Rhinoskleroma

24
BAB I PENDAHULUAN Rinoskleroma adalah suatu kondisi granulomatosa kronik dari hidung dan struktur lainnya pada saluran nafas bagian atas. Rhinoskleroma merupakan hasil dari infeksi bakteri Klebsiella rhinoscleromatis. Seorang ahli bedah Johann von Mikulich di Wroclaw pertama kali berhasil mendeskripsikan bentuk histologis dari rhinoskleroma pada tahun 1877. Pada tahun 1882, von Frisch berhasil mengidentifikasi Klebsiella rhinoscleromatis sebagai penyebab dari rhinoscleroma. Penyakit ini endemis di beberapa negara termasuk Indonesia yang kasusnya terutama ditemukan di Indonesia timur. Diagnosis rhinoskleroma mudah ditegakkan di daerah endemis, tapi di tempat non-endemis perlu diagnosis banding dengan penyakit granulomatosa lain. Diagnosis rhinoskleroma ditegakkan dari temuan klinis dan biopsi. Penatalaksanaannya berupa penggunaan antibiotik jangka panjang dengan bantuan pembedahan bila terdapat obstruksi jalan nafas. 1 Rinoskleroma 1

description

fk

Transcript of Rhinoskleroma

BAB I

PENDAHULUAN

Rinoskleroma adalah suatu kondisi granulomatosa kronik dari hidung dan struktur lainnya pada saluran nafas bagian atas. Rhinoskleroma merupakan hasil dari infeksi bakteri Klebsiella rhinoscleromatis. Seorang ahli bedah Johann von Mikulich di Wroclaw pertama kali berhasil mendeskripsikan bentuk histologis dari rhinoskleroma pada tahun 1877. Pada tahun 1882, von Frisch berhasil mengidentifikasi Klebsiella rhinoscleromatis sebagai penyebab dari rhinoscleroma.

Penyakit ini endemis di beberapa negara termasuk Indonesia yang kasusnya terutama ditemukan di Indonesia timur. Diagnosis rhinoskleroma mudah ditegakkan di daerah endemis, tapi di tempat non-endemis perlu diagnosis banding dengan penyakit granulomatosa lain.

Diagnosis rhinoskleroma ditegakkan dari temuan klinis dan biopsi. Penatalaksanaannya berupa penggunaan antibiotik jangka panjang dengan bantuan pembedahan bila terdapat obstruksi jalan nafas. 1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah yaitu pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum), puncak hidung (tip), ala nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior).2

Gambar 2.1.Anatomi hidung luar

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari os.nasal, processus frontalis os.maxilla, processus nasalis os.frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu kartilago nasalis lateralis superior, kartilago nasalis inferior, dan kartilago septum. 2

Gambar 2.2.Anatomi tulang dan tulang rawan hidung

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (choana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.

Kedua kavum nasi merupakan bagian paling atas dari traktur respirasi dan mempunyai reseptor olfaktorius dan tertahan terbuka karena struktur tulang dan tulang rawan.

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang disebut vibrise. 2

Gambar 2.3.Anatomi hidung dalam

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.

Dinding medial hidung ialah septum nasi, septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os.ethmoid, vomer, Krista nasalis os.maxilla dan Krista nasalis os.palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema yang biasanya rudimenter. 2

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os.maxilla dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus, yaitu inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maxilla dan sinus ethmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus sphenoid.

Pendarahan hidung

Pendarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari tiga sumber utama : a. Etmoidalis anterior, a. Etmoidalis posterior cabang dari a. Oftalmika menyuplai sinus frontalis dan etmoidalis serta atap hidung. A. Sfenopalatina cabang terminal a. Maksilaris interna, yang berasal dari a. Karotis eksterna menyuplai konka, meatus dan septum. Sedangkan sinus maksilaris diperdarahi oleh suatu cabang arteri labialis superior dan cabang infraorbitalis serta alveolaris dari arteri maksilaris interna dan cabang faringealis dari arteri maksilaris interna disebarkan ke dalam sinus sfenoidalis.

