Referat Meningioma

36
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan karunianya kami dapat menyelesaikan penyusunan referat ini yang berjudul “Meningioma”. Referat ini kami susun untuk melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf RS Umum Daerah Koja. Kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Girianto Tjandrawidjaja Sp.S, dr. Yusmanizar Kasim Sp.S dan dr. Edi Prasetyo Sp. S yang telah membimbing dan membantu kami dalam melaksanakan kepaniteraan dan dalam menyusun referat ini. Kami menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format referat ini. Oleh karena itu, kami menerima segala kritik dan masukan dengan tangan terbuka. Akhir kata kami berharap referat ini dapat berguna bagi rekan-rekan serta semua pihak yang ingin mengetahui tentang “Meningioma”. Jakarta, Juli 2013 Penyusun 1

description

meningioma, neurologi

Transcript of Referat Meningioma

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan

karunianya kami dapat menyelesaikan penyusunan referat ini yang berjudul “Meningioma”.

Referat ini kami susun untuk melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf RS

Umum Daerah Koja.

Kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Girianto Tjandrawidjaja Sp.S, dr.

Yusmanizar Kasim Sp.S dan dr. Edi Prasetyo Sp. S yang telah membimbing dan membantu

kami dalam melaksanakan kepaniteraan dan dalam menyusun referat ini.

Kami menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format referat ini.

Oleh karena itu, kami menerima segala kritik dan masukan dengan tangan terbuka.

Akhir kata kami berharap referat ini dapat berguna bagi rekan-rekan serta semua

pihak yang ingin mengetahui tentang “Meningioma”.

Jakarta, Juli 2013

Penyusun

1

DAFTAR ISI

Kata Pengantar 1

Daftar Isi 2

Daftar Gambar 3

Daftar Tabel 4

Bab I Pendahuluan

Latar Belakang 5

Rumusan Masalah 6

Tujuan Penulisan 6

Bab II Tinjauan Pustaka

Anatomi 7

Etiologi 9

Klasifikasi 10

Tanda dan Gejala 15

Pemeriksaan Penunjang 18

Penatalaksanaan 21

- Pembedahan 21

- Radioterapi 22

- Terapi Medis 22

Bab III Penutup

Kesimpulan 24

Daftar Pustaka 25

2

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Potongan melintang tengkorak dan meningens 7

Gambar 2. Potongan melintang dari kepala 9

Gambar 3. Histologi meningioma grade 1 WHO 13

Gambar 4. Histologi meningioma grade 2 WHO 13

Gambar 5. Histologi meningioma grade 3 WHO 15

Gambar 6. Gejala umum meningioma 16

Gambar 7. Hasil CT scan meningioma parasagital 18

Gambar 8. Hasil CT scan meningioma konveksitas 19

Gambar 9. Hasil CT scan meningioma sphenoid 19

Gambar 10. Hasil CT scan meningioma tentorial 20

3

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tipe meningioma berdasarkan pengelompokan WHO 11

Tabel 2. Kriteria grading secara histologi menurut WHO 11

4

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Meningioma adalah tumor pada meningens, yang merupakan selaput pelindung yang

melindungi otak dan medulla spinalis. Meningioma dapat timbul pada tempat manapun di

bagian otak maupun medulla spinalis, tetapi, umumnya lebih sering terjadi di intracranial

dibandingkan intraspinal.1 Kebanyakan meningioma bersifat jinak (benign), sedangkan

meningioma malignan jarang terjadi.2

Meningioma merupakan neoplasma intrakranial nomor 2 dalam urutan frekuensi yakni

mencapai angka 30% dari keseluruhan tumor intrakranial, dengan angka kejadian 4-5 dari

100,000 penduduk. Meningioma lebih sering dijumpai pada wanita daripada pria terutama

pada golongan umur antara 60-70 tahun dan memperlihatkan kecenderungan untuk

ditemukan pada beberapa anggota di satu keluarga. Tumor ini paling sering menyerang

wanita, dengan ratio wanita banding pria adalah 2:1.3 Korelasinya dengan trauma kapitis

masih dalam penelitian karena belum cukup bukti untuk memastikannya. Pada umumnya

meningioma dianggap sebagai neoplasma yang berasal dari glioblas di sekitar vili arachnoid.

Sel di medulla spinalis yang sebanding dengan sel tersebut ialah sel yang terletak pada tempat

pertemuan antara arachnoideamater dengan duramater yang menutupi radiks.4

Meningioma dapat tumbuh di mana saja di sepanjang meningen dan dapat menimbulkan

manifestasi klinis yang sangat bervariasi sesuai dengan bagian otak yang terganggu dan

seringkali berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial.1 Sekitar 40% meningioma

berlokasi di lobus frontalis dan 20% menimbulkan gejala sindroma lobus frontalis. Sindroma

lobus frontalis sendiri merupakan gejala ketidakmampuan mengatur perilaku seperti impulsif,

apati, disorganisasi, defisit memori dan atensi, disfungsi eksekutif, dan ketidakmampuan

mengatur mood. Gejala yang paling sering timbul meliputi sakit kepala hebat terutama pada

pagi hari, kejang, perubahan kepribadian dan gangguan ingatan, mual dan muntah, serta

penglihatan kabur.5

Meskipun pada kebanyakan kasus bersifat jinak, namun meningioma dapat menimbulkan

masalah besar bagi dokter dan pasien terutama dalam hal diagnosis dan penatalaksanaan.2

Oleh karena hal tersebut, maka penyusun memilih judul “Meningioma” sebagai judul referat

ini.

