refrat tonsilitis kroik.doc
-
Upload
silvie-nurlia-dewi -
Category
Documents
-
view
23 -
download
0
description
Transcript of refrat tonsilitis kroik.doc
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di Indonesia infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan
penyebab tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Pada tahun
1996/1997 temuan penderita ISPA pada anak berkisar antara 30% - 40%,
sedangkan temuan penderita ISPA pada tahun tersebut adalah 78% -
82%. Sebagai salah satu penyebab adalah rendahnya pengetahuan
masyarakat. Di Amerika Serikat absensi sekolah sekitar 66% diduga
disebabkan ISPA. Tonsilitis kronik pada anak mungkin disebabkan karena
anak sering menderita ISPA atau karena tonsilitis akut yang tidak
diterapi adekuat atau dibiarkan. Berdasarkan data epidemiologi penyakit
THT di 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi tonsilitis
kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut (4,6%) yaitu sebesar 3,8%. Insiden
tonsilitis kronik di RS Dr. Kariadi Semarang 23,36% dan 47% di antaranya
pada usia 6-15 Tahun. Sedangkan di RSUP Dr. Hasan Sadikin pada periode
April 1997 sampai dengan Maret 1998 ditemukan 1024 pasien tonsilitis
kronik atau 6,75% dari seluruh jumlah kunjungan. Secara klinis pada
tonsilitis kronik didapatkan gejala berupa nyeri tenggorok atau nyeri telan
ringan, mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk, nafsu makan menurun,
nyeri kepala dan badan terasa meriang.1
Pada tonsilitis kronik hipertrofi dapat menyebabkan apnea obstruksi saat
tidur; gejala yang umum pada anak adalah mendengkur, sering
mengantuk, gelisah, perhatian berkurang dan prestasi belajar yang kurang
baik. Kualitas hidup anak dengan apnea obstruksi saat tidur dapat dinilai dari
hasil/prestasi belajarnya. Indikasi tonsilektomi pada tonsilitis kronik adalah
jika sebagai fokus infeksi, kualitas hidup menurun dan menimbulkan
rasa tidak nyaman.1
Hal ini sesuai dengan kesan masyarakat bahwa tonsilektomi dapat
meningkatkan prestasi belajar pada anak yang menderita penyakit
amandel (tonsil) sehingga banyak orang tua yang menginginkan operasi
1
amandel untuk meningkatkan prestasi belajar anaknya, meskipun belum tentu
tonsilnya sakit. Belajar adalah aktivitas (usaha dengan sengaja) yang dapat
menghasilkan perubahan berupa kecakapan baru pada diri individu. Proses
dan hasil belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain kondisi
fisiologis dan psikologis diri individu. Perubahan perilaku akibat belajar
tersebut menandai keberhasilan proses belajar dan mengajar dan digunakan
sebagai indikator prestasi belajar.2
Berdasarkan hal tersebut dapat dimengerti bahwa tonsilitis kronik dapat
mengganggu kondisi fisiologis dan psikologis anak sehingga dapat
mengganggu proses belajar.2
1.2 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui tentang bagaimana patofisiologi serta etiologi tonsilitis kronis.
2. Mengetahui bagaimana manifestasi klinik tonsilitis kronis.
3. Mengetahui penatalaksanaan tonsilitis kronis.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TONSILITIS KRONIS
2.1 Definisi
Tonsilitis merupakan peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian
dari cincin Waldeyer. Tonsilitis Kronis merupakan keradangan kronik pada
tonsil yang biasanya merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau
infeksi subklinis dari tonsil.2.3
Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan
tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan tonsil diluar
serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai
pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus.3
2.2 Etiologi
Bakteri penyebab tonsilitis kronis sama halnya dengan tonsilitis akut yaitu
kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A, Pneumokokus, Streptokokus
viridian dan Streptokokus piogenes, Stafilokokus, Hemophilus influenza,
namun terkadang ditemukan bakteri golongan gram negatif.3
2.3 Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian tonsilitis kronis, yaitu :4
1. Rangsangan kronis (rokok, makanan)
2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah)
4. Alergi (iritasi kronis dari alergen)
5. Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik)
6. Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.
