RESUS Anestesi hipertensi

23
REFLEKSI KASUS ANESTESI PADA MASTECTOMY DENGAN HIPERTENSI Diajukan Oleh: Syarip Padilah 20110310178 Diajukan kepada Yth: dr. H. Joko Murdiyanto, Sp.An KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

description

refleksi kasus

Transcript of RESUS Anestesi hipertensi

Page 1: RESUS Anestesi hipertensi

REFLEKSI KASUS

ANESTESI PADA MASTECTOMY DENGAN

HIPERTENSI

Diajukan Oleh:

Syarip Padilah

20110310178

Diajukan kepada Yth:

dr. H. Joko Murdiyanto, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2016

Page 2: RESUS Anestesi hipertensi

HALAMAN PENGESAHAN

RFLEKSI KASUS

Disusun oleh:

Syarip Padilah

20110310178

Disetujui dan disahkan pada tanggal: Juni 2016

Mengetahui,

Dosen Pembimbing

dr. H. Joko Murdiyanto, Sp.An

Page 3: RESUS Anestesi hipertensi

1. PengalamanSeorang pasien, Ny. S, usia 54 tahun datang ke Poliklinik Bedah RS PKU

Muhammadiyah Yogyakarta dengan keluhan benjolan pada payudara kiri. Dokter

spesialis bedah mengusulkan untuk dilakukan pemeriksan histopatologi dan dari hasil

pemereiksaan histopatologi diketahui bahwa benjolan tersebut mengarah keganasan.

Oleh dokter bedah, pasien didiagnosis menderita Invasive Ductal Carcinoma grade II

dan direncanakan untuk operasi keesokan harinya. Dokter bedah konsultasi kepada

dokter anestesi untuk pembiusan tindakan bedah. Dokter spesialis anestesi menyetujui

pasien dilakukan operasi dengan teknik general anestesi Pada saat reanamnesis

sewaktu visite pre operasi diketahui pasien memiliki riwayat hipertensi sejak satu

tahun yang lalu dan pasien meminum obat rutin amlopidin 10 mg, sedangkan riwayat

diabetes melitus, asma dan alergi tidak ditemukan pada pasien. Pada pemeriksaan

fisik, penilaian airway menunjukkan jalan napas clear, mallampati I, tidak ada

sumbatan dan TMD ≥ 6,5 cm, breathing diperoleh pernapasan spontan, gerakan dada

simetris, tipe pernafasan normal, respirasi rate 20 kali per menit dan vesikuler pada

kedua lapang paru, circulation diperoleh tekanan darah 147/105 mmHg dan nadi 84

kali per menit serta diperoleh status kesadaran pasien Compos Mentis dengan

Glasgow Coma Scale E4M6V5. Pupil Isokor, kaku kuduk (-), kelainan nervus

kranialis (-). Pasien memiliki Berat badan 67 kg dan tinggi badan 165 cm.

2. Laboraturium

Hb : 14,2 g/dl

Hmt : 40 %

PPT : 13,1 detik

APTT : 36,3 detik

HbsAg : (-)

Diagnosis : Status pasien ASA II dengan Hipertensi

Terapi : Amlodipin 5 mg sublingual pada pukul 06.00 dan rencana General Anestesia

3. Perasaan Terhadap Pengalaman

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien yang akan

menjalani operasi appendictomi ini termasuk dalam ASA II. ASA merupakan

singkatan dari American Society of Anesthesiologist yang berguna untuk

mengelompokkan pasien berdasarkan kondisi pasien sebelum menjalani operasi. ASA

II berarti pasien tersebut memiliki penyakit sistemik ringan, dalam kasus ini

Page 4: RESUS Anestesi hipertensi

hipertensi. Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau

tekanan darah diastolik > 90 mmHg.

bagaimana anestesi pada hipertensi?

4. Analisis

Sampai saat ini, hipertensi masih merupakan tantangan besar di Indonesia.

Betapa tidak, hipertensi merupakan kondisi yang sering ditemukan pada pelayanan

kesehatan primer kesehatan. Hal itu merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi

yang tinggi, yaitu sebesar 25,8%, sesuai dengan data Riskesdas 2013. Di samping itu,

pengontrolan hipertensi belum adekuat meskipun obat-obatan yang efektif banyak

tersedia (Depkes, 2014).

Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO

Kategori Tekanan Darah Sistol (mmHg)

Tekanan Darah Diatol (mmHg)

OptimalNormalNormal-Tinggi

< 120< 130130-139

< 80< 8585-89

Tingkat 1 (Hipertensi Ringan)Sub-group: perbatasan

140-159140-149

90-9990-94

Tingkat 2 (Hipertensi Sedang) 160-179 100-109Tingkat 3 (Hipertensi Berat) ≥ 180 ≥ 110Hipertensi sistol terisolasi(Isolated systolic hypertension)Sub-group: perbatasan

≥ 140

140-149

< 90

<90

PATOGENESIS HIPERTENSI

Tekanan darah berbanding lurus dengan curah jantung (CO) dan tekanan

pembuluh darah sistemik (SVR), dimana persamaan ini dapat dirumuskan dengan

menggunakan hukum Law, yaitu :

Secara fisiologis, TD individu dalam keadaan normal atau hipertensi dipertahankan

pada CO atau SVR tertentu. Hal hal yang mempengaruhi TD (Made, 2008):

Jantung

Arterial

Vena vena post kapiler ( venous capacitance)

Page 5: RESUS Anestesi hipertensi

Ginjal

Baroreseptor sebagai pengatur saraf otonom dan mekanisme humoral

Beberapa faktor yang berpengaruh pada tekanan darah (Michael,2001)

PATOFISIOLOGI HIPERTENSI

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak

di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf

simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula

spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor

dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke

ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan

merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan

dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah (Corwin,

2001).

Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon

pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat

sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal

tersebut bisa terjadi (Corwin,2001)

Page 6: RESUS Anestesi hipertensi

Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh

darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang

mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal mengsekresi

epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresi kortisol dan

steroid lainnya, yang dapt memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah.

Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan

pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian

diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya

merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi

natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler.

Semua faktor tersebut cenderung mencetus keadaan hipertensi ( Dekker, 1996 ).

Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer bertanggung

jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia. Perubahan tersebut

meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan penurunan dalam

relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan

distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar

berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh

jantung (volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan

tahanan perifer (Corwin,2001).

MEKANISME HIPERTENSI

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II

dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE memegang

peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung

angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh hormon, renin (diproduksi

oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru,

angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki

peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama. Aksi pertama

adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH

diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur

osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang

diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi

osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan

ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume

Page 7: RESUS Anestesi hipertensi

darah meningkat, yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. Aksi kedua

adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.

Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada

ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi

ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya

konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan

ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.

ANASTESIA PADA PASIEN HIPERTENSI

Sebuah pertanyaan sering muncul dalam praktek anastesi adalah derajat

hipertensi pra operasi yang dapat diterima pada pasien yang dijadwalkan untuk

operassi elektif. Kecuali untuk pasien secara optimal dikontrol, kebanyakan pasien

hipertensi masuk ke ruang operasi dengan beberapa derajat hipertensi. Meskipun pada

saat preoperatif pasien memiliki hipertensi sedang (tekanan diastolik90-110 mmHg)

namun hal ini tidak menutup kemungkinan terjadinya komplikasi pasca operasi.

Penelitian lainnya menunjukkan bahwa pasien hipertensi yang tidak diobati atau tidak

terkontrol lebih cenderung untuk mengalami episode iskemia intraoperatif infark,

aritmia, atau hipertensi dan hipotensi. Penyesuaian intrabedah selama anastesi serta

penggunaan obat vasoaktif diharapkan dapat mengurangi insiden komplikasi

postoperasi yang disebabkan preopertif tidak memadai untuk mengontrol hipotensi

(Morgan, 2002)

Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi essensial yang akan

menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari,

yaitu :

1. Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensi

2. Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah

terjadi.

3. Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita.

4. Penetuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi,

untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.

