Refer a Ttttt

52
I. PENDAHULUAN Ketergantungan tembakau merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada populasi dengan penyakit mental berat. Sekitar 70-80% dari individu dengan skizofrenia, kelainan bipolar dan penyakit mental berat lain menggunakan tembakau sementara prevalensi merokok pada populasi umum hanya 20-30%. Individu denganskizofrenia memilik frekuensi merokok 1,5-2 kali lebih tinggi dibanding populasi umum, dan diantara semua diagnosis psikiatri frekuensi merokoknya 1,5 kali lebih tinggi (Patel, 2010). Skizofrenia merupakan salah satu penyakit mental yang paling melemahkan, mempengaruhi kira-kira 1% populasi global. Penyakit ini ditandai dengan adanya gangguan pada kognisi dan emosi, serta mempengaruhi bahasa,

description

hhjll

Transcript of Refer a Ttttt

Page 1: Refer a Ttttt

I. PENDAHULUAN

Ketergantungan tembakau merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada

populasi dengan penyakit mental berat. Sekitar 70-80% dari individu dengan

skizofrenia, kelainan bipolar dan penyakit mental berat lain menggunakan

tembakau sementara prevalensi merokok pada populasi umum hanya 20-30%.

Individu denganskizofrenia memilik frekuensi merokok 1,5-2 kali lebih tinggi

dibanding populasi umum, dan diantara semua diagnosis psikiatri frekuensi

merokoknya 1,5 kali lebih tinggi (Patel, 2010).

Skizofrenia merupakan salah satu penyakit mental yang paling melemahkan,

mempengaruhi kira-kira 1% populasi global. Penyakit ini ditandai dengan

adanya gangguan pada kognisi dan emosi, serta mempengaruhi bahasa, pikiran,

persepsi, afek, dan perasaan diri. Gejala meliputi manifestasi psikotik seperti

mendengar suara dari dalam diri, atau mengalami sensasi lain yang tidak

berhubungan dengan sumber yang jelas (halusinasi) dan memberikan arti atau

maksud yang tidak biasa pada kejadian normal atau mempertahankan

kepercayaan personal yang salah (delusi) (Patel, 2010).

Ketergantungan tembakau telah menjadi pusat perhatian pada populasi ini.

Individu dengan skizofrenia memiliki angka ketergantungan tembakau 2-4

Page 2: Refer a Ttttt

kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Penggunaan tembakau

tidak hanya menurunkan kualitas hidup pasien, tapi juga menyebabkan kematian

akibat penyakit medis (Patel dan Winterer, 2010 ).

Individu dengan skizofrenia rata-rata menghisap sebanyak 25 batang rokok tiap

harinya. Hal ini lebih tinggi secara signifikan dari populasi umum. Biaya

bulanan yang dikeluarkan pasien skizofrenia untuk rokok menjadi sangat besar.

Efek berbahaya dari merokok pada pasien dengan skizofrenia meliputi angka

kejadian kanker yang tinggi, penyakit kardiovaskular dan respirasi, serta

meningkatnya gejala psikiatri dan gejala kambuhan yang lebih berat (Patel dan

Winterer, 2010 ).

Page 3: Refer a Ttttt

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Skizofrenia

Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan

psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran,

afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan

intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat

berkembang kemudian (Sadock, 2003).

Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di bagi dalam dua kelompok, yaitu

gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa delusi, halusinasi,

kekacauan pikiran, gaduh gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala

negatif adalah alam perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau

isolasi diri dari pergaulan, ‘miskin’ kontak emosional (pendiam, sulit diajak

bicara), pasif, apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan

dorongan kehendak atau inisiatif.

Page 4: Refer a Ttttt

Paling tidak, terdapat enam kriteria diagnostik skizofrenia menurut DSM-IV

TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder-IV Text Revision)

sebagai berikut :

1. Simtom-simtom Khas

Dua atau lebih dari yang berikut ini, masing-masing muncul cukup jelas

selama jangka waktu satu bulan (atau kurang, bila ditangani dengan baik) :

Delusi,

Halusinasi,

Pembicaraan kacau,

Tingkah laku kacau atau katatonik,

Simtom-simtom negatif.

2. Disfungsi sosial/okupasional.

3. Durasi

Simtom-simtom gangguan ini tetap ada untuk paling sedikit 6 bulan.

Periode 6 bulan ini mencakup paling tidak 1 bulan dimana simtom-simtom

muncul.

4. Tidak termasuk gangguan schizoaffective atau gangguan mood.

5. Tidak termasuk gangguan karena zat atau karena kondisi medis.

6. Hubungan dengan Pervasive Developmental Disorder (PDD)

Bila ada riwayat Autistic Disorder atau gangguan PDD lainnya, diagnosis

tambahan skizofrenia hanya dibuat bila ada halusinasi atau delusi yang

menonjol, selama paling tidak 1 bulan (atau kurang bila tertangani dengan

baik).

Page 5: Refer a Ttttt

Sedangkan menurut PPDGJ-III, pedoman diagnostic untuk skizofrenia

adalah harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang sangat jelas (dan

biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau

kurang jelas) :

1. “Thought echo” = isi fikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema

dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya

sama, namun kualitasnya berbeda; atau

“Thought insertion or withdrawal” = isi fikiran yang asing dari luar

masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil

keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan

“Thought broadcasting” = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang

lain atau umum mengetahuinya;

2. “Delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu

kekuatan tertentu dari luar; atau

“Delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu

kekuatan tertentu dari luar; atau

“Delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan

pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang “dirinya” = secara

jelas merujuk ke pergerakan tubuh/anggota gerak atau ke pikiran,

tindakan, atau penginderaan khusus); dan

“Delusion perception” = pengalaman inderawi yang tak wajar, yang

bermakna sangat khas bagi diri, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;

Page 6: Refer a Ttttt

3. Halusinasi auditorik :

Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap

perilaku pasien, atau

Mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (di antara

berbagai suara yang berbicara), atau

Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh;

4. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat

dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal

keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di

atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, ayau

berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).

Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara

jelas :

1. Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila baik disertai

oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa

kandungan afektif yang jelas, ataupun yang disertai oleh ide-ide

berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap

hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus;

2. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan

(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak

relevan, atau neologisme;

Page 7: Refer a Ttttt

3. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi

tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativism, mutisme,

dan stupor;

4. Gejala-gejala “negative”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang,

dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang

mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan social dan menurunnya

kinerja social; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak

disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.

