dini -referat-PPOK (1).docx
-
Upload
sarah-perez -
Category
Documents
-
view
78 -
download
1
description
Transcript of dini -referat-PPOK (1).docx
REFERAT
MEKANISME PATOFISIOLOGI
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)
Oleh
Windradini Rahvian Aridama, S. Ked
092011101026
Pembimbing
dr. Edy Nurcahyo, Sp. P
Disusun Untuk Melaksanakan Tugas Kepanitraan Klinik Madya
SMF Ilmu Penyakit Dalam RSD dr Soebandi
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSD dr. SOEBANDI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
2013
1
DAFTAR ISI
BAB 1: PENDAHULUAN........................................................................ 3
BAB 2: TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 4
2.1 Definisi ................................................................................................. 4
2.2 Faktor Resiko......................................................................................... 4
2.3 Mekanisme Patogenesis PPOK ............................................................ 5
2.3.1 Subtipe PPOK ..................................................................... 8
2.3.2 Proses Inflamasi Paru pada PPOK....................................... 10
2.3.3 Protease dan Antiprotease ................................................... 17
2.3.4 Pengaruh Oksidan dan antioksidan pada perokok
dengan PPOK...................................................................... 18
2.4 Klasifikasi PPOK ................................................................................ 18
2.5 Diagnosis PPOK ................................................................................. 19
2.6 Diagnosis Banding............................................................................... 24
2.7 Penatalaksanaan................................................................................... 26
BAB 3: KESIMPULAN...............................................................................
2
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah salah satu masalah
kesehatan umum yang diasosiasikan dengan pajanan kronis partikel gas yang
bersifat kronik (Hogg et al, 2004). PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah
dan ditanggulangi serta memiliki efek ekstrapulmoner yang dapat mempengaruhi
derajat berat penyakit. Komponen pulmoner PPOK ditandai dengan hambatan
aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel dan biasanya bersifat progresif,
berhubungan dengan respons inflamasi abnormal paru akibat partikel maupun gas
beracun (Global Initiative for ChronicObstructive Lung Disease, 2006). Merokok
bukan hanya menyebabkan inflamasi paru tetapi juga inflamasi sistemik,
perubahan vasomotor dan fungsi endotel, peningkatan konsentrasi beberapa faktor
pro-koagulan darah. Inflamasi telah memegang peran penting dalam patogenesis
PPOK maupun penyakit jantung yang mengakibatkan timbulnya berbagai
morbiditas kompleks lain seperti osteoporosis, anemia, dan sindrom metabolik
(Masna et al, 2011)
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyebab morbiditas dan
kematian ke-4 terbesar di dunia dan WHO memperkirakan bahwa pada tahun
2020 PPOK menjadi penyebab kematian ketiga tertinggi di dunia. Angka
prevalensi, morbiditas, dan mortalitas PPOK bervariasi antar negara dan di antara
kelompok populasi, umumnya berkaitan dengan prevalensi perokok serta kondisi
polusi udara akibat pembakaran yang juga telah identifikasi sebagai faktor risiko
PPOK (Global Initiative for ChronicObstructive Lung Disease, 2006). Berbagai
manifestasi sistemik PPOK umumnya akan menurunkan kualitas hidup pasien,
meningkatkan risiko perawatan di rumah sakit, dan meningkatkan mortalitas,
terutama pada pasien dengan derajat PPOK yang lebih berat (Masna et al, 2011)
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Menurut GOLD (Global Inisiative for Chronic Obstructive Lung Disease),
PPOK adalah penyakit paru yang dapat dicegah diobati dengan beberapa efek ek-
strapulmonal yang signifikan berkontribusi terhadap tingkat keparahan penderita.
Karakteristik penyakit ini ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas
yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara tersebut biasanya bersi-
fat progressif dan berhubungan dengan respon inflamasi pulmonal terhadap par-
tikel atau gas berbahaya (GOLD, 2006).
PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.
1) Bronkitis kronik
Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal
3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut,
tidak disebabkan penyakit lainnya.
2) Emfisema
Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara
distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.
Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga
memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat
dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria
PPOK (PDPI, 2003).
