Referat Rhinosinusitis

45
BAB I PENDAHULUAN Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering didunia. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69 % nya adalah sinusitis. Manusia mempunyai beberapa rongga di sepanjang atap dan bagian lateral rongga hidung. Rongga rongga ini diberi nama sinus yang kemudian diberi nama sesuai dengan letaknya : sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dansinus ethmoidalis (sinus paranasalis). Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi dan mampu menghasilkan mukus dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat, sinister utama berisi udara. Penyebab utamanya ialah infeksi virus yang kemudian diikuti oleh infeksi bakteri. Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus etmoid dan maksila. Yang berbahaya 1

Transcript of Referat Rhinosinusitis

Page 1: Referat Rhinosinusitis

BAB I

PENDAHULUAN

Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering didunia. Data

dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada

urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan

di rumah sakit.

Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh

Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data

penyakit hidung dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-

Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435

pasien, 69 % nya adalah sinusitis.

Manusia mempunyai beberapa rongga di sepanjang atap dan bagian lateral rongga

hidung. Rongga rongga ini diberi nama sinus yang kemudian diberi nama sesuai dengan

letaknya : sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dansinus ethmoidalis (sinus

paranasalis). Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami

modifikasi dan mampu menghasilkan mukus dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga

hidung. Pada orang sehat, sinister utama berisi udara.

Penyebab utamanya ialah infeksi virus yang kemudian diikuti oleh infeksi bakteri.

Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus etmoid dan maksila. Yang

berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intrakranial. Komplikasi ini

terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi yang tak dapat

dihindari.Sampai saat ini sinusitis maksila kronis masih merupakan masalah dan merupakan

subjek yang selalu diperdebatkan, baik mengenai etiologi, keluhan,diagnosis maupun

tindakan selanjutnya.

Berbagai etiologi dan faktor predisposisi berperan dalam timbulnya penyakit ini,

seperti deviasi septum, polip kavum nasi, tumor hidung dan nasofaring serta alergi.

Menurut Lucas seperti yang dikutip Moh. Zaman, etiologi sinusitis adalah sangat

kompleks. Hanya 25% disebabkan oleh infeksi, selebihnya 75% disebabkan oleh alergi dan

1

Page 2: Referat Rhinosinusitis

ketidakseimbangan pada sistem saraf otonom yang menimbulkan perubahan- perubahan pada

mukosa sinus.

Alergi adalah salah satu faktor prediposisi dalam patogenesis sinusitis maksila kronis,

yang mengakibatkan edema mukosa dan hipersekresi, keadaan ini akan menimbulkan

penyumbatan muara sinus mengakibatkan stasis sekret. Hal ini sebagai medium infeksi yang

akhirnya menyebabkan sinusitis kronis.

Penyakit alergi adalah suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan bahan

asing yang menimbulkan gejala pada orang yang berbakat atopi sedangkan pada kebanyakan

orang tidak menimbulkan reaksi apapun.

Prevalensi rinitis alergi telah diketahui bervariasi antara 5 – 10 %  penduduk di

berbagai kota di dunia. Insiden rinitis di Bandung 1,5 % , di SubBagian Alergi-Imunologi

Bagian THT FKUI/RSCM selama setahun 1992 adalah 1,14 % dan di RSUP H. Adam Malik

Medan tahun 1993-1994 sebesar 16,44%.

Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih

gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer

lebih dari satu jam dan hidung tersumbat, maka dinyatakan positif. Hampir 50 % diagnosis

rinitis alergi dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Oleh karena faktor alergi merupakan salah

satu penyebab timbulnya sinusitis maksila kronis, maka perlu dilakukan tes kulit epidermal

berupa tes kulit cukit (Prick tes, tes tusuk).

2

Page 3: Referat Rhinosinusitis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Sinusitis

Rhinosinusitis kronik didefinisikan sebagai suatu inflamasi dari hidung dan

mukosa sinus paranasal dengan durasi lebih dari 12 minggu. Sinusitis diberi nama

sesuai dengan sinus yang terkena. Bila mengenai beberapa sinus disebut

multisinusitis. Bila mengenai semua sinus paranasalis disebut pansinusitis

Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Perdefinisi, sinusitis kronis

berlangsung selama beberapa bulan atau tahun. Sinusitis kronis berbeda dari sinusitis

akut dalam berbagai aspek, umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan

medikamentosa saja. Pada sinusitis akut, perubahan patologik membrana mukosa

berupa infiltrat polimorfonuklear, kongesti vaskular dan deskuamasi epitel

permukaan, yang semuanya reversibel. Gambaran patologik sinusitis kronik adalah

kompleks dan irreversibel. Mukosa umumnya menebal, membentuk lipatan-lipatan

atau pseudopolip. Epitel permukaan tampak mengalami deskuamasi, regenerasi,

metaplasia, atau epitel biasa dalam jumlah yang bervariasi pada suatu irisan histologis

yang sama. Pembentukan mikroabses dan jaringan granulasi bersama-sama dengan 3

Page 4: Referat Rhinosinusitis

pembentukan jaringan parut. Secara menyeluruh terdapat infiltrat sel bundar dan

polimorfonuklear dalam lapisan submukosa.

Etiologi dan faktor predisposisi sinusitis kronis cukup beragam. Pada era pre-

antibiotik, sinusitis hiperplastik kronis timbul akibat sinusitis akut berulang dengan

penyembuhan yang tidak lengkap. Dalam patofisiologi sinusitis kronis beberapa

faktor ikut berperan dalam siklus peristiwa yang berulang. Polusi bahan kimia

menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa hidung. Perubahan

mukosa hidung dapat juga disebabkan oleh alergi dan defisiensi imunologik.

Perubahan mukosa hidung akan mempermudah terjadinya infeksi dan infeksi menjadi

kronis apabila pengobatan pada sinusitis akut tidak sempurna. Adanya infeksi akan

menyebabkan edema konka, sehingga drainase sekret akan terganggu. Drainase sekret

yang terganggu akan menyebabkan silia rusak dan begitu seterusnya.