Adanya gejala-gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama kurun

waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik

prodormal)

Harus ada suatu perubahna yang konsisten dan bermakna dalam mutu

keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal

behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan,

tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude),

dan penarikan diri secara social (Maslim, 2001).

Salah satu patofisiologi dari skizofrenia adalah peningkatan dopamin pada

hipotalamus. Hipotesis dopamin pada skizofrenia adalah yang paling

berkembang dari berbagai hipotesis, dan merupakan dasar dari banyak terapi

obat yang rasional. Beberapa bukti yang terkait menunjukkan bahwa

Page 8: Refer a Ttttt

aktifitas dopaminergik yang berlebihan dapat mempengaruhi penyakit

tersebut :

(1) Kebanyakan obat-obat antipsikosis menyekat reseptor D2 pascasinaps di

dalam sistem saraf pusat, terutama di sistem mesolimbik frontal

(2) Obat-obat yang meningkatkan aktifitas dopaminergik, seperti levodopa

(suatu prekursor), amfetamin (pelepas dopamin), atau apomorfin (suatu

agonis reseptor dopamin langsung), baik yang dapat mengakibatkan

skizofrenia atau psikosis pada beberapa pasien.

(3) Densitas reseptor dopamin telah terbukti, postmortem, meningkat di

otak pasien skizofrenia yang belum pernah dirawat dengan obat-obat

antipsikosis.

(4)Positron emission tomography (PET) menunjukkan peningkatan densitas

reseptor dopamin pada pasien skizofrenia yang dirawat atau yang tidak

dirawat, saat dibandingkan dengan hasil pemeriksaan PET pada orang

yang tidak menderita skizofrenia.

(5)Perawatan yang berhasil pada pasien skizofrenia telah terbukti

mengubah jumlah homovanilic acid (HVA), suatu metabolit dopamin, di

cairan serebrospinal, plasma, dan urin (Bertram, 2002).

Teori jalur dopamin yang berpengaruh dalam skizofrenia yaitu :

1. Mesokortikal dopamin pathways.

      Hipoaktivitas dari daerah ini menyebabkan simptom negatif dan

gangguan kognitif.

Simptom negatif dan kognitif disebabkan terjadi penurunan dopamine

di jalur mesokortikal terutama pada daerah dorsolateral prefrontal

korteks.

Page 9: Refer a Ttttt

Defisit behavioral yang dinyatakan dalam suatu simptom negatif

berupa penurunan aktivitas motorik. Aktivitas yang berlebihan dari

system glutamat yang bersifat eksitotoksik pada system saraf (burn

out) yang kemudian berlanjut menjadi suatu proses degenerasi di

mesokortikal jalur dopamin. Ini akan memperberat simptom negatif

dan meningkatkan defisit yang telah terjadi pada penderita

skizofrenia.

Penurunan dopamine di mesokortikal dopamine pathway dapat terjadi

secara primer maupun sekunder. Penurunan sekunder terjadi melalui

inhibisi dopamine yang berlebihan pada jalur ini atau melalui

blockade antipsikotik terhadap reseptor D2.

Peningkatan dopamin pada mesokortikal dopamine pathway dapat

memperbaiki simptom negatif atau mungkin juga simptom kognitif.

Keadaan ini akan menjadi suatu dilemma karena peningkatan

dopamin di jalur mesolimbik akan meningkatkan simptom positif,

sementara penurunan dopamine di jalur mesokortikal akan

meningkatkan simptom negatif dan kognitif.

Hal tersebut dapat diatasi dengan pemberian obat antipsikotik atipikal

(antipsikotik generasi kedua) pada penderita skizofrenia. Antipsikotik

jalur kedua menyebabkan dopamine di jalur mesolimbik menurun

tetapi dopamin yang berada di jalur mesokorteks meningkat.

2. Mesolimbik dopamin pathways.

      Hiperaktivitas dari daerah ini menyebabkan simptom positif dari

skizofrenia.

Jalur ini berperan penting pada emosional, perilaku khususnya

halusinasi pendengaran, waham dan gangguan pikiran. Psikostimulan

seperti amfetamin dan kokain dapat menyebabkan peningkatan dari

dopamin melalui pelepasan dopamine pada jalur ini sehingga hal ini

menyebabkan terjadinya simptom positif dan menimbulkan psikosis

paranoid jika pemberian zat ini dilakukan secara berulang.

Page 10: Refer a Ttttt

Antipsikotik bekerja melalui blockade reseptor dopamine khususnya

reseptor D2 sehingga simptom positif dapat menurun atau

menghilang.

Hipotesis hiperaktif mesolimbik dopamine pathways menyebabkan

simptom positif psikotik meningkat. Keadaan ini dapat merupakan

bagian dari skizofrenia, atau psikosis yang disebabkan oleh zat,

mania, depresi tau demensia.

Hiperaktivitas mesolimbik dopamin pathways mempunyai peranan

dalam simptom agresivitas dan hostilitas pada penderita skizofrenia

terutama bila terjadi penyimpangan control serotonergik dari

dopamin.

Nukleus akumbens adalah bagian dari sistem limbik yang mempunyai

peranan untuk mempengaruhi perilaku, seperti pleasurable sensation

(sensasi yang menyenangkan), powerful euphoria pada individu yang

memiliki waham, halusinasi serta pengguna zat.

Mesolimbik dopamin pathways selain dapat menyebabkan simptom

positif , juga mempunyai peranan dalam pleasure, reward dan

reinforcing behavior. Pada kasus penyalahgunaan zat dapat

menimbulkan ketergantungan karena terjadi aksi di jalur ini (Benhard,

2007)

B. Efek Merokok Pada Sistem Saraf Pusat

Rokok adalah salah satu zat adiktif yang bila digunakan

mengakibatkan bahaya bagi kesehatan individu dan masyarakat. Kemudian

ada juga yang menyebutkan bahwa rokok adalah hasil olahan tembakau

terbungkus termasuk cerutu atau bahan lainya yang dihasilkan dari tanamam

Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintesisnya

yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan. (Hans

Tendra, 2003).

