TELAAH PUSTAKA Ethical Leadership -...
Transcript of TELAAH PUSTAKA Ethical Leadership -...
5
TELAAH PUSTAKA
Ethical Leadership
Konsep ethical leadership dapat dipahami dengan menerapkan
prinsip-prinsip etika ke dalam praktek kepemimpinan. Keraf, sebagaimana
dikutip oleh Sabir, Iqbal dan Rehman (2012), mendefinisikan etika sebagai
filsafat moral, atau ilmu yang membahas dan mengkaji secara kritis
persoalan benar dan salah secara moral, tentang bagaimana harus bertindak
dalam situasi konkret. Dengan demikian, etika sebagai referensi bagi
tindakan moral yang benar (atau salah) hendak diterapkan dan dikaji dalam
konteks kepemimpinan. Sedangkan kepemimpinan didefinisikan sebagai
sebuah proses pengaruh sosial yang sengaja dijalankan oleh seseorang
terhadap orang lain untuk menstrukturkan aktivitas-aktivitas serta
hubungan-hubungan di dalam sebuah kelompok atau organisasi serta
proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kolektif dalam mencapai
tujuan bersama secara efektif (Yulk, 2009). Jadi dapat dijelaskan bahwa
kepemimpinan beretika adalah kepemimpinan yang mengembangkan
kemampuan untuk menangani situasi secara etis dan produktif yang
didasarkan pada pengetahuan, keterampilan, sensitivitas dan kritis dalam
bertidak yang sesuai nilai-nilai dan norma yang ada. Etika juga dapat
membantu pemimpin untuk mengenali diri sendiri melalui karakter dalam
bertindak dan berperilaku (Northouse, 2013).
Dengan pemahaman ini, Brown, Treviño dan Harrison (2005)
mendefinisikan ethical leadership sebagai demonstrasi perilaku normatif
yang tepat melalui tindakan dan hubungan interpersonal, dan promosi
perilaku tersebut kepada pengikut melalui komunikasi dua arah,
penguatan dan pengambilan keputusan (p.120). Konsep tersebut
menunjukkan bahwa pemimpin etis sebagai seorang pemimpin yang
6
berusaha untuk memperkenalkan tindakan-tindakan yang berdasarkan
nilai-nilai moral dan etika bagi orang lain untuk ditiru atau dicontoh pada
setiap tindakan yang dilakukan. Freeman & Stewart (2006)
menggambarkan ethical leadership sebagai pribadi dengan “nilai-nilai
yang benar” dan “karakter yang kuat”, yang memberikan contoh bagi
orang lain dan melawan cobaan (menahan godaan).
Piccolo et al. (2010) menjelaskan bahwa ethical leadership berperan
membantu memberikan motivasi, meningkatkan produktivitas kerja, perilaku
karyawan dan memberikan kepuasan kerja bagi karyawan itu sendiri. Nilai-
nilai moral yang dipegang pemimpin adalah dasar dalam membentuk
karakter yang kuat untuk membangun kredibilitas pemimpin serta hal
tersebut memberikan pengaruh yang sangat berarti pada pengikutnya. Ethical
leadership memasukan prinsip-prinsip etika dalam keyakinan karyawan
melalui nilai-nilai moral dan membantu karyawan dalam berkomitmen untuk
mencapai tujuan yang lebih tinggi dan dapat menjadi contoh bagi orang lain
serta membentuk karakter pemimpin yang kuat serta nilai-nilai yang tepat
dalam bertindak (Bello, 2012; Khuntia & Suar, 2004).
