Prescil dr Indah (TB paru +3) - kel B abam chika
-
Upload
abamvc-muhammad-akbar -
Category
Documents
-
view
20 -
download
1
description
Transcript of Prescil dr Indah (TB paru +3) - kel B abam chika
PRESENTASI KASUS
TB PARU BTA +3 LESI LUAS KASUS BARU
Diajukan kepada :
dr. Indah Rahmawati, Sp.P
Disusun oleh :
Tika Wulandari G4A014097
Vici M. Akbar G4A014098
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2015
1
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
TB PARU BTA +3 LESI LUAS KASUS BARU
Disusun oleh :
Tika Wulandari G4A014097
Vici M Akbar G4A014098
Telah dipresentasikan pada
Tanggal, Agustus 2015
Pembimbing,
dr. Indah Rahmawati, Sp.P
2
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Sdr. R
Usia : 22 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status : Belum Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Karangsari Rt 2/5 Karangmoncol, Purbalingga
Tanggal masuk : 8 Agustus 2015
Tanggal periksa : 10 Agustus 2015
No. CM : 00958250
II. SUBJEKTIF
1. Keluhan Utama
Batuk darah
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien Sdr. R usia 22 tahun datang ke IGD RSMS pada hari Sabtu,
8 Agustus 2015 pukul 13.24 WIB. Keluhan utama Batuk darah yang
dirasakan sejak Sabtu pagi sebelum masuk Rumah Sakit. Batuk
dirasakan terus menerus dan mengeluarkan dahak berwarna merah
segar kurang lebih sebanyak satu sendok teh. Keluhan dirasakan
semakin memberat terutama saat udara dingin, dan debu. Untuk
mengurangi keluhannya, pasien mengkonsumsi obat yang
didapatkannya dari RS Goeteng Purbalingga dan Klinik dokter spesialis
penyakit dalam di Purwokerto dan istirahat, namun keluhan dirasakan
tidak berkurang.
3
Pasien juga mengeluh lemas, mual, nafsu makan menurun, berat
badan menurun delapan kilogram, nyeri dada kanan dan semakin nyeri
bila menarik nafas dalam, dan berkeringat pada malam hari sejak satu
minggu yang lalu.
Tanggal 18 Juli 2015, pasien mengaku dirawat di RSUD Goeteng
Purbalingga dengan keluhan batuk darah, lemas, mual, penurunan nafsu
makan dan berat badan. Selama masa perawatan, dilakukan
pemeriksaan Ro Thorax, cek sputum BTA dengan hasil BTA +3 dan
mendapatkan pengobatan OAT FDC, setelah lima hari perawatan
pasien mengaku keluhan batuk darah sudah tidak ada dan keluhan lain
sudah membaik sehingga pasien dipulangkan dari RSUD Goeteng
Purbalingga tanggal 23 juli 2015. Namun keluhan batuk darah
dirasakan kembali pada 8 Agustus 2015 dan di bawa ke RSMS oleh
keluarga.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat mondok : diakui, Juli 2015 di RS Goeteng
c. Riwayat OAT : diakui, sudah 10 hari sebelum
Masuk RSMS.
d. Riwayat hipertensi : disangkal
e. Riwayat kencing manis : disangkal
f. Riwayat asma : disangkal
g. Riwayat alergi : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan serupa : diakui, adik yang tinggal 1 rumah.
b. Riwayat mondok : disangkal
c. Riwayat hipertensi : diakui, dari keluarga Ibu
d. Riwayat kencing manis : diakui, dari keluarga Bapak
e. Riwayat asma : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal
4
5. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Community
Pasien tinggal di Purbalingga, Karangmoncol bersama ayah, ibu dan
dua adiknya di lingkungan padat penduduk. Rumah satu dengan
yang lain berdekatan. Hubungan antara pasien dengan tetangga dan
keluarga dekat baik. Di lingkungan rumah pasien tidak ada yang
memiliki keluhan batuk lama namun teman dekat pasien dan adik
pasien memiliki keluhan yang sama dengan pasien.