Sinusitis kronik adalah sinusitis yang terjadi lebih dari 8 minggu. Pada

sinusitis kronik, rongga di sekitar lubang hidung (sinus) menjadi meradang dan

bengkak. Ini mengganggu drainase yang menyebabkan lendir menumpuk. Kondisi

umum seperti ini disebut juga rinosinusitis kronik. Daerah sekitar mata dan wajah

mungkin akan terasa bengkak, sakit wajah atau sakit kepala. Sinusitis kronik dapat

disebabkan oleh infeksi, tetapi juga dapat disebabkan oleh adanya polip hidung atau

septum hidung yang bengkok (menyimpang).

2. Anatomi Sinus Paranasal

4

Page 5: Referat Rhinosinusitis

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga

hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3 – 4 bulan, kecuali sinus

sfenoid dan sinus frontal. Sinus etmoid dan maksila telah ada sejak anak lahir,

sedangkan sinus frontalis berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang

berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8 – 10

tahun dan berasal dari bagian posterosuperior rongga hidung. Sinus – sinus ini

umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15 – 18 tahun.

Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral

rongga udara hidung; jumlah, ukuran, bentuk, dan simetri bervariasi. Sinus – sinus ini

membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah dan diberi namasesuai : sinus

maksilaris, sfenoidalis, frontalis, dan etmoidalis. Yang terakhir  biasanya berupa

kelompok – kelompok sel etmoidalis anterior dan posterior yang saling berhubungan,

masing – masing kelompok bermuara ke dalam hidung. Seluruh sinus dilapisi oleh

epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, dan mampu menghasilkan

mukus, dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat,

rongga terutama berisi udara.

Pembagian Sinus

Pembagian sinus paranasalis :

a. Sinus Maksila

5

Page 6: Referat Rhinosinusitis

Maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila

bervolume 6 – 8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya

mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk

segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa

kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding

medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita

dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila

berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris

melalui infundibulum etmoid. Suplai darah terbanyak melalui cabang dari arteri

maksilaris. Inervasi mukosa sinus melalui cabang dari nervus maksilaris. 

b. Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus,

berasal dari sel – sel resessus frontal atau dari sel – sel infundibulum etmoid. Ukuran

sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm, dan dalamnya 2 cm. Sinus

frontal biasanya bersekat – sekat dan tepi sinus berlekuk – lekuk. Sinus frontal

dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fossa serebri anterior,

sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar kedaerah ini. Sinus frontal

berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resessus frontal. Resessus frontal

adalah bagian dari sinus etmoid anterior. Suplai darah diperoleh dari arteri

supraorbital dan arteri supratrochlear yang berasal dari arteri oftalmika yang

merupakan salah satu cabang dari arteri carotis interna. Inervasi mukosa disuplai oleh

cabang supraorbital dan supratrochlear cabang dari nervus frontalis yang berasal dari

nervus trigeminus.

c. Sinus Etmoid

Pada orang dewasa sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian

posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4,5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5

cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. Sinus etmoid berongga –

rongga, terdiri dari sel – sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam

massa bagian lateral os etmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding

medial orbita. Sel – sel ini jumlahnya bervariasi antara 4 – 17sel (rata – rata 9 sel).

6

Page 7: Referat Rhinosinusitis

Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang

bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara dimeatus

superior. Sel – sel sinus etmoid anterior biasanya kecil – kecil dan banyak, letaknya

dibawah perlekatan konka media, sedangkan sel – sel sinus etmoid posterior biasanya

lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di postero-superior dari

perlekatan konka media. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang

sempit, disebut resessus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Atap sinus

etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding

lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid

dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus

sphenoid.

Suplai darah berasal dari cabang nasal dari arteri sphenopalatina.Inervasi mukosa

berasal dari divisi oftalmika dan maksilaris nervus trigeminus.

d. Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus

sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2

cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5 –

7,5 ml.

Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoid anterior dan

posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmikus, sedangkan arteri oftalmikus

berasal dari arteri karotis interna. Yang penting ialah arterisphenopalatina dan ujung

dari arteri palatina mayor.

Bagian depan dan atas dari rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari

nervus etmoid anterior yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal

dari nervus oftalmikus (nervus V – 1). Rongga hidung lainnya sebagian besar

mendapatkan persarafan sensoris dari nervus maksilla melalui ganglion

sphenopalatina. Ganglion sphenopalatina disamping memberikan persarafan sensoris

juga memberikan persarafan vasomotor/otonom pada mukosa hidung. Ganglion ini

menerima serabut – serabut sensoris dari nervus maksila (nervus V – 2), serabut

7

Page 8: Referat Rhinosinusitis

parasimpatis dari nervus petrosis superfisialis mayor, dan serabut – serabut simpatis

dari nervus petrosus profundus. Ganglion sphenopalatina terletak di belakang dan

sedikit diatas dari ujung posterior konka media

3. Fungsi Sinus Paranasal

Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain :

a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

b. Sebagai penahan suhu (thermal insulators).

c. Membantu keseimbangan kepala

d. Membantu resonansi udara

e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

f. Membantu produksi mucus

4. Patofisiologi

Dalam patogenesis penyakit alergi termasuk rinitis alergi, dapat dibedakan ke dalam

fase sensitisasi dan elisistasi yang dapat dibedakan atas tahap aktifasi dan tahap

efektor.

a. Fase sensitisasi

Semua mukosa hidung manusia terpapar oleh berbagai partikel seperti tepung sari,

debu, serpih kulit binatang dan protein lain yang terhirup bersama inhalasi udara

napas. Alergen/ antigen yang terdeposit pada mukosa hidung tersebut kemudian

diproses oleh makrofag / sel dendrit yang berfungsi sebagai fagosit dan sel penyaji

antigen (APC) menjadi peptida pendek yang terdiri dari atas 7-14 asam amino yang

berikatan dengan tempat pengenalan antigen dari komplek MHC klas II. Sel APC ini

akan mengalami migrasi ke adenoid, tonsil atau limfonodi. Pada penderita atopik,

reseptor sel T (TCR) pada limposit Tho bersama molekul CD4 dapat mengenali

peptida yang disajikan oleh sel penyaji antigen tersebut. Kontak simultan yang terjadi

8

Page 9: Referat Rhinosinusitis

antara reseptor sel T(TCR) bersama molekul CD4 dengan MHC klas II , CD28 dan

B7 serta molekul asesori pada sel T dengan ligand pada sel penyaji antigen memicu

terjadinya rangkaian aktifitas pada membran sel, sitoplasma maupun nucleus sel T

yang hasil akhirnya berupa produksi sitokin.