5

I.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana anatomi dari meningens?

2. Apakah etiologi dari meningioma?

3. Apakah klasifikasi dari meningioma?

4. Apakah tanda dan gejala dari meningioma?

5. Apakah pemeriksaan penunjang untuk meningioma?

6. Bagaimanakah penatalaksanaan dari meningioma?

I.3 Tujuan Penulisan

I.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari pembuatan referat ini adalah untuk memberikan pengetahuan

mengenai meningioma kepada tenaga medis khususnya dokter dan calon dokter.

I.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui anatomi dari meningens

2. Mengetahui etiologi dari meningioma

3. Mengetahui klasifikasi dari meningioma

4. Mengetahui tanda dan gejala dari meningioma

5. Mengetahui pemeriksaan penunjang untuk meningioma

6. Mengetahui penatalaksanaan dari meningioma

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Anatomi Selaput Otak

Meningens membentang di bawah lapisan dalam dari tengkorak dan merupakan membran

pelindung dari otak. Terdiri dari duramater, arachmoideamater dan piamater yang letaknya

berurutan dari superfisial ke profunda. Perikranium yang masih merupakan bagian dari

lapisan dalam tengkorak dan duramater bersama-sama disebut juga pachymeningens.

Sementara piamater dan arachnoideamater disebut juga leptomeningens.6

Gambar 1. Potongan melintang tengkorak dan meninges5

Duramater terdiri dari jaringan fibrous yang kuat, berwarna putih, terdiri dari lamina

meningialis dan lamina endostealis. Pada medulla spinalis lamina endostealis melekat erat

pada dinding kanalis vertebralis, menjadi endosteum (periosteum), sehingga di antara lamina

meningialis dan lamina endostealis terdapat ruangan extraduralis (spatium epiduralis) yang

berisi jaringan ikat longgar, lemak dan pleksus venosus. Pada lapisan perikranium banyak

terdapat arteri meningeal, yang mensuplai duramater dan sumsum tulang pada kubah

tengkorak. Pada enchepalon lamina endostealis melekat erat pada permukaan interior

kranium, terutama pada sutura, basis krania dan tepi foramen occipitale magnum. Lamina

meningialis mempunyai permukaan yang licin dan dilapisi oleh suatu lapisan sel, dan

7

membentuk empat buah septa, yaitu falx cerebri, tentorium cerebeli, falx cerebeli, dan

diafragma sellae.

Falx cerebri memisahkan kedua belahan otak besar dan dibatasi oleh sinus sagital inferior

dan superior. Pada bagian depan falx cerebri terhubung dengan krista galli, dan bercabang di

belakang membentuk tentorium cerebeli. Tentorium cerebeli membagi rongga kranium

menjadi ruang supratentorial dan infratentorial. Falx cerebeli yang berukuran lebih kecil

memisahkan kedua belahan otak kecil. Falx cerebeli menutupi sinus oksipital dan pada

bagian belakang terhubung dengan tulang oksipital.6

Duramater dipersarafi oleh nervus trigeminus dan nervus vagus. Nervus trigeminus

mempersarafi daerah atap kranial, fosa kranium anterior dan tengah. Sementara nervus vagus

mempersarafi fosa posterior. Nyeri dapat dirasakan jika ada rangsangan langsung terhadap

duramater, sementara jaringan otak sendiri tidak sensitif terhadap rangsang nyeri. Beberapa

nervus kranial dan pembuluh darah yang mensuplai otak berjalan melintasi duramater dan

berada di atasnya sehingga disebut juga segmen extradural intrakranial. Sehingga beberapa

nervus dan pembuluh darah tersebut dapat dijangkau saat operasi tanpa harus membuka

duramater.6

Di bawah lapisan duramater, terdapat arachnoideamater. Ruangan yang terbentuk di

antara keduanya, disebut juga spatium subdural, berisi pembuluh darah kapiler, vena

penghubung dan cairan limfe. Jika terjadi cedera dapat terjadi perdarahan subdural.6

Arachnoideamater yang membungkus basis serebri berbentuk tebal sedangkan yang

membungkus facies superior cerebri tipis dan transparant. Arachnoideamater membentuk

tonjolan-tonjolan kecil yang disebut granulation arachnoidea, masuk kedalam sinus venosus,

terutama sinus sagitallis superior. Lapisan disebelah profunda, meluas ke dalam gyrus cerebri

dan diantara folia cerebri. Membentuk tela chorioidea venticuli. Dibentuk oleh serabut-

serabut reticularis dan elastic, ditutupi oleh pembuluh-pembuluh darah cerebral.