Page 11: Refer a Ttttt

Merokok dapat diidentikkan dengan pemberian nikotin. Penelitian klinis oleh

Wilson, dkk (1995) dan White, dkk (1999), menunjukkan pemberian nikotin

pada kasus demensia hasilnya menggembirakan. Penelitian histopatologi

mendukung penelitian tersebut, didapatkan tingginya afinitas ikatan nikotin di

daerah thalamus dan basal ganglia, diikuti hippocampus, frontal temporal dan

korteks parietal, dan rendah di globus pallidus dan cerebellum, ini adalah

tempat-tempat proses kognisi dan memori (Benwell, dkk, 1998). Penelitian lain

membandingkan antara jumlah masukan nikotin dengan jumlah reseptor

nikotinik di hipokampus dan thalamus berbeda antara mantan perokok dan

perokok tetap, pada mantan perokok level reseptor nikotin pada regio ini

menurun dibanding perokok tetap (Breese, dkk, 1997). Ini mengindikasikan

bahwa dengan berhenti merokok menginduksi reseptor nikotinik secara

reversibel setelah berhenti. Pada uji klinis terhadap binatang dan manusia,

dengan penghambatan reseptor nikotinik di otak, oleh nikotinik antagonis

seperti mecamylamine mengakibatkan terjadi gangguan memori dan

penampilan aspek kognitif (Decker dan Brioni, 1988; Grundman, 2000).

Efek nikotin menginduksi eksitasi noradrenalin neuron dan meningkatkan

pelepasan katekolamin yakni sejenis hormon yang bekerja memacu sistim

aliran darah (Hajos dan Engberg, 1988) dan noradrenalin diperkirakan

berkontribusi untuk meningkatkan kognisi dan memori (Mitchel et al., 1997).

Semakin tinggi kadar nikotin di dalam darah, maka akan semakin hebat pula

rangsangannya terhadap postsinaptik di reseptor nikotinik (Picciott, dkk, 1998),

Page 12: Refer a Ttttt

dengan kata lain merokok akan menghambat proses gangguan kognisi dan

memori.

Nikotin dikenal dengan nama kimia Beta Pyridil Alfa N methyl pyrolidine

merupakan senyawa kimia amine tersier yang tersusun atas cincin pyridine dan

pyrolidine. Zat ini pertama kali diperkenalkan oleh Nicot de Villeman pada

tahun 1530 dari ekstraksi tumbuhan Nocotiana Tobacco dari genus Solanaceus

sejenis tanaman asli di hutan tropis Amerika (Benowitz, 1996).

Mengisap sebatang rokok putih berarti mengkonsumsi 2-3 miligram nikotin.

Apabila asapnya tidak dihisap, maka nikotin yang terhisap adalah 1-2 mg. Bagi

seseorang yang tidak biasa merokok, kadar 1-2 mg dari nikotin tersebut sudah

sangat menimbulkan gangguan berupa pusing dan sakit kepala, mual, muntah,

bahkan merasa sakit pada daerah lambung. Dosis nikotin berefek 0,75-1,5 mg

pada terminal striatal nikotinik dan dopaminrgik, untuk dosis 0,75- 1,5 mg/hari

berefek stimulus, sedangkan dosis 3-30 mg/hari berefek merusak yaitu terjadi

degenerasi sel neuron. Kandungan nikotin dalam satu batang rokok 0,3-1,3 mg.

Pengaruh lainnya dari zat nikotin tersebut adalah menaikan tekanan darah serta

mempercepat denyut jantung yang berakibatkan semakin beratnya beban kerja

jantung. Nikotin dalam asap rokok juga merupakan penyebab ketagihan

merokok (Wildan, 2002).

Nikotin merupakan agonis dari reseptor nikotinik pada ganglion autonom dan

neuromuscular junction, namun demikian efek ini tergantung dosis dan cara

Page 13: Refer a Ttttt

pemberiannya (Robertson, dkk, 1988). Efek hormonal dari nikotin berupa

peningkatan sekresi vasopresin, hormon adrenokortikotropik dan gastrin dalam

darah. Hal ini disebabkan karena nikotin berefek simpatomimetik (Joseph, dkk,

1996). Nikotin menyebabkan sedasi system saraf pusat. Pada awalnya, dalam

jumlah sedikit nikotin mengurangi anxietas. Nikotin diabsorpsi dari asap

tembakau di paru. Melalui pemakaian yang rutin, kadar nikotin terakumulasi di

tubuh sehingga perokok akan terkena efek nikotin selama 24 jam setiap hari.

Nikotin berefek pada suasana hati seperti halnya pada jantung, paru, lambung,

neurotransmiter, dan system saraf simpatik. Efek jangka pendek merokok

mengakibatkan berkeringat, mual mutah, iritasi tenggorok . selanjutnya

keadaan lebih serius bisa timbul yaitu peningkatan denyut jantung dan tekanan

darah serta kanker paru.

Mekanisme nikotin dalam mempengaruhi neurotransmitter di susunan saraf

pusat adalah melalui ikatan dengan reseptor kolinergik yang selanjutnya

memicu pelepasan dopamin. Pelepasan Dopamin ini berpengaruh pada suasana

hati dan nafsu makan. Pada susunan saraf tepi nikotin berpengaruh pada

pelepasan catecholamines, adrenaline dan noradrenaline. Pelepasan

catecholamine mempunyai efek penting pada fungsi jantung, kekakuan

pembuluh darah dan metabolisme lemak.

Nikotin dalam rokok akan beraksi di otak 10 detik setelah menghisap rokok.

Nikotin berikatan dengan reseptor nikotinik yang akan memfasilitasi pelepasan

neurotransmitter noradrenergik di locus ceroleus, proses itu penting dalam

fungsi kognitif, memori, kewaspadaan dan menurunkan nafsu makan

Page 14: Refer a Ttttt

(Svensson, dkk, 2000). Menurut Decker & Brioni (1997) : (1) keterlibatan

neurotransmiter kolinergik pada fungsi kognitif telah terbukti pada percobaan

hewan dan manusia, (2) pada demensia maupun penyakit Alzheimer, stimulasi

nAChR menghasilkan neurotransmitter dalam jumlah yang lebih rendah,

termasuk asetilkolin sendiri, (3) mekanisme nikotinik berpartisipasi dalam

kontrol neurogenik terhadap aliran darah otak yang melemah pada demensia

maupun penyakit Alzheimer, (4) kemungkinan adanya kemampuan

neuroprotektif bahan nikotinik didukung dengan data in vitro dan in vivo serta

pengamatan klinis, bahwa pemakaian jangka panjang (merokok) berkorelasi

negatif dengan resiko demensia maupun penyakit Alzheimer, (5) berbagai sub-

tipe nAChR telah ditemukan di otak, ganglia, sambungan neuromuskular,

hingga memungkinkan pengembangan obat yang lebih selektif dan aman

dibanding dengan nikotinik sendiri.

