referat tifoid.doc

28
BAB I PENDAHULUAN Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah. Gambaran klinis demam tifoid seringkali tidak spesifik sehingga dalam penegakan diagnosis diperlukan konfirmasi pemeriksaan laboratorium. 1 Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 1

description

interna

Transcript of referat tifoid.doc

Page 1: referat tifoid.doc

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama

terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan

masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan

penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene

industri pengolahan makanan yang masih rendah. Gambaran klinis demam tifoid seringkali tidak

spesifik sehingga dalam penegakan diagnosis diperlukan konfirmasi pemeriksaan laboratorium.1

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus

demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan

sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/

tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.

Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan

khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan sanitasi

karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi demam tifoid.

(Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan

menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi.

Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling)

minuman/makanan.2

BAB II

1

Page 2: referat tifoid.doc

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

dan Salmonella paratyphi yang masuk ke dalam tubuh manusia. Demam tifoid merupakan

penyakit yang mudah menular dan menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan

wabah. Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang

biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada

saluran cerna, dan gangguan kesadaran.1

2.2 Epidemiologi

Pada beberapa dekade terakhir demam tifoid jarang terjadi di negara industri. Namun,

tetap menjadi masalah kesehatan serius di sebagian wilayah dunia seperti Uni Soviet, India,

Asia Tenggara, Amerika Selatan, dan Afrika. Menurut WHO, diperkirakan terjadi 16 juta kasus

per tahun dan 600 ribu berakhir kematian. Sekitar 70% dari seluruh kasus kematian itu menimpa

penderita demam tifoid di Asia

Pada tahun 2000 insidensi demam tifoid di Amerika Latin sebesar 53 per 100 ribu

penduduk dan di Asia Tenggara sebesar 110 per 100 ribu penduduk. Di Indonesia demam tifoid

dapat ditemukan sepanjang tahun. Etiologi utama di Indonesia adalah Salmonella subspesies

enterika serovar typhi dan paratyphi A. CDC Indonesia melaporkan insidensi demam tifoid

mencapai 358-810 per 100 ribu populasi pada tahun 2007 dengan 64% ditemukan pada usia 3-19

tahun dan angka mortalitas antara 3,1-10,4% pada pasien rawat inap.3

Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan nyata antara

insidensi pada laki-laki maupun perempuan. Insidensi penderita demam tifoid dengan usia 12-30

tahun sekitar 70-80%, usia 31-40 tahun sekitar 10-20%, dan usia > 40 tahun sekitar 5-10%.

2.3 Etiologi

Demam tifoid disebabkan bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi dari genus

Salmonella. Kuman ini berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk spora, motil,

berkapsul, dan mempunyai flagela (rambut getar). Kuman ini tumbuh dalam suasana aerob dan

fakultatif anaerob pada suhu 15-41o C (suhu pertumbuhan optimal 37o C) serta pH pertumbuhan

6-8. Kuman ini bertahan hidup beberapa minggu di alam bebas seperti di air, es, sampah, dan

2

Page 3: referat tifoid.doc

debu serta hidup subur pada medium yang mengandung garam empedu. Kuman ini mati dengan

pemanasan (suhu 60o C) selama 15-20 menit, pasteurisasi, pendidihan, dan khlorinisasi.4

Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen yaitu:

1. Antigen O (antigen somatik) terletak pada lapisan luar kuman. Bagian ini mempunyai

struktur kimia lipopolisakarida atau endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan

alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.

2. Antigen H (antigen flagela) terletak pada flagela, fimbria, atau fili dari kuman. Antigen

ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak

tahan terhadap panas dan alkohol.

3. Antigen Vi terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat melindungi kuman

terhadap fagositosis.

Antigen tersebut di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pembentukan 3 macam antibodi

yang lazim disebut aglutinin.

Gambar 2.1 Bakteri Salmonella Typhi

2.4 Faktor Risiko

Perbedaan insiden demam tifoid di daerah perkotaan biasanya terkait dengan penyediaan

air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang

kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan. Karena itu, faktor risiko terkenanya demam

tifoid adalah bagi individu yang tinggal di lingkungan dengan sanitasi yang kurang baik dan

mengalami kontak langsung dengan orang yang merupakan karier tifoid.

