Referat Perbandingan Terapi Ambliopia Mononuklear Binokuler
-
Upload
christopher-kusumajaya -
Category
Documents
-
view
74 -
download
13
description
Transcript of Referat Perbandingan Terapi Ambliopia Mononuklear Binokuler
REFERAT
PERBANDINGAN TERAPI MONOKULER DAN BINOKULER
PADA AMBLIOPIA
Pembimbing:
dr. Mulia Sitepu, Sp.M
Disusun Oleh:
Veronika Stephani Anggraini (2012-061-084)
Marissa Gondo Suwito (2012-061-085)
Radius Kusuma (2012-061-086)
Christopher Kusumajaya (2012-061-087)
Karina Pratiwi (2012-061-088)
Stephanie Natasha Juanda (2012-061-089)
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA JAKARTA
RUMAH SAKIT ATMA JAYA JAKARTA
PERIODE 22 SEPTEMBER 2014 – 24 OKTOBER 2014
DAFTAR ISI
Daftar Isi…………………………………………………………………………………… 1
Daftar Gambar……………………………………………………………………………... 2
Daftar Tabel………………………………………………………………………………... 3
Bab I Pendahuluan…………………………………………………………………………. 4
1.1. Latar Belakang…………………………………………………………………5
1.2. Rumusan Masalah……………………………………………………………...5
1.3. Tujuan…………………………………………………………………………. 5
1.4. Manfaat………………………………………………………………………... 5
Bab II Tinjauan Pustaka…………………………………………………………………….6
2.1. Definisi…………………………………………………………………………6
2.2. Epidemiologi…………………………………………………………………...6
2.3. Etiologi dan Faktor Risiko……………………………………………………..6
2.4. Patofisiologi…………………………………………………………………… 7
2.5. Diagnosis…………………………………………………………………….... 9
2.6. Tatalaksana Ambliopia………………………………………………………... 15
2.7. Perbandingan Antara Terapi Monokular Dan Binokular pada Ambliopia……. 21
Bab III Kesimpulan dan Saran……………………………………………………………...22
3.1. Kesimpulan……………………………………………………………………. 22
3.2. Saran…………………………………………………………………………... 22
Daftar Pustaka……………………………………………………………………………....23
1
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Macam-macam optotipe untuk pemeriksaan visus…………………………….. 12
Gambar 2. Terapi Oklusi kombinasi dengan latihan………………………………………. 16
Gambar 3. Anak laki-laki 5 tahun menggunakan HMD goggles…………………………...20
Gambar 4. Gambar sebelah kiri adalah gambar yang terlihat untuk mata kiri (mata sehat),
gambar sebelah kanan adalah gambar yang terlihat untuk mata kanan (mata ambliopia) di
mana kontras yang diberikan lebih tinggi…………………………………………………..20
2
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Ambliopia……………………………………………………..15
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ambliopia menurut American Academy of Ophtalmology (AAO) adalah penurunan
visus terbaik yang dapat dikoreksi pada satu atau dua mata dimana penurunan visus tidak
semata-mata disebabkan hanya karena kelainan struktural.1 Sedangkan menurut Perhimpunan
Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI), ambliopia adalah berkurangnya tajam
penglihatan yang terjadi karena tidak normalnya perkembangan visus yang dialami sejak usia
dini, yaitu sejak lahir hingga usia 10 tahun. Kelainan ini umumnya dijumpai pada populasi
anak-anak dan disebabkan oleh pengenalan yang kurang terhadap bayangan detail terfokus,
yang sering dijumpai pada mata strabismus, gangguan refraksi (anisometropia) tinggi,
kelainan fiksasi, kekeruhan pada media lintasan visual dan ambliopia toksik.2
Studi mengenai insidens dan prevalensi kasus ambliopia jarang dilakukan. Secara
global, prevalensi ambliopia diperkirakan berkisar antara 0,8 – 3,3%.1 Fungsi penglihatan
yang baik pada usia dini memegang peranan yang penting dalam proses belajar dan
perkembangan anak. Seorang anak dengan ambliopia dapat mengalami kesulitan dalam
proses akademis, yang berlanjut menjadi penurunan kualitas sumber daya manusia di
kemudian hari. Tatalaksana ambliopia pada usia dini memberikan harapan kesembuhan yang
lebih tinggi sehingga anak tersebut dapat memperoleh kembali potensi untuk menjadi sumber
daya manusia yang berkualitas. Jenis terapi yang diberikan dapat bermacam-macam, namun
secara umum dapat diklasifikasikan menjadi terapi monokuler dan terapi binokuler.
Terapi ambliopia pada umumnya adalah dengan mengurangi daya penglihatan mata
yang sehat sehingga mata yang sakit dipaksa untuk melihat dengan harapan mata sakit
tersebut dapat memperoleh kembali tajam penglihatannya.3 Terapi ini disebut juga sebagai
terapi monokuler karena menekankan pada pentingnya menghilangkan supresi pada mata
yang tajam penglihatannya buruk. Terapi ambliopia lainnya menekankan pada pentingnya
fungsi binokuler dalam penglihatan sehingga kedua mata sama-sama diberikan terapi. Terapi
kedua ini disebut juga sebagai terapi binokuler. Dalam karya tulis ini, masing-masing
4
kelebihan dan kekurangan dari terapi monokuler dan binokuler akan dibahas dan dengan itu
diharapkan pembaca dapat mendapat gambaran tentang perbedaan masing-masing terapi dan
dapat mempertimbangkan jenis terapi yang terbaik untuk penderita ambliopia.
1.2. Rumusan Masalah
Apa perbedaan terapi monokuler dan binokuler pada kasus ambliopia?