b. Home
Pasien tinggal di rumah dengan ukuran 17 x 9 m2 dan dihuni 4
orang, yaitu pasien, ayah, ibu dan 2 adik pasien. Lantai rumah
beralaskan keramik, dan ada beberapa buah jendela serta ventilasi
yang kadang-kadang dibuka. Rumah pasien terdiri dari 3 kamar
tidur, satu ruang tamu, ruang keluarga, satu dapur, dan satu kamar
mandi. Pasien mengaku memasak menggunakan kompor gas. Lantai
kamar mandi beralaskan keramik dan sumber air berasal dari
PDAM. Pencahayaan rumah pasien berasal dari lampu dan sinar
matahari yang cukup.
c. Occupational
Pasien adalah seorang mahasiswi perguruan tinggi swasta di
purwokerto. Pembiayaan rumah sakit adalah pasien umum.
Pembiayaan kebutuhan sehari-hari dibiayai oleh ayah dan ibu
pasien.
d. Personal habit
Pasien mengaku makan 3 kali sehari, dengan nasi, sayur dan lauk
pauk seadanya. Pasien mengaku merokok dan menyangkal minum
alkohol, ataupun mengkonsumsi obat-obatan terlarang.
5
III. OBJEKTIF
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : sedang
b. Kesadaran : composmentis, GCS E4M6V5 (15)
c. BB : 53 kg
d. TB : 170 cm
e. Vital sign
- Tekanan Darah : 120/80 mmHg
- Nadi : 78x/menit
- RR : 18x/menit
- Suhu : 36,1 oC
d. Status Generalis
1) Kepala
- Bentuk : mesochepal, simetris, venektasi temporal (-)
- Rambut : warna hitam, tidak mudah dicabut, distribusi
merata, tidak rontok
2) Mata
- Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
- Konjungtiva : anemis (-/-)
- Sclera : ikterik (-/-)
- Pupil : reflek cahaya (+/+) normal, isokor Ø 3 mm
3) Telinga
- otore (-/-)
- deformitas (-/-)
- nyeri tekan (-/-)
- discharge (-/-)
4) Hidung
- nafas cuping hidung (-/-)
- deformitas (-/-)
- discharge (-/-)
- rinorhea (-/-)
6
5) Mulut
- bibir sianosis (-)
- bibir kering (-)
- lidah kotor (-)
6) Leher
- Trakhea : deviasi trakhea (-/-)
- Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
- Kelenjar thyroid : tidak membesar
- JVP : nampak, tidak kuat angkat
7) Dada
a) Paru
- Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),
Jejas (-)
Retraksi suprasternalis (-)
Retraksi intercostalis (-)
Retraksi epigastrik (-)
- Palpasi : vocal fremitus kanan = kiri
ketinggalan gerak (-)
- Perkusi : sonor pada lapang paru kiri dan kanan
Batas paru – hepar di SIC V LMCD
- Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-)
Ronki basah kasar (-/-), ronki basah halus
(-/-)
b) Jantung
- Inspeksi : ictus cordis nampak pada SIC V LMCS
- Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V LMCS, tidak kuat
angkat
- Perkusi : batas jantung kanan atas : SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas : SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah :SIC IV LPSD
7
Batas jantung kiri bawah :SIC V LMCS
- Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)
8) Abdomen
- Inspeksi : datar
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Perkusi : timpani, pekak sisi (-),
pekak alih (-), nyeri
ketok costovertebrae (-)
- Palpasi : supel, nyeri tekan (-),
undulasi (-)
- Hepar : tidak teraba
- Lien : tidak teraba
9) Ekstrimitas
- Superior : deformitas (-), jari tubuh
(-/-), edema (-/-),
sianosis (-/-)
- Inferior : deformitas (-), jari tubuh
(-/-), edema (-/-),
sianosis (-/-)
2. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium darah 8 Agustus 2015
Hb : 13,1 gr/dl L Normal : 14 – 18 gr/dl
