Referat Rhinosinusitis
-
Upload
juan-rollin-manu -
Category
Documents
-
view
229 -
download
0
Transcript of Referat Rhinosinusitis
BAB I
PENDAHULUAN
Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering didunia. Data
dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada
urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan
di rumah sakit.
Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh
Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data
penyakit hidung dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-
Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435
pasien, 69 % nya adalah sinusitis.
Manusia mempunyai beberapa rongga di sepanjang atap dan bagian lateral rongga
hidung. Rongga rongga ini diberi nama sinus yang kemudian diberi nama sesuai dengan
letaknya : sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dansinus ethmoidalis (sinus
paranasalis). Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami
modifikasi dan mampu menghasilkan mukus dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga
hidung. Pada orang sehat, sinister utama berisi udara.
Penyebab utamanya ialah infeksi virus yang kemudian diikuti oleh infeksi bakteri.
Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus etmoid dan maksila. Yang
berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intrakranial. Komplikasi ini
terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi yang tak dapat
dihindari.Sampai saat ini sinusitis maksila kronis masih merupakan masalah dan merupakan
subjek yang selalu diperdebatkan, baik mengenai etiologi, keluhan,diagnosis maupun
tindakan selanjutnya.
Berbagai etiologi dan faktor predisposisi berperan dalam timbulnya penyakit ini,
seperti deviasi septum, polip kavum nasi, tumor hidung dan nasofaring serta alergi.
Menurut Lucas seperti yang dikutip Moh. Zaman, etiologi sinusitis adalah sangat
kompleks. Hanya 25% disebabkan oleh infeksi, selebihnya 75% disebabkan oleh alergi dan
1
ketidakseimbangan pada sistem saraf otonom yang menimbulkan perubahan- perubahan pada
mukosa sinus.
Alergi adalah salah satu faktor prediposisi dalam patogenesis sinusitis maksila kronis,
yang mengakibatkan edema mukosa dan hipersekresi, keadaan ini akan menimbulkan
penyumbatan muara sinus mengakibatkan stasis sekret. Hal ini sebagai medium infeksi yang
akhirnya menyebabkan sinusitis kronis.
Penyakit alergi adalah suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan bahan
asing yang menimbulkan gejala pada orang yang berbakat atopi sedangkan pada kebanyakan
orang tidak menimbulkan reaksi apapun.
Prevalensi rinitis alergi telah diketahui bervariasi antara 5 – 10 % penduduk di
berbagai kota di dunia. Insiden rinitis di Bandung 1,5 % , di SubBagian Alergi-Imunologi
Bagian THT FKUI/RSCM selama setahun 1992 adalah 1,14 % dan di RSUP H. Adam Malik
Medan tahun 1993-1994 sebesar 16,44%.
Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih
gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer
lebih dari satu jam dan hidung tersumbat, maka dinyatakan positif. Hampir 50 % diagnosis
rinitis alergi dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Oleh karena faktor alergi merupakan salah
satu penyebab timbulnya sinusitis maksila kronis, maka perlu dilakukan tes kulit epidermal
berupa tes kulit cukit (Prick tes, tes tusuk).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi Sinusitis
Rhinosinusitis kronik didefinisikan sebagai suatu inflamasi dari hidung dan
mukosa sinus paranasal dengan durasi lebih dari 12 minggu. Sinusitis diberi nama
sesuai dengan sinus yang terkena. Bila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis. Bila mengenai semua sinus paranasalis disebut pansinusitis
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Perdefinisi, sinusitis kronis
berlangsung selama beberapa bulan atau tahun. Sinusitis kronis berbeda dari sinusitis
akut dalam berbagai aspek, umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan
medikamentosa saja. Pada sinusitis akut, perubahan patologik membrana mukosa
berupa infiltrat polimorfonuklear, kongesti vaskular dan deskuamasi epitel
permukaan, yang semuanya reversibel. Gambaran patologik sinusitis kronik adalah
kompleks dan irreversibel. Mukosa umumnya menebal, membentuk lipatan-lipatan
atau pseudopolip. Epitel permukaan tampak mengalami deskuamasi, regenerasi,
metaplasia, atau epitel biasa dalam jumlah yang bervariasi pada suatu irisan histologis
yang sama. Pembentukan mikroabses dan jaringan granulasi bersama-sama dengan 3
pembentukan jaringan parut. Secara menyeluruh terdapat infiltrat sel bundar dan
polimorfonuklear dalam lapisan submukosa.
Etiologi dan faktor predisposisi sinusitis kronis cukup beragam. Pada era pre-
antibiotik, sinusitis hiperplastik kronis timbul akibat sinusitis akut berulang dengan
penyembuhan yang tidak lengkap. Dalam patofisiologi sinusitis kronis beberapa
faktor ikut berperan dalam siklus peristiwa yang berulang. Polusi bahan kimia
menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa hidung. Perubahan
mukosa hidung dapat juga disebabkan oleh alergi dan defisiensi imunologik.
Perubahan mukosa hidung akan mempermudah terjadinya infeksi dan infeksi menjadi
kronis apabila pengobatan pada sinusitis akut tidak sempurna. Adanya infeksi akan
menyebabkan edema konka, sehingga drainase sekret akan terganggu. Drainase sekret
yang terganggu akan menyebabkan silia rusak dan begitu seterusnya.
Sinusitis kronik adalah sinusitis yang terjadi lebih dari 8 minggu. Pada
sinusitis kronik, rongga di sekitar lubang hidung (sinus) menjadi meradang dan
bengkak. Ini mengganggu drainase yang menyebabkan lendir menumpuk. Kondisi
umum seperti ini disebut juga rinosinusitis kronik. Daerah sekitar mata dan wajah
mungkin akan terasa bengkak, sakit wajah atau sakit kepala. Sinusitis kronik dapat
disebabkan oleh infeksi, tetapi juga dapat disebabkan oleh adanya polip hidung atau
septum hidung yang bengkok (menyimpang).