3

Page 4: referat tifoid.doc

Basil salmonella menular manusia ke manusia melalui makanan dan minuman. Jadi

makanan dan minuman yang di konsumsi manusia telah tercemar oleh komponen feses atau urin

dari pengidap tifoid. Beberapa kondisi kehidupan menusia yang sangat berperan adalah :

1. Hygiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak terbiasa. Hal ini

jelas pada anak-anak, penyaji makanan serta pengasuh anak.

2. Hygiene makanan dan minuman yang rendah . faktor ini paling berperan pada penularan

tifoid. Banyak sekali contoh diantaranya : makanan yang dicuci dengan air yang

terkontaminasi (seperti sayur-sayuran dan buah-buahan), sayuran yang dipupuk dengan tinja

manusia, makanan yang tercemar dengan debu, sampah atau dihinggapi lalat, air minum

yang tidak dimasak, dan sebagainya.

3. Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kecuali sampah yang tidak

memenuhi syarat-syarat kesehatan.

4. Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai.

5. Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat.

6. Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna.

7. Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid.

2.5 Patogenesis

Penularan demam tifoid adalah secara feko-oral dan banyak terdapat di masyarakat

dengan higien dan sanitasi yang kurang baik. Bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi

masuk ke tubuh manusia melalui makanan atau minuman yang tercemar dan dapat juga melalui

kontak langsung dengan jari penderita yang terkontaminasi feses, urin, sekret saluran napas, atau

pus. Selain itu, transmisi juga dapat terjadi secara transplasental dari ibu hamil ke janin.

Sebagian kuman dihancurkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan

berkembang biak.

Di usus diproduksi IgA sekretorik sebagai imunitas humoral lokal yang berfungsi untuk

mencegah melekatnya kuman pada mukosa usus. Sedangkan untuk imunitas humoral sistemik

diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis kuman oleh makrofag. Imunitas seluler

sendiri berfungsi untuk membunuh kuman intraseluler.3

Jika respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik, kuman akan menembus sel-

sel epitel terutama sel M dan lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan

4

Page 5: referat tifoid.doc

difagosit oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag.

Selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum distal dan ke kelenjar limfe mesenterika. Melalui

duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag masuk ke sirkulasi darah

(mengakibatkan bakterimia ke-1 yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ

retikuloendotelial tubuh terutama hepar, lien, dan sumsum tulang. Di organ-organ ini kuman

meninggalkan sel-sel fagosit dan berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid kemudian

masuk ke sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia ke-2 dengan disertai tanda dan

gejala klinis.2

Namun, sebagian lagi masuk ke kandung empedu dan berkembang biak kemudian

disekresikan secara intermiten bersama cairan empedu ke lumen usus, sebagian keluar bersama

feses, dan sebagian lagi menembus usus kembali dan difagosit oleh makrofag yang sudah

teraktivasi dan hiperaktif sehingga melepaskan sitokin reaksi inflamasi sistemik. Oleh karena itu

timbul demam, sakit kepala, sakit perut, mialgia, malaise, instabilitas vaskuler, gangguan

koagulasi, dan gangguan kesadaran. Setelah sampai di plaque peyeri, makrofag hiperaktif

sehingga timbul reaksi hiperplasia jaringan dan perdarahan saluran cerna (erosi vaskuler di

sekitar plaque peyeri). Jika kuman terus menembus lapisan usus hingga lapisan otot dan serosa

usus, dapat mengakibatkan perforasi.

Kuman juga mengeluarkan endotoksin yang dapat menempel di reseptor sel endotel

kapiler sehingga dapat timbul komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular,

pernapasan, dan lain-lain. Kuman dapat menetap atau bersembunyi pada 1 tempat dalam tubuh

penderita. Hal ini mengakibatkan terjadinya relaps atau karier.

5

Page 6: referat tifoid.doc

2.6 Manifestasi Klinis

Masa inkubasi demam tifoid sekitar 10-14 hari, rata-rata 2 minggu. Spektrum klinis

demam tifoid tidak khas dari asimtomatik atau ringan seperti panas disertai diare sampai dengan

klinis yang berat seperti panas tinggi, gejala septik, ensefalopati, atau timbul komplikasi

gastrointestinal berupa perdarahan dan perforasi usus. Hal ini mempersulit penegakkan diagnosis jika

hanya berdasarkan gambaran klinisnya.

Demam merupakan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita demam tifoid.