Paparan alergen dosis rendah yang terus-menerus pada seorang penderita yang

mempunyai bakat alergi (atopik) dan presentasi alergen oleh sel-sel penyaji antigen

(APC) kepada sel B disertai adanya pengaruh sitokin IL-4 memacu sel B untuk

memproduksi IgE yang terus bertambah jumlahnya. IgE yang diproduksi berada

bebas dalam sirkulasi dan sebagian diantaranya berikatan dengan reseptornya (FCE-

RI) dengan afinitas tinggi dipermukaan sel basofil dan sel mast. Sel mast kemudian

masuk ke venula postkapiler di mukosa yang kemudian keluar dari sirkulasi dan

berada dalam jaringan termasuk di mukosa dan sub-mukosa hidung. Dalam keadaan

ini maka seseorang dikatakan dalam keadaan sensitif atau sudah tersensitisasi. Dalam

fase ini seseorang dapat belum mempunyai gejala rinitis alergi atau penyakit yang

lain, tetapi jikadilakukan tes kulit dapat memberikan hasil yang positif.

9

Page 10: Referat Rhinosinusitis

10

Page 11: Referat Rhinosinusitis

b. Fase Elisitasi

Tahap aktifasi

Pada seorang atopik yang sudah sensitif/tersensitisasi jika terjadi paparan ulang

dengan alergen yang serupa dengan paparan alergen sebelumnya pada mukosa hidung

dapat terjadi ikatan/bridging antara dua molekul IgE yang berdekatan pada permukaan

sel mast/ basofil dengan alergen yang polivalen tersebut (cross-linking) (Suprihati,

2006). Interaksi antara IgE yang terikat pada permukaan sel mast atau basofil dengan

alergen yang sama tersebut memacu aktifasi guanosinetriphospate (GTP) binding (G)

protein yang mengaktifkan enzim phospolipase C untuk mengkatalisis

phosphatidyl inositol biphosphat (PIP2) menjadi inositol triphosphate (IP3) dan diacyl

glycerol (DAG) pada membran PIP2. Inositoltriphosphate menyebabkan pelepasan

ion kalsium intrasel (Ca++) dari reticulum endoplasma. Ion Ca++ dalam sitoplasma

langsung mengaktifkan beberapa enzim seperti phospolipase-A dan komplek Ca++-

11

Page 12: Referat Rhinosinusitis

calmodulin yang mengaktifkan enzim myosin light chain kinase. Selanjutnya Ca++

dan DAG bersama-sama dengan membran phospolipid mengaktifkan protein kinase

C. Sebagai hasil akhir aktifasi ini adalah terbentuknya mediator lipid yang tergolong

dalam newly formed mediators seperti prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien C4

(LTC-4), platelet activating factors (PAF) dan exositosis granula sel mast yang berisi

mediator kimia yang disebut pula sebagai preformed mediator seperti histamin,

tryptase dan bradikinin.

Histamin merupakan mediator kimia penting yang dilepaskan sel mast karena

histamin dapat menyebabkan lebih dari 50% gejala reaksi alergi hidung( bersin,

rinore, hidung gatal dan hidung tersumbat ). Histamin mempunyai efek langsung pada

endotel yaitu meningkatkan permeabilitas kapiler yang menyebabkan proses

transudasi yang memperberat gejala rinore. Ikatan histamin pada reseptor saraf

nocicetif tipe C pada mukosa hidung yang berasal dari N-V menyebabkan rasa gatal

di hidung dan merangsang timbulnya serangan bersin. Efek histamin pada kelenjar

karena aktifasi reflek parasimpatis mempunyai efek meningkatkan sekresi kelenjar

yang menyebabkan gejala rinore yang serous. Selain itu histamine juga menyebabkan

gejala hidung tersumbat karena menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah mukosa

hidung terutama konka. Gejala yang segera timbul setelah paparan alergen disebut

reaksi fase cepat atau reaksi fase segera (RFS). Histamin yang sudah dibebaskan dari

sel mast akan dimetabolisme oleh histamine N-methyl transferase (HMT) pada sel

epitel maupun pada endotel.

Tahap efektor

Apabila mediator kimia yang menyebabkan reaksi fase segera telah mengalami

metabolisme dan bersih dari mukosa gejala-gejala klinik akan berkurang. Setelah

reaksi fase segera dengan adanya pelepasan sitokin dan aktifasi endotel

mengakibatkan terjadinya reaksi fase lambat. Reaksi fase lambat terjadi pada sebagian

penderita (30-35%) RA yang terjadi antara 4-6 jam setelah paparan alergen dan

menetap selama 24-48 jam. Gambaran khas RAFL adalah tertariknya berbagai macam

sel inflamasi khususnya eosinofil ke lokasi reaksi alergi yang merupakan sel efektor

mayor pada reaksi alergi kronik seperti RA dan asma bronkhial. Eosinofil dalam

perjalanannya dari sirkulasi darah sampai ke jaringan/ lokasi alergi melalui beberapa

12

Page 13: Referat Rhinosinusitis

tahap seperti migrasi (perpindahan) eosinofil dari tengah ke tepi dinding pembuluh

darah dan mulai berikatan secara reversibel dengan endotel yang mengalami inflamasi

(rolling) yang diikuti perlekatan pada dinding pembuluh darah yang diperantarai oleh

interaksi molekul adesi endotel seperti ICAM-1 (inter cell adhesi molecul-1) dan

VCAM-1(vascular cell adhesimolekul-1) yang bersifat spesifik terhadap perlekatan

sel eosinofil karena sel eosinophil mengekspresikan VLA-4 yang akan berikatan

dengan VCAM-1. ICAM-1 juga diekspresikan oleh sel epitel mukosa hidung

penderita RA yang mendapatkan paparan alergen spesifik terus-menerus dan menjadi

dasar konsep adanya minimal persistent inflamation (MPI) yang terlihat pada rinitas

alergi terhadap tungau debu rumah (TDR) dalam keadaan bebas gejala (Suprihati,

2006).

