PPOK referat
-
Upload
astrini-retno-permatasari -
Category
Documents
-
view
152 -
download
0
description
Transcript of PPOK referat
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik
yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif
nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan
emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis Kronik merupakan kelainan saluran
nafas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun,
sekurang-kurangnya dua tahun berturut-turut, tidak disebabkan penyakit lainnya.
Emfisema merupakan suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran
rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli
(Mangunnegoro, 2003).
Akhir – akhir ini chronic obstructive pulmonary disease (COPD) atau
Penyakit Paru Obstructive Kronik (PPOK) semakin menarik untuk dibicarakan
oleh karena prevalensi dan angka mortalitas yang terus meningkat. Di Amerika
kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat mencapai angka 1,5 juta,
726.000 memerlukan perawatan di Rumah Sakit dan 119.000 meninggal selama
tahun 2000 (Wilson, 2006)
Prevalensi morbiditas dan mortalitas PPOK bervariasi di berbagai negara,
tetapi PPOK merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh
dunia. Definisi dan variabel PPOK yang tidak tepat serta kelemahan spirometri
untuk mengkonfirmasikan diagnosis telah membuat sulit untuk mengukur
morbiditas dan mortalitas sebenarnya penyakit ini (Macnee W, 2008).
2
PPOK menyebabkan 26.000 kematian/tahun di Inggris. Prevalensinya
adalah ≥ 600.000. Angka ini lebih tinggi dinegara maju, daerah perkotaan,
kelompok masyarakat menengah kebawah, dan pada manula (Davey P, 2005).
Di Amerika, kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat
mencapai angka 1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan
119.000 meninggal selama tahun 2000. Sebagai penyebab kematian, PPOK
menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung, kanker dan penyakti
serebrovascular. Biaya yang dikeluarkan untuk penyakit ini mencapai $24 milyar
per tahunnya. WHO memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi
PPOK akan meningkat. Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga Departemen
Kesehatan RI tahun 1992, PPOK bersama asma bronchial menduduki peringkat
ke enam dari penyebab kematian terbanyak di Indonesia (Hisyam, Riyanto, 2006).
Pada tahun 2000 PPOK menduduki peringkat ke 5 dari jumlah penderita
yang berobat jalan dan menduduki peringkat 4 dari penderita yang dirawat.
Kunjungan rawat jalan pasien PPOK di RS Persahabatan Jakarta meningkat dari
616 pada tahun 2000 menjadi 1735 pada tahun 2007 (Yunus et al, 2010).
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau Cronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD) adalah suatu penyakit yang ditandai oleh adanya
obstruksi aliran udara yang disebabkan oleh bronkitis kronis dan emfisema.
Obstruksi aliran udara biasanya progresif kadang diikuti oleh hiperaktivitas jalan
napas dan kadangkala parsial reversibel (Tierney et al, 2002). Masalah yang
menyebabkan terhambatnya arus udara tersebut bisa terletak pada saluran
pernapasan maupun pada parenkim paru (Djojodibroto, 2009).
Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh
pembentukan mukus yang berlebihan dalam bronkus dan bermanifestasi sebagai
batuk kronik dan pembentukan sputum selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun,
sekurang-kurangnya dalam dua tahun berturut turut. Emfisema paru merupakan
suatu perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveolus
dan duktus alveolaris yang tidak normal, serta destruksi dinding alveolar (Wilson,
2006)
2.2 Patogenesis
Inflamasi epitel saluran pernapasan, dan disertai aktivitas limfosit T
sitotoksik (CD8), makrofag, dan polimorfonukleosit (PMN), menyebabkan
peningkatan aktivitas protease (elastase) dan kerusakan lansung pada paru.
4
Ketidakseimbangan antara protease dan antiprotease menyebabkan kerusakan
dinding alveolus dan bronkus dan peningkatan produksi mukus ( Brashers, 2008).
Pada PPOK yang stabil, ciri inflamasi yang dominan adalah banyaknya sel
neutrofilik yg ditarik oleh IL-8. Walaupun jumlah limfosit juga meningkat tapi
yang meningkat hanya sel T CD8 helper tipe 1. Ketika terjadi eksaserbasi akut
pada PPOK, jumlah eosinofil meningkat 30 kali lipat (Djojodibroto, 2009 ).