2. Anatomi Sinus Paranasal
4
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3 – 4 bulan, kecuali sinus
sfenoid dan sinus frontal. Sinus etmoid dan maksila telah ada sejak anak lahir,
sedangkan sinus frontalis berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang
berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8 – 10
tahun dan berasal dari bagian posterosuperior rongga hidung. Sinus – sinus ini
umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15 – 18 tahun.
Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral
rongga udara hidung; jumlah, ukuran, bentuk, dan simetri bervariasi. Sinus – sinus ini
membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah dan diberi namasesuai : sinus
maksilaris, sfenoidalis, frontalis, dan etmoidalis. Yang terakhir biasanya berupa
kelompok – kelompok sel etmoidalis anterior dan posterior yang saling berhubungan,
masing – masing kelompok bermuara ke dalam hidung. Seluruh sinus dilapisi oleh
epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, dan mampu menghasilkan
mukus, dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat,
rongga terutama berisi udara.
Pembagian Sinus
Pembagian sinus paranasalis :
a. Sinus Maksila
5
Maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6 – 8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk
segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa
kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding
medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita
dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila
berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris
melalui infundibulum etmoid. Suplai darah terbanyak melalui cabang dari arteri
maksilaris. Inervasi mukosa sinus melalui cabang dari nervus maksilaris.
b. Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus,
berasal dari sel – sel resessus frontal atau dari sel – sel infundibulum etmoid. Ukuran
sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm, dan dalamnya 2 cm. Sinus
frontal biasanya bersekat – sekat dan tepi sinus berlekuk – lekuk. Sinus frontal
dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fossa serebri anterior,
sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar kedaerah ini. Sinus frontal
berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resessus frontal. Resessus frontal
adalah bagian dari sinus etmoid anterior. Suplai darah diperoleh dari arteri
supraorbital dan arteri supratrochlear yang berasal dari arteri oftalmika yang
merupakan salah satu cabang dari arteri carotis interna. Inervasi mukosa disuplai oleh
cabang supraorbital dan supratrochlear cabang dari nervus frontalis yang berasal dari
nervus trigeminus.
c. Sinus Etmoid
Pada orang dewasa sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian
posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4,5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5
cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. Sinus etmoid berongga –
rongga, terdiri dari sel – sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam
massa bagian lateral os etmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding
medial orbita. Sel – sel ini jumlahnya bervariasi antara 4 – 17sel (rata – rata 9 sel).
6
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang
bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara dimeatus
superior. Sel – sel sinus etmoid anterior biasanya kecil – kecil dan banyak, letaknya
dibawah perlekatan konka media, sedangkan sel – sel sinus etmoid posterior biasanya
lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di postero-superior dari
perlekatan konka media. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang
sempit, disebut resessus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Atap sinus
etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding
lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid
dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus
sphenoid.
Suplai darah berasal dari cabang nasal dari arteri sphenopalatina.Inervasi mukosa
berasal dari divisi oftalmika dan maksilaris nervus trigeminus.
d. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus
sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2
cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5 –
7,5 ml.
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmikus, sedangkan arteri oftalmikus
berasal dari arteri karotis interna. Yang penting ialah arterisphenopalatina dan ujung
dari arteri palatina mayor.
Bagian depan dan atas dari rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
nervus etmoid anterior yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal
dari nervus oftalmikus (nervus V – 1). Rongga hidung lainnya sebagian besar
mendapatkan persarafan sensoris dari nervus maksilla melalui ganglion
sphenopalatina. Ganglion sphenopalatina disamping memberikan persarafan sensoris
juga memberikan persarafan vasomotor/otonom pada mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut – serabut sensoris dari nervus maksila (nervus V – 2), serabut
7
parasimpatis dari nervus petrosis superfisialis mayor, dan serabut – serabut simpatis
dari nervus petrosus profundus. Ganglion sphenopalatina terletak di belakang dan
sedikit diatas dari ujung posterior konka media
3. Fungsi Sinus Paranasal
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain :
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
b. Sebagai penahan suhu (thermal insulators).
c. Membantu keseimbangan kepala
d. Membantu resonansi udara
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
f. Membantu produksi mucus
4. Patofisiologi
Dalam patogenesis penyakit alergi termasuk rinitis alergi, dapat dibedakan ke dalam
fase sensitisasi dan elisistasi yang dapat dibedakan atas tahap aktifasi dan tahap
efektor.
a. Fase sensitisasi
Semua mukosa hidung manusia terpapar oleh berbagai partikel seperti tepung sari,
debu, serpih kulit binatang dan protein lain yang terhirup bersama inhalasi udara
napas. Alergen/ antigen yang terdeposit pada mukosa hidung tersebut kemudian
diproses oleh makrofag / sel dendrit yang berfungsi sebagai fagosit dan sel penyaji
antigen (APC) menjadi peptida pendek yang terdiri dari atas 7-14 asam amino yang
berikatan dengan tempat pengenalan antigen dari komplek MHC klas II. Sel APC ini
akan mengalami migrasi ke adenoid, tonsil atau limfonodi. Pada penderita atopik,
reseptor sel T (TCR) pada limposit Tho bersama molekul CD4 dapat mengenali
peptida yang disajikan oleh sel penyaji antigen tersebut. Kontak simultan yang terjadi
8
antara reseptor sel T(TCR) bersama molekul CD4 dengan MHC klas II , CD28 dan
B7 serta molekul asesori pada sel T dengan ligand pada sel penyaji antigen memicu
terjadinya rangkaian aktifitas pada membran sel, sitoplasma maupun nucleus sel T
yang hasil akhirnya berupa produksi sitokin.