Penelitian Mayer et al. (2012) dengan menggunakan teori identitas
moral (Aquino & Reed, 2002) dan pembelajaran sosial (Bandura, 1977,
1986) menjelaskan bahwa tiap tindakan yang dihasilkan dapat memberikan
respon-respon pada diri seseorang. Asumsi dasar dari teori ini yaitu
sebagian besar tingkah laku individu diperoleh dari hasil belajar melalui
pengamatan atas tingkah laku yang ditampilkan oleh individu-individu lain
yang menjadi model. Dengan demikian, dipahami bahwa ethical leadership
mampu mempengaruhi karyawan atau pengikut apabila pemimpin tersebut
dapat mengimplementasikan nilai-nilai moral sebagai identitas moral dan
mampu memberikan teladan/model bagi pengikut melalui reinforcement
dan observational opportunity. Alasan mendasar dari teori pembelajaran
7
sosial ini adalah orang akan belajar melalui pengalaman langsung dan juga
melalui observasi (Robbins & Judge, 2007). Penelitian Mayer et al. (2012)
tersebut mengukur faktor-faktor dan konsekuensi dari kepemimpinan etis
dengan 10 item Ethical Leadership Scale (ELS) sebagai pengembangan atas
model dari Brown, Treviño dan Harrison (2005). Penelitian Resick et al
(2006) juga mengembangkan 6 atribut utama dari ethical leadership seperti;
karakter dan integritas, ethical awareness, berorientasi pada manusia/sosial,
memotivasi, mendorong dan memberdayakan, dan mengatur tanggung
jawab etis dalam mengukur atau menjelaskan ethical leadership dalam
dukungannya terhadap lintas budaya. Sejalan dengan perkembangan
kajian ethical leadership, O’Connell dan Bligh (2009) mengembangkan
sembilan karakteristik ethical leader dari analisis sintesis penelitian
sebelumnya. Kesembilan karakteristik tersebut adalah a) menggunakan
kacamata etis; b) membuat keputusan etis; c) mempertimbangkan
implikasi jangka panjang; d) mempertimbangkan kesejahteraan pada
saat membuat keputusan dan memperlakukan orang lain secara adil; e)
bertindak secara etis dan menjadi role model dalam berperilaku; f)
mengkomunikasikan pentingnya etika; g) memahami diri sendiri dan
orang lain; h) bertanggung jawab terhadap perilaku etis orang lain, dan
i) menawarkan pelatihan dan memberi dukungan bagi karyawan untuk
bertindak etis di tempat kerja.
Kedua pengukuran tersebut tidak dapat dikombinasikan ke dalam
sebuah instrumen. Karena itu, dalam penelitian ini, peneliti menilai
penelitian Mayer et al. (2012) dengan pendekatan teori identitas moral dan
pembelajaran sosial lebih cocok dan mampu untuk menjelaskan konsep
ethical leadership melalui decision making terhadap budaya organisasi.
Tindakan kepemimpinan etis diekspresikan melalui mendengarkan
bawahan, mendisiplinkan karyawan dengan nilai etika dan moral,
8
berperilaku sesuai etika dan moral, mementingkan kepetingan orang
banyak (orang lain) dan memberikan contoh yang baik bagi bawahan.
Decision Making dan Dimensi Etika
Fenomena pengambilan keputusan dalam hubungannya dengan
kepemimpinan merupakan suatu rangkaian integrated yang tidak dapat
dipisahkan yang melibatkan individu dan organisasi. Keputusan yang
dibuat pemimpin tentunya akan menghasilkan bias atau effect bagi
pengikut/karyawan maupun organisasi itu sendiri. Al-Tawawneh (2012)
mendefinisikan decision (keputusan) sebagai momen dalam proses
berkelanjutan dalam mengevaluasi alternatif yang terkait dengan tujuan,
di mana harapan pembuat keputusan berkaitan dengan suatu tindakan
tertentu dan mendorongnya untuk membuat pilihan. Bertolak dari konsep
keputusan, maka Eisenfuhr (2011) dan Siswanto (2012:171) memberikan
pemahaman mengenai decision making sebagai proses dari serangkaian
aktivitas dalam membuat pilihan dari sejumlah alternatif yang dianggap
paling rasional dalam usaha pemecahan masalah untuk mencapai hasil
yang diinginkan sesuai dengan lingkungan organisasi.
Dalam kaitannya ethical decision making dengan dimensi etika dan
moral, maka dapat digambarkan sebagai suatu masalah/isu moral yang
hadir/tampak melalui suatu tindakan individu, yang bila dilakukan secara
bebas, dapat membahayakan atau menguntungkan orang lain (Jones, 1991,
p. 367). Dengan melibatkan masalah/isu etika dan moral dalam
pengambilan keputusan, maka Jones (1991) dan Rest (1986) membangun
serangkaian model etika dalam pengambilan keputusan sebagai prasyarat
dalam membuat pertimbangan pada suatu keputusan yang etis melalui
kesadaran moral, pertimbangan moral, niat moral, dan tindakan moral.