2.2 Faktor Resiko
1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
4
a) Riwayat merokok
Perokok aktif
Perokok pasif
Bekas perokok
b) Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian
jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam tahun :
Ringan : 0-200
Sedang : 200-600
Berat : >600
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
3. Hipereaktiviti bronkus
4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
5. Defisiensi antitripsin α-1, umumnya jarang terdapat di Indonesia
(PDPI, 2003)
2.3 Mekanisme Patogenesis PPOK
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru bersifat
progresif lambat disertai kondisi yang ditandai oleh aliran udara yang terbatas dan
sebagian besar bersifat ireversibel (Celli et al, 2004). Merokok adalah faktor
etiologi utama dalam kondisi ini, jauh lebih tinggi daripada salah satu faktor risiko
lain. Karena itu, patogenesis PPOK sangat terkait dengan efek dari asap rokok.
Terdapat hubungan antara berat-ringannya konsumsi rokok pada seorang individu
dan keterbatasan aliran udara pada PPOK namun, respon tubuh pada tiap-tiap
individu masih bervariasi.
5
Walaupun karakteristik utama PPOK adalah hambatan aliran udara namun
gambaran klinis pasien PPOK tidak selalu berkorelasi baik dengan besarnya
obstruksi di saluran napas sehingga semakin mendukung pemahaman bahwa
PPOK merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik yang juga mempengaruhi
sistem organ lain dalam tubuh. Hal tersebut disebabkan faktor risiko utama PPOK
yaitu merokok tidak hanya menimbulkan respons inflamasi paru namun juga
respons inflamasi sistemik selular dan humoral, menimbulkan stres oksidatif,
perubahan vasomotor dan fungsi endotel,serta peningkatan beberapa faktor pro-
koagulan darah. Bukti terjadinya inflamasi pada PPOK adalah peningkatan kadar
sitokin, kemokin, protein fase akut, serta sel-sel inflamasi dalam darah.
6
A. Subtipe PPOK
1. Bronkitis kronis
Bronkitis kronis didefinisikan sebagai peradangan pada bronkus yang
ditandai dengan batuk dan produksi sputum yang kronis. Penyakit ini
merupakan hasil dari respon imun tubuh terhadap partikel beracun
yang dihirup dalam gas dalam asap rokok. Pada bronkitis kronis
terdapat peradangan pada sel epitel saluran napas pada bronkus dan
kelenjar lendir penghasil (Hogg et al, 2004). Respon inflamasi pada
saluran nafas juga dikaitkan dengan hipersekresi mukus, penurunan
respon mucociliar cell, dan keterbatasan aliran udara. Kaitan antara
hipersekresi mukus dan keterbatasan aliran udara pada PPOK masih
belum pasti. Tampaknya hal tersebut memberikan sedikit kontribusi
pada tahap awal patogenesis PPOK. Namun, hipersekresi lendir kronis
dapat berperan pada tahap akhir dari penyakit, karena bisa terjadi
peningkatan risiko untuk terjadi eksaserbasi. Hipersekresi lendir
kronis dapat menjadi fokus acuan dari respon inflamasi dalam kelenjar
submukosa (2). Sel-sel inflamasi melepaskan protease serin yang
merangsang hipersekresi lendir (5). Oksidan yang berasal dari rokok
asap dan respon tubuh berupa produksi sel leukosit juga dapat terlibat
dalam hiperproduksi musin oleh induksi MUC5AC gen (Shao et al,
2004).
2. Emfisema
Emfisema didefinisikan sebagai pembesaran rongga udara distal, di
luar bronkiolus terminal, yang disebabkan oleh kerusakan dinding
saluran nafas.
8
Kerusakan paru pada emfisema mengurangi aliran udara pada
ekspirasi maksimal dengan mengurangi kekuatan elastisitas yang
mendorong udara keluar dari paru-paru. Centrilobular atau
centriacinar merupakan bentuk emfisema yang terjadi karena
pelebaran bronkiolus dan merupakan jenis emfisema yang paling
berhubungan erat dengan merokok. Panlobular atau panacinar
merupakan bentuk emfisema, yang biasanya berhubungan dengan
defisiensi α1-antitripsin (α1-AT) yang menyebabkan kehancuran
sebagian besar sel acinus (Kim et al, 1991). Terdapat hubungan antara
tingkat keparahan emfisema dan lamanya seorang individu merokok.
9
Sekitar 40 % perokok berat menunjukkan kerusakan paru-paru yang
mengarah pada emphysema, namun emfisema juga dapat ditemukan
pada beberapa individu yang memiliki fungsi paru-paru normal
(Hogg, 2004) .