Eosinofil pertama kali dilukiskan oleh Paul Erlich 1879 berdasarkan perilaku spesifik

terhadap pengecatan. Sekarang eosinofil dengan peran pro-inflamasi dan peran

pentingnya pada penyakit alergi kronik semakin jelas dikenal dan merupakan subyek

penelitian dasar dan terapi. Eosinofil berasal dari sumsum tulang berupa progenitor,

kemudian berada dalam darah tepi dan juga ditemukan di mukosa hidung penderita

rhinitis alergi. Dalam darah tepi eosinofil merupakan sebagian kecil sel darah (1%)

dan mempunyai half-life yang pendek (8-18 jam). Pada mukosa hidung penderita RA

sel eosinofil berperan penting pada perubahan patofisiologis RA karena mengandung

berbagai mediator kimia seperti mayor basic protein (MBP), eosinophil cationic

protein (ECP), eosinophil derived neurotoxin (EDN) dan eosinophil peroxidase (EPO)

yang mempunyai efek menyebabkan desagregasi dan deskuamasi epitel, kematian sel,

inaktifasi saraf mukosa dan kerusakan sel karena radikal bebas.

Peran mediator-mediator inflamasi dalam manifestasi gejala klinis rhinitis alergi

Reaksi alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL) padarhinitis

alergi ditandai oleh gejala bersin, beringus, gatal hidung, dan buntu hidung. Gejala-

gejala tersebut diakibatkan kinerja histamine dan berbagai mediator lain.

a. Bersin-bersin (sneezing)

b. Gatal-gatal (pruritus)

13

Page 14: Referat Rhinosinusitis

c. Beringus (rhinorrhea)

d. Buntu hidung (nasal congestion)

Antigen

Antigen yang membangkitkan reaksi hipersensitivitas tipe segera disebut alergen.

Antigen yang membangkitkan reaksi hipersensitivitas adalah protein atau zat kimia

yang terikat protein terhadap mana individu atopi bersangkutan terpapar secara

kronik. Pemaparan antigen sebelumnya secara alami merupakan faktor  penting yang

akan menentukan tingginya kadar IgE spesifik. Secara umum paparan ulang terhadap

antigen tertentu diperlukan untuk menghasilkan reaksi atopi terhadap antigen

bersangkutan.

Belum diketahui mengapa antigen tertentu menimbulkan reaksi alergi kuat dan

antigen lain tidak. Ada kemungkinan bahwa alergen tidak sering disertai adjuvan

alami, karena itu gagal merangsang respon imun bawaan yang kuat yang seharusnya

dapat meningkatkan aktivasi makrofag dan sekresi sitokin penginduksi sel Th1, yaitu

IL-12 dan IL-8. Sifat alergenik diduga terletak pada antigen itu sendiri, mungkin

dalam epitop yang dikenal oleh sel tertentu. Walaupun tidak ada struktur protein

khusus yang dapat digunakan untuk memprediksi secara tepat bahwa protein itu

alergenik, ada beberapa gambaran khas pada alergen yang sering dijumpai. Gambaran

itu menyangkut berat molekul kemudian glikosilasi, dan sifat kelarutannya dalam

cairan tubuh.

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga

memberi gejala campuran, misalnya debu rumah yang memberi gejala asma bronkial

dan rinitis alergi. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh, terjadi reaksi yang

secara garis besar terdiri dari :

1. Respon primer 

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat

nonspesifik dan dapat berakhir sampai di sini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya

dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

14

Page 15: Referat Rhinosinusitis

2. Respon sekunder 

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah

sistem imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila

Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau ada

defek dari sitem imunologi, maka reaksi berlanjut menjadi respons tertier.

15

Page 16: Referat Rhinosinusitis

3. Respons tertier.

Reaksi imunologi yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini

dapat bersifat sementara atau menetap tergantung dari daya eliminasi Ag oleh

tubuh .

Fungsi drainase dan ventilasi berperan penting dalam menjaga sinus tetap normal.

Ini berhubungan erat dengan keadaan dari komplek osteomeatal pasien itu sendiri.

Pada komplek osteomeatal yang terganggu yang menyebabkan terjadi gangguan

drainase serta ventilasi yang dapat mempengaruhi kandungan oksigen, peningkatan p

C02 dan gangguan PH serta pembengkakan mukosa hidung dan akhirnya menurunkan

fungsi pembersihan mukosiliar (Busquets ,2006 ;Ballenger , 1994; Wilma ,2007).

Obstruksi ostium sinus menyebabkan retensi lendir dan menurunkan kandungan

oksigen, peningkatan pCO2, menurunkan pH, mengurangi aliran darah mukosa.

Pembengkakan membran mukosa juga akan menyempitkan ostium dan menurunkan

fungsi pembersihan mukosiliar.

Menurut Sakakura (1997), patogenesis dari rhinosinusitis kronik berawal dari

adanya suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya 16

Page 17: Referat Rhinosinusitis

mediator diantaranya vasoactive amine, proteases, arachidonic acid metabolit,

imunecomplek , lipolisaccharide dan lain-lain. Hal tersebut menyebabkan terjadinya

kerusakan dari mukosa hidung dan akhirnya menyebabkan disfungsi mukosiliar.

Adanya disfungsi mukosiliar menyebabkan terjadinya stagnasi mukos. Akibat hal

inilah maka bakteri akan semakin mudah untuk berkolonisasi dan infeksi inflamasi

akan kembali terjadi.