Page 15: Refer a Ttttt

Jalur Skema Efek Rokok di Otak

Page 16: Refer a Ttttt

C. Hubungan Antara Skizofrenia dan Merokok

a. Tingkat Merokok Pada Skizofrenia

Jumlah pasien dengan skizofrenia yang merokok sangat tinggi. Satu

penelitian melaporkan prevalensi menjadi 88 %, hampir tiga kali lipat

tingkat pada populasi umum dan lebih tinggi dari tingkat peningkatan

merokok pada pasien dengan penyakit kejiwaan lainnya. Peningkatan

prevalensi tetap ada bahkan setelah penyesuaian untuk status perkawinan,

penggunaan alkohol dan status sosial ekonomi (Hughes, dkk, 1986).

Sejumlah studi cross-sectional yang lebih baru dari berbagai negara telah

melaporkan tingginya tingkat merokok pada pasien dengan skizofrenia

(Goff, dkk, 1992, Chong dan Choo, 1996). Satu studi besar 360 rumah sakit

pemerintah, di antaranya 237 adalah didiagnosa menderita skizofrenia atau

menderita skizofrenia-gangguan afektif , menemukan bahwa prevalensi

keseluruhanmerokok adalah 85 % , dan 93 % pada laki-laki muda pasien

dengan skizofrenia (De Leo, dkk, 1995). Merokok terjadi pada tingkat yang

jauh lebih tinggi daripada yang lain jenis penyalahgunaan zat atau

ketergantungan, yang telah terbukti juga yang akan diangkat antara pasien

dengan skizofrenia.

Dalam penelitian Kelly dan McCreadie (1999) kita menemukan bahwa usia

rata-rata ketika pasien dengan skizofrenia mulai merokok adalah sama

seperti pada populasi umum, yaitu remaja; 90% dari pasien yang merokok

telah mulai merokok sebelum penyakit mereka dimulai. Pasien dengan

Page 17: Refer a Ttttt

skizofrenia yang merokok merupakan perokok berat daripada orang-orang

di populasi umum- lation dan orang-orang dengan gangguan kejiwaan

lainnya. Dalam penelitian kami sendiri, 68% dari pasien dengan skizofrenia

yang merokok yang diklasifikasikan sebagai perokok berat (25 atau lebih

rokok setiap hari) dibandingkan dengan hanya 11% dari populasi umum

yang merokok. Dalam studi lain (Olincy, dkk, 1997), pasien dengan

skizofrenia yang merokok memiliki tingkat jauh lebih tinggi dari nikotin

metabolit cotinine dibandingkan dengan lainnya perokok, membenarkan

penelitian kami. Merokok berlebihan cenderung menjadi kebiasaan seumur

hidup antara pasien dengan skizofrenia. Proporsi mereka yang berhenti

adalah lebih rendah dibandingkan pada populasi umum; dalam penelitian

kami dari populasi pasien dengan skizofrenia, hanya 8% dari laki-laki

adalah mantan perokok, dibandingkan dengan 31% dari laki-laki dalam

populasi umum setempat.

b. Teori Antara Skizofrenia dan Merokok

Beberapa model telah diajukan untuk menjelaskan mengapa individu

dengan skizofrenia cenderung merokok lebih dari populasi umum. Sebagian

dari model ini cenderung untuk menerangkan keuntungan yang dirasakan

pasien dari merokok. Model ini juga menjelaskan mengapa pasien dengan

skizofrenia memiliki angka merokok yang lebih tinggi (Patel, 2010 dan

Kumari, 2005 ).

1. Model yang pertama adalah model “self-medication” dari gejala negatif

Page 18: Refer a Ttttt

Menyebutkan bahwa individu dengan skizofrenia menggunakan rokok

sebagai cara untuk menghilangkan gejala depresif dan psikotik mereka.

Nikotin dapat mengatasi gejala negatif seperti anhedonia dan penarikan

sosial karena kemampuan nikotin untuk meningkatkan level dopamin

pada nucleus accumbens dan korteks prefrontal, serta adanya

peningkatan pada sistem reward efek umum dari nikotin yang

memberikan perasaan relaks dan bahagia. Nikotin diketahui dapat

meningkatkan proses kognitif yang berhubungan dengan fungsi

prefrontal seperti atensi atau aktivitas berpikir. Nikotin berperan sebagai

fasilitator dalam proses ini dan menyelaraskan aktivitas neuronal pada

korteks prefrontal. Nikotin dapat meningkatkan proses plastis di

hipokampus yang menguntungkan bagi defisit kognitif pada skizofrenia

yang berhubungan dengan proses belajar dan memori (Patel, 2010 dan

Kumari, 2005 ).

Penjelasan sosial untuk ketergantungan tembakau pada populasi ini yaitu

pasien skizofrenia memiliki sangat banyak waktu dengan sangat sedikit

kegiatan yang dapat dilakukan selain merokok. Karena pasien dengan

gejala negatif mayor cenderung menghindari interaksi sosial, suatu alasan

yang masuk akal untuk menjelaskan ketergantungan tembakaunya yaitu

bahwa merokok dapat dengan mudah menjadi suatu “pengisi waktu” dan

suatu alat untuk menghindari kebosanan untuk pasien (Patel dan

Winterer, 2010 ).

Page 19: Refer a Ttttt

Individu dengan skizofrenia memiliki angka ketergantungan tembakau

yang tinggi adalah karena mereka bias any amemiliki kesulitan yang

besar dalam penghentian merokok. Hal ini dikarenakan pasien

menggunakan tembakau sebagai “self-medication”untuk menenangkan

gejala negatif mereka, sehingga berhenti merokok dapat menjadi suatu

tantangan besar untuk banyak pasien (Patel, 2010 dan Kumari, 2005 ).