1.3. Tujuan
1. Memahami cara diagnosis ambliopia.
2. Memahami perbedaan terapi monokuler dan binokuler pada kasus ambliopia.
1.4. Manfaat
1. Mampu memahami perbedaan terapi monokuler dan binokuler pada kasus
ambliopia dengan masing-masing keuntungan dan kerugiannya.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Ambliopia menurut American Academy of Ophtalmology (AAO) didefinisikan sebagai
penurunan visus terbaik yang dapat dikoreksi pada satu atau dua mata dimana penurunan
visus tidak semata-mata disebabkan hanya karena kelainan struktural.1 Sedangkan menurut
Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI), ambliopia adalah berkurangnya
tajam penglihatan yang terjadi karena tidak normalnya perkembangan visus yang dialami
sejak usia dini, yaitu sejak lahir hingga usia 10 tahun.2
2.2. Epidemiologi
Ambliopia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena prevalensinya
di antara anak-anak dan karena gangguan tajam penglihatan ini bersifat menetap dan berat
apabila tidak diterapi. Perkiraan prevalensi secara global berkisar antara 0,8 – 3,3%
tergantung populasi dan definis yang dipakai.
Sebanyak 50% kejadian ambliopia unilateral berkaitan dengan strabismus. Ambliopia
empat kali lebih sering ditemukan pada anak-anak dengan riwayat lahir prematur, kecil masa
kehamilan dan memiliki saudara kandung yang juga menderita ambliopia. Faktor lingkungan
seperti ibu perokok, penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang selama kehamilan dapat
berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian ambliopia atau strabismus.1
2.3. Etiologi dan Faktor Risiko
Ambliopia dapat disebabkan beberapa hal. Dia antaranya adalah strabismus,
gangguan refraksi, kelanan fiksasi, dan kekeruhan pada media lintasan visual. Strabismus
adalah penyebab tersering dari ambliopia di mana satu mata digunakan terus menerus untuk
fiksasi sedangkan mata yang lain tidak digunakan. Anisometropia tinggi yang tidak terkoreksi
adalah penyebab tersering kedua. Anak-anak yang prematur cenderung memiliki risiko untuk
mengalami ambliopia empat kali lebih banyak daripada anak yang lahir sesuai usia gestasi.
6
Faktor risiko lainnya yang mempengaruhi terjadinya ambliopia adalah faktor lingkungan
seperti penggunaan alkohol selama masa kehamilan.1
2.4. Patofisiologi
Mekanisme neurofisiologi terjadinya ambliopia masih belum jelas sampai sekarang.
Pengelihatan manusia mengalami perkembangan sejak bayi. Terdapat beberapa periode
penting untuk mencapai tingkat kematangan pengelihatan. Periode pertama adalah periode
yang paling menentukan, yaitu 6 bulan pertama kehidupan, periode berikutnya adalah sampai
2 tahun dan sampai 5 tahun. Setelah 5 tahun masih ada perkembangan, tetapi sudah tidak
begitu pesat lagi sampai usia 9 tahun. Selama masa ini sistem pengelihatan peka terhadap
faktor ambliopagenik yaitu deprivasi cahaya, kurang fokusnya alat optik dan strabismus.4
Saat lahir, sistem pengelihatan belum sempurna, jadi tajam pengelihatan adalah satu
per tak terhingga. Perkembangan tajam pengelihatan berlangsung selama bulan pertama
kehidupan. Retina, nervus optikus, dan koreks visual mulai berkembang pada usia satu
minggu. Mielinisasi saraf optik perkembangan korteks visual dan pertumbuhan badan
genikulatum lateral berlangsung selama dua tahun pertama kehidupan. Fovea yang
merupakan bagian dari retina yang paling sensitive, berkembang sempurna pada usia 4 tahun.
Rangsangan pengelihatan penting untuk perkembangan pengelihatan yang normal.
Perkembangan jaras pengelihatan di sistem saraf pusat membutuhkan otak yang dapat
menerima bayangan dengan jelas dan seimbang. Berbagai proses yang dapat mempengaruhi
atau menghambat perkembangan jaras pengelihatan pada otak dapat menimbulkan
ambliopia.4
Pada ambliopia didapatkan adanya kerusakan pengelihatan sentral, sedangkan daerah
pengelihatan perifer dapat dikatakan masih normal. Secara umum, ambliopia disebabkan
karena stimulus fovea atau retina perifer yang tidak adekuat atau interaksi binokuler
abnormal yang menyebabkan input visual yang berbeda dari fovea.4
Studi eksperimental pada manusia menunjukkan gangguan sistem pengelihatan yang
disebabkan karena pengalaman melihat abnormal dini. Sel pada korteks visual dapat
kehilangan kemampuan dalam menanggapi rangsangan pada satu atau kedua mata. Dan sela
yang masih responsive fungsinya pada tahap akhir akan menurun. Kelainan juga terjadi pada
neuron badan genikulatum lateral. Keterlibatan retina masih belum dapat disimpulkan.4
Sistem pengelihatan membutuhkan pengalaman melihat dan interaksi kompetitif
antara jalur pengelihatan kedua mata pada korteks visual untuk berkembang sampai dewasa.