Leukosit : 6070 /ul N Normal : 4.800 – 10.800/ul
Hematokrit : 38 % L Normal : 42 % - 52 %
Eritrosit : 4,9 juta/ul N Normal : 4,7 – 6,1 juta/ul
Trombosit : 339.000/ul N Normal: 150.000 - 450.000/ul
MCV : 78,2 fL L Normal : 79 - 99 fL
MCH : 26,7 pg L Normal : 27 - 31 pg
MCHC : 34,1 gr/dl N Normal : 33 – 37gr/dl
RDW : 14,7 % H Normal : 11,5 - 14.5 %
8
MPV : 10,4 fL N Normal : 7,2 - 11,1 fL
Hitung Jenis
Eosinofil : 4,6 % H Normal : 2 – 4 %
Basofil : 0,3 % N Normal : 0 – 1 %
Batang : 0,3 % L Normal : 2 – 5 %
Segmen : 70,9 % H Normal : 40 – 70%
Limfosit : 10,3 % L Normal : 25 - 40%
Monosit : 5,6 % N Normal : 2 – 8 %
Kimia Klinik
SGOT : 20 U/L N Normal : 15 - 37 U/L
SGPT : 27 U/L L Normal : 30 - 65 U/L
GDS : 71 mg/dl N Normal : < 200 mg/dl
Na : 138 L Normal : 126 – 145
K : 4,3 N Normal : 3,5 – 5,1
Cl : 100 L Normal : 98 - 107
b. Foto thoraks 19 Juli 2015 dilakukan di RSUD dr. Goeteng
9
Hasil rontgen thorax:
- Terdapat konsolidasi di lobus superior dextra Pneumonia
Dextra dd Tb paru aktif
- Tak terdapat efusi pleura
- Cor dalam batas normal
IV. DIAGNOSIS
1. TB Paru BTA +3 lesi luas kasus baru
2. gastritis
3. CAP
V. PLANNING
1. Terapi
a. Farmakologi
1) Rl/D5 8 jam/kolf
10
2) Cefixime 2x100
3) Kalnex tab 3x1
4) Ranitidine 2x1 tab ac
5) Ketorolac tab 2x1
6) Codein 2x10
7) 4 FDC 1x3 malam hari
8) B6 1x1 pagi hari
b. Non Farmakologi
1) Edukasi pasien dan keluarga pasien mengenai penyebab,
penularan, pengobatan, efek samping obat dan komplikasi dari
penyakit TB.
2) Edukasi mengenai kebersihan lingkungan rumah, seperti buka
ventilasi setiap hari agar sinar matahari dan udara masuk juga
edukasi untuk selalu membersihkan rumahnya dan edukasi agar
pasien menutup mulut apabila batuk atau menggunakan masker,
tidak membuang dahak sembarangan lagi.
3) Makan makanan yang bergizi bila perlu diberikan vitamin
tambahan
4) Screening pada anggota keluarga yang lain apabila ada yang
mengalami gejala yang sama dan untuk tindakan pencegahan
juga pengobatan lebih awal jika keluarga lain sudah tertular.
2. Monitoring
a. Keadaan umum dan kesadaran
b. Tanda vital
c. Evaluasi klinis
- Pasien dievaluasi setiap 2 minggu sampai akhir bulan kedua
pengobatan, selanjutnya tiap 1 bulan mulai bulan ketiga.
- Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat
serta ada tidaknya komplikasi
- Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik
d. Evaluasi radiologi
11
- Sebelum pengobatan
- Setelah 2 bulan pengobatan
- Pada akhir pengobatan
e. Evaluasi bakteriologis
- Sebelum pengobatan dimulai
- Satu minggu pada akhir bulan ke 2 pengobatan (setelah fase
intensif)
- Akhir bulan kelima pengobatan
- Pada akhir pengobatan
f. Evaluasi efek samping
- Periksa fungsi hati (SGOT, SGPT, bilirubin)
- Periksa fungsi ginjal (ureum, kreatinin)
- Periksa GDS, G2PP, asam urat
- Pemeriksaan visus
g. Evaluasi keteraturan obat
3. Prognosis
Keberhasilan kesembuhan penyakit tuberkulosis tergantung pada:
a. Kepatuhan minum obat
b. Komunikasi dan edukasi serta pengawasan minum obat
c. Umur penderita
d. Penyakit yang menyertai
e. Resistensi obat
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubai ad bonam
12
BAB II
PEMBAHASAN
1. Penegakan Diagnosis
TB Paru +3 lesi luas kasus baru
a. Anamnesis
1) Pasien laki-laki 22 tahun datang dengan keluhan batuk darah sejak satu
hari sebelum masuk rumah sakit.