Anhedonia atau ketidakmampuan untuk merasakan kesenangan yang

merupakan salah satu dari fenomena klinis pada pasien skizofrenia,

sering dikaitkan dengan merokok. Angka kejadian anhedonia yang tinggi

dilaporkan terdapat pada populasi yang merokok, dan dianggap

merupakan suatu faktor resiko yang menyebabkan kekambuhan merokok

diantara pasien psikiatri. Faktanya,perokok dengan anhedonia dan

memiliki afek positif yang rendah memiliki keinginan yang sangat tinggi

untuk merokok dan memiliki angka penghentian merokok yang rendah

(AhnAllen, dkk, 2012).

Banyak studi telah melaporkan bahwa gejala awal skizofrenia

menyebabkan inisiasi dari merokok. Telah diduga bahwa individu

dengan skizofrenia termotivasi untuk merokok karena merokok tidak

hanya berperan sebagai mekanisme menghadapi penyakit tetapi juga

menyediakan pembebasan sementara dari gejala psikiatri. Fase

prodromal dari skizofrenia berlangsung satu atau dua tahun sebelum

onset dari gejala psikotik. Selama fase ini pasien biasanya mengalami

Page 20: Refer a Ttttt

gejala-gejala kecemasan, berkurangnya atensi dan penarikan sosial. Ini

tidak sampai akhir dari fase prodromal saat gejala positif mulai muncul.

Suatu studi yang memeriksa hubungan antara faktor lingkungan dan

familial yang dapat menyebabkan pasien merokok mendapatkan hasil

utama bahwa rata-rata perbedaan waktu diantara permulaan dari merokok

dan onset dari skizofrenia adalah 2,3 ± 6,6 yang secara signifikan lebih

rendah dari perbedaan waktu untuk subjek dengan psikosis lain (8,6 ±

6,3). Studi lain menunjukkan bahwa merokok mungkin merupakan suatu

tanda dari fase prodromal skizofrenia. Temuan ini dapat berhubungan

dengan model “self medication”sebab temuan itu menyatakan bahwa

individu dengan skizofrenia mengalami ketergantungan tembakau

sebagai akibat dari gejala abnormal selama fase prodromal, yang

menyebabkan pasien menggunakan ketergantungan tembakau sebagai

suatu bentuk pembebasan dari gejala psikiatri (Patel, 2010 dan Kumari,

2005 ).

2. Interaksi dari rokok tembakau dengan obat-obat antipsikotik.

Suatu studi mengajukan hipotesis bahwa individu dengan skizofrenia

termotivasi untuk merokok untuk mendapatkan pembebasan dariefek

samping obat antipsikotik (Patel, 2010). Hal ini disebabkan oleh induksi

enzimpolycyclic aromatic carbohydrates yang diproduksi ketika

tembakau dibakar. Enzim ini kemudian akan menginduksi cytochrome

P450 1A2 (CYP1A2) dan UDP glucoronosyltransferase (UGT),yang

berguna dalam metabolisme obat-obatan antipsikotik, yang akan

Page 21: Refer a Ttttt

terbentuk penuh 2 minggu setelah inisiasi merokok. Enzim ini dapat

menurunkan level obat-obatan antipsikotik (baik tipikal maupun atipikal)

dalam plasma sampai sepertiga dari dosisnya. Hal inilah yang

menyebabkan efek samping obat berkurang, termasuk gejala

ekstrapiramidal dan depresi farmakogenik. Enzim tersebut akan kembali

normal dalam 2-4 minggu setelah seseorang berhenti merokok. Obat

antipsikotik tipikal seperti haloperidol memiliki efek blok terhadap

dopamin yang sangat kuat. Disinilah merokok dapat meredakan efek

samping dari pengobatan melalui efektivitasnya dalam menstimulasi

pelepasan dopamin (Kumari, 2005). Berkurangnya level obat antipsikotik

dalam plasma menyebabkan pasien memerlukan dosis pengobatan yang

lebih tinggi untuk mendapatkan efek yang diinginkan. Dosis yang lebih

tinggi dapat berakibat pada efek samping yang lebih banyak,dan sebagai

akibatnya pasien juga memiliki angka ketergantungan tembakau yang

lebih tinggi (Patel, 2010 dan Krishnadas, dkk, 2012).

Temuan bahwa merokok dapat disebabkan oleh karena gejala dari

skizofrenia, banyak studi telah melaporkan bahwa merokok dapat

merupakan satu dari banyak faktor resiko lingkungan yang menyebabkan

skizofrenia. Dalam suatu studi kohort didapatkan bahwa perokok usia

remaja memiliki resiko yang lebih besar kedepannya untuk mengalami

skizofrenia dan secara signifikan lebih mungkin dirawat inap untuk

skizofrenia ke depannya. Sebagai tambahan, ditemukan juga bahwa

nikotin mengaktifasi aktifitas neurotransmisidari dopamin mesolimbik

Page 22: Refer a Ttttt

yang berperan sebagai reward. Reward ini penting untuk para remaja

yang mulai menunjukkan gejala dari penyakit psikiatri (Patel, 2010 dan

AhnAllen, dkk, 2012).

Dalam suatu studi ditemukan bahwa dibandingkan dengan perokok tanpa

gangguan mental, perokok dengan skizofrenia dan depresi merasakan

rokok lebih menguntungkan karena adanya nilai reward yang besar

dibandingkan dengan reward alternative untuk aktivitas lain. Walaupun

nilai reward dari merokok berarti bagi pasien skizofrenia, neurotransmisi

dari dopamin mesolimbik dapat meningkatkan resiko psikosis pada

individu yang sudah terekspos olehresiko familial dan lingkungan lain

dariskizofrenia. Jadi, dapat dibuat hipotesis bahwa merokok pada

individu dengan skizofrenia yang berada pada resiko tinggi untuk

mendapatkan penyakit tersebut karena faktor lain, dapat menjadi suatu

tanda untuk perkembangan skizofrenia (Patel, 2010 dan AhnAllen, dkk,

2012).