Pengelihatan yang baik harus jernih, bayangan terfokus pada kedua mata. Bila bayangan
7
kabur pada satu mata atau bayangan tersebut tidak sama pada kedua mata, maka jaras
pengelihatan tidak dapat berkembang dengan baik, bahkan dapat memburuk. Bila hal ini
terjadi, otak akan mematikan mata yang tidak fokus dan orang tersebut akan bergantung pada
satu mata untuk melihat.4
Pada ambliopia yang dicetuskan oleh gangguan nervus optik, kadang tidak
terdiagnosis secara langsung, seperti hipoplasia ringan pada nervus optik. Biasanya akan
terdeteksi pada usia yang lebih dewasa saat pemeriksaan yang lebih koopertaif dapat
dilakukan. Kemungkinan adanya gangguan nervus optikus ataugangguan pada retina harus
selalu dipertimbangkan pada anak-anak dengan ambliopia yang tidak respon dengan terapi.4
Berikut adalah beberapa klasifikasi ambliopia :
1. Ambliopia strabismus
2. Ambliopia refraktif (isometropia dan anisometropi)
3. Ambliopia deprivasi stimulus
Ambliopia strabismus diduga disebabkan karena kompetisi atau terhambatnya interaksi
antara neuron yang membawa input yang tidak menyatu dari kedua mata, yang akhirnya akan
terjadi dominasi pusat pengelihatan kortikal oleh mata yang berfiksasi dan alam kelaman
terjadi penurunan respon terhadap input dari mata yang tidak berfiksasi. Penolakan kronis
dari mata yang berdeviasi oleh pusat pengelihatan binokular ini tampaknya merupakan faktor
utama terjadinya ambliopia strabismus, namun pengaburan bayangan foveal karena
akomodasi yang tidak ssuai dapat juga menjadi faktor tambahan.5
Ambliopia isometropia terjadi akibat kelainan refraksi tinggi yang tidak dikoreksi, yang
ukurannya hampir sama pada mata kanan dan mata kiri, yang walaupun telah dikoreksi
dengan baik, tidak langsung memberikan hasil pengelihatan normal. Tajam pengelihatan
membaik sesudah koreksi lensa dipakai pada suatu periode waktu, biasanya beberapa bulan.
Pada ambliopia isometropia, hilangnya pengelihatan dapat diatasi dengan terapi pengelihatan
karena interaksi abnormal binokular bukan merupakan faktor penyebab. Mekanismenya
hanya karena akibat bayangan retina yang kabur saja.5
Ambliopia anisometropia merupakan jenis ambliopia kedua terbanyak setelah ambliopia
strabismus. Ambliopia ini terjadi karena adanya perbedaan refraksi antara kedua mata yang
menyebabkan lama kelamaan bayangan pada satu retina tidak fokus. Jika bayangan di fovea
pada kedua mata berlainan bentuk dan ukuran yang disebabkan karena kelainan refraksi yang
tidak sama antara kiri dan kanan, maka terjadi rintangan untuk fusi. Ambliopia anisometropia
mulai muncul bila perbedaan hiperopia kedua mata lebih dari 2 dioptri, sedangkan untuk
mata miopi, ambliopia biasanya terjadi bila perbedaan miopi kedua mata lebih dari 5 dioptri.5
8
Ambliopia deprivasi stimulus terjadi paling sering karena katarak congenital dan
merupaka ambliopia yang memiliki respon paling buruk terhadap terapi. Mabliopia yang
terjadi bisanya unilateral. Semakin dini terdeteksi, semakin cepat pemberian terapi, maka
semakin baik prognosisnya.5
2.5. Diagnosis
Evaluasi klinis ambliopia didasarkan pada pemeriksaan yang komprehensif, terutama
dengan menitikberatkan pada faktor risiko amblyopia, misalnya strabismus, anisometropia,
adanya riwayat keluarga dengan strabismus atau ambliopia, dan adanya kekeruhan media
refraksi dan kelainan struktural.1,6 Karena gangguan fungsi penglihatan pada anak sering tidak
terdeteksi, maka sebaiknya dilakukan skrining secara rutin pada usia 4 tahun untuk
mendeteksi penuunan visus yang dapat berujung ke ambliopia atau adanya factor risiko yang
dapat mengarah ke sana (strabismus, anisometropia).7
Anamnesis:
o Data demografik, yaitu jenis kelamin, usia, tanggal lahir, dan identitas
pasien dan orang tuanya
o Keluhan utama dan mengapa anak tersebut dibawa untuk
memeriksakan matanya
o Riwayat kelainan mata sebelumnya (gejala, diagnosis, dan pengobatan
yang telah diberikan). Misalnya strabismus,
o Riwayat kesehatan, berat badan lahir, usia gestasi, riwayat prenatal dan
perinatal yang mungkin berhubungan (misalnya penggunaan alcohol,
rokok dan obat-obatan saat hamil), riawayat perawatan di rumah sakit
dan operasi yang pernah diakukan. (dicari ada tidaknya keterlambatan
perkembangan dan cerebral palsy)
o Pengobatan saat ini dan ada tidaknya alergi
o Riwayat kelainan mata pada keluarga dan keadaan klinis lain yang
berhubungan1,6,7
9
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan mata mencakup pemeriksaan terhadap fungsi normal dan
anatomi mata dan sistem penglihatan. Sebaiknya didokumentasikan apakah
anak yang bersangkutan kooperatif terhadap pemeriksaan ini, (berguna dalam
interpretasi hasil pemeriksaan dan untuk membandingkan hasil secara
berkala). Secara umum, pemeriksaan yang dilakukan meliputi:
Tes Binocular Red Reflex (Bruckner test)
Tes ketajaman penglihatan binocular (Binocularity/Stereoacuity
testing)
Pemeriksaan tajam penglihatan dan pola fiksasi mata
Pemeriksaan terhadap kedudukan bola mata dan gerakan mata
Pemeriksaan pupil
Pemeriksaan bagian mata bagian luar
Pemeriksaan segmen anterior
Retinoskopi dengan pemberian sikloplegik jika diperlukan
Funduskopi1,7
Binocular Red Reflex (Bruckner test)
Pada ruangan yang telah digelapkan, lampu oftalmoskop direk
diarahkan menuju kedua mata secara smultan pada jarak 45-75 cm.
pemeriksaan ini dianggap normal jika dijumpai refleks pada kedua mata,
yang berwarna merah. Dianggap abnormal jika didapati adanya kekeruhan
pada refleks ini, hilangnya refleks, adanya refleks yang berwarna putih atau
kuning atau putih, atau adanya refleks yang tidak simetris pada kedua mata.