Mukus yang berlebihan terjadi akibat perubahan patologis (hipertrofi dan
hiperplasia) sel-sel penghasil mukus di bronkus. Selain itu silia yang melapisi
bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan
pada sel penghasil mukus dan sel silia ini menggangu sistem eskalator
mukosiliaris dan menyebabakan akumulasi mukus kental dalam jumlah besar
yang sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat
perkembangan mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen.
Proses inflamasi terjadi yang menyebabkan edema dan pembengkakan jaringan
serta perubabahan arsitektur paru (Corwin, 2009).
Kerusakan alveolus disebabkan oleh adanya proteolisis (degradasi) elastin
oleh enzim elastase yang disebut protease. Elastin adalah komponen jaringan ikat
yang meliputi kira-kira 25% jaringan ikat diparu. Dalam keadaan normal terdapat
keseimbangan antara degradasi dan sintesis elastin atau keseimbangan antara
protease yang mendegradasi jaringan paru dan protease inhibitor yang
menghambat kerja protease. Pada perokok, jumlah protease meningkat karena
jumlah lekosit dan makrofag diparu meningkat. Makrofag dan lekosit ini
mengandung elastase dalam jumlah tinggi. Dengan banyaknya elastase diparu,
banyak jaringan yang didegradasi. Pada penderita yang memiliki paru yang
5
emfisematous ditemukan α1-antitripsin (suatu protease) dalam jumlah rendah
sehingga tidak ada yang menghambat kerja protease tripsin. Keadaan ini
merupakan kelainan kongenital (Djojodibroto, 2009 ).
(Wilson, 2006)Gambar 2.1
Obstruksi katup pengatur bronkiolus, selama inspirasi, lumen cukup besar untuk dilalui udara. Selama ekspirasi, kolaps prematur dan penyempitan lumen
menghalangi aliran keluar udara, sehingga udara terperangkap dalam alveolus.
Selama inspirasi, lumen bronkiolus melebar sehingga udara dapat
melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa dan banyaknya mukus. Tetapi
sewaktu ekspirasi, lumen bronkiolus tersebut kembali menyempit, sehingga
sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara. Hilangnya elastisitas dinding
bronkiolus pada emfisema juga dapat menyebabkan kolaps prematur. Dengan
demikian udara terperangkap dalam segmen paru yang terkena, berakibat distensi
berlebihan serta penggabungan beberapa alveolus (Wilson, 2006).
6
(Wilson, 2006)Gambar 2.2
Patogenesis COPD. CLE, Emfisema sentrilobular; PLE, Emfisema panlobular.
2.3 Faktor Risiko PPOK
2.3.1 Merokok
Merokok merupakan >90% risiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok
menderita PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami penurunan
fungsi paru secara cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan telah dikaitkan
dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan risiko penyakit paru obstruksi
pada anak (Brashers, 2008).
7
Merokok menyebabkan hipertrofi kelenjar mukus bronkial dan
peningkatan produksi mukus, menyebabkan batuk produktif. Pada bronkitis
kronik (batuk produktif lebih dari 3 bulan/tahun selama lebih dari 2 tahun)
perubahan awal terjadi pada saluran udara yang kecil. Selain itu, terjadi destruksi
jaringan paru disertai dilatasi rongga udara distal (emfisema), yang menyebabkan
hilangnya elastis recoil, hiperinflasi, terperangkapnya udara dan peningkatan
usaha untuk bernapas, sehingga terjadi sesak napas (Davey P, 2006).
Derajat merokok dengan indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah
rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
-Ringan : 0 – 200
-Sedang : 200 – 600
-Berat : > 600
Penelitian telah menunjukkan bahwa merokok dalam jangka panjang dapat
menyebabkan :
1. Mengganggu pergerakan rambut getar epitel saluran nafas
(respiratory epithelial cilliary)
2. Menghambat fungsi alveolar macrophages.
3. Menyebabkan hipertrophy dan hyperplasia kelenjar penghasil
mukus.
4. Juga menghambat antiprotease dan menyebabkan leukosit
melepaskan enzim proteolitik secara akut.
