuhan antara gadis yang hendak dinikahkan dan
calon suaminya, baik secara terang-terangan maupun secara
terselubung.
3. Gadis yang akan dinikahkan dan calon suaminya memang serasi
atau kufu.
4. Calon suami mampu membayar maskawin.
b. Berstatus sebagai „asobah
Ini merupakan sebab kedua seseorang dapat menyandang
status wali dari seorang wanita. Wali pada status ini berhak
menjadi wali jika bapak atau kakek yang sudah disebutkan di atas
50
ada atau tidak memenuhi syarat. Adapun yang dimaksud berstatus
wali yang disebabkan karena menjadi „asobah adalah:
1. Saudara Kandung
2. Saudara Sebapak
3. Anak Saudara Kandung (Keponakan)
4. Anak Saudara Seayah (Keponakan)
5. Paman
6. Sepupu
Perlu diketahui bahwa semua wali yang dijelaskan di atas
merupakan silsilah keluarga dari pihak ayah dari wanita yang akan
dinikahkan. Dengan ketentuan penggunaan hak perwalian harus
berurutan sebagaimana halnya dalam masalah waris. Selagi masih
ada seorang ayah dan mencukupi syarat maka kakek tidak boleh
menjadi wali dan menggantikan posisinya. Begitulah seterusnya.19
c. Berstatus sebagai seorang yang pernah memerdekakan
Seseorang yang pernah memerdekakan seorang wanita
berhak menjadi wali jika wali dari wanita tersebut tidak ada.
Kemudian yang berhak menggantikannya adalah „asobahnya
(„asobah dari orang yang memerdekakan) sebagaimana dalam
urutan-urutan yang sudah ditentukan. Dengan catatan, orang yang
19
Syahrul Anam, Kado Untuk Sang Tunangan (Risalah Nikah Untuk Remaja) Cet. Ke 1,
(M2KD: Majelis Musyawarah Kutubuddiniyah PP. Mambaul Ulum Bata-bata, 2010), h. 51
51
memerdekakan tersebut berupa lelaki. Adapun, jika yang
memerdekakan adalah seorang wanita, maka kewaliannya sebagai
berikut:
1. Jika wanita yang memerdekakan masih hidup maka berhak menjadi wali
dari wanita yang dimerdekakan adalah orang yang berhak menikahkan
wanita yang memerdekakan
2. Jika wanita tersebut sudah mati maka yang menjadi wali adalah anaknya
kemudian bapak, kakek, dan „asobah-„asobah yang lain.20
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali sebagai berikut:
a. Beragama Islam
b. Baligh
c. Berakal
d. Lelaki
e. Bersifat adil
4.Kehadiran Dua Orang Saksi
Kehadiran minimal dua orang lelaki dalam akad nikah
merupakan rukun yang harus dipenuhi. Karena pernikahan sifatnya
tidak seperti akad yang lain. Dalam akad nikah diharuskan adanya
kehati-hatian karena berkaitan dengan kehormatan dan lain
semacamnya. Kedua saksi tidak diharuskan mengenali calon
20
Syarqowi Ala at-Tahrir, juz ll h, 227
52
mempelai. Cukup sekedar mendengar perkataan ijab qabul dari wali
dan calon suami.
Adapun syarat-syarat saksi yang harus dipenuhi:
a. Islam. Persaksian seorang non muslim itu tidak sah, karena
pengakuannya tidak dapat dibenarkan.
b. Lelaki. Tidak boleh diganti dengan dua wanita, atau bahkan empat
wanita sekalipun. Karena dalam ha-hal yang biasanya diketahui
lelaki seperti nikah, talak, dan semacamnya, yang menjadi saksi itu
diharuskan dua orang lelaki.21
B. Syarat-syarat Perkawinan
Ada Beberapa syarat yang disyaratkan demi keabsahan sebuah
pernikahan, diantaranya sebagai berikut:
1. Islam
2. Mengekalkan Shighat akad
3. Persaksian
4. Menentukan pasangan
5. Tidak sedang ihram haji dan umrah
6. Harus dengan mahar
7. Wali
1) Islam
Islam berasal dari kata Arab "aslama-yuslimu-islaman" yang
secara kebahasaan berarti "menyelamatkan", misal teks "assalamu
21
Syaikh Zainuddin al-Malibari, Fathu al-Muin, h. 146
53
alaikum" yang berarti "semoga keselamatan menyertai kalian
semuanya". Islam atau Islaman adalah masdar (kata benda) sebagai
bahasa penunjuk dari fi'il (kata kerja), yaitu "aslama" bermakna telah
selamat (kala lampau) dan "yuslimu" bermakna "menyelamatkan"
(past continous tense). Kata triliteral semitik 'S-L-M' menurunkan
beberapa istilah terpenting dalam pemahaman mengenai keislaman,
yaitu Islam dan Muslim. Kesemuanya berakar dari kata Salam yang
berarti kedamaian. Kata Islam lebih spesifik lagi didapat dari bahasa
Arab Aslama, yang bermakna "untuk menerima, menyerah atau
tunduk" dan dalam pengertian yang lebih jauh kepada Tuhan.22
Kepercayaan dasar Islam dapat ditemukan pada dua kalimah
shahādatāin ("dua kalimat persaksian"), yaitu "asyhadu an-laa ilaaha
illallaah, wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah" yang berarti
"Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi
bahwa Muhammad saw adalah utusan Allah". Esensinya adalah
prinsip keesaan Tuhan dan pengakuan terhadap kenabian Muhammad.
