Ragam Model Struktur Organisasi Kecamatan Berbasis...
Transcript of Ragam Model Struktur Organisasi Kecamatan Berbasis...
Ragam Model Struktur Organisasi Kecamatan Berbasis Pelayanan Publik
Haris Faozan
Pusat Inovasi Kelembagaan dan Sumber Daya Aparatur
Deputi Bidang Inovasi Administrasi Negara
Lembaga Administrasi Negara
Jl. Veteran 10, Jakarta 10110, Indonesia Phone. (62-21) 3848217, E-mail: [email protected] dan [email protected]
Abstract
Sub-district is one of the organization peripheral of area that has a crucial role in
public services. Law number 32 Year 2004 states that in addition to having attributive
duties, sub-district is also devolved delegative authorities. However, both main tasks can
not be performed optimally.The policies concerned with sub-district organization indicate
complicated issues, and the public services of the sub-district remain low-performing.
This paper presented models of sub-district organization that anticipates the needs and
priorities of public services.
This research is a meta applied case study. This study used research data about
sub-district organizations in Indonesia. The analytical methodology was in-depth
qualitative analysis based on the findings of the previous case studies.
This study resulted in important findings. The design of sub-district organizations
remained to have low performance based on the dimensions of its organizational
structure. This internal drawback led to poor public service delivery. Based on these
findings, this study recommends three sub-district organization models. One of these
models can be selected by local government to redesign its sub-district organization, in
accordance with organizational capacity and public service demands and priorities.
Key words: sub-district, organization peripheral of area, local government, public
services
Latar Belakang
Di era otonomi daerah dewasa ini, dapat sama-sama dicermati bahwa keberadaan
organisasi perangkat daerah (OPD) memang menjadi concern pemerintah pusat, tetapi
pembentukannya jarang menjadi atensi serius bagi pihak pemerintah daerah itu sendiri.
Terminologi organisasi perangkat daerah bagi pihak pemerintah daerah pada umumnya
masih dipandang sebagai bentuk (shape) semata-mata. Oleh karena itu dalam upaya
mendesain ulang organisasinya hanya sebatas pada menambah atau mengurangi kotak-
kotak jabatan. Karena kondisi yang demikian, tidak mengherankan apabila organisasi
perangkat daerah belum mampu menunjukkan kinerja optimal dari desain atau desain
ulang organisasi yang mereka rancang. Sementara itu, dari perspektif the congruence
Jurnal Administrasi Publik PKP2A II LAN Makassar | 2
model menurut Nadler & Tushman (1992, 1997), organisasi memiliki beragam aspek
penting yang secara keseluruhan membutuhkan perhatian, dan keselarasannya
(alignment) membutuhkan sentuhan-sentuhan yang memadai dari seluruh level
manajemen.
Bagi kalangan pemerintah daerah, memahami dan mengaplikasikan manajemen
pemerintahan secara total adalah sebuah keharusan. Tiga pilar penting manajemen
pemerintahan daerah yang harus diperhatikan secara seksama yaitu pemahaman tentang
organisasi birokrasi, kebijakan, dan pelayanan public. Ketiganya merupakan sebuah
rangkaian manajemen pemerintahan daerah, dimana antara satu dengan yang lain
menunjukkan inter-face dan konektivitas saling berpengaruh dan sangat penting bagi
eksistensi dan keberlangsungan organisasi perangkat daerah.
Berkaitan dengan rangkaian manajemen pemerintahan daerah di atas, penting kiranya
untuk kembali menengok fungsi aparatur pemerintah daerah. Fungsi inti eksistensi
aparatur pemerintah daerah yaitu memberikan perlindungan masyarakat, pelayanan
masyarakat, dan melaksanakan pembangunan. Product output pemerintah daerah adalah
goods and regulation untuk kepentingan publik. Yang dimaksud dengan “goods” adalah
barang-barang atau fasilitas publik yang dihasilkan pemerintah seperti misalnya sekolah,
rumah sakit, jalan, dan jembatan; sedangkan dalam kelompok regulations yang dihasilkan
pada umumnya bersifat regulatory atau pengaturan, seperti Akte Kelahiran, Kartu Tanda
Penduduk, dan Ijin Mendirikan Bangunan.
Tuntutan masyarakat terhadap pelayanan pemerintah daerah dewasa ini semakin
meningkat, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Hal ini perlu segera diantisipasi.
Sehubungan dengan kedudukan pemerintah daerah sebagai lembaga yang memperoleh
legitimasi dari rakyat untuk menghasilkan goods and regulations, maka kemudian
menjadi sangat penting bagi pemerintah daerah beserta organisasi perangkat daerahnya
untuk memenuhi hal itu pada kondisi pelayanan bermutu tinggi (hi-quality services)
sebagai bentuk pertanggungjawaban publik. Salah satu perangkat daerah yang dinilai
memiliki peran penting dalam pelayanan public adalah kecamatan. Peran camat sebagai
ujung tombak pelayanan masyarakat, stimulator pemberdayaan masyarakat dan
stabilisator kondisi sosio-politik di wilayahnya, dalam manajemen pemerintahan negara
memiliki arti yang sangat penting dalam menjaga dan meningkatkan kualitas pelayanan
publik yang menjadi misi utama penyelenggaraan pemerintahan negara.
Tetapi meskipun demikian, dalam dua tahun terakhir ini berkembang issue yang semakin
panas, di mana keberadaan kecamatan akan dihapuskan dari tata pemerintah daerah di
Indonesia. Issue tersebut berawal dari anggapan yang menyatakan bahwa kinerja
kecamatan-kecamatan di Indonesia tidak sesuai dengan yang diharapkan dan cenderung
menghabiskan anggaran yang sangat besar. Hal demikian tentu saja tidak bijaksana,
karena sebagian besar organisasi perangkat daerah pada umumnya dan bahkan instansi
pemerintah pusat juga belum mampu menghasilkan kinerja optimal. Apabila premis
tersebut diberlakukan sama dengan kecamatan, maka sebagian besar instansi pemerintah
di Indonesia juga layak dihapuskan. Hal demikian sebaiknya disikapi secara bijak dan
dicarikan solusi eleagan. Menghapus organisasi kecamatan pastilah tidak memecahkan
masalah, tetapi justru menciptakan persoalan baru yang jauh lebih besar, mengingat
Ragam Model Struktur Organisasi Kecamatan Berbasis Pelayanan Publik | 3
jumlahnya mencapai lebih dari 6.000 kecamatan di seluruh Indonesia. Inilah penting
business as not usual, yaitu mencari pemecahan masalah dari jalan keluarnya bukan dari
masalahnya itu sendiri.
Peran penting kecamatan dalam pelayanan publik dapat disimak dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004. Selain memiliki tugas-tugas atributif, kecamatan juga diberikan
kewenangan delegatif. Tugas atributif merupakan tugas pemerintahan umum yang
melekat di kecamatan, sedangkan tugas delegatif merupakan wewenang yang diberikan
oleh bupati/walikota kepada camat. Permasalahan yang kerap diangkat terkait dengan
kelembagaan kecamatan adalah perihal tugas-tugas delegatif. Pihak kecamatan merasa
masih dibatasi dalam menerima pelimpahan kewenangan yang ada. Kewenangan
delegatif yang diberikan oleh bupati/walikota kepada kecamatan dinilai belum
sepenuhnya maksimal sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang ada di kecamatan.
Menurut Tim Peneliti Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III – Lembaga
Administrasi Negara (PKP2A III LAN, 2007) setidaknya terdapat 2 (dua) kendala yang
dihadapi dalam melimpahkan kewenangan kepada kecamatan/kelurahan. Pertama,
kecamatan/kelurahan selama ini terbiasa menjalankan kewenangan yang bersifat atributif
(attributive authorities), yakni kewenangan yang melekat pada saat pembentukannya.
Akibat kebiasaan tersebut maka kemudian pola kerja kecamatan menjadi kaku, mekanis
dan cenderung kurang dinamis. Kedua, kondisi obyektif kecamatan dapat dikatakan
kurang mendukung kebijakan tentang pelimpahan kewenangan pemerintahan kepada
kecamatan. Hal demikian didasarkan pada jumlah dan kualitas SDM yang tidak memadai,
sarana kerja yang serba terbatas, dan sumber dana yang tidak mencukupi. Kondisi
tersebut merupakan fakta riil yang perlu diperkuat sebelum pelimpahan kewenangan
direalisasikan.