Refleks ini bervariasi tergantung dari pigmentasi retina dan tentunya
tergantung juga dengan ras/etnisitas pasien. Pada hiperopia yang tinggi,
terdapat bentuk seperti bulan sabit yang terang di bagian inferior sedangkan
pada myopia yang tinggi, temuan ini terletak pada bagian superior.1
Tes ketajaman penglihatan binocular (Binocularity/Stereoacuity testing)
Komponen yang termasuk dalam pemeriksaan ini adalah fusi sensorik,
stereopsis, fusi motorik, dan pergerakan binocular yang terkoordinasi
10
lainnya. Ketajaman penglihatan binokuler sangat dipengaruhi oleh adanya
ambliopia, strabismus, serta kelainan refraksi, tetapi masing-masing
tergantung dari derajat keparahan gangguan tersebut. Tes yang dapat
digunakan pada pemeriksaan ini yaitu Worth 4-dot test (fusi sensorik), the
Randot test (stereopsis), vergence testing dengan prisma (fusional
vergence). Pemeriksaan terhadapt stereoakuisitas sangat penting karena
stereoakuisitas yang tinggi berhubungan dengan keduduakn bola mata yang
normal. Tes terhadap fusi sensorik sebaiknya dilakukan sebelum
pemeriksaan lainnya (misalnya menutup mata untuk memeriksa visus
monokuler, cover test untuk melihat kedudukan bola mata). Pemeriksaan
kedudukan bola mata ini harus dilakukan sebelum diberikan sikloplegik.1
Pemeriksaan tajam penglihatan dan pola fiksasi mata
Fiksasi mata
Pengukuran ketajaman penglihatan pada anak-anak membutuhkan
pemeriksaan pola fiksasi dan kemampuan mata untuk mengikuti suatu
objek. Fiksasi dan mengikuti objek diperiksan dengan cara mengalihkan
perhatian anak pada wajah pemeriks, mainan atau objek lainnya kemudian
menggerakkan objek target tersebut perlahan-lahan. Setelah itu dilihat
apakah pola fiksasinya stabil, sentral dan terfiksasi.1
Apabila anak bersikeras untuk menutup salah satu mata, kemungkinan
dapat disebabkan karena mata tersebut mengalami gangguan. Penentuan
pola fiksasi ini dilakukan dengan grading, yaitu apakah mata tersebut tidak
dapat terfiksasi pada suatu objek, terfiksasi sebentar (selama beberapa
detik), atau dengan melihat ada tidaknya kelainan spontan saat mata
terfiksasi pada objek tertentu.1
Ketajaman penglihatan
Pemeriksaan dengan menyuruh pasien melihat dan mengenali optotipe
(berupa huruf, angka, atau symbol) lebih dipilih untuk mengetahui
ketajaman penglihatan dalam diagnosis ambliopia. Pemeriksaan dilakukan
pada jarak jauh (10-20 kaki atau 3-6 meter) dan pada jarak dekat (14-16
inci atau 35-40 cm). Karena pemeriksaan ini dilakukan pada anak-anak,
maka dibutuhkan pemilihan chart yang tepat dan kemampuan pemeriksan
11
dalam membina raport ddengan pasien. Pemeriksaan visus dilakukan secara
monokuler (bergantian dengan menutup salah satu mata) dan dengan
koreksi kelainan refraktif. Pemeriksaan visus monouler pada pasien
nistagmus membutuhkan teknik khusus, yaitu dengan mengaburkan salah
satu mata dengan lensa positif atau dengan okluder yang translusen, bukan
dengan yang opak.1
Macam-macam optotipe yang dapat digunakan untuk pemeriksaan
visus:
Gambar 1. Macam-macam optotipe untuk pemeriksaan visus1
Pada ambliopia perlu diperiksa adanya crowding phenomenon, yaitu
keadaan dimana pasien lebih jelas saat membaca satu huruf dibandingkan
dengan huruf-huruf yang berada dalam satu baris. Keadaan ini dapat
normal, tetapi lebih jelas terlihat pada pasien dengan ambliopia6
12
Pemeriksaan terhadap kedudukan bola mata dan gerakan mata
Pemeriksaan refleks kornea, binocular red reflex (Bruckner test), dan
tes menutup mata adalah pemeriksaan yang digunakan untuk mengetahui
kedudukan bola mata. Tes tutup mata dan buka tutup mata untuk pasien
tropia dan tutup mata bergantian pada pasien phoria (strabismus laten). Tes
tutup mata membutuhkan visus yang cukup baik dan pasien yang diperiksa
harus kooperatif. Pergerakan mata juga dapat diperiksa dengan rotasi
okulosefalik (doll’s head maneuver) atau dengan pergerakan mata spontan
pada anak yang tidak kooperaif. Pada anak dengan strabismus, harus
diperiksa juga fungsi M. oblik superior dan inferior.1
Pemeriksaan pupil
Pupil harus diperiksa ukurannya, bentuk dan reflek langsung serta tidak
langsungnya terhadap cahaya. Pemeriksaan pupil pada bayi dan anak-anak
seringkali sulit dilakukan karena adanya hippus, kesulitan untuk
memfiksaasi pandangan dan perubahan yang cepat pada status akomodasi.