Walaupun faktor-faktor yang berhubungan dengan merokok dapat

dianalisis pada hampir semua titik dari penyakit, remaja adalah suatu

waktu yang kritis untuk mengevaluasi merokok karena merokok rata-

ratadimulai pada umur 15 tahun. Pada sebagian besar kasus, merokok

juga terjadi sebelum onset dari penyakit. Banyak studi telah disahkan

bahwa onset dari skizofrenia terjadi sekitarumur 18 tahun. Fakta bahwa

inisiasi dari merokok terjadi hampir selalu 3tahun sebelum onset dari

Page 23: Refer a Ttttt

penyakit mungkin dapat dijelaskan oleh pengaruh familial,

penyalahgunaan zat dan juga neurotransmisi nikotinik yang berperan

dalam patofisiologi skizofrenia (Patel, 2010 dan Krishnadas, dkk,

2012).

3. Remaja dari Orangtua yang Memiliki Kebiasaan Merokok

Suatu studi menyimpulkan bahwa remaja dari orangtua yang memiliki

kebiasaan merokok atau melakukan penyalahgunaan zat lebih mungkin

untuk mulai merokok pada usia lebih muda. Sebagai tambahan, suatu

lingkungan rumah yang stabil dengan dua orangtua biologis atau

keluarga yang mendukung perkembangan individu dapat melindungi

remaja dari penyalahgunaan zat. (Patel, 2010). Studi lain juga

mengusulkan bahwa jumlah rokok yang dihisap sebelum onset dari

penyakit juga secarasignifikan berhubungan dengan resikountuk

berkembangnya skizofrenia.

Dibandingkan dengan individu yang tidak merokok, remaja yang

merokok 1-9 batang rokok per hari memiliki resiko1.38 kali lebih besar

untuk masuk rumah sakit karena skizofrenia dan mereka yang merokok

10 batang rokokatau lebih per harinya 2.28 kali lebih mungkin untuk

diopname di rumah sakit selanjutnya(Patel, 2010 dan Krishnadas, dkk,

2012). Penyalahgunaan zat juga meningkatkan resiko terjadinya

skizofrenia. Sebagai tambahan, onset merokok yang lebih awal juga

dilihat sebagai suatu indikator dari penyalahgunaan zat (Patel, 2010).

Page 24: Refer a Ttttt

Remaja tidak hanya memiliki resiko yang lebih besar untuk menjadi

skizofrenia karena terdapat semua faktor resiko lain, tetapi mereka juga

diketahui memiliki defisit kognitif yang lebih besar dibandingkan pasien

skizofrenia dewasa. Dalam suatu studi didapatkan bahwa pasien remaja

menunjukkan hasil tes fungsi motorik,bahasa dan daya ingat yang lebih

buruksecara signifikan dari pasien dewasa. Hal ini merupakan temuan

yang penting karena seperti sudah diketahui bahwa banyak individu

dengan skizofrenia merokok untuk menenangkan defisit kognitif mereka

dan sangat mungkin bahwa banyak dari remaja ini telahmulai merokok

untuk menenangkan defisit kognitifnya. Bagaimanapun, juga telah

diketahui bahwa merokok meningkatkan neurotransmisi dopamin

mesolimbik, yang dapat meningkatkan resiko psikosis pada individu

yang telah terpajan oleh resiko familial dan lingkungan lain dari

skizofrenia (Patel, 2010; AhnAllen, dkk, 2012, dan Zammit S, dkk, 2003).

4. Remaja yang Merokok Memiliki Resiko Lebih Besar untuk Menjadi

Skizofrenia

Remaja yang merokok memiliki resiko lebih besar untuk menjadi

skizofrenia karena selama fase prodromal, remaja mengalami penarikan

sosial, perilaku aneh dan juga pencapaian sekolah yang rendah. Hal ini

terjadi ketika permulaan merokok juga mulai menjadi suatu bentuk “self-

medication”. Merokok jugadapat memberi efek menenangkanuntuk

remaja selama fase distressafektif. Oleh karena itu, fakta bahwa remaja

Page 25: Refer a Ttttt

mulai merokok selama periode ini mungkin menjadi suatu indicator dari

penyakit mental yang serius seperti skizofrenia (Patel, 2010 dan Kumari,

2005 ).

Pasien dengan ketergantungan nikotin berat dikatakan memiliki gejala

positif yang lebih besar serta mendapatkan resep obat-obatan antipsikotik

dengan dosis yang lebih tinggi.Gejala negatif lebih besar tampak pada

pasien dengan ketergantungan ringan, yang dikonfirmasi dengan

peningkatan angka sindrom defisit pada grup ini. Gejala positif dan

negatif yang lebih besar juga berhubungan dengan penyesuaian sosial

yang buruk. Hal ini didukung temuan bahwa pasien dengan

ketergantungan nikotin berat lebih banyak tidak bekerja.

Salah satu studi menyatakan bahwa disamping segala pengaruh

buruknya, merokok dapat merupakan suatu faktor protektif yang

independen terhadap terjadinya skizofrenia. Hal inisesuai dengan uji coba

pada binatang yang menunjukkan efek neuroprotektif dari nikotin serta

pelepasan dopamin prefrontal sebagai respon terhadap nikotin (Zammit S,

dkk, 2003).

c. Implikasi dari KetergantunganTembakau pada Skizofrenia

Ketergantungan tembakau pada pasien skizofrenia dapat memiliki banyak

implikasi yang tidak diinginkan. Berdasarkan laporan National Instituteof

Mental Health, individu dengan skizofrenia memiliki harapan hidup yang

Page 26: Refer a Ttttt

lebih singkat dan meningkatnya angka kematian dibandingkan dengan

populasi umum. Peningkatan angka morbiditas dan mortalitas dapat

disebabkan oleh ketergantungan tembakau dan faktor resiko lain yang dapat

dimodifikasi seperti kurangnya nutrisi, obesitas, gaya hidup dan perawatan

kesehatan yang buruk. Lebih dari itu, pasien memiliki resiko dua kali lipat

untuk penyakit kardiovaskular dan tiga kali lipat resiko untuk mengalami

penyakit saluran respirasi dan kanker paru-paru. Hal ini menyebabkan usia

harapan hidup pada pasien ini berkurang hingga 20%. Perokok berat pada

populasi ini juga berhubungan dengan resiko yang lebihtinggi dari

penyalahgunaan zat (Patel, 2010; Winterer, 2010, dan Krishnadas, dkk,

2012).

