Tertib rohani - terjemahan BAB 5

48
TUGAS MATA KULIAH CURRICULUM FOR DEVELOPMENT SPIRITUAL FORMATION [Kurikulum Untuk Pengembangan Pembentukan Spiritual] Oleh : Ana Lestari Uriptiningsih 022014043 Sonny Cornelly Sitanggang 032014027 Tugas ini dibuat untuk Rev. Dr. Lee Young Woon, Ph. D, sebagai syarat penilaian mata kuliah curriculum for development spiritual formation SEKOLAH TINGGI TEOLOGI KADESI

Transcript of Tertib rohani - terjemahan BAB 5

TUGAS MATA KULIAH

CURRICULUM FOR DEVELOPMENT SPIRITUAL FORMATION

[Kurikulum Untuk Pengembangan Pembentukan Spiritual]

Oleh :

Ana Lestari Uriptiningsih

022014043

Sonny Cornelly Sitanggang

032014027

Tugas ini dibuat untuk Rev. Dr. Lee Young Woon, Ph. D, sebagai syarat penilaian mata kuliah curriculum for development spiritual formation

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI KADESI

YOGYAKARTA

Febuari 2015

5. DISIPLIN BELAJAR

Orang yang mengamat-amati hal-hal yang dilihatnya dan

memikirkan apa yang dibacanya ia berada pada jalan yang benar

menuju pengetahuan, asal saja ia tidak memeriksa dengan cermat

keadaan hatinya sendiri seketika ia meneliti dengan seksama hati

orang lain.—Caleb Colton.

Tujuan berbagai Disiplin Rohani itu adalah perubahan seseorang secara total.

Maksudnya ialah mengganti kebisaan-kebiasaan berpikir yang lama lagi merusak dengan

kebiasaan-kebiasaan baru yang memberi hidup. Tujuan ini paling jelas terlihat dalam disiplin

belajar. Rasul paulus memberitahukan bahwa kita diperbaharui melalui pembaharuan akal

budi (Roma 12:2). Akal budi diperbaharui dengan jalan menerapkan hal-hal yang akan

mengubahnya. “Jadi akhirnya saudara-saudara semua yang benar, semua yang mulia, semua

yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang

disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu” (Filipi 4:8). Disiplin belajar

merupakan wahana utama yang membawa kita untuk “memikirkan semuanya itu.” Oleh

sebab itu, kita harus bersukacita bahwa kita tidak dibiarkan untuk berbuat sesuka hati kita,

tetapi telah diberikan sarana kasih karunia Allah untuk mengubah roh di dalam batin kita.

Banyak orang Kristen tetap terbelenggu oleh berbagai perasaan takut dan cemas

hanya karena mereka tidak mengambil manfaat dari disiplin belajar. Mungkin saja mereka

setia ke gereja dan bersungguh-sungguh di dalam melakukan kewajiban agama, tetapi roh

mereka tidak berubah. Di sini saya tidak berbicara hanya mengenai mereka yang dengan

sungguh-sungguh berusaha untuk beribadah kepada dan menaati Yesus Kristus sebagai

Tuhannya. Mungkin mereka menyanyi dengan semangat , berdoa di dalam Roh, hidup setaat

mungkin seperti yang mereka tahu, bahkan menerima visiun dan wahyu dari Allah; namun

suasana umum hidup mereka tidak pernah berubah. Mengapa? Sebab mereka tidak pernah

menerima salah satu cara utama yang Allah pakai untuk mengubah kita: yaitu belajar. Yesus

menerangkan dengan gamblang bahwa pengetahuan akan kebenaranlah yang membebaskan

kita. “Dan kamu akan mengetahui kebenaran dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu”

(Yohanes 8:32). Perasaan senang tidak memerdekakan kita. Pengalaman yang

menggembirakan tidak akan memerdekakan kita. Emosi yang meluap-luap pun tidak akan

memerdekakan kita. Tanpa mengetahui kebenaran, kita tidak akan merdeka.

Prinsip ini berlaku dalam setiap bidang usaha manusia. Ini pun berlaku di bidang

biologi dan matematika. Juga di dalam pernikahan dan hubungan lain antar manusia. Akan

tetapi, prinsip ini khususnya berlaku dalam hubungannya dengan kehidupan rohani. Banyak

orang yang terhambat dan bingung dalam kehidupan rohani hanya karena mereka tidak

mengetahui kebenaran. Yang lebih buruk lagi, banyak orang telah terbawa dalam

perhambaan yang paling kejam oleh karena pengajaran palsu. “Kamu mengarungi lautan dan

menjelajah daratan, untuk menobatkan satu orang saja menjadi penganut agamamu dan

sesudah bertobat, kamu menjadikan dia orang neraka, yang dua kali lebih jahat daripada

kamu sendiri” (Mat. 23:15).

Oleh sebab itu marilah kita berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mempelajari

Disiplin Rohani di bidang belajar, mengenali perangkap-perangkapnya, mempraktikannya

dengan kesukaan, dan mengalami kemerdekaan yang dibawakannya.

APA SEBENARNYA BELAJAR ITU

Belajar adalah semacam pengalaman khusus. Pengamatan yang teliti akan struktur-

struktur yang objektif akan menyebabkan proses-proses berpikir kita bergerak ke suatu arah

tertentu. Mungkin kita menyelidiki sebatang pohon atau sebuah buku. Kita melihatnya,

merabanya. Sewaktu kita melakukan hal itu, proses berpikir kita diarahkan sesuai dengan

struktur dari pohon atau buku yang sedang kita selidiki. Jika hal ini dilakukan dengan penuh

konsentrasi, daya menanggapi, dan dengan berulang-ulang maka terbentuklah kebiasaaan-

kebiasaan berpikir yang mendarah daging.

Perjanjian Lama memberi arahan agar arahan hukum Taurat ditulis pada pintu

gerbang dan pada tiang pintu rumah dan diikatkan pada pergelangan tangan dan “haruslah itu

menjadi lambang di dahimu” (Ul. 11:18). Maksud instruksi tersebut ialah agar dengan

berulang-ulang dan teratur pikiran mereka diarahkan dalam cara-cara berpikir tertentu tentang

Allah dan hubungan manusia. Tasbih dan roda sembahyang mempunyai tujuan yang sama.

Sudah tentu, Perjanjia Baru menggantikan hukum-hukum yang tertulis pada tiang pintu

rumah dengan hukum-hukum yang tertulis di hati dan memimpin kita kepada Yesus, yaitu

Guru yang selalu hadir di dalam kita.

Sekali lagi kami harus menekankan bahwa kebiasaan-kebiasaan berpikir yang

mendarah daging yang sudah terbentuk akan menyesuaikan diri dengan apa yang sedang

dipelajari. Apa yang kita pelajari menetukan kebiasaan macam apa yang terbentuk. Itulah

sebabnya Paulus mendorong kita untuk memusatkan pikiran pada hal-hal yang benar, mulia,

adil, suci, indah, dan sedap didengar.

Proses yang terjadi di dalam pelajaran haruslah dibedakan dari meditasi. Meditasi

bersifat ibadah; belajar bersifat analisa. Meditasi akan menikmati sebuah kata; sedangkan

belajar akan menerangkan kata tersebut.

Walaupun meditasi dan belajar sering tumpang tidnih dan berfungsi secara

bersamaan, keduanya merupakan pengalaman yang berbeda. Belajar menyiapkan kerangka

tujuan tertentu dan di dalamnya meditasi bisa berfungsi dengan berhasil.

Di dalam belajar ada dua “buku” yang dipelajari: lisan dan yang bukan lisan. Oleh

karena itu, buku dan kuliah merupakan hanya separuh dari bidang belajar, mungkin lebih

kecil lagi. Dunia alam dan, yang terpenting pengamatan yang cermat akan berbagai kejadian

dan perbuatan merupakan bidang belajar utama yang bukan lisan.

Tugas pokok belajar adalah mencerap kenyataan dari suatu situasi tertentu,

perjumpaan, buku, dan sebagainya. Misalnya, seseorang bisa mengetahui peristiwa skandal

Watergate tanpa memahami apa-apa dari sifat sebenarnya keadaan yang tragis itu. Tetapi jika

seseorang mau mengamati dengan teliti dan memikirkan apa yang sedang terjadi maka ia

akan belajar dan mengetahui banyak sekali.

EMPAT TINDAKAN

Belajar memerlukan empat tindakan,. Yang pertama adalah pengulangan.

Pengulangan ialah cara teratur menyalurkan pikiran ke arah yang tertentu, dan dengan

demikian menanamkan kebiasaaan berpikir. Dewasa ini pengulangan mempunyai nama

buruk, bagaimanapun juga, sangatlah penting untuk menyadari bahwa pengulangan belaka

tanpa mengerti apa yang sedang di ulangi sungguh akan mempengaruhi pikiran batin.

Kebiasaan berpikir yang berurat-berakar dapat dibentuk melalui pengulangan itu sendiri, dan

dengan demikian bisa mengubah perilaku. Inilah yang menjadi dasar pemikiran di balik

psikosibernetika yang melatih orang untuk mengulangi pengakuan tertentu secara teratur

(misalnya, aku mengasihi diriku tanpa syarat). Bahkan tidaklah penting orang itu

mempercayai apa yang ia ulangi, yang penting ialah mengulanginya. Pikiran batinnya secara

demikian dilatih danakhirnya akan menanggapi dengan mengubah perilakunya agar sesuai

dengan pengakuannya. Sudah tentu, prinsip ini telah diketahui selama berabad-abad tetapi

baru-baru saja ditegaskan secara ilmiah.

Itulah sebabnya pokok persoalan program televisi demikian penting. Dengan

menayangkan begitu banyak peristiwa pembunuhan setiap malam pada waktu siaran yang

terbaik di televisi, pengulangan itu saja akan melatih pikiran batin untuk erpikir dalam pola-

pola berpikir yang bersifat menghancurkan.

Kosentrasi merupakan tindakan kedua di dalam belajar, jika di samping membawa

pikiran secara berulang-ulang ke suatu pokok persoalan orang itu akan memusatkan

pikirannya pada apa yang sedang ia pelajari, maka hal belajar itu akan sangat meningkat.

Konsentrasi itu memusatkan pikiran. Perhatiannya terpusat pada apa yang sedang dipelajari.

Pikiran manusia mempunyai kemampuan luar biasa untuk berkonsentrasi. Pikiran terus-

menerus menerima ribuan perangsang. Setiap perangsang itu dapat disimpan dalam bank

ingatannya, sementara memusatkan perhatian pada beberapa hal saja. Kemampuan alamiah

dari otak ini dipertinggi lagi bila dengan kebulatan pikiran kita memusatkan perhatian pada

satu obyek penelaahan yang diinginkan.