Paparan alergen dosis rendah yang terus-menerus pada seorang penderita yang
mempunyai bakat alergi (atopik) dan presentasi alergen oleh sel-sel penyaji antigen
(APC) kepada sel B disertai adanya pengaruh sitokin IL-4 memacu sel B untuk
memproduksi IgE yang terus bertambah jumlahnya. IgE yang diproduksi berada
bebas dalam sirkulasi dan sebagian diantaranya berikatan dengan reseptornya (FCE-
RI) dengan afinitas tinggi dipermukaan sel basofil dan sel mast. Sel mast kemudian
masuk ke venula postkapiler di mukosa yang kemudian keluar dari sirkulasi dan
berada dalam jaringan termasuk di mukosa dan sub-mukosa hidung. Dalam keadaan
ini maka seseorang dikatakan dalam keadaan sensitif atau sudah tersensitisasi. Dalam
fase ini seseorang dapat belum mempunyai gejala rinitis alergi atau penyakit yang
lain, tetapi jikadilakukan tes kulit dapat memberikan hasil yang positif.
9
10
b. Fase Elisitasi
Tahap aktifasi
Pada seorang atopik yang sudah sensitif/tersensitisasi jika terjadi paparan ulang
dengan alergen yang serupa dengan paparan alergen sebelumnya pada mukosa hidung
dapat terjadi ikatan/bridging antara dua molekul IgE yang berdekatan pada permukaan
sel mast/ basofil dengan alergen yang polivalen tersebut (cross-linking) (Suprihati,
2006). Interaksi antara IgE yang terikat pada permukaan sel mast atau basofil dengan
alergen yang sama tersebut memacu aktifasi guanosinetriphospate (GTP) binding (G)
protein yang mengaktifkan enzim phospolipase C untuk mengkatalisis
phosphatidyl inositol biphosphat (PIP2) menjadi inositol triphosphate (IP3) dan diacyl
glycerol (DAG) pada membran PIP2. Inositoltriphosphate menyebabkan pelepasan
ion kalsium intrasel (Ca++) dari reticulum endoplasma. Ion Ca++ dalam sitoplasma
langsung mengaktifkan beberapa enzim seperti phospolipase-A dan komplek Ca++-
11
calmodulin yang mengaktifkan enzim myosin light chain kinase. Selanjutnya Ca++
dan DAG bersama-sama dengan membran phospolipid mengaktifkan protein kinase
C. Sebagai hasil akhir aktifasi ini adalah terbentuknya mediator lipid yang tergolong
dalam newly formed mediators seperti prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien C4
(LTC-4), platelet activating factors (PAF) dan exositosis granula sel mast yang berisi
mediator kimia yang disebut pula sebagai preformed mediator seperti histamin,
tryptase dan bradikinin.
Histamin merupakan mediator kimia penting yang dilepaskan sel mast karena
histamin dapat menyebabkan lebih dari 50% gejala reaksi alergi hidung( bersin,
rinore, hidung gatal dan hidung tersumbat ). Histamin mempunyai efek langsung pada
endotel yaitu meningkatkan permeabilitas kapiler yang menyebabkan proses
transudasi yang memperberat gejala rinore. Ikatan histamin pada reseptor saraf
nocicetif tipe C pada mukosa hidung yang berasal dari N-V menyebabkan rasa gatal
di hidung dan merangsang timbulnya serangan bersin. Efek histamin pada kelenjar
karena aktifasi reflek parasimpatis mempunyai efek meningkatkan sekresi kelenjar
yang menyebabkan gejala rinore yang serous. Selain itu histamine juga menyebabkan
gejala hidung tersumbat karena menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah mukosa
hidung terutama konka. Gejala yang segera timbul setelah paparan alergen disebut
reaksi fase cepat atau reaksi fase segera (RFS). Histamin yang sudah dibebaskan dari
sel mast akan dimetabolisme oleh histamine N-methyl transferase (HMT) pada sel
epitel maupun pada endotel.
Tahap efektor
Apabila mediator kimia yang menyebabkan reaksi fase segera telah mengalami
metabolisme dan bersih dari mukosa gejala-gejala klinik akan berkurang. Setelah
reaksi fase segera dengan adanya pelepasan sitokin dan aktifasi endotel
mengakibatkan terjadinya reaksi fase lambat. Reaksi fase lambat terjadi pada sebagian
penderita (30-35%) RA yang terjadi antara 4-6 jam setelah paparan alergen dan
menetap selama 24-48 jam. Gambaran khas RAFL adalah tertariknya berbagai macam
sel inflamasi khususnya eosinofil ke lokasi reaksi alergi yang merupakan sel efektor
mayor pada reaksi alergi kronik seperti RA dan asma bronkhial. Eosinofil dalam
perjalanannya dari sirkulasi darah sampai ke jaringan/ lokasi alergi melalui beberapa
12
tahap seperti migrasi (perpindahan) eosinofil dari tengah ke tepi dinding pembuluh
darah dan mulai berikatan secara reversibel dengan endotel yang mengalami inflamasi
(rolling) yang diikuti perlekatan pada dinding pembuluh darah yang diperantarai oleh
interaksi molekul adesi endotel seperti ICAM-1 (inter cell adhesi molecul-1) dan
VCAM-1(vascular cell adhesimolekul-1) yang bersifat spesifik terhadap perlekatan
sel eosinofil karena sel eosinophil mengekspresikan VLA-4 yang akan berikatan
dengan VCAM-1. ICAM-1 juga diekspresikan oleh sel epitel mukosa hidung
penderita RA yang mendapatkan paparan alergen spesifik terus-menerus dan menjadi
dasar konsep adanya minimal persistent inflamation (MPI) yang terlihat pada rinitas
alergi terhadap tungau debu rumah (TDR) dalam keadaan bebas gejala (Suprihati,
2006).
