qawaid al fiqhiyyah (tasharrusful imam..)

14
Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah TASHARRUFUL IMAM ‘ALA AL RA’IYYAH MANUTUN BI AL MASLAHAH (Telaah Konseptual) 1 Oleh: Arif Lutviansori (05410215) 2 A. Pendahuluan Kaidah-kaidah fiqih yang ada dalam khazanah keilmuan qawaid al fiqhiyyah pada dasarnya tebagi dalam dua kategori. Pertama adalah kaidah fiqih yang hanya diperuntukkan untuk masalah individu dan masalah ibadah dalam arti hubungan vertikal antara setiap individu dengan Allah. Kedua, kaidah fiqih yang memang sengaja dimunculkan untuk menyelesaikan beberapa masalah terkait dengan hubungan yang bersifat horizontal antar manusia itu sendiri, selain memang di dalamnya terdapat nilai- nilai hubungan vertikal karena beberapa obyek yang menjadi kajian adalah hukum Islam yang tentu saja itu semua bersumber dari Allah. Beberapa kaidah yang “bersifat individu” dalam beberapa kesempatan sebelumnya telah banyak dibahas. Diantaranya kaidah tentang niat (al umuuru biaqashidiha), al yaqiinu la yuzalu bi al syak, dan lain-lain. Beberapa kaidah tersebut merupakan kaidah yang “bersifat individu. Dalam kesempatan ini, kaidah yang akan menjadi obyek pembahasan adalah kaidah yang tidak hanya melibatkan satu pihak individu saja, tetapi dalam implementasi kaidah ini melibatkan banyak pihak, karena dalam penerapannya, kaidah ini sering digunakan dalam fiqh siyasah. Seperti yang diketahui bahwa fiqh siyasah adalah hukum Islam yang obyek bahasannya mengenai kekuasaan dan bagaimana menjalankan kekuasaan tesebut. Apabila disederhanakan, fiqh siyasah meliputi Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Internasional. 3 Apabila dilihat dari sisi hubungan, fiqih siyasah berbicara tentang hubungan antara rakyat dengan pemimpinnya sebagai penguasa yang konkret di dalam sebuah Negara atau antarnegara atau dalam kebijakan-kebijakan ekonominya baik nasional maupun internasional. 4 Dalam analisis mengenai kaidah ini, terdapat dua kata yang saling terkait, yang pertama yaitu tasharrul imam (kebijakan pemimpimn) dan yang kedua adalah al maslahat (maslahat). Tetapi dari dua hal tersebut terdapat kata kunci yang menentukan arah dari konsep kebijakan yersebut, yaitu maslahat..Oleh karena itu, hal pokok yang menjadi kajian dalam permasalahan ini adalah bagaimana sebenarnya konsep maslahat, dimana maslahat inilah yang nantinya akan membawa dan mengantarkan kepada sebuah 1 Makalah dipresentasikan dalam kuliah klasikal mata kuliah qawa’id al fiqhiyyah, dosen pengampu Muhsin Ahmad, MA. Makalah akan disajikan dengan banyak menganalisis masalah-masalah konseptual yang terdapat dalam suatu kaidah Hukum Islam (Islamic Legal Maxim), sehingga pembahasan ini akan lebih mengarah pada kajian doktrinal dan teoritis. 2 Santri Pondok Pesantren UII, sedang masa studi di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. 3 Hukum-hukum yang ada dalam ruang lingkup siyasah adalah melupti permasalahan publik, sehingga pelaksanaanya mengenai pengaturan antara pemerintah dengan masyarakat secara umum. Misalnya Hukum Adminstrasi Negara, ruang lingkup kajan hukum ini adalah mengenai administrasi yang langsung bersinggungan antara pemerintah dengan masyarakat, misalnya membahas mengenai masalah perijinan, masalah lingkungan dan lain-lain. Sedangkan untuk Hukum Tata Negara sendiri mengatur bagaimana dalam menjalankan pemerintahan yang sesuai dengan konstitusi yang berlaku, misalnya bagaimana pengeturan mekanisme mengenai pelaksanaan pemilu. 4 H.A. jazuli. 2006. Kaidah-Kaida Fikih, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah- masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana Pernada Media group, hal; 147 1

Transcript of qawaid al fiqhiyyah (tasharrusful imam..)

Page 1: qawaid al fiqhiyyah (tasharrusful imam..)

Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah

TASHARRUFUL IMAM ‘ALA AL RA’IYYAH MANUTUN BI AL MASLAHAH (Telaah Konseptual)1

Oleh: Arif Lutviansori (05410215)2

A. Pendahuluan

Kaidah-kaidah fiqih yang ada dalam khazanah keilmuan qawaid al fiqhiyyah pada dasarnya tebagi dalam dua kategori. Pertama adalah kaidah fiqih yang hanya diperuntukkan untuk masalah individu dan masalah ibadah dalam arti hubungan vertikal antara setiap individu dengan Allah. Kedua, kaidah fiqih yang memang sengaja dimunculkan untuk menyelesaikan beberapa masalah terkait dengan hubungan yang bersifat horizontal antar manusia itu sendiri, selain memang di dalamnya terdapat nilai-nilai hubungan vertikal karena beberapa obyek yang menjadi kajian adalah hukum Islam yang tentu saja itu semua bersumber dari Allah.

Beberapa kaidah yang “bersifat individu” dalam beberapa kesempatan sebelumnya telah banyak dibahas. Diantaranya kaidah tentang niat (al umuuru biaqashidiha), al yaqiinu la yuzalu bi al syak, dan lain-lain. Beberapa kaidah tersebut merupakan kaidah yang “bersifat individu. Dalam kesempatan ini, kaidah yang akan menjadi obyek pembahasan adalah kaidah yang tidak hanya melibatkan satu pihak individu saja, tetapi dalam implementasi kaidah ini melibatkan banyak pihak, karena dalam penerapannya, kaidah ini sering digunakan dalam fiqh siyasah.

Seperti yang diketahui bahwa fiqh siyasah adalah hukum Islam yang obyek bahasannya mengenai kekuasaan dan bagaimana menjalankan kekuasaan tesebut. Apabila disederhanakan, fiqh siyasah meliputi Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Internasional.3 Apabila dilihat dari sisi hubungan, fiqih siyasah berbicara tentang hubungan antara rakyat dengan pemimpinnya sebagai penguasa yang konkret di dalam sebuah Negara atau antarnegara atau dalam kebijakan-kebijakan ekonominya baik nasional maupun internasional.4

Dalam analisis mengenai kaidah ini, terdapat dua kata yang saling terkait, yang pertama yaitu tasharrul imam (kebijakan pemimpimn) dan yang kedua adalah al maslahat (maslahat). Tetapi dari dua hal tersebut terdapat kata kunci yang menentukan arah dari konsep kebijakan yersebut, yaitu maslahat..Oleh karena itu, hal pokok yang menjadi kajian dalam permasalahan ini adalah bagaimana sebenarnya konsep maslahat, dimana maslahat inilah yang nantinya akan membawa dan mengantarkan kepada sebuah