Demam dapat muncul tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai

septikemia karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada Salmonella typhi. Menggigil tidak

biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada malaria. Namun, demam tifoid dan malaria dapat

timbul bersamaan pada 1 penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat

6

Page 7: referat tifoid.doc

menyerupai gejala meningitis. Nyeri perut kadang tidak dapat dibedakan dengan apendiksitis. Pada

tahap lanjut dapat muncul gejala peritonitis akibat perforasi usus.

Minggu ke-1 penderita mengalami demam (suhu berkisar 39-40 oC), nyeri kepala,

epistaksis, batuk, anoreksia, mual, muntah, konstipasi, diare, nyeri perut, nyeri otot, dan malaise.

Minggu ke-2 pasien mengalami demam, lidah khas berwarna putih (lidah kotor),

bradikardia relatif, hepatomegali, splenomegali, meteorismus, dan bahkan gangguan kesadaran

(delirium, stupor, koma, atau psikosis).

Demam pada demam tifoid umumnya berangsur-angsur naik selama minggu ke-1,

terutama sore dan malam hari (febris remiten). Pada minggu ke-2 dan ke-3 demam terus-

menerus tinggi (febris kontinyu) kemudian turun secara lisis. Demam tidak hilang dengan

antipiretik, tidak menggigil, tidak berkeringat, dan kadang disertai epistaksis. Gangguan

gastrointestinal meliputi bibir kering dan pecah-pecah disertai lidah kotor, berselaput putih, dan

tepi hiperemis. Perut agak kembung dan mungkin nyeri tekan. Lien membesar, lunak, dan nyeri

tekan. Pada awal penyakit umumnya terjadi diare kemudian menjadi obstipasi.

2.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk demam tifoid meliputi pemeriksaan hematologi, urinalisis,

kimia klinis, imunoserologi, mikrobiologi, dan biologi molekuler. Pemeriksaan ini untuk

membantu menegakkan diagnosis, menentukan prognosis, serta memantau perjalanan penyakit,

hasil pengobatan, dan timbulnya komplikasi.2

1. Hematologi

a. Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun jika terjadi komplikasi perdarahan atau

perforasi usus.

b. Hitung leukosit rendah (leukopenia) tetapi dapat normal atau tinggi.

c. Hitung jenis neutrofil rendah (neutropenia) dengan limfositosis relatif.

d. Laju endap darah (LED) meningkat.

e. Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia).

2. Urinalisis

a. Protein bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam).

b. Leukosit dan eritrosit normal tetapi meningkat jika terjadi komplikasi.

3. Kimia klinis

7

Page 8: referat tifoid.doc

Enzim hati (SGOT dan SGPT) sering meningkat dengan gambaran radang sampai

hepatitis akut.

4. Imunoserologi

a. Widal

Widal digunakan untuk mendeteksi antibodi di dalam darah terhadap antigen bakteri

Salmonella typhi atau paratyphi (reagen). Pada uji ini hasil positif jika terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen dengan antibodi yang disebut aglutinin. Oleh karena itu,

antibodi jenis ini dikenal sebagai febrile agglutinin. Hasil uji ini dipengaruhi oleh

banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil

positif palsu dapat disebabkan pernah vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain

(Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor

reumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan sudah mendapatkan terapi

antibiotik, waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum

buruk, dan adanya penyakit imun lain.

Interpretasi hasil pemeriksaan:

1. Positif bila titer O meningkat lebih dari 1/160 atau peningkatan > 4x pada

pengambilan serum yang berangkaian.

2. Nilai O 1/80 menunjukkan suggestif tifoid. sedangkan untuk titer H nilai positif

adalah > 1/800 semua hasil tersebut dengan syarat tidak menerima vaksinasi

typhoid dalam 6 bulan terakhir.

3. Peninggian titer H > 1/160 menunjukkan bahwa penderita pernah divaksinasi

atau terinfeksi Salmonella typhi.

4. Titer Vi (antigen kapsul) meninggi pada pembawa kuman atau karier.

b. Elisa Salmonella typhi atau paratyphi lgG dan lgM

Uji ini lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji widal untuk mendiagnosis demam

tifoid. lgM positif menandakan infeksi akut sedangkan lgG positif menandakan

pernah kontak, terinfeksi, reinfeksi, atau di daerah endemik.