Adapun bila seseorang meyakini dan kemudian mengucapkan dua
kalimat persaksian ini, ia dapat dianggap telah menjadi seorang
muslim dalam status sebagai mualaf (orang yang baru masuk Islam
dari kepercayaan lamanya).
22
Diakses Pada tgl 21 Nov 2014 http://id.wikipedia.org/wiki/Islam
54
2 Sighat Ijab dan Qabul Harus Kekal dan Tidak Temporal
Jika pernikahan diberi batasan waktu maka pernikahan tersebut
batal, seperti dilakukan dengan sighat tamattu‟ (bersenang-senang),
misalnya, “Aku bersenang-senang denganmu sampai bulan sekian, “lantas
si perempuan berkata, “Aku terima.”Atau juga dengan memberikan
tenggang waktu yang telah diketahui maupun tidak, misalnya, “Aku
menikahimu sampai bulan atau tahun sekian, atau selama aku tinggal di
negeri ini. Macam yang pertama ini biasa dikenal dengan nikah mut‟ah.
Sedangkan yang kedua dikenal dengan nikah muaqqat (temporal).
Akan tetapi para ulama Malikiah berkata, “nikah mut‟ah atau nikah
temporal, baik tepat waktu maupun tidak, suami-istri tetap berdosa.
Menurut madzhab, mereka berdua tidak dikenakan had, dan pernikahannya
secara otomatis rusak tanpa harus didahului perceraian (talak). Ketika
maksud menikah secara temporal itu diberitahukan kepada si perempuan
ataupun walinya ketika akan, maka hal itu membahayakan status akad.
Adapun jika si suami menyembunyikan maksud menikahi si perempuan
dalam jangka waktu selama ia berada di negeri ini atau selama satu tahun
kemudian menceraikannya, maka itu tidak membahayakan, sekalipun si
perempuan memahami itu.23
Para ulama Hanafiah juga berkata, “Barang siapa menikahi seorang
perempuan dengan niat menceraikannya setelah berjalan satu tahun maka
23
Asy-Syarhush Shaagiir: 2/387
55
itu bukan merupakan nikah mut‟ah.24
Pendapat yang dipegang di dalam
kalangan Hanabilah, selain Ibnu Qudamah niat untuk menceraikan setelah
tempo waktu tertentu dapat membatalkan akad, sebagaimana halnya ketika
berterus-terang.
3. Kesaksian
Ada empat hal yang akan dibicarakan dalam syarat ini; pendapat
para ulama fikih dalam pensyaratan kesaksian dalam nikah, waktu
kesaksian, hikmanya, dan syarat-syarat saksi.
a. Pendapat para ulama fikih dalam pensyaratan saksi:
Keempat madzhab telah bersepakat bahwa saksi merupakan
syarat untuk sahnya pernikahan. Pernikahan tidak sah tanpa dua saksi
selain wali, karena sabda Nabi saw. Yang diriwayatkan Aisyah,
ذ عذه شب ىي ال نبح إال ب
“Tidaklah ada pernikahan melainkan dengan wali dan dua orang
saksi yang adil.” (HR Darul Qutni dan Ibnu Hibban)
Karena persaksian dapat menjaga hak-hak istri dan anak, agar
tidak dizalimi oleh ayahnya sehingga nasabnya tidak jelas. Demikian
juga dapat menghindarkan tuduhan atas suami-istri, serta memberikan
penjelasan betapa pentingnya pernikahan tersebut. Para ulama
Hanabilah berkata, “akad tidak dapat batal sebab berpesan untuk
menyembunyikannya.Seandainya akad nikah tersebut disembunyikan
24
Syarhul Majallah lil Ataasi: 2/415
56
oleh wali, para saksi dan kedua mempelai maka akadnya sah tapi
makruh.”25
b. Waktu Persaksian
Jumhur ulama (selain Malikiah) berpandangan bahwasannya
persaksian wajib hukumnya ketika melakukan proses akad, agar para
saksi mendengar ijab dan qabul ketika diucapkan oleh kedua belah
pihak yang melakukan akad. Jika akad tersebut usai tanpa dibarengi
persaksian maka pernikahan itu rusak. Para ulama Malikiah
berpandangan bahwa persaksian merupakan syarat sah nikah, baik itu
ketika melangsungkan akad maupun setelah akad dan sebelum
berhubungan suami-istri. Dianjurkan persaksian tersebut ada ketika
akad nikah. Jika persaksian ketika akad atau sebelum terjadi hubungan
suami-istri tidak sah, akad nikah tersebut dianggap rusak.
Bersenggamanya dengan istri pun dihitung bermaksiat. Sebagaimana
telah saya jelaskan, pernikahan tersebut harus dibatalkan.26
Menurut mereka, persaksian merupakan syarat dibolehkannya
bersenggama dengan si istri, bukan syarat sahnya akad. Inilah titik
perbedaan antara para ulama Malikiah dan lainnya.
c. Hikmah Persaksian
Hikmah diisyaratkannya persaksian dalam pernikahan adalah
memberi pengertian betapa pentingnya pernikahan tersebut dan
25
Ghaayatul Muntaha: 3/27 26
Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 (Jakarta : Gema Insani), h.
75
57
menampakkannya kepada orang-orang demi menangkis segala jenis
prasangka dan tudungan atas kedua mempelai. Juga dikarenakan
persaksian tersebut dapat membedakan antara halal dan haram.