Semua data-data diatas bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat

perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fiik, tes laboratorium rutin dan prosedur

diagnostik lainnya. Penilaian status volume cairan tubuh adalah menyangkut apakah

status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya ataukah suatu relative

Page 8: RESUS Anestesi hipertensi

hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan vasodilator). Disamping itu

penggunaan diuretika yang rutin, sering menyebabkan peningkatan risiko terjadinya

aritmia. Untuk evaluasi jantung, EKG dan X-ray thorak akan sangat membantu.

Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya risiko iskemia miokardial akibat

ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi ginjal,

urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk memperkirakan

seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemukan ternyata gagal ginjal

kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu

diperhatikan.Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA dan

adanya retinopati hipertensi perlu dicatat.Tujuan pengobatan hipertensi adalah

mencegah komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk penyakit arteri

koroner, stroke, CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal.

Sementara itu pasien yang harus menjalani operasi elektif idealnya hanya bisa

dilakukan ketika tekanan darah dalam batas normal, pendekatan ini tidak selalu layak

atau selalu diinginkan karena gangguan autoregulasi serebral.Penurunan tekanan

darah yang berlebihan dapat mengganggu perfusi serebral. Selain itu, keputusan

apakah akan menunda atau melanjutkan dengan intervensi bedah harus bersifat

individual, tergantung pada beratnya elevasi tekanan darah sebelum operasi,

kemungkinan iskemi miokard, disfungsiventrikel atau komplikasi vaskularisasi

serebral atau ginjal, dan pembedahan (jika perubahan besar yang disebabkan operasi

di awal jantung atau afterload yang diperbolehkan). Dalam banyak kasus, hipertensi

saat preoperative terjadi karena ketidakpatuhan pasien dengan pola obat yang

diberikan.Dengan sedikit pengecualian, antihipertensi harus dilanjutkan sampai

operasi. Beberapa dokter mempertahankan pemberian ACE inhibitor di pagi hari

sebelum operasi karena hubungannya dengan peningkatan insiden hipotensi

intraoperatif.ACE inhibitor diketahui dapat mencegah terjadinya risiko hipertensi

perioperatif dan mampu mencukupi kebutuhan antihipertensi parenteral. Operasi pada

pasien dengan tekanan diastolik preoperatif lebih besar dari110 mmHg, terutama pada

pasien yang telah diketahui pasti mengalami kerusakan organ akhir maka operasi

harus ditunda sampai tekanan darah lebih terkontrol selama beberapa hari (Morgan

2002).

PREMEDIKASI

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan

tujuan untuk:

Page 9: RESUS Anestesi hipertensi

1. Meredakan kecemasan dan ketakutan

2. Memperlancar induksi anesthesia

3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

4. Meminimalkan jumlah obat anestesi

5. Mengurangi mual-muntah pasca bedah

6. Menciptakan amnesia

7. Mengurangi isi cairan lambung

8. Mengurangi reflek yang membahayakan

Premedikasi bertujuan mengurangi kecemasan pra operasi dan sangat

dibutuhkan pada pasien hipertensi. Preoperatif hipertensi ringan hingga menengah

sering sembuh setelah pemberian agen anxiolytic, seperti midazolam.pemberian

antihipertensi preoperatif harus dilanjutkan sesuai jadwal dan dapat diberikan dengan

sedikit tegukan air. Seperti disebutkan sebelumnya, beberapa dokter melanjutkan

pemberian ACE inhibitor karena diketahui dapa tmencegah menurunkan tekanan

darah intraoperatif. Pemberian α2adrenergik agonis sentral dapat dijadikan sebagai

tambahan yang berguna untuk premedikasi penderita hipertensi, pemberian sedasi

tambahan klonidine dosis 0,2 mgdapat mengurangi penggunaan obat anestesi

intraoperatif dan mengurangi terjadinya hipertensi perioperative. Sayangnya,

pemberian klonidine selama selain dapat menimbulkan hipotensi tapi juga

menyebabkan terjadinya bradikardi selama operasi (Morgan, 2002).