2.4 Patologi
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripti tonsil .Karena proses
radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga
3
pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut.
Jaringan ini akan mengerut sehingga kripti akan melebar, ruang antara
kelompok melebar yang akan diisi oleh detritus (akumulasi epitel yang mati,
sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripte berupa eksudat
berwarna kekuning-kuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul
dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada
anak-anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar submandibula.4
Gambar 1. Hipertrofi tonsil
Dikutip dari
http://www.besthealth.com/besthealth/bodyguide/reftext/images/tonsil.jpg.2
2.5 Manifestasi Klinis
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis
akut yang berulang-¬ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus
pada tenggorokan (odinofagi), nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang
mengganjal di kerongkongan bila menelan, terasa kering dan pernafasan
berbau.3
Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis
Kronis yang mungkin tampak, yakni :4
1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke
jaringan sekitar, kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang
purulen atau seperti keju.
2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang
seperti terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis,
kripte yang melebar dan ditutupi eksudat yang purulen.
4
Gambar 2. Ukuran tonsil
Di kutip dari
sumber: http://www.besthealth.com/besthealth/bodyguide/reftext/images/tonsil.jpg.2
Ukuran tonsil dibagi menjadi :2
T0: Post tonsilektomi
T1: Tonsil masih terbatas dalam fossa tonsilaris
T2 : Sudah melewati pilar anterior, tapi belum melewati garis paramedian
(pilar posterior)
T3 : Sudah melewati garis paramedian, belum melewati garis median
T4 : Sudah melewati garis median
2.6 Diagnosis
1. Anamnesis
Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang
terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, kadang-
kadang ada demam dan nyeri pada leher.2
2. Pemeriksaan Fisik
Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut.
Sebagian kripta mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat
diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut. Pada beberapa kasus, kripta
membesar, dan suatu bahan seperti keju atau dempul amat banyak terlihat
pada kripta.3
5
3. Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan
apus tonsil. Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman
dengan berbagai derajat keganasan, seperti Streptokokus beta hemolitikus
grup A, Streptokokus viridans, Stafilokokus, atau Pneumokokus.5
2.7 Diagnosis Banding
Terdapat beberapa diagnosis banding dari tonsilitis kronis, di
antaranya:
1. Penyakit-penyakit dengan pembentukan pseudomembran atau adanya
membran semu yang menutupi tonsil /tonsilitis membranosa5
a. Tonsilitis Difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua
orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini
tergantung pada titer antitoksin dalam darah. Titer antitoksin
sebesar 0,03 sat/cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar
imunitas. Gejalanya terbagi menjadi 3 golongan besar, umum, lokal
dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala
infeksi lain, yaitu demam subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu
makan, badan lemah, nadi lambat dan keluhan nyeri menelan.
Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi
bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan membentuk
pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila
diangkat akan mudah berdarah. Gejala akibat eksotoksin dapat
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, misalnya pada jantung
dapat terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis, pada saraf
kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot
pernafasan dan pada ginjal dapat menimbulkan albuminuria.5.6
b. Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulseromembranosa)
Gejala yang timbul adalah demam tinggi (39°C), nyeri di mulut,
gigi dan kepala, sakit tenggorok, badan lemah, gusi mudah
berdarah dan hipersalivasi. Pada pemeriksaan tampak membran
6
putih keabuan di tonsil, uvula, dinding faring, gusi dan prosesus
alveolaris. Mukosa mulut dan faring hiperemis. Mulut berbau
(foetor ex ore) dan kelenjar submandibula membesar.6
c. Mononukleosis Infeksiosa
Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membran
semu yang menutup ulkus mudah diangkat tanpa timbul
perdarahan, terdapat pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak dan
regio inguinal. Gambaran darah khas, yaitu terdapat leukosit
mononukleosis dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain adalah
kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah
merah domba (Reaksi Paul Bunnel).6
2. Penyakit kronik faring granulomatus.7
a. Faringitis Tuberkulosa
Merupakan proses sekunder dari TBC paru. Keadaan umum pasien
buruk karena anoreksi dan odinofagi. Pasien mengeluh nyeri hebat
di tenggorok, nyeri di telinga (otalgia) dan pembesaran kelenjar
limfa leher.