Biasanya sesuatu hal yang halal itu ditampakkan, sedangkan yang
haram cenderung ditutup-tutupi. Dengan persaksian, pernikahan
tersebut dapat dinotariskan sehingga dapat dikeluarkan catatannya saat
dibutuhkan.
d. Syarat-syarat Saksi
Saksi hendaknya memiliki beberapa sifat tertentu;
1. Hendaknya mempunyai kapabilitas untuk mengemban
persaksian; telah baligh dan berakal.
2. Dengan kehadiran mereka hendaknya terwujud makna
pengumuman akan pernikahan tersebut.
3. Hendaknya mampu menghargai pernikahan ketika
menghadirinya.
4. Menentukan Kedua Mempelai
Para ulama Syafi‟iah dan Hanabilah menyebutkan syarat ini. Akad
nikah tidaklah sah melainkan atas dua mempelai yang telah ditentukan.
Karena tujuan menikah adalah diri kedua mempelai tersebut, maka
tidaklah sah tanpa menentukannya. Seandainya wali berkata, “Aku telah
menikahkan putriku,” maka tidak sah hingga ia menyebutkan nama, sifat,
atau memberi isyarat kepada putrinya tersebut.
58
Jika ia menyebutkan namanya atau menyifati dengan sifat yang
membedakan dari lainnya, sekiranya sifat tersebut tidak dimiliki saudari-
saudarinya yang lain, seperti putriku yang paling besar, yang paling kecil,
atau yang tengah-tengah, atau juga yang berkulit putih dan semisalnya.
Atau memberikan isyarat kepadanya dengan berkata, “yang ini,” maka
akad nikahnya sah. Seandainya wali menyebutkan namanya ketika
mengisyaratkan kepadanya dengan nama yang bukan namanya, atau ia
hanya memiliki satu orang puteri, maka akadnya juga sah. Karena dengan
isyarat tersebut, penyebutan nama tidak status hukumnya.27
5. Salah Satu Mempelai Atau Wali Tidak Sedang dalam Keadaan Haji Atau
Umrah
Ini merupakan syarat menurut jumhur ulama selain Hanafiah.
Pernikahan tidaklah sah jika salah satu dari kedua mempelai sedang dalam
keadaan ihram haji atau umrah. Orang yang sedang berihram tidak boleh
menikah atau menikahkan, karena sabda Nabi saw, sebagaimana
diriwayatkan oleh Utsman,
ال يخطب نخ ال ي ذش ى“Orang yang sedang berihram tidak boleh menikah atau
menikahkan.” (HR Muslim)
Dalam riwayat lain, tidak boleh mengkhitbah untuk dirinya
maupun orang lain. Ini merupakan larangan yang jelas bagi orang yang
berihram haji atau umrah untuk menikah atau menikahkan orang lain.
Larangan tersebut menunjukkan akan rusaknya hal yang dilarang. Karena
27
Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 (Jakarta : Gema Insani), h.
81
59
ihram adalah keadaan yang memang dikhususkan untuk beribadah,
sedangkan pernikahan merupakan jalan menuju kesenangan, maka
bertolak belakang dengan ihram itu sendiri. Oleh karena itu, pernikahan
dilarang dilakukan di tengah-tengah berihram.28
Para ulama Malikiah
menambahkan bahwa pernikahan dalam keadaan ihram batal sekalipun
telah terjadi persenggamaan dan si perempuan melahirkan. Pembatalan
pernikahan tersebut tanpa harus dengan talak.
6. Mahar (Maskawin)
Jika melangsungkan pernikahan, suami diwajibkan memberi
sesuatu kepada si istri, baik berupa uang ataupun barang (harta benda).
Pemberian inilah yang dinamakan mahar (maskawin).29
Firman Allah SWT Surah An-nisa Ayat 4:
ءاتا فسب ٱىسبء ع شيء ىن فئ طب ذيت ت
صذق
شي فني ي ٤ب ب Artinya:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) dengan penuh
kelahapan lagi baik akibatnya.
Syarat ini dan dua syarat setelah ini termasuk syarat menurut ulama
Malikiah. Yaitu pernikahan harus dilakukan dengan mahar. Jika tidak
disebutkan keika akad maka harus disebutkan ketika hendak bersenggama,
atau ditetapkan mahar mistil setelah persenggamaan. Syarat menurut
malikiah adalah adanya mahar. Pernikahan tidaklah sah tanpa mahar. Akan
28
Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 (Jakarta : Gema Insani), h.
81 29
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Cet Ke-64 (Bandung: Sinar Baru Algesindo), h.393
60
tetapi tidak diisyaratkan menyebutkannya ketika akad, hanya saja
dianjurkan, karena hal itu mengandung ketenangan jiwa dan mencegah
terjadinya sengketa di kemudian hari. Jika mahar tidak disebutkan ketika
akad maka pernikahannya sah. Dalam keadaan demikian, pernikahannya
dinamakan dengan pernikahan tafwidh, pernikahan tafwidh yaitu akad
nikah tanpa menyebutkan mahar, pun tidak menafikkannya.30
7. Wali
Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al-
Wali dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau
penolong. Sedangkan menurut istilah, kata “wali” mengandung pengertian
orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus
kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan
pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan akad
nikah dengan pengantin pria). Wali dalam nikah adalah yang padanya
terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali).