Bila tidak hanya berulang-ulang menyalurkan pikiran ke suatu arah yang khusus

sambil memusatkan perhatian pada subyek, tetapi juga mengerti apa yang sedang kita pelajari

maka kita mencapai suatu taraf yang baru. Berikutnya pemahaman merupakan tindakan yang

ketiga dalam disiplin belajar, pemahaman membawa kita kepada wawasan dan pertimbangan.

Inilah yang menjadi dasar dari persepsi yang benar terhadap kenyataan.

Suatu tindakan lagi yaitu yang keempat diperlukan: pemikiran. Walaupun

pemahaman memperjelas apa yang sedang kita pelajari, pemikiran memperjelas makna dari

apa yang kita pelajari. Memikirkan, merenungkan kejadian-kejadian pada zaman kita akan

membawa kita kepada kenyataan inti dari dari kejadian itu. Pemikiran menuntun kita untuk

melihat perkara-perkara dari sudut pandang Allah.melalui pemikiran kita dapat mengerti

tidak hanya pokok persoalannya melainkan juga diri kita sendiri. Yesus sering berbicara

tentang telinga yang tidak mendengar dan mata yang tidak melihat. Ketika kita merenungkan

arti dari apa yang kita pelajari, kita bisa mendengar dan melihat hal-hal dalam cara yang baru.

Segera akan menjadi jelas bahwa hal belajar menuntut kerendahan hati. Kita tidak

akan belajar sebelum kita bersedia untuk tunduk kepada pokok persoalan yang sedang kita

pelajari. Kita harus tunduk kepada sistem. Kita harus datang sebagai murid, bukan sebagai

guru. Hal belajar tidak hanya secara langsung bergantung pada kerendahan hati.

Kesombongan dan sifat yang mudah diajar tidak ada sangkut-paut satu sama lain.

Kita semua mengenal orang-orang yang telah mengikuti suatu kursus atau telah

memperoleh suatu titel akademis yang memerkan informasi mereka dengan cara yang

menyakitkan hati. Patutlah kita merasa amat sedih dengan orang-orang seperti itu. Mereka

tidak mengerti disiplin belajar rohani. Mereka keliru menyangka bahwa informasi yang

mereka kumpulkan itu adalah pengetahuan. Mereka menyamakan semburan kata-kata dengan

hikmat. Betapa menyedihkan ! Rasul Yohanes menegaskan hidup kekal sebagai pengetahuan

Allah. “inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa merekamengenal Engkau, satu-satunya Allah

yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus” (Yohanes 17:3). Bahkan

hanya sedikit sentuhan pengetahuan yang berdasarkan pengalaman ini sudah cukup untuk

menimbulkan dalam diri kita rasa kerendahan hati yang mendalam.

Sekarang setelah meletakkan dasar, marilah kita beralih pada pertimbangan

pelaksanaan praktis disiplin belajar.

MEMPELAJARI BUKU-BUKU

Saat kita membicarakan hal belajar maka sudah tentu kita berpikir tentang buku-buku

atau tulisan-tulisan lainnya. Walaupun hanya merupakan separuh bidang belajar, seperti yang

telah saya kemukakan sebelumnya, dan paling jelas, buku atau tulisan itu sangat penting.

Sayangnya, banyak orang rupanya menganggap bahwa mempelajari sebuah buku

adalah tugas yang mudah. Pastilah, sikap sembrono itu yang menyebabkan kebanyakan orang

mempunyai kebiasaan membaca yang kurang baik. Mempelajari sebuah buku merupakan

sesuatu yang sangat rumit, khususnya bagi orang yang masih baru. Seperti permainan tenis

atau mengetik, pada waktu saudara pertama kalinya belajar kelihatannya ada seribu satu

macam hal yang harus dikuasai sehingga saudara mulai berpikir bagaimana mungkin untuk

mengingat semuanya sekaligus. Akan tetapi, setelah saudara pandai melakukannya, maka

tekniknya mendarah daging, dan saudara bisa memusatkan perhatian pada permainan tenis itu

atau pada materi yang akan diketik.

Sama halnya dengan mempelajari sebuah buku. Belajar merupakan seni yang sulit

dengan seluk beluk yang amat banyak. Halangan yang utaman adalah meyakinkan orang

bahwa mereka harus belajar cara bagaimana belajar. Banyak orang mengira bahwa karena

mereka bisa membaca kata-kata maka mereka mengetahui bagaimana belajar. Pengertian

yang terbatas mengenai sifat belajar ini menerangkan mengapa begitu banyak orang hanya

memperoleh sedikit manfaat dari membaca buku.

Tiga aturan instrinsik dan tiga yang ekstrinsik yang menetukan keberhasilan dalam

mempelajari sebuah buku.

Pada mulanya aturan-aturan instrinsik ini mengharuskan kita membaca buku itu tiga

kali secara terpisah, tetapi lambat laun bisa dilakukan secara bersamaan. Pembacaan pertama

meliputi hal mengerti buku itu; apa yang dikatakan oleh pengarang? Pembacaan kedua

meliputi penafsiran buku itu; apa yang dimaksud oleh pengarang? Pembacaan yang ketiga

meliputi penilaian buku; apakah pendapat pengarang itu benar atau tidak? Kebanyakan kita

cenderung untuk melakukan pembacaan ketiga ini lebih dulu dan seringsama sekali tidak

melakukan pembacaan yang pertama dan kedua. Kita memberikan analisis yang kritis

mengenai sebuah buku sebelum kita mengerti apa yang dikatakannya. Kita menilai sebuah

buku sebagai benar atau salah sebelum kita menafsirkan apa artinya. Penulis kitab

Pengkhotbah yang bijaksana berkata bahwa untuk segala sesuatu di muka bumi ini ada

waktunya dan waktu untuk mengadakan analisis yang kritis mengenai sebuah buku timbul

setelah ada pengertian dan penafsiran yang teliti.

Namun, aturan-aturan instrinsik dalam hal belajar sendiri tidaklah cukup agar dapat

berhasil dalam membaca kita perlu pertolongan ekstrinsik dari pengalaman, buku-buku lain,

dan diskusi langsung.

Pengalaman merupakan satu-satunya cara untuk kita bisa menafsirkan dan mengerti

apa yang kita baca. Pengalaman yang telah dimengerti dan dipikirkan akan memberi

informasi dan penjelasan mengenai apa yang kita pelajari.

Buku-buku lainnya dapat terdiri atas kamus dan tafsiran, tetapi yang lebih penting

lagi adalah buku-buku bermutu lainnya yang merupakan pendahuluan atau kelanjutan dari

pokok persoalan yang sedang kita pelajari. Sering kali sebuah buku hanya akan mempunyai

arti bila dibaca dalam hubungan dengan buku-buku lain. Umpamanya, hampir tidak mungkin

kita mengerti surat Roma atau surat Ibrani tanpa mempunyai pengetahuan dasar tentang

perjanjian lama. Buku-buku bermutu yang membicarakan persoalan-persoalan hidup yang

utama biasanya saling mempengaruhi. Buku-buku itu tak dapat dibaca secara terpisah.

Diskusi langsung mengacu kepada interaksi yang biasa terjadi di antara orang-orang

yang mengikuti rangakaian pelajaran yang khusus. Kita berinteraksi dengan pengarang, kita

berinteraksi satu sama lain—dan berbagai gagasan kreatif yang baru lahir.

Buku pertama yang paling penting yang harus kita pelajari adalah Alkitab. Pemazmur

bertanya, “Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih?” Kemudian

ia menjawab pertanyaannya sendiri, “Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu,” lalu

menambahkan, “Dalam hatiku aku menyimpan janji-Mu, supaya aku jangan berdosa terhadap

Engkau” (Mzm. 119:9, 11). Mungkin yang dimaksud dengan “firman” adalah Taurat, tetapi

orang-orang Kristen sepanjang abad telah membuktikan kebenaran ini sewaktu mereka

mempelajari seluruh Alkitab. “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat

untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk

mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah

diperlengkapi untu setiap perbuatan baik.” (2 Tim. 3:16, 17). Perhatikanlah bahwa tujuan

utama bukan kemurnian doktrin (walaupun tidak diragukan lagi bahwa hal itu juga terlibat),

melainkan pembaharuan batin. Waktu kita mempelajari Alkitab kita datang untuk diubah,

bukan untuk mengumpulkan informasi.

Bagaimanapun juga, kita harus mengerti bahwa ada perbedaan yang besar antara

mempelajari Alkitab dan membaca Alkitab sebagai ibadah. Di dalam mempelajari Alkitab

yang menjadi prioritas utama adalah penafsiran: apa artinya. Dalam pembacaan Alkitab

sebagai ibadah yang menjadi prioritas utama adalah penerapan: apa artinya bagi diri saya. Di

dalam belajar kita tidak mencari kegembiraan rohani yang meluap-luap; sebenarnya perasaan

itu dapat merupakan halangan. Pada waktu kita mempelajari sebuah buku Alkitab kita

berusaha agar pikiran kita dikendalikan oleh maksud penulis itu: kita bertekad untuk

mendengar apa yang ia katakan, bukan apa yang kita ingin ia katakan. Kita bersedia untuk

mengalami kegersangan hari lepas hari sampai artinya menjadi jelas. Proses inilah yang

mengubah kehidupan kita.

Rasul Petrus menemukan di dalam surat-surat “Paulus, saudara kita yang kekasih”

beberapa hal “yang sukar dipahami” (2 Ptr 3:12, 16). Jika Petrus berpendapat demikian, kita

pun akan mengalami hal itu. Kita perlu berusaha untuk mengerti. Setiap hari membaca

Alkitab dalam ibadah pribadi merupakan satu hal yang terpuji, namun itu bukan mempelajari

Alkitab. Seorang yang menghendaki “sepatah kata dari Tuhan untuk hari ini” tidak tertarik

pada Disiplin belajar.

Kebanyakan pelajaran sekolah minggu yang diberikan kepada orang dewasa terlalu

dangkal dan bersifat ibadah sehingga kurang menolong kita dalam mempelajari Alkitab,

walaupun beberapa gereja cukup mementingkan pelajaran Alkitab dan memberikan pelajaran

yang mendalam. Mungkin saudara tinggal dekat dengan sebuah seminari atau universitas

dimana saudar dapat mengikuti kuliah sebagai pendengar. Jika demikian, saudara beruntung,

khususnya jika saudara mendapatkan seorang guru yang membagikan hidup disamping

informasi. Akan tetapi, jikalau tidak demikian (bahkan jika memang demikian) saudara bisa

melakukan beberapa hal untuk memulai mempelajari Alkitab.