Dari sudut pandang yang lain, Sadu Wasistiono (2009) melihat bahwa pada dasarnya
kecamatan mempunyai peran penting dalam pelayanan public, sehingga organisasi
kecamatan sebaiknya disusun sebagai organisasi pemberi pelayanan dalam rangka
optimalisasi eksistensinya. Hasil temuan penelitian Anwar Sanusi (2010) menunjukan
bahwa terdapat beberapa strategi yang dapat ditempuh dalam peningkatan efektivitas
kelembagaan kecamatan, antara lain yaitu adanya grand design yang jelas kemana arah
penataan kecamatan yang akan datang dan adanya kejelasan pengaturan pelimpahan
wewenang dari bupati/walikota kepada kecamatan dan organisasi perangkat daerah yang
lain, serta bagaimana pola hubungan antar keduanya.
Sekilas uraian di atas memberikan gambaran bahwa pada dasarnya organisasi atau
institusi kecamatan belum mampu mengoptimalkan peran dan keberadaannya, sehingga
dengan demikian membutuhkan penataan ulang agar dapat memberikan pelayanan public
secara optimal berdasarkan tugas dan fungsi yang diemban.
Pada prinsipnya, persoalan keorganisasian yang cukup mendasar bagi kecamatan dan
memicu rendahnya kinerja kecamatan pada umumnya adalah tidak sesuainya struktur
organisasi yang ditetapkan dengan tugas yang diembannya atau sebaliknya. Tidak adanya
criteria yang jelas dalam penentuan besaran organisasi kecamatan akan berdampak pada
Jurnal Administrasi Publik PKP2A II LAN Makassar | 4
besarnya kebutuhan anggaran. Tidak terjabarnya secara jelas tugas atributuf dan delegatif
camat akan berdampak secara signifikan terhadap rendahnya kinerja camat khususnya
dan organisasi kecamatan pada umumnya. Oleh karena itu, besaran dan susunan
organisasi kecamatan harus berdasarkan criteria yang jelas, dan tugas camat harus dapat
dijabarkan dengan jelas pula. Dengan memperhatikan kedua hal tersebut, sebagian dari
persoalan-persoalan mendasar organisasi kecamatan dapat dikurangi, sementara kinerja
camat secara berangsur-angsur dapat ditingkatkan. Hal demikian harus segera
diantisipasi, mengingat besarnya peran penting kecamatan dalam pelayanan public di
Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, maka kajian ini penting dalam rangka memberikan jalan
keluar atas persolan yang dihadapi organisasi kecamatan terkait dengan tuntutan kualitas
pelayan public yang terus meningkat.
Tujuan dan Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model organisasi kecamatan yang
memungkinkan terwujudnya kualitas pelayanan publik kecamatan. Berdasarkan tujuan
tersebut, research questions yang diangkat adalah “bagaimana model pengembangan
organisasi kecamatan yang memungkinkan optimalnya kinerja pelaksanaan tugas-tugas
camat sebagai representasi pelayanan publik kecamatan?”
Tinjauan Kepustakaan
Organisasi pemerintah dalam suatu sistem administrasi negara adalah organisasi publik
yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan peraturan perundangan agar berfungsi secara
optimal bagi kehidupan masyarakat. Fungsi utama organisasi pemerintah pada esensinya
adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Suatu organisasi pemerintah dalam
suatu system norma, dibentuk dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat. Sedangkan
apabila dilihat dari kebiasaan dan tata kelakuan, maka suatu organisasi pemerintah
merupakan proses yang terstruktur dalam pembentukan maupun penyelenggaraannya.
Mengingat hal tersebut maka kecamatan sebagai bagian dari organisasi perangkat
daerah dapat diartikan sebagai sistem norma dan aturan yang di dalamnya terdapat proses
terstruktur dalam penyelenggaraan pemerintahan guna mencapai tujuan pemenuhan
kebutuhan masyarakat.
Karakteristik model birokrasi yang dibangun oleh Max Weber pada esensinya memiliki
beberapa keunggulan yang masih dapat diterapkan dalam organisasi kecamatan saat ini,
sementara beberapa hal lain yang dirasa tidak sesuai dengan kondisi kekinian perlu
diselaraskan sesuai kebutuhan. Beberapa karakter model birokrasi yang masih dinilai
relevan dengan kondisi saat ini diantaranya adalah pembagian tugas secara jelas, dan
promosi berdasarkan kompetensi.
Ragam Model Struktur Organisasi Kecamatan Berbasis Pelayanan Publik | 5
Pembagian tugas secara jelas sangat dibutuhkan dalam organisasi kecamatan. Dengan
pembagian tugas yang jelas, maka siapa mengerjakan apa, dan siapa bertanggungjawab,
serta melapor kepada siapa akan terdapat kejelasan. Selain itu, dengan pembagian tugas
yang jelas akan memudahkan mekanisme koordinasi, baik yang bersifat vertikal maupun
horizontal. Masalah utama dalam organisasi kecamatan pada khususnya, dan organisasi
perangkat daerah pada umumnya adalah kurang jelasnya pembagian tugas. Dengan
kondisi demikian kecil kemungkinan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi dapat
diciptakan secara optimal.
Karakter lain birokrasi yang masih dibutuhkan adalah promosi berdasarkan kompetensi.
Sejak awal dibangun model birokrasi oleh Weber, karakter ini sudah melekat dan tidak
bisa dipisahkan. Oleh karena itu, kompetensi menjadi syarat mutlak bagi setiap anggota
organisasi kecamatan yang akan menduduki jabatan tertentu. Tetapi persoalannya, syarat
kompetensi dan prestasi kerja kerapkali diabaikan. Hal demikian sangat berisiko bagi
eksistensi organisasi kecamatan khususnya, dan umunya organisasi perangkat daerah ke
depan.
Cukup banyak potret yang menggambarkan bahwa organisasi perangkat daerah belum
mampu memberikan kontribusi konkret kepada keberdayaan public secara luas. Hal
demikian perlu dicarikan jalan keluar, agar organisasi perangkat daerah dapat melayani
masyarakat setempat secara lebih baik. Untuk mewujudkan hal demikian membutuhkan
komitmen yang sangat kuat secara kolektif dari seluruh jajaran organisasi perangkat
daerah. Akumulasi komitmen dari seluruh jajaran organisasi perangkat daerah itulah yang
akan menjadi sumber berharga untuk mewujudkan cita-cita yang diharapkan.
Dalam perspektif manajemen, birokrasi modern yang diperlukan saat ini ialah birokrasi
yang secara fisik organisasional relatif kecil dan padat (compact) tetapi secara kualitatif
kapasitasnya besar atau yang selama ini dikenal dengan ramping struktur kaya fungsi
(Faozan & Mansoer, 2008). Mencermati komposisi organisasi kecamatan khususnya dan
organisasi perangkat daerah pada umumnya, dapat sama-sama kita amati bahwa struktur
yang dirancang belum merujuk pada hasil kajian yang memadai. Oleh karenanya sangat
dimaklumi apabila muncul vonis bahwa struktur organisasi-organisasi perangkat daerah
dibangun berdasarkan common sense.
Uraian berikut mencoba memaparkan beberapa keterbatasan struktur birokratik di tubuh
organisasi perangkat daerah berdasarkan dimensi-dimensi strukturnya (Faozan, 2005,
2007). Pada dimensi complexity, kompleksitas diferensiasi vertikal dan horizontal perlu
disesuaikan dengan strategic issues yang berkembang. Sehubungan dengan hal tersebut
antara satu dinas dengan dinas yang lain, hierarkhi yang dirancang tidak harus sama,
begitu juga dengan jumlah eselon II, III, dan IV pun tidak harus sama. Keberadaannya
sangat tergantung pada strategic issus yang ditangani.
Pada dimensi formalization, formalisasi penataan aturan, kebijakan, prosedur dan
sebagainya dirancang secara rigid sehingga sangat menyulitkan untuk mengambil
respon-respon kreatif terhadap tantangan-tantangan (challenges) terkini. Melihat
pesatnya perubahan lingkungan, maka unit-unit yang tersebar perlu diberi kebebasan
untuk merespon tantangan yang dihadapi, dengan tetap berpegang pada tujuan dan
sasaran organisasi induknya. Hal demikian juga berdampak positif bagi para middle and
Jurnal Administrasi Publik PKP2A II LAN Makassar | 6
lower managers, pejabat fungsional dan bahkan para staf pelaksana untuk berani
mengambil resiko terhadap tantangan yang ada.