Di bawah lapisan arachnoideamater terdapat piamater. Ruangan yang terbentuk di antara

keduanya, disebut juga spatium subarachnoid, berisi cairan serebrospinal dan bentangan serat

trabekular (trabekula arachnoideae). Piamater menempel erat pada permukaan otak dan

mengikuti bentuk setiap sulkus dan girus otak. Pembuluh darah otak memasuki otak dengan

menembus lapisan piamater. Kecuali pembuluh kapiler, semua pembuluh darah yang

memasuki otak dilapisi oleh selubung pial dan selanjutnya membran glial yang memisahkan

mereka dari neuropil. Ruangan perivaskuler yang dilapisi oleh membran ini (ruang Virchow-

Robin) berisi cairan serebrospinal. Plexus koroid dari ventrikel cerebri yang mensekresi

8

cairan serebrospinal, dibentuk oleh lipatan pembuluh darah pial (tela choroidea) yang

diselubungi oleh selapis epitel ventrikel (ependyma).6

Gambar 2. Potongan sagital dari kepala6

II.2 Etiologi

Hingga saat ini diyakini radioterapi merupakan factor resiko utama terjadinya

meningioma. Radiasi dosis rendah seperti pada pengobatan tinea kapitis maupun dosis tinggi

seperti pada penanganan tumor otak lain (misalnya meduloblastoma) meningkatkan resiko

terjadinya meningioma. Radioterapi dosis tinggi berhubungan dengan terjadinya meningioma

dalam waktu yang relative singkat, antara 5-10 tahun. Sementara radiasi dosis rendah

membutuhkan waktu beberapa decade sampai timbulnya meningioma. Tumor yang timbul

akibat radiasi cenderung bersifat multiple dan secara histology ganas, serta memiliki

kecenderungan yang lebih tinggi untuk timbul kembali. Trauma kepala diduga dapat

menyebabkan tumor meningens, namun sampai saat ini belum ada penelitian lebih lanjut

yang dapat membuktikan hal tersebut. Foto dental standar bukan merupakan factor resiko.1

9

Namun beberapa penelitian epidemiologi menyebutkan terjadi peningkatan insidens

meningioma pada pasien dengan riwayat foto dental.2

Rangsangan endogen dan eksogen via hormonal memainkan peran yang cukup penting

juga dalam timbulnya tumor meningens. Estrogen dan progesterone diduga merupakan salah

satu penyebab timbulnya meningioma karena angka prevalensi yang lebih tinggi pada wanita.

Reseptor estrogen ditemukan pada meningioma, yakni ikatan pada reseptor tipe 2 walaupun

tingkat afinitasnya terhadap estrogen tidak sekuat reseptor yang ditemukan pada kanker

payudara. Sebagai perbandingan, reseptor progesterone diekspresikan pada 80% wanita

penderita meningioma dan 40% pada pria. Lokasi ikatan dengan progesterone lebih jarang

pada meningioma yang agresif. Cara kerja reseptor-reseptor ini masih belum diketahui,

namun inhibitor estrogen dan progesterone telah dicoba sebagai terapi walaupun belum ada

bukti keberhasilan.1

Infeksi virus seperti SV-40, termasuk dalam pathogenesis meningioma, namun data yang

terkumpul hingga saat ini masih belum meyakinkan. Meningioma diduga timbul melalui

proses bertahap yang melibatkan aktivasi onkogen dan hilangnya gen supresor tumor.

Penelitian genetic molecular telah menunjukan beberapa penyimpangan, yang paling sering

adalah hilangnya 22q pada 80% penderita meningioma sporadic. Hal ini mengakibatkan

hilangnya NF-2 gen supresor tumor yang berlokasi di 22q11 dan berkurangnya produk

protein merlin yang bertanggung jawab terhadap interaksi sel.1 Sel yang memiliki defek pada

merlin tidak dapat mengenali sel sekitarnya dan terus menerus tumbuh. Beberapa kelainan

telah dideteksi pada kromosom lain, dan diduga beberapa onkogen dan gen supresor tumor

terlibat dalam pembentukan meningioma.2

Beberapa factor pertumbuhan, termasuk epidermal growth factor, PDGF, insulin-like

growth factors, transforming growth factor I2 dan somatostatin diekspresikan secara berlebih

dan dapat merangsang pertumbuhan meningioma. Meningioma merupakan tumor yang kaya

akan pembuluh darah dan mengandung VEGF (vascular endothelial growth factor) dalam

konsentrasi yang tinggi.1

II.3 Klasifikasi

Meskipun pada kebanyakan kasus bersifat jinak, meningioma secara mengejutkan

memiliki karakteristik klinis yang sangat luas. Membedakannya secara histologis

berhubungan erat dengan resiko kejadian berulang yang tinggi. Pada kasus yang jarang,

meningioma dapat bersifat ganas.3

10

Klasifikasi dari WHO bertujuan untuk memprediksi perbedaan karakteristik klinis dari

meningioma dengan grading secara histologis berdasarkan statisik korelasi klinikopatologis

yang signifikan. Berdasarkan tingkat keganasannya meningioma dibagi menjadi 3, yaitu jinak

(WHO grade 1), atipikal (WHO grade 2), dan anaplastik (WHO grade 3).3

Tabel 1. Tipe meningioma berdasarkan pengelompokan WHO3

Tabel 2. Kriteria grading secara histologi menurut WHO3

11

Sekitar 80% dari seluruh meningioma merupakan tumor yang tumbuh lambat. Variasi

histologi yang paling sering terdiagnosa pada regimen patologis adalah meningioma

meningotelial, fibroblastik, dan transisional. Meningioma meningotelial secara histologis

tersusun oleh sel tumor uniform yang membentuk lobulus dikelilingi oleh septa kolagen tipis.