1 Makalah dipresentasikan dalam kuliah klasikal mata kuliah qawa’id al fiqhiyyah, dosen pengampu Muhsin Ahmad, MA. Makalah akan disajikan dengan banyak menganalisis masalah-masalah konseptual yang terdapat dalam suatu kaidah Hukum Islam (Islamic Legal Maxim), sehingga pembahasan ini akan lebih mengarah pada kajian doktrinal dan teoritis. 2 Santri Pondok Pesantren UII, sedang masa studi di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. 3 Hukum-hukum yang ada dalam ruang lingkup siyasah adalah melupti permasalahan publik, sehingga pelaksanaanya mengenai pengaturan antara pemerintah dengan masyarakat secara umum. Misalnya Hukum Adminstrasi Negara, ruang lingkup kajan hukum ini adalah mengenai administrasi yang langsung bersinggungan antara pemerintah dengan masyarakat, misalnya membahas mengenai masalah perijinan, masalah lingkungan dan lain-lain. Sedangkan untuk Hukum Tata Negara sendiri mengatur bagaimana dalam menjalankan pemerintahan yang sesuai dengan konstitusi yang berlaku, misalnya bagaimana pengeturan mekanisme mengenai pelaksanaan pemilu. 4 H.A. jazuli. 2006. Kaidah-Kaida Fikih, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana Pernada Media group, hal; 147

1

Page 2: qawaid al fiqhiyyah (tasharrusful imam..)

Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah

munculnya kebijakan yang akan dibuat oleh seorang pemimpin. Ketika kita memperhatikan kaidah tasharruful imam ‘ala al ra’iyyah manutun bi al malahat yang berarti bahwa kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada kemaslahatan, maka ada dua kata yang tidak hanya memerikan makna secara retorik saja, tetapi dua kata yang sekaligus memberikan gambaran dan batasan serta suatu konsep yang dimaksud. Dua kata tersebut adalah tasharruful imam (kebijakan dari seorang pemimpin) dan al maslahat (kemaslahatan). Maka dalam hal ini akan lebih banyak mengkaji tentang bagaimana konsep kemaslahatan yang akan dijadikan sebagai landasan tehadap pembuatan suatu kebijakan.

B. Analisis Kaidah Fiqih Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyyah Manutun Bi Al

Maslahah Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa kaidah ini merupakan kaidah yang

mempunyai aspek horizontal, karena dalam implementasinya memerlukan hubungan antara seorang pemimpin dengan masyarakat atau rakyat yang dipimpin. Perlu diketahui makna dari kaidah tersebut, kaidah yang berbunyi tasharruful imam ‘ala al ra’iyyati manuutun bi al maslahat mempunyai pengertian retorik (harfiyyah) kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada maslahat.

Lebih jauh dari sekedar pengetian retorik tersebut, maka ada pengertian yang lebih luas adalah segala aspek kehidupan yang meliputi kepentingan rakyat dalam suatu kelompok atau golongan tertentu harus ditetapkan dengan mekanisme syura (musyawarah). Hal ini sebagai terjemahan dari pernyataan kaidah tesebut yang menekankan pada aspek kemaslahatan, karena metode musyawarah adalah salah satu bentu yang riil untuk mencapai dan medapatkan suatu kemaslahatan untuk bersama. Hal ini yang juga ditekankan dalam firman Allah QS. As Syura ayat 38 yang berbunyi;

t⎦⎪ Ï% ©!$#uρ (#θ ç/$ yf tG ó™ $# öΝÍκÍh5tÏ9 (#θ ãΒ$ s% r&uρ nο 4θ n= ¢Á9$# öΝèδ ãøΒ r&uρ 3“ u‘θ ä© öΝæη uΖ÷ t/ $ £ϑ ÏΒ uρ öΝßγ≈uΖø% y— u‘ tβθà)ÏΖム∩⊂∇∪

Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.

Sebuah contoh yang bisa dijadikan sebagai referensi bagi berlakunya asas tersebut

adalah apa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab yang diriwayatkan oleh Sa’in bin Mansur; “sungguh aku menempatkan diri dalam mengurus harta Allah seperti kedudukan seorang wali anak yatim, jika aku membutuhkan maka aku mengambil daripadanya, jika aku dalam kemudahan aku mengembalikannya, dan jika aku berkecukupan maka aku menjauhinya.5

Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus mengedepankan aspek kemaslahatan rakyat bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya, atau keinginginan keluarganya atau kelompoknya. Kaidah ini juga diperkuat dengan QS. Annisa ayat 58 yang berbunyi;

5 Ibid.

2

Page 3: qawaid al fiqhiyyah (tasharrusful imam..)

Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah

* ¨β Î) ©!$# öΝä.ããΒ ù'tƒ β r& (#ρ –Šxσè? ÏM≈uΖ≈ tΒ F{$# #’ n< Î) $ yγ Î= ÷δr& #sŒÎ)uρ ΟçFôϑ s3ym t⎦ ÷⎫t/ Ĩ$ ¨Ζ9$# β r& (#θ ßϑ ä3øt rB ÉΑô‰yè ø9$$ Î/ 4 ¨β Î) ©!$#

$ −Κ ÏèÏΡ /ä3ÝàÏè tƒ ÿ⎯Ïμ Î/ 3 ¨β Î) ©!$# tβ% x. $ Jè‹Ïÿ xœ #ZÅÁ t/ ∩∈∇∪

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.6

Salah satu contoh lain dijelaskan dalam kitab al asybah wa al nadhair. Syeh Imam Jalaluddin Abdurrrahman bin Abi Bakr As suyuti mengungkapkan contoh yang sederhana, bahwa dalam suatu Negara apabila ada keinginan untuk menghilangkan tentara dalam anggaran program kenegaraan dengan alasan yang dibolehkan maka hal itu diperbolehkan, tetapi kalau sekiranya alasan yang akan digunakan sebagai landasan peniadaan hal tesebut tidak diperbolehkan atau bahkan tidak dalam kategori penting dan dharurat maka peniadaan tersebut tidak diperbolehkan. Kemudian contoh yang lain adalah soal pembagian zakat, seorang imam atau pemimpin yang masih dalam keadaan mampu tidak boleh mengutamakan dirinya dalam menerima zakat dari pada rakyat yang notabene lebih memutuhkan.7

Dalam konteks kontemporer, kaidah tersebut tentunya tidak boleh terlepas dari jiwa seorang pemimpin. Oleh karena itulah setiap kebijakan yang mengandung manfaat dan maslahat bagi rakyat maka itulah yang direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan dinilai/ dievaluasi kemajuannya. Sebaliknya kebojakan yang mendatangkan mudharat dan mafsadah bagi rakyat, itlah yang harus disingkirkan dan dijauhi. Dalam upaya-upaya pemabangunan misalnya, membuat irigasi untuk petani, membuka laangan kerja yang padat karya, melindungi huta lindung, menjaga ligkungan, mengangkat pegawai yang benar-benar amanah dan professional dan lain sebagainya. Dalam mendukung kaidah tersebut, tentu diperlukan kaidah pelengkap yang bisa mendukung dan sejalan dalam pemaknaan terhadap kaidah tersebut. Diantara kaidah-kaidah yang diperkukan untuk mendukung kaidah tersebut adalah kaidah yang berbunyi; ikhtiyarul amstal fal alstal (memilih yang representative dan lebih representative lgi).8 Kaidah ini memberikan gambaran kepada sikap yang harus diambil dan diimplementasikan oleh seorang pemimpin dalam membuat sebuah kebijakan, yaitu harus