Dalam dimensi centralization, kewenangan pada struktur birokratik berada pada pusat
kekuasaan atau pucuk pimpinan. Tradisi pengambilan keputusan dan kewenangan
terpusat yang telah mengakar sangat kuat pada organisasi perangkat daerah, telah
berakibat buruk bagi level-level manajer yang berada di bawahnya dalam pengambilan
keputusan. Kewenangan dan pengambilan keputusan seharusnya dapat
didesentralisasikan sesuai dengan proporsinya, baik itu dalam konteks satuan kerja
perangkat daerah, unit organisasi, maupun unit kerja. Dengan kerangka kerja yang
komprehensif dan jelas, desentralisasi kewenangan akan berjalan sesuai dengan
skenarionya. Dengan melakukan penyesuaian seperti ini, unit-unit yang tersebar akan
merasa lebih tertantang dalam menghasilkan kinerja yang lebih optimal.
Apabila dikaitkan dengan kewenangan camat, struktur organisasi dan tugas serta fungsi
kecamatan, maka uraian di atas mejadi semakin menarik dan penting untuk dibahas lebih
lanjut. Kewenangan camat berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah tidak hanya berkaitan dengan kewenangan delegatif, tetapi juga
kewenangan atributif. Pada Pasal 126 ayat (2) disebutkan bahwa kecamatan dipimpin
oleh camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian
wewenang bupati/walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. Adapun
kewenangan atributif camat dapat dilihat pada ayat (3) yang menyebutkan bahwa camat
menyelenggarakan tugas umum pemerintahan.
Kemudian dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 158 Tahun 2004 disebutkan
bahwa camat mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan kewenangan pemerintahan
yang dilimpahkan oleh bupati/walikota sesuai dengan karakteristik wilayah, kebutuhan
daerah dan tugas pemerintahan lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Lebih dari itu, di dalamnya juga disebutkan bahwa selain tugas umum pemerintahan,
camat juga menyelenggarakan urusan pemerintahan yang meliputi lima bidang
kewenangan pemerintahan, yaitu bidang pemerintahan, bidang pembangunan dan
ekonomi, bidang pendidikan dan kesehatan, bidang sosial dan kesejahteraan serta bidang
pertanahan.
Pada Tahun 2008 diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2008 tentang
Kecamatan, yang mengatur secara rinci mengenai tugas dan wewenang camat, baik untuk
yang bersifat atributif maupun delegatif. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas
atributif, camat menyelenggarakan tugas umum pemerintahan sebagai berikut:
1. mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;
2. mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum;
3. mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perUndang-undangan;
4. mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum;
5. mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan;
6. membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan; dan
7. melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau
yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan.
Ragam Model Struktur Organisasi Kecamatan Berbasis Pelayanan Publik | 7
Mengenai tugas delegatif, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2008 juga menyebutkan
bahwa camat melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh
bupati/walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah, yang meliputi aspek:
1. perizinan;
2. rekomendasi;
3. koordinasi;
4. pembinaan;
5. pengawasan;
6. fasilitasi;
7. penetapan;
8. penyelenggaraan; dan
9. kewenangan lain yang dilimpahkan
Suatu organisasi kecamatan dipimpin oleh seorang camat. Dalam menjalankan tugasnya,
camat dibantu oleh perangkat kecamatan dan bertanggungjawab kepada bupati/walikota
melalui sekretaris daerah kabupaten/kota. Susunan organisasi kecamatan terdiri dari
camat, sekretaris camat, dan sebanyak-banyaknya terdapat lima seksi, serta jabatan
fungsional. Sekretariat membawahkan paling banyak tiga subbagian. Adapun tiga seksi
yang mesti ada dalam susunan organisasi kecamatan adalah seksi tata pemerintahan, seksi
pemberdayaan masyarakat dan desa serta seksi ketentraman dan ketertiban umum.
Karena merupakan perangkat daerah kabupaten/kota, hubungan kerja camat dengan
bupati/walikota bersifat hierarkis. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 14 ayat (2) Peraturan
Pemerintah No. 19 Tahun 2008, yang menyatakan bahwa camat berkedudukan di bawah
dan bertanggung jawab kepada bupati/ walikota melalui sekretaris daerah. Sementara itu
hubungan kerja camat dengan dinas daerah, lembaga teknis daerah, dan instansi vertikal
yang ada di kecamatan bersifat koordinasi teknis fungsional. Sedangkan hubungan kerja
camat dengan pemerintah desa bersifat koordinatif dan fasilitasi. Adapun hubungan kerja
antara camat dengan lurah bersifat koordinatif, karena delegasi kewenangan yang
dijalankan oleh lurah berasal dari bupati/walikota, sehingga lurah pun bertanggungjawab
kepada bupati/walikota melalui camat.
Mencermati struktur organisasi birokratik dalam organisasi kecamatan khususnya, dan
organisasi perangkat daerah pada umumnya, maka keberadaannya perlu dimodifikasi dan
disesuaikan dengan kondisi kekinian agar kecamatan mampu meningkatkan kinerja
pelayanan secara signifikan (Faozan, 2005). Dalam upaya mengotimalkan kinerja
kecamatan, maka pemerintaha daerah harus mampu mengelola seluruh komponen-
komponen penting organisasinya secara memadai. Sehubungan dengan hal tersebut,
congruence model yang ditawarkan oleh Nadler & Tushman (1992, 1997) dapat dijadikan
rujukan. Pondasi congruence model adalah bahwasanya sebuah organisasi merupakan
open system, dimana subsistem-subsistem organisasi terpengaruh oleh external
environment. Subsistem organisasi sebagai system terdiri atas: masukan ke dalam system
yang meliputi lingkungan, sumberdaya organisasi, dan sejarah; proses transformasi atau
strategi bisnis; dan keluaran yang meliputi pola aktivitas organisasi, perilaku, dan kinerja.
Dalam congruence model, input meliputi elemen-elemen yang berhubungan dengan
kualitas yang diperlukan organisasi, termasuk di dalamnya juga material dengan mana
organisasi harus bekerja. Terdapat beberapa tipe faktor kontekstual, dimana masing-
Jurnal Administrasi Publik PKP2A II LAN Makassar | 8
masing menunjukkan seperangkat hal spesifik bagi organisasi, yaitu environment,
organization’s resources, dan organization’s history. Setelah ketiga factor kontekstual
dianalisis, kemudian ditetapkan strategi yaitu keputusan-keputusan mengenai alokasi
sumberdaya yang terbatas untuk mengantisipasi keterbatasan dan peluang yang
ditimbulkan oleh lingkungan, baik long-term decision maupun shorter-term objective dan
supporting strategies. Dengan strategi yang layak dan sasaran yang konsisten secara
internal, tantangan manajemen adalah meningkatkan intesitas organisasi untuk mencapai
sasaran-sasaran stratejik tersebut. Dengan demikian maka, strategi menentukan bentuk,
kualitas, dan karakter suatu pekerjaan dan juga menentukan critical organizational
output.
Adapun mekanisme transformasi dalam konteks congruence model adalah operasi
organisasi yang terdiri atas empat komponen organisasi, yaitu: the work, the people who
perform the work, the formal arrangements that provide structure and direction to their
work, and the informal arrangements that reflect their values, beliefs, and patterns of
behavior. Operasi organisasi sebagai “heart of the congruence model”, dikatakan oleh
Nadler (1997) menggunakan bisnis strateginya untuk menghasilkan keluaran (outputs),
semua hal yang terkait dalam konteks lingkungan, sumberdaya dan sejarah organisasi.
Nadler menegaskan bahwa organisasi yang efektif dicirikan dengan sebagaimana baik
komponen-komponen organisasi terpadu bersama. Permasalahan utama bagi para
manajer yang terlibat dalam organizational design adalah bagaimana cara menemukan
jalan terbaik untuk membentuk komponen-komponen organisasi tersebut agar mampu
menciptakan output yang diharapkan sesuai dengan strategic objective. Oleh karenanya
sangatlah penting untuk memahami masing-masing komponen organisasi dimaksud dan
hubungannya satu dengan yang lain.