Di dalam lobulus, sel tumor epiteloid memiliki dinding sel yang menyerupai sinsitium. Pada

inti sel terdapat ruangan kosong seperti tidak terisi karyoplasma dan protrusi eosinofil

sitoplasma, yang disebut juga pseudoinklusi. Meningioma fibroblastik terutama disusun oleh

sel berbentuk jarum yang menyerupai fibroblas dan membentuk fasikula saling berpotongan

yang tertanam dalam matriks yang kaya kolagen dan retikulin. Meningioma transisional

memiliki ciri-ciri gabungan dari kedua meningioma sebelumnya dan biasanya muncul dengan

gambaran seperti ulir, dimana sel tumor saling membungkus satu sama lain membentuk

lapisan konsentrik. Yang terakhir memiliki kecenderungan untuk berhialinisasi dan

berkalsifikasi membentuk kalsifikasi konsentrik yang disebut badan psammoma (artinya

seperti pasir berdasarkan bentuk mereka yang seperti pasir dan kotor). Tumor yang memiliki

banyak gambaran badan psammoma disebut juga meningioma psammomatosa.3

Meningioma jinak yang tergolong dalam grade 1 WHO dapat menginvasi duramater,

sinus dura, tulang tengkorak, dan kompartmen ekstrakranial seperti bola mata, jaringan lunak,

dan kulit. Meskipun invasi ini membuat mereka semakin sulit direseksi, mereka tidak

termasuk meningioma atipikal maupun malignan. Sebaliknya, invasi otak dihubungkan

dengan angka kekambuhan dan kematian yang hampir sama dengan meningioma atipikal

secara umum, meskipun tumor nampak jinak. Meskipun lebih banyak terjadi pada

meningioma tipe baru, invasi otak belum dihubungkan dengan perubahan genetik tertentu,

namun telah dilaporkan terjadi pada tumor tanpa ketidakseimbangan kromosom yang jelas.3

Angka kejadian meningioma atipikal (grade 2 WHO) berkisar antara 15-20% dari

keseluruhan meningioma. Setelah reseksi total, meningioma jinak dihubungkan dengan angka

kekambuhan dalam waktu 5 tahun sebanyak 5%. Sebaliknya, angka kekambuhan untuk

meningioma atipikal yang direseksi total adalah sekitar 40% dalam waktu 5 tahun dan

meningkat seiring berjalannya waktu pemantauan. Dengan demikian, diagnosis dari

meningioma atipikal memperpendek jangka waktu pemantauan post operasi.3

12

Gambar 3. Histologi meningioma grade 1 WHO3

Gambar 4. Histologi meningioma grade 2 WHO3

Korelasi histologi yang paling dipercaya berhubungan dengan kekambuhan adalah

ditemukannya peningkatan aktivitas mitotik. Namun demikian, jika tidak ditemukan

gambaran peningkatan aktivitas mitosis, gambaran histologi lain berhubungan dengan

13

kemungkinan kekambuhan dan dengan demikian memiliki implikasi juga. Menurut definisi

dari WHO pada tahun 2000, ditemukannya 3 dari 5 kriteria berikut mengarah pada diagnosis

meningioma atipikal, yakni peningkatan selularitas, perbandingan yang tinggi antara inti

dengan sitoplasma, nukleolus yang menonjol, pertumbuhan tidak berpola, dan fokus nekrosis

spontan (bukan karena emboli). Masalah invasi otak kurang diperjelas dalam skema WHO,

meskipun implikasi klinis yang sama menunjukan bahwa hal ini dapat digunakan sebagai

kriteria lain untuk meningioma atipikal. Tipe meningioma clear-cell dan kordoid

dihubungkan dengan angka kekambuhan yang lebih besar meskipun tidak memenuhi kriteria

di atas. Dengan demikian, meningioma tipe ini digolongkan dalam grade 2 WHO berdasarkan

definisinya. Meningioma clear-cell disusun oleh lembaran sel poligonal dengan sitoplasma

jernih kaya glikogen, positif untuk asam periodat Schiff, dan perivaskular yang padat serta

kolagenisasi interstisial. Meningioma kordoid memiliki daerah yang secara histologi mirip

dengan kordoma, dengan untaian sel-sel tumor epiteloid kecil yang mengandung sitoplasma

eosinofilik atau bervakuola yang tertanam dalam matrix basofilik kaya musin. Meningioma