Adanya anisokoria > 1 mm dapat mengindikasikan adanya pross yang
patologis (misalnya Horner syndrome, Adie tonic pupil atau gangguan
parese N.III) Sedangkan bentuk pupil yang irregular dapat dijumpai pada
kerusakan sfingter traumatik, iritis dan abnormalitas kongenital (misalnya
coloboma). Gangguan afreren pada pupil basanya tidak dijumpai pada
ambliopia. Jika didapati, maka sebaiknya dicari etiologi lain yang
menyebabkan terjadinya penurunan penglihatan (misalnya kerusakan saraf
dan retina).1
Pemeriksaan mata bagian luar
Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan kelopak mata, bulu mata,
apparatus lakrimalis, dan orbita. Yang termasuk didalamnya adalah
mengidentifikasi ada tidaknya proptosis, berat atau tidaknya ptosis dan
fungsi M. levator palpebra,, ada tidanya retraksi kelopak mata, dan posisi
rrelatif bola mata pada orbita (hipoglobus atau hiperglobus), Pada anak
yang cukup besar, dengan keluha proptosis dapat diperiksa dengan
13
exophthalmometer. Sedangkan pada anak yang lebih kecil dan tidak
kooperatif, proptosis globus dapat dlihat dengan membandingkan kedua
mata dilihat dari atas kepala. Harus diperhatikan anatomi dan posisi kepala.1
Pemeriksaan segmen anterior
Pemeriksaaan pada iris, lensa dan anterior chamber dan kornea
sebaiknya dilakukan dengan menggunakan slit-lamp.1
Retinoskopi dan Pemeriksaan Refraksi dengan pemberian sikloplegik
jika diperlukan
Mengetahui adanya gangguan refraksi yang terjadi sangat penting
dalam diagnosis amblyopia atau strabismus. Pasien sebaiknya diberi
sikloplegik lalu diperiksa dengan retinoskopi. Sebelum pemberian
sikloplegik, retinoskopi dinamik dapat memberikan hasil yang cepat dan
dapat membantu dlam mengevaluasi anak dengan astenopia yang memiliki
hiperopia tinggi atau pada anak dengan insufisiensi akomodasi. Untuk
dapat melakukan pemeriksaan retinoskopi dengan akurat, dibutuhkan
sikloplegik yang adekuat, karena pada anak-anak kemampuan
akomodasinya lebih besar daripada oang dewasa. Cyclopentolate
hydrochloride dapat digunakan karenadapat menghasilkan efek sikloplegi
yang cepat dan durasinya lebih singkat jika dibandingkan dengan atropine
1%. Pada bayi > 6 bulan, biasa digunakan Cyclopentolate 1%. Dosis
cyclopetolate ditentukan berdasarkan berat badan anak, warna iris dan
kemampuan dilatasinya. Pada mata dengan iris yang berwarna sangat
gelap,seringkali diperlukan pemberian sikloplegik berulang atau bisa
dikombinasikan dengan phenylephrine hydrochloride 2,5% atau
tropicamide 0,5-1%.1
Funduskopi
Pada pemeriksaan funduskopi, harus dievaluasi bagaimana keadaan diskus
optiknya, macula, retina, pembuluh darah dan koroid dengan
menggunaakan oftalmoskopi indirek. Karena pada anak-anak biasanya
memeriksa retina perifer, maka seringkali dibutuhkan pemberian sedasi.1
14
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ambliopia didasarkan pada adanya gangguan visus dan identifikasi
peyebabnya. Jarang didapati ambliopia yang tidak disertai dengan strabismus, gangguan
refraksi, kekeruhan meda refraksi dan gangguan struktural bola mata. Jika didapati
adanya penurunan visus, tetapi tidak disertai dengan kelainan penyebab di atas, maka
sebaiknya dipikirkan diagnosa lainnya.
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Ambliopia1
2.6. Tata Laksana Ambliopia
2.6.1. Terapi Monokuler
Pada umumnya tata laksana ambliopia adalah dengan memberikan perlakuan pada
mata ambliopia yaitu meningkatkan fungsi penglihatan dari mata tersebut. Terapi ini
merupakan bentuk dari terapi monokuler, dimana perlakuan hanya diberikan pada mata
yang alami penurunan fungsi penglihatan. Terdapat berbagai cara yang dilakukan untuk
meningkatkan fungsi mata ambliopia, diantaranya adalah :
1. Oklusi
Oklusi pada mata non ambliopia dilakukan untuk meningkatkan penggunaan
mata yang ambliopia.6 Terapi oklusi ini tidak dilakukan sepanjang hari, durasi yang
seringkali digunakan adalah 6 jam per hari dan 12 jam per hari. Kedua dosis ini dapat
memberikan hasil yang memuaskan pada anak ambliopia usia 3-8 tahun. Durasi lebih
15
dari 4 jam per hari tidak akan meningkatkan hasil dari terapi. Hubungan antara durasi
dan hasil terapi akan berbanding lurus hingga durasi 4 jam, oklusi lebih dari 4 jam per
hari tidak akan meningkatkan hasil dari terapi. Usia juga berpengaruh pada pemilihan
dosis, dimana pasien usia kurang dari 4 tahun dapat sembuh walau dengan durasi
oklusi yang lebih pendek.8 Walau demikian, terdapat penelitian lain yang menyatakan
bahwa terapi oklusi ini masih efektif hingga usia 15-16 tahun pada pasien dengan
ambliopia anisometropik monokular.9 Terapi ini bisa divariasikan dengan menambah
latihan saat oklusi mata non ambliopia. Latihan yang diberikan adalah menyusun
puzzle, mencari perbedaan gambar, memasukan benang ke jarum, menulis atau
meniru gambar. Dengan latihan ini diharapkan perbaikan visus pada mata ambliopia
akan lebih cepat tercapai.10
Gambar 2. Terapi Oklusi kombinasi dengan latihan
Terapi ini beberapa kekurangan yang seringkali menjadi pertimbangan, yaitu
iritasi kulit yang disebabkan oleh penutup mata, pemaksaan penggunaan mata yang
memiliki visus buruk, tidak baik secara kosmetik, dan durasi dari terapi.8
Terapi ini dianggap efektif, dimana durasi terapi ditantukan pada usia dan
tingkat keparahan dari ambliopia. Makin muda dan tinggi visus dari ambliopia makin
pendek jangka waktu durasi terapi. Namun bila dalam waktu 6 bulan tidak terdapat
perubahan, maka terapi ini dianggap tidak berhasil.6
16
2. Penalization
Penalization merupakan metode terapi ambliopia yang membuat pandangan
mata non ambliopia menjadi kabur, sehingga mata ambliopia dipaksa bekerja.