Metodologi
Metode yang digunakan dalam studi ini adalah meta applied case study, yaitu kajian
terapan berdasarkan studi-studi kasus yang pernah dilakukan sebelumnya tentang
kecamatan di Indonesia. Meta case study dilakukan dalam rangka mengoptimalkan data
berharga yang sudah ada yang diperoleh dari lapangan oleh para peneliti sebelumnya.
Meta case study ini lakukan sebagai pengembangan metodologi, di mana pada umumnya
analisis kasus kecamatan tidak mampu dilakukan secara mendalam sehingga tidak
mampu memberikan rekomendasi yang memadai. Dalam konteks kajian ini, pendekatan
metodologi menitikberatkan pada analisis kualitatif meskipun data yang tersedia meliputi
data kuantitatif. Analisis kualitatif dalam hal ini merupakan analisis secara mendalam atas
analisis data yang sudah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Dengan meta case
study, oleh karenanya terbuka kemungkinan yang semakin lebar untuk dapat memberikan
rekomendasi kebijakan mengenai model organisasi kecamatan secara memadai.
Sehubungan dengan hal tersebut, data yang dikumpulkan, diolah, dan dianalisis dalam
kajian ini berasal dari hasil-hasil case study terkait dengan kecamatan, khususnya data
mengenai layanan publik kecamatan dan komponen-komponen organisasi kecamatan.
Data pelayanan publik kecamatan dan komponen-komponen organisasi kecamatan
tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam 4 (empat) tipologi wilayah, yaitu wilayah
pegunungan, pesisir, kepulauan, dan perbatasan kabupaten/kota. Kecamatan di wilayah
Ragam Model Struktur Organisasi Kecamatan Berbasis Pelayanan Publik | 9
pegunungan diwakili oleh kecamatan Lubuk Basung dan kecamatan Ampek Angkek
(kabupaten Agam, provinsi Sumatera Barat). kecamatan di wilayah pesisir diwakili oleh
kecamatan Bantul dan kecamatan Kretek (kabupaten Bantul, provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta). Kecamatan di wilayah kepulauan diwakili oleh kecamatan Tanjung Pandan
dan kecamatan Selat Nasik (kabupaten Belitung, provinsi Bangka Belitung). Kecamatan
di wilayah perbatasan kabupaten/kota diwakili oleh kecamatan Labuapi dan kecamatan
Gunungsari (kabupaten Lombok Barat, provinsi Nusa Tenggara Barat).
Dalam study ini tugas atributif camat ditegaskan sebagai tugas yang wajib dilaksanakan
oleh camat. Sementara itu tugas delegatif camat ditentukan oleh kebijakan bupati. Hal ini
mengandung pengertian bahwa pelimpahan sebagian kewenangan bupati dapat berbeda
antara satu kabupaten dengan kabupaten yang lain. Dalam konteks model yang
dikembangkan di sini, pelimpahan sebagian kewenangan bupati kepada camat dipandang
sebagai jenis-jenis pelayanan publik di kecamatan yang diprioritaskan. Asumsinya bahwa
pelimpahan sebagian kewenangan bupati kepada camat tersebut sudah
mempertimbangkan 2 (dua) hal mendasar yaitu pelayanan yang dibutuhkan masyarakat
kecamatan dan pelayanan yang dipandang penting karena adanya tuntutan kekinian.
Kedua hal tersebut, dalam study ini disebut “prioritas layanan publik kecamatan”.
Prioritas Layanan (PL) merupakan jumlah pelayanan kecamatan yang ditentukan
berdasarkan pelayanan yang didelegasikan oleh bupati kepada camat dan pelayanan yang
dibutuhkan masyarakat kecamatan.
Meskipun prioritas layanan publik kecamatan merupakan factor penting untuk
dipertimbangkan, tetapi bukan berarti bahwa hal tersebut menjadi factor utama. Hal lain
yang perlu dipertimbangkan yaitu berkaitan dengan objek dan jangkauan layanan. Objek
Layanan (OL) merupakan beban kerja kecamatan berdasarkan jumlah penduduk
kecamatan dan jumlah nagari/desa/kelurahan. Jangkauan Layanan (JL) merupakan
kemudahan akses masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kecamatan berdasarkan
jarak terjauh desa ke kabupaten/kota dan kecamatan, ketersediaan alat transportasi, waktu
tempuh dan biaya yang dibutuhkan masyarakat. Objek dan jangkauan layanan dimaksud,
dalam kajian ini disebut dengan istilah “kompleksitas layanan publik kecamatan”.
Kompleksitas dan Prioritas Layanan Publik Kecamatan (KPLPK) inilah yang akan
menentukan model organisasi kecamatan. Oleh karena itu model organisasi kecamatan
yang dikembangkan dalam study ini “berbasis pada kompleksitas dan prioritas layanan
publik kecamatan” (organization-based public service priority and complexity). Analisis
kuantitatif mengenai kompleksitas dan prioritas layanan publik kecamatan merujuk pada
hasil studi tentang Sub-district Institutional Development (Safitri et al. 2010), yang
kemudian dianalisis secara lebih mendalam untuk menentukan model besaran dan
susunan organisasi kecamatan.
Adapun penentuan klasifikasi Nilai KPLPK dan Besaran Organisasi Kecamatan adalah
sebagai berikut:
Jurnal Administrasi Publik PKP2A II LAN Makassar | 10
Tabel 1
Klasifikasi Nilai KPLPK dan Besaran Organisasi Kecamatan
Rentang Nilai Besaran Organisasi Kecamatan
106 – 130 Model 1:
Terdiri dari Camat, Sekretaris Camat yang membawahi 3 Subbagian, dan 5 Seksi.
2 Seksi menjalankan tugas-tugas atributif atau penyelenggaraan tugas-tugas
umum pemerintahan.
3 Seksi menjalankan tugas-tugas delegatif atau penyelenggaraan tugas-tugas
atas pelimpahan sebagian wewenang Bupati/Walikota dalam urusan otonomi
daerah (yang proporsinya besar dan prioritasnya tinggi).
81 – 105 Model 2:
Terdiri dari Camat, Sekretaris Camat yang membawahi 2 Subbagian, dan 4 Seksi.
2 Seksi menjalankan tugas-tugas atributif atau penyelenggaraan tugas-tugas
umum pemerintahan.
2 Seksi menjalankan tugas-tugas delegatif atau penyelenggaraan tugas-tugas
atas pelimpahan sebagian wewenang Bupati/Walikota dalam urusan otonomi
daerah (yang proporsinya cukup besar dan prioritasnya cukup tinggi).
56 – 80 Model 3:
Terdiri dari Camat, Sekretaris Camat yang membawahi 2 Subbagian, dan 3 Seksi.
2 Seksi menjalankan tugas-tugas atributif atau penyelenggaraan tugas-tugas
umum pemerintahan.
1 Seksi menjalankan tugas-tugas delegatif atau penyelenggaraan tugas-tugas
atas pelimpahan sebagian wewenang Bupati/Walikota dalam urusan otonomi
daerah (yang proporsinya sangat terbatas atau sedikit).
30 – 55 Model 4:
Terdiri dari Camat, Sekretaris Camat yang membawahi 2 Subbagian, dan 2 Seksi.
2 Seksi menjalankan tugas-tugas atributif atau penyelenggaraan tugas-tugas
umum pemerintahan tanpa adanya tugas-tugas atas pelimpahan sebagian
wewenang Bupati/Walikota dalam urusan otonomi daerah.
Kemudian dari pada itu, komponen-komponen organisasi kecamatan dikelompokan ke
dalam 4 komponen utama organisasi yaitu tugas dan fungsi, struktur organisasi, sumber
daya aparatur, dan tatalaksana/ proses bisnis. Pengelompokan komponen-komponen
organisasi dalam kajian ini mengadaptasi 4 komponen organisasi dalam congruence
model yang ditawarkan oleh Nadler (1997). Mengadaptasi komponen organisasi
sebagaimana dalam congruence model merupakan langkah yang dapat memudahkan
dalam menganalisis indicators masing-masing komponen secara lebih mendalam, yaitu
sebagai berikut:
1) Komponen tugas pokok dan fungsi dianalisis berdasarkan tingkat konsistensi
tugas dan fungsi yang ada dengan peraturan atau kebijakan yang berlaku, apakah
tugas pokok dan fungsi telah mengakomodir semua aspek yang ada dalam
kebijakan dan telah terbagi secara proporsional ke dalam jabatan yang ada.