6 Ayat tersebut berbicara mengenai pemberian amanat kepada orang yang memang layak untuk menerima amanat tersebut dan juga ayat tersebut memberikan penekanan terhadap pentingnya penegakan hukum dalam satu kalangan masyarakat. Hal ini menjadi satu bagian penting dalam pembahasan kemaslahatan yang hendak dicapai dalam suatu lingkungan masyarakat. Mengenai keadilan ini, filsafat Aristoteles mengatakan bahwa keadilan dibagi menjadi dua, pertama adalah keadilan distributive dan keadilan commutative. Keadilan distributive memberikan gambaran untuk memberikan keadilan sesuai dengan haknya masing-masing, dengan kata lain kemaslahatan fardiyyah dan bukan kemaslahatan secara umum. Tapi keadilan commutative memberikan keadilan secara umum kepada siapa saja. Salah satu prinsip keadilan yang merupakan bagian dari kemaskahatan menajdi satu teori yang dianut oleh Islam dalam menentukan kebijakan hukum Islam. 7 Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr As sutuyi. 1965. Al asybah wa al nadhair. Surabaya: Al Hidayah, hal; 83 8 Ibnu Taimiyyah. 1967. Al siyasah al sar’iyyah fi islahi wa al ra’yah. Saudi Arabia: Dar Al kutub Al arabi, hal; 14

3

Page 4: qawaid al fiqhiyyah (tasharrusful imam..)

Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah

dilakukan dan dipilih mana yang representative untuk bisa dilaksanakan terlebih dahulu. Artinya memang kebutuhan masyarakat yang sedemikian banyak, mana yang lebih representative untuk dilaksanakan dan diprioritaskan lebih dulu. Di samping mengenai substansi yang hendak dicapai dari sebuah kemaslahatan yang ada, maka pada dasarnya terdapat factor lain yang memberikan kontribusi terhadap itercapainya sebuah maslahat. Diantaranya adalah factor mekanisme system kekuasaan dan jalannya pemerintaha yang sistematis. Misalnya dalam fiqh siyasah, terdapat pembagian kekuasaan sejak zaman kekhalifahan. Pembagian kekuasaan it uterus berkembang maka kemudian muncul berbagai lembaga kekuasaan dalam sebuah Negara. Ada khalifah (presiden)sebagai lembaga kekuasaan eksekutif (al hai’ah al tanfidhiyyah), dan lembaga legislative atau alh al halli wa al aqdi (al hai’ah al tasyri’iyah) dan lembaga yudikatif (al hai’ah al qadhaiyyah), bahkan lembaga pengawasan (al hai’ah al muraqabah). Mengenai permasalahan ini, maka dalam kaidah hukum Islam terdapat kaidah yang bebrunyi al wilayah al khassah aqwa min al wilayah al ‘ammah (kekuasaan yang lebih khusus lebih kuat (kedudukannya) dari pada kekuasaan umum).9 Maksud kaidah tersebut adalah bahwa lembaga-lembaga yang khusus lebih kuat kekuasaannya daripada lembaga-lembaga yang umum. Contohnya: camat lebih kuat kekuasaanya dalam wilayahnya daripada gubernur , wali nasab lebih kuar kekuasaannya terhadap anak-anaknya dari pada pengadilan agama dan seterusnya. Pada intinya dalam kaidah inti yang tertulis dalam judul makalh ini adalah bahwa segala sesuatu yang menyangkut kepentingan umum, maka harus dicarikan solusi terbaiknya demi kemaslahatan. Solusi terbaik yang dapat ditawarkan bisa meliputi substansi dari permasalahan yang sedang dibahas dan mekanisme dalam pelaksanaannya. Ibarata dalam sebuah system hukum maka ada hukum formil dan hukum materiil yang tidak boleh lepas salah satunya. Lalu kemudian pertanyaannya adalah, maslahat yang seperti apa yang mengikat seorang pemimpin untuk selalu memasukkan konsep tersebut dalam pertimbangan utama atau prioritas utama dalam mengambil setiap kebijakan?

C. Analisis Konsep Maslahat

C.1. Teori At Tufi tentang Maslahat Beberapa pandangan dan konsep mengenai maslahat yang ada sebenarnya telah

disampaikan oleh banyak dari kalangan para pakar di bidangnya, tetapi karena batasan yang ada maka dalam kesempatan kali ini kajian akan lebih difokuskan pada salah satu konsep atau teori tentang maslahat yang disampaikan dan dikemukakan oleh Najmuddin An Tufi. Diantara beberapa pandangan beliau tentang konsep maslahata adalah sebagai berikut. Pengertian Maslahat.

Dalam pandangan at-Tufi Bahasan lafaz maslahat berdasarkan wazan maf'alatun dari kata salah. Artinya, bentuk sesuatu dibuat sedemikian rupa sesuai dengan kegunaannya. Misalnya, pena dibuat sedemikian rupa agar dapat digunakan untuk menulis. Pedang dibikin sedemikian rupa sehingga bisa dipakai untuk memenggal. Sedangkan definisi maslahat adalah sarana yng menyebabkan adanya maslahat dan manfaat. Misalnya, perdagangan adalah sarana untuk mencapai keuntungan. Pengertian 9 Asymuni A Rahman. 1976. Kaidah-kaidah Fiqh, cet 1. Jakarta: bulan bintang, hal, 132.

4

Page 5: qawaid al fiqhiyyah (tasharrusful imam..)

Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah

berdasarkan syari'at adalah sesuatu yang menjadi penyebab untuk sampai kepada maksud syar'i, baik berupa ibadat maupun adat. Kemudian, maslahat ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu perbuatan yang memang merupakan kehendak syari', yakni ibadat dan apa yang dimaksudkan untuk kemanfaatan semua umat manusia dan tatanan kehidupan, seperti adat istiadat.10