C. Nikah Fasakh (Beda Agama Atau Campuran)
Di antara seruan jahat dan pemikiran sesat yang kulitnya penuh
rahmat dan kebenaran tapi isinya penuh dengan siksa dan kebatilan, adalah
seruan yang digembor-gemborkan oleh organisasi Rahasia Yahudi (Free
Masonry), via organisasi-organisasinya dan mass medianya, untuk
mempersamakan antar agama-agama kontemporer, dalam artian tidak
30
Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 (Jakarta : Gema Insani), h.
82
61
memberikan batas perbedaan sama sekali antara suatu agama dengan
agama yang lainnya.
Tapi yang menjadi masalah, Nabi Isa a.s., Nabi Musa a.s. dan
Nabi-nabi lainnya, telah meninggal dunia tanpa membukukan terlebih
dahulu ajaran-ajaran yang diturunkan kepada mereka. Sehingga apa yang
tertulis dalam kitab-kitab agama mereka sebenarnya merupakan hasil
renungan dan khayalan dari pengikut-pengikut mereka serta beberapa
reaksi dan opini yang timbul setelah meninggalnya Nabi pembawa agama
tersebut. Misalnya Kitab Talmud yang muncul dikalangan Babilonia,
Kitab Injil baik yang diakui gereja atau pun yang tidak dan beberapa tafsir-
tafsir masalah agama yang timbul akibat pertentangan dan pergesekan
antara ajaran penyembah berhala Romawi dengan sekte-sekte itu sendiri.31
Tegasnya, sudah tidak ada agama samawi yang masih orisinil terpelihara
selain Agama Islam yang memang terjaga, baik dalam dada pengikutnya
ataupu dalam lembaran kitab suci Al-Qur‟an, sejak saat diturunkannya
ayat pertama dari langit sampai sekarang.32
Ibnu Hazm berkata: Haram hukumnya wanita muslimah dikawini
laki-laki non muslim. Dan pula orang kafir tidak boleh memiliki budak
31
Abdul Mutaal Muhammad Al Jabry, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan
Islam, Cet. Ke 3. (Jakarta: PT. Bulan Bintang), h. 2 32
Abdul Mutaal Muhammad Al Jabry, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan
Islam, Cet. Ke 3. (Jakarta: PT. Bulan Bintang), h. 2
62
laki-laki beragama Islam atau budak-budak wanita muslimah.33
Dasar
pendapat ini adalah firman Allah Swt:
ال ت تنذا ششم ششمت ٱى ت خيش ؤ ت ل يؤ دت
ال تنذا أعجبتن ى ششمي خيش ٱى ؤ ىعبذ ا يؤ دت
ش ئل يذ ى أ أعجبن ى شك ٱىبس إى ع ا إى ٱلل يذع
غفشة ٱىجت ٱى ۦ بئر ت ءاي يبي ۦ يتزمش : 2اىبقشة/(ىيبس ىعي
222) Artinya : Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik
dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. Al-Baqarah 2:221).
Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin yang dalam, kuat dan
kekal antara dua insan, suatu ikatan yang mencakup hubungan timbal balik
yang luas antara keduanya, maka tidak boleh tidak, harus terdapat kesatuan
hati yang dipertemukan dalam suatu ikatan yang tidak mudah lepas. Untuk
itu harus ada kesamaan dasar dan tujuan antara kedua mempelai. Dalam
konteks ini, kepercayaan agama merupakan suatu landasan yang mengisi
setiap jiwa, mempengaruhinya, menggambarkan perasaannya, membatasi
semua pengaruh jiwa dan kehendaknya serta menentukan jalan kehidupan
yang bakal ditempuhnya. Walaupun demikian masih banyak orang yang
kadang-kadang terkecoh dengan masalah kepercayaan agama yang
tersembunyi dalam hati ini sehingga mereka menduga bahwa masalah
33
Al Muhalla, Juz XI masalah nomor 1822.
63
akidah (kepercayaan agama) ini hanyalah sekedar perasaan yang ada
dalam jiwa saja dan bias diganti dengan beberapa filsafat ataupun beberapa
aliran sosial.