5. Etiologi

a. Infeksi

Infeksi yang tersering pada rongga hidung adalah infeksi virus. Partikel virus

sangat mudah menempel pada mukosa hidung yang menggangu system

mukosiliar rongga hidung dan virus melakukan penetrasi ke palut lendir dan

masuk ke sel tubuh dan menginfeksi secara cepat. Dengan menggunakan cahaya

mikroskop dan transmisi mikroskop elektron dapat dideteksi abnormalitas silia

yang disebabkan oleh infeksi virus. Bentuk dismorphic dari silia tampak lebih

sering pada tahap awal dari sakit dan terjadi pada lokal.Epitel yang normal

kembali setelah infeksi mereda 2-10 minggu. Pada populasi normal yang

terinfeksi dengan rhinovirus type 44 dan rata-rata waktu transportasi mukosiliar

dengan menggunakan label radioaktif sebagai cara pemeriksaannya mendapatkan

transport mukos yang menurun pada 2 hari terinfeksi. Dan secara signifikan rata-

rata waktu transportasi mukosiliar yang tampak meningkat pada hari ke 9-11

setelah terinfeksi. Di samping itu virus juga meningkatkan kekentalan mukus,

kematian silia, dan edema pada

b. Alergi :

Reaksi alergi terjadi di jalan nafas dan cavitas sinus yang menghasilkan edema

dan inflamasi di membrana mukosa. Edema dan inflamasi ini menyebabkan

blokade dalam pembukaan cavitas sinus dan membuat daerah yang ideal untuk

perkembangan jamur, bakteri, atau virus.

Alergi dapat juga merupakan salah satu faktor predisposisi infeksi disebabkan

edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang edem yang dapat menyumbat

17

Page 18: Referat Rhinosinusitis

muara sinus dan mengganggu drenase sehingga menyebabkan timbulnya infeksi,

selanjutnya menghancurkan epitel permukaan dan siklus seterusnya berulang yang

mengarah pada sinusitis kronis.

Pada keadaan kronis terdapat polip nasi dan polip antrokoanal yang timbul pada

rinitis alergi, memenuhi rongga hidung dan menyumbat ostium sinus.

c. Lingkungan

Faktor cuaca seperti udara dingin menyebabkan aktivitas silia mukosa hidung dan

sinus berkurang, sedangkan udara yang kering dapat menyebabkan terjadinya

perubahan mukosa, sehingga timbul sinusitis.

d. Obstruksi Hidung

Faktor lainnya adalah obstruksi hidung yang dapat disebabkan kelainan anatomis,

misalnya deviasi septum, hipertropi konka, bula etmoid dan infeksi serta tumor.

Biasanya tumor ganas hidung dan nasofaring sering disertai dengan penyumbatan

muara sinus.

e. Virus dan Bakteri

Virus penyebab sinusitis antara lain rinovirus, para influenza tipe 1 dan 2 serta

respiratory syncitial virus. Kebanyakan infeksi sinus disebabkan oleh virus, tetapi

kemudian akan diikuti oleh infeksi bakteri sekunder. Karena pada infeksi virus

dapat terjadi edema dan hilangnya fungsi silia yang normal, maka akan terjadi

suatu lingkungan ideal untuk  perkembangan infeksi bakteri. Infeksi ini sering kali

melibatkan lebih dari satu bakteri. Organisme penyebab sinusitis akut mungkin

sama dengan penyebab otitis media. Yang sering ditemukan dalam frekuensi yang

makin menurun ialah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus Influenzae, bakteri

anaerob, Branhamella kataralis, Streptococcus alfa, Staphylococcus aureus dan

Streptococcus pyogenes. Selama suatu fase akut, sinusitis kronis disebabkan oleh

bakteri yang sama yang menyebabkan sinusitis akut. Namun, karena sinusitis

kronis biasanya berkaitan dengan drenase yang tidak adekuat maupun fungsi

mukosiliar yang terganggu, maka agen infeksi yang terlibat cenderung

18

Page 19: Referat Rhinosinusitis

oportunistik, dimana proporsi terbesar bakteri anaerob. Akibatnya, biakan rutin

tidak memadai dan diperlukan pengambilan sampel secara hati-hati untuk bakteri

anaerob. Bakteri aerob yang sering ditemukan dalam frekuensi yang makin

menurun, antara lain Staphylococcus aureus, Streptococcus viridans, Haemophilis

influenza, Neisseria flavus, Staphylococcus epidermis, Streptcoccus pneumoniae

dan Escherichia coli, Bakteri anaerob termasuk Peptostreptococcus,

Corynebacterium, Bakteriodaes dan Vellonella. Infeksi campuran antara

organisme aerob dan anaerob sering kali terjadi.

f. Struktur dan anatomi hidung

Kelainan anatomi hidung dan sinus juga dapat mengganggu fungsi

mukosiliar secara lokal. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan menjadi

lebih mendekat atau bertemu satu sama lain, maka aktivitas silia akan terhenti.

Deviasi septum, polip, konka bulosa atau kelainan struktur lain di daerah

kompleks osteomeatal dan ostium sinus dapat menghalangi transportasi

mukosiliar.

g. Iklim

Udara lembab, perubahan suhu, angin. Iklim ini secara tidak

langsung berpengaruh terhadap penyebaran debu rumah dan tepung sari bunga,

disamping memberi suasana yang baik untuk tumbuhnya berbagai macam jamur.

h. Hormonal

Wanita yang mempunyai bakat alergi dapat kambuh gejala alerginya kalau sedang

hamil karena minum pil KB atau menderita Hipertiroid.

i. Penggunaan nasal dekongestan yang berlebihan

Obat dekongestan topikal juga terlihat dapat menghambat fungsi silia.

Penggunaan obat tersebut paling kurang menyebabkan gangguan fungsi

mukosiliar sementara. Pemberian obat-obat seperti phenylephrine 0,5 % dan

19

Page 20: Referat Rhinosinusitis

oxymetazoline Hcl 0,05 % dapat menghambat gerakan silia secara sementara pada

binatang percobaan tapi hal ini belum dapat dibuktikan pada manusia.