Vena-vena membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat di bawah membran mukosa. Pleksus ini terlihat nyata diatas konka media dan inferior, serta bagian bawah septum dimana ia membentuk jaringan erektil. Drainase vena terutama melalui vena oftalmika, fasialis anterior dan sfenopalatina. 2,3

Suplai saraf

Yang terlibat langsung adalah saraf kranial pertama untuk penghiduan, divisi oftalmikus dan maksilaris dari saraf trigeminus untuk impuls aferen sensorik lainnya, saraf fasialis untuk gerakan otot-otot pernapasan pada hidung luar dan sistem saraf otonom. Yang terakhir ini terutama melalui ganglion sfenopalatina, guna mengontrol diameter vena dan arteri hidung, dan juga produksi mukus, dengan demikian dapat mengubah pengaturan hantaran, suhu dan kelembaban aliran udara. 3

Fungsi hidung adalah :

1. Fungsi respirasi

Untuk jalur tempat lewatnya udara, mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal

2. Fungsi penghidu

Dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.

3. Fungsi fonetik

Untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan pembentukan kata-kata. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi suara berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.

4. Refleks nasal

Berupa reflex bersin, reflex yang merangsang sekresi kelenjar liur dan kelenjar saluran pencernaan. 2,3,10

Gambar 2.4.Arteri dan persarafan hidung

2.2 Definisi Rinoskleroma

Rhinoskleroma adalah suatu penyakit radang kronis granulomatosa yang bersifat progresif mengenai traktus respiratorius bagian atas terutama hidung, kemudian dapat meluas ke nasofaring, orofaring, laring, dan kadang-kadang sampai ke trakea dan bronkus. Penyebabnya adalah bakteri Klebsiella rhinoscleromatis. 1,3,4,5,6,7,8,9,10

Skleroma adalah nama yang berasal dari Yunani pada tahun 1932, yang berarti pembengkakan keras, atau indurasi dari kulit atau membran mukosa.1

2.3 Sejarah

Seorang ahli bedah Johann von Mikulich di Wroclaw berhasil mendeskripsikan struktur histologik dari rhinoskleroma pada tahun 1877, von Frisch mengidentifikasikan organismenya pada tahun 1882. Pada tahun 1932, Belinov mengajukan penggunaan istilah scleroma respiratorium karena proses patologis pada rhinosklerosis mungkin terlibat tidak hanya sistem pernafasan atas melainkan juga sistem pernafasan bawah. Pada tahun 1961, Steffen dan Smith berhasil mendemonstrasikan bahwa Klebsiella rhinoscleromatis merupakan faktor etiologi pada perubahan proses radang tipikal dari skleroma.1

2.4 Epidemiologi

Rhinoskleroma endemik pada daerah-daerah Afrika seperti Mesir, Asia tenggara, Meksiko, Amerika tengah dan selatan dan, Eropa tengah dan timur. Penyakit ini sudah jarang di Amerika Serikat. Rhinoskleroma juga dilaporkan jarang di Arab Saudi dan Bahrain. 5 % dari seluruh kasus muncul di Afrika, serta Indonesia dengan daerah endemik : Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Bali. Akan tetapi, dengan semakin sering terjadinya migrasi, insindensi dari rhinoskleroma diperkirakan akan semakin meningkat.

Rhinoskleroma lebih sering terjadi pada wanita dibanding dengan pria, biasanya terjadi pada pasien dengan usia 10-30 tahun dan semua ras bisa terinfeksi. Pasien dengan tingkat higienis yang buruk, keadaan sosial ekonomi dan nutrisi yang rendah mempunyai resiko yang lebih tinggi. 1,3,4,5,6,7,9

2.5 Etiologi

Rhinoskleroma disebabkan oleh bakteri Klebsiella rhinoscleromatis. Klebsiella adalah genus dari bakteri nonmotil, gram negatif, oksidase negatif, dan berbentuk batang yang mempunyai kapsul polisakarida. Klebsiella dinamakan atas nama seorang mikriobiologis asal Jerman yang bernama Edwin Klebs (1834-1913).