Adalah haram hukumnya mengikat tali perkawinan antara dua hati
yang berbeda kepercayaan, sebab ikatan yang demikian ini adalah ikatan
palsu dan rapuh. Keduanya bersatu bukan karena Allah, jalan hidup yang
dirintis pun tidak berdasarkan agama-Nya, sedangkan Allah yang telah
memuliakan manusia dan meninggikannya dari derajat hewani,
menghendaki agar ikatan perkawinan tersebut bukan merupakan
kecenderungan hewani ataupun dorongan syahwati belaka, akan tetapi
Allah menghendaki agar ikatan perkawinan itu bertujuan mulia yaitu untuk
mencapai keridha‟an Ilahi yang dijadikannya sebagai puncak tujuan, dan
menuntut agama-Nya dan kesucian kehidupan ini.34
34
Abdul Mutaal Muhammad Al Jabry, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan
Islam, Cet. Ke 3. (Jakarta: PT. Bulan Bintang), h. 16
64
BAB IV
ANALISIS HUKUM STATUS PERNIKAHAN FASAKH MENURUT
HUKUM ISLAM
Menurut hukum Islam, akad perkawinan suatu perbuatan hukum yang
sangat penting dan mengandung akibat-akibat serta konsekuensi-konsekuensinya
tentu sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syari‟at Islam. Oleh karena itu,
pelaksanaan akad pernikahan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan oleh syari‟at Islam adalah perbuatan yang sia-sia, bahkan dipandang
sebagai perbuatan yang melanggar hukum yang wajib dicegah oleh siapa pun
yang mengetahuinya, atau dengan cara pembatalan apabila pernikahan itu telah
dilaksanakannya. Hukum Islam menganjurkan agar sebelum pernikahan
dibatalkan perlu terlebih dahulu diadakan penelitian yang mendalam untuk
memperoleh keyakinan bahwa semua ketentuan yang telah ditetapkan oleh
syari‟at Islam sudah terpenuhi. Jika persyaratan yang telah ditentukan masih
belum lengkap atau masih terdapat halangan pernikahan, maka pelaksanaan akad
pernikahan haruslah dicegah.35
Menurut Al-Jaziri36
jika perkawinan yang telah dilaksanakan oleh seorang
tidak sah karena kekhilafan dan ketidaktahuan atau tidak sengaja dan belum
terjadi persetubuhuan, maka perkawinan tersebut harus dibatalkan, yang
melakukan perkawinan itu dipandang tidak berdosa, jika telah terjadi
persetubuhan maka itu dipandang sebagai wathi’ syubhat, tidak dipandang sebagai
perzinaan, yang bersangkutan tidak dikenakan sanksi zina, istri diharuskan ber-
35
Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana,
2008), h. 42. 36
Abdurrahman Al-Jaziri, jilid IV, h. 119.
65
iddah apabila pernikahan telah dibatalkan, anak yang dilahirkan dari perkawinan
itu dipandang bukan sebagai anak zina dan nasabnya tetap dipertalikan kepada
ayah dan ibunya. Tetapi jika perkawinan yang dilakukan oleh seorang sehingga
perkawinan itu menjadi tidak sah karena sengaja melakukan kesalahan
memberikan keterangan palsu, persaksian palsu, surat-surat palsu atau hal-hal lain
yang tidak sesuai dengan ketentuan berlaku, maka perkawinan yang demikian itu
wajib dibatalkan. Jika perkawinan yang dilaksanakan itu belum terjadi
persetubuhan, maka istri tersebut tidak wajib ber-iddah, orang melaksanakan
perkawinan itu dipandang bersalah dan berdosa, dapat dikenakan tuntutan pidana,
persetubuhan itu dipandang sebagai perzinahan dan dikenakan had, nasab anak
yang dilahirkan tidak dapat dipertalikan kepada ayahnya, hanya dipertalikan
kepada ibunya.37
Problema nikah fasakh (rusak) menurut Wahbah Zuhaili dalam bukunya
Fiqh Islam Wa Adilatuhu bahwa nikah yang bisa dianggap rusak atau nikah
fasakh sifatnya dapat dikategorikan beberapa kelompok yaitu kapan terjadinya
perpisahan dikategorikan fasakh:
1. Menurut Imam Hanafi
a. Menurut Imam Hanafi terjadinya nikah yang fasakh apabila istri
kembali menjadi kafir setelah ia masuk Islam atau setelah suaminya
mengIslamkannya. Menurut Imam Abu Hanifa dan Muhammad
apabila suami yang kembali menjadi kafir maka jatuhnya talak
sedangkan menurut Abi Yusuf jatuhnya fasakh.38
37
Ibid, h. 42-43 38
Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 (Jakarta : Gema Insani,
2011), h. 107
66
b. Murtadnya suami atau istri sebagaimana yang telah dijelaskan diatas
bahwa jika salah satu dari pasangan suami istri tersebut ada yang
berpindah agama maka terputuslah akad pernikahan mereka, begitu
juga jika salah satu dari pasangan tersebut berpindah keyakinan, misal
: menyekutukan Allah, membandingkan Allah dengan makhluk
ciptaan-Nya, dll.39
Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “nikah” ialah melakukan
suatu akad nikah atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki
dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak,
dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu
kebahagiaan hidup berkeluarga yang dengan diliputi rasa kasih sayang dan
ketentraman dengan cara-cara yang di ridhoi Allah SWT.40
Mengingat perkawinan adalah peristiwa yang sakral dalam perjalanan
hidup seseorang, maka restu orang tua adalah sangat penting, dan telitilah dulu
agama yang dianut oleh seorang yang akan menjadi pendamping hidup kita di
dunia ini, hendaklah mencari seorang pendamping yang seiman dan jika mendapat
seorang pendamping yang non-muslim, hendaklah dia masuk Islam dan menjadi
mualaf dengan sungguh-sungguh dan keikhlasan hati bukan dengan pura-pura
masuk Islam hanya karena ingin bisa menikahi seorang muslimah.
Islam menganjurkan dan menggembirakan kawin, karena ia mempunyai
pengaruh yang baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat
manusia. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras
39
Ibid, h. 6866
40
Ny. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, cet ke-5 (Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 2007), h. 8.