5. Merusak elastin, suatu protein yang membangun kantong alveolar.
8
2.3.2 Polusi udara
Polusi udara merupakan faktor risiko penyakit pernapasan kronis (Macnee
W, 2008). Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar
pengaruhnya tetapi bila ditambah merokok, risiko akan lebih tinggi. Eksaserbasi
akut pada bronkitis sering ditimbulkan oleh sulfur dioksida (SO2) yang tinggi,
sedangkan nitrogen dioksida (NO2) dapat menyebabkan obstruksi saluran napas
kecil (Soemantri, 2000).
Debu tak kalah jahatnya bagi paru, dan berpotensi menyebabkan
timbulnya bronkitis kronis, makin kecil partikel debu akan makin berbahaya,
karena akan dapat masuk semakin dalam sampai kedalam alveolus (Danusantoso,
2000).
2.3.3 Infeksi saluran napas
Infeksi saluran napas bagian atas pada seorang pasien bronkitis kronis
hampir selalu menyebabkan infeksi saluaran napas bawah bagian bawah, serta
menyebabkan kerusakan paru bertambah. Diperkirakan eksaserbasi bronkitis
kronik paling sering diawali dengan infeksi virus, yang kemudian menyebabkan
infeksi skunder oleh bakteri. Bakteri yang paling banyak diisolasi adalah
Haemophilus influenzae dan streptococcus pneumoniae (Soemantri, 2000).
Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak-kanak berhubungan
dengan rendahnya tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan
peningkatan resiko terkena PPOK saat dewasa. Infeksi saluran nafas kronis,
seperti adenovirus dan klamidia, mungkin berperan dalam terjadinya PPOK
(Brashers, 2008).
9
2.3.4 Lingkungan kerja
Ada hubungan sebab akibat antara pajanan debu organik dan anorganik
dengan hipersekresi lendir. selain itu, penelitian terhadap pekerja yang terpapar
debu, menunjukkan hubungan antara pajanan debu dengan penurunan FEV1
(Macnee W, 2008). Debu berpotensi menyebabkan timbulnya bronkitis kronis,
makin kecil partikel debu akan makin berbahaya, karena akan dapat masuk
semakin dalam sampai kedalam alveolus (Danusantoso, 2000)
2.3.5 Faktor genetik
Pada beberapa pasien (sekitar 2%) terdapat defisiensi penghambat
proteinase-α1 (antitripsin-α1) yang biasa menghambat kerja proteinase (misalnya,
leukosit elastase). Enzim ini dihasilkan dihati, mutasi pada enzim ini dapat
mempengaruhi sekresinya dan atau fungsinya (Lang F, 2007). Antitripsin-α1
merupakan suatu protein yang sering dikeluarkan pada peradangan dan perusakan
jaringan, termasuk jaringan paru. Antitripsin-α1 dapat melindungi paru dari
kerusakan jaringn yang disebabkan enzim proteolitik. Orang yang mempunyai
nilai kurang dari 35% dari nilai normal, tidak mampu memberikan perlindungan
yang adekuat dan kerusakan parenkim paru dapat terjadi (Soemantri, 2001).
2.4 Gambaran Klinis dan Diagnosa PPOK
Gambaran klinis pada awal perjalanan penyakit sering tidak lengkap. Pada
perkembangan penyakit, akan tampak dua bentuk pola penyakit yaitu menjadi
pink puffer dan blue bloaters ( Tierney et al, 2002).
10
2.4.1 Anamnesis
Diagnosa PPOK harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang memiliki
gejala batuk, produksi sputum atau sesak, dan riwayat paparan faktor resiko
penyakit tersebut. (Rubenstein et al, 2007). Perasaan sesak napas dan dada terasa
menyempit merupakan gejala non spesifik yang dapat bervariasi seiring waktu
yang dapat pada seluruh derajat keparahan PPOK (Buist et al, 2007).
Anamnesis menurut Mangunnegoro, 2003 :
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernafasan
Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja.
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak. Misal berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran nafas berulang, lingkungan asap rokok dan
polusi udara.
Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi.
2.4.2 Pemeriksaan fisik:
Pemeriksaaan fisik memainkan peranan penting untuk diagnosa PPOK.