Bidang Hukum Berlakunya Maslahat at-Tufi Mengenai lapangan hukum mu'amalat dan yang sejenisnya, dalil yang diikuti adalah maslahat. Maslahat dan dalil-dalil syari'at lainnya, terkadang senada dan terkadang bertentangan. Jika senada, memang hal itu baik seperti senadanya antara nas, ijma' dan maslahat mengenai ketetapan hukum daruri yang berjumlah lima. Hukum-hukum kulli yang daruri itu ialah dibunuhnya orang yang membunuh, dibunuhnya orang yang murtad, pencuri dipotong tangannya, peminum dihukum dera dan orang yang menuduh orang baik berbuat zina harus dijatuhi hukuman hadd, dan contoh-contoh lain yang serupa dalam hal dalil-dalil syari'at senada dengan maslahat. Jika ternyata tidak senada dan bertentangan, jika ada kemungkinan dipadukan harus dilakukan perpaduan antara nas, ijma' dan maslahat. Misalnya, jika terdapat sebagian dalil yang mempunyai kemiripan dengan maslahat, lakukanlah antara dalil dan maslahat itu sesuatu pemaduan. Syaratnya, tidak boleh mempermainkan dalil, dan maslahat yang dituju harus benar-benar hakiki. Jika ternyata di antara keduanya tidak bisa dipadukan, yang didahulukan adalah maslahat atas dalil-dalil syari'at lainnya. Sebab, Rasulullah saw. bersabda, la darara wa la dirara. Makna hadis ini khusus dimaksudkan untuk menghilangkan mudarat untuk memelihara maslahat yang menjadi tujuan utama hukum syari'at, sehingga wajib didahulukan. Sedangkan dalil-dalil lainnya, tidak ubahnya sebagai sarana. Jadi, tujuan harus didahulukan daripada sarana.11 At-Tufi menganggap bahwa maslahat hanya ada pada masalah-masalah yang berkaitan dengan mu'amalat dan yang sejenis - bukan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan ibadat atau yang serupa. Sebab, masalah ibadat hanya hak Syari'. Tidak mungkin seseorang mengetahui hakekat yang terkandung di dalam ibadat, baik kualitas maupun kuantitas, waktu atau tempat, kecuali hanya berdasarkan petujuk resmi Syari'. Kewajiban hamba hanyalah menjalankan apa saja yang telah diperintahkan oleh Tuhannya. Sebab, seseorang pembantu tidak akan dikatakan sebagai seorang yang taat jika tidak menjalankan perintah yang telah diucapkan oleh tuannya, atau mengerjakan apa saja yang sudah menjadi tugasnya. Demikian halnya dalam masalah ibadat. Karenanya, ketika para filosof telah mulai mempertuhankan akal, dan mulai menolak syari'at, Allah swt. amat murka terhadap mereka. Mereka tersesat jauh dari kebenaran. Bahkan mereka sangat menyesatkan. Berbeda halnya dengan kaum mukallaf, hak-hak mereka di dalam memutuskan hukum adalah perpaduan antara siyasah dan syari'ah yang sengaja oleh pencipta dicanangkan untuk maslahat umat manusia. Itulah yang menjadi ukuran berpikir mereka. Kami tidak mengatakan bahwa syari'at lebih mengetahui maslahat-maslahat manusia karena dalil-dalilnya harus diambil dan diamalkan sesuai dengan pengertiannya.

10 Najamuddin at Tufi. 1954. Syarh al-Hadis Arba'in an-Nawaiyah dalam Mustafa Zaid. al-Maslahat fi at-Tasyri'i al-Islami wa Najmuddin at-Tufi.(Bagian Lampiran) Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, hal; 243 11 Yusdani. 2006. At tufi dan Teorinya tentang Maslahat. Artikel Internet. Tanggal 8 Novemer 2007, Pukul 12.30.

5

Page 6: qawaid al fiqhiyyah (tasharrusful imam..)

Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah

Kami menetapkan bahwa maslahat adalah termasuk salah satu dalil syari'at, bahkan boleh dikatakan sebagai dalil terkuat dan teristimewa. Karenanya kami lebih mendahulukan maslahat. Berdasarkan uraian di atas, jelaslah menurut at-Tufi bahwa maslahat-maslahat yang tidak dapat diketahui adalah maslahat yang terkandung di dalam masalah ibadat. Namun, mengenai maslahat yang bertalian dengan kehidupan sosial kaum mukallaf dan hak-hak mereka, hal ini dapat diketahui oleh mereka melalui akal pikiran mereka. Dengan kata lain, jika kami tidak melihat dalil syari'at yang tidak menyebutkan maslahatnya, kami berpegang bahwa syari'at telah membolehkan kami untuk mencari maslahat sendiri.

C.2. Kriteria dan Batasan Maslahat

Kemaslahatan membawa manfaat bagi kehidupan manusia, sedangkan mafsadah mengakibatkan kemudharatan bagi kehidupan manusia. Apa yang disebut dengan maslahat perlu mendapat criteria dan batasan-batasan tertentu sehingga keberadaan maslahat tidak dijadikan sebagai satu “tempat lindung” untuk bisa melegalisasi permasalahan-permaslahan yang sebenarnya tidak masuk dalam kategori maslahat. Menurut jumhur ulama’, untuk criteria maslahat apabila dilihat akan muncul sebagai beikut. 1. kemaslahatan itu harus diukur kesesuaiannya dengan maqashid al syariah, dalil-dalil

kulli, (general dari Al Qur’an dan As Sunnah), semangat ajaran, dan kaidah kulliyah hukum Islam.

2. kemaslahatan itu harus meyakinkan, dalam arti harus berdasarkan penelitian yang akurat, hinga tidak meragukan lagi.

3. kemaslahatan itu harus memberi kemanfaatan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, bukan sebagian masyarakat kecil.

4. kemaslahatan itu memberikan kemudahan, bukan mendatangkan kesulitan dalam arti dapat dilaksanakan.12

Tetapi dalam musyawarah Nasional MUI yang ke VII tahun 2005, dalam keputusannya No. 6/MUNAS/VII/MUI/10/2005 memberikan riteria sebagai berikut. 1. kemaslahatan menurut hukum Islam adalah tercitanya tujuan syari’ah (maqashid al

syari’ah), yang diwujudkan dalam bentuk terpeliharanya lima kebutuhan primer (al dharuriyyat al khamsah), yaitu: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.

2. kemaslahatan yang dibenarkan oleh syari’at adalah kemslahatan yang tidak betentangan dengan nash

3. yang berhak menentukan maslahat atau tidaknya sesuau menurut syari’ah adalah lembaga yang mempunyai kompetensi di bidang syari’ah dan dilakukan melalui ijtihad jam’i.13

Maslahat dan Batasan- Batasannya

Para ahli ushul fiqh membagi maslahat menjadi tiga macam, yaitu: maslahah mu'tabarah, maslahah mulghah dan maslahah mursalah. Maslahah mu'tabarah adalah maslahat yang terdapat pada hukum yang ditetapkan oleh nash, seperti maslahat pada 12 Al Jazuli. 2003. Fiqh siyasah, cetakan kdua. Jakarta: Prenada Media, hal; 53 13 Sekretaris MUI. 2005. Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII MUI tahun 2005. hal; 156

6

Page 7: qawaid al fiqhiyyah (tasharrusful imam..)

Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah

hukum qishash. Hukum ini ditetapkan oleh surat Al-Baqarah ayat 178 dan 179. Hikmah dari maslahat yang ditimbulkan oleh qishash ialah meles-tarikan hidup manusia. Begitu juga maslahat yang terdapat pada hukum potong tangan pencuri dan maslahat yang ada pada hukum Had al-qadzaf (hukuman seseorang yang menuduh berzina).