Merokok tetap menjadi penyebab kematian terbesar di negara kita. Merokok

tampaknya dapat menimbulkan risiko kesehatan baik umum dan khusus

untuk pasien dengan skizofrenia. Tidak ada keraguan bahwa merokok

menyebabkan morbiditas yang cukup besar dan kematian, tetapi tidak ada

data epidemiologi mengatasi morbiditas dan mortalitas yang berhubungan

dengan merokok dalam skizofrenia. Penelitian sebelumnya telah

menunjukkan bahwa antara harapan hidup orang dengan skizofrenia

diperkirakan 20% lebih sedikit daripada di umum penduduk. Ada

peningkatan kematian akibat penyebab alami dan penyebab yang paling

umum adalah penyakit jantung dan pernapasan, baik yang berhubungan

dengan merokok (Mortensen dan Juel, 1993). Prevalensi merokok

Page 27: Refer a Ttttt

meningkat merupakan faktor potensial yang penting dalam menjelaskan

kematian tinggi pada skizofrenia.

Merokok juga mempengaruhi metabolisme dan kadar obat-obatan psikiatri

dalam darah. Obat-obatan yang biasa digunakan oleh pasien yang levelnya

di darah dipengaruhi oleh merokok adalah olanzapine, clozapine,haloperidol

dan fluphenazine. Hal ini penting bagi para profesional di bidang kesehatan

mental untuk mempertimbangkan ketergantungan tembakau ketika

memonitor dosis obat pasien (Patel, 2010, Zammit S, dkk, 2003 dan Kumari,

2005). Walaupun penyesuaian dosis dapat menjadi salah satu pilihan untuk

menghadapi situasi ini, strategialternatif adalah dengan mengganti

pengobatan. Contohnya risperidon dan aripiprazol yang dimetabolisme

melalui CYP2D6 dan CYP3A, serta quetiapine dan ziprasidone yang

dimetabolisme melalui CYP3A, sehingga kadarnya dalam plasma tidak

dipengaruhi oleh rokok (Winterer, 2010).

Pasien dengan skizofrenia juga sering memiliki kesulitan keuangan dan

ketergantungan tembakau hanya menambah biaya, sebab sebagian besar

pasien merokok sebanyak rata-rata 25 batang per hari. Pasien dapat

menghabiskan kurang lebih 30% dari dana bulanan hanya untuk membeli

produk-produk tembakau. Beban finansial ini membuat pasien kesulitan

untuk memperoleh rokok disamping fakta bahwa mereka ketagihan terhadap

rokok (Patel, 2010 dan Winterer, 2010).

Page 28: Refer a Ttttt

Yang terakhir, tetapi yang palingpenting, remaja yang memiliki resiko untuk

berkembang menjadi skizofrenia dan yang mulai merokok pada usia muda

lebih mungkin menjadi pecandu rokok di kemudian hari dan juga lebih

mungkin mengalami implikasi yang tidak diinginkan dari ketergantungan

tembakau seperti yang sudah disebutkan diatas, lebih awal dari mereka yang

tidak merokok (Patel, 2010).

d. Berhenti Merokok Pada Pasien Skizofrenia

Tingkat berhenti merokok sangat rendah pada skizofrenia dan bahkan lebih

rendah pada penyakit jiwa lainnya. Upaya untuk mendapatkan pasien

dengan skizofrenia untuk menghentikan merokok telah berhasil ditemukan.

Persepsi yang ditimbulkan bahwa hal itu akan berhasil dan akan membawa

salah satu individu dari beberapa kesenangan mereka. Pandangan ini secara

inheren diskriminatif. Dalam studi Kelly dan McCreadie (1999) sepertiga

dari pasien melaporkan bahwa mereka ingin berhenti karena alasan

kesehatan.

Perokok dengan skizofrenia memiliki kecanduan nikotin yang parah , dan

farmakologis dan psikologikal dengan berhenti merokok perlu

ditambahakan. Ada beberapa studi yang telah melihat metode berhenti

(ditinjau oleh Lavin, dkk, 1996 ). Larangan merokok di dalam unit psikiatri

memiliki dihasilkan laporan naturalistik, biasanya pasien yang sangat

kecanduan diterapi saja (Addington,dkk, 1998) atau dalam kombinasi

Page 29: Refer a Ttttt

dengan terapi pengurangan nikotin (Ziedonis dan George, 1997) . Hasil

studi yang mendesak diperlukan untuk mengevaluasi efektivitas merokok

dalam penghentian program (misalnya dalam program rawat pasien,

pengganti nikotin, perilaku teknik dan sebagainya ). Untuk kecanduan yang

parah, kombinasi berikut dapat digunakan yaitu gabungan permen karet dan

terapi patch, bupropion dan nicotine patch, nicotine nasal spray, atau inhaler

nikotin. Penggunaan bupropion menarik. Dalam Subyek biasa terus

menerus melepaskan bupropion, antidepresan, sendiri atau dalam kombinasi

dengan nikotin yang patch, mengakibatkan tingkat berhenti merokok jangka

panjang secara signifikan lebih tinggi (masing-masing 30,3 dan 35,5 %)

daripada penggunaan baik patch nikotin saja (16,4 %) atau plasebo (15,6 %)

(Jorenby dkk, 1999). Dalam laporan kasus baru-baru ini (Evins dan Tisdal ,

1999 ), melepaskan bupropion telah berhasil digunakan dengan pasien laki-

laki sakit kronis dengan skizofrenia .

Mengapa mungkin antidepresan seperti bupropion membantu dalam berhenti

merokok. Telah disarankan bahwa pemberian jangka panjang bupropion dan

nortriptyline, antidepresan adrenergik, menghasilkan responsivitas

meningkat secara signifikan untuk stimulasi sel-sel dopamin tegmental

ventral. Hal ini tidak terlihat dengan selective serotonin reuptake inhibitor

(SSRI). Ini mungkin mengapa buproprion dan nortriptyline meningkatkan

pantang merokok, tetapi tidak dengan obat golongan SSRI. Untuk

penjelasan lebih lengkap tentang kemungkinan ini , lihat Glassman (1998).

Kami baru-baru ini melaporkan (Skotlandia Schizophrenia Research Group,

Page 30: Refer a Ttttt

2000) bahwa prevalensi merokok pada pasien episode pertama hanya

setinggi pada pasien kronis , namun bahwa jumlah rokok yang dihisap per

hari tidak lebih tinggi dari yang pada perokok pada populasi umum.

Mungkin itu adalah tahap awal yang mencoba untuk membantu pasien

berhenti merokok yang harus dilakukan .