Klasifikasi Klebsiella :

Kingdom : Bacteria

Phylum : Proteobacteria

Class: Gammaproteobacteria

Order: Enterobacteriales

Family: Enterobacteriaceae

Genus: Klebsiella

Spesies Klebsiella sering ditemukan pada manusia di daerah hidung, mulut dan saluran gastrointestinal sebagai flora normal. Akan tetapi mereka juga dapat menjadi kuman infeksi oputunistik. Klebsiella juga dapat menyerang berbagai daerah tubuh dan menyebabkan berbagai macam penyakit seperti pneumonia, infeksi saluran kemih, septicemia, meningitis, diare dan infeksi soft tissue. Kebanyakan infeksi yang disebabkan oleh Klebsiella disebabkan oleh Klebsiella pneumonia. 4

2.6 Patofisiologi

Transmisi dari rhinoskleroma via air-borne dan manusia merupakan satu-satunya inang yang teridentifikasi. Terjangkitnya penyakitnya ini difasilitasi oleh tempat tinggal yang ramai, higienis yang buruk dan malnutrisi. Patofisiologi dari rhinoskleroma belum jelas. Tetapi beberapa penelitian membuktikan bahwa terjadi gangguan pada imunitas seluler. Terjadi perubahan pada rasio CD-4 dan CD-8 yaitu terjadi penurunan limfosit CD-4 dan peningkatan limfosit CD-8, yang akan mengakibatkan penurunan respon sel T. Makrofag juga terlihat tidak teraktivasi seluruhnya. 1,5

2.7 Stadium

Daerah yang terserang biasanya mukosa nasal (95-100%), faring (18-43%), sinus paranasal, trakea dan bronkus. 6

Rhinoskleroma diklasifikasikan secara klinis dan patologis menjadi 3 stadium, yaitu stadium catarrhal, stadium proliferative, dan stadium fibrotik.

1. Stadium Catarrhal / Atrofi

Pada stadium ini, terjadi pengeluaran cairan purulen yang berbau dari hidung dan terjadi obstruksi nasal. Pada pemeriksaan tampak krusta dan atrofi dari mukosa nasal. Pada pemeriksaan histologis tampak metaplasia dari epitel gepeng dengan infiltrasi subepitel oleh sel PMN dan jaringan granulasi. Dapat berlangsung berbulan-bulan dan biasanya belum terdiagnosis.

2. Stadium Proliferasi / Granulomatosa / Nodular

Pada stadium ini sering terjadi epistaksis, deformitas nasal, suara serak, anosmia dan epiphora. Pada pemeriksaan tampak nodul multipel berupa lesi granulomatosa yang berwarna merah kebiruan. Pada kasus yang berat terjadi destruksi lokal dan deformitas yang berat. Terjadi pelebaran pada hidung yang khas Hebra nose. Pada pemeriksaan histologis tampak sel Mikulicz dan badan Russell.

Sel Mikulicz adalah makrofag bulat atau oval dengan nucleus kecil dan di dalamnya terdapat Klebsiella rhinoscleromatis, sedangkan badan Russel adalah immunoglobulin yang bersifat eosinofilik, besar dan homogen yang biasanya terdapat dapat sel plasma yang sedang mengalami sintesis immunoglobulin yang eksesif. Terdapatnya badan Russel menandakan retikulum endoplasma yang membesar. 1,4,5,6,7,8

Gambar 2.5.Mikulicz cell

Gambar 2.6.Mikulicz cell dan Badan Russel

3. Stadium Fibrotik / Sikatrik / Sklerotik

Pada stadium ini, stenosis dan deformitas semakin parah, dan ditandai dengan jaringan fibrous yang sangat banyak pada pemeriksaan histologi yang dapat menyebabkan penyempitan saluran napas. Pada satu pasien ketiga tahap itu mungkin dapat ditemukan bersamaan. 1,4,5,6,7,8

2.8 Gejala Klinis

Berbagai gejala klinis yang ditemukan tergantung dari stadium yang sedang dialami oleh pasien :

1. Stadium Catarrhal

Gejalanya seperti rhinitis tidak spesifik dengan ingus purulen berbau dan krusta. Dapat berlangsung berbulan-bulan dan tidak terdiagnosis

2. Stadium Proliferasi/Granulomatosa

Mukosa hidung membentuk massa peradangan tediri dari jaringan ikat, membentuk jaringan granulasi atau seperti polip. Dapat menyebabkan destruksi tulang dan tulang rawan sehingga menyebabkan deformitas puncak hidung dan septum (Hebra nose), dan bisa menyebabkan epistaksis. Tahap ini berlangsung berbulan-bulan atau bertahun