Bebrapa pengalaman saya yang paling menguntungkan di bidang belajar datang

melalui menyusun waktu untuk menyendiri. Biasanya hal itu memakan waktu dua atau tiga

hari. Pasti saudara akan keberatan karena daftar kegiatan saudara tidak memungkinkan saudar

meluangkan waktu seperti itu. Saya ingin saudar mengetahui bahwa bagi sayapun tidak lebih

mudah untuk menyisihkan waktu itu dibanding dengan orang lain. Saya berjuang dan

bergumul untuk setiap waktu menyendiri, menjadwalnya dalam buku catatan saya

berminggu-minggu sebelumnya. Saya telah mengusulkan ide ini kepada beberapa kelompok

dan ternyata orang profesional dengan jadwal yang padat, para pekerja dengan jadwal kerja

yang ketat, para ibu rumah tangga yang berkeluarga besar, dan yang lainnya dapat

meluangkan waktunya untuk menyendiri dan meluangkan waktunya untuk belajar. Saya telah

menemukan bahwa persoalan yang paling sulit bukanlah meluangkan waktu, tetapi

meyakinkan diri saya bahwa hal ini cukup penting sehingga saya harus dapat meluangkan

waktu.

Alkitab memberi tahu bahwa sesudah Dorkas dibangkitkan secara ajaib maka Petrus

“tinggal beberapa hari di Yope, di rumah seorang yang bernama Simon, seorang penyamak

kulit” (Kis. 9:43). Sementara ia tinggal di Yope itulah Roh Kudus berbicara kepada Petrus

(dengan menggunakan alat peraga) tentang pandangan kesukuan. Apa yang terjadi

seandainya ia tidak tinggal lebih lama di situ, melainkan segera berkeliling untuk

memberitakan kebangkitan Dorkas? Mungkinkah ia tidak akan menerima wawasan itu dari

Roh Kudus, “Sesungguhnya aku telah mengerti bahwa Allah tidak membedakan orang.

Setiap orang dari bangsa mana pun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran

berkenan kepada-Nya” (Kis.10:34,35)? Tidak ada seorang pun yang tahu. Tetapi inilah yang

saya ketahui: Allah menginginkan bagi kita semua berbagai tempat di mana kita dapat

“menyendiri” agar Ia dapat mengajar kita dengan cara yang khusus.

Bagi banyak orang, akhir pekan merupakan waktu yang baik untuk pengalaman

seperti itu. Sedangkan yang lainnya bisa mengatur waktu ditengah-tengah minggu. Jika

saudaradapat menyisihkan hanya satu hari, seringkali ynag terbaik adalah hari Minggu.

Tempat yang paling baik adalah di mana saja asalkan tidak di rumah. Meninggalkan

rumah tidak hanya membebaskan saudara dari tanggung jawab rumah tangga, tetapi juga

memantapkan pikiran saudar untuk belajar. Penginapan adalah tempat yang baik, demikian

juga tempat peristirahatan. Sedangkan berkemah kurang baik karena saudara akan lebih

terganggu dengan tugas-tugas setiap harinya. Seringkali tempat-tempat retret Katolik mau

menerima dan dapat menyediakan tempat bagi mereka yang mengadakan retret pribadi.

Retret kelompok yang terorganisasi hampir tidak pernah memberi kesempatan belajar

yang serius, jadi yang terbaik adalah merencanakan retret pribadi. Oleh karena saudara

sendirian saudara perlu mendisiplin diri dan waktu saudara dengan berhati-hati. Jika saudara

masih baru dalam hal ini jangan terlalu memforsir agar tidak menjadi jenuh. Akan tetapi,

setelah menjadi berpengalaman mungkin saudara dapat belajar dengan sungguh-sungguh

selama 10 atau 12 jam setiap hari.

Apa yang harus saudar pelajari? Hal ini bergantungan pada kebutuhan saudara. Saya

tidak mengetahui keperluan saudara, tetapi saya mengetahui bahwa salah satu keperluan

terbesar orang Kristen dewasa ini adalah membaca bagian-bagian yang panjang di Alkitab.

Banyak kali pembacaan Alkitab terdiri atas bagian-bagian yang pendek sekali dan hanya

sekali-sekali. Saya mengenal beberapa orang yang telah mengikuti kursus Alkitab, tetapi

tidak pernah membaca seluruh kitab yang sedang mereka pelajari. Pertimbangkanlah untuk

memilih sebuah kitab yang penting seperti kitab Kejadian atau Yeremia lalu membacaseluruh

kitab itu sekaligus. Perhatikan struktur dan jalan cerita buku itu. Catatlah bagian-bagian yang

sukar dan kembalilah ke bagian itu kemudian. Catatlah berbagai pikiran dan kesan. Kadang-

kadang amat bijaksana untuk menyatukan pelajaran Alkitab dengan suatu buku rohani

lainnya yang terkenal. Pengalaman-pengalaman retret seperti itu dapat mengubah hidup

saudara.

Pendekata lain untuk mempelajari Alkitab adalah mengambil kitab yang lebih pendek,

seperti surat Efesus atau 1 Yohanes, kemudia membaca seluruh Alkitab setiap hari selama

satu bulan. Dengan usaha yang dilakukan berulang-ulang ini maka struktur kitab akan

tertanam di dalam pikiran saudara. Bacalah kitab itu tanpa mencoba untuk memasukkannya

dalam kategori yang sudah tetap. Haraplah untuk mendengarkan hal-hal yang baru dengan

cara yang baru pula. Catatlah setiap penemuan saudara. Sepanjang pelajaran ini saudara jelas

memerlukan buku pembantu tambahan yang terbaik yang bisa didapat.

Selain dari mempelajari Alkitab, jangan lupa mempelajari buku-buku klasik yang

menceritakan pengalaman-pengalaman kristiani. Mulailah dengan buku Pengakuan St.

Agustinus. Berikutnya bacalah Meniru Kristus oleh Thomas a Kempis. Jikalau saudara

senang membaca buku bahasa Inggris, saudara dapat membaca yang berikut: The Practice of

The Presence of God oleh Brother Lawrence, The Little Flowers of St. Francis oleh Brother

Ugolino, Pensees oleh Blaise Pascal, The Table Talks oleh Martin Luther, Institutes of

Christian Religion oleh Calvin. Di samping itu bacalah The Journal of George Fox atau

mungkin Journal of John Wesley yang lebih terkenal, dan karya William Law, A Serious Call

to a Devout and Holy Life (kata-katanya sesuai dengan perkembangan zaman). Dari abad ke-

20 bacalah A Testament of Devotion oleh Thomas Kelly, The Cost of Discipleship oleh

Dietrich Bonhoeffer dan Mere Christianity oleh C.S. Lewis.

Buku-buku tersebut di atas merupakan contoh. Masih ada banyak karaya penulisan

lainnya yang sangat baik oleh pengarang-pengarang dari berbagai bidang disiplin. Banyak

dari para pemikir ini memiliki persepsi yang luar biasa mengenai keadaan manusia.

Sepatah kata peringatan perlu diberukan di sini. Jangan merasa kewalahan ataupun

tawar hati karena ada banyak buku yang belum saudara baca. Mungkin saja saudara tidak

akan membaca semua buku yang tercantum di atas dan tentu saja akan membaca buku-buku

lain yang tidak tercantum. Buku-buku ini dicantumkan untuk memberi dorongan kepada

saudara dengan cara menunjukkan jumlah pustaka yang tersedia untuk membimbing kita

dalam perjalanan rohani ini. Banyak orang lain telah menempuh jalan yang sama dan telah

meninggalkan petunjuk. Ingatlah bahwa kuncil disiplin belajar bukaannya membaca banyak

buku, tetapi mengalami apa yang telah kita baca.

Mempelajari “Buku” yang Tidak Lisan

Sekarang kita sampai pada bagian yang paling kurang dipahami, tetapi mungkin

merupakan bidang studi yang paling penting, yaitu pengamatan realitas dalam berbagai hal,

peristitwa, dan perbuatan. Alam adalah tempat yang plaing mudah untuk memulai pelajaran

ini. Tidaklah sulit untuk melihat bahwa seluruh tatanan ciptaan dapat mengajarkan sesuatu

kepada kita.

Yesaya mengatakan bahwa “... gunung-gunung serta bukit-bukit akan bergembira dan

bersorak-sorai di depanmu, dan segala pohon-pohonan di padang akan bertepuk tangan”

(Yes, 55:12. Hasil karya Sang pencipta dapat berbicara dan mengajar kita jika kita mau

mendengarkan. Martin Buber bercerita tentang seorang rabi yang pergi ke sebuah kolam

setiap subuh untuk belajar “lagu yang dinyanyikan katak-katak untuk memuji Tuhan”

Kita memulai belajar tentang alam dengan jalan memberi perhatian. Kita melihat

bunga atau burung. Kita mengamatinya dengan hati-hati dan dalam suasana doa. Andre Gide

menggambarkan suatu waktu sementara kuliah di kelas, ketika ia melihat seekor kupu-kupu

yang lahir kembali dari kepompongnya. Ia begitu takjub, terpesona, dan bersukacita karena

metamorfose itu, kebangkitan itu. Dengan penuh semangat ia menunjukkannya kepada

gurunya yang menjawab dengan nada kesal, “Apa! Tidakkah anda tahu bahwa kepompong

adalah pembungkus seekor kupu-kupu? Setiap kupu-kupu yang anda lihat telah keluar dari

kepompong. Hal itu memang wajar.” Dengan kecewa Gide menulis, “Saya menguasai ilmu

hayat sebaik guru itu, atau mungkin lebih baik dari padanya... tetapi karena proses itu wajar

saja, tidak dapatkah ia melihat bahwa itu sungguh-sungguh menakjubkan? Kasihan! Mulai

hari itu saya kurang menyukai dia dan membenci pelajarannya.” Siapa yang tidak demikian!

Guru itu hanya menimbun informasi, ia tidak belajar. Jadi, langkah pertama dalam

mempelajari alam ialah pengamatan dengan sikap kagum. Sehelai daun dapat berbicara

mengenai keteraturan dan keanekaragaman, kerumitan, dan simetri. Evelyn Underhill

menuliskan:

Pusatkanlah pikiran Anda seperti yang telah diajarkan oleh latihan-latihan ingatan.