Tanda fisik hambatan aliran udara tidak muncul hingga terdapat kerusakan yang
bermakna dari fungsi paru. Pada inspeksi dapat ditemukan sentral sianosis, bentuk
dada “barrel shape”, takipneu, edema tungkai bawah sebagai tanda kegagalan
jantung kanan. Perkusi dan palpasi jarang membantu diagnosis PPOK kecuali
tanda hiperinflasi yang mengaburkan batas jantung dan menurunkan batas paru-
hati. Auskultasi sering memberikan pelemahan suara napas, dapat disertai adanya
mengi (Silverman et al, 2000).
11
Gambaran klinis PPOK menurut Mangunnegoro, 2003 :
Inspeksi :
o Pursed – lips breathing (Mulut terengah terkatup mencucu).
o Barrel Chest (Diameter antero-posterior dan transversal
sebanding).
o Penggunaan otot bantu nafas.
o Hipertrofi otot bantu nafas.
o Pelebaran sela iga.
o Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis leher dan edema tungkai.
o Penampilan pink puffer yaitu gambaran khas pada emfisema,
penderita kurus, kulit kemerahan dan pernafasan pursed-lips
breathing atau blue bloater yaitu gambaran khas pada bronkitis
kronik, penderita gemuk sianosis, edema tungkai dan ronki
basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.
Palpasi
o Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.
Perkusi
o Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.
Auskultasi
o Suara nafas vesikuler normal, atau melemah.
o Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernafas biasa atau
pada ekspirasi paksa ekspirasi memanjang.
12
o Bunyi jantung terdengar jauh.
2.4.3 Pemeriksaan penunjang
2.4.3.1 Faal Paru
1. Spirometri
Spirometri memberikan informasi objektif tantang fungsi pulmo dan
menilai hasil-hasil terapi. Tes-tes fungsi paru pada perjalanan awal PPOK hanya
menunjukkan abnormalitas volume penutupan dan berkurangnya rata-rata aliran
ekspirasi. Pengurangan FEV1 dan rasio volume ekspirasi kuat (FEV1/FVC)
didapatkan kemudian. Pada penyakit berat kapasitas vital secara nyata menurun.
Pengukuran volume paru menunjukkan peningkatan pada kapasitas paru total
(TLC), peningkatan nyata pada volume residu (RV) dan suatu peninggian
RV/TLC, menunjukkan adanya udara yang terjebak, terutama pada emfisema
(Tierney et al, 2002).
Tabel 2.1 Spirometric classification of COPD severitySTAGE CHARACTERISTICS
0 : At risk Normal spuirometryChronic symtomps (cough, sputum prodiction)
I : Mild COPD FEV1/FVC < 70%FEV1 ≥ 80% predictedWith or without chronic symtomps (cough, sputum production)
II : Moderate COPD FEV1/FVC < 70%50% < FEV1 < 80% predictedWith or without chronic symtomps (cough, sputum production)
III : Severe COPD FEV1/FVC < 70%30% < FEV1 < 50% predictedWith or without chronic symtomps (cough, sputum production)
IV : Very severe COPD FEV/FVC < 70%FEV1 < 30% predicted or FEV < 50% predicted plus Chronic respiratory failure
(Macnee W, 2008)
13
2. Uji Bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8
isapan , 15-20 menit
Kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan
VEP1 atau APE < 20 % nilai awal dan < 200 ml.
Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.
2.4.3.2 Radiologi
Pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan atau
menyokong diagnosis dan menyingkirkan penyaki- penyait lain. Lebih dari
50% pasien bronkitis kronik mempunyai foto dada yang normal. Tetapi
secara radiologis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, tubular
shadow atau tram lines terlihat dari hilus menuju apeks paru. Bayangan
tesebut adalah bayangan bronkus yang menebal dan corak paru yang
bertambah (Soemantri, 2001)
Pada emfisema lanjut menurut Patel (2007) dapat ditemukan:
1. Hiperinflasi dada
Diafragma datar dan rendah dengan pergerakan yang terbatas saat
inspirasi dan ekspirasi. Peningkatan diameter AP dada dengan
perluasan pada rongga retrosternal (barrel chest). Penampakan
bayangan jantung yang tipis, panjang, dan sempit.
2. Perubahan vaskular
Paru secara umum dipengaruhi oleh distribusi vaskularisasi pulmonal
yang secara abnormal tidak rata, pembuluh darah menjadi lebih tipis,
14
disertai hilangnya gradasi halus normal dari pembuluh darah yang
berasal dari hilus menuju perifer. Hipertensi pulmonal menyebabkan
korpulmonal. Arteri pulmonal proksimal secara progresif membesar
dan menyebabkan gagal jantung kanan.