3. Small-airways Disease
Penelitian telah menunjukkan terdapat kelainan pada saluran udara
kecil (bronkiolus) pada perokok dengan dan tanpa PPOK (10). Ada
juga hubungan antara keparahan PPOK dan tingkat oklusi lumen jalan
napas oleh eksudat lendir dari proses inflamasi. Peradangan dan
fibrosis peribronchial berperan pada obstruksi jalan napas tetap pada
saluran udara kecil pada PPOK, dan proses inflamasi berkelanjutan
juga berperan dalam mengakibatkan kehancuran alveolar pada dinding
luar saluran udara kecil. (MacNee, 2005)
B. Proses Inflamasi Paru Pada PPOK
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi
karena perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi,
fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos yang merupakan
penyebab utama obstruksi jalan napas.
10
Ada beberapa karakteristik inflamasi yang terjadi pada pasien
PPOK, yakni : peningkatan jumlah neutrofil (didalam lumen saluran nafas),
makrofag (lumen saluran nafas, dinding saluran nafas, dan parenkim),
limfosit CD 8+ (dinding saluran nafas dan parenkim) yang mana hal ini
dapat dibedakan dengan inflamasi yang terjadi pada penderita asma (Corwin
EJ, 2001).
Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan sel-sel silia
mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan
mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran nafas.
Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab
infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang
menyebabkan edema dan pembengkakan jaringan. Ventilasi, terutama
ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang
memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya
peradangan.(Antonio et all, 2007)
11
Penelitian paru atau biopsi bronchus dan induksi sputum menun-
jukkan bukti inflamasi paru pada semua perokok. Hal ini menunjukkan
bahwa terdapat peningkatan atau respon inflamasi abnormal saat
menghisap partikel atau udara, selain respon inflamasi protektif normal
pada paru yang merupakan gambaran khas PPOK dan berpotensi menye-
babkan kerusakan paru.
Kedua respon imun bawaan dan inflamasi yang di dapat terlibat
dalam inflamasi paru pada perokok dan pasien dengan PPOK. Penelitian
dimulai dengan mengelompokkan inflamasi paru pada PPOK berdasarkan
tipe, lokasi dan derajat dan hubungan keparahan penyakit. Penelitian ter-
hadap spesimen biopsi bronkhus dari pasien dengan PPOK ringan sampai
sedang menunjukkan peningkatan infiltrasi sel inflamasi pada saluran
nafas sentral bila di bandingkan dengan yang bukan perokok atau pada
perokok yang tidak menunjukkan penyakit.
Pada mukosa bronkus pasien dengan PPOK, limfosit T banyak di-
jumpai, terutama sel CD8+ dan makrofag (sel CD68+; tabel 1) diduga pen-
ingkatan limfosit T berbeda antara perokok dengan dan tanpa PPOK dan
12
terdapat hubungan antara jumlah sel T, jumlah kerusakan alveolus dan de-
rajat keparahan hambatan jalan nafas.
Perokok dengan fungsi paru normal juga menunjukkan, pen-
ingkatan jumlah sel CD 8 bila dibandingkan dengan yang bukan perokok.
Terdapat penurunan infiltrasi sel limfosit T pada spesimen biopsi bronkus
dari pasien dengan PPOK berat. Terdapat peningkatan sel CD4 pada pasien
dengan PPOK sebagai akibat perkembangan penyakit. Hal ini menunjukkan
stimulasi imunitas kronik. Hal ini mungkin karena kolonisasi bakteri dan
virus patogen pada saluran nafas bawah pada pasien dengan PPOK yang
menyebabkan timbulnya respon inflamasi.
Penelitian menunjukkan peningkatan limfosit B dan pada jaringan
limfoid bronkial pada saluran nafas kecil sebagai akibat perkembangan
penyakit. Bisa jadi bahwa asap rokok menyebabkan kerusakan sel-sel saluran
nafas, menciptakan autoantigen baru yang menyebabkan respon imun ter-
hadap inflamasi. Peranan sel T dalam patogenesis PPOK tidak begitu di-
mengerti. Sel-sel CD8 berpotensi melepaskan tumor nekrosis faktor alfa, per-
forin dan granzim, yang menyebabkan aktifasi jalur apoptosis ligan fas-fas.
Suatu hubungan ditunjukkan antara sel-sel CD8 dan apoptosis pada sel epitel
alveolus pada pasien emfisema.
Meningkatnya jumlah netrofil yang teraktifasi ditemukan pada spu-
tum pasien dengan PPOK.