Terdapat 2 cara penalization, yaitu farmakologi (menggunakan atropine) dan optikal
(menggunakan lensa positif). Dari kedua cara ini, didapatkan bahwa penalization
farmakologi atau dengan atropine terbukti lebih efektif, sehingga terapi penalization
farmakologi lebih umum digunakan.11 Tetes mata sulfas atropin merupakan agen
sikloplegik topikal yang kerjanya long acting. Obat ini akan membuat pandangan
dekat kabur, sehingga hal ini akan memaksa mata non ambliopia lebih digunakan
untuk aktivitas yang membutuhkan pandangan dekat.12
Terapi ini baik diberikan pada pasien dengan ambliopia sedang (visus lebih
dari 6/24) dan berhungan dengan hipermetropia. Terapi ini diberikan bila oklusi
secara konvensional tidak memberikan hasil. Namun metode terapi ini memberikan
efek lebih lambat dibandingkan dengan oklusi konvensional.6 Pada penelitian
didapatkan bahwa penggunaan atropin pada ambliopia berat usia 3 sampai 12 tahun 1
kali per minggu dapat memberikan perbaikan, dimana tingkat perbaikannya hampir
sama pada terapi oklusi.13 Terapi penalization ini seringkali dikombinasikan dengan
penggunaan lensa plano, namun dari penelitian penggunaan lensa plano ini ternyata
tidak memberikan perubahan hasil.14
Bila dibandingkan antara terapi oklusi dan penalization, terapi penalization memiliki
tingkat kepatuhan lebih tinggi dibanding terapi oklusi. Namun pada penelitian didapatkan
bahwa terapi oklusi memberikan perbaikan lebih cepat pada minggu pertama terapi. Kedua
terapi ini dapat memberikan hasil yang sama, namun terapi penalization ini lebih sering
direkomendasikan karena harganya lebih murah, tidak menimbulkan stigma, dan tidak
mengganggu proses penglihatan binokular.10,13
2.6.2. Terapi Binokular
Terapi paling umum untuk memperbaiki fungsi monokular adalah
menggunakan penutup mata pada mata yang sehat agar mata yang ambliopia
dipaksakan fungsinya agar lebih membaik. Meskipun, sering terjadi perbaikan pada
fungsi monokular pada pasien ambliopia yang usianya kurang dari 12 tahun, hal ini
tidak selalu terjadi pada fungsi binokular atau kedua mata.3
17
Ambliopia pada strabismus memiliki mekanisme binokular yang intak namun
tersupresi. Hal ini terbukti bahwa alasan mengapa kombinasi binokular biasanya tidak
terjadi pada suprathreshold motion dan orientasi tugas di ambliopia strabismus karena
supresi interokular.3
Penurunan supresi menunjukkan kombinasi binokular ke arah yang normal
pada ambliopia strabismus, hal ini mengungkapkan adanya pengaruh pada mekanisme
kortikal pada fungsi binokular. Penelitian menunjukan bahwa penglihatan monokular
pada pasien dewasa dengan ambliopia dapat ditingkatkan 10 menit setelah aplikasi
stimulasi magnetik transkranial berulang ke korteks visual, hal ini menunjukkan
bahwa hilangnya bagian dari monokular mungkin memang karena supresi yang wajar
terjadi.3
Seperti yang sudah dijelaskan pada subbab sebelumnya mengenai terapi oklusi
yang banyak digunakan, selama periode oklusi ini mata non-ambliopia tidak
dirangsang. Ini berarti bahwa tidak ada penglihatan binokular selama periode ini.
Telah diakui selama beberapa waktu bahwa stimulasi binokular mungkin penting
dalam pengobatan terhadap ambliopia. Sebagai contoh, penelitian hewan
menunjukkan bahwa stimulasi binokular mendorong koneksi kortikal selama fase
pemulihan dari ambliopia.10
Penelitian terbaru telah membantu untuk meningkatkan pemahaman mengenai
cara di mana sinyal dari mata ambliopia dan non-ambliopia dapat berdampak pada
satu sama lain. Sebagai contoh, ketika rangsangan diberikan kepada mata ambliopia
dan non-ambliopia telah disesuaikan secara independen, untuk memperhitungkan
perbedaan sensitivitas. Binokularitas ditemukan intak pada orang dewasa dengan
ambliopia, hal ini menunjukkan bahwa kooperasi binokular dapat dicapai dalam
ambliopia dengan menyeimbangkan input kepada dua mata. Di sisi lain, sumasi
binokular tidak signifikan pada orang dewasa ambliopia di mana sensitivitas kontras
serupa pada kedua mata, yang menunjukkan bahwa pada orang dewasa, kooperasi
binokular dibatasi oleh faktor lain selain perbedaan interokular. Secara keseluruhan,
temuan ini menunjukkan bahwa, perbedaan interokular tidak mungkin menjadi satu-
satunya faktor yang membatasi kooperasi binokular dalam ambliopia. Binokularitas
dapat ditingkatkan dengan upaya untuk menyeimbangkan masukan untuk kedua
mata.10
Menurut Baker et al, salah satu pendekatan untuk mengobati ambliopia yang
memungkinkan stimulasi binokular adalah penggunaan Bangerter foil. Selain itu,
18
pendekatan yang banyak digunakan adalah penalisasi dengan atropin. Dalam kedua
kasus ini, gambar di fovea mata yang dominan (non-ambliopia) terdegradasi (untuk
melihat dekat dalam kasus atropin), sementara input dengan mata ambliopia tidak
terpengaruh. Dalam skenario ini, penglihatan binokular terjadi dalam arti bahwa
kedua mata menerima rangsangan cahaya tidak terhambat secara signifikan.