8

Page 9: referat tifoid.doc

5. Mikrobiologi (kultur)

Gall culture atau biakan empedu merupakan gold standard untuk demam tifoid. Jika

hasil positif, diagnosis pasti untuk demam tifoid. Jika hasil negatif, belum tentu bukan

demam tifoid karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan jumlah darah terlalu

sedikit (< dari 2 ml), darah tidak segera dimasukkan ke media gall (darah membeku

dalam spuit sehingga kuman terperangkap dalam bekuan), saat pengambilan darah

masih dalam minggu ke-1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotik, dan sudah

vaksinasi. Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu

waktu untuk pertumbuhan kuman (positif antara 2-7 hari, jika belum ada ditunggu 7 hari

lagi). Spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah kemudian untuk stadium

lanjut atau carrier digunakan urin dan feses.4

6. Biologi molekular

PCR (polymerase chain reaction) mulai banyak digunakan. Cara ini dilakukan dengan

perbanyakan DNA kuman kemudian diindentifikasi dengan DNA probe yang spesifik.

Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitivitas)

dan spesifisitas tinggi. Spesimen yang digunakan dapat berupa darah, urin, cairan tubuh

lain, dan jaringan biopsi.

2.8 Diagnosis

Diagnosis demam tifoid ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang. Diagnosis pasti dilakukan dengan cara menguji sampel feses atau darah untuk

mendeteksi adanya bakteri Salmonella sp dengan membiakkan pada 14 hari awal setelah

terinfeksi.(5)

Selain itu, tes widal (aglutinin O dan H) mulai positif pada hari ke-10 dan titer akan

meningkat sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan tes widal selang 2 hari jika peningkatan

aglutinin progresif (di atas 1/200) menunjukkan diagnosis positif dari infeksi aktif demam tifoid.

Biakan feses dilakukan pada minggu ke-2 dan ke-3 serta biakan urin pada minggu ke-3 dan ke-4

dapat mendukung diagnosis dengan ditemukannya bakteri Salmonella.

Gambaran darah juga membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat leukopenia

polimorfonuklear (PMN) dengan limfositosis relatif pada hari ke-10 dari demam, arah demam

tifoid menjadi jelas. Jika terjadi leukositosis PMN, berarti terdapat infeksi sekunder kuman di

9

Page 10: referat tifoid.doc

dalam lesi usus. Peningkatan cepat dari leukositosis PMN waspada akan terjadinya perforasi

usus. Tidak mudah mendiagnosis karena gejala yang timbul tidak khas. Ada penderita yang

setelah terpapar kuman hanya mengalami demam kemudian sembuh tanpa diberi obat. Hal itu

dapat terjadi karena tidak semua penderita yang secara tidak sengaja menelan kuman langsung

sakit, tergantung dari banyaknya kuman dan imunitas seseorang. Jika kuman hanya sedikit yang

masuk saluran cerna, dapat langsung dimatikan oleh sistem imun.

2.9 Tatalaksana

Tatalaksana umum, asuhan keperawatan, dan asupan gizi merupakan aspek penting dalam

pengobatan demam tifoid selain pemberian antibiotik. Tatalaksana demam tifoid meliputi:(5,8)

1. Tirah baring

Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat tidur seperti makan, minum,

mandi, buang air kecil, maupun buang air besar dapat mempercepat penyembuhan.

Kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai juga perlu dijaga.

Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi, dan

pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau ±

14 hari. Tirah baring bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan atau

perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan bertahap sesuai dengan pulihnya kekuatan

pasien.

Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuh harus diubah pada waktu tertentu

untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan

buang air kecil harus diperhatikan karena kadang terjadi obstipasi dan retensi urin.

2. Managemen nutrisi

Penderita demam tifoid selama menjalani perawatan dianjurkan mengikuti petunjuk diet

berikut:

a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin, dan protein.

b. Tidak mengandung banyak serat.

c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.

d. Makanan lunak diberikan selama istirahat.

10

Page 11: referat tifoid.doc

Makanan rendah serat bertujuan untuk membatasi volume feses dan tidak merangsang

saluran cerna. Pemberian bubur ditujukan untuk menghindari terjadinya komplikasi

perdarahan atau perforasi usus.

3. Managemen medis

Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala seperti demam, diare,

obstipasi, mual, muntah, dan meteorismus. Jika obstipasi > 3 hari, perlu dibantu dengan

parafin atau lavase dengan glistering. Obat laksansia atau enema tidak dianjurkan

karena dapat mengakibatkan perdarahan maupun perforasi usus.