9
Keputusan etis (ethical decision) didefinisikan sebagai sebuah
keputusan yang baik secara legal maupun moral yang dapat diterima oleh
masyarakat luas (Jones, 1991; Trevino, 1987). Menurut Carlson, Kacmar,
dan Wadsworth (2002), pembuatan keputusan etis merupakan proses di
mana individu menggunakan dasar moral untuk menentukan apakah
masalah benar atau salah" (hal. 16-17). Dengan demikian, etika secara
otomatis adalah kekuatan yang digunakan untuk penalaran kognitif moral
dan respon aktif dalam pengambilan keputusan etis (Greene & Haidt,
2002). Selain itu, Kohlberg (1995) menekankan pentingnya perhatian
kepada kesadaran moral untuk memahami bagaimana keputusan etis
diambil dan juga alasan etis mengapa seseorang mengambil keputusan
tertentu (Rest, 1986; Trevino, 1992). Satu hal yang mendasar dari konsep
ini adalah bahwa kesadaran moral tidak ditentukan oleh perasaan,
melainkan oleh kemampuan intelektual, yaitu kemampuan untuk
memahami dan mengerti sesuatu secara rasional, Wisesa (2011).
Hal ini diperkuat dari penelitian Lincoln dan Holmes, (2011) dengan
melibatkan teori intensitas moral untuk menjelaskan peran etika dalam
membuat keputusan etis. Peran intensitas moral dalam pengambilan
keputusan etis melibatkan proses psikologi melalui 4 model/komponen
sebagai keterlibatan nilai moral untuk menghasilan keputusan yang etis,
seperti yang dijelaskan oleh Rest (1994) bahwa; 1) sensitivitas/kesadaran
moral mengacu pada kemampuan moral individu untuk mengakui bahwa
situasi dan masalah moral membutuhkan kesadaran individu yang memiliki
potensi yang dapat merugikan atau menguntungkan orang lain; 2)
pertimbangan moral mengacu bagaimana merumuskan masalah dan solusi
dalam mengevaluasi moral yang mungkin untuk menjustifikasi moral dan
langkah ini memerlukan proses penalaran etika yang mungkin berdampak
konsekuensi; 3) motivasi moral mengacu pada niat untuk memilih
10
keputusan moral atas solusi lain yang mewakili nilai yang berbeda dan
proses pengambilan keputusan etis yang melibatkan komponen
berkomitmen pada nilai moral; dan 4) perilaku moral (action moral),
tindakan/perilaku individu dan langkah ini melibatkan keberanian, tekad,
dan kemampuan untuk menindaklanjuti keputusan moral individu dalam
suatu kondisi atau situasi.
Dalam melengkapi model pengambilan keputusan etis yang
dikembangkan Rest, Jones (1991) juga mengembangangkan 6 model
intensitas moral sebagai unsur terpenting dalam mempengaruhi ethical
decision making, antara lain; besaran konsekuensi (the magnitude of
consequences), konsensus sosial (social consensus), probabilitas efek
(probability of effect), kesegeraan temporal (temporal immediacy),
kedekatan (proximity), dan konsentrasi efek (concentration of effect).
Pengembangan model tersebut memberikan pemahaman tentang
hubungan antara nilai intensitas moral dan langkah-langkah dalam
pengambilan keputusan etis.
Menurut Lincoln dan Holmes (2011), intensitas moral merupakan
aspek yang mampu memprediksi efektifnya seorang pemimpin dalam
pengambilan keputusan yang etis dalam mengembangkan nilai etika dan
moral dalam organisasi. Hal ini dibuktikan melalui 8 indikator pengujian
dari 3 model yang diajukan oleh Rest (kesadaran moral, pertimbangan
moral dan motivasi moral) dan 5 komponen intensistas moral yang
dikembangkan oleh Jones (1991) yaitu (besaran konsekuensi, konsensus
sosial, probilitas efek, kesegaran temporal, konsentrasi efek). Setelah
mempelajari dan memahami konsep mengenai ethical decision making
yang dilandasi etika dan moral dalam membuat keputusan dalam
mencerminkan kepemimpinan etis dalam organisasi, maka dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan konsep yang kembangkan oleh Rest
11
(1994) dan Jones (1991) (Lihat Lincoln dan Holmes, 2011) untuk
mengukur peran ethical leadership melalui konsistensi-konsistensi
pemimpin dalam mengekspresikan keputusan-keputusan etis yang
didasari nilai etika dan moral dalam mempengaruhi pengikut/karyawan.