MANAJEMEN INTRAOPERATIF

OBJEKTIF

Secara keseluruhan tujuan anestesi untuk pasien dengan hipertensi adalah

menjaga kestabilan tekanan darah pasien. Pasien batas akhir hipertensi dapat diobati

seperti pasien dengan tekanan darah normal. Pada pasien usia lanjut atau pasien

dengan hipertensi yang tidak terkontrol telah terjadi perubahan autoregulasi aliran

darah serebral dimana tekanan darah yang tinggi mempertahankankan aliran darah

otak yang memadai. Pada sebagian besar pasien dengan hipertensi yang lama harus

dipikirkan kemungkinan terjadinya penyakit arteri koroner dan hipertrofi

jantung,sehingga peningkatan tekanan darah yang berlebihan dapat dihindari.

Hipertensi, terutama dalam kaitannya dengan takikardia, dapat memicu terjadinya

iskemia miokard, disfungsi ventrikel bahkan keduanya. Tekanan darah arteri

umumnya harus dijaga dalam 10-20% dari tingkat pra operasi. Jika hipertensi terjadi

Page 10: RESUS Anestesi hipertensi

sebelum operasi dimana tekanan darah lebih dari 180/120 mmHg, maka tekanan darah

arteri harus dipertahankan dalam batas normal, yaitu 150-140/90-80 mm Hg

(Morgan,2002)

PEMANTAUAN

Sebagian besar pasien hipertensi tidak memerlukan pemantauan intraoperatif

khusus. Pemantauan tekanan darah harus terus menerus dilakukan pada pasien dengan

tekanan darah yang tidak stabil dan pasien dengan prosedur pembedahan utama yang

terkait dengan perubahan yang cepat atau ditandai dengan preload jantung atau

afterload. Pemantauan elektrokardiografi bertujuan untuk mengetahui dengan cepat

tanda-tanda iskemia. Produksi urin harus dipantau melalui kateter urin terutama pada

pasien gangguan ginjal yang sedang menjalani tindakan dan diharapkan dapat

bertahan lebih dari 2 jam. Selama pemantauan hemodinamik invasive dilakukan,

pemenuhan kebutuhan ventrikel sering berkurang terutama pada pasien dengan

hipertrofi ventrikel.

Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan

anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi tekanan darah yang terlalu tinggi.

Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah sama

pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperative. Pada hipertensi

kronis akan menyebabkan pergeseran tekanan autoregulasi dari serebral dan ginjal.

Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi penurunan aliran darah

serebral dan iskemia serebral jika tekanan darah diturunkan secara tiba-tiba. Terapi

jangka panjang dengan obat antihipertensi akan mengubah kembali kurva autregulasi

kekiri kembali ke normal. Dalam mengukur autoregulasi serebral dapat digunakan

beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:

1. Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal yang

dianjurkan untuk penderita hipertensi.

2. Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala hipoperfusi

otak.

3. Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian

stroke.

4. Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal kurang lebih sama dengan

yang terjadi pada serebral.

Anestesia akan aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan

memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan

Page 11: RESUS Anestesi hipertensi

volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang (balance

anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total intravena bisa

digunakan untuk pemeliharaan anestesia. Anestesia regional dapat dipilih sebagai

teknik anestesia, namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering menyebabkan

hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien dengan keadaan

hipovolemia. Jika hipertensi tidak berespon terhadap obat-obatan yang diberikan,

maka penyebab yang lain harus dipertimbangkan seperti

phaeochromacytoma,carcinoid syndrome dan tyroid storm.

INDUKSI ANESTESI

Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menyebabkan gangguan

hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat

intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi terjadi akibat vasodilatasi perifer

terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga pemberian cairan

sebelumnya penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi.

Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari

obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh penderita,

seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker. Hipertensi yang terjadi

biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi endotrakea yang

bisa menyebabkan takikardia dan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat

tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Durasi laringoskopi

dibawah 15 detik dapat membantu meminimalisir terjadinya fluktuasi hemodinamik

Beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi

untuk menghindari terjadinya hipertensi (Morgan, 2002).

1. Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama

5-10 menit.

2. Pemberian opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25

mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil

0,5-1 mikrogram/ kgbb).

3. Pemberian lidokain 1,5 mg/kgbb secara intravena atau intratrakea.

4. Penggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb,

propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).