Eosinofil pertama kali dilukiskan oleh Paul Erlich 1879 berdasarkan perilaku spesifik
terhadap pengecatan. Sekarang eosinofil dengan peran pro-inflamasi dan peran
pentingnya pada penyakit alergi kronik semakin jelas dikenal dan merupakan subyek
penelitian dasar dan terapi. Eosinofil berasal dari sumsum tulang berupa progenitor,
kemudian berada dalam darah tepi dan juga ditemukan di mukosa hidung penderita
rhinitis alergi. Dalam darah tepi eosinofil merupakan sebagian kecil sel darah (1%)
dan mempunyai half-life yang pendek (8-18 jam). Pada mukosa hidung penderita RA
sel eosinofil berperan penting pada perubahan patofisiologis RA karena mengandung
berbagai mediator kimia seperti mayor basic protein (MBP), eosinophil cationic
protein (ECP), eosinophil derived neurotoxin (EDN) dan eosinophil peroxidase (EPO)
yang mempunyai efek menyebabkan desagregasi dan deskuamasi epitel, kematian sel,
inaktifasi saraf mukosa dan kerusakan sel karena radikal bebas.
Peran mediator-mediator inflamasi dalam manifestasi gejala klinis rhinitis alergi
Reaksi alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL) padarhinitis
alergi ditandai oleh gejala bersin, beringus, gatal hidung, dan buntu hidung. Gejala-
gejala tersebut diakibatkan kinerja histamine dan berbagai mediator lain.
a. Bersin-bersin (sneezing)
b. Gatal-gatal (pruritus)
13
c. Beringus (rhinorrhea)
d. Buntu hidung (nasal congestion)
Antigen
Antigen yang membangkitkan reaksi hipersensitivitas tipe segera disebut alergen.
Antigen yang membangkitkan reaksi hipersensitivitas adalah protein atau zat kimia
yang terikat protein terhadap mana individu atopi bersangkutan terpapar secara
kronik. Pemaparan antigen sebelumnya secara alami merupakan faktor penting yang
akan menentukan tingginya kadar IgE spesifik. Secara umum paparan ulang terhadap
antigen tertentu diperlukan untuk menghasilkan reaksi atopi terhadap antigen
bersangkutan.
Belum diketahui mengapa antigen tertentu menimbulkan reaksi alergi kuat dan
antigen lain tidak. Ada kemungkinan bahwa alergen tidak sering disertai adjuvan
alami, karena itu gagal merangsang respon imun bawaan yang kuat yang seharusnya
dapat meningkatkan aktivasi makrofag dan sekresi sitokin penginduksi sel Th1, yaitu
IL-12 dan IL-8. Sifat alergenik diduga terletak pada antigen itu sendiri, mungkin
dalam epitop yang dikenal oleh sel tertentu. Walaupun tidak ada struktur protein
khusus yang dapat digunakan untuk memprediksi secara tepat bahwa protein itu
alergenik, ada beberapa gambaran khas pada alergen yang sering dijumpai. Gambaran
itu menyangkut berat molekul kemudian glikosilasi, dan sifat kelarutannya dalam
cairan tubuh.
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga
memberi gejala campuran, misalnya debu rumah yang memberi gejala asma bronkial
dan rinitis alergi. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh, terjadi reaksi yang
secara garis besar terdiri dari :
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat
nonspesifik dan dapat berakhir sampai di sini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
14
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah
sistem imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila
Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau ada
defek dari sitem imunologi, maka reaksi berlanjut menjadi respons tertier.
15
3. Respons tertier.
Reaksi imunologi yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh .
Fungsi drainase dan ventilasi berperan penting dalam menjaga sinus tetap normal.
Ini berhubungan erat dengan keadaan dari komplek osteomeatal pasien itu sendiri.
Pada komplek osteomeatal yang terganggu yang menyebabkan terjadi gangguan
drainase serta ventilasi yang dapat mempengaruhi kandungan oksigen, peningkatan p
C02 dan gangguan PH serta pembengkakan mukosa hidung dan akhirnya menurunkan
fungsi pembersihan mukosiliar (Busquets ,2006 ;Ballenger , 1994; Wilma ,2007).
Obstruksi ostium sinus menyebabkan retensi lendir dan menurunkan kandungan
oksigen, peningkatan pCO2, menurunkan pH, mengurangi aliran darah mukosa.
Pembengkakan membran mukosa juga akan menyempitkan ostium dan menurunkan
fungsi pembersihan mukosiliar.
Menurut Sakakura (1997), patogenesis dari rhinosinusitis kronik berawal dari
adanya suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya 16
mediator diantaranya vasoactive amine, proteases, arachidonic acid metabolit,
imunecomplek , lipolisaccharide dan lain-lain. Hal tersebut menyebabkan terjadinya
kerusakan dari mukosa hidung dan akhirnya menyebabkan disfungsi mukosiliar.
Adanya disfungsi mukosiliar menyebabkan terjadinya stagnasi mukos. Akibat hal
inilah maka bakteri akan semakin mudah untuk berkolonisasi dan infeksi inflamasi
akan kembali terjadi.