Peningkatan jumlah netrofil yang kurang signifikan pada parenkim
paru mungkin berdasarkan fakta bahwa sel-sel ini melewati saluran nafas
13
nafas dan parenkim paru. Netrofil berpotensi mensekresikan proteinase
serum, mencakup elastase netrofil, katepsin G dan proteinase sebaik matriks
metaloproteinase-8 (MMP-8) dan MMP-9. protease ini menyebabkan de-
struksi alveolus dan juga berpotensi merangsang sekresi mukus. Peranan
bahwa netrofil terlibat dalam patogenesis PPOK tidak terlalu jelas. Jumlah
netrofil pada spesimen biopsi bronkus dan induksi sputum menunjukkan
keparahan penyakit dan derajat penurunan fungsi paru.
Merokok diketahui dapat meningkatkan jumlah leukosit netrofil
dalam sirkulasi dan menyebabkan akumulasi netrofil pada kapiler paru. Asap
rokok juga memberikan efek langsung perangsangan produksi granulosit pada
sum-sum tulang yang diperantarai oleh faktor koloni granulosit makrofag dan fak-
tor stimulasi koloni granulosit yang dilepaskan oleh makrofag. Hal ini mungkin
karena neutrofil diaktifasi dalam mikrosirkulasi paru untuk melepaskan spesies
oksidan dan protease yang menyebabkan efek langsung kerusakan. Saat teraku-
mulasi, neutrofil menempel pada sel endotel, dan molekul adhesi E-selektin
meningkat pada sel epitel saluran nafas pasien dengan PPOK. Neutrofil kemudian
bermigrasi ke saluran nafas dibawah kontrol faktor kemotaktik seperti leukotrien
B4, IL8 dan kemokin CXC yang berhubungan dengan onkogen alfa untuk pertum-
14
buhan dan netrofil yang diperoleh dari sel epitel atractan 78. faktor kemotaktik ini
meningkat pada saluran nafas pasien dengan PPOK.
Terdapat peningkatan 5-10 kali lipat jumlah makrofag pada saluran
nafas parenkim paru dan cairan bilasan bronko alveolus pada pasien dengan
PPOK. Jumlah makrofag pada saluran nafas berhubungan dengan beratnya PPOK.
Asap rokok mengaktifasi makrofag untuk melepaskan mediator inflamasi seperti
TNF alfa, IL8 dan kemokin CXC lain, monosit kemotaktik peptida 1, leukotrin
B4, dan oksigen reaktif. Makrofag juga mensekresi protease seperti
MMP2.MMP9 dan MMP12; katepsin K, L dan S; dan netrofil elastase dari neu-
trofil. Bila dibandingkan dengan makrofag pada perokok normal, pasien-pasien
dengan PPOK makrofag lebih teraktifasi, mensekresi lebih banyak protein infla-
masi dan mengalami aktifitas elastolitik yang lebih besar, yang diakibatkan karena
keterpaparan terhadap asap rokok. Peningkatan jumlah makrofag pada paru pasien
PPOK dan pada paru perokok merupakan akibat dari meningkatnya aktifitas
monosit dari sirkulasi sebagai akibat jawaban atas kemokin kemotaktik seperti
monosit kemotaktikpeptida 1, yang meningkat pada sputum dan BALF pada
15
pasien dengan PPOK. Kemokin CXC juga bertindak sebagai pencetus kemotaktik
terhadap monosit.
Asap rokok dapat mengganggu respon imunitas bawaan dan yang didapat
pada epitel saluran nafas dan meningkatkan respon terhadap infeksi. Banyak me-
diator inflamasi yang dijumpai pada PPOK yang dikontrol oleh faktor transkripsi
faktor nuklear (NF)-KB, yang meningkatkan makrofag alveolus pada pasien
PPOK dan pada sel-sel saluran nafas pada pasien dengan PPOK ringan sampai
sedang bila dibandingkan dengan yang bukan perokok sebagai kontrol. Pen-
ingkatan NF-KB pada sel-sel paru pada pasien dengan PPOK merupakan kunci
mekanisme molekuler terlibat proses inflamasi yang sedang berlangsung dalam
saluran nafas. Pada umumnya, dengan meningkatnya keparahan penyakit PPOK
juga dijumpai adanya peningkatan respon imunitas terhadap inflamasi. Bila
dibandingkan dengan penyakit PPOK derajat ringan atau sedang, ada suatu pen-
ingkatan ekspresi protein inflamasi seperti protein inflamasi makrofag 1α, suatu
kemokin yang terlibat dalam aktivasi sel mononuklear dan granulosit. Juga di-
jumpai peningkatan jumlah neutrofil dan makrofag pada penyakit PPOK berat dan
penurunan sel limfosit T (Sel CD3+).