5. Penggunakan anestesia topikal pada jalan napas.

PEMILIHAN OBAT ANESTESI

Page 12: RESUS Anestesi hipertensi

A. Obat induksi

Keunggulan dari setiap obat induksi dan teknik yang dilakukan belum jelas bagi

agen hipertensi.Meskipun dengan anestesi regional, penurunan tekanan darah yang

tajam justru lebih sering terjadi pada pasien hipertensi dibandingkan dengan pasien

normotensi.Barbiturat, benzodiazepin, propofol, dan etomidare adalah induksi

anestesi yang paling aman diberikan pada pasien hipertensi.Pemberian ketamin

merupakan kontraindikasi untuk tindakan operasi karena dapat memicu terjadinya

hipertensi namun hal ini dapat dihilangkan dengan pemberian dosis kecil bersama

dengan agen lainnya, terutama benzodiazepin atau propofol (Morgan, 2002)

B. Rumatan

Anestesi bisa aman dilanjutkan dengan agen volatile (tunggal atau dengan

oksida nitrous), suatu teknik seimbang (oksida opioid + nitrous + relaksan otot), atau

sama sekali teknik intravena. Terlepas dari teknik pengobatan primer, penambahan

agen volatile atau vasodilator intravena umumnya memungkinkan kontrol lebih

memuaskan tekanan darah intraoperatif.vasodilatasi Depresi dan miokard yang relatif

cepat dan reversibel yang diberikan oleh agen volatile dapat berpengaruhterhadap

tekanan darah arteri. Oleh sebab itu, beberapa dokter percaya bahwa pemberian opioid

dan sufentanil dapat menekansaraf otonom serta mengontrol tekanan darah (Morgan,

2002).

C. Pelumpuh otot

Dengan beberapa pengecualian seperti pankuronium, setiap pelumpuh otot

dapat digunakan secara rutin.Pankuronium memiliki efek memblokade syaraf vagal

dan melepaskan katekolamin sehingga dapat memperburuk keadaan pasien hipertensi

yang tidak terkontrol.Ketika pankuronium diberikan perlahan-lahan dan sedikit demi

sedikit akan terjadi peningkatan detak jantung serta naiknya tekanan darah. Tetapi

pankuronium berguna utnuk mengimbangi kekuatan vagal berlebihan yang

disebabkan oleh manipulasi opioid atau bedah. Pemberian obat hipotensi seperti

tubocurarine, merocurine, acracurium, atau mungkin mivacurium dapat dijadikan

pilihan untuk pasien hipertensi (Morgan,2002)

D. Vasopressors

Penderita hipertensi dapat menampilkan respon berlebihan untuk kedua ranjau-

catechola endogen (dari inkubasi atau stimulasi bedah) dan agonis simpatik eksogen

diberikan.Jika seorang vasopresor diperlukan untuk mengobati hipotensi berlebihan,

dosis kecil agen langsung penuaan seperti fenilefrin (25-50 Âμg) mungkin lebih baik

Page 13: RESUS Anestesi hipertensi

untuk agen langsung.Namun demikian, dosis kecil efedrin (5-10 mg) lebih tepat bila

tinggi nada vagal. Kesabaran sympatholytics diambil sebelum operasi mungkin

menunjukkan respon jatuh ke vasopressors, terutama efedrin (Morgan,2002)

HIPERTENSI INTRAOPERATIF

Hipertensi intraoperatif tidak menanggapi peningkatan kedalaman anestesi

(terutama dengan agen volatile) dapat diobati dengan berbagai agen parenteral

menyebabkan Reversible siap seperti kedalaman anestesi yang tidak memadai,

hipoksemia, atau hypercapnia harus selalu dikecualikan sebelum memulai terapi

antihipertensi. Pemilihan agen hipotensi tergantung pada ketajaman, keparahan, dan

menyebabkan hipertensi, fungsi dasar ventrikel, tingkat hem, dan adanya penyakit

paru-paru bronchospastic.β-adrenergik blokade sendiri atau sebagai dukungan-

plement merupakan pilihan yang baik untuk pasien dengan fungsi ventrikel yang baik

dan detak jantung tinggi tetapi kontraindikasi pada pasien dengan penyakit

bronchospastic. Nicardipine mungkin lebih baik untuk pasien dengan penyakit

bronchospastic. Reflex tachycardia berikut nifedipin sublingual telah associted

dengan infark ischernia.Nitroprusside tetap menjadi agen yang paling cepat dan

efektif untuk pengobatan intraoperarive hipertensi sedang sampai parah.Nitrogliserin