3. Bullae
Rongga menyerupai kista kering sering terbentuk akibat rupturnya
alveolus yang melebar. Pada film dada, rongga tersebut tampak sebagai
daerah translusen dengan dindingnya terlihat sebagai bayangan kurva
linear menyerupai garis rambut.
(Patel, 2007)Gambar 2.3
Emfisema paru
15
(Patel, 2007)Gambar 2.4
CT toraks : daerah destruktif multipel yang menyebabakan bullae dengan berbagai ukuran (tanda panah)
2.5 Eksaserbasi akut
Eksaserbasi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan
beban pada sistem perawatan kesehatan yang meluas diseluruh dunia, yang
menurunkan status kesehatan yang akhirnya meningkatkan morbiditas dan
mortalitas (Buist et al, 2007). Pada seseorang yang telah didiagnosis sebagai
penderita PPOK, dalam keadaan normal pnderita ini telah berada dalam keadaan
dispnea, berdahak dan batuk. pada eksaserbasi akut, ketiga gejala itu bertambah.
Eksaserbasi akut PPOK dapat disebabkan oleh infeksi sistem pernapasan,
pengaruh polusi lingkungan, gagal jantung, infeksi sistemik, atau juga emboli
paru. Eksaserbasi PPOK yang ringan belum memerlukan perawatan dirumah
sakit, sedangkan eksaserbasi yang sedang, dan berat harus dipertimbangkan untuk
dirawat dirumah sakit (Djojodibroto, 2009 ).
16
Tabel 2.2 Klasifikasi eksaserbasi akut PPOKKlasifikasi Eksaserbasi Akut PPOK
Tipe 1
Adanya salah satu gejala utama :1. Bertambahnya dispnea2. Bertambahnya sputum purulen3. Bertambahnya volume sputum
Dan disertai salah satu dari :a. Infeksi sistem pernapasan 5 hari
terakhirb. Demam yang tidak diketahui
penyebabanyac. Bertambahnya suara mengid. Bertambahnya gejala batuke. Bertambahnya frekuensi napas
dan detak jantung >20% dari baseline
Tipe 2 Adanya dua dari tiga gejala utamaTipe 3 Ada tiga gejala utama
(Djojodibroto, 2009)
2.6 Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada PPOK adalah Asma, SOPT (Sindroma Obstruksi
Pascatuberculosis), Pneumothoraks, gagal jantung kronik, Penyakit paru dengan
obstruksi saluran nafas lain misal : bronkiektasis, destroyed lung.
2.3 Tabel Perbedaan asma, PPOK dan SOPTAsma PPOK SOPT
Timbul pada usia muda ++ - +Sakit mendadak ++ - -Riwayat merokok +/- +++ -Riwayat atopi ++ + -Sesak dan mengi berulang +++ + +Batuk kronik berdahak + ++ +Hipereaktiviti bronkus +++ + +/-Reversibiliti obstruksi ++ - -Variabiliti harian ++ + -Eosinofil sputum + - ?Neutrofil sputum - + ?Makrofag sputum + - ?
(Wilson, 2006)
17
2.7 Terapi
Pengobatan untuk pasien dengan bronkitis kronik dan emfisema obstruktif
berupa tindakan-tindakan untuk menghilangkan obstruksi saluran napas kecil.
Meskipun kolaps pernapasan akibat emfisema bersifat irreversibel, banyak pasien
mengalami bronkospasme, retensi sekret, dan edema mukosa dalam derajat
tertentu yang masih dapat ditanggulangi dengan pengobatan yang sesuai. Yang
penting adalah berhenti merokok dan menghindari bentuk polusi udara lain atau
alergen yang dapat memperberat gejala yang dialami (Wilson, 2006).
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003 penatalaksanaan
PPOK meliputi edukasi, obat-obatan, terapi oksigen, ventilasi mekanik, nutrisi,
dan rehabilitasi.
2.7.1 Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengolahan jangka panjang pada
PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena
PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi
adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan
fungsi paru. Skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti merokok
2. Penggunaan obat – obatan
a. Macam obat dan jenisnya
b. Cara penggunaannya yang benar
c. Waktu penggunaan yang tepat
d. Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya.