3. Stadium Fibrotik

Terjadi pergantian jaringan granulasi menjadi fibrotik dan sklerotik yang dapat menyebabkan penyempitan saluran nafas. Pada satu pasien ketiga stadium tersebut mungkin dapat ditemukan bersamaan.1,3,4,5,6,7,8

Gambar 2.7. Nodul Rinoskleroma Bilateral

Pada penyakit yang lanjut, obstruksi nasal (94%), deformitas nasal (32%), epistaksis (11%), dan krusta (4%) yang menjadi gejala utama. Gejala laryngeal termasuk suara serak dengan hiperemis pada interarytenoid, eksudat dan pita suara edema. Tipe fibrosis laryngeal yang lambat meliputi glottis dan subglottis, dengan potensial obstruksi jalan napas, disfagia, anosmia. 1,8

Gambar 2.8.Rinoskleroma

2.9 Diagnosa

Diagnosa ditegakkan dari anamnesa, pemeriksaan klinis meliputi: rinoskopi anterior/posterior, laringoskopi indirek/direk dan bronkoskopi ditambah pemeriksaan penunjang. Dalam pemeriksaan klinis ditemukan nodul-nodul pada saluran pernafasan atas khas rinoskleroma. Pada pemeriksaan pemeriksaan penunjang :

1. Pemeriksaan Histopatologi

Ditemukan jaringan granulasi submukosa dan yang karakteristk adalah ditemukannya sel plasma, limfosit, eosinofil, dan diantaranya tersebar sel-sel Mikulicz yaitu sel-sel besar, intinya di tengah dan sitoplsmanya mempunyai vakuol yang berisi basil Frisch. Juga didapati Russel bodies yang berasal dari sel plasma.

2. Pemeriksaan Bakteriologik

Dengan menemukan kuman penyebab dari biakan dan bahan biopsi. Dapat juga dilakukan kultur pada agar MacConkey. Akan tetapi, hasil kultur hanya positif pada 50-60% pasien.

3. Pemeriksaan Serologis

Dengan tes pengikatan komplemen (complemen fixation test) berdasarkan reaksi serum penderita dan suspensi kuman K. rhinoscleromatis.

Diagnosis mudah ditegakkan di daerah endemis, tapi di tempat non endemis perlu diagnosis banding dengan penyakit granulomatosa lain. Diagnosis banding yang lain berupa karsinoma sel basal, krusta, dan lain-lain. 1,3,4,5,6,7,8,9,10

2.10 Diagnosa Banding

Beberapa diantaranya, yakni : 1,5

1. Proses infeksi granulomatosa :

Bakteri : Tuberkulosis, Sifilis, Lepra

Jamur : Histoplasmosis, Blastomikosis, Sporotrikosis, Koksiodomikosis.

Parasit : Leismaniasis mukokutaneus

2. Sarkoidosis

3. Wegner granulomatosa

2.11 Penatalaksanaan

Medikamentosa

Penatalaksanaannya mencakup terapi antibiotik jangka panjang serta tindakan bedah untuk obstruksi pernafasan. Antibiotik yang direkomendasikan antara lain tetrasiklin, kloramfenikol, ciprofloksasin dan sefalosporin. Tujuan dari pemberian farmakoterapi adalah eradikasi infeksi, mengurangi morbiditas dan mencegah komplikasi. Pemberian antibiotik paling kurang selama 4 minggu. Ada yang sampai berbulan-bulan dan dapat diteruskan sampai dua kali biakan dari bahan biopsi negatif.

Dapat juga diberikan kortikosteroid seperti prednisone sebagai antiinflamasi dan mencegah sikatrik pada stadium granulomatosa, selain itu juga dapat memodifikasi respon imun tubuh dan mensupresi akitivitas PMN.

Radiasi

Terapi radiasi pernah diberikan oleh Massod, tetapi hasilnya belum memuaskan.

Dilatasi

Cara dilatasi dapat dicoba untuk melebarkan kavum nasi dan nasofaring terutama bila belum terjadi sumbatan total.