b. Faringitis Luetika
Gambaran klinis tergantung dari stadium penyakit primer, sekunder
atau tersier. Pada penyakit ini dapat terjadi ulserasi superfisial yang
sembuh disertai pembentukan jaringan ikat. Sekuele dari gumma
bisa mengakibatkan perforasi palatum mole dan pilar tonsil.
c. Lepra (Lues)
Penyakit ini dapat menimbulkan nodul atau ulserasi pada faring
kemudian menyembuh dan disertai dengan kehilangan jaringan
yang luas dan timbulnya jaringan ikat.
d. Aktinomikosis Faring
Terjadi akibat pembengkakan mukosa yang tidak luas, tidak nyeri,
bisa mengalami ulseasi dan proses supuratif. Blastomikosis dapat
mengakibatkan ulserasi faring yang ireguler, superfisial, dengan
dasar jaringan granulasi yang lunak.
7
Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan
dengan nyeri tenggorok dan kesulitan menelan. Diagnosa pasti
berdasarkan pada pemeriksaan serologi, hapusan jaringan/kultur, X
ray dan biopsi.
3. Tumor tonsil
2.8 Komplikasi
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke
daerah sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari
tonsil. Adapun berbagai komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai
berikut :8
1. Komplikasi sekitar tonsil
a. Peritonsilitis
Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya
trismus dan abses.
b. Abses Peritonsilar (Quinsy)
Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber
infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami
supurasi, menembus kapsul tonsil dan penjalaran dari infeksi gigi.
c. Abses Parafaringeal
Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah
bening/pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring,
sinus paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, mastoid dan os
petrosus.
d. Abses retrofaring
Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya
terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang
retrofaring masih berisi kelenjar limfe.
e. Krista Tonsil
Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh
jaringan fibrosa dan ini menimbulkan krista berupa tonjolan pada
tonsil berwarna putih/berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel.
8
f. Tonsilolith (kalkulus dari tonsil)
Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam
jaringan tonsil membentuk bahan keras seperti kapur.
2. Komplikasi ke organ jauh :
a. Demam rematik dan penyakit jantung rematik
b. Glomerulonefritis
c. Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
d. Psoriasis, eritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura
e. Artritis dan fibrositis
2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Terapi Medikamentosa
Penatalaksanaan medis termasuk pemberian antibiotika penisilin
yang lama, irigasi tenggorokan sehari-hari dan usaha untuk
membersihkan kripta tonsilaris dengan alat irigasi gigi (oral). Ukuran
jaringan tonsil tidak mempunyai hubungan dengan infeksi kronis atau
berulang-ulang.8
2.9.2 Tindakan Operatif
Tonsilektomi merupakan suatu prosedur pembedahan yang
diusulkan oleh Celsus dalam buku De Medicina (tahun 10 Masehi).
Jenis tindakan ini juga merupakan tindakan pembedahan yang pertama
kali didokumentasikan secara ilmiah oleh Lague dari Rheims (1757).8
1) Indikasi tonsilektomi menurut The American Academy of
Otolaryngology, Head and Neck Surgery : 8
Indikasi absolut:
a) Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan
nafas atas, disfagia menetap, gangguan tidur atau
komplokasi kardiopulmunar
b) Abses peritonsil yang tidak respon terhadap pengobatan
medis
c) Tonsilitis yang menimbulkan febris dan konvulsi
9
d) Biopsi untuk menentukan jaringan yang patologis
(dicurigai keganasan)
Indikasi relatif
a) Penderita dengan infeksi tonsil yang kambuh 3 kali atau
lebih dalam setahun meskipun dengan terapi yang
adekuat
b) Bau mulut atau bau nafas yang menetap yang
menandakan tonsilitis kronis tidak responsif terhadap
terapi media
c) Tonsilitis kronis atau rekuren yang disebabkan kuman
streptococus yang resisten terhadap antibiotik
betalaktamase
d) Pembesaran tonsil unilateral yang diperkirakan
neoplasma
Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa
harus dibedakan apakah mereka mutlak memerlukan operasi
tersebut atau hanya sebagai kandidat. Dugaan keganasan dan
obstruksi saluran nafas merupakan indikasi absolut untuk
tonsilektomi. Tetapi hanya sedikit tonsilektomi pada dewasa yang
dilakukan atas indikasi tersebut, kebanyakan karena infeksi kronik.