3. Penggunaan Oksigen
18
a. Kapan oksigen harus digunakan
b. Berapa dosisnya
c. Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
4. Mengenal dan mengetasi efek samping obat atau terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengolahannya
a. Tanda eksaserbasi:
Batuk atau sesak bertambah
Sputum bertambah
Sputum berubah warna
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti.
2.7.2 Obat-Obatan
1. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator
dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ), atau
obat berefek panjang ( long acting ). Macam-macam bronkodilator :
a. Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir.
b. Golongan agonis beta-2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan
jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi.
19
Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet
yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk
mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan
jangka panjang. Bentuk subkutan atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi berat.
Kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi, karena keduanya memiliki tempat kerja yang
berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih
sederhana dan mempermudah penderita.
Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan
jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk
tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak ( pelega nafas ),
bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi
akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.
2. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednison atau prednison.
20
3. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
Lini I : amoksisilin, makrolid
Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin,
kuinolon, makrolid baru.
Perawatan di Rumah sakit : amoksisilin dan klavulanat,
sefalosporin generasi II dan III, kuinolon per oral.
Ditambah dengan yang anti pseudomonas : aminoglikosida per
injeksi, kuinolon per injeksi, sefalosporin generasi generasi IV
per injeksi.
4. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, digunakan
N-asesilsistein.
5. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.
2.7.3 Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan
hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah
kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya. Manfaat Oksigen :
Mengurangi sesak
21
Memperbaiki aktiviti
Mengurangi hipertensi pulmonal
Mengurangi vasokonstriksi
Mengurangi hematokrit
Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
Meningkatkan kualiti hidup
Indikasi :
PaO2 < 60 mmHg atau Sat O2 < 90%.
PaO2 diantara 55 – 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor
Pulmonal, perubahan P pulmonal, Ht > 55 % dan tanda-tanda gagal
jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain.
2.7.4 Ventilasi Mekanik
Digunakan pada eksaserbasi dengan gagal nafas akut, gagal nafas akut
pada nafas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan nafas kronik.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara ventilasi mekanik dengan intubasi
dan ventilasi mekanik tanpa intubasi.
2.7.5 Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK karena, kemungkinan karena
bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat
karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan hipermetabolisme.
Komposisi nutrisi seimbang berupa tinggi lemak rendah karbohidrat.
Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan semenit
oxygen consumption dan respon ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapnia.
Rehabilitasi PPOK
22
Meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualitas hidup penderita
PPOK. Penderita yang dimasukkan dalam program rehabilitasi adalah mereka
yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai dengan simptom
pernafasan berat, beberapa kali masuk ruang gawat darurat dan kualitas hidup
yang menurun.
Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen yaitu, latihan fisik,
psikososial dan latihan pernafasan.
2.7.6 Pasien rawat jalan
Ipratropium bromida lebih baik dari aerosol agonis β2 adrenergik dalam
memberikan efek bronkodilatasi pada pasien PPOK sedang sampai berat.
Ipratropium memiliki onset lebih lambat tetapi durasi yang lebih lama daripada
agonis β2 adrenergik pada PPOK stabil. Pada kombinasi dengan bronkodilator
lainnya, dapat memperkuat dan memperpanjang bronkodilatasi (Tierney et al,
2002).
Teofilin oral adalah obat pilihan ketiga pada PPOK, setelah ipratropium
bromida dan agonis β2 adrenergik. Teofilin digunakan pada pasien-pasien dengan
kegagalan respirasi. Walaupun teofilin merupakan bronkodilator ringan pada
pasien PPOK dengan keterbatasan aliran udara yang bersifat parsial reversibel,
nilai ini sangat berarti pada PPOK yang kemungkinan berhubungan dengan
perbaikan bentuk otot otot pernapasan (Tierney et al, 2002).
Kortikosteroid oral sering kali diresepkan untuk pasien-pasien dengan
bronkitis asmatis dan pasien dengan eksaserbasi frekuen atau pasien dengan
kegagalan terhadap respon terapi konvensional ipratropium bromida, agonis β2
adrenergik dan teofilin (Tierney et al, 2002). Penggunaan kortikosteroid pada
23
PPOK yang stabil dinilai kontroversial. Namun, untuk penderita yang mempunyai
saluran pernapasan reaktif dan pada PPOK derajat menengah atau berat,
pemberian kortikosteroid memberikan perbaikan yang signifikan dan mengurangi
frekuensi terjadinya eksaserbasi (Djojodibroto, 2009).