Pembedahan

Seringkali perlu dilakukan pembedahan untuk mengangkat jaringan granulasi / parut agar jalan napas dapat terbuka kembali. Jika terjadi sumbatan pada jalan napas (seperti pada skleroma laring) harus dilakukan trakeostomi. Kadang-kadang diperlukan tindakan bedah plastik untuk rekonstruksi. Penyakit ini jarang bersifat fatal kecuali bila menyumbat saluran napas, tetapi rekurensi nya tinggi, terutama bila pengobatan tidak tuntas. 1,3,4,5,6,7,8,9,10

2.12 Komplikasi

Rhinoskleroma merupakan penyebab yang jarang dari obstruksi jalan nafas atas. Obstruksi trakea, subglotal stenosis dapat menjadi komplikasi dari rhinoskleroma yang sudah lama. Rhinoskleroma juga diketahui sebagai penyebab asfiksia yang nonprogresif. 1

2.13 Prognosa

Rhinoskleroma jarang bersifat fatal kecuali bila menyumbat saluran nafas, tetapi rekurensinya tinggi, terutama bila pengobatan tidak tuntas.

Meskipun dengan antibiotik dan pembedahan, insidensi terjadinya rekurensi adalah 25% dalam 10 tahun.1

BAB III

KESIMPULAN

Rhinoskleroma adalah suatu penyakit radang kronis granulomatosa yang bersifat progresif mengenai traktus respiratorius bagian atas terutama hidung, kemudian dapat meluas ke nasofaring, orofaring, laring, dan kadang-kadang sampai ke trakea dan bronkus. Penyebabnya adalah bakteri Klebsiella rhinoscleromatis.

Penyakit ini pertama kali digambarkan oleh Von Hebra (1870). Sedangkan Mikulicz berhasil menemukan sel-sel yang dianggap khas untuk penyakit ini sehingga sel-sel ini dinamai seperti namanya. Von Frisch menemukan basil jenis Klebsiella yang dianggap sebagai penyebab penyakit ini, yaitu bakteri gram negatif Klebsiella rhhinoscleromatis.

Rinoskleroma dibagi menjadi tiga stadium, yaitu stadium I , II, dan III. Pada stadium I gejala-gejala yang dirasakan penderita tidak khas seperti rinitis biasa. Stadium II ditandai mukosa hidung membentuk massa peradangan tediri dari jaringan ikat, membentuk jaringan granulasi atau seperti polip. Pada stadium III terjadi pergantian jaringan granulasi menjadi fibrotik dan sklerotik yang dapat menyebabkan penyempitan saluran nafas.

Pengobatan yang dilakukan dalam mengatasi pasien ini be;um dilaporkan secara jelas. Antibiotik masih menjadi pilihan utama diantaranya seperti streptomisin, tetrasiklin, rifampisin, chlorampenicol, ciprofloxacin, dan klofazimin. Selain itu terapi steroid, radiasi, hingga pembedahan juga bisa menjadi solusi.

DAFTAR PUSTAKA

1. http://emedicine.medscape.com/article/1055113UI Diakses tanggal 12 April 2015.

2. Ballenger, John Jacob. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher, Dalam : Rhinoskleroma. Edisi 13. Jilid I. Alih bahasa : Staf Ahli Bagian THT RSCM FKUI. Jakarta: Binarupa Aksara. 1997.

3. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Anatomi dan Fisiologi Hidung, Infeksi Hidung Kronis. Boies, Buku Ajar Penyakit THT Ed. 6. Jakarta:EGC;173-188, 210.

4. http://id.m.wikipedia.org/wiki/Rhinoscleroma Diakses tanggal 13 April 2015.

5. http://www.histopathology-india.net/Rhinoscleroma.htm Diakses tanggal 13 April 2015.

6. Maqbool, Mohammad. Textbook of Ear, Nose and Throat Disease Ninth Edition. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd. 2000; 176.

7. PENATALKSANAAN PENYAKIT DAN KELAINAN TELINGA-HIDUNG-TENGGOROKAN. Jakarta:FKUI. 2003; 178-180.

8. CURRENT Diagnosis & Treatment in OTOLARYNGOLOGY-HEAD & NECK SURGERY. United States of America:The McGraw-Hill Companies. 2008; 260-261.

9. Blaire, Baisden. The Johns Hopkins Medical Institutions. Rhinoscleroma. The Johns Hopkins Microbiology Newsletter. 1998. Diakses tanggal 13 April 2015.

10. Soepardi, Efiaty Arsyad, dkk. Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Keenam. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2007;118-122, 142-143.

Rinoskleroma

14