6. Gejala Klinis

International Conference on Sinus Disease 1995 membuat kriteria mayor dan minor

untuk mendiagnosa rhinosinusitis kronis. Rinosinusitis didiagnosa apabila dijumpai 2

atau lebih gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2 gejala minor.

Obstruksi hidung

Sekret pada daerah hidung/ sekret belakang hidung yang seringdisebut PND

(Postnasal drip)

Sakit kepala

Nyeri /rasa tertekan pada wajah

Kelainan penciuman(Hiposmia / anosmia)-Gejala minor 

Demam

Halitosis

Batuk dan iritabilitas

Pada sinusitis kronik terdapat gejala Subyektif dan gejala objektif.

a. Gejala Subjektif 

Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret pasca

nasal (post nasal drip) yang seringkali mukopurulen dan hidung biasanya

sedikit tersumbat.

Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan.

Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi

sumbatan tuba eustachius.

20

Page 21: Referat Rhinosinusitis

Ada nyeri atau sakit kepala.

Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.

Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa bronchitis

atau bronkhiektasis atau asma bronkhial.

Gejala di saluran cerna mukopus tertelan sehingga terjadi gastroenteritis.

b. Gejala Objektif 

Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat

pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental,

purulen dari meatus medius atau meatus superior, dapat juga ditemukan polip, tumor

atau komplikasi sinusitis. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di

nasofaring atau turun ke tenggorok.

7. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan IgE total serum

Secara umum, kadar IgE total serum rendah pada orang normal dan

meningkat pada penderita atopi, tetapi kadar IgE normal tidak menyingkirkan

adanya rhinitis alergi. Pada orang normal, kadar IgE meningkat dari lahir (0-1

KU/L) sampai pubertas dan menurun secara bertahap dan menetap setelah usia

20-30 tahun. Padaorang dewasa kadar >100-150 KU/L dianggap normal. Kadar

meningkat hanya dijumpai pada 60% penderita rinitis alergi dan 75% penderita

asma. Terdapat berbagai keadaan dimana kadar IgE meningkat yaitu infeksi

parasit, penyakit kulit (dermatitis kronik, penyakit pemfigoid bulosa) dan kadar

menurun pada imunodefisiensi serta multipel mielom. Kadar IgE dipengaruhi juga

21

Page 22: Referat Rhinosinusitis

oleh ras dan umur, sehingga pelaporan hasil harus melampirkan nilai batas normal

sesuai golongan usia. Pemeriksaan ini masih dapat dipakai sebagai

pemeriksaan penyaring, tetapi tidak digunakan lagi untuk menegakkan diagnostic.

b. Transiluminasi

Transiluminasi menggunakan angka sebagai parameternya. Transiluminasi akan

menunjukkan angka 0 atau 1 apabila terjadi sinusitis (sinus penuh dengan cairan)

c. Rontgen Sinus Paranasalis

Sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa :

1. Penebalan mukosa,

2. Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)

3. Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapatdilihat pada foto

waters.

Bagaimanapun juga, harus diingat bhwa foto SPN 3 posisi ini memiliki kekurangan

dimana kadang kadang bayangan bibir dapat dikacaukan dengan penebalan mukosa sinus

e. CT Scan

22

Page 23: Referat Rhinosinusitis

CT Scan adalah pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran yang paling baik

akan adanya kelainan pada mukosa dan variasi antominya yang relevan untuk

mendiagnosis sinusitis kronis maupun akut. Walaupun demikian, harus diingat bahwa

CT Scan menggunakan dosis radiasi yang sangat besar yang berbahaya bagi mata.

f. Sinoscopy

Sinoscopy merupakan satu satunya cara yang memberikan informasi akurat tentang

perubahan mukosa sinus, jumlah sekret yang ada di dalam sinus, dan letak dan

keadaan dari ostium sinus. Yang menjadi masalah adalah pemeriksaan sinoscopy

memberikan suatu keadaan yang tidak menyenangkan buat pasien.

d. Pemeriksaan mikrobiologi

Biakan yang berasal dari hidung bagian posterior dan nasofaring biasanya lebih akurat

dibandingkan dengan biakan yang berasal dari hidung bagian anterior. Namun demikian,

pengambilan biakan hidung posterior juga lebih sulit. Biakan bakteri spesifik pada

sinusitis dilakukan dengan mengaspirasi pus dari inus yang terkena. Seringkali diberikan

suatu antibiotik yang sesuai untuk membasmi mikroorganisme yang lebih umum untuk

penyakit ini. Pada sinusitis akut dan kronik sering terlibat lebih dari satu jenis bakteri.

Dengan demikian untuk menentukan antibiotik yang tepat harus diketahui benar  jenis

bakterinya penyebab sinusitisnya. Pemeriksaan kultur terhadap sekret sinus maksila

mendapatkan kuman aerob terbanyak adalah Streptokokus pneumonia (18 kasus - 45%),

diikuti Pseudomonas sp 8 kasus (20%), Streptokokus piogenes dan Klebsiela pneumonia

masing-masing 5 kasus (12,5%) dari 40 sampel penelitian pada tahun 2007. Pada

penelitian ini tidak dijumpai lebih dari 1 kuman aerob pada satu sediaan. Legent F dkk

(Prancis, 1994) menemukan kuman penyebab sinusitis maksila kronis yang terbanyak

adalah. Stafilokokus aureus, diikuti Hemofilus influensa, Streptokokus pneumonia.

Sedangkan Fombeur dkk (Paris, 1994) menemukan kuman Streptokokus pneumonia

sebagai penyebab terbanyak dari sinusitis maksila kronis, diikuti oleh Stafilokokus aureus

dan Hemofilus influenza, Moraksela kataralis dan Korinebakterium sp. Dari penelitian

23

Page 24: Referat Rhinosinusitis

dan berbagai teori yang ada menyebutkan bahwa terdapat campur tangan bakteri pada

sinusitis.

8. Penatalaksanaan

Prinsip penanganan rinosinusitis adalah meliputi pengobatan dan pencegahan infeksi,

memperbaiki ostium, memperbaiki fungsi mukosiliar, dan menekan proses inflamasi

pada mukosa saluran nafas. Pada kasus-kasus kronis atau rekuren penting juga

menyingkirkan faktor-faktor iritan lingkungan.