2) Komponen struktur organisasi dianalisis berdasarkan pada dimensi kompleksitas
dan sentralisasi. Perumusan struktur organisasi harus menyesuaikan dengan
kebutuhan organisasi dan tuntutan lingkungan, dan pengambilan keputusan
sebaiknya terdesentralisasi hingga lapisan terbawah.
3) Adapun komponen sumber daya aparatur dalam study ini terbagi dua yaitu sumber
daya aparatur manusia, dan peralatan/perlengkapan pendukung pekerjaan.
Analisis terhadap sumber daya aparatur manusia lebih ditekankan pada
kesesuaian kuantitas dan kualitas sumber daya manusia dengan kebutuhan
organisasi. Sedangkan analisis terhadap peralatan/perlengkapan pendukung
Ragam Model Struktur Organisasi Kecamatan Berbasis Pelayanan Publik | 11
pekerjaan menekankan pada ketersediaan peralatan/perlengkapan pendukung
tersebut dalam menyelenggarakan kegiatan.
4) Sedangkan analsis komponen tatalaksana/ proses bisnis dititikberatkan pada ada
atau tidaknya sistem dan prosedur kerja untuk mendukung pelaksanaan tugas
organisasi.
Konstruksi analisis dalam study ini diawali dengan analisis gap antara kompleksitas dan
prioritas layanan public kecamatan (KPLPK) dan ketersediaan pelayanan public yang
diselenggarakan oleh kecamatan. Gap analysis ini berguna untuk mencermati besaran
organisasi kecamatan yang dibentuk. Langkah berikutnya adalah menganalisis
keterpaduan antar komponen organisasi kecamatan, yang meliputi tugas dan/atau fungsi
camat, struktur organisasi, sumber daya aparatur, dan tatalaksana/ proses bisnis
kecamatan. Analisis ini diperlukan untuk mendeskripsikan bagaimana keterpaduan antar
komponen tersebut dalam organisasi kecamatan.
Temuan dan Pembahasan
Pada dasarnya kompleksitas dan prioritas layanan public kecamatan (KPLPK) di masing-
masing tipologi wilayah (pegunungan, pesisir, kepulauan, dan perbatasan
kabupaten/kota) menunjukkan keberagaman. Bahkan perbedaan tersebut juga terjadi
pada kecamatan-kecamatan dalam satu tipologi wilayah yang sama. Terkait dengan
pernyataan pertama, maka hal demikian memberikan sinyal bahwa kebijakan-kebijakan
daerah antara satu tipologi wilayah dengan tipologi wilayah yang lain menunjukan
ketidaksamaan. Sedangkan pada pernyataan kedua, hal ini menunjukan bahwa terdapat
perbedaan cara dalam pelaksanaan tugas-tugas camat dalam satu tipologi wilayah.
Study ini menemukan bahwa camat di wilayah pegunungan (kecamatan Ampek Angkek
dan Lubuk Basung) melaksanakan tugas atributif sekaligus tugas delegatif. Dalam
Peraturan Daerah Kabupaten Agam No. 5 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi
dan Tata Kerja Kecamatan disebutkan bahwa Camat mempunyai tugas pokok
melaksanakan kewenangan pemerintahan daerah yang dilimpahkan oleh bupati untuk
menangani sebagian urusan otonomi daerah. Untuk menyelengarakan tugas pokok
tersebut camat mempunyai fungsi:
1) mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masayarakat
2) mengkoordinasikan upaya penyelenggaran ketentraman dan ketertiban umum
3) mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan
4) mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum
5) mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan ditingkat kecamatan
6) membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan
7) pengkoordinasian kegiatan Unit Pelaksana Teknis/Instansi Pemerintah
8) melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau
belum dapat dilaksanakan pemerintahan nagari
9) melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan atasan
Apabila tugas pokok dan fungsi camat tersebut dibandingkan dengan hasil identifikasi
pelayanan public yang dibutuhkan masyarakat kecamatan maupun tuntutan kekinian di
lingkungan kecamatan Ampek Angkek (mencakup 11 pelayanan administrative dan 5
Jurnal Administrasi Publik PKP2A II LAN Makassar | 12
pelayanan nonadministratif) dan Lubuk Basung (mencakup 9 pelayanan administrative
dan 5 pelayanan nonadministratif), maka dapat dipahami bahwa tugas dan fungsi
kecamatan belum mampu mengakomodir semua tuntutan tersebut.
Tetapi meskipun demikian, dalam kasus ini, camat di wilayah pegunungan (kecamatan
Ampek Angkek dan Lubuk Basung) telah melaksanakan tugas atributif sekaligus tugas
delegatif dalam porsi relative besar, yang mencakup 19 kewenangan, di antaranya yaitu:
izin perbengkelan, surat izin usaha perdagangan (SIUP), surat keterangan miskin,
rekomendasi permohonan bantuan mesjid, pemberian izin pemasukan dan pengeluaran
ternak, rekomendasi penelitian (khusus untuk kepentingan diri sendiri, tidak
dipublikasikan dan berada pada kecamatan terkait), dan izin kursus oleh pihak swasta.
Dengan melihat pelimpahan kewenangan tersebut, maka kecamatan Ampek Angkek dan
Lubuk Basung dapat diprediksi memiliki kompleksitas dan prioritas layanan public
kecamatan (KPLPK) yang besar. Tetapi meskipun demikian, tingkat kompleksitas dan
prioritas layanan public kecamatan (KPLPK) bisa juga tidak sama, karena masing-masing
kecamatan memiliki potensi daerah yang berbeda. Dalam hal ini kecamatan Ampek
Angkek memiliki potensi daerah yang lebih besar ketimbang kecamatan Lubuk Basung.
Dengan besarnya kompleksitas dan prioritas layanan public kecamatan (KPLPK) di
kedua kecamatan tersebut, maka dapat saja dipahami mengapa ukuran organisasi
kecamatan yang dibentuk menggunakan pola maksimal, dengan susunan sebagai berikut:
1) Camat
2) Sekretaris:
a. Subbagian Umum dan Kepegawaian
b. Subbagian Keuangan
c. Subbagian Perencanaan dan Pelaporan
3) Seksi-seksi:
a. Pemerintahan
b. Ketentraman dan Ketertiban
c. Pelayanan Umum dan Pendapatan
d. Perekonomian dan Pembangunan
e. Kesejahteraan
Dikaitkan dengan hasil perhitungan analisis komponen-komponen organisasi kecamatan
yang memperoleh nilai rata-rata sebesar 77% (dengan kategori memadai/konsisten)
untuk kecamatan Ampek Angkek dan Lubuk Basung (Safitri, Indraswari, Andari et al.,
2010), maka hal ini tidak mengejutkan karena wajar hal demikian terjadi. Hal krusial yang
patut menjadi perhatian bagi pemerintah kabupaten Agam adalah perlunya
memperhatikan secara lebih serius mengenai sumber daya aparatur dan perumusan tugas
dan fungsi kecamatan.
Study ini juga menemukan bahwa camat di wilayah pesisir (kecamatan Bantul dan
Kretek) melaksanakan tugas atributif sekaligus tugas delegatif. Hal ini relatif sama
dengan kasus kecamatan di wilayah pegunungan. Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun
2007 tentang Pembentukan Organisasi Kecamatan Se- Kabupaten Bantul menyebutkan
bahwa tugas camat sebagai berikut:
1) Penyelenggaraan tugas umum pemerintahan yang meliputi :
Ragam Model Struktur Organisasi Kecamatan Berbasis Pelayanan Publik | 13
a. pengkoordinasian kegiatan pemberdayaan masyarakat;
b. pengkoordinasian upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum;
c. pengkoordinasian penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan;
d. pengkoordinasian pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum
e. pengkoordinasian penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan
f. pembinaan penyelenggaraan pemerintahan desa
g. pelaksanaan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau
yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa.