Perbandingan antara oklusi dan atropin atau antara oklusi dan Bangerter foil sebagai
pengobatan untuk ambliopia menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam
hasilnya, hal ini menunjukkan bahwa jenis stimulasi binokular ini tidak memberikan
keuntungan yang signifikan atas kombinasi penglihatan binokular. Ada kemungkinan
bahwa jenis stimulasi binokular lainnya yang menguntungkan dalam pengobatan
ambliopia.10
Sistem penglihatan binokular untuk terapi ambliopia telah dikembangkan
dengan tujuan yaitu memungkinkan 'kedua mata akan digunakan pada saat
bersamaan, sehingga meningkatkan ketajaman visual yang akan menyenangkan bagi
anak-anak'. Sistem (Interactive Binocular Treatment, atau I-bit) memberikan stimulus
visual perifer untuk kedua mata, sementara stimulus sentral disajikan pada mata
ambliopia saja. Metode baru adalah kemajuan teknologi pada MFBF, dengan
fleksibilitas yang lebih besar dalam hal jenis rangsangan yang dapat disajikan
(misalnya, gerak dan ukuran stimuli) dan format tugas visual (misalnya, permainan
komputer). Rangsangan visual dalam bentuk video atau permainan komputer dengan
suara dan game pad atau joystick digunakan selama permainan komputer. Sistem ini
termasuk dua game komputer dengan beberapa elemen disajikan kepada mata kanan
dan beberapa untuk mata kiri, sehingga kedua mata harus digunakan secara
bersamaan untuk berhasil dalam permainan tersebut. Video hanya bisa dilihat oleh
mata ambliopia, sementara mata non-ambliopia melihat layar kosong dan monitor
surround. Dalam studi, enam anak (usia rata-rata enam tahun) dengan ambliopia tidak
diobati atau tidak berhasil diobati, menjalani satu atau dua sesi perawatan per minggu,
masing-masing sekitar 30 menit durasinya, selama lebih dari tujuh sampai 15 minggu.
Pada sesi ini termasuk melihat video selama 20 menit dan bermain game komputer
selama beberapa menit. Lima dari enam pasien menunjukkan beberapa perbaikan
dalam ketajaman visual setelah pengobatan, sedangkan satu subjek tidak
menunjukkan perbaikan selama pengobatan ini tetapi berespon terhadap oklusi setelah
perawatan.10
19
Gambar 3. Anak laki-laki 5 tahun menggunakan HMD goggles.15
Gambar 4. Gambar sebelah kiri adalah gambar yang terlihat untuk mata kiri (mata sehat),
gambar sebelah kanan adalah gambar yang terlihat untuk mata kanan (mata ambliopia) di
mana kontras yang diberikan lebih tinggi.15
Pada penelitian yang dilakukan oleh Knox et al, di mana subyek penelitian
menggunakan HMD (head-mounted display) goggles pada anak dengan ambliopia, hal ini
menggunakan prinsip stimulus untuk kedua mata. Pada mata yang ambliopia, diberikan
kotras yang lebih tinggi seperti yang terlihat pada Gambar 3. Anak-anak ini kemudian harus
menyelesaikan permainan tetris yang muncul pada layar. Agar berhasil dalam menyelesaikan
permainan ini diperlukan kemampuan untuk mengatur stimulus binokular. Durasi permainan
ini adalah 1 jam per hari selama 5 hari.15
Pada akhir penelitian, diukur kembali ketajaman penglihatan pada mata ambliopia dan
dibandingkan ketajaman penglihatannya sebelum diberikan intervensi. Didapatkan hasil
20
peningkatan ketajaman penglihatan yang bermakna secara statistik setelah diberikan
intervensi. Terapi berbasis dichoptic yang digunakan dalam penelitian ini dapat
meningkatkan ketajaman penglihatan pada ambliopia. Hal ini dapat membuktikan bahwa
pendekatan binokular dalam pengobatan ambliopia pada anak dapat dilakukan.15
2.7. Perbandingan Antara Terapi Monokular Dan Binokular pada Ambliopia
Pada terapi monokular, mata non ambliopia tidak distimulasi. Hal ini berarti
tidak ada stimulasi untuk penglihatan binokular saat terapi monokular berlangsung,
padahal penglihatan binokular merupakan salah satu aspek yang harus dilatih pada
keadaan ambliopia.10
Salah satu terapi yang baru dikembangkan adalah teknik monocular fixation in
binocular field (MFBF). Pada teknik ini dilakukan stimulasi perifer pada kedua mata
namun pada mata ambliopia diberikan juga stimulasi pada fovea. Teknik ini mulai
dikembangkan dan diaplikasikan ke dalam bentuk permainan komputer. Pemainan
komputer ini memerlukan 2 layar komputer, dimana mata ambliopia akan dibuat
melihat video yang hanya bisa dilihat dengan mata ambliopia sedangkan mata non
ambliopia melihat layar yang kosong, Hal ini membuat kedua mata harus bekerja
secara simultan. Teknik ini dikatakan mampu meningkatkan ketajaman visus. Namun
penelitian ini masih perlu dikembangkan lebih lanjut.10
Pendekatan lain untuk mengobati ambliopia untuk menstimulasi binocular
adalah penggunaan Bangerter foil. Penelitian yang membandingkan antara terapi
oklusi dan atropin atau antara oklusi dan Bangerter foil ternyata menunjukkan
perbedaan yang tidak bermakna secara statistik. Hasil ini menunjukkan jenis stimulasi
binocular ini tidak memberikan manfaat yang signifikan.10
Prinsip lain untuk ambliopia adalah menggunakan prinsip dichoptic. Pada hal
ini, masing-masing mata melihat subyek yang berbeda satu sama lain. Misalnya
menggunakan HMD goggles di mana layar pada mata ambliopia menampilkan
gambar dengan kontras yang lebih tinggi dibandingkan pada mata yang sehat. Pada
teknik ini, didapatkan bahwa ketajaman visual sesudah penelitian ternyata meningkat
secara signifikan pada mata ambliopia.15
21
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
Ambliopia adalah berkurangnya tajam penglihatan yang terjadi karena tidak
normalnya perkembangan visus yang dialami sejak usia dini, yaitu sejak lahir hingga usia 10
tahun. Kelainan ini umumnya dijumpai pada populasi anak-anak yang sering dijumpai pada
mata strabismus, gangguan refraksi (anisometropia) tinggi, kelainan fiksasi, kekeruhan pada
media lintasan visual dan ambliopia toksik.2 Tatalaksana ambliopia pada usia dini
memberikan harapan kesembuhan yang lebih tinggi sehingga anak tersebut dapat
memperoleh kembali potensi untuk menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.