5. Etiologi
a. Infeksi
Infeksi yang tersering pada rongga hidung adalah infeksi virus. Partikel virus
sangat mudah menempel pada mukosa hidung yang menggangu system
mukosiliar rongga hidung dan virus melakukan penetrasi ke palut lendir dan
masuk ke sel tubuh dan menginfeksi secara cepat. Dengan menggunakan cahaya
mikroskop dan transmisi mikroskop elektron dapat dideteksi abnormalitas silia
yang disebabkan oleh infeksi virus. Bentuk dismorphic dari silia tampak lebih
sering pada tahap awal dari sakit dan terjadi pada lokal.Epitel yang normal
kembali setelah infeksi mereda 2-10 minggu. Pada populasi normal yang
terinfeksi dengan rhinovirus type 44 dan rata-rata waktu transportasi mukosiliar
dengan menggunakan label radioaktif sebagai cara pemeriksaannya mendapatkan
transport mukos yang menurun pada 2 hari terinfeksi. Dan secara signifikan rata-
rata waktu transportasi mukosiliar yang tampak meningkat pada hari ke 9-11
setelah terinfeksi. Di samping itu virus juga meningkatkan kekentalan mukus,
kematian silia, dan edema pada
b. Alergi :
Reaksi alergi terjadi di jalan nafas dan cavitas sinus yang menghasilkan edema
dan inflamasi di membrana mukosa. Edema dan inflamasi ini menyebabkan
blokade dalam pembukaan cavitas sinus dan membuat daerah yang ideal untuk
perkembangan jamur, bakteri, atau virus.
Alergi dapat juga merupakan salah satu faktor predisposisi infeksi disebabkan
edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang edem yang dapat menyumbat
17
muara sinus dan mengganggu drenase sehingga menyebabkan timbulnya infeksi,
selanjutnya menghancurkan epitel permukaan dan siklus seterusnya berulang yang
mengarah pada sinusitis kronis.
Pada keadaan kronis terdapat polip nasi dan polip antrokoanal yang timbul pada
rinitis alergi, memenuhi rongga hidung dan menyumbat ostium sinus.
c. Lingkungan
Faktor cuaca seperti udara dingin menyebabkan aktivitas silia mukosa hidung dan
sinus berkurang, sedangkan udara yang kering dapat menyebabkan terjadinya
perubahan mukosa, sehingga timbul sinusitis.
d. Obstruksi Hidung
Faktor lainnya adalah obstruksi hidung yang dapat disebabkan kelainan anatomis,
misalnya deviasi septum, hipertropi konka, bula etmoid dan infeksi serta tumor.
Biasanya tumor ganas hidung dan nasofaring sering disertai dengan penyumbatan
muara sinus.
e. Virus dan Bakteri
Virus penyebab sinusitis antara lain rinovirus, para influenza tipe 1 dan 2 serta
respiratory syncitial virus. Kebanyakan infeksi sinus disebabkan oleh virus, tetapi
kemudian akan diikuti oleh infeksi bakteri sekunder. Karena pada infeksi virus
dapat terjadi edema dan hilangnya fungsi silia yang normal, maka akan terjadi
suatu lingkungan ideal untuk perkembangan infeksi bakteri. Infeksi ini sering kali
melibatkan lebih dari satu bakteri. Organisme penyebab sinusitis akut mungkin
sama dengan penyebab otitis media. Yang sering ditemukan dalam frekuensi yang
makin menurun ialah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus Influenzae, bakteri
anaerob, Branhamella kataralis, Streptococcus alfa, Staphylococcus aureus dan
Streptococcus pyogenes. Selama suatu fase akut, sinusitis kronis disebabkan oleh
bakteri yang sama yang menyebabkan sinusitis akut. Namun, karena sinusitis
kronis biasanya berkaitan dengan drenase yang tidak adekuat maupun fungsi
mukosiliar yang terganggu, maka agen infeksi yang terlibat cenderung
18
oportunistik, dimana proporsi terbesar bakteri anaerob. Akibatnya, biakan rutin
tidak memadai dan diperlukan pengambilan sampel secara hati-hati untuk bakteri
anaerob. Bakteri aerob yang sering ditemukan dalam frekuensi yang makin
menurun, antara lain Staphylococcus aureus, Streptococcus viridans, Haemophilis
influenza, Neisseria flavus, Staphylococcus epidermis, Streptcoccus pneumoniae
dan Escherichia coli, Bakteri anaerob termasuk Peptostreptococcus,
Corynebacterium, Bakteriodaes dan Vellonella. Infeksi campuran antara
organisme aerob dan anaerob sering kali terjadi.
f. Struktur dan anatomi hidung
Kelainan anatomi hidung dan sinus juga dapat mengganggu fungsi
mukosiliar secara lokal. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan menjadi
lebih mendekat atau bertemu satu sama lain, maka aktivitas silia akan terhenti.
Deviasi septum, polip, konka bulosa atau kelainan struktur lain di daerah
kompleks osteomeatal dan ostium sinus dapat menghalangi transportasi
mukosiliar.
g. Iklim
Udara lembab, perubahan suhu, angin. Iklim ini secara tidak
langsung berpengaruh terhadap penyebaran debu rumah dan tepung sari bunga,
disamping memberi suasana yang baik untuk tumbuhnya berbagai macam jamur.
h. Hormonal
Wanita yang mempunyai bakat alergi dapat kambuh gejala alerginya kalau sedang
hamil karena minum pil KB atau menderita Hipertiroid.
i. Penggunaan nasal dekongestan yang berlebihan
Obat dekongestan topikal juga terlihat dapat menghambat fungsi silia.
Penggunaan obat tersebut paling kurang menyebabkan gangguan fungsi
mukosiliar sementara. Pemberian obat-obat seperti phenylephrine 0,5 % dan
19
oxymetazoline Hcl 0,05 % dapat menghambat gerakan silia secara sementara pada
binatang percobaan tapi hal ini belum dapat dibuktikan pada manusia.
6. Gejala Klinis
International Conference on Sinus Disease 1995 membuat kriteria mayor dan minor
untuk mendiagnosa rhinosinusitis kronis. Rinosinusitis didiagnosa apabila dijumpai 2
atau lebih gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2 gejala minor.