2) Pelaksanaan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan Bupati untuk menangani
sebagian urusan otonomi daerah;
3) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Perbedaan dengan 2 kecamatan sebelumnya adalah bahwa kecamatan Bantul dan Kretek
belum mendapatkan porsi kewenangan sebesar kecamatan Ampek Angkek dan Lubuk
Basung. Pelimpahan kewenangan bupati kepada camat hanya mencakup pembuatan kartu
tanda penduduk, pembuatan kartu keluarga, dan rekomendasi untuk berbagai pengurusan
izin di dinas perijinan kabupaten. Sementara, kebutuhan masyarakat dalam pelayanan
public kecamatan maupun tuntutan kekinian di kecamatan Bantul dan Kretek masing-
masing meliputi 7 palayanan administrative dan 5 pelayanan nonadministratif. Kebijakan
pelimpahan kewenangan tersebut sebaiknya ditinjau kembali untuk disesuaikan atau
mengakomodir kebutuhan masyarakat.
Jika dibandingkan antara pelayanan public yang diselenggarakan kecamatan dengan
kebutuhan masyarakat dan tuntutan kekinian, maka diketahui secara jelas bahwa di sini
terdapat gap yang sangat lebar. Kondisi ini memicu semakin tidak terakomodirnya
kebutuhan pelayanan public di kecamatan. Padahal kita tahu bahwa keberadaan
kecamatan adalah ujung tombak pelayanan pemerintah daerah. Dengan demikian
kebijakan ini tidak konsisten dengan semangat otonomi daerah itu sendiri.
Sementara itu. meskipun kewenangan yang dilimpahkan bupati kepada camat tidak
signifikan, tetapi ukuran dan susunan organisasi kecamatan yang ditetapkan relative
besar, yaitu sebagai berikut:
1) Camat
2) Sekretaris:
a. Subbagian Umum
b. Subbagian Program dan Keuangan
3) Seksi-seksi:
a. Tata Pemerintahan
b. Ketentraman dan Ketertiban
c. Pelayanan
d. Ekonomi, Pembangunan dan Lingkungan Hidup
e. Kemasyarakatan
Mencermati hal tersebut, maka dapat diprediksi bahwa penetapan besaran dan susunan
organisasi kecamatan di Kabupaten Bantul belum didasarkan pada kajian yang cukup
memadai. Hal ini diperkuat dengan hasil perhitungan analisis komponen-komponen
organisasi kecamatan yang menunjukan kategori tidak memadai atau tidak konsisten
Jurnal Administrasi Publik PKP2A II LAN Makassar | 14
dengan nilai rata-rata sebesar 75% untuk kecamatan Bantul, dan 65% untuk kecamatan
Kretek (Safitri, Indraswari, Andari et al., 2010).
Temuan lain study ini adalah bahwa camat di wilayah kepulauan (kecamatan Tanjung
Pandan dan Selat Nasik) dan camat di wilayah perbatasan kabupaten/kota (kecamatan
Labuapi dan Gunungsari) hanya melaksanakan tugas atributif. Sementara itu tugas
delegatif tidak diberikan kepada para camat. Dalam study ini ditegaskan bahwa “ada atau
tidaknya tugas delegatif camat” didasarkan pada kebijakan tertulis yang masih berlaku
dan/atau tidak bertentangan dengan kebijakan di atasnya. Dengan demikian maka
pelaksanaan pelayanan public --yang berkaitan pelimpahan kewenangan bupati kepada
camat-- yang tidak berdasarkan kebijakan tertulis dipandang tidak benar.
Meskipun berbada tipologi wilayah, tugas camat Tanjung Pandan dan Selat Nasik
(kabupaten Belitung-wilayah kepulauan), Labuapi dan Gunungsari (kabupaten Lombok
Barat-wilayah perbatasan kabupaten/kota) hampir menunjukan kesamaan (lihat Tabel 2).
Table 2
Tugas Camat di Kabupaten Belitung dan Lombok Barat
Tugas Camat di Kabupaten Belitung Tugas Camat di Kabupaten Lombok Barat
Camat mempunyai tugas pokok melaksanakan
kewenagan pemerintahan yang dilimpahkan oleh
bupati untuk menangani sebgaian urusan otonomi
daerah.
Untuk menyelengarakan tugas pokok tersebut camat
mempunyai fungsi:
1. Mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan
masyarakat
2. Mengoordinasikan upaya penyelenggaran
ketentraman dan ketertiban umum
3. Mengoordinasikan penerapan dan penegakan
peraturan perundang-undangan
4. Mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan
fasilitas pelayanan umum
5. Mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan
pemerintahan ditingkat kecamatan
6. Membina penyelenggaraan pemerintahan desa
dan/atau kelurahan
7. Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi
ruang lingkup tugasnya dan/atau belum dapat
dilaksanakan pemerintahan desa dan/atau kelurahan
8. Melaksanakan kewenangan pemerintahan yang
dilimpahkan oleh bupati untuk menangani sebagian
urusan otonomi daerah yang meliputi aspek
perizinan, rekomendasi, koordinasi, pembinaan,
pengawasan, fasilitasi, penetapan, penyelenggaraan
dan kewenangan lain yang dilimpahkan.
Sumber: Peraturan Daerah Kabupaten Belitung No. 22
Tahun 2007 Tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kecamatan dan Kelurahan
Camat mempunyai tugas pokok melaksanakan
kewenangan pemerintahan daerah yang dilimpahkan
oleh bupati untuk menangani sebgaian urusan otonomi
daerah.
Untuk menyelengarakan tugas pokok tersebut camat
mempunyai fungsi:
1. Mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan
masayarakat
2. Mengoordinasikan upaya penyelenggaran
ketentraman dan ketertiban umum
3. Mengoordinasikan penerapan dan penegakan
peraturan perundang-undangan
4. Mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan
fasilitas pelayanan umum
5. Mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan
pemerintahan ditingkat kecamatan
6. Membina penyelenggaraan pemerintahan desa
dan/atau kelurahan
7. Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi
ruang lingkup tugasnya dan/atau belum dapat
dilaksanakan pemerintahan desa dan/atau kelurahan
8. Melaksanakan kewenangan pemerintahan yang
dilimpahkan oleh bupati untuk menangani sebagian
urusan otonomi daerah yang meliputi aspek
perizinan, rekomendasi, koordinasi, pembinaan,
pengawasan, fasilitasi, penetapan, penyelenggaraan
dan kewenagan lain yang dilimpahkan.
Sumber: Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat
Nomor 8 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat Nomor 9
Tahun 2008 Tentang Pembentukan Susunan
Organisasi Perangkat Daerah
Berdasarkan identifikasi kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan public kecamatan
maupun tuntutan kekinian, maka sebenarnya cukup banyak pelayanan public yang
semestinya diselenggarakan kecamatan. Data menunjukan bahwa kebutuhan masyarakat
Ragam Model Struktur Organisasi Kecamatan Berbasis Pelayanan Publik | 15
terhadap pelayanan public kecamatan maupun tuntutan kekinian di kecamatan Tanjung
Pandan meliputi 18 pelayanan administrative dan 5 pelayanan nonadministratif, dan
kecamatan Selat Nasik meliputi 11 pelayanan administrative dan 7 pelayanan
nonadministratif. Sementara itu di kecamatan Labuapi dan Gunungsari masing-masing
meliputi 7 pelayanan administrative dan 5 pelayanan nonadministratif. Data tersebut
menggarisbawahi bahwa kecamatan di wilayah kepulauan (kecamatan Tanjung Pandan
dan Selat Nasik) dan kecamatan di wilayah perbatasan kabupaten/kota (kecamatan
Labuapi dan Gunungsari) sesungguhnya memiliki potensi sangat besar untuk dapat
memberikan layanan public secara lebih maksimal.
Jika dibandingkan antara kebutuhan masyarakat dan tuntutan kekinian dengan pelayanan
public yang diselenggarakan kecamatan dengan, maka diketahui secara jelas bahwa di
sini terdapat kesenjangan yang luar biasa besar dan hal ini merupakan kesalahan fatal.
Kondisi semacam ini menutup kemungkinan kecamatan dapat memberikan pelayanan
public secara optimal. Apabila dicermati secara lebih mendalam, maka keadaan ini
menunjukan ketidakpatuhan pemerintah daerah terhadap peraturan perundangan yang
berlaku.