Antibiotik biasanya diresepkan untuk pasien dengan PPOK pada dua
keadaan klinik, mengobatiti bronkitis akut dan Mengobati eksaserbasi PPOK.
Tidak ada kejadian yang mendukung antibiotik profilaksis. Pasien dengan
serangan PPOK berhubungan dengan dispnea dan perubahan dalam kuantitas atau
karakter sputum adalah manfaat utama dari terapi antibiotik (Tierney et al, 2002).
Tripsin α-1manusia dapat digunakan dalam terapi emfisema yang
berhubungan dengan defisiensi α-1 antitripsin kongenital. Oksigen rumah
didukung oleh sistem oksigen cair (LOX), silinder gas terkompresi, atau
konsentrator oksigen. Sebagian besar pasien merasakan manfaat lebih jika
memiliki kedua sistem, stasioner dan portabel (Tierney et al, 2002).
2.7.7 Pasien di rumah sakit
Perawatan dirumah sakit diindikasikan untuk PPOK akut dengan
kegagalan respon terhadap tindakan untuk pasien rawat jalan. Pasien-pasien
dengan kegagalan napas akut atau komplikasinya seperti cor pulmonal dan
pneumotoraks seharusnya juga dirawat dirumah sakit. Manajemen PPOK
eksaserbasi akut dirumah sakit meliputi oksigen, ipratropium bromida, dan agonis
β2 adrenergik inhalasi, memberikan terapi antibiotik broad spectrum,
kortikosteroid, dan pada kasus-kasus khusus dengan fisioterpai dada (Tierney et
al, 2002).
24
2.7.8 Penatalaksaan PPOK eksaserbasi akut
1. Oksigen Terkontrol
Cara : Nasal 1-4 L/menit
Venturi mask FIO2 24-28%
Sasaran : PaO2 60-65 mmHg atau SaO2 > 90%.
2. Bronkodilator
Agonis beta 2 + antikolinergik diebrikan 3-4 x/hari dengan nebuliser atau
MDI dengan spacer. Jika tidak ada fasilitas agonis beta 2 dapat diberikan
subkutan.
Tabel 2.4 Bronkodilator pada eksaserbasi akutObat MDI mcg Nebuliser
mcgAgonis beta 2Fenoterol 150-200 0,1-2,0Terbutalin 250-500 5-10AntikolinergikIpratropium bromide 40-80 0,25-0,5
(FK UNAIR-RSU Dr.Soetomo, 2008)
Jika terapi inhalasi belum adequat ditambah teofilin :
Loading dose : 2,5 mg/kgBB
Maintenance : 0,5-1,0 mg/kgBB/jam
3. Antibiotika
Indikasi : eksaserbasi karena infeksi bakteri
Pilihan : antibiotika yang masih sensitif terhadap S.pneumoniae,
H.infleunza.
25
Pilihan antibiotik umumnya adalah amoksisilin, kotrimoksasol,
eritromisin, dosisiklin sebagai pilhan alternatif amoksisilin ditambah asam
klavulanat, sepalosporin, claritromisin, azitromisin.
4. Mukolitik
Saat eksaserbasi mukolitik seperti N asetil sistein tidak menunjukkan
manfaat.
5. Kortikosteroid
Dosis : Exact dose tidak tahu. Prednison oral 30 -40 mg/hari selama 10-14
hari optimal bila ditinjau dari sudut efikasi dan keamanan. Kortikosteroid dapat
diberikan IV atau oral.
6. Nutrisi
Tinggi protein rendah karbohidrat . Protein > 1,5 mg/kgBB/hari
2.7.9 Tindakan operatif untuk PPOK
Transplantasi paru, pengalaman bedah dengan transplantasi sisa paru
tunggal maupun bilateral untuk PPOK berat meningkat cepat. Keadaan yang
membutuhkan transplantasi paru adalah penyakit paru yang berat, dengan
aktivitas harian hidup yang terbatas diluar terapi medis, status ambulatori,
potensial untuk rehabilitasi paru, terbatas pada hidup tanpa transplantasi, fungsi
adekuat dari organ lainnya, dan sistem sosial yang mendukung dengan baik
(Tierney et al, 2002).