Kemudian—ketika perhatian tidak lagi terbuang-buang pada kejadian-kejadian sepele

dan minat yang kurang penting dari kehidupan Pribadi Anda, tetapi tenang dan siap

untuk melakukan pekerjaan yang akan Anda minta—regangkanlah diri melalui suatu

tindakan kemauan yang penuh kasih kepada salah satu manifestasi hidup yang banyak

sekali yang mengelilingi Anda. Biasanya Anda hampir tidak memperhatikannya

kecuali Anda memerlukannya. Curahkanlah seluruh perhatian Anda kepadanya,

jangan menariknya kepada diri Anda. Perhatian yang diberikan secara sadar—lebih

lagi dengan bersemangat—perhatian penuh yang segera melebihi semua kesadran

akan diri sendiri, yang terpisah dari hal yang dilihat namun menyertainya; inilahsyarat

keberhasilan. Benda yang menjadi objek kontemplasi kita tidak menjadi soal. Dari

pegunungan Alpen sampai seekor serannga, apa saja dapat kita perhatikan, asal saja

sikap kita benar: karena segala sesuatu di dalam dunia yang menjadi perhatian Anda

itu saling berhubungan, dan sesuatu yang benar-benar dipahami akan menjadi pintu

gerbang kepada hal-hal yang lain.

Langkah berikutnya adalah bersahabat dengan bunga dan pohon dan binatang kecil

yang berkeriapan di tanah. Seperti Dr. Doolittle, yang diceritakan dalam dongeng,

berbicaralah dengan binatang. Sudah tentu, saudara tidak bisa benar-benar berbicara satu

sama lain ... atau mungkin saudara bisa? Memang ada komuniksai yang terjadi yang melebihi

kata-kata—dan binatang bahkan tumbuhan, rupanya menanggapi persahabatan dan kasih

sayang kita. Saya mengetahui hal ini sebab saya telah mencobanya. Demikian pula beberapa

ilmuwan yang kenamaan, dan kami telah membuktikan kebenarannya. Mungkin kisah

tentang St. Fransiskus dari Assisi yang menjinakkan serigala dari Gubbio dan berkhoybah

kepad burung-burung bukan sesuatu yang dibuat-buat. Kita dapat yakin akan hal ini: jika kita

mengasihi ciptaan kita akan belajar darinya. Dalam buku The Brothers Karamazov,

Dostoevski menasihatkan :

Cintailah semua ciptaan Tuhan, seluruhnya, setiap butir pasir di dalamnya. Cintailah setiap

daun, setiap sinar cahaya Allah. Cintailah binatang, cintailah tanaman, cintaialah segala

sesuatu. Jika Anda mencintai segala sesuatu, maka Anda akan menemukan rahasia ilahi di

dalamnya. Setelah Anda melihatnya, Anda akan mulai mengertinya dengan lebih baik setiap

hari.

Sudah tentu ada banyak “buku” lain di samping alam yang harus kita pelajari. Jika

saudara meneliti hubungan yang ada antara manusia, saudar akan mendapat didikan pada

tingkat sarjana. Perhatikan, misalnya, berapa banyak pembicaraan kita ditujukan untuk

membenarkan perbuatan kita. Hampir tidak mungkin kita berbuat sesuatu tanpa menjelaskan

mengapa kita melakukannya. Tidak, kita harus menerangkannya, membenarkannya,

menunjukan kebenarannya. Mengapa kita meras terdoronguntuk mengatakan keadaan yang

sebenarnya? Oleh karena kesombongan dan ketakutan. Reputasi kita sedang dipertaruhkan!

Sifat itu mudah kita lihat dalam diri para pedagang, penulis, pendeta, guru pada

khususnya—mereka yang mata pencahariannya terjamin melalui kecakapannya dalam

berkata-kata. Akan tetapi, jika diri kita sendiri menjadi pokok utama pelajaran dan

penelaahan kita maka lama-kelamaan kita akan dilepaskan dari kesombongan. Kita tidak

akan dapat berdoa seperti orang Farisi itu, “Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu

karena aku tidak sama seperti semua orang lain ... “ (Luk. 18:11).

Berilah perhatian pada hubungan-hubungan biasa yang saudara jumpai setiap hari: di

rumah, di sekolah, dan di tempat pekerjaan. Perhatikan hal-hal yang menguasai orang. Ingat,

saudara bukan mencoba untuk menuduh atau menghakimi seseorang, saudar hanya mencoba

untuk belajar. Jika saudar memang mendapati roh menghakimi sedang timbul dalam diri

saudara, perhatikannlah dan belajarlah.

Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, salah satu objek utama yang harus kita

pelajari adalh diri kita sendiri. Kita harus mempelajari hal-hal yang harus mengendalikan diri

kita. Perhatikan perasaan dalam batin dan perubahan suasana hati. Apa yang mengendalikan

suasana hati saudara? Apa yang bisa saudara ketahui tentang diri saudara dari hal itu?

Di dalam melakukan semuanya ini kita tidak mencoba untuk menjadi psikolog atau

sosiolog amatir. Kita juga keranjingan untuk melakukan introspeksi yang berlebihan. Kita

mempelajari perkara-perkara ini dengan roh rendah hati dan memerlukan lebih banyak lagi

anugerah Tuhan. kita hanya ingin mengikuti ucapan Sokrates, “Kenalilah dirimu.” Dan

melalui Roh Kudus yang terpuji itu kita mengharapkan agar Yesus menjadi guru kita yang

hidup dan selalu menyertai kita.

Sebaiknya kita mempelajari adat-istiadat dan kebudayaan serta kekuatan-kekuatan

yang membentuknya. Juga, kita seharusnya merenungkan kejadia-kejadian pada zaman kita

—dengan mula-mula memperhatikan dan mempertimbangkan apa yang dianggap sebagai

atau bukan sebagai sesuatu “peristiwa besar” oleh kebudayaan kita. Lihatlah sistem nilai dari

suatu kebudayaan—bukan apa yang dikatakan orang tentang keadaan dirinya, melainkan apa

yang sebenarnya merupakan keadaan dirinya. Dan salah satu cara yang paling gamblang

untuk melihat nilai-nilai budaya Amerika adalah dengan menonton acara-acara iklan di

televisi mereka.

Jangan segan mengajukan pertanyaan. Apa yang menjadi kelebihan dan kekurang

masyarakat yang berteknologi tinggi? Apa pengaruh industri makanan cepat siap terhadap

tradisi pertemuan sekeluarga untuk makan bersama? Mengapa sulit dalam kebudayaan kita

untuk menyediakaan waktu guna menggalang hubungan? Apakh individualisme Barat itu

bermanfaat atau merusak? Hal-hal apa di dalam kebudayaan kita yang setuju dengan Injil dan

apa yang tidak? Salah satu fungsi yang paling penting bagi para nabi Kristen pada zaman kita

ini adalah kemampuan untuk mengetahui akibat-akibat dari bermacam-macam penemuan dan

kekuatan-kekuatan lain dalam kebudayaan kita lalu menilainya.

Belajar menghasilkan kesukaan. Biasanya untuk melakukan sesuatu yang baru mula-

mula terasa amat sulit. Tetapi semakin besar kecakapan kita, semakin besar pula kesukaan

kita. Alexander Pope berkata, “Tidak ada pelajaran yang tidak bisa membuat kita senang

setelah ita berusah mempelajarinya.” Belajar merupakan suatu usaha yang amat bermanfaat.

BAGIAN II

Disiplin-Disiplin yang Terwujud Dalam Cara Hidup

6. DISIPLIN KETULUSAN HATI DAN KESEDERHANAAN

Jika kita benar-benar memiliki ketulusan hati ini maka seluruh penampilan kita akan lebih

jujur, lebih wajar. Ketulusan hati yang benar ini ... menyadarkan kita akan sifat keterbukaan,

kelembutan, kepolosan, keriangan, dan ketenangan tertentu yang mempesonakan bila kita

melihatnya dari dekat dan terus menerus, dengan mata jernih. O, betapa menyenangkan

ketulusan hati ini! Siapa yang akan memberikannya padaku? Itulah yang aku inginkan.

Inilah mutiara Injil—Francois Fenelon.

Ketulusan hati adalah kebebasan. Bermuka-dua merupakan perbudakan. Ketulusan hati

membawa sukacita dan keseimbangan. Sedangkan bermuka-dua menimbulkan kecamasan

dan ketakutan. Penulis kitab Pengkhotbah mengatakan bahwa, “Allah telah menjadikan

manusia sederhana (“jujur”, TB) tetapi persoalan-persoalan rumit yang dialami manusia telah

dibuat olehnya sendiri” (Pkh.7:29, Alkitab Yerusalem).

Disiplin Kristiani yang berhubungan dengan ketulusan hati merupakan suatu

kenyataan batiniah yang menghasilkan suatu gaya hidup lahiriah. Aspek batiniah dan

lahiriah dari ketulusan hati ini perlu sekali. Kita menipu diri sendiri bila percaya bahwa kita

bisa memiliki kenyataan batiniah tanpa mempunyai pengaruh yang besar atas cara hidup kita.

Mencoba untuk mengatur gaya hidup jujur dan sederhana secara lahiriah tanpa memiliki

kenyataan batiniah hanya akan membawa kepada perbuatan baik yang mati.

Ketulusan hati dimulai dalam satuan dan fokus batin. Itu berarti mengamalkan apa

yang disebut Thomas Kelly sebagai “Pusat Ilahi”. Kierkegaard menangkap inti ketulusan

Kristiani dalam judul yang mendalam dari bukunya. Purity Of Heart Is to Will One Thing

(Ketulusan Hati Ialah Menghendaki Satu Hal).

Mengalami kenyataan batiniah membebaskan kita secara lahiriah. Pembicaraan

menjadi jujur dan benar. Hasrat untuk memiliki status dan posisi hilang, sebab kita tidak lagi

memerlukan status dan posisi. Kita berhenti dari pemborosan yang mencolok, bukan karena

tidak mampu, melainkan karena prinsip. Harta benda kita tersedia bagi orang lain. Kita ikut

menyatu mengalami apa yang ditulis Richard E. Biyrd dalam catatannya setelah berbulan-

bulan menyendiri di kutub Utara yang tandus, “Saya sedang belajar ... bahwa manusia dapat

hidup secara mendalam tanpa harta benda berlimpah.”

Kebudayaan pada zaman sekarang kehilangan kanyataan batiniah maupun gaya hidup

lahiriah yang tulus dan sederhana.

Batin manusia modern sudah retak dan tidak lengkap. Manusia modern terperangkap

dalam persaingan yang banyak dan berat. Satu saat ia mengambil keputusan berdasarkan akal

sehat; dan pada saat lain mengambil keputusan berdasarkan rasa takut akan pandangan orang

lain tentang dirinya. Ia tidak mempunyai kesatuan atau fokus untuk dijadikan pusat hidupnya.