Pengobatan suportif diberikan untuk memperbaiki keadaan penderita seperti

pemberian cairan dan elektrolit jika terjadi gangguan keseimbangan cairan. Penggunaan

kortikosteroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid (disertai gangguan kesadaran

dengan atau tanpa kelainan neurologis dan hasil pemeriksaan CSF dalam batas normal)

atau demam tifoid yang mengalami syok septik. Regimen yang digunakan adalah

deksametason dengan dosis 3 x 5 mg. Pada anak digunakan deksametason intravena

dengan dosis 3 mg/kg BB dalam 30 menit sebagai dosis awal dilanjutkan dengan 1 mg/kg

BB tiap 6 jam hingga 48 jam.

Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya penyebaran kuman. Antibiotik yang

dapat digunakan dalam demam tifoid yaitu:

a. Kloramfenikol.

Drug of Choice adalah Chloramfenicol dengan dosis 4 x 500 mg/hari selama 7 hari

afebris atau sampai 1 minggu bebas demam. Suntik intramuskuler tidak dianjurkan

karena dapat terjadi hidrolisis ester dan tempat suntikan terasa nyeri. Tingginya angka

kekambuhan (10-25%), masa penyakit memanjang, karier kronis, depresi sumsum

tulang (anemia aplastik), dan angka mortalitas yang tinggi merupakan perhatian yang

perlu terhadap kloramfenikol. Kekambuhan dapat diobati dengan obat yang sama.

Penurunan demam terjadi pada hari ke-5.

Kontra indikasi :

11

Page 12: referat tifoid.doc

Tidak boleh diberikan pada wanita hamil trisemester 3.

Grey baby syndrome.

Partus premature.

Kematian intrauterine (IUFD)

Menyebabkan depresi sumsum tulang, sehingga tidak boleh berikan pada

pasien dengan keadaan leukopenI

Pengobatan dianggap gagal (chloramfenicol resisten) bila dalam 10 hari pemberian

pasien tetap demam, gunakan antibiotik yang lain.

b. Tiamfenikol

Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan

kloramfenikol tetapi komplikasi hematologi seperti anemia aplastik lebih rendah

dibandingkan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol 4 x 500 mg. Demam menurun pada

hari ke-6.

c. Ampisilin dan kotrimoksazol

Efektivitas obat ini hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis orang dewasa 2 x 2

tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan trimetoprin 80 mg)

diberikan selama 2 minggu. Diberikan karena meningkatnya angka mortalitas akibat

resistensi kloramfenikol. Munculnya strain Salmonella typhi MDR menjadikan

ampisilin dan kotrimoksazol resisten.

d. Kuinolon

Kuinolon mempunyai aktivitas tinggi terhadap Salmonella in vitro serta mencapai

konsentrasi tinggi di usus dan lumen empedu. Siprofloksasin mempunyai efektivitas

tinggi terhadap strain Salmonella typhi MDR dan tidak menyebabkan karier. Kuinolon

yang dapat digunakan untuk demam tifoid meliputi:

1) Norfloksasin dosis 2 x 400 mg per hari selama 14 hari.

2) Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg per hari selama 6 hari.

3) Ofloksasin dosis 2 x 400 mg per hari selama 7 hari.

12

Page 13: referat tifoid.doc

4) Pefloksasin dosis 400 mg per hari selama 7 hari.

5) Fleroksasin dosis 400 mg per hari selama 7 hari.

Demam umumnya lisis pada hari ke-3 atau ke-4. Penurunan demam sedikit lambat

pada penggunaan norfloksasin.

e. Sefalosporin generasi III

Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi III yang terbukti efektif untuik demam

tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam

dekstrosa 100 cc selama 30 menit per infus 1 x diberikan 3-5 hari.

f. Kombinasi antibiotik

Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu seperti

toksik tifoid, peritonitis, perforasi, dan syok septik di mana pernah terbukti ditemukan

2 macam organisme dalam kultur darah selain bakteri Salmonella typhi. Kepekaan

kuman terhadap antibiotik yaitu:

1) Ampisilin, amoksisilin, sulfametoksazol, dan trimetoprin mempunyai kepekaan

95,12%.