Semua maslahat ini telah diterangkan dalam Nash Al-Qur'an. Jadi, memotong tangan pencuri itu sendiri merupakan maslahat dan ia disebut maslahat mu'tabarah karena maslahat itu bersumber dari syariah.

Sedangkan maslahah mulghah adalah maslahat yang dianggap invalid oleh syariah atau dengan kata lain bahwa maslahat itu merupakan maslahat yang keberadaanya diingkari oleh syariah, seperti maslahat zina. Kenikmatan yang didapat dari zina, secara material bisa disebut maslahah tetapi ia dibatalkan oleh sya-riah melalui nash-nash yang ada. Demikian juga maslahat riba, minum arak dan lain sebagainya.

Adapun maslahah mursalah ialah maslahat yang keberadaanya secara langsung tidak ditetapkan oleh nash tetapi sekaligus juga tidak ada nash yang dengan jelas membatalkannya. Seperti keharusan untuk membuat akte nikah bagi kedua pasangan yang melakukan akad nikah. Karena tanpa akte nikah, hakim atau pemerintah tidak menerima gugatan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan. Akte nikah dalam hal ini disebut maslahat mursalah. Contoh lain ialah pengumpulan Al-Qur'an oleh Abu Bakar yang kemudian dibukukan oleh penerusnya, Utsman.

Di antara ketiga maslahat ini hanya maslahat mu'tabarah saja yang disepakati ulama sebagai maslahat yang dapat dipakai untuk menetapkan suatu hukum.

Sedangkan dalam maslahat mursalah, para ulama terbagi dalam tiga golongan. Golongan pertama berpendapat bahwa maslahat mursalah tidak boleh menjadi dalil (argumentasi) suatu hukum. Golongan kedua berpendapat bahwa maslahat mursalah boleh dijadikan dalil suatu hukum. Sedangkan golongan ketiga berpendapat bahwa maslahat mursalah boleh dijadikan sebagai dalil dari suatu hukum dengan syarat bahwa suatu maslahat terkandung dalam maslahat dharuriat (primer), qhathiyah (pasti) dan kulliyah (menyeluruh).14

Yang dimaksud dharuriat ialah maslahat yang masuk dalam bagian maqashid syariah yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dan yang dimaksud dengan qhatiyyah ialah maslahat yang terjadi dengan pasti dan tanpa diragukan lagi. Sedangkan maslahat kulliyah ialah suatu maslahat yang luas dan menyeluruh daya jangkaunya.

Contoh dari maslahah mursalah yang dharuriah qath'iyah kulliyah ini ialah suatu kasus di mana pasukan kafir mengepung wilayah Islam. Untuk berlindung dari serangan tentara Islam, mereka menjadikan para tawanan muslim sebagai perisai hidup. Dalam kasus seperti ini, membunuh para tawanan muslim yang dijadikan perisai hidup disebut maslahah mursalah. Kasus ini telah memenuhi tiga kriteria yang disyaratkan di atas.

Kriteria dharurah dalam kasus tersebut adalah memelihara agama. Penyerangan orang kafir terhadap negara Islam sudah barang tentu akan mengganggu eksistensi agama dan umat Islam. Kriteria qath'iyyah juga terdapat dalam kasus ini, yaitu perkiraan bahwa seandainya para tawanan muslim dan tentara kafir tidak dibunuh, sudah pasti pasukan kafir tersebut akan menguasai semua wilayah Islam. Dan yang terakhir adalah kriteria kulliyah, yaitu seandainya para tawanan muslim tidak dibunuh, maka justru ketika

14 A. Jazuli. Op Cit, hal; 168

7

Page 8: qawaid al fiqhiyyah (tasharrusful imam..)

Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah

berhasil mengu-asai wilayah Islam, orang-orang kafir itu akan membunuh semua umat Islam termasuk para tawanan muslim tadi.(6

Untuk mengetahui kapan suatu maslahat itu dianggap valid (mu'tabarah) dan bisa dijadikan landasan suatu hukum, ada lima syarat atau batasan yang bisa dijadikan titik tolak. Kelima syarat tersebut ialah: 1. Maslahat tidak bertentangan dengan maqasid syariah. 2. Maslahat tidak bertentangan dengan nash Al-Quran. 3. Maslahah tidak bertentangan hadits Nabi. 4. Maslahat tidak bertentangan dengan qiyas (analogi). 5. Maslahat tidak bertentangan dengan maslahat lainnya yang lebih penting atau

maslahat yang sejajar dengannya.15 Kelima syarat ini merupakan batasan atau standar yang digunakan untuk

membedakan antara maslahah mu'tabarah (yang dapat dijadikan dasar hukum) dan maslahah mulghah (yang tidak dapat dijadikan dasar hukum).(7 Seorang mujtahid harus benar-benar menguasai dan mendalami batasan-batasan di atas. Dan di sinilah tingkat kejeniusan seorang mujtahid diuji. Peta penguasaannya terhadap nash dapat diukur dari sejauh mana ia bisa menggunakan batasan-batasan itu dalam beristinbath sebagaimana mestinya.

Kita sering mendengar kesimpulan para ahli ushul fiqh yang mengatakan bahwa setiap hukum pasti akan berujung pada suatu maslahat. Hukum memang tidak pernah lepas dari maslahat, tetapi maslahat tidaklah merupakan dasar hukum yang berdiri sendiri. Kedudukan maslahat tidak seperti kedudukan Al-Qur’an, Sunnah Nabawiyah, ijma’ dan qiyas sebagai dalil mustaqil (berdiri sendiri). Mengapa? Karena maslahat pada dasarnya hanyalah merupakan makna umum yang secara implisit berada dibalik hukum-hukum juz’iy (parsial). Sementara hukum-hukum juz’iy itu sendiri tidak akan ada tanpa melalui proses istinbath.

Sedangkan yang dimaksud dengan istinbath ialah proses pengambilan hukum dari dalil-dalil syar'i. Maka, secara simpel bisa dikatakan bahwa maslahat merupakan ekspresi dari hukum dan hukum merupakan ekspresi dari nash (dalil syara'). Karenanya, wujud dan keberadaan maslahat sangat tergantung pada dalil-dalil syara'. Untuk itu maslahat tidak bisa menjadi dasar hukum yang berdiri sendiri sebagaimana halnya dalil syara lainnya. Lebih dari itu, keberadaan maslahat dalam hukum-hukum syari'at itu ditemukan lewat istiqra' terhadap semua hukum far'iyah. Dari istiqra' tersebut, para ulama mendapatkan suatu kesimpulan bahwa semua hukum syariat pasti akan kembali kepada satu tujuan yaitu menjaga kemaslahatan umat manusia di dunia dan akherat. D. Beberapa Implementasi Kaidah Fiqih dalam Realitas Kontemporer

Contoh Aplikasi Maslahat at-Tufi Larangan wanita menjadi pemimpin negara

Contoh lain penerapan teori maslahat at-Tufi adalah hadis mengenai dilarangnya wanita untuk menjadi pemimpin negara (Lan yufliha wallu Amrahum Imroatan). Mengenai hadis Abu Bakrah di atas, dari segi metodologi kritik hadis, ia adalah sahih. Pertanyaan yang harus dijawab ialah bagaimana kita harus memahami hadis. Di sini ditawarkan satu pendapat bahwa hadis-hadis dapat dikategorikan sebagai termasuk 15 http://www.kmnu.org. Chariri Makmun, Lc. Standart Maslahat Menurut Islam. 7 November 2007, pukul 12.15 wib.