Oleh karena tidak mempunyai Pusat Ilahi maka kebutuhan kita akan keamanan telah

membawa kita untuk tergila-gila kepada benda. Kita harus dengan jelas mengerti bahwa

hasrat akan kekayaan di masyarakat sekarang ini adalah gejala kelainan jiwa. Sifat itu

merupakan kelainan jiwa sebab sama sekali kehilangan hubungan dengan kenyataan. Kita

sangat menginginakn hal-hal yang tidak kita perlukan dan tidak kita senangi. “Kita membeli

barang yang tidak kita inginkan untuk menimbulkan rasa kagum pada orang yang tidak kita

sukai.” Di mana keusangan yang direncanakan berhenti; maka keusangan psikologis

mengambil alih. Kita merasa malu untuk memakai pakaian atau mengendarai mobil sampai

barang itu menjadi usang. Media massa telah meyakinkan kita bahwa tidak mengikuti

perkembangan mode berarti tidak lagi sejalan dengan kenyataan. Inilah saatnya untuk

menyadari kenyataan bahwa menyesuaikan diri dengan masyarakat yang sakit berarti kita

menjadi sakit juga. Sebelum kita menyadari bahwa dalam hal ini kebudayaan kita tidak

seimbang lagi, kita takkan sanggup mengatasi roh mamon di dalam diri kita, dan kita takkan

menginginkan kesederhanaan dan ketulusan Kristiani.

Psikosis ini telah merambas ke mitologi kita juga. Pahlawan modern adalah anak

lelaki yang menjadi kaya, bukan ideal ordo Fransiskan atau agama Budha dari anak lelaki

yang kaya yang dengan sukarela menjadi miskin. Ketamakan kita sebut ambisi. Penimbunan

barang kita sebut kebijaksanaan. Keserakahan kita sebut kerajinan.

Selanjutnya, amatlah penting untuk mengerti bahwa kebudayaan tandingan yang

modern tidak merupakan perbaikan. Hanya merupakan perubahan yang dangkal dalam gaya

hidup tanpa dengan serius menanggulangi persoalan-persoalan pokok yang menimbulkan

masyarakat yang konsumtif. Kerna kebudayaan tandingan itu selalu kekurangan pusat yang

positif, maka sudah pasti kebudayaan itu memburuk menjadi sepele. Art Gish telah berkata:

Sebagian besar dari kebudayaan tandingan itu merupakan cermin dari segi-segi yang terburuk

dari masyarakat lama yang sakit. Revolusi itu bukanlah obat bisu yang diperoleh dengan

bebas, hubungan seks yang bebas, dan pengguguran bila diminta. Itu hanya merupakan

hembusan napas terakhir dari kebudayaan tua dan tidak akan membawa kepada hidup baru.

Paham erotisme bebas yang palsu, unsur-unsur sado-masokisme (sejenis perversi seks), dan

iklan-iklan seks di kebanyakan penerbitan gelap merupakan bagian dari pemutarbalikan orde

lama dan pernyataan kematian. Banyak orang dalam gerakan bawah tanah mengamalkan

nilai-nilai yang sama, dari masyarakat yang mapan, hanya dalam bentuk yang terbalik.

Dengan berani kita perlu menyampaikan cara-cara hidup baru yang lebih manusiawi.

Kita harus berbicara menentang psikosis modern yang menentukan orang menurut berapa

banyak yang dapat mereka hasilkan atau berapa banyak upah mereka. Kita pun harus

mencoba memberi alternatif-alternatif baru yang tegas terhadap sistem sekarang yang bersifat

mematikan. Disiplin Rohani yang berhubungan dengan ketulusan dan kesederhanaan bukan

impian yang hilang, melainkan visun yang berulang terjadi sepanjang sejarah. Disiplin itu

dapat dan harus kita miliki kembali.

Alkitab dan hidup sederhana

Sebelum mencoba untuk membentuk pandangan Kristiani berhubungan dengan hidup

sederhana maka perlulah kita memusnahkan pikiran yang lazim bahwa ajaran Alkitab kabur

dan tidak tegas mengenai persoalan-persoalan ekonomi. Begitu sering orang merasa bahwa

tanggapan kita terhadap kekayaan merupakan perkara pribadi. Dikatakan bahwa ajaran

Alkitab mengenai hal ini semata-mata bergantung pada penafsiran pribadi. Kita mencoba

untuk percaya bahwa yesus tidak memusatkan perhatian pada soal-soal yang praktis yang

menyangkut ekonomi.

Pandangan seperti ini tidak dapat dibenarkan bila kita membaca Alkitab dengan

seksama. Perintah-perintah Alkitab yang melawan pemerasan orang miskin dan penimbunan

kekayaan

Dinyatakan dengan gamblang dan terus terang. Alkitab menentang hampir setiap

nilai ekonomi masyarakat kita sekarang ini. Misalnya, Perjanjian Lama menentang

pandangan populer tentang hak mutlak atas tanah milik pribadi. Bumi adalah milik Tuhan

dan oleh sebab itu tidak dapat dimiliki terus-menerus. Dalam tahun Yobel semua tanah

dikembalikan kepada pemilik yang semula. Sebenarnya, maksud tahun Yobel adalah

mengadakan pembagian kembali kekayaan secara teratur, karena kekayaan itu sendiri

dipandang sebagai milik tuhan dan bukan milik manusia. Pandangan yang begitu radikal

tentang ilmu ekonomi menentang hampir semua kepercayaan dan praktik zaman sekarang.

Seandainya bangsa Israel dengan setia melaksanakan tahun Yobel, maka mereka sudah dapat

mengakhiri masalah orang kaya yang menjadi semakin kaya sedang orang miskin menjadi

semakin miskin.

Tak henti-hentinya Alkitab secara meyakinkan menghakimi roh perbudakan dalam

hati manusia yang timbul karena mencintai kekayaan, suatu hal yang serupa dengan

penyembahan berhala. “Apabila harta makin bertambah, janganlah hatimu melekat padanya,”

bunyi nasihat pemazmur (Maz. 62:11). Hukum yang kesepuluh menentang ketamakan,

keinginan hati untuk “memiliki”, yang membawa kepada pencurian dan penindasan. Orang

bijaksana mengerti bahwa “Siapa mempercayakan diri kepada kekayaannya akan jatuh”

(Ams 11:28).

Yesus menyatakan perang terhadap materialisme pada zaman-Nya. Istilah orang

Aram untuk kekayaan adalah “mamon” dan Yesus mencelanya sebagai allah saingan,

“Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian ia akan

membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan

tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada

Mamon” (Luk.16:13). Sering kali dengan tegas Ia berbicara tentang soal-soal ekonomi. Ia

berkata, “Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya kerajaan

Allah” dan “Celakalah kamu, hai kamu yang kaya, karena dalam kekayaanmu kamu telah

memperoleh penghiburanmu” (Luk. 6:20,24). Denga jelas sekali Ia melukiskan kesulitan

orang kaya untuk masuk ke dalam kerajaan sorga sama seperti seekor unta yang masuk ke

lubang jarum. Sudah tentu, dengan Allah segala sesuatu mungkin, tetapi Yesus dengan jelas

mengerti kesukarannya. Ia melihat bahwa kekayaan dapat mencengkeram sesorang. Ia

mengerti bahwa “ dimana hartamu berada, di situ juga hatimu berada,” justru sebab itulah Ia

memerintahkan para pengikut-Nya, “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi” (Mat.

6:21,19). Ia tidak mengatakan bahwa hati hendaknya atau jangan berada di tempat harta itu

ada. Ia menyatakan kenyataan yang jelas bahwa di mana pun saudaa mendapati harta maka di

sana pula saudara akan mendapati hati.

Ia menasihatkan pemimpin muda yang kaya agar tidak hanya memiliki sikap batin

yang tak terpengaruh oleh harta miliknya, melainkan betul-betul mengesampingkan harta

milik itu jika ia ingin memiliki kerajaan Allah (Mat. 19:16-22). Ia berkata, “Berjaga-jagalah

dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah

hartanya, hidupnya tidaklah tergantung daripada kekayaan itu” (Luk 12:15). Ia menasihatkan

orang-orang yang datang mencari Allah, “Juallah segala milikmu dan berikanlah sedekah!

Buatlah bagimu pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua, suatu harta di sorga yang tidak

akan habis ...” (Luk. 12:33). Ia memberikan perumpamaan seorang petani yang kaya yang

hidupnya dipusatkan pada penimbunan harta—dan menyebut orang itu bodoh (Luk 12:16-

21). Ia berkata jika kita sungguh-sungguh menginginkan kerajaan Allah, maka kita harus,

seperti seorang saudagar yang sedang mencari mutiara-mutiara yang indah, bersedia untuk

menjual segala milik kita agar bisa mendapatkannya (Mat. 13:45, 46). Ia memanggil semua

orang yang mau mengiring Dia untuk masuk ke dalam kehidupan yang penuh kesukaan yang

tidak memperdulikan harta milik, “Berilah kepada setiap orang yang meminta kepadamu; dan

janganlah meminta kembali kepada orang yang mengambil kepunyaanmu” (Luk. 6:30)

Yesus lebih banyak berbicara mengenai masalah ekonomi dibanding dengan pokok

persoalan sosial lain. Jika dalam masyarakat yang termasuk sederhana seperti itu Tuhan kita

begitu menitikberatkan bahaya-bahaya rohani yang diakibatkan kekayaan, terlebih lagi kita

yang hidup dalam kebudayaan yang makmur harus menghadapi masalah ekonomi ini dengan

serius.

Surat-surat kiriman mencerminkan keprihatinan yang sama. Paulus berkata, “Tetapi

mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-

bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam

keruntuhan dan kebinasaan” (1 Tim. 6:9). Penilik jemaat seharusnya seorang yang bukan

“hamba uang” (I Tim. 3:3). Demikian juga seorang diaken seharusnya “jangan serakah” (I

Tim. 3:8). Penulis kitab Ibrani menasihatkan, “Janganlah kamu menjadi hamba uang dan

cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman, ‘Aku

sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan

engkau’” (Ibr. 13:5). Yakobus menyatakan bahwa pembunuhan dan peperangan disebabkan

oleh hawa nafsu akan harta benda, “Kamu mengingini sesuatu, tetapi kamu tidak

memperolehnya, lalu kamu membunuh; kamu iri hati, tetapi kamu tidak mencapai tujuanmu,

lalu kamu bertengkar dan kamu berkelahi” (Yak.4:2). Paulus menyebut ketamakan sebagai

penyembahan berhala dan memerintahkan jemaat Korintus untuk mengambil tindakan

disiplin yang keras terhadap setiap orang yang serakah (Ef. 5:5; I Korintus 5:11). Ia

mengelompokkan keserakahan bersama-sama dengan penyembahan berhala dan pencurian

lalu menyatakan bahwa orang yang hidup seperti itu tidak akan mewarisi kerajaan Allah.