2) Sisanya seperti kloramfenikol mempunyai kepekaan 100%. 11,12

g. Obat untuk Ibu Hamil

Pengobatan demam tifoid pada wanita hamil, memerlukan perhatian khusus.

Tiamfenikol tidak boleh diberikan pada trimester pertama Karena kemungkinan

efek teratogenik terhadap fetus manusia belum dapat disingkirkan, pada

kehamilam lebih lanjut tiamfenikol baru dapat digunakan. Kloramfenikol tidak

dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dikhawatirkan dapat terjadi

13

demam tifoid

tanpa

komplikasi

sensitif à fluorokuinolon (ofloksasin, siprofloksasin) 5-7 hari

MDR à fluorokuinolon 5-7 hari atau sefiksim 7-14 hari

resisten kuinolon à azitromisin 7 hari atau seftriakson 10-14 hari

demam tifoid

dengan

komplikasi

sensitif à fluorokuinolon (ofloksasin) 10-14 hari

MDR à fluorokuinolon (ofloksasin) 10-14 hari

resisten kuinolon à azitromisin 7 hari atau seftriakson 10-14 hari

Page 14: referat tifoid.doc

partus premature, kematian fetus intrauterine, dan grey syndrome pada neonatus.

Obat golongan fluorokuinolon maupun kotrimoksazol tidak boleh digunakan

untuk mengobati demam tifoid pada ibu hamil. Obat yang dianjurkan adalah

ampisilin, amoksisilin, dan seftriakson.

2.10 Komplikasi

Komplikasi yang dapat timbul akibat demam tifoid yaitu:

1. Intestinal

a. Perdarahan usus

Pada plaque peyeri yang terinfeksi (ileum terminalis) dapat terbentuk tukak. Jika

tukak menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah, terjadi perdarahan. Jika

tukak menembus dinding usus, terjadi perforasi. Perdarahan juga dapat terjadi karena

gangguan koagulasi darah (DIC). Sekitar 25% penderita mengalami perdarahan minor

yang tidak membutuhkan transfusi darah. Namun, perdarahan hebat dapat terjadi

hingga penderita mengalami syok. Jika transfusi dapat mengimbangi perdarahan yang

terjadi, biasanya perdarahan ini merupakan suatu proses self limiting yang tidak perlu

bedah.

b. Perforasi usus

Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu

ke-3 tetapi dapat juga terjadi pada minggu ke-1. Penderita demam tifoid dengan

perforasi mengeluh nyeri perut hebat terutama di kuadran kanan bawah yang

menyebar ke seluruh perut dan disertai tanda ileus. Peristaltik melemah pada 50%

penderita dan pekak hepar kadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas di

abdomen. Tanda perforasi lain adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan

syok.

Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi. Jika pada

foto polos abdomen 3 posisi ditemukan udara pada rongga peritoneum, hal ini

merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam

tifoid.

2. Miokarditis dan endokarditis

14

Page 15: referat tifoid.doc

Didapatkan pada 1-5% kasus demam tifus. Biasanya miokarditis dan endokarditis akibat demam

tifus akan menyebabkan kematian. tanda klinis yang terlihat berupa :

1. Takikardia.

2. Nadi kecil dan lemah.

3. Bunyi jantung redup.

4. Gallop rhythm.

5. Tekanan darah turun atau peningkatan tekanan vena tanpa ada gejala dekompresi lain.

3. Kolesistitis

Kantung empedu, merupakan sumber kuman yang dapat tetap utuh, dapat terjadi kolesistitis akut

terutama pada wanita tua dan gemuk. Karier sering terjadi pada penderita dengan kolesistitis

kronik dan batu empedu. Meteorismus, harus hati-hati untuk tanda perforasi/adanya perdarahan

pada usus.

4. Thypoid toxic

Secara klinis terjadi perubahan mental yang terdiri dari disorientasi, kebingungan, delirium > 5

hari, yang dapat diikuti dengan/tanpa munculnya gejala neurologis : afasia, ataxia, perubahan

refleks, konvulsi dan lain-lainnya. Thypoid toxic dapat dibagi menjadi :

Meningocerebral

– Demam > 6 hari dan menjadi delirium, setengah sadar atau tidak sadar.

– Selalu ada kaku kuduk.

– Tanda Kernig dapat positif atau negatif.

– Refleks tendo menjadi meninggi terutama APR.