2) Gejala penyerta: adalah lemas, mual, nafsu makan menurun, berat
badan menurun delapan kilogram, nyeri dada kanan dan semakin nyeri
bila menarik nafas dalam, dan berkeringat pada malam hari sejak satu
minggu yang lalu
3) Riwayat mengkonsumsi OAT FDC 10 hari sejak 28 juli 2015
4) Pasien tinggal bersama dengan ayah, ibu, dan kedua adiknya. Adiknya
memiliki keluhan yang sama dengan pasien.
5) Pasien tinggal di daerah yang cukup padat penduduk. Di lingkungan
rumah pasien tidak ada yang memiliki keluhan batuk lama namun
teman dekat pasien memiliki keluhan yang sama dengan pasien.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Antropometri
BB : 53 Kg
TB : 170 cm
IMT: 18,3 (underweight)
2) Vital Sign
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 78x/menit
RR : 18x/menit
Suhu : 36,1 oC
13
3) Pemeriksaan pulmo
- Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),
Jejas (-) Retraksi suprasternalis (-) Retraksi
intercostalis (-) Retraksi epigastrik (-)
- Palpasi : vocal fremitus kanan = kiri, ketinggalan gerak (-)
- Perkusi : sonor pada lapang paru kiri dan kanan
Batas paru – hepar di SIC V LMCD
- Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-)
Ronki basah kasar (-/-), ronki basah halus (-/-)
c. Pemeriksaaan Penunjang
Foto Thoraks AP tanggal 19 Juli 2015
Terdapat konsolidasi di lobus superior dextra Pneumonia Dextra dd Tb
paru aktif
Tak terdapat efusi pleura
Cor dalam batas normal
2. Tindak Lanjut Penanganan Pasien
Pasien seharusnya mendapat terapi OAT kategori I (2RHZE/4RH)
karena pasien termasuk dalam tipe BTA positif kasus baru, belum pernah
mendapatkan pengobatan OAT sebelumnya, serta memiliki gambaran
radiologi. Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan
dengan uji resistensi. Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan
dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Prinsip dari
pengobatan OAT adalah harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa
jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis sesuai dengan kategori pengobatan.
Pasien dan keluarga harus diedukasi dan diawasi mengenai efek
samping obat selama pasien menjalani pengobatan. Pemeriksaan darah
lengkap, pemeriksaan fungsi hati, pemeriksaan fungsi ginjal sejak awal
pengobatan harus diperhatikan untuk digunakan sebagai data dasar melihat
penyakit penyerta dan efek samping obat.
14
Ketika menggunakan OAT efek samping yang biasanya timbul
misalnya kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot yang dikarenakan
penggunaan OAT isoniazid. Efek samping diatas biasanya dapat berkurang
dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan
vitamin B kompleks. Penggunaan rifampisin dapat menyebabkan efek
samping seperti warna merah pada air seni, keringat, dan air liur, sindrom flu
berupa demam, menggigil dan nyeri tulang, gatal-gatal pada kulit dan
gastritis. Warna merah pada air seni ini sangat umum terjadi, hal tersebut
terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Efek samping ini
harus diberitahukan kepada pasien dan keluarga agar tidak terjadi salah
persepsi penggunaan obat sehingga keluarga dan pasien tidak menjadi takut
karena mengkonsumsi OAT tersebut. Pada penggunaan pirazinamid dapat
menyebabkan efek samping seperti hepatitis, atralgia, gastritis,
heperuricemia, dan terjadi rash kulit. Efek samping dari etambutol yaitu
penurunan visus dan buta warna serta efek samping dari streptomisin yaitu
kerusakan nervus delapan (n. vestibulocochlearis), kelainan vestibuler dan
nefrotoksik.
Perlu diwaspadai juga terjadinya MDR-TB (Multi Drug Resistance)
dimana telah terjadi resistensi minimal obat TB terhadap kuman M.