mungkin kurang efektif tetapi juga berguna dalam mengobati atau mencegah iskemia

miokard.Fenoldopam juga merupakan agen yang berguna dan dapat meningkatkan

atau mempertahankan fungsi ginjal.hydralazine Berkelanjutan menyediakan kontrol

tekanan darah namun memiliki onset tertunda dan sering dikaitkan dengan takikardi

refleks. Yang terakhir ini tidak terlihat dengan labetalol karena kombinasi blockade α

dan β adrenergik (Morgan,2002)

MANAJEMEN POSTOPERRATIF

Hipertensi pascaoperasiharus diantisipasi terutama pada pasien dengan

hipertensi kurang terkontrol.Pemantauan tekanan darah harus terus dilanjutkan baik di

ruang pemulihan dan periode pasca operasi dini.Iskemia miokard dan gagal jantung

kongestif dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah sehingga terjadi

hematoma dan luka pada garis jahitan gangguan pembuluh darah.

Hipertensi pada periode pemulihan sering multi-faktorial dan ditingkatkan

dengan gangguan pernapasan, rasa sakit, volume overload, atau distensi kandung

kemih.Masalah tambahan harus diatasi dan pemberian obat antihipertensi parenteral

dapat dilakukan jika perlu.Pemberian nicardipine melalui intravena berguna dalam

mengontrol tekanan darah terutama jika dicurigai iskemia miokard dan

Page 14: RESUS Anestesi hipertensi

bronkospasme.Ketika pasien kembali mendapatkan asupan oral, maka pengobatan

preoperatif harus ulang diulang kembali.

5. Kesimpulan

Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai, dengan angka penderita

yang cukup tinggi.Hipertensi sendiri merupakan faktor risiko mayor yang bisa

menyebabkan terjadinya komplikasi seperti penyakit - penyakit jantung, serebral,

ginjal dan vaskuler. Mengingat tingginya angka kejadian dan komplikasi yang bisa

ditimbulkan oleh penyakit hipertensi ini, maka perlu adanya pemahaman para ahli

anestesia dalam manajemen selama periode perioperatif. Manajemen perioperatif

dimulai sejak evaluasi pra operasi, selama operasi dan dilanjutkan sampai periode

pasca operasi.

Evaluasi prabedah sekaligus optimalisasi keadaan penderita sangat penting

dilakukan untuk meminimalkan terjadinya komplikasi, baik yang terjadi selama

intraoperatif maupun yang terjadi pada pasca pembedahan.Goncangan hemodinamik

mudah terjadi, baik berupa hipertensi maupun berupa hipotensi, yang bisa

menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi. Hal ini harus diantisipasi dengan

perlunya pemahaman tentang teknik anestesia yang benar, manajemen cairan

perioperatif, pengetahuan farmakologi obat-obat yang digunakan, baik obat-obatan

anti hipertensi maupun obat - obatan anestesia serta penanganan nyeri akut yang

adekuat. Dengan manajemen perioperatif yang benar terhadap penderita-penderita

hipertensi yang akan menjalani pembedahan, diharapkan bisa menurunkan atau

meminimalkan angka morbiditas maupun mortalitas.

6. Daftar Pustaka

a. http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/

infodatin-hipertensi.pdf diunduh pada tanggal 12 Juni 2016.

b. Corwin,E,J(2001).Buku saku Patofisiologi. Jakarta:EGC

c. Dekker,E,(1996).Hidup dengan tekanan darah tinggi. Jakarta : Pustaka Sinar

Harapan.

d. Michael A. Lucia, MD, March 2001, Hypertensive urgencies and Emergencies,

University of Nevada School of Medicine.

e. Made Wiryana, Manajemen Peri Operatif Pada Hipertensi, J Penyakit Dalam vol.4

no.2 : 2008: 144-153.

Page 15: RESUS Anestesi hipertensi

f. Morgan GE, Michail MS, Murray MJ. Anasthesia for patient with cardiovasculer

disease. Clinical Anesthesiology. 3rd ed. New York : McGraw-Hill; 2002.p388-

395.