clear-cell sering timbul pada medula spinalis dan fossa posterior, sementara meningioma

kordoid lebih sering pada daerah supratentorial. Meskipun fitur genetik yang berkaitan

dengan meningioma clear-cell masih belum diketahui, suatu translokasi yang tidak seimbang

pada der(1)t(1;3)(p12-13;q11) diduga sebagai penanda sitogenetik spesifik untuk tipe

kordoid. Namun, penemuan ini masih harus dibuktikan karena target gen dari translokasi

tersebut masih belum diketahui.3

Meningioma anaplastik (grade 3 WHO) terhitung sebanyak 1-3% kasus dari keseluruhan

kasus meningioma. Tumor ini memiliki karakteristik klinik serupa dengan neoplasma ganas

lainnya, yang dapat menginfiltrasi jaringan sekitarnya secara luas dan membentuk deposit

metastasis. Meningioma anaplastik dikaitkan dengan angka kekambuhan sekitar 50-80%

setelah tindakan reseksi secara bedah dan nilai median harapan hidup kurang dari 2 tahun.

Secara histologis, meningioma anaplastik memiliki gambaran keganasan dengan index

mitosis sebesar 20 atau lebih mitosis per 10 lapang pandang mikroskopis. Beberapa

meningioma anaplastik sulit dikenali sebagai neoplasma meningotelial karena mereka dapat

menyerupai sarkoma, karsinoma atau bahkan melanoma. Meningioma anaplastik biasanya

memiliki daerah nekrosis yang amat luas. Meskipun demikian, embolisasi terapeutik

(iatrogenik) harus dikecualikan sebagai penjelasan alternatif sebelum dilakukan penilaian.3

14

Gambar 5. Histologi meningioma grade 3 WHO3

Beberapa tipe meningioma secara konsisten dikaitkan dengan perilaku ganas dan karena

itu sesuai dengan grade 3 WHO. Meningioma papiler, yang biasanya menyerang anak-anak,

menunjukan invasi ke otak dan jaringan lokal pada 75% pasien, kekambuhan sekitar 55%,

dan metastasi pada 20% pasien. Meningioma papiler secara histologi dikenal dari

pertumbuhan diskohesif, yang menghasilkan bentuk perivaskuler pseudopapiler dan struktur

yang menyerupai pseudorosette yang mirip dengan gambaran ependimoma. Meningioma

agresif lainnya adalah meningioma rabdoid, yang mengandung sel rabdoid dengan banyak

sitoplasma eosinofilik, nukleus yang terletak eksentris, dan inklusi paranuklear yang secara

ultrastruktur sesuai dengan bundel ulir dari filamen intermediat. Gambaran rabdoid dan

papiler keduanya dapat terlihat sebagai perubahan yang berprogresi, karena keduanya

biasanya timbul pertama kali pada saat kambuh dan meningkat seiring perjalanan waktu.3

II.4 Tanda dan Gejala

Meningioma dapat timbul tanpa gejala apapun dan ditemukan secara tidak sengaja

melalui MRI. Pertumbuhan tumor dapat sangat lambat hingga tumor dapat mencapai ukuran

yang sangat besar tanpa menimbulkan gejala selain perubahan mental sebelum tiba-tiba

memerlukan perhatian medis, biasanya di lokasi subfrontal.1 Gejala umum yang sering

muncul meliputi kejang, nyeri kepala hebat, perubahan kepribadian dan gangguan ingatan,

mual dan muntah, serta penglihatan kabur. Gejala lain yang muncul ditentukan oleh lokasi

tumor, dan biasanya disebabkan oleh kompresi atau penekanan struktur neural penyebab.5

15

Gambar 6. Gejala umum dari meningioma6

- Meningioma falx dan parasagital, sering melibatkan sinus sagitalis superior. Gejala

yang timbul biasanya berupa kelemahan pada tungkai bawah.5

- Meningioma konveksitas, terjadi pada permukaan atas otak. Gejala meliputi kejang,

nyeri kepala hebat, defisit neurologis fokal, dan perubahan kepribadian serta

gangguan ingatan. Defisit neurologis fokal merupakan gangguan pada fungsi saraf

yang mempengaruhi lokasi tertentu, misalnya wajah sebelah kiri, tangan kiri, kaki

kiri, atau area kecil lain seperti lidah. Selain itu dapat juga terjadi gangguan fungsi

spesifik, misalnya gangguan berbicara, kesulitan bergerak, dan kehilangan sensasi

rasa.5

16

- Meningioma sphenoid, berlokasi pada daerah belakang mata dan paling sering

menyerang wanita. Gejala dapat berupa kehilangan sensasi atau rasa baal pada wajah,