8

Page 9: qawaid al fiqhiyyah (tasharrusful imam..)

Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah

umurud dunya dan keuniversalannya tidak didukung oleh kenyataan harus ditafsirkan menurut semangatnya dan dalam konteks sosio-historisnya. Kalau tidak ia akan menjadi kering, memosil dan tidak bermakna. Untuk itu jika preseden-preseden historis terutama dari kebijaksanaan-kebijaksanaan Umar seperti mengenai masalah kharaj di mana ia mengubah praktek Rasulullah yang memberikan tanah-tanah kepada para prajurit yang mendapatkannya yang kemudian oleh Umar praktek itu dirubah di mana tanah-tanah tidak ia berikan kepada prajurit. Umar tidak memahami hadis-hadis Rasulullah dalam arti harfiyahnya melainkan dalam semangatnya. Dengan kalimat yang lebih teknis, hadis-hadis itu harus dipahami menurut illatnya, sekalipun illat-illat itu harus dicari melalui ijtihad (artinya tidak dinaskan). Hadis-hadis semacam ini cukup banyak terutama dalam masalah kemasyarakatan dan politik (mu'amalah), seperti hadis al-Aimmah min Quraisy yang oleh Ibn Khaldun dipahami melalui teori sejarahnya yang terkenal itu, yaitu teori asabiyah. Secara singkat menurut Ibn Khaldun Nabi menyerahkan imamah kepada kaum Quraisy karena pada waktu itu hanya merekalah yang memiliki asabiyah yang diperlukan bagi kelangsungan sebuah tata politik. Teori Ibn Khaldun ini dapat diperluas lagi dengan menyatakan : karena orang-orang Quraisylah yang memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang masalah-masalah politik dan ekonomi waktu itu wajarlah Rasul menyerahkan imamah kepada mereka. Hadis Abu Bakrah di atas pun kiranya dapat ditafsirkan dengan cara yang sama. Pada zaman Rasulullah wanita tidak begitu beruntung, bahkan anak wanita yang lahir dikubur hidup-hidup. Rasulullah sendiri berjuang untuk membebaskan kaum wanita. Walapun beliau telah banyak berhasil, suatu struktur sosial yang sudah begitu kokoh dan melembaga tidak dapat dirubah total seratus persen dalam waktu singkat, seperti lembaga perbudakan misalnya. Bahkan sampai beberapa abad kemudian posisi kaum wanita belum begitu menguntungkan. Mereka dikurung di rumah dengan sangat ketat. Apabila seorang lelaki hendak meninggalkannya, ia mengutus seorang wanita pemantau untuk melihat dan menyelidiki kelayakannya, sedangkan si lelaki itu tidak akan pernah dapat melihatnya sebelum akad nikah. Wanita-wanita itu hanya dapat dipandang oleh mata keluarga mereka. Dari segi pendidikan mereka juga kurang beruntung. Kaum lelaki malah lebih tertarik untuk mendidik dan mengajar budak karena faktor komersial, sebab budak yang terampil terutama pandai tulis baca akan mahal harganya. Hanya kalangan amat terbatas saja yang mendidik wanita. Pendek kata wanita tidak keluar dari tembok-tembok rumah suami atau orang tuanya. Artinya mereka tidak tahu menahu mengenai urusan masyarakat. Jadi dengan demikian wajarlah Rasulullah menyatakan bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada kepada orang yang tidak banyak memahami soal-soal kemasyarakatan akan mengalami kegagalan. Akan tetapi sekarang situasi telah jauh berubah dan wanita telah banyak yang pandai dan terlibat secara inten dalam berbagai lapangan kehidupan. Jadi mereka sudah tahu seluk beluk masalah. Karena menurut teori hukum Islam, hukum itu berlaku menurut ada-tidaknya illatnya, maka dapatlah dikatakan bahwa tidak melanggar hukum Islam, wanita yang karena keca-kapannya menjadi kepala pemerintahan, karena illat mengapa Rasulullah dulu melarang telah hilang. Dengan mempergunakan pandangan at-Tufi nampak hadis yang tidak memperbolehkan wanita menjadi pemimpin negara tersebut bersifat kondisional, artinya larangan Nabi dalam hadis tersebut dilatarbelakangi olah adat Arab dan sekitarnya, sehingga bila adat berubah, illat larangan hilang; syarat-syarat yang ditunjuk dalam nas

9

Page 10: qawaid al fiqhiyyah (tasharrusful imam..)

Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah

terpenuhi dan situasi tertentu memungkinkan, larangan tersebut dapat berubah menjadi sesuatu yang dibolehkan. Ketentuan bagian waris Syari'at seperti tersurat dalam ayat Al qur’an yang menyatakan bagian masing-masin adalah 2:1 antara pewaris pria dan wanita, secara teoritis bisa saja diubah, dimodifikasi. Dalam kenyataan, hal itu sudah banyak terjadi dan diakui sah bahkan oleh kalangan ortodoksi sendiri, melalui terobosan wasiyat dalam pola perbandingan mana saja yang dikehendaki. Boleh jadi, sesuai dengan adanya ketentuan yang lebih tegas bahwa pola perbandingan warisan secara positif ditentukan 2:2 sesuai dengan, kenyataan masyarakat di mana kontribusi pihak wanita (istri) dalam perekonomian rumah tangga kini acap kali sama besar dengan kontribusi pria (suami) sendiri. Jika itu yang dituntut, maka perbandingan positif 2:2 saja, tanpa memberikan peluang untuk pola perbandingan lain seperti dalam terobosan wasiyat, akan jauh lebih sulit dan kaku untuk meraih keadilan. Sebab, pada kasus-kasus tertentu, misalnya pihak pewaris pria adalah orang kaya raya sedang pewaris wanitanya masih sangat sengsara, perbandingan yang adil pasti bukan sekedar 2:2 tetapi bahkan 2:0 untuk pewaris wanita. Sementara itu, ayat tentang pembagian waris yang dipersoalkan itu dipahami menurut semangat utamanya ketentuan usul al-fiqh bahwa ayat-ayat mufasar dan muhkam (qat'i ad-dalalah) harus dipegangi sebagai dasar konstitutif hukum syar'i ada juga mendapat gugatan. Misalnya Kassim Ahmad mengatakan bahwa justru ayat-ayat mufassar yang terperinci itu hanya contoh penerapan sezaman yang boleh saja berubah. Yang menjadi dasar pokok adalah ayat-ayat mujmal. Misalnya dalam kasus waris, ayat yang menyatakan bahwa wanita dan lelaki mendapat bagian dari peninggalan orang tua dan kerabat mereka (Q.S. 4:7) adalah prinsip umum. Sedang ayat bahwa bagian wanita separoh lelaki (Q.S.4:11-12) adalah contoh penerapan pada waktu itu terhadap prinsip umum itu. Jadi Kassim Ahmad ingin membalikkan kaidah usul sehingga ayat mufassar tidak qat'i dan yang qat'i adalah ayat mujmal.16

Di samping itu ada juga yang memasukkan hadis itu ke dalam kaidah fiqh.Ruang lingkup kaidah ini sangat luas, mencakup sebagian besar dari masalah-masalah fiqh, bahkan merupakan pokok dalam syari'at Islam, seorang yang akan meng-istinbat-kan suatu hukum harus berpegang pada kaidah ini, karena ia merupakan dasar bagi menghilangkan kerusakan dan menarik maslahat. Banyak hukum yamg di-istinbat-kan dari kaidah ini.