Paulus menasihatkan orang kaya agar tidak berharap pada kekayaan mereka tetapi pada Allah

serta dengan kedermawanan membagikan dari milik mereka kepada orang lain (1 Tim. 6:17-

19).

Setelah mengemukakan hal-hal di atas saya harus segera menambahkan bahwa Allah

bermaksud agar kita memiliki persediaan materiel yang secukupnya. Dewasa ini ada

kesengsaraan karena kurangnya persediaan kebutuhan pokok, sama seperti ada kesengsaraan

ketika orang mengutamakan penimbunan barang-barang materiel. Kemiskinan yang

dipaksakan adalah jahat dan harus ditinggalkan. Alkitab juga tidak membiarkan asketisisme.

Alkitab menyatakan dengan tetap dan tegas bahwa semua ciptaan itu baik adanya dan harus

dinikmati. Asketisisme membuat pembagian yang tidak Alkitabiah antara dunia rohani yang

baik dengan dunia materiel yang jahat serta dengan demikian mengharapkan keselamatan

dengan jalan memberikan perhatian sesedikit mungkin kepada alam keberadaan yang fisik

ini.

Asketisisme dan hidup sederhana bertentangan satu sama lain. Berbagai kesamaan

yang dangkal yang kadang-kadang terjadi jangan sekali-kali mengaburkan perbedaan yang

radikal antara kedua paham ini. Asketisisme menolak harta milik. Hidup sederhana

menempatkan harta pada tempat yang sewajarnya. Dalam asketisisme tidak ada tempat bagi

“negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya”. Hidup sederhana dapat bersukacita

dalam persediaan yang rahmani ini dari tangan Allah. Asketisisme baru merasa puas hati bila

direndahkan. Hidup sederhana dapat menemukan kepuasan hati baik dalam kekurangan

maupun dalam kelimpahan (Fil.4:12).

Kesederhanaan adalah satu-satunyahal yang dapat mereorientasi kehidupan kita

secukupnya sehingga harta milik dapat dinikmati dengan ikhlas tanpa menghancurkan kita.

Tanpa kesederhanaan kita akan menyerah kepada roh “mamon” pada zaman yang jahat ini,

atau kita akan terjerumus ke dalam asketisisme hukum yang non-Kristen. Keduanya akan

membawa kepada penyembahan berhala. Dari segi rohani keduanya akan membawa maut.

Di dalam Alkitab terdapat banyak sekali gambaran tentang persediaan materiel yang

melimpah yang diberikan Allah kepada umat-Nya. “Sebab Tuhan, Allah-mu, membawa

engkau masuk ke dalam negeri yang baik, ... suatu negeri ... di mana engkau tidak akan

kekurangan apapun ... “ (Ul.8:7-9). Alkitab juga memberi banyak peringatan tentang

bahayanya bila persediaan materiel tidak ditempatkan dalam perspektif yang semestinya.

“Maka janganlah kau katakan dalam hatimu: kekuasaanku dan kekuatan tangankulah yang

membuat aku memperoleh kekayaan ini” (Ul. 8:17).

Disiplin ketulusan dan kesederhanaan rohani memberikan perspektif yang kita

perlukan. Kesederhanaan membebaskan kita untuk menerima persediaan Allah sebagai

karunia yang bukan milik kita sendiri, dan yang dapat dibagikan dengan leluasa kepada orang

lain. Setelah kita mengetahui bahwa dengan semangat yang sama Alkitab menolak untuk

materialis dan asketik, maka kita siap untuk mengarahkan perhatian kita kepada pembentukan

pengertian kristiani tentang ketulusan dan kesederhanaan.

Satu Tempat untuk Berdiri

Archimedes menyatakan, “Berikan aku tempat untuk berdiri dan aku akan memindahkan

bumi.” Titik pusat seperti ini penting di dalam setiap kedisiplinan tetapi benar-benar penting

dalam disiplin kesederhanaan. Dari semua disiplin, maka ketulusan dan kesederhanaan adalh

yang paling nyata dan oleh sebab itu yang paling terbuka terhadap korupsi. Kebanyakan

orang Kristen tidak pernah dengan serius menggumuli masalah kesederhanaan, dan tanpa

merasa terganggu mereka mengabaikan nasihat Yesus yang banyak menegnai masalah ini.

Alasannya sederhana: Disiplin ini secara langsung menantang kepercayaan diri kita dalam

gaya hidup yang makmur. Namun, mereka yang sungguh-sungguh memperhatikan

pengajaran Alkitab tentang kesederhanaan akan diperhadapkan dengan percobaan yang berat

yang membawa kelegalisme (dengan ketat mematuhi perbuatan dan upacara hukum agama

sebagai suatu upaya pembenaran). Dalam usaha yang bersungguh-sungguh untuk

mewujudkan pengajaran Yesus tentang ekonomi, amatlah mudah untuk mengacaukan

penafsiran kita dengan ajaran yang sesungguhnya. Kita memakai busana ini atau membeli

rumah jenis itu dan membenarkan pilihan kita sebagai hidup yang sederhana. Bahaya ini

menjadikannya sangat penting untuk menempatkan dan dengan jelas menyatakan suatu titik

pusat untuk kesederhanaan.

Kita memiliki titik pusat itu dalam perkataan Yesus:

Karena itu aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang

hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa

yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting daripada makanan dan

tubuh itu lebih penting daripada pakaian? Pandanglah burung-burung di langit, yang

tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lubang, namun

diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-

burung itu? Siapakah diantara kamu yang karena kuatirnya dapat emnambahkan

sehasta saja pada jalan hidupnya? Dan mengapa kamu kuatir akan pakaian?

Perhatikanlah bunga bakung di ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan memintal,

namun Aku berkata kepadamu: Saomo daam segaa kemegahannya pun tidak

berpakain seindah salah satu dari bunga itu. Jadi, jika demikian Allah memndandani

rumput di ladang, yang hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan

terlebih lagi mendandani kamu, hai orang yang kurang percaya? Sebab itu janganlah

kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami

minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak

mengenal Allah. Akan tetapi, Bapamu yang di sorga tahu bahwa kamu memerlukan

semuanya itu. Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka

semuanya itu akan ditambahkan kepadamu (Mat. 6:25-33).

Titik pusat bagi disipin kesederhanaan adalah mencari kerajaan Allah dan kebenaran

kerajaa-Nya dahulu–kemudian segala seuatu yang perlu akan datang menurut urutannya yang

tepat. Tidaklah mungkin menilai terlalu tinggi wawasan Yesus dalam hal ini. Segala sesuatu

bergantung apad mempertahankan hal yang “pertama” sabagai yang utama. Tidak ada sesuatu

pun yang boleh mendahului kerajaan Allah, termasuk keinginan akan gaya hidup yang

sederhana. Kesederhanaan menjdai penyembahan berhala jika hal ini lebih diutamakan

daripada mencari kerajaan Allah. Soren Kierkegaard menulis:

“Carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenaran-Nya.” Apa maksudnya, apa yang harus

saya lakukan, atau usaha macam apa yang bisa dikatakan sebagai mencari atau

mengejar kerajaan Allah? Haruskah saya berusaha mencari pekerjaan yang cocok

dengan bakat dan kemampuan saya agar dapat mempunyai pengaruh? Tidak, terlebih

dahulu engkau harus mencari kerajaan Allah. Jika demikian, haruskah saya

memberikan seluruh kekayaan saya kepada orang miskin? Tidak, Anda harus terlebih

dahulu mencari kerajaan Allah. Jika demikian haruskah saya pergi memberitakan

ajaran ini keseluruh dunia? Tidak, Anda harus mencari kerajaan Allah terlebih

dahulu. Jika demikian maka sebetulnya tidak ada apa-apa yang saya lakukan.

Sesungguhnya, dari satu segi itu berarti tidak melakukan apa-apa, menjadi tidak

berarti apa-apa di hadapan Allah, belajar untuk berdiam diri; dalam kesunyian inilah

terdapat permulaannya, yaitu cari dahulu kerajaan Allah....

Memusatkan perhatian pada kerajaan itu menghasilkan realitas batiniah, dan tanpa

realitas batiniah kita akan merosot sehingga terlibat dalam hal-hal sepele yang berhubungan

denga legalisme.tidak ada hal lain yang bisa dijadikan titik pusat. Keinginan untuk keluar dari

kesibukan yang tiada henti-hentinya tidak bisa menjadi titik pusat, pembagian kembali

kekayaan dunia tidak bisa menjadi titik pusat, demikian pula menaruh perhatian terhadap

ekologi tidak dapat. Satu-satunya hal yang dapat menjadi titik pusat dalam Disiplin Rohani

berkenaan dengan kesederhanaan ialah mencari dahulu kerajaan Allah dan kebenaran

kerajaan itu, baik yang bersifat pribadi maupun yang bersifat sosial. Semua hal lain itu bisa

jadi berfaedah, tetapi pada saat hal-hal itu menjadi fokus segala usaha kita maka hal itu

menjadi penyembahan berhala. memusatkan perhatian pada hal-hal itu sudah pasti akan

menarik kita untuk menyatakan bahwa kegiatan khusus yang kita lakukan itu adalah

kesederhanaan kristiani. Dan sebenarnya, jika kerajaan Allah benar-benar didahulukan, maka

soal-soal ekologi, orang miskin, pembagian kembali kekayaan secara adil dan banyak hal

lainakan diberikan perhatian yang semestinya. Orang yang tidak mencari dahulu kerajaan

Allah itu sebenranya tidak mencarinya sama sekali, tidak peduli betapa bermanfaatnya

penyembahan berhala yang telah dijadikan penggantinya.

Seperti yang digambarkan Yesus dengan gamblang dalam ayat-ayat pokok di atas,

kebebasan dari kekuatiran merupakan salah satu bukti batiniah dari usaha mencari kerajaan

Allah terlebih dahulu. Kenyataan batiniah tentang kesederhanaan menyangkut kehidupan

penuh sukacita yang tidak merisaukan harta benda. Orang serakah maupun orang pelit tidak

mengalami kebebasan itu. Kebebasan itu tidak ada sangkut-paut dengan melimpah-ruahnya

atau kekurangan harta. Itu merupakan suasana batin yang penuh percaya. Kenyataan bahwa

seseorang hidup tanpa barang apa pun tidak menjamin bahwa orang itu hidup dalam

kesederhanaan. Paulus mengajar bahwa cinta akan uang merupakan akar segala kejahatan,

dan sering kali justru mereka yang memiliki uang paling sedikit itulah yang paling banyak

mencintainya. Ada kemungkinan bahwa seseorang telah mengembangkan gaya hidup

hlahiriah yang sederhana, tetapi hatinya dipenuhi kekuatiran. Sebaliknya, kekayaan tidak

membebaskan kita dari kekuatiran.

karena kekayaan dan kelimpahan datang secara munafik dengan berpakaian bulu domba serta

berpura-pura menjadi pelindung terhadap kecemasan, tetapi kemudian kekayaan dan

kelimpahan itu sendiri menjadi objek kecemasan ... kekayaan dan kelimpahan itu melindungi

seseorang terhadap kecemasan itu hampir seperti serigala yang disuruh menggembalakan

domba untuk melindunginya ... terhadap serigala....