Tuberculosis. Pasien yang mengalami resistensi terhadap dua obat utama OAT
yaitu isoniazid dan rifampisin dinyatakan sebagai kasus MDR-TB. Beberapa
gambaran demografik dan riwayat penyakit dahulu dapat memberikan
kecurigaan MDR-TB, yaitu :
1. TB aktif yang sebelumnya mendapat terapi, terutama jika terapi yang
diberikan tidak sesuai standar terapi
2. Kontak dengan kasus TB resistensi ganda
3. Gagal terapi atau kambuh
4. Infeksi human immunodeficiency virus (HIV)
5. Riwayat rawat inap dengan wabah MDR-TB
Apabila pasien dilakukan uji resistensi dan dinyatakan MDR-TB, dasar
pengobatan terutama untuk keperluan membuat regimen obat-obat anti TB.
15
WHO guidlines membagi obat MDR-TB menjadi 5 grup berdasarkan potensi
dan efikasinya, yaitu sebagai berikut (WHO, 2008) :
a. Grup pertama, pirazinamid dan etambutol, karena paling efektif dan
dapat ditoleransi dengan baik. Obat lini pertama yang terbukti
sebaiknya digunakan dalam dosis maksimal.
b. Grup kedua, obat injeksi bersifat bakterisidal. Contoh obatnya seberti
kanamisin (amikasin), jika alergi makan bisa digunakan kepreomisin,
atau viomisin sebagai gantinya. Pasien diberikan injeksi sampai jumlah
kuman dibuktikan rendah melalu hasil kultur negatif.
c. Grup ketiga, fluorokuinilon, obat bakterisidal tinggi golongan quinolon
contohnya seperti levofloksasin. Semua pasien yang sensitif terhadap
grup ini harus mendapatkan kuinolon dalam regimennya.
d. Grup keempat, obat bakterostatik lini kedua, PAS (Paraaminocallicilic
acid), contohnya ethionamid dan sikloserin. Golongan obat ini
mempunyai toleransi terhadap OAT MDR namun tidak lebih baik
dibandingkan obat-obat oral lini pertama dan golongan kuinolon.
e. Grup kelima, obat yang belum jelas efikasinya, amoksisilin, asam
klavulanat, dan makrolid baru (klaritromisin). Secara in vitro
menunjukkan efikasinya, akan tetapi data melalui uji klinis pada pasien
MDR-TB masih minimal.
Evaluasi dan monitoring harus dilakukan. Evaluasi klinis yang perlu
dilakukan meliputi keluhan, berat badan, dan pemeriksaan fisik. Evaluasi
bakteriologis sputum bertujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak.
Pemeriksaan sputum BTA ini dilakukan pada 3 waktu yaitu, pada akhir bulan
ketiga, pada satu bulan sebelum pengobatan berakhir dan pada akhir
pengobatan. Jika pada akhir bulan kedua fase intensif belum ada konversi
dahak, maka diberikan fase sisipan selama 1 bulan dengan pemberian RHZE.
Evaluasi radiologi juga sangat perlu dilakukan dengan pemeriksaan standar
adalah foto thorax. Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui kemajuan atau
perbaikan dari gambaran paru pasien. Evaluasi sebaiknya dilakukan sebelum
pengobatan, setelah 2 bulan jalannya pengobatan, dan pada akhir pengobatan.
16
Terdapat kesesuaian pemeriksaan pasien antara penilaian paru dengan hasil
pemeriksaan bakteriologi sputum.
Apabila pasien susah untuk minum OAT dalam waktu pengobatannya
maka harus dilakukan evaluasi keteraturan berobat dan diminum atau
tidaknya obat tersebut, karena ketidakteraturan dalam pengobatan akan
menyebabkan resistensi terhadap OAT. Maka sangat penting dilakukannya
penyuluhan atau edukasi yang diberikan kepada pasien, keluarga dan
lingkunganya mengenai penyakit dan keteraturan minum obat selama masa
pengobatan TB.