Berdasarkan contoh-contoh hukum yang ditetapkan berdasarkan kaidah la darara wa la dirara, menunjukkan bahwa hukum mu'amalat Islam sangat berusaha menjauhkan kemudaratan manusia baik bersifat perorangan maupun kolektif, guna mewujudkan maslahat. Keterangan ini menunjukkan pula bahwa la darara wa la dirara, baik kedudukannya sebagai hadis maupun kaidah fiqh telah diamalkan para ulama guna mewujudkan maslahat, bahkan merupakan pegangan pokok bagi setiap orang yang akan meng-istinbat-kan suatu hukum dalam bidang mu'amalat.

Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa hadis tersebut harus diletakkan pada akhir setiap nas, sebagai pengecualian, sehingga nas itu berarti: "jangan kamu kerjakan ini, melainkan jika maslahat nyata menghendaki. Jangan kamu berbuat demikian, melainkan bila maslahat menghendaki".

16 Kassim Ahmad. 1986. Hadis Satu Penilaian Semula. Selangor: Media Intelek SDN BHD, hal; 67

10

Page 11: qawaid al fiqhiyyah (tasharrusful imam..)

Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah

Pendirian at-Tufi, bahwa apabila maslahat yang bersumber dari hadis yang telah disebutkan dan didukung pula oleh nas-nas syara' lainnya, jika bertentangan dengan dalil-dalil syara'- terutama nas dan tidak dapat dikompromikan - hendaklah maslahat lebih diutamakan, dengan cara takhsis atau tabyin nas dan ijma' atau dalil-dalil syara' lainnya, bukan dengan cara mempermainkan dalil-dalil itu.

Pendirian at-Tufi ini, pada hakekatnya mendahulukan suatu hadis yang didukung oleh nas-nas syara' lainnya atas dalil-dalil syara' lainnya. Atau meninggalkan dalil syara' karena ada dalil syara' yang lebih kuat. Dapat pula dikatakan, bahwa hadis di atas yang didukung oleh nas-nas syara' lainnya, dapat dijadikan sebagai dalil untuk pengecualian terhadap dalil-dalil syara' lainnya dalam rangka mewujudkan dan memelihara maslahat. Teori meninggalkan suatu dalil karena ada dalil yang lebih kuat atau mengecualikan dalil yang bersifat umum dengan dalil yang bersifat khusus, oleh para ulama usul al-fiqh disebut istihsan. Metode istihsan ini telah dipraktekkan oleh para ulama usul, terutama yang paling terkenal banyak mempergunakannya adalah mazhab Hanafi. Istihsan ini dipergunakan dalam penetapan hukum dalam bidang perdagangan, peradilan atau urusan kemasyarakatan, politik dan lapangan hukum yang serupa. Oleh para ulama' usul, hukum-hukum tersebut disebut hukum mu'amalah. Demikian pula halnya at-Tufi dengan teorinya itu, hanya tertuju pada lapangan mu'amalah dan yang sejenisnya.

Tujuan segala hukum syara' baik yang bersumber dari nas atau qiyas maupun lainnya, ialah memelihara maslahat manusia. Apabila maslahat itu bertentangan dengan nas atau dengan qiyas, berartilah pertentangan antara dua maslahat yang kedua-duanya dii'tibarkan syara'. Kita telah mengetahui bahwa menurut kebiasaan syara' mendahulukan yang lebih kuat maslahatnya ketika berlawanan..

Sebagaimana diketahui menurut at-Tufi bahwa dalam lapangan ibadah merupakan hak mutlak Allah untuk menentukan segala sesuatunya dan manusia hanya melaksanakan ibadah itu sesuai dengan petunjuk yang telah ditetapkan. Dengan demikian dalil dalam bidang ibadah tidak dapat atau tidak perlu diubah. Berbeda dengan dalil dalam lapangan ibadah, dalil-dalil syara' dalam bidang mu'amalat dan yang sejenisnya, dalam pandangan at-Tufi nilai efektivitasnya sebagai sarana dapat diukur oleh akal pikiran manusia. Jika dalam saat tertentu (waktu) dan kondisi tertentu (ruang), apabila suatu sarana tidak lagi efektif untuk mencapai tujuan, perlu diadakan perubahan, sehingga tujuan semula tetap tercapai, yaitu maslahat. Pandangan demikian, merujuk pada kondisi sosial dan pertimbangan perubahan sosial (social change) sebagai sarana untuk mencapai maslahat yang merupakan tujuan Allah dalam menetapkan hukum-hukum-Nya. At-Tufi yang membedakan syari'at menjadi ibadat, muqaddarat dan mu'amalat, memberikan jalan keluar bahwa dalam masalah mu'amalat, penentuan boleh tidaknya sesuatu ditekankan pada maslahat umum dengan mempertimbangkan unsur-unsur darurat, illat-illat, adat, syarat karena situasi tertentu.

Pendapat yang mengatakan bahwa hukum mu'amalah Islam dalam kehidupan masyarakat modern yang dijadikan ukuran adalah substantif makna yang terkandung dalam suatu hukum. Hukum mu'amalah Islam dapat diterapkan apabila suatu masalah itu sama atau masih sama antara yang dimaksudkan oleh dalil dan masalah baru di mana hukum hendak diterapkan. Metode inilah yang dikenal dengan konsep tahqiq al-manat dalam usul al-fiqh, suatu metode penerapan Alquran dengan permasalahan yang sedang dihadapi. Ia sangat erat hubungannya dengan ijtihad tatbiqi.

11

Page 12: qawaid al fiqhiyyah (tasharrusful imam..)

Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah

Ijtihad tatbiqi, dapat berlaku pada setiap hukum, baik yang dinilai qat'i, terinci maupun yang bersifat zanni. Ia merupakan praktek dari praktisi hukum dalam menerapkan hukum yang siap pakai, baik secara langsung dari wahyu maupun yang melalui ijtihad mujtahid. Dalam penerapannya seorang pelaksana hukum dituntut kejeliannya apakah makna hukum yang siap pakai itu sama dengan masalah yang sedang dihadapi. Apabila dinilai tidak sama, maka hukum tidak dapat dilaksanakan. Dengan demikian yang menjadi obyek kajian adalah perbuatan manusia dengan segala bentuk obyek perbuatan itu, juga manusia itu sendiri sebagai pelaku perbuatan dengan segala kondisi dan perubahannya.