serta gangguan penglihatan. Gangguan penglihatan disini dapat berupa penyempitan

lapangan pandang, penglihatan ganda, sampai kebutaan.5 Dapat juga terjadi

kelumpuhan pada nervus III.1

- Meningioma olfaktorius, terjadi di sepanjang nervus yang menghubungkan otak

dengan hidung. Gejala dapat berupa kehilangan kemampuan menghidu dan gangguan

penglihatan.5

- Meningioma fossa posterior, berkembang di permukaan bawah bagian belakang otak

terutama pada sudut serebelopontin. Merupakan tumor kedua tersering di fossa

posterior setelah neuroma akustik.1 Gejala yang timbul meliputi nyeri hebat pada

wajah, rasa baal atau kesemutan pada wajah, dan kekakuan otot-otot wajah. Selain itu

dapat terjadi gangguan pendengaran, kesulitan menelan, dan kesulitan berjalan.5

- Meningioma suprasellar, terjadi di atas sella tursica, sebuah kotak pada dasar

tengkorak dimana terdapat kelenjar pituitari. Gejala yang dominan berupa gangguan

penglihatan akibat terjadi pembengkakan pada diskus optikus.5 Dapat juga terjadi

anosmia, sakit kepala dan gejala hipopituari.1

- Meningioma tentorial. Gejala yang timbul berupa sakit kepala dan tanda-tanda

serebelum.1

- Meningioma foramen magnus, seringkali menempel dengan nervus kranialis. Gejala

yang timbul berupa nyeri, kesulitan berjalan, dan kelemahan otot-otot tangan.1

- Meningioma spinal, paling sering menyerang daerah dada terhitung sekitar 25-46%

dari tumor spinal primer. Gejala yang timbul merupakan akibat langsung dari

penekanan terhadap medula spinalis dan korda spinalis, paling sering berupa nyeri

radikular pada anggota gerak, paraparesis, perubahan refleks tendon, disfungsi

sfingter, dan nyeri pada dada. Paraparesis dan paraplegia timbul pada 80% pasien,

namun sekitar 67% pasien masih dapat berjalan.1

- Meningioma intraorbital. Gejala yang dominan terutama pada mata berupa

pembengkakan bola mata, dan kehilangan penglihatan.5

- Meningioma intraventrikular, timbul dari sel araknoid pada pleksus koroidales dan

terhitung sekitar 1% dari keseluruhan kasus meningioma.1 Gejala meliputi gangguan

kepribadian dan gangguan ingatan, sakit kepala hebat, pusing seperti berputar.5 Selain

itu dapat juga terjadi hidrosefalus komunikans sekunder akibat peningkatan protein

cairan otak.1

17

II.5 Pemeriksaan Penunjang

Meningioma sering baru terdeteksi setelah muncul gejala. Diagnosis dari meningioma

dapat ditegakan berdasarkan manifestasi klinis pasien dan gambaran radiologis. Meskipun

demikian, diagnosis pasti serta grading dari meningioma hanya dapat dipastikan melalui

biopsi dan pemeriksaan histologi.5

Pada CT scan, tumor terlihat isodens atau sedikit hiperdens jika dibandingkan dengan

jaringan otak normal. Seringkali tumor juga memberikan gambaran berlobus dan kalsifikasi

pada beberapa kasus.1 Edema dapat bervariasi dan dapat tidak terjadi pada 50% kasus karena

pertumbuhan tumor yang lambat, tetapi dapat meluas. Edema lebih dominan terjadi di lapisan

white matter dan mengakibatkan penurunan densitas. Perdarahan, cairan intratumoral, dan

akumulasi cairan dapat jelas terlihat. Invasi sepanjang dura serebri sering muncul akibat

provokasi dari respon osteblas yang menyebabkan hiperostosis pada 25% kasus. Gambaran

CT scan paling baik untuk menunjukan kalsifikasi dari meningioma. Penelitian membuktikan

bahwa 45% proses kalsifikasi adalah meningioma.

Gambar 7. Hasil CT scan meningioma parasagital1

18

Gambar 8. Hasil CT scan meningioma konveksitas1

Gambar 9. Hasil CT scan meningioma sphenoid1

19

Gambar 10. Hasil CT scan meningioma tentorial1

Pada MRI, tumor terlihat isointens pada 65% kasus dan hipointens pada sisanya jika

dibandingkan dengan jaringan otak normal.1 Kelebihan MRI adalah mampu memberikan

gambaran meningioma dalam bentuk resolusi 3 dimensi, membedakan tipe jaringan ikat,

kemampuan multiplanar dan rekonstruksi. MRI dapat memperlihatkan vaskularisasi tumor,

pembesaran arteri, invasi sinus venosus, dan hubungan antara tumor dengan jaringan

sekitarnya.

Angiografi secara khusus mampu menunjukan massa hipervaskular, menilai aliran darah

sinus dan vena. Angiografi dilakukan hanya jika direncakan dilakukan embolisasi preoperasi

untuk mengurangi resiko perdarahan intraoperatif.1

20

Gambaran radiografi yang tidak khas seperti kista, perdarahan, dan nekrosis sentral

seringkali menyerupai gambaran glioma dan muncul pada sekitar 15% kasus meningioma.