Kebebasan dari kecemasan ditandai oleh tiga sikap batin. Jika apa yang kita miliki itu

telah kita terima sebagai satu pemberian, dan jika apa yang kita miliki harus dipelihara oleh

Allah, dan jika apa yang kita miliki itu tersedia bagi orang lain, maka dengan demikian kita

bebas dari kecemasan. Inilah kenyataan batin dari kesederhanaan. Akan tetapi, apabila kita

percaya bahwa harta yang kita miliki itu adalah hak kita, dan jika apa yang kita miliki kita

anggap harus dipegang erat-erat, dan jika apa yang kita miliki tidak tersedia bagi orang lain,

maka kita hidup di dalam kecemasan. Orang-orang seperti itu takkan pernah mengenal

kesederhanaan walaupun secara lahiriah mereka berusaha sekuat tenaga untuk mengamalkan

“hidup sederhana”.

Menerima apa yang telah kita miliki sebagai pemberian dari Allah adalah sikapbatin

pertama dari kesederhkerja, tetapi kita tahu bahwa bukan pekerjaan kita yang memberikan

apa yang kita miliki. Kita hidup oleh kasih karunia bahkan dalam hal “makanan sehari-hari”.

Kita bergantung pada Allah sampai pada unsur-unsur yang terkecil pun dari hidup ini: udara,

air, matahari. Apa yang kita miliki bukanlah hasil jerih payah kita melainkan pemeliharaan

Allah yang rahmani. Jika kita dicobai untuk berpikir bahwa apa yang kita miliki merupakan

jerih payah pribadi kita, maka kemarau yang sebentar saja atau kecelakaan yang kecil sudah

dapat menunjukkan kepada kita lagi betapa sangat beruntung hidup kita dalam segala sesuatu.

Mengetahui bahwa itu urusan Allah dan bukan urusan kita, untuk memelihara apa

yang kita miliki adalah sikap batin kedua dari kesederhanaan. Allah sanggup melindungi apa

yang kita miliki. Kita dapat mempercayai Dia. Apakah ini berarti bahwa kita tidak boleh

memegang kunci mobil atau mengunci pintu? Sudah tentu bukan demikian. Tetapi kita tahu

bahwa bukan gembok di pintu yang melindungi rumah kita. Akal sehat yang menyuruh kita

mengambil tindakan pencegahan yang normal, tetapi jika kita percaya bahwa tindakan

pencegahan itulah yang melindungi kita dan barang-barang kita, kita akan dilanda kekuatiran.

Sebenarnya tindakan pencegahan yang “tahan maling” tidak ada. Jelasnya perkara initidak

terbatas pada harta benda saja tetapi menyangkut hal lain, seperti reputasi kita atau pekerjaan

kita. Kesederhanaan berarti kebebasan untuk mempercayai Allah dalam segala perkara ini.

Menyediakan barang kepunyaan kita untuk membantu orang lain menandai sikap

batin ketiga dari hidup sederhana. Pernah Martin Luther berkata, “Jika barang milik kita tidak

tersedia bagi umum, maka barang itu merupakan barang curian.” Perkataan ini begitu sulit

bagi kiuta karena kita takut akan masa depan. Kita berpegang erat-erat pada harta benda kita

dan bukannya membaginya dengan orang lain karena kita kuatir akan masa depan. Akan

tetapi, jika kita benar-benar percaya bahwa Allah adalah seperti yang dikatakan Yesus, maka

kita tidak perlu kuatir. Pada saat kita memangdang Allah sebagai pencipta yang maha kuasa

dan Bapa yang mengasihi kita, maka kita bisa membagi dengan orang lain karena kita tahu

bahwa Ia akan memelihara kita. Jika seseorang memerlukan pertolongan, kita pun leluasa

untuk menolong mereka. Sekali lagi, akal sehat akan menetapkan batas-batas kemurahan kita

dan mencegah kita melakukans sesuatu yang bodoh.

Jika kita mencari kerajaan Allah terlebih dahulu maka tiga sikap ini akan menjadi ciri

hidup kita. Ketiga sikap ini bersama-sama menegaskan apa maksud Yesus ketika Ia berkata,

“Janganlah kuatir.” Kenyataan batin kesederhanaan kristiani terdiri atas tiga sikap ini. Dan

kita bisa memastikan bahwa jika kita hidup dalam kenyataan utama ini “segala sesuatu” yang

diperlukan bagi kehidupan yang berkelimpahan akan menjadi milik kita juga.

Kesederahanaan yang Diungkapkan Secara Lahiriah

Menguraikan kesederhanaan hanya sebagai satu kenyataan batiniah berarti mengatakan

sesuatu yang tidak benar. Kenyataan batiniah bukan suatu kenyataan sebelum itu

diungkapakna secara lahiriah. Mengalami jiwa kesedrhanaan yang membebaskan itu akan

mempengaruhi cara hidup kita. Seperti yang telah saya peringatkan sebelumnya, menerapkan

kesederhanaan ini dalam cara-cara khusus berarti menghadapi resiko akan membuat

kesederhanaan itu merosot menjadi peraturan-peraturanyang legalistik. Namun, resiko itulah

yang harus saya ambil, karena menolak untuk mebicarakan hal-hal yang khusus berarti

menurunkan disiplin ini menjadi sesuatu yang teoretis. Bagaimanapun juga, para penulis

Alkitab terus-menerus mengambil resiko itu.

Saya ingin menuliskan sepuluh prinsip yang mengontrol ungkapan kesederhanaan

secara lahiriah. Prinsip-prinsip ini hendaknya jangan dianggap sebagai hukum, melainkan

sebagai satu percobaan untuk mewujudkan arti kesederhanaan dalam kehidupan abad ke-20

ini.

Pertama, belilah barang-barang yang benar-benar berguna bukan sebagai tanda

kebesaran. Mobil hendaknya dibeli untuk digunakan, bukan karena gengsi. Coba pikirkan

untuk menaiki sepeda saja. Dalam membangun atau membeli rumah, yang harus dipikirkan

ialah kenyamanan rumah itu untuk didiami, bukan betapa takjubnya orang lainvmelihat

rumah itu. Jangan ingin mempunyai lebih banyak ruangan daripada yang sebenarnya

dibutuhkan. Bagaimanapun juga, siapa yang memerlukan tujuh kamar hanya untuk dua

orang?

Perhatikan pakaian saudara. Kebanyakan orang tidak memerlukan lebih banayk

pakaian lagi. Mereka membeli lagi bukan karena mereka memerlukan pakaian, tetapi karena

ingin mengikuti mode. Jangan hiraukan mode. Belilah hanya yang saudara perlukan.

Pakailah pakaian suadara sampai rusak. Hentikan usaha untuk menarik poerhatian orang lain

melalui pakaian saudara, tetapi pikatlah perhatian mereka dengan kehidupan saudara. Jika itu

praktis untuk keadaan saudara, belajarlah membuat pakaian sendiri. Dan demi nama Tuhan

(maksud saya secara harfiah) pakailah pakaian yang praktis daripada sebagai hiasan untuk

tubuh saudara. John Wesley mengatakan, “mengenai ... pakaian, saya membeli yang paling

kuat dan, umumnya, yang paling sederhana. Saya hanya membeli perkakas rumah tangga

yang perlu dan murah.

Kedua, tolaklah segala sesuatu yang menimbulkan kecanduan dalam diri saudara.

Belajarlah untuk membedakan antara keperluan kejiawaan yang sesungguhnya, seperti

keadaan lingkungan yang menyenangkan dengan ketagihan. Kurangilah atau hentikan

pemaikaian minuman yang bergizi yang membuat ketagihan, seperti alkohol, kopi, teh, coca

cola, dan lain sebagainya. Jika saudara telah ketagihan menonton televisi sebaiknya saudara

menjualnya atau berikan kepada orang lain. Setiap media yang tidak bisa saudara tinggalkan,

singkirkanlah: radio, stereo,majalah, film, surat kabar, buku bacaan. Coklat telah menjadi

jenis makanan yang mengikat banyak orang. Jika uang telah mengikat hati saudara, berikan

sebagian kepada orang lain dan merasakan kelepasan dalam hati saudara. Kesederhanaan

adalah kebebasan, bukan perbudakan. Janganlah mau menjadi hamba kepada siapapun

kecuali kepada Tuhan.

Ketiga, kembangkan kebiasaan untuk memberikan barang saudara kepada orang lain.

Jika saudara mendapati bahwa saudara mulai terikat pada barang tertentu pertimbangkan

untuk memberikannya kepada orang lain yang memerlukannya. Saya masih ingat suatu hari

Natal saya memutuskanbahwa daripada membeli atau mebuat suatu hadiah buat seorang

tertentu, saya akan memberikannya sesuatu yang sangat berati bagi saya. Alasan saya itu

mementingkan diri sendiri: saya ingun mengalami kebebasan yang datang dari perbuatan

sederhana. Inipun untuk menjadi miskin dengan sukarela.pemberian itu berupa sepseda

dengan persneling sepuluh. Saya ingat, pada saat saya menuju rumah orang itu untuk

menyerahkan pemberian ini saya menyanyikan sebuah lagu yang kini mendapat arti yang

baru, “dengan cuma-cuma engkau menerima, dengan cuma-cuma juga kauberi.” Kemaren

anak saya yang berumur enam tahun mendengar bahwa seorang kawan sekolahnya

memerlukan sebuah kotak roti untuk membawa bekal kepada saya apakah ia boleh

memberikan kotaknya kepada kawannya itu. Haleluya!

Jangan menimbun barang. Memiliki banyak barang yang tidak kita perlukan akan

mempersulit kehidupan kita. Barang itu harus dipilih dan disimpan, lalu diseka debunya dan

dipilih lagi lalu disimpan kembali, terus-menerus sampai menjemukan. Banyak diantara kita

bisa saja memberikan setengah dari barang milik kita kepada orang lain, tanpa pengorbanan

yang serius. Ada baiknya kita mengikuti nasihat Thoreau, “Hiduplah lebih sederhana.”