– Liquor cerebro spinal normal.

– Prognosa: dapat sembuh sempurna.

Ensefalitis difus

– Demam tinggi diikuti penurunan kesadaran.

– Refleks tendo dapat positif atau menurun, refleks dinding perut negatif.

– Rangsang meningen negatif.

– Setelah berlangsung lebih dari 1 minggu akan sembuh sempurna.

Ensefalitis akut

– Tiba-tiba hiperpireksia.

– Tidak sadar dan kejang umum 24 jam setelah onset.

– Bisa timbul kejang ulang.

15

Page 16: referat tifoid.doc

– Prognosa : buruk.

Meningitis akut

– Liquor cerebro spinal : jernih dengan pleositosis ringan.

– Elektroensefalografi : gambaran encephalopati.

Bisa terjadi karena dikaitkan dengan sistem imunologis atau kekebalan seseorang.

Dapat dikaitkan pula dengan kepribadian seseorang, orang yang gampang histeris, akan lebih

gampang jatuh ke dalam toxic typhoid.

Pasien dalam keadaan delirium / bicara ngaco / berteriak-teriak dan mengalami agitasi.

Terdapat gerakan-gerakan seperti menarik-narik seprei.

5. Hepatitis typhosa

Ikterus ringan dapat muncul pada penderita demam enterik yang mungkin disebabkan oleh

hepatitis, kolangitis, kolesistitis dan hemolisis. Pada biopsi hepar didapatkan hepatosit yang

membengkak, terdegradasi dan terdapat vakuol. Dan terdapat “typhoid nodules”.

6. Respirasi

Gejala yang akan timbul seperti batuk dan bronkitis ringan. Gangguan respirasi yang diakibatkan

oleh toksikemi pada demam tifus terdapat pada 11-86% kasus. Bronkopneumoni dan pnemonia

lobaris jarang ditemukan.

2.11 Pencegahan

Pencegahan juga dapat dilakukan melalui pemberian vaksin. Vaksin untuk demam tifoid

pertama kali ditemukan tahun 1896 dan setelah tahun 1960 efektifitas vaksin telah ditegakkan,

keberhasilan proteksi senesar 51-88% (WHO). Vaksinasi tifoid belum dianjurkan rutin di USA

ataupun di daerah lain. Indikasi pemberian vaksin ini adalah bila:

a. Hendak mengunjungi daerah endemic, risiko terserang demam tifoid semakin tinggi

untuk daerah berkembang (Amerika Latin, Asia, Afrika)

a. Orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid.

b. Petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.

2.12 Prognosis

16

Page 17: referat tifoid.doc

Prognosis demam tifoid tergantung dari usia, keadaan umum, status imunitas, jumlah dan

virulensi kuman, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Prognosis buruk jika terdapat gejala klinis

yang berat seperti hiperpireksia atau febris kontinyu, kesadaran menurun, malnutrisi, dehidrasi,

asidosis, peritonitis, bronkopneumonia, dan komplikasi lain. Di negara maju dengan terapi

antibiotik yang adekuat angka mortalitas < 1%. Di negara berkembang angka mortalitas > 10%,

biasanya disebabkan keterlambatan diagnosis dan pengobatan. Angka mortalitas pada anak-anak

2,6% dan pada orang dewasa 7,4% dengan rata-rata 5,7%.

Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan bakteri Salmonella typhi ≥ 3

bulan setelah infeksi umumnya manjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak

rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronis terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam

tifoid.

17

Page 18: referat tifoid.doc

BAB III

KESIMPULAN

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama

terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan

masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan

penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene

industri pengolahan makanan yang masih rendah. Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui

berbagai cara: umum dan khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan

higiene dan sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi

demam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga

kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar

Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual

(keliling) minuman/makanan.

18

Page 19: referat tifoid.doc

DAFTAR PUSTAKA

1. Brusch JL. Typhoid Fever. Accessed on March 1st 2014. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/231135-overview.

2. Djoko Widodo. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV.

Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

3. Vyas JM. Typhoid Fever. Accessed on March 1st 2014. Available at:

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001332.htm.

4. Jawetz, Melnick, Adelbergh’s.. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta:

Salemba Medika. 2005.

5. Bhutta Zulfiqar A. Current concepts in the diagnosis and treatment of

typhoid fever. BMJ. 2006;333;78-72.

19