Jenis terapi yang diberikan dapat bermacam-macam, namun secara umum dapat
diklasifikasikan menjadi terapi monokuler dan terapi binokuler. Prinsip terapi monokuler
ambliopia pada umumnya adalah dengan mengurangi daya penglihatan mata yang sehat
sehingga mata yang sakit dipaksa untuk melihat dengan harapan mata sakit tersebut dapat
memperoleh kembali tajam penglihatannya,3 sedangkan terapi ambliopia binokuler
menekankan pada pentingnya fungsi binokuler dalam penglihatan sehingga kedua mata sama-
sama diberikan terapi.
Setiap terapi memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, oleh karena
itulah pentingnya kita sebagai klinisi untuk memilih terapi mana yang sesuai dengan kondisi
pasien yang tentu juga berbeda-beda.
3.2. Saran
1. Perlu penelitian lebih lanjut yang membandingkan secara langsung efektivitas terapi
monokuler dengan binokuler pada ambliopia.
2. Pengembangan lebih lanjut beberapa pilihan terapi yang terbaru.
3. Sebagai klinisi untuk memilih terapi yang tepat bagi pasien.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy of Opthalmology Pediatric Ophtalmology/Strabismus Panel.
Preferred Practice Pattern Guidelines. Amblyopia. San Francisco, CA: American
Academy of Ophtalmology; 2012. Available at: www.aao.org/ppp
2. Sidarta I, Mailangkay HHB, Taim H, Saman RR, Simarmata M, Widodo PS. Ilmu
Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Edisi ke-2. Jakarta:
Sagung Seto. 2010.
3. Hess RF, Mansouri B, Thompson B. A Binocular Approach to Treating Amblyopia:
Antisuppression Therapy. Optometry and Vision Science 2010; 87(9): 697-704.
4. American Academy of Ophthalmology; Pediatric Ophthalmology; Chapter 5 :
Amblyopia; Section 6; Basic and Clinical Science Course; 2004 – 2005; p.63 – 70.
5. Text book of ophthalmology Volume 1, Sunita Agarwal, Athiya Agarwal, David J
Apple, Lucio Buratto, Jorge L Ali, Suresh K Pandey, Aar Agarwal. Jaypee Brothers
Medical Publishers (P) Ltd. New Delhi 2002. Page 447-449.
6. Kanski J, Bowling B. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach 7 th ed. New
York: Elsevier Saunders; 2011. p.745-746
7. Fredrick DR. Special Subjects of Pediatric Interest. In: Riordan-Eva P, Whitcher JP,
editors. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology. USA: McGraw-Hill
Companies Inc.; 2008.
8. Stewart CE, Stephens DA, Fielder AR, dan Moseley MJ. Objectively monitored
patching regimens for treatment of amblyopia: randomized trial. BMJ 2007.
9. Pavlajasevic S dan Sarajlic D. Occlusive Therapy for Monocular Anisometropic
Amblyopia in Schoolchildren. Acta Clin Croat 2008; 47: 59-62.
10. Suttle CM. Active Treatment for Amblyopia: a Review of the Methods and Evidence
Base. Clin Exp Optom 2010; 93: 5: 287-299.
11. Tejedor J dan Ogallar C. Comparative Efficacy of Penalization Methods in Moderate
to Mild Amblyopia. Elsevier 2008; 145 (3): 562 – 569.
12. Li T dan Shotton K. Conventional Occlusion Versus Pharmacologic Penalization for
Amblyopia. Cochrane Database Syst Rev 2013;(4).
13. Pediatric Eye Disease Investigator Group. Treatment of Severe Amblyopia with
Weekend Atropine: Results from Two Randomized Clinical Trials. J AAPOS 2009;
13(3): 258-263.
23
14. Pediatric Eye Disease Investigator Group. Pharmacologic Plus Optical Penalization
Treatment for Amblyopia: Result of a Randomized Trial. Arch Ophtalmol 2009; 127
(1): 22-30.
15. Knox PJ, Simmers AJ, Gray LS, Cleary M. An exploratory study: prolonged periods
of binocular stimulation can provide an effective treatment for childhood amblyopia.
Invest Ophthalmol Vis Sci. 2012;53(2):817–24.
American Academy of Ophthalmology; Pediatric Ophthalmology; Chapter 5 : Amblyopia;
Section 6; Basic and Clinical Science Course; 2004 – 2005; p.63 – 70.
Text book of ophthalmology Volume 1, Sunita Agarwal, Athiya Agarwal, David J Apple,
Lucio Buratto, Jorge L Ali, Suresh K Pandey, Aar Agarwal. Jaypee Brothers Medical
Publishers (P) Ltd. New Delhi 2002. Page 447-449.
24