Keempat, jangan mau dipengaruhi oleh semua propaganda produsen perkakas-

perkakas modern. Alat yang katanya menghemat waktu hampir tidak pernah menghemat

waktu. Hati-hatilah terhadap iklan yang mengatakan, “Alat itu begitu hemat sampai uang

anda praktis sudah kembali dalam waktu enam bulan.” Kebanyakan alat dan perkakas

dirancang agar rusak dan usang dan menyulitkan kehidupan kita, bukan menyenangkan.

Masalah ini menjadi satu bencana dalam industri mainan anak-anak. Anak-anak kita tidak

perlu dihibur dengan boneka yang bisa menangis, makan, ngompol, berkeringat, dan

meludah. Sebuah boneka yang dibuat dari kain perca bisa lebih menghibur dan lebih awet.

Sering kali anak-anak lebih senang jika bisa bermain dengan panci-panci tua daripada dengan

permainan pesawat angkasa yang modern. Carilah permainan anak yang bersifat mendidik

dan awet. Saudara sendiri dapat mencoba membuatnya.

Biasanya alat-alat modern itu menghabiskan sumber-sumebr energi dunia. amerika

serikat mempunyai penduduk kurang dari enam persen jumlah penduduk dunia, tetapi

menggunakan kira-kira 33 persen dari energi dunia. Di Amerika Serikat, alat ac itu sendiri

memakai sebanyak energi yang digunakan oleh seluruh negara Cina yang berpenduduk

hampir satu milyar orang. Tanggung jawab lingkungan saja seharusnya mencegah kita

memakai sebagian besar alat yang diproduksi sekarang ini.

Para ahli propaganda berusaha meyakinkan kita bahwa oleh karena model terbaru dari

alat ini atau itu mempunyai keistimewaan (hiasan kecil?) yang baru, maka kita harus menjual

alat yang lama dan membeli yang baru. Mesin jahit mempunyai berbagai setik baru, perekam

kaset mempunyai tombol-tombol baru, ensiklopedia mempunyai indeks baru. Dogma media

seperti itu harus dengan hati-hati diteliti. Sering “keistimewaan-keistimewaan baru”

merupakan suatu cara saja untuk membujuk kita agar membeli barang yang tidak kita

perlukan. Mungkin lemari es itu bisa melayani kita dengan baik seumur hidup kita walaupun

tanpa pembuat es yang otomatis dan warna-warni pelangi.

Kelima, belajarlah untuk menikmati barang tanpa memilikinya. Memiliki barang

merupakan satu obsesi dalam kebudayaan. Jika kita memilikinya, kita merasa dapat

menguasai barang itu; dan jika kita bisa menguasainya, kita merasa dapat menikmatinya lebih

banyak. Pikiran itu hanya sebuah khayalan. Banyak hal di dalam hidup ini dapat dinikmati

tanpa memiliki atau menguasainya. Pakailah barang saudara bersama orang lain. Nikmatilah

pantai tanpa merasa saudara harus membeli sebagian. Nikmatilah taman dan perpustakaan

umum.

Keenam, kembangkan penghargaan yang lebih dalam terhadap ciptaan Tuhan.

dekatilah alam ini. Berjalanlah kapan saja saudara dapat. Dengarkanlah burung-burung

berkicau—mereka itu utusan Tuhan. nikmatilah susunan rumput dan daun. Kagumilah warna-

warni yang terdapat di mana-mana. Kesederahanaan berarti menemukan lagi bahwa

“Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya” (Mzm. 24:1).

Ketujuh, pandanglah semua rencana “membeli sekarang, membayar kemudian”

dengan keragu-raguan yang sehat. Rencana itu merupakan jebakan dan hanya akan lebih

memperbudak saudara. Baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru menghukum riba

karena alasan-alasan yang baik. (“Riba” di dalam Alkitab bukan dipakai dalam arti kata

modern sebagai bunga yang berlebihan; melainkan menunjuk pada bunga apa saja.)

membungakan uang dipandang sebagai mengeksploitasi kemalangan orang lain, oleh sebab

itu tidak diterima di kalangan Kristen. Yesus mencela hal menjalankan riba sebagai pertanda

kehidupan lama dan menasihatkan para murid-Nya untuk “pinjamkan dengan tidak

mengharapkan balasan” (Luk. 6:35).

Perkataan Alkitab itu hendaknya jangan di tafsirkan sebagai semacam hukum yang

universal yang wajib untuk semua kebudayaan pada segala waktu. Namun juga tidak boleh di

anggap sebagai sesuatu yang sama sekali tidak berhubungan dengan masyarakat modern. Di

balik semua perintah Alkitab itu terdapat himpunan hikmat (mungkin juga pengalaman yang

amat pahit!) selama berabad-abad. Sudah tentu kebijaksanaan di samping kesederahaan

menuntut agar kita berhati-hati sekali sebelum membuat utang.

Delapan, taatilah perintah Yesus tentang pembicaraan yang jujur dan jelas. “Jika ya,

hendaklah kamu katakan ya, jika tidak hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih

daripada itu berasal dari si jahat” (Mat. 5:37). Jikalau saudara menyanggupkan untuk

melakukan suatu tugas, lakukanlah. Jauhilah kata-kata sanjungan dan perkataan yang

setengah benar. Jadikan kejujuran dan ketulusan hati ciri yang istimewa dari tutur kata

saudara. Hindari bahas yang dipakai golongan khusus dan spekulasi yang abstrak yang

bertujuan untuk mengaburkan dan mempengaruhi bukannya untuk menerangi atau memberi

informasi.

Pembicaraan yang terus terang adalah sulit oleh karena kita jarang hidup di Pusat ilahi

itu dan begitu jarang menanggapi bisikan sorgawi saja. Seringkali takut akan pendapat orang

lain atau seribu satu alasan lain yang menentukan “ya” atau “tidak” kita bukan ketaatan

kepada dorongan ilahi. Kemudian, jika ada kesempatan yang lebih menarik, atau situasi yang

menjadi peluang yang lebih baik, dengan cepat kita membalikkan keputusan kita. Tetapi jika

tutur kata kita keluar dari ketaatan kepada Pusat ilahi, maka tidak ada alasan untuk

membalikkan “ya” menjadi “tidak” dan “tidak” menjadi “ya”. Kita akan hidup dalam

ketulusan bicara sebab perkataan kita hanya akan berasal dari satu sumber. Soren

Kierkegaard menulis, “Jika Anda sama sekali taat kepada Allah maka di dalam diri Anda

tidak terdapat ketidak tentuan ... Anda tulus hati dihadapan Allah. .... Sesuatu yang selalu siap

siaga terhadap semua kelicikan iblis dan semua perangkap pencobaan ialah ketulusan hati dan

kesederhanaan.”

Kesembilan, tolaklah segala sesuatu yang akan menyebabkan orang lain dianiaya.

Mungkin saja tidak ada orang lain yang dapat mewujudkan prinsip ini dengan sepenuhnya

seperti John Woolman, seorang penjahit golongan Quaker yang hidup pada abad ke-18. Buku

hariannya yang terkenal berisi terlalu banyak petunjuk indah mengenai kerinduannya untuk

hidup sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan orang lain dianiaya.

Aku dipimpin untuk menyelidiki diriku dengan seksama apakah aku, sebagai individu, telah

menjauhi segala sesuatu yang cenderung untuk mengobarkan perang atau yang berhubungan

dengan perang, baik di negeri ini atau di Afrika; hatiku begitu prihatin agar pada masa yang

akan datang di dalam segala perkara aku akan terus berpegang pada kebenaran yang murni,

dan hidup serta berjalan di dalam kejujuran dan kesederhanaan sebagai seorang yang

mengikut Kristus dengan sungguh-sungguh.... Banyak siksaan timbul karena kehidupan yang

bermewah-mewah dan tamak, dengan bermacam-macam tindasan dan kejahatan lain yang

menyertainya. Aku merasa bahwa melalui kemewahan dan ketamakan itu benih-benih

malapetak dan kehancuran yang besar sedang ditabur dan bertumbuh dengan cepat di benua

ini.

Itulah salah satu pokok persoalan yang paling sulit dan paling peka yang harus dihadapi

orang-orang Kristen pada abad ke-20 ini, namun kita harus menghadapinya. Apakah kita

minum kopi dan makan siang dengan cara memeras kaum tani Amerika Latin? Di dalam

dunia dengan sumber-sumber yang terbatas, apakah ambisi kita menjadi kaya akan membuat

orang lain miskin? Haruskah kita membeli barang yang dibuat dengan cara memaksa orang

melakukan pekerjaan yang menjemukan untuk memasang bagian-bagian alat itu? Apakah

kita menikmati hubungan yang hierarkis dalam perusahaan atau pabrik yang membuat orang

lain tetap berada di bwah kekuasaan kita? Apakah kita menindas anak-anak atau istrikita

karena menganggap tugas-tugas tertentu terlalu hina?

Seringkali penindasan itu berhubungan dengan rasisme dan perbedaan seks. Warna

kulit masih mempengaruhi kedudukan orang dalam perusahaan. Jenis kelamin pelamar

pekerjaan itu masih mempengaruhi jumlah gaji yang akan diterima mudah-mudahan Allah

memberikan nabi-nabi deasa ini yang, seperti John Woolman, akan menarik kita dari

keinginan untuk menjadi kaya “sehingga kita bisa “mematahkan kuk penindasan.”

Kesepuluh, hindarilah apa saja yang mengalihkan saudara dari mencapai tujuan yang

utama. George Fox memperingatkan:

tetapi ada satu bahaya dan percobaan, yang menarik pikiran Anda dengan semua urusan itu;

sehingga Anda hampir tidak bisa lagi melayani Tuhan, karena selalu ada teiakan,

perusahaanku! Perusahaanku! Pikiran anda tidak hanya berpikir mengenai hal-hal itu, tetapi

akan terserap olehnya.... Lalu, jika Tuhan Allah merintangi Anda dan menghentikan Anda di

laut dan di daratan, mengambil semua barang Anda, agar pikiran Anda tidak berbeban lagi,

maka pikiran yang berbeban itu akan resah, karena tidak berada dalam kuasa Allah.

Kiranya Allah memberikan kita keberanian, kebijaksanaan, dan kekuatan untuk selalu

memegang teguh prioritas nomor satu di dalam hidup kita, yaitu “mencari dahulu kerajaan

Allah dan kebenarannya,” serta mengerti segala sesuatu yang terkandung dalam kata-kata itu.

Melakukan yang demikian berarti hidup di dalam ketulusan dan kesederhanaan.