Page 31: Refer a Ttttt

III. KESIMPULAN

Page 32: Refer a Ttttt

DAFTAR PUSTAKA

Addington, J., el-Guebaly, N., Campbell, W., et al (1998) Smoking cessation treatment for patients with schizophrenia. American Journal of Psychiatry, 155, 974-976.

AhnAllen CG, Liverant GI, Gregor KL, Kamholz BW, Levitt JJ, Gulliver SB, dkk. The relationship between reward based learning and nicotine dependence in smokers with schizophrenia. Psychiatry Research. 2012; 196:9-14.

Benhard Rudyanto Sinaga, Skizofrenia & Diagnosis Banding; Balai Penerbit FKUI Jakarta; 2007

Benowitz, NL., 1996. Pharmacology of Nicotine : Addiction and Therapeutics. Ann Rev Pharmacology Toxicology, 36 : 597 – 613.

Benwell M.E., alfour D.J. and Anderson J.M. 1998. Evidence that tobacco smoking increase the density of [3H]nicotine binding sites in human brain. Journal of Neurochemistry, Vol 50: 1243-1247.

Bertram G. Katzung, M.D., Ph. D.; Farmakologi Dasar Dan Klinik; Penerbit Salemba Medika; 2002.

Breese C.R., Marks M.J., Logel J.L., Adams C.E., Sullivan B., Collins A.C., and Leonard S. 1997. Effect of Smoking History on [3H]Nicotine Binding in Human Postmortem Brain. JPET. 282:7-13,1997.

Decker, M.S., Brioni, J.D., 1997. Neuronal Nicotinic Receptors: Potential Treatment of Alzheimer Disease with Novel Cholinergic Channel Modulators. Pharmacological Treatment of Alzheimer’s Disease. Chap.19., pp.433-459, Wiley-Liss, New York.

Evins, A. E. & Tisdale, T. (1999) Bupropion and smoking cessation. American Journal of Psychiatry, 156, 798-799.

Glassman, A. H. (1998) Psychiatry and cigarettes. Archives of General Psychiatry, 55, 692-693.

Page 33: Refer a Ttttt

Grundman, M., Thal, L.J., 2000. Treatment of Alzheimer’s Disease: Rationale and Strategies. Neurology Clinics, 18 (4), 807-828.

Hans Tendra. 2003. Merokok dan Kesehatan. Surabaya. http://yahoo.com. Diakses tanggal 30 April 2014.

Hajos, M., Engberg, G., 1988. Role of primary sensory neurons in the central effects of nicotine. Psychopharmacol, 94:468-470.

Jorenby, D. E., Leischow, S. J., Nides, M. A., et al (1999) A controlled trial of sustained release bupropion, a nicotine patch, or both for smoking cessation. New England Journal of Medicine, 304, 685-691.

Joseph, A.M., Norman, S.M., Ferry, L.H., Prochazka, A.V., westman, E.C. Steele, B.G. 1996. The Savety of Transdermal Nicotine as an Aid to Smoking Cessation in Patients with Cardiac Disease. The New England Journal of Medicine; 335 : 1792 – 1798.

Kelly, C. & McCreadie, R. G. (1999) Smoking habits, current symptoms, and premorbid characteristics of schizo-phrenic patients in Nithsdale, Scotland. American Journal of Psychiatry, 156, 1751-1757.

Krishnadas R, Jauhar S, Telfer S, Shivashankar S, McCreadie RG. Nicotine Dependence and Illness Severity in Schizophrenia. The British Journal of Psychiatry. 2012; 1-7.

Kumari V, Postma P. Nicotine Use in Schizophrenia: The Self Medication Hypotheses. Neuroscience and Neurobehavioral Reviews. 2005; 29: 1021-1034.

Lavin, M. R., Siris, S. G. & Mason, S. E. (1996) What is the clinical importance of cigarette smoking in schizophrenia American Journal of Addictions, 5, 189-208.

Maslim Rusdi, (2001). Buku Saku Diagnosa Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas Dari PPDGJ – III. Nuh Jaya. Jakarta

Mitchell S.N., Smith K.M., Joseph M.H and Gray J.A., 1997. Acute and chronic effects of nicotine on catecholamine synthesis and release in the rat central nervous system. In: The biology of nicotine: Current Research Issues (PM Lippiello, AC Collins, JA Gray and JH Robinson, eds.) Raven Press, New York: 98-119.

Mortensen, P. B. & Juel, K. (1993) Mortality and causes of death in first admitted schizophrenic patients. British Journal of Psychiatry, 163, 183-189.

Page 34: Refer a Ttttt

Patel M. Tobacco Dependence and Schizophrenia: A Complex Correlation Journal of Young Investigators. Vol 19; Issue 20.2010.

Picciotto M.R., Zoli. M.,Rimondini R., Lena C., Marubio L.M., Pich EM., Fuxe K and Changeux J.P., 1998. Acetylcholine receptors containing the beta2 subunit are involved in the reinforcing properties of nicotine. Nature, 391:173-177.

Robertson D., Tseng C,J., Appalsamy M. 1988. Smoking and Mecanisms of Cardiovascular Control. Am Heart J : 115 : 258.

Scottish Schizophrenia Research Group (2000) Smoking habits and plasma lipid peroxide and vitamin E levels in never treated first-episode patients with schizophrenia. Preliminary report. British Journal of Psychiatry, 176, 290-293.

Shochat, M., Lucchesi, M., 2000. Toxicity, Carbon Monoxide. eMedicine Journal,Volume 2, Number 5.

Svensson, T.H., 2000. Dysfunctional Brain Dopamine Systems Induced by Psychotomimetic NMDA Receptor Antagonists and The Effects of Antipsychotic Drugs. Brain Res. Rev. 31 (2-3):320-329.

Wildan Asfan. 2002. Lingkungan Kerja Tanpa Rokok (Dalam Rangka Hari Tembakau Sedunia). Kompas.

Winterer G. Why do patients with schizophrenia smoke? Current Opinion in Psychiatry.2010; 23:112-119.

Zammit S, Allebeck P, Dalman C, Lundberg I, Hemmingsson T, Lewis G. Investigating theAssociation Between Cigarette Smoking and Schizophrenia in a Cohort Study. AmericanJournal of Psychiatry. 2003; 160:2216-2221.

Page 35: Refer a Ttttt