Operasi reduksi volume paru merupakan tindakan bedah yang meliputi
upaya perbaikan dispnea dan toleransi latihan pada pasien dengan emfisema difus
dan hiperinflasi paru. Bullektomi adalah suatu prosedur dalam pembedahan kuno
26
untuk mencegah terjadinya dispnea berat pada pasien dengan bulla emfisema
(Tierney et al, 2002).
2.8 Komplikasi
Bila ternyata terdapat PaO2 < 50 mmHg, dikatakan terdapat kegagalan
pernapasan. Sering disertai PCO 2 >50 mmHg dan PH < 7,35 sehingga timbul
hipoksemia, hiperkarbia, dan asidemia. Terdapat obstruksi yang berat, tidak ada
keseimbangan antara perfusi dan ventilasi (Soemantri, 2001). Radang saluran
napas bawah diakibatkan adanya akumulasi sekret yang dengan perjalanan waktu
terkolonisasi berbagai kuman. Dengan kemunduran fungsi pembersihan saluran
pernapasan, semakin besar pula kemungkinan paru kemasukan polutan maupun
kontaminan baru dari luar (Danusantoso, 2000). Hipoksia denagn ventilasi yang
kurang menyebabkan vasokontriksi, peningkatan resistensi pembuluh darah paru,
hipertensi pulmonal, dan peningkatan beban ventrikel kanan ( kor pulmonal)
(Lang F, 2007).
2.9 Prognosis
Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang tergantung pada umur
dan gejala klinis waktu berobat. Pasien dengan penyakit emfisema paru yang lebih
dominan, akan lebih baik daripada pasien dengan penyakit bronkitis kronik lebih
dominan. Pada pasien yang kurang dari 50 tahun dan datang dengan sesak ringan
5 tahun kemudian akan terlihat ada perbaikan, tetapi apabila pasien tersebut
datang dengan sesak sedang, maka 5 tahun kemudian 42% pasien akan sesak lebih
berat dan meninggal. Pada pasien yang sudah berumur lebih dari 50 tahun dengan
27
sesak ringan, 5 tahun kemudian 50% pasien akan lebih berat atau meninggal.
Apalagi pasien dengan blue bloater, setelah 5 tahun hanya 30% yang masih hidup
(Soemantri, 2001). Bila timbul hiperkapnia, hipoksemia, dan kor pulmonal,
prognosisnya buruk dan kematian biasanya terjadi beberapa tahun sesudah timbul
penyakit. Gabungan gagal napas dan gagal jantung yang dipercepat oleh
pneumonia merupakan penyebab kematian yang lazim (Wilson, 2006).
28
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
PPOK merupakan penyakit obstruksi saluran nafas kronis dan progresif
yang dikarenakan oleh adanya keterbatasan aliran udara yang bersifat irreversibel
yang disebabkan oleh bronkitis kronis, emphysema atau keduanya.
Faktor resiko terjadinya PPOK meliputi faktor host dan faktor lingkungan
yang terdiri dari asap tembakau, occupational dusts and chemicals, polusi udara,
infeksi dan status sosial.
Diagnosis PPOK berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan yang
terdiri dari sesak nafas, suara mengi (wheezing), batuk kronis, batuk darah, nyeri
dada, anoreksia dan berat badan menurun. Dari pemeriksaan penunjang
menggunakan pemeriksaan faal paru dengan spirometri sebagai gold standard, uji
bronkodilator, darah rutin dan foto thoraks.
Diagnosis banding dari PPOK yaitu Asma bronkial, gagal jantung kronis
dan penyakit paru dengan obstruksi saluran nafas yang lain seperti bronkiektasis.
Tujuan dari penatalaksaan PPOK yaitu mengurangi gejala, mencegah
eksaserbasi berulang, memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru dan
meningkatkan kwalitas hidup dengan modalitas terapi yaitu edukasi, obat-obatan (
bronkodilator, kortikosteroid, mukolitik, antioksidan – N asetil sistein), oksigen,
ventilasi mekanik, nutrisi dan rehabilitasi.