67
yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Apabila jalan keluar untuk
menahan kebutuhan biologis, maka banyaklah manusia yang mengalami
kegoncangan dan menerobos jalan yang jahat, maka kawin adalah jalan terbaik
untuk membuat anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan
kehidupan manusia serta memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan.41
Perkawinan sangat dianjurkan oleh Allah SWT sesuai dalam firman-Nya
berbunyi:
ت ۦ ءاي إت سد دة جعو بين ا إىيب جب ىتسن أص أفسن خيق ىن أ
يتفنش ت ىق ىل لي (22: 03)اىش/في ر
Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang berfikir. (QS.Ar-Rum 30:21)
Wanita yang penuh rasa cinta dan sayang akan selalu berdandan untuk
suaminya, memenuhi keinginan suaminya dan menyediakan dirinya untuk
mengerjakan segala yang dapat membahagiakan suaminya, sebagaimana wanita
dituntut untuk mempunyai cinta dan kasih sayang, maka laki-laki pun demikian,
karena cinta dan kasih diantara kedua belah pihak akan mendatangkan
kesempatan hidup mengabadikan hubungan antara suami istri, serta memberikan
kebahagiaan hidup berumah tangga.42
41 As-Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah jilid 6, alih Bahasa : Muhammad Thalib, cet ke-1
(Bandung : Al-Ma‟arif, 1981), h. 18.
42
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, cet ke-1 (Jakarta :Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 12.
68
A. Aspek-aspek Yang Mempengaruhi Pernikahan Fasakh
Tidak diperbolehkan bagi seorang wanita muslimah menikah dengan
seorang lelaki yang kafir sebelum masuk Islam. Akan tetapi jika si lelaki kafir
itu masuk Islam.
Maka dibolehkan bagi wanita muslimah menikah dengannya setelah
mendapatkan izin dari walinya. Namun demikian hendaklah si wanita
muslimah betul-betul memastikan kesungguhan dan kejujuran lelaki tersebut
untuk masuk Islam. Hal itu dikarenakan tidak jarang cara-cara seperti ini
digunakan oleh orang-orang kafir untuk meracuni keturunan-keturunan kaum
muslimin dengan aqidah-aqidah sesat mereka dan pada akhirnya tidak jarang
rumah tangga mereka pecah ditengah jalan dikarenakan si lelaki kembali
kepada kekufuran sementara si wanita tetap dalam keislamannya.
Begitu juga dengan seorang lelaki muslim yang hendak menikah
dengan seorang wanita yang menyatakan keislamannya karena ingin menikah
dengannya maka diharuskan baginya untuk memastikan kejujuran dan
kesungguhan wanita tersebut. Kewajiban lainnya setelah terjadinya
pernikahan diantara mereka adalah memberikan bimbingan keislaman
kepadanya, mengenalkan kepadanya tentang kebersihan dan kebenaran
aqidah Islam, ibadah dan akhlak Islam secara bertahap untuk memantapkan
keislamannya dan menumbuhkan kecintaannya kepada Islam.
Kalau dilihat dari segi kaca mata agama semua sudah ada hukum yang
sangat jelas nikah beda agama. Hanya masalahnya di zaman sekarang cinta
hak asasi dan kebebasan seringkali di jadikan alasan atau mungkin bahkan
69
alat untuk mengikis dan menghacurkan nilai-nilai agama, menyamarkan yang
haq dan menghalalkan yang haram.
Menanggapi fenomena pernikahan semacam ini, Ketua Tim Forum
Antisipasi Kegiatan Pemurtadan (FAKTA) Abu Deedat menyatakan bahwa
kasus ini adalah salah satu bentuk Kristenisasi. “Ini adalah strategi nyata dari
Kristenisasi lewat perkawinan. Modusnya sang lelaki pura-pura masuk Islam
agar bisa menikahi muslimah.”43
Menurutnya, wanita rentan menjadi korban, karena resiko
mempertahankan keimanan dalam pernikahan beda agama bagi seorang
muslimah adalah diceraikan.
Ketika sudah menikah, pria Kristen yang pura-pura masuk Islam akan
kembali ke ajaran Kristennya, sang muslimahakan dihadapkan pada dua
pilihan berat, ikut pindah agama bersama suaminya atau diceraikan. “Berat
bagi muslimah yang lemah imannya jika harus menyandang status janda,
apalagi kalau sudah mengandung,” jelasnya. Menurut Abu Deedat, dalam
masa-masa awal pernikahan itu, biasanya sang muslimah akan dicuci otaknya
dengan doktrin yang menjelek-jelekkan Islam. Terutama menggunakan isu
seperti poligami, Islam tidak penyayang, dan mengangkat citra buruk umat
muslim lainnya.
Abu Deedat juga berpesan agar masyarakat mewaspadai betul strategi
Kristenisasi lewat jalur pernikahan. Kasus seperti ini, menurutnya, sudah
banyak terjadi. Abu Deedat berpesan kepada para orangtua agar tidak terlalu
mudah percaya jika ada pria non muslim yang bersedia masuk Islam untuk
43Diakses pada tgl 11 Februari
2014darihttp://www.bersamadakwah.com/2014/01/asmirandah-akui-foto-berdoa-di-gereja.html
70
menikahi putrinya. “Mereka agresif menyebarkan Kristen, dan kepada kaum
Muslimah agar dijaga pergaulannya dengan lelaki non muslim, sebab bisa
jadi mereka punya motif mengkristenkan anda,”44
Dari beberapa pendapat diatas bahwa sudah jelas dengan kasus
pernikahan semacam ini, yaitu sebagai proses kritenisasi kepada para kaum
wanita muslimah yang rentan akan proses kritenisasi ini, karena dengan
berpura-pura masuk Islam seorang misionaris bisa menikahi wanita-wanita
muslimah dan setelah bisa menikahi mereka, lalu seorang misionaris kembali
keagamanya yang semula, setelah menikah dan menghamili para wanita-
wanita muslimah.