Hipotesis 1: Ethical leadership berpengaruh positif terhadap ethical
decision making
Keputusan Etis dan Budaya Organisasi
Setelah memahami konsep dan penjelasan-penjelasan peran
etika/norma dalam pengambilan keputusan melalui pendekatan teori
intensitas moral (Rest, 1986), maka dapat dijelaskan bahwa keputusan etis
mampu memprediksi dan mempengaruhi tindakan moral melalui
keputusan organisasi. Berpegang pada statement Jones (1991) dan
Trevino (1987) bahwa keputusan etis merupakan sebuah keputusan yang
baik secara legal maupun moral yang dapat diterima oleh masyarakat luas,
maka konsistensi-konsistensi keputusan pemimpin yang dibuat
berdasarkan etika dan moral mampu menopang tindakan-tindakan etis
dalam organisasi dan akan membentuk suatu budaya etis.
Budaya etis dalam organisasi merupakan suatu konstruk spesifik
dalam budaya organisasi yang menjelaskan tentang etika dalam
organisasi (Key, 1999) dan menjelaskan tentang bagaimana anggota
organisasi merespon pertentangan etis yang muncul (Treviño,
Butterfield & McCabe, 1995). Budaya etis yang kuat dapat mendorong
perilaku etis dan mendukung pengembangan dan pemeliharaan
kepemimpinan etis dalam organisasi (Brown & Trevino, 2006) dan
budaya etis akan menciptakan, mengembangkan dan memunculkan
kesadaran atas norma-norma dalam lingkungan organisasi (Schminke,
Arnaud dan Kuenzi, 2007). Dengan demikian, nilai-nilai etis tersebut
12
dapat dipercaya dan diterima oleh karyawan, maka akan membetuk suatu
budaya organisasi.
Budaya organisasi merupakan sesuatu fenomena yang kompleks
(Dubkēvičs & Namatēvs, 2012). Budaya organisasi adalah seperangkat
nilai-nilai bersama, keyakinan, dan norma-norma yang mempengaruhi cara
berpikir karyawan, merasa, dan berperilaku di tempat kerja (Schein, 2011).
Lebih lanjut, Rivai dan Mulyadi (2012) menjelaskan budaya organisasi
sebagai kerangka kerja yang menjadi pedoman tingkah laku sehari-hari dan
membuat keputusan untuk karyawan dan mengarahkan tindakan untuk
mencapai tujuan organisasi. Selain itu, Robbins dan Judge (2013:355)
mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu sistem berbagi arti yang
dilakukan oleh para anggota yang membedakan suatu organisasi dengan
organisasi lain. Sehubungan dengan konsep dan pemikiran tersebut,
Robbins (2009:289, 2008:256) menjelaskan budaya organisasi sebagai
suatu sistem atau nilai makna dominan yang dianut bersama dan didukung
oleh organisasi, falsafah yang menuntun kebijaksanaan organisasi terhadap
karyawan dan pelanggan, cara pekerjaan yang dilakukan di tempat itu,
asumsi, dan kepercayaan dasar yang terdapat di antara anggota organisasi
yang membedakan organisasi itu dari lainnya. Selain itu, Robbins (2008)
juga menjelaskan budaya dapat menjalankan sejumlah fungsi didalam
organisasi yaitu: a) budaya berperan sebagai batas-batas; artinya, budaya
menciptakan perbedaan atau distingsi antara satu organisasi dengan
organisasi lainnya, b) kultur memuat rasa identitas anggota organisasi, c),
kultur memfasilitasi lahirnya komitmen terhadap sesuatu yang lebih besar
daripada kepentingan individu, d) kultur meningkatkan stabilitas sistem
sosial, (hal 262). Berkaitan dengan fungsi budaya organisai, Robbins
(2008:256) mendefinisikan tujuh karakteristik utama yang secara
keseluruhan, merupakan hakikat budaya sebuah organisasi, yaitu: 1) inovasi
13
dan keberanian mengambil risiko (inovation and risk taking), sejauh mana
organisasi mendorong para karyawan bersikap inovatif dan berani
mengambil resiko; 2) perhatian terhadap detil (attention to detail),