Table 3
Besaran dan Susunan Organisasi Kecamatan di Kabupaten Belitung dan Lombok Barat
Tugas Camat di Kabupaten Belitung Tugas Camat di Kabupaten Lombok Barat
1. Camat
2. Sekretaris:
a. Subbagian Perencanaan dan Pelaporan
b. Subbagian Keuangan
c. Subbagian Kepegawaian dan Umum
3. Seksi-seksi:
a. Pemerintahan
b. Ketentraman dan Ketertiban Umum
c. Ekonomi dan Pembangunan
d. Kesejahteraan Sosial
e. Pemberdayaan Masyarakat
Sumber: Peraturan Daerah Kabupaten Belitung No. 22
Tahun 2007 Tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kecamatan dan Kelurahan
1. Camat
2. Sekretaris:
a. Subbagian Program
b. Subbagian Keuangan
c. Subbagian Kepegawaian dan Umum
3. Seksi-seksi:
a. Pemerintahan
b. Ketentraman dan Ketertiban Umum
c. Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
d. Kesejahteraan Sosial
e. Pelayanan Umum
Sumber: Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat
Nomor 8 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat Nomor 9
Tahun 2008 Tentang Pembentukan Susunan Organisasi
Perangkat Daerah
Meskipun camat hanya menjalankan tugas atributif, tetapi ukuran dan susunan organisasi
kecamatan di 2 tipologi wilayah ini ditetapkan dengan pola maksimal (Lihat Tabel 3).
Mencermati hal tersebut, maka dapat dipastikan bahwa penetapan besaran dan susunan
organisasi kecamatan di Kabupaten Belitung dan Lombok Barat tidak didasarkan pada
kajian yang cukup memadai. Hal ini diperkuat dengan hasil perhitungan analisis
komponen-komponen organisasi kecamatan yang menunjukan kategori tidak memadai
atau tidak konsisten pada 4 (empat) kecamatan di 2 (dua) kabupaten tersebut (Safitri,
Indraswari, Andari et al., 2010).
Pengembangan organisasi kecamatan pada prinsipnya merupakan perpaduan antara
tugas-tugas yang melekat dan/atau harus dilaksanakan oleh camat atau kecamatan,
struktur organisasi kecamatan yang dipandang mampu melaksanakan tugas-tugas
Jurnal Administrasi Publik PKP2A II LAN Makassar | 16
tersebut, tata laksana (business process) yang dinilai potensial bagi struktur organisasi
untuk mencapai tugas-tugasnya, dan ketersediaan sumber daya aparatur yang memadai
untuk terwujudnya pencapaian tujuan organisasi kecamatan yang bersangkutan.
Keberadaan kelembagaan kecamatan pada awalnya harus berorientasi pada pekerjaan-
pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Selanjutnya pekerjaan-pekerjaan tersebut
harus dicermati secara seksama untuk kemudian ditetapkan struktur organisasi yang
dipandang tepat dalam menjalankan pekerjaan-pekerjaan dimaksud secara optimal.
Karena tugas-tugas camat secara menyeluruh meliputi tugas atributif dan tugas delegatif,
maka besaran dan desain kelembagaan kecamatan harus mampu mengakomodir seluruh
tugas-tugas camat tersebut.
Karena pengembangan kelembagaan kecamatan ini berbasis pada kompleksitas dan
prioritas pelayanan publik kecamatan, maka pengembangan proses bisnis kecamatan
diorientasikan atau dititikberatkan pada pemberian pelayanan publik (service delivery)
yang semakin berkualitas di tingkat kecamatan. Sehubungan dengan hal itu
pengembangan tata laksana dalam konteks tersebut merupakan berbagai cara baru atau
inovasi yang perlu dikembangkan dalam rangka terwujudnya pelayanan publik
kecamatan yang semakin berkualitas. Mengingat eksistensi organisasi kecamatan --
selaku perangkat daerah-- ditetapkan dengan peraturan daerah, maka dalam hal ini sangat
diperlukan adanya payung kebijakan yang memungkinkan terwujudnya kapasitas
kecamatan yang mampu dan handal dalam penyelenggaraan pelayanan publik kecamatan
yang bersangkutan.
Sumber daya aparatur yang mencakup SDM dan sumber-sumber daya lain, diperlukan
dalam rangka tercapainya tugas dan fungsi yang diemban oleh Camat, yang dalam
pelaksanaannya merupakan bentuk-bentuk pelayanan publik kecamatan. Terkait dengan
SDM, kecamatan membutuhkan kualifikasi SDM yang sesuai dengan orientasi atau titik
berat pelayanan publik yang menjadi prioritas. Adapun jumlah SDM yang dibutuhkan
dalam pelaksanaan tugas-tugas pelayanan yang menjadi prioritas tersebut, merujuk pada
kajian analisis beban kerja yang ada.
Selain SDM, ketersediaan sarana dan prasarana juga perlu menjadi perhatian yang lebih
sensitive bagi pengambil kebijakan. Hal ini dikarenakan akan sangat sulit memberikan
pelayanan publik yang semakin berkualitas tanpa ditunjang dengan sarana dan prasarana
yang cukup memadai.
Simpulan
Study ini menyimpulkan bahwa camat memiliki peran yang sangat penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Kecamatan merupakan perangkat daerah dan sekaligus
ujung tombak pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Dalam konteks ini camat
merupakan penghubung antara masyarakat dengan pemerintah, baik dalam kaitan
penyampaian kebijakan-kebijakan pemerintah kepada masyarakat maupun dalam kaitan
penyampaian aspirasi masyarakat kepada pemerintah.
Ragam Model Struktur Organisasi Kecamatan Berbasis Pelayanan Publik | 17
Model yang dikembangkan memandang bahwa pelimpahan sebagian kewenangan
bupati/walikota kepada camat sebagai jenis-jenis pelayanan publik di kecamatan yang
diprioritaskan. Di samping itu model ini juga melihat kompleksitas layanan publik
kecamatan sebagai salah satu aspek yang harus diperhatikan, sehingga model
kelembagaan kecamatan yang dikembangkan “berbasis pada kompleksitas dan prioritas
layanan publik kecamatan” (organization-based publik service priority and complexity).
Model ini masih terbatas pada tugas pokok dan fungsi serta jumlah struktur yang
dibutuhkan di kecamatan, sedangkan untuk tata hubungan kerja dengan dinas lain masih
berupa gambaran umum dan harus disesuaikan dengan kondisi geografis serta kesesuaian
dengan sumber daya manusia aparatur, peralatan dan perlengkapan pendukung, dan
anggaran yang dimiliki kecamatan. Setiap kecamatan yang ada di Indonesia dapat
menentukan alternatif model yang ditawarkan, sesuai dengan kompleksitas dan prioritas
layanan di wilayah kecamatan masing-masing.
Sehubungan dengan hal dimaksud, besaran organisasi kecamatan di suatu kabupaten atau
kota tidak harus sama. Hal ini akan disesuaikan dengan --salah satunya-- pendelegasian
sebagian kewenangan Bupati/Walikota kepada Camat. Sebagian kewenangan
Bupati/Walikota yang didelegasikan kepada Camat dalam kajian ini disebut dengan
prioritas layanan publik kecamatan (dengan asumsi bahwa pelimpahan kewenangan
tersebut merupakan pelimpahan sebagian layanan publik [administrative atau non
administrative] yang dianggap prioritas untuk diselenggarakan oleh kecamatan). Oleh
karena itu dapat ditegaskan di sini bahwa, prioritas layanan publik kecamatan tersebut
merupakan salah satu penentu utama dalam desain organisasi kecamatan yang akan
dikembangkan. Model kelembagaan kecamatan yang dikembangkan dalam kajian ini
diilustrasikan dalam bagan organisasi kecamatan.
Rekomendasi
Study ini merekomendasikan tiga model organisasi kecamatan, yaitu Model Kecamatan
Ukuran Besar (Large Size Subdistrict Organization Model), Model Kecamatan Ukuran
Sedang (Middle Size Subdistrict Organization Model), dan Model Kecamatan Ukuran
Kecil (Small Size Subdistrict Organization Model). Tiga model organisasi kecamatan
yang dirancang, dapat dideskripsikan sekilas sebagai berikut:
1. Model Kecamatan Ukuran Besar (Large Size Subdistrict Organization Model):
Struktur Organisasi Kecamatan dengan ukuran organisasi (organization size) terbesar
karena tugas dan fungsi yang diemban dipandang memiliki kompleksitas dan prioritas
tinggi (selain tugas atributif yang bersifat melekat, tugas-tugas delegatif yang
dilimpahkan memiliki proporsi besar). Susunan organisasi kecamatan meliputi:
Camat, Sekretariat dengan membawahkan 3 Subbagian, dan 5 Seksi sebagai Unit Lini
Kecamatan, serta Kelompok Jabatan Fungsional.