B. Analisis Hukum Status Pernikahan Fasakh Menurut Hukum Islam
Seperti disebutkan sebelumnya oleh para ulama tentang pernikahan
Fasakh, bahwa setidaknya terdapat tiga pendapat tentang akibat hukum
seorang suami yang berpura-pura masuk Islam terhadap status perkawinan,
yaitu :
a. Pertama, keduanya harus dipisahkan tanpa talak. Keduanya dipisahkan
tanpa menunggu putusan dari pengadilan (Qadi). Nikah keduanya adalah
menjadi batal (fasakh) (al-Zuhaili, 1985: 21)45
b. Kedua, bahwa fasakhnya pernikahan harus menunggu selesainya iddah.
Apabila seorang suami itu kembali masuk agama Islam sebelum masa
iddah selesai, maka keduanya tetap sebagai suami istri. Namun apabila
44Diakses pada tgl 11 Februari 2014
darihttp://www.bersamadakwah.com/2014/01/asmirandah-akui-foto-berdoa-di-gereja.html
45
Ahda Bina Afianto, Akibat Hukum Murtadnya Suami Terhadap Status Pernikahan dan
Anak. h. 481.
71
sampai berakhirnya masa iddah ia tidak kembali masuk Islam, maka talak
telah jatuh.
c. Ketiga, apabila salah seorang suami atau istri keluar dari agama Islam
sebelum keduanya bercampur, maka pernikahan itu fasakh seketika.
Namun apabila keduanya telah bercampur, maka fasakh akan jatuh ketika
berakhirnya masa iddah.
Sedang fasakh dengan keputusan hakim, jika sebab-sebab fasakh yang
sudah jelas tidak memerlukan keputusan hakim lagi, misal apabila terbukti
bahwa si suami istri masih saudara sesusuan, saat itu pula waji batas mereka
berdua untuk memfasakhkan perkawinannya dengan kemauan mereka sendiri.
Kadang-kadang ada penyebab fasakh yang tidak jelas sehingga memerlukan
keputusan hakim, dan pelaksanaannya tergantung kepada keputusan hakim,
misal fasakh karena istri dan enggan masuk Islam atau sebaliknya suami tidak
mau masuk Islam, suami sudah masuk Islam lebih dahulu tetapi istri keberatan
untuk masuk Islam atau sebaliknya seorang istri masuk Islam terlebih dahulu
akan tetapi suami menolak atau tidak mau masuk Islam maka akad
pernikahannya rusak, batal atau tidak sah dengan sendirinya.46
Oleh karena itu, ketika seorang anak perempuan yang hendak menikah
dengan seorang laki-laki, hendaklah dia memilih yang seiman, jika seorang
wanita mendapatkan calon suami non-muslim, maka hendaklah wanita itu
melihat kesungguhan sang calon suami untuk masuk agama Islam dengan
sunguh-sungguh dan dengan keikhlasan untuk belajar agama Islam sebagai
46 H.S.A Al Hamdani, Risalah Nikah, h. 51-52.
72
mu‟alaf, dan haruslah dengan perantara orang tuanya (walinya) dan dengan
persetujuan kedua-duanya (anak dengan orang tuanya), supaya rumah tangga
yang didirikan oleh anaknya dengan suaminya, berhubungan baik dengan
rumah tangga orang tuanya.
Oleh sebab itu, sudah sepantasnya diserahkan urusan perkawinan
itu ketangan wali dengan tidak melupakan persetujuan (keizinan) putrinya.
Apalagi orangtua tidak akan mengawinkan putrinya kepada sembarang laki-
laki dengan tidak mempertimbangkan baik-buruknya. Orangtua telah
mendidik dan menjaganya dari kecil dan rela mengorbankan apa yang ada
padanya untuk kemaslahatan putrinya.
73
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka penyusun dapat
menyimpulkan sebagai berikut :
1. Bahwa pernikahan fasakh ini, pernikahannya sah sejak awal bila pada saat
mengucapkan sahadat tidak ada sesuatu yang menafikan sahadatnya (yang
bersifat ucapan atau perbuatan), pada saat akad nikah karena pengantin
laki-laki mengaku sebagai muslim. Bahwa dia hanya berpura-pura masuk
Islam itu lain soal. Namun, begitu tahu ada pengakuan bahwa suaminya
balik lagi keagama asalnya. Maka akad pernikahan itu sudah rusak
(fasakh), batal atau gugur dengan sendirinya.
2. Bahwa fasakhnya pernikahan harus menunggu selesainya masa iddah.
Apabila seorang suami itu kembali masuk agama Islam sebelum masa
iddah selesai, maka keduanya tetap sebagai suami istri. Namun apabila
sampai berakhirnya masa iddah ia tidak kembali masuk Islam, maka talak
telah jatuh. Apabila salah seorang suami atau istri keluar dari agama Islam
sebelum keduanya bercampur, maka pernikahan itu fasakh seketika.
Namun apabila keduanya telah bercampur, maka fasakh akan jatuh ketika
berakhirnya masa iddah.
74
B. Saran
Dari permasalahan ini penyusun mempunyai saran-saran yang
mungkin bisa menjadi pertimbangan untuk para wanita-wanita muslimah
khususnya yang akan mencari pendamping atau pasangan hidup yang akan
mengarungi bahtera rumah tangga bersama, hendaklah memikirkan atau
mempertimbangkan babat, bebet, bobotnya seorang mempelai laki-laki dan
hendaklah yang seiman atau seagama dengannya.