Obstruksi hidung
Sekret pada daerah hidung/ sekret belakang hidung yang seringdisebut PND
(Postnasal drip)
Sakit kepala
Nyeri /rasa tertekan pada wajah
Kelainan penciuman(Hiposmia / anosmia)-Gejala minor
Demam
Halitosis
Batuk dan iritabilitas
Pada sinusitis kronik terdapat gejala Subyektif dan gejala objektif.
a. Gejala Subjektif
Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret pasca
nasal (post nasal drip) yang seringkali mukopurulen dan hidung biasanya
sedikit tersumbat.
Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan.
Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi
sumbatan tuba eustachius.
20
Ada nyeri atau sakit kepala.
Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa bronchitis
atau bronkhiektasis atau asma bronkhial.
Gejala di saluran cerna mukopus tertelan sehingga terjadi gastroenteritis.
b. Gejala Objektif
Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat
pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental,
purulen dari meatus medius atau meatus superior, dapat juga ditemukan polip, tumor
atau komplikasi sinusitis. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di
nasofaring atau turun ke tenggorok.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan IgE total serum
Secara umum, kadar IgE total serum rendah pada orang normal dan
meningkat pada penderita atopi, tetapi kadar IgE normal tidak menyingkirkan
adanya rhinitis alergi. Pada orang normal, kadar IgE meningkat dari lahir (0-1
KU/L) sampai pubertas dan menurun secara bertahap dan menetap setelah usia
20-30 tahun. Padaorang dewasa kadar >100-150 KU/L dianggap normal. Kadar
meningkat hanya dijumpai pada 60% penderita rinitis alergi dan 75% penderita
asma. Terdapat berbagai keadaan dimana kadar IgE meningkat yaitu infeksi
parasit, penyakit kulit (dermatitis kronik, penyakit pemfigoid bulosa) dan kadar
menurun pada imunodefisiensi serta multipel mielom. Kadar IgE dipengaruhi juga
21
oleh ras dan umur, sehingga pelaporan hasil harus melampirkan nilai batas normal
sesuai golongan usia. Pemeriksaan ini masih dapat dipakai sebagai
pemeriksaan penyaring, tetapi tidak digunakan lagi untuk menegakkan diagnostic.
b. Transiluminasi
Transiluminasi menggunakan angka sebagai parameternya. Transiluminasi akan
menunjukkan angka 0 atau 1 apabila terjadi sinusitis (sinus penuh dengan cairan)
c. Rontgen Sinus Paranasalis
Sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa :
1. Penebalan mukosa,
2. Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)
3. Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapatdilihat pada foto
waters.
Bagaimanapun juga, harus diingat bhwa foto SPN 3 posisi ini memiliki kekurangan
dimana kadang kadang bayangan bibir dapat dikacaukan dengan penebalan mukosa sinus
e. CT Scan
22
CT Scan adalah pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran yang paling baik
akan adanya kelainan pada mukosa dan variasi antominya yang relevan untuk
mendiagnosis sinusitis kronis maupun akut. Walaupun demikian, harus diingat bahwa
CT Scan menggunakan dosis radiasi yang sangat besar yang berbahaya bagi mata.
f. Sinoscopy
Sinoscopy merupakan satu satunya cara yang memberikan informasi akurat tentang
perubahan mukosa sinus, jumlah sekret yang ada di dalam sinus, dan letak dan
keadaan dari ostium sinus. Yang menjadi masalah adalah pemeriksaan sinoscopy
memberikan suatu keadaan yang tidak menyenangkan buat pasien.
d. Pemeriksaan mikrobiologi
Biakan yang berasal dari hidung bagian posterior dan nasofaring biasanya lebih akurat
dibandingkan dengan biakan yang berasal dari hidung bagian anterior. Namun demikian,
pengambilan biakan hidung posterior juga lebih sulit. Biakan bakteri spesifik pada
sinusitis dilakukan dengan mengaspirasi pus dari inus yang terkena. Seringkali diberikan
suatu antibiotik yang sesuai untuk membasmi mikroorganisme yang lebih umum untuk
penyakit ini. Pada sinusitis akut dan kronik sering terlibat lebih dari satu jenis bakteri.
Dengan demikian untuk menentukan antibiotik yang tepat harus diketahui benar jenis
bakterinya penyebab sinusitisnya. Pemeriksaan kultur terhadap sekret sinus maksila
mendapatkan kuman aerob terbanyak adalah Streptokokus pneumonia (18 kasus - 45%),
diikuti Pseudomonas sp 8 kasus (20%), Streptokokus piogenes dan Klebsiela pneumonia
masing-masing 5 kasus (12,5%) dari 40 sampel penelitian pada tahun 2007. Pada
penelitian ini tidak dijumpai lebih dari 1 kuman aerob pada satu sediaan. Legent F dkk
(Prancis, 1994) menemukan kuman penyebab sinusitis maksila kronis yang terbanyak
adalah. Stafilokokus aureus, diikuti Hemofilus influensa, Streptokokus pneumonia.
Sedangkan Fombeur dkk (Paris, 1994) menemukan kuman Streptokokus pneumonia
sebagai penyebab terbanyak dari sinusitis maksila kronis, diikuti oleh Stafilokokus aureus
dan Hemofilus influenza, Moraksela kataralis dan Korinebakterium sp. Dari penelitian
23
dan berbagai teori yang ada menyebutkan bahwa terdapat campur tangan bakteri pada
sinusitis.
8. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan rinosinusitis adalah meliputi pengobatan dan pencegahan infeksi,
memperbaiki ostium, memperbaiki fungsi mukosiliar, dan menekan proses inflamasi
pada mukosa saluran nafas. Pada kasus-kasus kronis atau rekuren penting juga
menyingkirkan faktor-faktor iritan lingkungan.