Tugas Pokok dan Fungsi Camat
Camat memiliki tugas pokok untuk melaksanakan tugas atributif atau tugas umum
pemerintahan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, dan melaksanakan
tugas delegatif atau tugas-tugas atas pelimpahan sebagian wewenang Bupati/Walikota
Jurnal Administrasi Publik PKP2A II LAN Makassar | 18
dalam urusan otonomi daerah. (Dalam konteks model ini, proporsi tugas delegatif
mencakup sebagian besar atau hampir semua bidang-bidang urusan).
Dalam rangka tercapainya tugas-tugas tersebut, Camat menyelenggarakan fungsi,
yaitu:
1) Sekretariat (mencakup fungsi koordinasi dan pelayanan internal kecamatan)
2) Tata pemerintahan (mencakup fungsi pelayanan pemerintahan)
3) Ketenteraman, ketertiban, dan pemberdayaan masyarakat (mencakup fungsi
pelayanan masyarakat, pelayanan utilitas, pelayanan sandang, pangan, dan
papan)
4) Pendidikan dan kesehatan (mencakup fungsi pelayanan pembangunan,
pelayanan masyarakat, dan pelayanan utilitas)
5) Perekonomian (mencakup fungsi pelayanan pemerintahan, pelayanan
masyarakat, dan pelayanan utilitas)
6) Pembangunan (mencakup fungsi pelayanan pembangunan, pelayanan
masyarakat, pelayanan utilitas, dan pelayanan sandang, pangan, papan)
2. Model Kecamatan Ukuran Sedang (Middle Size Subdistrict Organization Model):
Struktur Organisasi Kecamatan dengan ukuran organisasi (organization size) sedang,
sesuai dengan tugas dan fungsinya yang memiliki kompleksitas dan prioritas sedang
(pada umumnya menjalankan tugas-tugas atributif, ditambah dengan tugas-tugas
delegatif camat dalam proporsi cukup besar). Susunan organisasi kecamatan meliputi:
Camat, Sekretariat dengan membawahkan 2 Subbagian, dan 4 Seksi sebagai Unit Lini
Kecamatan, serta Kelompok Jabatan Fungsional.
Tugas Pokok dan Fungsi Camat
Camat memiliki tugas pokok untuk melaksanakan tugas atributif atau tugas umum
pemerintahan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, dan melaksanakan
tugas delegatif atau tugas-tugas atas pelimpahan sebagian wewenang Bupati/Walikota
dalam urusan otonomi daerah. (Dalam konteks model ini, proporsi tugas delegatif
“sedang” atau hanya mencakup sebagian dari bidang-bidang urusan yang ada).
Dalam rangka tercapainya tugas-tugas tersebut, Camat menyelenggarakan fungsi,
yaitu:
1) Sekretariat (mencakup fungsi koordinasi dan pelayanan internal kecamatan)
2) Tata pemerintahan (mencakup fungsi pelayanan pemerintahan)
3) Ketenteraman, ketertiban, dan pemberdayaan masyarakat (mencakup fungsi
pelayanan masyarakat, pelayanan utilitas, pelayanan sandang, pangan, dan
papan)
4) Pendidikan dan kesehatan (mencakup fungsi pelayanan pembangunan,
pelayanan masyarakat, dan pelayanan utilitas)
5) Perekonomian dan pembangunan (mencakup fungsi pelayanan pemerintahan,
pelayanan pembangunan, pelayanan masyarakat, pelayanan utilitas, dan
pelayanan sandang, pangan, dan papan)
Ragam Model Struktur Organisasi Kecamatan Berbasis Pelayanan Publik | 19
3. Model Kecamatan Ukuran Kecil (Small Size Subdistrict Organization Model):
Struktur Organisasi Kecamatan dengan ukuran organisasi (organization size) kecil.
Ukuran organisasi demikian menggambarkan bahwa tugas dan fungsi kecamatan
memiliki kompleksitas dan prioritas rendah danlebih cenderung menjalankan tugas-
tugas atributif camat. Sementara proporsi tugas-tugas delegatif camat relatif kecil,
sehingga yang berkaitan dengan tugas-tugas delegatif dipandang cukup untuk
diwadahi dalam 1 Seksi. Susunan organisasi kecamatan meliputi: Camat, Sekretariat
dengan membawahkan 2 Subbagian, dan 3 Seksi sebagai Unit Lini Kecamatan, serta
Kelompok Jabatan Fungsional.
Tugas Pokok dan Fungsi Camat
Camat memiliki tugas pokok untuk melaksanakan tugas atributif atau tugas umum
pemerintahan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, dan melaksanakan
tugas delegatif atau tugas-tugas atas pelimpahan sebagian wewenang Bupati/Walikota
dalam urusan otonomi daerah. (Dalam konteks model ini, proporsi tugas delegatif
“kecil” atau hanya mencakup sebagian kecil bidang-bidang urusan yang ada).
Dalam rangka tercapainya tugas-tugas tersebut, Camat menyelenggarakan fungsi,
yaitu:
1) Sekretariat (mencakup fungsi koordinasi dan pelayanan internal kecamatan)
2) Tata pemerintahan (mencakup fungsi pelayanan pemerintahan)
3) Ketenteraman, ketertiban, dan pemberdayaan masyarakat (mencakup fungsi
pelayanan masyarakat, pelayanan utilitas, pelayanan sandang, pangan, dan
papan)
4) Pendidikan, kesehatan, perekonomian, dan pembangunan (mencakup fungsi
pelayanan pembangunan, pelayanan masyarakat, dan pelayanan utilitas)
Jurnal Administrasi Publik PKP2A II LAN Makassar | 20
Daftar Pustaka
Faozan, Haris dan Muzani M. Mansoer. 2008. Organisasi Pemerintahan Daerah. Dalam
Manajemen Pemerintahan Daerah. Diedit oleh Adi Suryanto. Jakarta: Pusat Kajian
Kinerja Otonomi Daerah-Lembaga Administrasi Negara.
Faozan, Haris. 2005. Bureaucratic Structure Perestroika: Memperbarui Lahan Bagi
Pertumbuhan Kinerja Kelembagaan Pemerintah. Jurnal Ilmu Administrasi Vol 2
(4):335-46.
Faozan, Haris. 2007. Menyikapi Isu Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah di Tengah
Lompatan Kolaborasi Stratejik Global: Sebuah Prognosa Awal. Jurnal Ilmu
Administrasi Vol. 4 (1): 1-15.
Nadler, David A., Marc. S. Gerstein, Robert B. Shaw, and Associates. 1992.
Organizational Architecture: Designs for Changing Organizations. San Francisco:
Jossey-Bass.
Nadler, David A., and Michale L. Tushman. 1997. Competing by Design: The power of
organizational architecture. New York: Oxford University Press.
Safitri, Yudiantarti, RR. Harida Indraswari, Rosita N. Andari, Shafiera Amalia, Joni
Dawud, Zulpikar, Haris Faozan, dan Gering Supriyadi. 2010. Pengembangan
Kelembagaan Kecamatan. Sumedang: Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan
Aparatur I Lembaga Administrasi Negara.
Sanusi, Anwar. 2010. Bunga Rampai Quo Vadis Kelembagaan Kecamatan di Era
OTONOMI Daerah: Analisis Efektivitas Kelembagaan. Jakarta: Pusat Kajian
Kinerja Kelembagaan-Lembaga Administrasi Negara.
Tim Peneliti PKP2A III LAN. 2007. Pelimpahan Sebagian Kewenangan Bupati/Walikota
Kepada Camat/Lurah Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004. Diedit oleh Tri Widodo
W. Utomo. Samarinda: Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III
Lembaga Administrasi Negara.
Wasistiono, Sadu, Ismail Nurdin, dan M. Fahrurozi. 2009. Perkembangan Organisasi
Kecamatan dari Masa ke Masa. Bandung: Penerbit Fokusmedia.
Peraturan Perundangan:
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan.
Peraturan Daerah Kabupaten Agam Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pembentukan
Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan.
Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pembentukan
Organisasi Kecamatan Se- Kabupaten Bantul.
Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat Nomor 8 Tahun 2009 tentang Perubahan
Atas Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat Nomor 9 Tahun 2008 tentang
Pembentukan Susunan Organisasi Perangkat Daerah.
Peraturan Daerah Kabupaten Belitung Nomor 22 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kecamatan dan Kelurahan.