Meningioma malignan sering menunjukan gambaran destruksi tulang, nekrosis, gambaran

iregular, dan edema yang luas. Diagnosis banding secara radiografi meliputi metastasis dural,

tumor meningeal primer lain, granuloma dan aneurisma. Metastasis seringkali dikaitkan

dengan edema luas dan destruksi tulang sementara meningioma dikaitkan dengan edema

sedang dan hiperostosis.1

II.6 Penatalaksanaan

Setelah diagnosis meningioma dapat ditegakan, permasalahan berikutnya adalah

memutuskan diperlukan tindakan pembedahan atau tidak. Beberapa meningioma sering

timbul tanpa gejala, hadir tiba-tiba dengan kejang, atau melibatkan struktur tertentu sehingga

reseksi hampir mustahil dilakukan. Tumor jenis ini tidak memerlukan intervensi segera dan

dapat dipantau bertahun-tahun tanpa menunjukan pertumbuhan yang berarti. Jika pasien

menunjukan gejala yang signifikan seperti hemiparesis, atau ada progresi yang jelas terlihat

melalui pencitraan radiologi, maka diperlukan intervensi segera. Sampai saat ini,

penatalaksanaan yang paling penting adalah dengan pembedahan.1

II.6.1 Pembedahan

Pembedahan merupakan penatalaksanaan primer untuk meningioma. Tujuan utamanya

adalah mengangkat jaringan tumor sebanyak-banyaknya tanpa kehilangan fungsi otak.7 Eksisi

komplit dapat menyembuhkan kebanyakan meningioma. Faktor-faktor yang berperan dalam

pembedahan meliputi lokasi dari tumor, defisit nervus kranialis preoperasi, vaskularitas,

invasi dari sinus venosus, dan keterlibatan arteri. Reseksi sebagian dapat menjadi pilihan jika

pengangkatan seluruh tumor dapat mengakibatkan kehilangan banyak fungsi otak.1

Sebelum dilakukan tindakan pembedahan, meningioma digolongkan ke dalam 3 grup

berdasarkan resiko pembedahannya. Cara penggolongannya menggunakan algoritme CLASS,

yakni Comorbidity (komorbiditas), Location (lokasi), Age (umur pasien) Size (ukuran

tumor), Symptoms and signs (tanda dan gejala). Grup 1 dengan skor CLASS lebih dari +1,

memiliki angka keberhasilan yang tinggi, yakni pada 98,1% kasus. Grup 2 dengan skor 0

sampai -1 memiliki hasil yang buruk pada sekitar 4% kasus. Sementara grup 3 dengan skor di

bawah -2 memiliki hasil paling buruk yakni 15% dari seluruh kasus.2

Teknik terbaru saat ini adalah dengan memanfaatkan rekonstruksi 3 dimensi dengan

komputer untuk membantu ahli bedah dalam merencanakan prosedur operasi. MRI

intraoperasi dapat menunjukan gambaran langsung selama pembedahan. Embolisasi

21

preoperasi dilakukan untuk mengurangi vaskularitas tumor, memfasilitasi pengangkatan

tumor, dan mengurangi resiko perdarahan. Embolisasi pada ekor dura dapat mengurangi

resiko kekambuhan. Namun prosedur ini tidak banyak dilakukan mengingat tidak semua

rumah sakit memiliki fasilitas maupun personel yang terlatih dalam bidang ini.1

Tindakan pembedahan mampu menghilangkan beberapa gejala neurologis, kecuali

neuropati kranial yang seringkali sulit dihilangkan. Angka morbiditas akibat pembedahan

bervariasi antara 1-14%. Setelah reseksi komplit, angka kekambuhan untuk meningioma

grade rendah adalah sekitar 20% dalam 5 tahun pertama dan 25% dalam 10 tahun. Jika tumor

muncul kembali, harus dipertimbangkan untuk dilakukan reseksi ulang. Secara umum, angka

harapan hidup 5 tahun untuk pasien berusia di bawah 65 tahun adalah sekitar 80%, dan

menurun mendekati 50% untuk pasien di atas 65 tahun.1

II.6.2 Radioterapi

Indikasi dilakukannya terapi radiasi adalah tumor residual / sisa setelah tindakan

pembedahan, tumor berulang, dan riwayat atipikal atau malignan. Radioterapi digunakan

sebagai terapi primer jika tumor tidak dapat dicapai melalui pembedahan atau ada

kontraindikasi untuk dilakukan pembedahan. Regresi total terlihat pada 95% pasien dalam 5

tahun pertama dan 92% dalam 10 dan 15 tahun setelah dilakukan radioterapi dengan atau

tanpa eksisi subtotal. Angka regresi tumor untuk 10 tahun pada pasien yang dilakukan

kombinasi reseksi subtotal dan radiasi adalah 82%, sementara pada pasien yang hanya

dilakukan reseksi subtotal adalah 18%. Waktu kekambuhan sekitar 125 bulan pada pasien

yang mendapat terapi kombinasi dan 66 bulan pada pasien yang menjalani reseksi subtotal

saja. Pada tumor malignan, angka harapan hidup 5 tahun setelah pembedahan dan radiasi

adalah 28%. Angka kekambuhan tumor maligna adalah 90% setelah reseksi subtotal dan 41%

setelah terapi kombinasi.1

II.6.3 Terapi Medis

Interferon saat ini sedang diteliti sebagai inhibitor angiogenesis. Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk menghentikan pertumbuhan pembuluh darah yang mensuplai tumor. Interferon

dapat dipertimbangkan pada pasien yang mengalami kekambuhan dan meningioma maligna.