organisasi mengharapkan karyawan memperlihatkan kecermatan, analisis
dan perhatian kepada rincian; 3) berorientasi kepada hasil (outcome
orientation), manajemen memusatkan perhatian pada hasil dibandingkan
perhatian pada teknik dan proses yang digunakan untuk meraih hasil
tersebut; 4) berorientasi kepada manusia (people orientation), sejauh mana
keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang
di dalam organisasi; 5) berorientasi pada tim (team orientation), kegiatan
kerja diorganisasikan sekitar tim-tim tidak hanya pada individu-individu
untuk mendukung kerjasama; 6) agresivitas (aggressiveness), orang-orang
dalam organisasi itu agresif dan kompetitif untuk menjalankan budaya
organisasi sebaik-baiknya; dan 7) stabilitas (stability), kegiatan organisasi
menekankan status quo sebagai kontras dari pertumbuhan. Dalam
melengkapi fungsi dan karakteristik budaya organisasi, Frey dan Denison
(2003) mengkonseptualisasikan 4 dimensi budaya dalam mendukung
efektivitas organisasi seperti; keterlibatan, konsistensi, penyesuaian dan dan
misi. Keterlibatan dan konsistensi sebagai mekanisme dalam penyelesaian
masalah internal sedangkan penyesuaian dan misi sebagai sifat adaptif
terhadap masalah ekternal organisasi.
Budaya organisasi akan menjadi kuat dan berperan dalam
membentuk nilai-nilai yang positif baik individual maupun kelompok
apabila didorong, didukung dan dilaksanakan (Kenny & Reedy, 2007).
Memahami fungsi dan pentingnya peranan budaya, maka budaya
organisasi dapat diukur melalui peraturan, jarak dengan batasan,
kepercayaan, profesionalisme dan integritas (lihat Susetyo, Kusmaningtyas
dan Tjahjono, 2014).
14
Hipotesis 2: Ethical decision making berpengaruh positif terhadap
budaya organisasi
Hubungan Ethical Leadership, Ethical Decision Making dan
Budaya Organisasi
Menurut Ponnu and Tennakoon (2009), salah satu tanggung jawab
utama seorang pemimpin adalah menciptakan iklim etis dalam organisasi.
Hal ini didukung oleh pernyataan Goleman (2004) yang menyatakan bahwa
seorang pemimpin mampu membangkitkan komitmen, motivasi, dan
optimisme dalam melaksanakan pekerjaan dan menumbuhkan atmosfir
kerjasama, gairah yang dapat mempengaruhi perilaku bawahan berdasarkan
nilai-nilai yang dimiliki untuk mencapai tujuan organisasi. Pemahaman-
pemahaman ini diperkuat oleh Grimes (1978), menyatakan bahwa pemimpin
berperan dalam meningkatkan kemampuan, komitmen, keterampilan,
pemahaman nilai-nilai pada organisasi serta kerjasama tim untuk meraih
prestasi dalam organisasi. Pemahaman ini didukung oleh beberapa penelitian
lain (Tsang, 2007; Xenikou & Simosi, 2006; Lok & Crawford, 2004), bahwa
semakin baik kepemimpinan akan memperkuat budaya organisasi yang
akhirnya berdampak pada peningkatan kinerja karyawan.
Merujuk pada konsep dan dukungan bukti empiris dari penelitian-
penelitian tersebut, maka ethical leadership yang berlandaskan nilai
etika dan moral mampu memberikan kontribusi terhadap pembentukan
nilai-nilai baru dalam organisasi. Ethical leadership dengan
mendemontrasi perilaku normatif dan promosi perilaku melalui
konsistensi-konsistensi keputusan etis, akan memberikan suatu nilai
positif bagi pengikut/karyawan untuk dinilai dan dipertimbangkan,
dimana keputusan dapat membahayakan atau menguntungkan (Jones,
1991, p. 367). Dalam penelitian Walstrom (2006) ethical decision
making dinyatakan sebagai suatu proses mengenai etika informasi dan
15
ethical decision making memiliki dua dampak yang dominan yakni a.