Antibiotik merupakan modalitas terapi primer pada rhinosinusitis . Setelah diagnosa

ditegakkan dapat diberikan antibiotik lini pertama berdasarkan pengalaman empirik,

sambil menunggu hasil kultur. Berdasarkan efektivitas potensi dan biaya, jenis

antibiotik yang banyak digunakan adalah sefalosporin dan amoksisilin. Untuk kasus

akut diberikan selama 14 hari, sedangkan untuk kasus kronik diberikan sampai 7 hari

bebas gejala. Lamanya terapi biasanya 3-6 minggu.

Terapi tambahan untuk mengurangi gejala adalah kortikosteroid intranasal, mukolitik

dan dekongestan. Antihistamin hanya hanya efektif untuk kasus kasus alergi yang

merupakan penyakit dasar rhinosinusitis pada beberapa pasien.

Talbot dkk membandingkan penggunaan larutan buffer garam hipertonik (3 %, pH

7,6) dengan larutan garam fisiologis. Larutan garam hipertonik baik digunakan pada

sinusitis kronis atau pasca operasi karena dapat mengurangi edema melalui difusi

osmolaritas (Talbot, 1997) Selain terapi medikamentosa yang dijelaskan diatas,

rinosinusitis rekuren atau kronis memerlukan tindakan bedah. Pada saat ini tindakan

bedah yang palling direkomendasi adalah bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF)

atau sering disebut dengan Fungsional endoskopi sinus surgery (FESS).

Antihistamin

Antihistamin adalah antagonis reseptor H1 yang akan menghalangi bersatunya

histamin dengan reseptor H1 yang terdapat di ujung saraf dan epitel kelenjar pada

mukosa hidung. Akhir-akhir ini antihistamin didefenisikan sebagai inverse H1-

receptor agonists yang menstabilkan reseptor H1 yang inaktif sehingga aktifasi oleh

24

Page 25: Referat Rhinosinusitis

histamine dapat dicegah. Dengan demikian obat ini efektif untuk menghilangkan

gejala rinore dan bersin sebagai akibat dilepaskannnya histamin pada RA.

Antihistamin lama (generasi pertama) sudah terbukti secara klinis sangat efektif

mengurangi gejala bersin dan rinorea akan tetapi mempunyai efek samping yang

kurang menguntungkan yaitu menyebabkan efek mengantuk karena obat tersebut

masuk ke peredaran darah otak. Oleh karena itu penderita yang menggunakan obat ini

dianjurkan untuk tidak mengendarai mobil atau mengoperasikan mesin karena dapat

membahayakan. Secara klinis antihistamin generasi ini sangat efektif menghilangkan

rinore karena mempunyai efek antikolinergik. Efek ini terjadi karena kapasitas ikatan

obat terhadap reseptor yang tidak selektif sehingga obat terikat juga pada reseptor

kolinergik. Kekurangan lain dari antihistamin generasi pertama adalah ikatannya yang

tidak stabil dengan reseptor H1, sehingga daya kerjanya pendek. Efek samping yang

lain adalah :

Mulut kering, peningkatan nafsu makan dan retensi urin. Sampai sekarang anti

histamin golongan ini masih banyak digunakan karena masih efektif dan murah.

Beberapa contoh antihistamin generasi lama yang sampai kini masih popular adalah :

klorfeniramin, difenhidramin dan triprolidin.

Munculnya antihistamin generasi baru dapat menutup kelemahan antihistamin lama.

Karena tidak menembus sawar otak, antihistamin baru bersifat non-sedatif, sehingga

penderita yang menggunakan obat ini dapat aman dan tidak terhambat dalam

melakukan aktifitasnya. Kelebihan lain antihistamin baru adalah mempunyai masa

kerja yang panjang sehingga penggunaannya lebih praktis karena cukup diberikan

sekali sehari. Antihistamin baru tersebut adalah : astemizol, loratadin, setirizin,

terfenadin. Beberapa antihistamin baru kemudian dilaporkan menyebabkan gangguan

jantung pada pemakaian jangka panjang (astemizol, terfenadin), sehingga di beberapa

negara obat –obat tersebut tidak digunakan lagi. Antihistamin yang unggul adalah

yang bekerja cepat dengan waktu kerja yang panjang, yang tidak ada efek sedatif dan

tidak ada toksik terhadap jantung.

25

Page 26: Referat Rhinosinusitis

Pe

m

be

da

Pembedahan Radikal:

1. Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc. 

2. Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.

3. Sinus frontal dan sfenoid dengan operasi Killian.

26

Page 27: Referat Rhinosinusitis

Non Radikal. bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan

membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.

9. Komplikasi

Komplikasi sinusitis telah menurun nyata sejak diberikannya antibiotik.

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah :

a. Kelainan pada orbita

Komplikasi dapat melalui 2 jalur :

1. Direk/langsung : melalui dehisensi kongenital ataupun adanya erosi pada

tulang barier terutama lamina papirasea.

2. Retrograde tromboplebitis : melalui anyaman pembuluh darah

yang berhubungan langsung antara wajah, rongga hidung, sinus dan orbita.

Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang

tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut,

namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak didekat orbita dan dapat

menimbulkan infeksi isi orbita. Terdapat lima tahapan :

o Peradangan atau analgetik reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita

akibat infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan

pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus

ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur ini.

o Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi

isi orbita namun pus belum terbentuk.

o Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang

orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.

o Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi

orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan

unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang

27

Page 28: Referat Rhinosinusitis

tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga

proptosis yang makin bertambah.

o Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui

saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu

tromboflebitis septik. Pengobatan komplikasi orbita dari sinusitis berupa

pemberian antibiotik intravena dosis tinggi dan pendekatan bedah khusus

untuk membebaskan pus dari rongga abses. Gejala sisa trombosis sinus

kavernosus seringkali berupa atrofi optik.

Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :

i. Oftalmoplegia.

ii. Kemosis konjungtiva.

iii. Gangguan penglihatan yang berat.

iv. Kelemahan pasien.

v. Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus

yang berdekatan dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta

berdekatan juga dengan otak.

b. Kelainan intrakranial.

i. Meningitis akut

ii. Abses dura

iii. Abses subdural

iv. Abses otak

Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara

bedah pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran infeksi.

c. Kelainan pada tulang

28

Page 29: Referat Rhinosinusitis

Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis

adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala

sistemik berupa malaise, demam, dan menggigil. Pembengkakan diatas alis mata

juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila terbentuk abses subperiosteal, dalam

hal mana terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi tertutup. Timbul

fluktuasi dan tulang menjadi sangat nyeri tekan. Radiogram dapat memperlihatkan

erosi batas-batas tulang dan hilangnya septa intrasinus dalam sinus yang keruh.

d. Kelainan pada paru

o Bronkitis kronik 

o Bronkhiektasis

e. Mukokel dan piokel

Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus,

Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai

kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.

Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan

melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi

sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata

ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan

gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya. Piokel adalah mukokel

terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel meskipun lebih akut dan

lebih berat. Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat

semua mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi

sinus.

f. Otitis media

g. Toxic shock syndrome

10. Pencegahan

29

Page 30: Referat Rhinosinusitis

Tidak ada cara yang pasti untuk menghindari baik sinusitis yang akut ataukronis.

Tetapi di sini ada beberapa hal yang dapat membantu :

o Menghindari kelembaban sinus - gunakan saline sprays atau sering diirigasi.

o Hindari lingkungan indoor yang sangat kering.

o Hindari terpapar yang dapat menyebabkan iritasi, seperti asap rokok atau

aroma bahan kimia yang keras.

BAB III

PENUTUP

Ada empat buah sinus paranasal pada masing masing sisi hidung. Seperti sinus maksilaris,

sinus etmoidalis, sinus frontalis, dan sinus spenoidalis. Sinus paranasalis ini mempunyai

fungsi :

1. Pengatur kondisi udara (air conditioning)

2. Penahan suhu (thermal insulators)

3. Membantu keseimbangan kepala

4. Membantu resonansi udara

5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

6. Membantu produksi mucus

Penyebab terjadinya sinusitis adalah inflamasi dan infeksi, struktur atau anatomi dari sinus,

kebiasaan atau gaya hidup, inherited atau acquired, dan lingkungan.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk penegakan diagnosis dari sinusitis adalah

transiluminasi, rontgen sinus paranasalis, CT scan, sinoscopy, dan pemeriksaan mikrobiologi.

Pada penderita sinusitis berdasarkan hasil kultur ditemukan bakteri seperti Streptokokus

pneumonia, diikuti oleh Pseudomonas sp, Streptokokus piogenes dan Klebsiela pneumonia.

Sehingga antibiotik masih dibutuhkan pada penderita sinusitis tersebut. Antibiotic yang

30

Page 31: Referat Rhinosinusitis

sensitive adalah terutama adalah Streptomisin, rimfapicin, kanamisin, gentamisin yang

berbentuk injeksi. Sedangkan untuk obat antibiotic oral yaitu doksisiklin, tetrasiklin,

enteromisin, ciprofloksasin.

DAFTAR PUSTAKA

1. Endang Mangunkusumo. Sinusitis dalam Kumpulan makalah Simposiumsinusitis,

Jakarta 1999, 1 – 6.

2. E.Mangunkusumo . Fisiologi Hidung dan Parasanal Dalam Iskandar N.dkk (Eds).

Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Balai Penerbit FK UI Jakarta 1990 ; 85-87

3. Yuritna Haryono. Rinitis Alergi. Dalam makalah Simposium UP Date in IgE

Mediated Allergic Reaction. Medan, 1994 ; 1 – 26.

4. Hilger PD. Disease of Parasanal Sinuses. Adam GL Boies LRJK Hilger Fundametal

of Oyolaryngology,6th ed. Philadelphia ; Sounders Company,1990 49 – 270.

5. Suetjipto D. Hidung dan Sinus Parasanal Anatomy Hidung dan sinus Parasanal.

Dalam Iskandar N. ddl (Eds) Buku ajar Ilmu penyakit THT. Balai Penerbit FK UI,

Jakarta, 1990 ; 75 – 84

6. Mangunkusumo, Rifki. 2006. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Kepala Leher. Jakarta : FKUI Mansjoer, Triyanti, Savitri. 2005. Kapita Selekta

Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI 13. Budianto. 2005. Guidance to

Anatomy III. Surakarta. Keluarga besar asisten anatomi FK UNS Surakarta.

7. Sumarman I, 2001,Patofisiologi dan Prosedur Diagnostic Rinitis Alergi Dalam :

Kumpulan Makalah Simposium “Current and Future Approach inTreatment of

31

Page 32: Referat Rhinosinusitis

Allergic Rhinitis” kerjasama PERHATI Jaya - Bagian THTFK UI / RSCM,

Jakarta,pp.14-18

8. Irawati N, 2002, Panduan Penatalaksanaan Terkini Rinitis Alergi, Dalam : Kumpulan

Makalah Simposium “Current Opinion In Allergy and ClinicalImmunology”,Divisi

Alergi-Imunologi Klinik FK UI/RSUPN-CM, Jakarta

9. Mulyarjo,2006, Penganganan Rinitis Alergi : Pendekatan Berorientasi pada Simtom,

Dalam : Kumpulan Naskah Simposium Nasional Perkembangan Terkini

Penatalaksanaan Beberapa Penyakit Penyerta Rinitis Alergi dan Kursus Demo

Rinotomi Lateral, Maksilektomi dan Septorinoplasti, Malang, pp. 10,2,1-18

10. Suprihati,2006, Patofisiologi Rinitis Alergi, Dalam : Kumpulan Naskah Simposiumm

Nasional Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Beberapa Penyakit Penyertam

Rinitis Alergi dan Kursus Demo Rinotomi Lateral, Maksilektomi dan Septorinoplasti,

Malang, pp.10, 1, 1-15

32