Obstruksi nasofaringeal dan orofaringeal yang berat sehingga boleh
mengakibatkan terjadinya gangguan apnea ketika tidur merupakan
indikasi absolut untuk pembedahan. Pada kasus yang ekstrim,
obstructive sleep apnea ini boleh menyebabkan hipoventilasi
alveolar, hipertensi pulmonal dan kardiopulmoner.8
2) Kontraindikasi dari tonsilektomi adalah :
Kontraindikasi relatif
a) Palatoschizis
b) Radang akut, termasuk tonsilitis
c) Poliomyelitis epidemica
10
d) Umur kurang dari 3 tahun
Kontraindikasi absolut
a) Diskariasis darah, leukemia, purpura, anemia aplastik,
hemofilia
b) Penyakit sistemis yang tidak terkontrol : DM, penyakit
jantung, dan sebagainya.
a. Teknik operasi
Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah
sampai sekarang masih menjadi kontroversi, masing-masing teknik
memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyembuhan luka pada
tonsilektomi terjadi per sekundam. Pemilihan jenis teknik operasi
difokuskan pada morbiditas seperti nyeri, perdarahan perioperatif dan
pasca operatif serta durasi operasi. Beberapa teknik tonsilektomi dan
peralatan baru ditemukan disamping teknik tonsilektomi standar.10
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan
saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi . Beberapa teknik
tonsilektomi diantaranya :10
1) Guillotine
Tonsilektomi guillotine dipakai untuk mengangkat tonsil secara
cepat dan praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine
digunakan untuk melepas tonsil beserta kapsul tonsil dari fosa
tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak seluruhnya
terangkat atau timbul perdarahan yang hebat.
2) Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode
diseksi. Metode pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel
dan dilakukan dalam anestesi. Tonsil digenggam dengan
menggunakan klem tonsil dan ditarik kearah medial, sehingga
menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan menggunakan sickle
knife dilakukan pemotongan mukosa dari pilar tersebut.
11
3) Teknik elektrokauter
Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil
disertai kauterisasi untuk mengontrol perdarahan. Pada bedah
listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik untuk
menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio yang digunakan
dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0,1 hingga 4 Mhz.
Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya
gangguan konduksi saraf atau jantung.
4) Radiofrekuensi
Pada teknik ini radiofrekuensi elektrode disisipkan langsung
kejaringan. Densitas baru disekitar ujung elektroda cukup tinggi
untuk membuka kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan
panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak
mengecil dan total volume jaringan berkurang.
5) Skapel harmonik
Skapel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk
memotong dan mengkoagulasi jaringan dengan kerusakan
jaringan minimal.
6) Teknik Coblation
Coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang
untuk karena dapat memanfaatkan plasma atau molekul sodium
yang terionisasi untuk mengikis jaringan. Mekanisme kerja dari
coblation ini adalah menggunakan energi dari radiofrekuensi
bipolar untuk mengubah sodium sebagai media perantara yang
akan membentuk kelompok plasma dan terkumpul disekitar
elektroda. Kelompok plasma tersebut akan mengandung suatu
partikel yang terionisasi dan kandungan plasma dengan partikel
yang terionisasi yang akan memecah ikatan molekul jaringan
tonsil. Selain memecah ikatan molekuler pada jaringan juga
menyebabkan disintegrasi molekul pada suhu rendah yaitu 40-
70%, sehingga dapat meminimalkan kerusakan jaringan sekitar.
12
7) Intracapsular partial tonsillectomy
Intracapsular tonsilektomi merupakan tonsilektomi parsial yang
dilakukan dengan menggunakan microdebrider endoskopi.
Microdebrider endoskopi bukan merupakan peralatan ideal untuk
tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain yang dapat
menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam membersihkan
jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya.