Antibiotik merupakan modalitas terapi primer pada rhinosinusitis . Setelah diagnosa
ditegakkan dapat diberikan antibiotik lini pertama berdasarkan pengalaman empirik,
sambil menunggu hasil kultur. Berdasarkan efektivitas potensi dan biaya, jenis
antibiotik yang banyak digunakan adalah sefalosporin dan amoksisilin. Untuk kasus
akut diberikan selama 14 hari, sedangkan untuk kasus kronik diberikan sampai 7 hari
bebas gejala. Lamanya terapi biasanya 3-6 minggu.
Terapi tambahan untuk mengurangi gejala adalah kortikosteroid intranasal, mukolitik
dan dekongestan. Antihistamin hanya hanya efektif untuk kasus kasus alergi yang
merupakan penyakit dasar rhinosinusitis pada beberapa pasien.
Talbot dkk membandingkan penggunaan larutan buffer garam hipertonik (3 %, pH
7,6) dengan larutan garam fisiologis. Larutan garam hipertonik baik digunakan pada
sinusitis kronis atau pasca operasi karena dapat mengurangi edema melalui difusi
osmolaritas (Talbot, 1997) Selain terapi medikamentosa yang dijelaskan diatas,
rinosinusitis rekuren atau kronis memerlukan tindakan bedah. Pada saat ini tindakan
bedah yang palling direkomendasi adalah bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF)
atau sering disebut dengan Fungsional endoskopi sinus surgery (FESS).
Antihistamin
Antihistamin adalah antagonis reseptor H1 yang akan menghalangi bersatunya
histamin dengan reseptor H1 yang terdapat di ujung saraf dan epitel kelenjar pada
mukosa hidung. Akhir-akhir ini antihistamin didefenisikan sebagai inverse H1-
receptor agonists yang menstabilkan reseptor H1 yang inaktif sehingga aktifasi oleh
24
histamine dapat dicegah. Dengan demikian obat ini efektif untuk menghilangkan
gejala rinore dan bersin sebagai akibat dilepaskannnya histamin pada RA.
Antihistamin lama (generasi pertama) sudah terbukti secara klinis sangat efektif
mengurangi gejala bersin dan rinorea akan tetapi mempunyai efek samping yang
kurang menguntungkan yaitu menyebabkan efek mengantuk karena obat tersebut
masuk ke peredaran darah otak. Oleh karena itu penderita yang menggunakan obat ini
dianjurkan untuk tidak mengendarai mobil atau mengoperasikan mesin karena dapat
membahayakan. Secara klinis antihistamin generasi ini sangat efektif menghilangkan
rinore karena mempunyai efek antikolinergik. Efek ini terjadi karena kapasitas ikatan
obat terhadap reseptor yang tidak selektif sehingga obat terikat juga pada reseptor
kolinergik. Kekurangan lain dari antihistamin generasi pertama adalah ikatannya yang
tidak stabil dengan reseptor H1, sehingga daya kerjanya pendek. Efek samping yang
lain adalah :
Mulut kering, peningkatan nafsu makan dan retensi urin. Sampai sekarang anti
histamin golongan ini masih banyak digunakan karena masih efektif dan murah.
Beberapa contoh antihistamin generasi lama yang sampai kini masih popular adalah :
klorfeniramin, difenhidramin dan triprolidin.
Munculnya antihistamin generasi baru dapat menutup kelemahan antihistamin lama.
Karena tidak menembus sawar otak, antihistamin baru bersifat non-sedatif, sehingga
penderita yang menggunakan obat ini dapat aman dan tidak terhambat dalam
melakukan aktifitasnya. Kelebihan lain antihistamin baru adalah mempunyai masa
kerja yang panjang sehingga penggunaannya lebih praktis karena cukup diberikan
sekali sehari. Antihistamin baru tersebut adalah : astemizol, loratadin, setirizin,
terfenadin. Beberapa antihistamin baru kemudian dilaporkan menyebabkan gangguan
jantung pada pemakaian jangka panjang (astemizol, terfenadin), sehingga di beberapa
negara obat –obat tersebut tidak digunakan lagi. Antihistamin yang unggul adalah
yang bekerja cepat dengan waktu kerja yang panjang, yang tidak ada efek sedatif dan
tidak ada toksik terhadap jantung.
25
Pe
m
be
da
Pembedahan Radikal:
1. Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.
2. Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.
3. Sinus frontal dan sfenoid dengan operasi Killian.
26
Non Radikal. bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan
membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.
9. Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah menurun nyata sejak diberikannya antibiotik.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah :
a. Kelainan pada orbita
Komplikasi dapat melalui 2 jalur :
1. Direk/langsung : melalui dehisensi kongenital ataupun adanya erosi pada
tulang barier terutama lamina papirasea.
2. Retrograde tromboplebitis : melalui anyaman pembuluh darah
yang berhubungan langsung antara wajah, rongga hidung, sinus dan orbita.
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang
tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut,
namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak didekat orbita dan dapat
menimbulkan infeksi isi orbita. Terdapat lima tahapan :
o Peradangan atau analgetik reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita
akibat infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan
pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus
ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur ini.
o Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi
isi orbita namun pus belum terbentuk.
o Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang
orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
o Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi
orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan
unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang
27
tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga
proptosis yang makin bertambah.
o Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui
saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu
tromboflebitis septik. Pengobatan komplikasi orbita dari sinusitis berupa
pemberian antibiotik intravena dosis tinggi dan pendekatan bedah khusus
untuk membebaskan pus dari rongga abses. Gejala sisa trombosis sinus
kavernosus seringkali berupa atrofi optik.
Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
i. Oftalmoplegia.
ii. Kemosis konjungtiva.
iii. Gangguan penglihatan yang berat.
iv. Kelemahan pasien.
v. Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus
yang berdekatan dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta
berdekatan juga dengan otak.
b. Kelainan intrakranial.
i. Meningitis akut
ii. Abses dura
iii. Abses subdural
iv. Abses otak
Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara
bedah pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran infeksi.
c. Kelainan pada tulang
28
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis
adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala
sistemik berupa malaise, demam, dan menggigil. Pembengkakan diatas alis mata
juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila terbentuk abses subperiosteal, dalam
hal mana terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi tertutup. Timbul
fluktuasi dan tulang menjadi sangat nyeri tekan. Radiogram dapat memperlihatkan
erosi batas-batas tulang dan hilangnya septa intrasinus dalam sinus yang keruh.
d. Kelainan pada paru
o Bronkitis kronik
o Bronkhiektasis
e. Mukokel dan piokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus,
Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai
kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan
melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi
sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata
ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan
gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya. Piokel adalah mukokel
terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel meskipun lebih akut dan
lebih berat. Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat
semua mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi
sinus.
f. Otitis media
g. Toxic shock syndrome
10. Pencegahan
29
Tidak ada cara yang pasti untuk menghindari baik sinusitis yang akut ataukronis.
Tetapi di sini ada beberapa hal yang dapat membantu :
o Menghindari kelembaban sinus - gunakan saline sprays atau sering diirigasi.
o Hindari lingkungan indoor yang sangat kering.
o Hindari terpapar yang dapat menyebabkan iritasi, seperti asap rokok atau
aroma bahan kimia yang keras.
BAB III
PENUTUP
Ada empat buah sinus paranasal pada masing masing sisi hidung. Seperti sinus maksilaris,
sinus etmoidalis, sinus frontalis, dan sinus spenoidalis. Sinus paranasalis ini mempunyai
fungsi :
1. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
2. Penahan suhu (thermal insulators)
3. Membantu keseimbangan kepala
4. Membantu resonansi udara
5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
6. Membantu produksi mucus
Penyebab terjadinya sinusitis adalah inflamasi dan infeksi, struktur atau anatomi dari sinus,
kebiasaan atau gaya hidup, inherited atau acquired, dan lingkungan.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk penegakan diagnosis dari sinusitis adalah
transiluminasi, rontgen sinus paranasalis, CT scan, sinoscopy, dan pemeriksaan mikrobiologi.
Pada penderita sinusitis berdasarkan hasil kultur ditemukan bakteri seperti Streptokokus
pneumonia, diikuti oleh Pseudomonas sp, Streptokokus piogenes dan Klebsiela pneumonia.
Sehingga antibiotik masih dibutuhkan pada penderita sinusitis tersebut. Antibiotic yang
30
sensitive adalah terutama adalah Streptomisin, rimfapicin, kanamisin, gentamisin yang
berbentuk injeksi. Sedangkan untuk obat antibiotic oral yaitu doksisiklin, tetrasiklin,
enteromisin, ciprofloksasin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Endang Mangunkusumo. Sinusitis dalam Kumpulan makalah Simposiumsinusitis,
Jakarta 1999, 1 – 6.
2. E.Mangunkusumo . Fisiologi Hidung dan Parasanal Dalam Iskandar N.dkk (Eds).
Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Balai Penerbit FK UI Jakarta 1990 ; 85-87
3. Yuritna Haryono. Rinitis Alergi. Dalam makalah Simposium UP Date in IgE
Mediated Allergic Reaction. Medan, 1994 ; 1 – 26.
4. Hilger PD. Disease of Parasanal Sinuses. Adam GL Boies LRJK Hilger Fundametal
of Oyolaryngology,6th ed. Philadelphia ; Sounders Company,1990 49 – 270.
5. Suetjipto D. Hidung dan Sinus Parasanal Anatomy Hidung dan sinus Parasanal.
Dalam Iskandar N. ddl (Eds) Buku ajar Ilmu penyakit THT. Balai Penerbit FK UI,
Jakarta, 1990 ; 75 – 84
6. Mangunkusumo, Rifki. 2006. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher. Jakarta : FKUI Mansjoer, Triyanti, Savitri. 2005. Kapita Selekta
Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI 13. Budianto. 2005. Guidance to
Anatomy III. Surakarta. Keluarga besar asisten anatomi FK UNS Surakarta.
7. Sumarman I, 2001,Patofisiologi dan Prosedur Diagnostic Rinitis Alergi Dalam :
Kumpulan Makalah Simposium “Current and Future Approach inTreatment of
31
Allergic Rhinitis” kerjasama PERHATI Jaya - Bagian THTFK UI / RSCM,
Jakarta,pp.14-18
8. Irawati N, 2002, Panduan Penatalaksanaan Terkini Rinitis Alergi, Dalam : Kumpulan
Makalah Simposium “Current Opinion In Allergy and ClinicalImmunology”,Divisi
Alergi-Imunologi Klinik FK UI/RSUPN-CM, Jakarta
9. Mulyarjo,2006, Penganganan Rinitis Alergi : Pendekatan Berorientasi pada Simtom,
Dalam : Kumpulan Naskah Simposium Nasional Perkembangan Terkini
Penatalaksanaan Beberapa Penyakit Penyerta Rinitis Alergi dan Kursus Demo
Rinotomi Lateral, Maksilektomi dan Septorinoplasti, Malang, pp. 10,2,1-18
10. Suprihati,2006, Patofisiologi Rinitis Alergi, Dalam : Kumpulan Naskah Simposiumm
Nasional Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Beberapa Penyakit Penyertam
Rinitis Alergi dan Kursus Demo Rinotomi Lateral, Maksilektomi dan Septorinoplasti,
Malang, pp.10, 1, 1-15
32