Adapun jika seorang wanita muslimah ingin menikah dengan seorang
laki-laki non-muslim dan laki-laki non-muslim itu ingin berpindah agama
atau ingin masuk Islam, hendaklah wanita muslimah itu melihat kesungguhan
dan tekad mempelai laki-laki itu untuk masuk Islam atau menjadi mualaf
dengan menuntunnya memperdalam agama Islam, mengenalkan kepadanya
tentang kebersihan dan kebenaran aqidah Islam, ibadah dan akhlak Islam
secara bertahap untuk memantapkan keislamannya dan menumbuhkan
kecintaannya kepada Islam, dan turut serta mendo’akannya agar benar-benar
mendapat hidayah dan inayah dalam hal keimanan dan ketaqwaan untuk
belajar atau memperdalam agama Islam dengan sungguh-sungguh dan dengan
penuh keyakinan.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Ahmad Sudirman, MA. Problematika Pernikahan dan Solusinya, Jakarta:
Prima Heza Lestari, 2006
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet. Ke-4. Jakarta: CV.
Akademika Perssindo, 2010.
Abidin, Slamet dan Aminuddin, Fiqh Munakahat I. Bandung: Pustaka Setia,
1999.
Al-Mufarraj, Sulaiman. Bekal Pernikahan: Hukum, Tradisi, Hikmah, Kisah,
Syair, Wasiat, kata
Al Jabry, Abdul Mutaal Muhammad, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan
Islam. Cet ke-3. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Al-Jaziri, Abdur Rahman.Kitab al-Fiqh ‘Ala Mazahib al-Ara’ah
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), Cet. Ke-1,
Ayubi, Syaikh Hasan. Fikih Keluarga, cet ke-4. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2005.
Bakhtiar, Nurman Agus, Murisal, Ranah Minang Ditengah Cengkeraman
Kristenisasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005.
Ghazali, Rahman Abdul. Fiqh Munakahat
HamzahAndi, KUHP dan KUHAP, Cet. Ke 16, (Jakarta :RinekaCipta, 2010)
Jaelani, Abdul Qadir. Keluarga Sakinah. Surabaya: Cahaya Ilmu, 1995.
Junaedi, Dedi. Bimbingan Perkawinan, cet Ke-1. Jakarta: Akademik Pressindo,
2000
Manan,Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana,2006.
Mukhtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, cet. Ke-3.
Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Mutiara, Alih Bahasa, Kuais Mandiri Cipta Persada. Jakarta: Qisthi Press, 2003.
Natadimaja, Harumiati. Hukum Perdata Mengenai Hukum Perorangan dan
Hukum Benda, cet I. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.
Prodjodikoro, Wirjono. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Bandung:
Refika AditamaA, 2003.
Ramulyo, M. Idris. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Dari segi Hukum Perkawinan Islam.
Ramulyo, Muhd. Idris. Hukum Pernikahan Islam (suatu Anlisis dari undang-
undang Nomor 1 tahun 1974 dan kompilasi hukum Islam), cet ke-
1.Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Rasjid, H. Sulaiman. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Islam), Cet ke-64. Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2013.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam Indonesia. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. Ke-31. Jakarta: Intermasa, 2003.
Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004.
Usman, Husaini dan Pramono Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial.
Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
Yasin, M, Nur. Hukum Perkawinan Islam Sasak, Malang: UIN Malang Press,
2008.
Yunus, H. Mahmud. Hukum Perkawinan dalam Islam (menurut mazhab Syafi’i,
Hanafi, Maliki dan Hambali), cet ke-15. Jakarta: PT. Hidakarya Agung,
1996.
Zuhaili, Wahbah, Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu,Beirut: Dar al-fikr, t.th.
http://islamiwiki.blogspot.com/2012/03/bahaya-berbohong-dan-hukumnya-
dalam.html#.UvtKq85qMz0
http://salafytobat.wordpress.com/2013/01/07/berbohong-yang-diperbolehkan-
menurut-hukum-islam/
http://tarekatqodiriyah.wordpress.com/2010/01/28/hukum-berbohong-dalam-
islam/
http://ponpesaswaja.blogspot.com/2013/11/hukum-menikah-beda-
agama.html#more
http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/saudara-baru.htm#.Uvzw_s5qMz0
http://www.bersamadakwah.com/2014/01/asmirandah-akui-foto-berdoa-di-
gereja.html
http://m.tempo.co/read/news/2013/11/15/219529868/FPI-pernikahan-Jonas-dan-
Asmirandah-Haram
http://m.okezone.com/read/2013/11/16/33/898107/large
www.risalahislam.com
http://id.wikipedia.org/wiki/Kebohongan
http://islamiwiki.blogspot.com/2012/03/bahaya-berbohong-dan-hukumnya-
dalam.html#.UvtKq85qMz0
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0512/18/persona/2297862.htm
http://efrizal93.blogspot.com/2012/03/tindak-pidana-penipuan.html
http://salafytobat.wordpress.com/2013/01/07/berbohong-yang-diperbolehkan-
menurut- hukum-islam/
http://tarekatqodiriyah.wordpress.com/2010/01/28/hukum-berbohong-dalam-
islam/
http://www.blogsoto.com/haramnya-berbohong-dusta-bahaya-bagi-kaum-
muslimin-64.htm