Bertitik tolak dari pernyataan bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk maslahat hidup manusia menimbulkan persoalan tentang hubungan nas Alquran atau Sunnah Rasul dengan maslahat merupakan salah satu permasalahan yang pelik dan penting. Ijtihad atas dasar maslahat sebagai tujuan hukum Islam sering memungkinkan tidak diterapkannya ketentuan nas menurut apa adanya, tetapi diterapkan dengan cara lain atau bahkan tidak diterapkan sama sekali.

Untuk pengembangan maslahat dalam legislasi Indonesia kontemporer erat kaitannya dengan pengembangan budaya hukum Islam. Dalam pengembangan budaya hukum Islam di Indonesia kaum muslimin dihadapkan pada kemungkinan, yaitu hukum positif Islam yang terbatas pada mempermasalahkan hukum yang berlaku bagi kaum muslimin, dan nilai-nilai hukum Islam, yang akan berlaku bagi seluruh warga negara, bahkan mungkin seluruh penduduk (termasuk yang bukan warga negara). Kedua alternatif tersebut akan mempengaruhi pembentukan hukum nasional pada masa yang akan datang.

Berpangkal tolak dari kerangka pemikiran bahwa hukum positif Islam pada masa mendatang adalah hukum yang bersumber dari nilai-nilai agama Islam dan dihubungkan pula dengan teori peringkatan hukum, maslahat dalam hukum Islam dapat diterjemahkan sebagai maslahat rakyat dalam segala aspeknya, mencakup bidang yang begitu luas, seperti ekonomi, hukum, politik dan sebagainya (mu'amalah). Dan maslahat menempati posisi sebagai nilai-nilai Islam (norma hukum) yang abstrak atau cita-cita hukum. Oleh karena itu, dibutuhkan formulasi asas-asas, peraturan (perundang-undangan) atau bentuk legislasi lainnya sebagai norma antara yang merupakan kreativitas ijtihad yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, budaya dan kurun waktu. Semua hasil penerapan dan penegakan norma antara tersebut menjadi hukum positif yang merupakan norma konkret (living law) masyarakat.

Apabila formulasi dan aplikasi suatu peraturan perundang-undangan dalam berbagai bidang seperti ekonomi, politik, hukum (norma antara) mampu mewujudkan maslahat rakyat banyak dalam arti sebenarnya dan dapat pula merekayasa tercapainya cita-cita kehidupan rakyat banyak, berarti aturan-aturan tersebut masih mungkin dan dapat dipertahankan. Akan tetapi, jika sebaliknya, justru formulasi dan aplikasi berbagai peraturan perundang-undangan dalam berbagai lapangan kehidupan rakyat banyak itu tidak mampu lagi menampung aspirasi kerakyatan dikarenakan adanya faktor perubahan situasi dan kondisi, perlu diganti dengan aturan-aturan yang baru yang betul-betul aspiratif. Dengan demikian, maslahat rakyat merupakan cita-cita atau tujuan yang hendak diwujudkan, sedangkan peraturan-peraturan undang-undang merupakan sarana untuk mewujudkan cita-cita kerakyatan. Oleh karena itu efektivitas suatu sarana dapat dipantau oleh masyarakat. Dalam kaitan ini, yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai Islam

12

Page 13: qawaid al fiqhiyyah (tasharrusful imam..)

Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah

dapat terpatri dalam kehidupan bernegara, masyarakat, bangsa, keluarga dan individu, kemudian mengakkan keadilan sosial dan menciptakan suatu masyarakat egalitarian, jauh dari eksploitasi manusia atas manusia lain maupun eksploitasi golongan atas golongan lain. Dengan kata lain, hukum Islam tidak dalam norma, melainkan dalam substansinya. E. Penutup

Maslahat Menjadi syarat utama dalam pengambilan setiap kebijakan yang diambil oleh para penguasa atau pemimpin. Maslahat yang bisa dikategorikan sebagai landasan dalam pengambilan hukum mempunyai beberapa syarat yang harus terpenuhi, diantara syarat-syarat tersebu dikemukakan oleh MUI dan jumhur ulama’ sendiri. Diantara konsep maslahat yang banyak dipakai adalah konsep yang digagas dari najmuddin At tufi. Dalam pemikirannya, At-Tufi berpendirian bahwa maslahat adalah tujuan penetapan hukum Islam dalam lapangan mu'amalah, apabila penerapan nas atau ijma' sesuai dengan bunyi tekstualnya bertentangan dengan maslahat dan tidak dapat dikompromikan, maslahat hendaklah lebih diutamakan daripada dalil-dalil syara', karena maslahat merupakan tujuan sedangkan dalil-dalil syara' merupakan sarana untuk mencapai tujuan, karena itu tujuan hendaklah lebih diutamakan daripada sarana. Ketiga, dalam perspektif pembaruan (reaktualisasi) hukum Islam dalam bidang mu'amalah dewasa ini, maslahat tokoh tersebut dapat dijadikan rujukan dengan cara mendasarkan konsep maslahat tersebut sebagai substansi yang disarikan dari Alquran dan hadis serta dapat dipertanggungjawabkan secara keagamaan. Konsep tersebut memberikan jalan keluar bahwa dalam masalah mu'amalah umat Islam,seperti kehidupan sosial, ekonomi, politik dan lain-lain, penentuan boleh tidaknya sesuatu ditekankan pada maslahat umum dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi kehidupan manusia sebagai praktisi hukum.

DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Kassim . 1986. Hadis Satu Penilaian Semula. Selangor: Media Intelek SDN

BHD As sutuyi, Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr. 1965. Al asybah wa al nadhair.

Surabaya: Al Hidayah At tufi, Najamuddin. 1954. Syarh al-Hadis Arba'in an-Nawaiyah dalam Mustafa Zaid.

al-Maslahat fi at-Tasyri'i al-Islami wa Najmuddin at-Tufi.(Bagian Lampiran) Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi

Jazuli, H.A. 2006. Kaidah-Kaida Fikih, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam

Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana Pernada Media group

Al Jazuli. 2003. Fiqh siyasah, cetakan kdua. Jakarta: Prenada Media http://www.kmnu.org. Chariri Makmun, Lc. Standart Maslahat Menurut Islam. 7 November 2007, pukul 12.15 wib.

13

Page 14: qawaid al fiqhiyyah (tasharrusful imam..)

Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah

Rahman, Asymuni A. 1976. Kaidah-kaidah Fiqh, cet 1. Jakarta: bulan bintang Sekretaris MUI. 2005. Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII MUI tahun 2005 Taimiyyah, Ibnu. 1967. Al siyasah al sar’iyyah fi islahi wa al ra’yah. Saudi Arabia: Dar

Al kutub Al arabi Yusdani. 2006. At tufi dan Teorinya tentang Maslahat. Artikel Internet. Tanggal 8

Novemer 2007

14