8) Laser (CO2-KTP)
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP
(Potassium Titanyl Phosphat) untuk menguapkan dan mengangkat
jaringan tonsil. Teknik ini mengurangi volume tonsil dan
menghilangkan reses pada tonsil yang menyebabkan infeksi
kronik dan rekuren.
b. Komplikasi Tonsilektomi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan
anestesi lokal maupun umum, sehingga komplikasi yang ditimbulkan
merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi.9.10
1) Komplikasi anestesi
Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan
pasien. Komplikasi yang dapat ditemukan berupa :
Laringospasme
Gelisah pasca operasi
Mual muntah
Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan
hipotensi dan henti jantung
Hipersensitif terhadap obat anestesi.
2) Komplikasi bedah
13
Perdarahan
Perdarahan dapat terjadi selama operasi,segera sesudah
operasi atau di rumah. Kematian akibat perdarahan terjadi
pada 1:35.000 pasien. sebanyak 1 dari 100 pasien kembali
karena perdarahan dan dalam jumlah yang sama
membutuhkan transfusi darah.
Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan
serabut saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan
spasme otot faringeus yang menyebabkan iskemia dan
siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh
mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.
Komplikasi lain
Demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara
(1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula,
insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi dibibir,
lidah, gigi dan pneumonia.
14
BAB III
KESIMPULAN
Tonsilitis Kronis adalah peradangan kronis Tonsil setelah serangan akut
yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilitis berulang
terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil
tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan terlihat
membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan
apabila tonsil ditekan keluar detritus.
Secara klinis pada tonsilitis kronik didapatkan gejala berupa nyeri
tenggorok atau nyeri telan ringan, mulut berbau, badan lesu, sering
mengantuk, nafsu makan menurun, nyeri kepala dan badan terasa meriang.
Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan
pengangkatan tonsil (Adenotonsilektomi). Tindakan ini dilakukan pada
kasus-kasus dimana penatalaksanaan medis atau terapi konservatif yang gagal
untuk meringankan gejala-gejala. Indikasi tonsilektomi pada tonsilitis kronik
adalah jika sebagai fokus infeksi, kualitas hidup menurun dan menimbulkan
rasa tidak nyaman.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Notosiswoyo M, Martomijoyo R, Supardi S, Riyadina W. Pengetahuan dan
Perilaku Ibu / Anak Balita serta persepsi masyarakat dalam kaitannya dengan
penyakit ISPA dan pnemonia. Bul. Penelit. Kes. 2003; 31:60-71.
2. Vetri RW, Sprinkle PM., Ballenger JJ. Etiologi Peradangan aluran Nafas
Bagian Atas Dalam : Ballenger JJ. Ed. Penyakit telinga, hidung, tenggorok,
kepala dan leher. Edisi 13. Bahasa Indonesia, jilid I. Jakarta: Binarupa Aksara;
1994 : 194-224.
3. Suwento R. Epidemiologi Penyakit THT di 7 Propinsi. Kumpulan makalah dan
pedoman kesehatan telinga. Lokakarya THT Komunitas. PIT PERHATI-KL,
Palembang, 2001: 8-12.
4. Aritomoyo D. Insiden tonsilitis akuta dan kronika pada klinik THT RSUP Dr.
Kariadi Semarang, Kumpulan naskah ilmiah KONAS VI PERHATI,
Medan, 1980: 249-55.
5. Udaya R, Sabini TB. Pola kuman aerob dan uji kepekaannya pada apus tonsil
dan jaringan tonsil pada tonsilitis kronis yang mengalami tonsilektomi.
Kumpulan naskah ilmiah KONAS XII PERHATI, Semarang:BP
Undip;1999: 193-205.
6. Jackson C, Jackson CL. Disease of the Nose, Throat and Ear, 2 Nd ed..
Philadelphia: WB Saunders Co; 1959: 239-57.
7. Lipton AJ. Obstructive sleep apnea syndrome
:http://www.emedicine.com/ped/topic 1630.htm.2002.
8. Franco RA, Rosenfeld RM. Quality of life for children with obstructive
sleep apnea. Otolaryngol. Head and Neck Surgery. 2000; 123:9-16
9. Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Fundamentals of
Otolaryngology. th Ed. Edisi Bahasa Indonesia, EGC, Jakarta, 2001; 263-368
16
10. Soepardi AE.dr, Iskandar N.Dr.Prof, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher, FKUI, Jakarta, 2001; 180-183
17