Hidroxyurea dan obat-obat kemoterapi lain diyakini dapat memulai proses kematian sel atau

apoptosis pada sebagian meningioma. Namun pada uji coba klinis, obat ini dianggap gagal

karena meningioma bersifat kemoresisten. Inhibitor dari receptor progesteron seperti RU-486

juga sedang dievaluasi sebagai pengobatan untuk meningioma. Namun percobaan klinik

terbaru, RU-486 tidak menunjukan perbaikan apapun. Begitu juga dengan terapi antiestrogen

yang tidak menunjukan perbaikan nyata ssecara klinis pada percobaan. Beberapa agen

22

molekular seperti penghambat receptor faktor pertumbuhan epidermal (Epidermal Growth

Factor Receptor / EGFR), inhibitor receptor faktor pertumbuhan derivat platelet (Platelet

Derived Growth Factor Receptor / PDGFR), dan penghambat tirosin kinase masih diuji coba

secara klinis. Kebanyakan uji coba ini terbuka untuk pasien dengan meningioma yang tidak

dapat dioperasi atau yang mengalami kekambuhan.7 Kortikosteroid dapat digunakan untuk

mengontrol edema sekitar tumor namun tidak dapat digunakan dalam jangka panjang karena

efek sampingnya yang merugikan.1

Tergantung pada lokasi dari tumor, gejala yang ditimbulkan, dan keinginan pasien,

beberapa meningioma dapat ditunggu dan dipantau secara hati-hati dan teliti.7

23

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Meningioma adalah tumor pada meningens, yang merupakan selaput pelindung yang

melindungi otak dan medulla spinalis. Merupakan neoplasma intrakranial nomor 2 dalam

urutan frekuensi yakni mencapai angka 30% dari keseluruhan tumor intrakranial, dengan

angka kejadian 4-5 dari 100,000 penduduk.

Hingga saat ini diyakini radioterapi merupakan factor resiko utama terjadinya

meningioma. Selain itu rangsangan endogen dan eksogen via hormonal memainkan peran

yang cukup penting juga dalam timbulnya tumor meningens. Estrogen dan progesterone

diduga merupakan salah satu penyebab timbulnya meningioma karena angka prevalensi yang

lebih tinggi pada wanita. Meningioma diduga timbul melalui proses bertahap yang

melibatkan aktivasi onkogen dan hilangnya gen supresor tumor. Beberapa factor

pertumbuhan, termasuk epidermal growth factor, PDGF, insulin-like growth factors,

transforming growth factor I2 dan somatostatin diekspresikan secara berlebih dan dapat

merangsang pertumbuhan meningioma.

Meningioma dapat tumbuh di mana saja di sepanjang meningen dan dapat menimbulkan

manifestasi klinis yang sangat bervariasi sesuai dengan bagian otak yang terganggu dan

berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial. Gejala umum yang sering muncul

meliputi kejang, nyeri kepala hebat, perubahan kepribadian dan gangguan ingatan, mual dan

muntah, serta penglihatan kabur.

Diagnosis dari meningioma dapat ditegakan berdasarkan manifestasi klinis pasien dan

gambaran radiologis. Meskipun demikian, diagnosis pasti serta grading dari meningioma

hanya dapat dipastikan melalui biopsi dan pemeriksaan histologi.

Penanganan pasien dengan meningioma tergantung pada beberapa faktor, meliputi tanda

dan gejala yang dikeluhkan pasien, umur pasien, serta lokasi dan ukuran dari tumor. Sampai

saat ini penatalaksanaan utama adalah dengan pembedahan. Namun dapat digunakan

radioterapi sebagai terapi primer jika tumor tidak dapat dicapai melalui pembedahan atau ada

kontraindikasi untuk dilakukan pembedahan.

24

DAFTAR PUSTAKA

1. Rowland, Lewis P, ed. 2005. Merritt’s Neurology. 11th ed. New York : Lippincott

Williams & Wilkins.

2. Black, Peter, et al. 2007. Meningiomas : Science and Surgery. Clinical Neurosurgery.

vol 54 chapter 16 p. 91-99.

3. Riemenschneider, Markus J, et al. 2006. Histological Classification and Molecular

Genetics of Meningiomas. The Lancet Neurology. December vol 5 p. 1045-1054.

4. Mardjono, Mahar, Priguna Sidharta. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan 13.

Jakarta : Dian Rakyat.

5. 2013. Meningioma [Internet]. Available from www.cancer.net [accesed June 27rd

2013]

6. Rohkamm, Reinhard. 2004. Color Atlas of Neurology. Stuttgart : Thieme.

7. 2013. Meningioma [Internet]. Available from www.abta.org [accesed June 27th 2013]

25