Rhinitis Atrofi

24
BAB I PENDAHULUAN Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. 1 Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menolong, dilakukan operasi. Untuk kepentingan klinis perlu ditetapkan derajat ozaena sebelum diobati, yaitu ringan, sedang atau berat, oleh karena ini sangat menentukan terapi dan prognosisnya. Biasanya diagnosis ozaena secara klinis tidak sulit. Biasanya discharge berbau, bilateral, terdapat krusta kuning kehijau-hijauan. Keluhan subjektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia). 2 1

description

Referat Mengenai Rhinitis Atrofi

Transcript of Rhinitis Atrofi

BAB IPENDAHULUAN

Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.1Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menolong, dilakukan operasi. Untuk kepentingan klinis perlu ditetapkan derajat ozaena sebelum diobati, yaitu ringan, sedang atau berat, oleh karena ini sangat menentukan terapi dan prognosisnya. Biasanya diagnosis ozaena secara klinis tidak sulit. Biasanya discharge berbau, bilateral, terdapat krusta kuning kehijau-hijauan. Keluhan subjektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia).2Menurut Boies frekwensi penderita rinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1. Penyakit ini lebih sering mengenai wanita, usia 1-35 tahun terutama pada usia pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan di lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang.3

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung2.1.1. Anatomi HidungUntuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali tentang anatomi hidung. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang di pisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat di belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.

Gambar 2.1 Konka-konka

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.1

Gambar 2.2 Sinus-sinus

2.1.2. Fisiologi HidungRongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernapasan dan mukosa penghidu.Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia dan di antaranya terdapat sel-sel goblet.1Bulu-bulu pada pintu masuk lubang hidung penting untuk menyaring partikel-partikel besar. Walaupun demikian jauh lebih penting untuk mengeluarkan partikel melalui jalur prespitisasi turbulen. Artinya, udara yang mengalir melalui saluran hidung membentur banyak dinding penghalang : konka, septum, dan dinding faring.4Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga atas septum. Mukosa dilapisi oleh sel epitel torak berlapis semu tidak bersilia. Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lender atau bila menarik nafas dengan kuat.Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir, dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.1

2.2. Rinitis Atrofi2.2.1. DefinisiRinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga rhinitis chronica atrophicanscum foetida, sebab ada rhinitis chronica atrophican non foetida. Karakteristiknya ialah adanya atropi mukosa dan jaringan pengikat submukosa struktur fossa nasalis, disertai adanya crustae yang berbau khas. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Penyakit ini lebih banyak menyerang wanita daripada pria, terutama pada umur sekitar pubertas.1,5

2.2.2. EpidemiologiBeberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai wanita, terutama pada usia pubertas. Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5 pria, dan Jiang dkk mendapatkan 15 wanita dan 12 pria. Samiadi mendapatkan 4 penderita wanita dan 3 pria. Menurut Boies frekuensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1. Tetapi dari segi umur, beberapa penulis mendapatkan hasil yang berbeda. Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50 tahun, Jiang dkk berkisar 13-68 tahun, Samiadi mendapatkan umur antara 15-49 tahun. Penyakit ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang.5

2.2.3. EtiologiPenyebab rinitis atrofi (Ozaena) belum diketahui sampai sekarang. Terdapat berbagai teori mengenai penyebab rinitis atrofik dan penyakit degeneratif sejenis. Beberapa penulis menekankan faktor herediter. Namun ada beberapa keadaan yang dianggap berhubungan dengan terjadinya rinitis atrofi (Ozaena), yaitu :5 Infeksi setempat/ kronik spesifik. Paling banyak disebabkan oleh Klebsiella Ozaena. Kuman ini menghentikan aktifitas sillia normal pada mukosa hidung manusia. Selain golongan Klebsiella, kuman spesifik penyebab lainnya antara lain Stafilokokus, Streptokokus, Pseudomonas aeuruginosa, Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli, Cocobacillus foetidus ozaena. Defisiensi. Defisiensi Fe dan vitamin A. Infeksi sekunder. Sinusitis kronis. Kelainan hormon. Ketidakseimbangan hormon estrogen. Penyakit kolagen. Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun. Teori mekanik dari Zaufal. Ketidakseimbangan otonom. Terjadi perubahan neurovaskular seperti deteriorisasi pembuluh darah akibat gangguan sistem saraf otonom. Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS). Herediter. Supurasi di hidung dan sinus paranasal. Golongan darah.

2.2.4. Patofisiologi Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi epitel skuamous atau atrofik, dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat pengurangan kelenjar alveolar baik dalam jumlah dan ukuran.5Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi mucus clearance dan mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman. Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : 3 Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis. Silia hidung. Silia akan menghilang. Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis. Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil), atau jumlahnya berkurang.

2.2.5. Gejala dan TandaKeluhan penderita rinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa hidung tersumbat, gangguan penciuman (anosmi), ingus kental berwarna hijau, adanya krusta (kerak) berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung terasa kering. Keluhan subjektif lain yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia) jadi penderita sendiri (-), orang lain (+) penciumannya. Pasien mengeluh kehilangan indra pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan napas jelas menjadi semakin lebar, pasien merasakan sumbatan yang makin progresif saat bernapas lewat hidung, terutama karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan hidung dan menghantarkan impuls sensorik dari mukosa hidung ke sistem saraf pusat telah bergerak semakin jauh dari gambaran.3,52.2.6. DiagnosisPemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan rongga hidung dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika krusta diangkat, terlihat rongga hidung sangat lapang, atrofi konka (konka nasi media dan konka nasi inferior mengalami hipotrofi atau atrofi), sekret purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering. Bisa juga ditemui ulat/ telur larva (karena bau busuk yang timbul). Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat :5 Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta sedikit. Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas. Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.

Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini mempunyai awitan yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya pertama mengenai mukosa hidung tampak beberapa daerah metaplasia yang kering dan tipis dimana epitel pernapasan telah kehilangan silia, dan terbentuk krusta kecil serta sekret yang kental. Dapat terjadi ulserasi ringan dan pendarahan.3Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih besar namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara perlahan memperbesar rongga hidung ke segala jurusan dengan semakin tipisnya epitel. Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang, sementara fibrosis jaringan subepitel perlahan-lahan menyeluruh. Jaringan disekitar mukosa hidung juga ikut terlibat, termasuk kartilago, otot, dan kerangka tulang hidung. Akhirnya kekeringan, pembentukan krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel nasofaring, hipofaring dan laring. Keadaan ini dapat mempengaruhi patensi tuba Eustachius, berakibat efusi telinga tengah kronik dan dapat menimbulkan perubahan yang tidak diharapkan pada apartus lakrimalis termasuk keratitis sicca.Pemeriksaan penunjang pada kasus rinitis atrofi (ozaena) yang dapat dilakukan antara lain : Transiluminasi. Foto Rontgen. Foto sinus paranasalis. Pemeriksaan mikroorganisme. Uji resistensi kuman. Pemeriksaan darah tepi. Pemeriksaan Fe serum. Pemeriksaan histopatologi. Dari pemeriksaan histopatologi terlihat mukosa hidung menjadi tipis, silia hilang, metaplasia torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng berlapis, kelenjar berdegenerasi atau atrofi, jumlahnya berkurang dan bentuknya mengecil. Pemeriksaan serologi darah.

Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan darah rutin, rontgen foto sinus paranasal, pemeriksaan Fe serum, Mantoux test, pemeriksaan histopatologi dan tes serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan sifilis.52.2.7. Diagnosis BandingDiagnosis rinitis atrofi (ozaena) antara lain : Rinitis kronik TBC Rinitis kronik lepra Rinitis kronik sifilis Rinitis sika

2.2.8. PenatalaksanaanHingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofik hanya bersifat paliatif. Termasuk dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik dan lokal dengan endokrin, steroid, dan antibiotik, vasodilator, pemakaian iritan jaringan lokal ringan seperti alkohol dan salep pelumas. Penekanan terapi utama adalah pembedahan, yaitu usaha-usaha langsung mengecilkan rongga hidung, dan dengan demikian juga memperbaiki suplai darah mukosa hidung. Tujuan pengobatan adalah menghilangkan faktor etiologi / penyebab dan menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan operasi.3,5

Pengobatan konservatif ozaena meliputi pemberian antibiotik, obat cuci hidung, dan simptomatik. Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada pengobatan dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu. Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan menghilangkan bau. Antara lain : Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau Campuran : NaCl NH4Cl NaHCO3 Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat Larutan garam dapur Campuran : Na bikarbonat 28,4 g Na diborat 28,4 g NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat

Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali sehari. Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi (Ozaena) biasanya dengan pemberian preparat Fe. Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25% dalam gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U / ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan tiga kali sehari masing-masing tiga tetes. Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu. Preparat Fe. Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan Rjvanski melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80% perbaikan dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan 93,3% perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini membantu regenerasi epitel dan jaringan kelenjar. Samiadi dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2 tablet sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl fisiologis 3 x sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali untuk melihat efek samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil yang memuaskan pada 6 dari 7 penderita.

Tujuan operasi pada rhinitis atrofi (ozaena) antara lain untuk : menyempitkan rongga hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta dan mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi. Teknik bedah dibedakan menjadi dua kategori utama : Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal dan Operasi, seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang hidung ke arah dalam.

BAB IIIKESIMPULAN

1. Rhinitis ozaena adalah penyakit infeksi hidung kronik dengan tanda adanya atrofi progresif tulang dan mukosa konka.2. Etiologi penyakit ini belum jelas. Beberapa hal dianggap sebagai penyebab seperti infeksi oleh kuman spesifik, yaitu sepsis klebsiela, yang sering klebsiela ozaena, kemudian staphylokokus, dan pseudomonas aeruginosa, defisiensi Fe, defisiensi vitamin A, sinusitis kronik, kelainan hormonal dan penyakit kolagen. Mungkin berhubungan dengan trauma atau terapi radiasi.3. Gejala klinis adalah berupa keluhan subyektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya nafas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia), ingus kental hijau, krusta hijau, gangguan penciuman, sakit kepala dan hidung tersumbat. Pada pemeriksaan THT ditentukan rongga hidung sangat lapang, konka inferior dan media hipotrofi atau atrofi, sekret purulen hijau, dan krusta berwarna hijau.4. Terapi belum ada yang baku, ditujukan untuk menghilangkan etiologi dan gejala dapat dilakukan secara konservatif ataupun operatif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi, E., dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi keenam. 2007. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia2. Arif, M., dkk. Rinitis Atrofi (Ozaena). Buku Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga. 2006. Jakarta : Media Aesculapius.3. Adams, L. G., dkk. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi keenam. 1997. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.4. Guyton A., Hall J. Buku Ajar Fisioologi Kedokteran. Edisi kesebelas. 2006. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.5. Asnir, A. Rinitis Atrofi. Available from : http://www.kalbe.co.id. Accessed : 2008, April 12. 2004. Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004.

1