Untuk memonitoring keteraturan pengobatan diperlukan seorang
Pengawas Minum Obat (PMO) mengingat pasien ini adalah pasien TB kasus
baru, adanya kemungkinan jenuh dalam pengobatan dapat terjadi. Syarat dan
kriteria seseorang menjadi PMO, adalah:
a. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas
kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh
pasien.
b. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan
pasien. Sebaiknya PMO yang diutamakan adalah petugas kesehatan,
misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Juru Imunisasi, dan lain-lain.
Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal
dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat
lainnya.
PMO merupakan kunci dari keberhasilan DOTS tersebut. Dalam
keberhasilan pengobatan pasien TB seorang PMO mempunyai tugas penting.
Beberapa tugas penting bagi seorang PMO adalah:
a. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan (6 bulan)
b. Memberi dorongan dan semangat kepada pasien selama masa
pengobatannya
c. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan ataupun bila terdapat indikasi lain
17
d. Memberi penyuluhan kepada pasien & keluarga pasien mengenai penyakit
TB dan mengawasi keluarga pasien yang mempunyai gejala-gejala
mencurigakan TB agar melakukan pemeriksaan.
Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan
kepada pasien dan keluarganya:
a. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.
b. TB bukan penyakit keturunan atau kutukan.
c. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya.
d. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan).
e. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.
f. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke pelayanan kesehatan.
Deteksi dini melalui screening terhadap orang yang beresiko tertular
juga penting dilakukan. Kemungkinan penularan bakteri tuberkulosis lebih
cepat dengan keadaan dan kondisi rumah yang buruk seperti kotor, berada
didaerah kumuh, lembab, tidak tersinari cahaya matahari, dan ventilasi yang
tidak memadai. Kemungkinan terjadinya penularan pada keluarga pasien
sangat mudah terjadi sehingga perlu dilakukannya skrining penyakit TB
terhadap keluarga pasien yang tinggal serumah ataupun orang terdekat dan
kontak erat dengan pasien.
18
Penulisan Resep
Terapi pada pasien dengan berat badan 53 kg.
a. Memakai tablet FDC
R/ 4 FDC tab no. XXX
∫ 1 dd tab 3 a.c dihabiskan
R/ Vit B6 tab no. X
∫ 1 dd tab 1 p.c
b. Memakai tablet satuan dari OAT
R/ Rifampisin tab mg 450 no. XXX
∫ 1 dd tab 1 a.c pagi
R/Isoniazid tab mg 100 no. LX
∫ 1 dd tab 2 p.c pagi
R/Pirazinamid tab mg 500 no. LX
∫ 1 dd tab 2 p.c siang
R/Etambutol tab mg 250 no. XC
∫ 1 dd tab 3 p.c sore
19
BAB III KESIMPULAN
1. Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis.
2. Penegakan diagnosis penyakit TB berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang.
3. Klasifikasi penyakit TB berdasarkan hasil pemeriksaan dahak terbagi menjadi
BTA (+) dan (-), sedangkan berdasarkan tipe pasien dibedakan menjadi kasus
baru, kambuh, drop out, gagal, kronik, dan bekas TB.Pada pasien ini, BTA
(+3), lesi luas kasus baru.
4. Pengobatan TB menggunakan OAT tablet FDC kategori I, karena pada pasien
ini adalah kasus baru dan belum pernah terkena TB sebelumnya.
5. Monitoring dan evaluasi selama pengobatan TB yaitu dari keadaan klinis,
sputum bakteriologis, foto radiologis, efek samping obat dan keteraturan
pengobatan
6. Efek samping dari obat-obatan TB harus dievaluasi serta diedukasikan kepada
pasien dan keluarga agar tidak terjadi kegagalan dalam pengobatan dan
kekhawatiran tentang efek samping obat.
7. Dibutuhkan pengawas minum obat (PMO) selama pengobatan pasien TB untuk
keberhasilan pengobatan.
8. Keberhasilan pengobatan TB tergantung pada kepatuhan minum obat dan
penyakit yang menyertai.
20
DAFTAR PUSTAKA
Abdul A, et all. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis ed 2. Jakarta :
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007.
Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi IV. Jakarta : Fakultas Kedokteran Republik Indonesia
PDPI. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis danPenatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika
Pedoman Nasional. 2006. Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia
21