lingkungan sosial seperti nilai-nilai agama, nilai budaya, dan nilai-nilai
sosial; dan b. pemerintahan/lingkungan hokum seperti undang-undang,
badan-badan administrasi, sistem peradilan. Sedangkan Boomer,
Clarence dan Tuttle (1987) menjelaskan ada empat factor lain yang
mempengaruhi ethical decision making antara lain; a) personal
environment (individual attributes including personal goals, motivation,
position, demography), b) private environment (peer group, family, and
their influences), c) professional environment (code of conduct,
professional meetings, licensing), dan d) work environment (corporate
goals, stated policy, corporate culture).
Dengan pertimbangan dampak-dampak ethical desion making ini,
maka melalui ethical leadership dalam konsistensi-konsistensi keputusan
yang didasari nilai etika moral sebagai faktor esensial dalam keterlibatan
pemimpin dalam membangun budaya organisasi. Dengan demikian, maka
dapat disimpulkan bahwa ethical decision making memiliki peranan yang
sangat penting dalam organisasi dan sebagai konstruk multidimensi dalam
menjalankan kegiatan organisasi maupun dukungannya dalam
kelangsungan hidup organisasi, sehingga keputusan-keputusan etis dinilai
memberikan outcomes maupun manfaat bagi nilai personal, maka
keputusan tersebut akan diadopsi dan dijadikan sebagai nilai kolektif.
Hipotesis 3: Ethical decision making memediasi peran ethical
leadership terhadap budaya organisasi
Peran Pemimpin Dalam Pembentukan Budaya Organisasi
Menurut Scein (2004) salah satu fungsi pemimpin adalah untuk
menciptakan dan membangun budaya dan iklim dalam organisasi.
Dengan pandangan ini, Senge (1994) mengidentifikasi tiga peran
kepemimpinan yang penting untuk membangun budaya organisasi bagi
16
pengikut atau karyawan antara lain; pemimpin sebagai desainer,
pemimpin sebagai guru, dan pemimpin sebagai pelayan. Dengan
demikian pemimpin merupakan suatu kekuatan yang sangat efektif di
dalam menciptakan sebuah budaya organisasi. Efektivitas
kepemimpinan dalam menjalankan organisasi dapat dikatakan sebagai
sebuah sistem yang banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor atau sub-
sub sistem lainnya, seperti lingkungan organisasi (secara internal
maupun eksternal). Peran kepemimpinan di dalam membentuk budaya
organisasi akan lebih jelas apabila menggunakan pendekatan sistem.
Menurut Winardi (2000:24) bahwa dalam rangka memecahkan
problem-problem di mana digunakan pendekatan sistem, maka para
pimpinan harus memandang organisasi yang ada sebagai suatu keseluruhan
yang dinamik, dan mereka harus berupaya mengantisipasi dampak yang
dikehendaki maupun dampak yang tidak dikehendaki dari keputusan yang
dibuat. Winardi juga menambahkan bahwa dalam model-model sistem
biasanya ditekankan pada tiga macam kunci yaitu: masukan (input), proses
dan keluaran (output).
Berdasarkan konsep di atas, maka dapat disimpulkan peran
kepemimpinan terhadap pembentukan budaya organisasi adalah sebagai
berikut: Pertama, apabila budaya organisasi belum terbentuk, pimpinan
memiliki kewajiban moral terhadap organisasi atau perusahaan, karyawan
dan dirinya sendiri untuk ikut membangun budaya organisasi. Kedua,
pimpinan berperan menghidupkan budaya organisasi (perusahaan), menjadi
pimpinan yang efektif. Peran tersebut dijalankan dengan memotivasi
karyawan untuk berprestasi, memberi arah, dan membangun rasa saling
percaya. Ketiga, pimpinan berperan mengembangkan dan mempertahankan
sumberdaya manusia yang terbaik.
17
MODEL PENELITIAN
Berdasarkan penjelasan hubungan antara variabel yang dikemukan
diatas atau gambaran mengenai model variabel-variabel yang di teliti
serta alur pikir antara variabel independen (X) dan variabel dependent
(Y), maka model penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1
Model Penelitian