Respon inflamasi pada saluran nafas perifer berperan dalam proses fibrosis
yang menunjukkan saluran nafas kecil pada pasien dengan PPOK sedang/berat.
perokok dengan fungsi paru normal menunjukkan peningkatan jumlah makrofag
dan limfosit T pada parenkim paru bila dibandingkan dengan kelompok yang
bukan perokok sebagai kontrol, tanpa perubahan jumlah sel CD4+ dan CD+. Pada
pasien dengan PPOK ringan sampai sedang, dijumpai peningkatan jumlah sel
CD8+ pada septum alveolus bila dibandingkan dengan yang bukan perokok seba-
gai kontrol, dan tidak ada perubahan jumlah neutrofil, makrofag atau sel CD4+.
C. Protease dan Antiprotease
Ketidakseimbangan protease-antiprotease, menyebabkan kerusakan
komponen jaringan ikat, terutama elastin, yang merupakan mekanisme kri-
tis dalam patogenesis emfisema pada perokok. Konsep ini berkembang
dari banyak penelitian tentang emfisema onset dini pada pasien dengan de-
16
fisiensi α1-AT. Elastin merupakan target yang penting untuk enzim-enzim
proteolitik, dan kerusakannya menyebabkan hilangnya elastisitas parenkim
paru.
Elastin merupakan komponen utama serabut elastik dan disekre-
sikan dari beberapa tipe sel sebagai suatu prekrusor, tropoelastin. Molekul
tropoelastin menjadi sejajar pada ruang ekstrasel pada mikrofibril. Karena
kerja dari Lysil Oksidase, Residu lysin pada tropoelastin berubah, yang
menyebabkan monomer tropoelastin bersilangan dan membesar, menjadi
polimer elastin yang tidak larut. Karena bersilangan, atau disebut juga den-
gan Desmossin, merupakan elastin khusus, yang digunakan sebagai
marker pada degradasi elastin. Desmossin dan Peptida elastin meningkat
pada perokok dan pasien PPOK.
Bersamaan dengan destruksi elastin, inaktivasi dari antiprotease
merupakan pusat dari hipotesis ketidakseimbangan protease-antiprotease.
Penelitian awal menunjukkan bahwa fungsi α1-AT berkurang sekitar 40%
pada perokok, bila dibandingkan dengan yang bukan perokok. “Defisiensi
fungsional α1-AT” diyakini akibat dari inaktivasi α1-AT oleh oksidan
pada asap rokok. Bagaimanapun, kebanyakan α1-AT pada perokok masih
aktif dan masih mampu memberi perlindungan melawan protease yang
meningkat. Dengan demikian, penelitian yang menilai fungsi α1-AT pada
perokok akut atau kronik tidaklah pasti. Jelas bahwa hipotesis yang meny-
atakan bahwa penyebab utama adalah ketidakseimbangan antara pen-
ingkatan elastase pada paru dan ”defisiensi fungsional” α1-AT, karena in-
aktivasinya, sebagai suatu penyederhanaan.
Sebagaimana didiskusikan di atas, terdapat bukti yang mendasar
bahwa jumlah neutrofil dan makrofag meningkat pada saluran nafas per-
okok lama. Meningkatnya elastase pada perokok karena degranulasi yang
terjadi dan melepaskan elastase. Terdapat beberapa bukti yang mendukung
teori ini, karena neutrofil yang diisolasi dari pasien emfisema menun-
jukkan elastase yang lebih besar yang menginduksi degradasi fibronektin
17
in vitro daripada yang dilakukan oleh subjek kontrol yang sesuai menurut
umur dan riwayat merokok.
D. Pengaruh Oksidan dan Antioksidan pada Perokok dengan PPOK
Asap rokok terdiri dari campuran lebih dari 4.700 bahan kimia,
termasuk radikal bebas konsentrasi tinggi dan oksidan lainnya. Sumber-
sumber oksidan reaktif dihasilkan melalui proses seluler normal pada
paru-paru, seperti yang dihasilkan oleh respirasi sel normal atau polutan
udara yang terhirup. Terdapat keseimbangan antara toksisitas oksidan dan
efek protektif intra dan ekstraseluler antioksidan sistem pertahanan yang
sangat penting bagi pemeliharaan fungsi seluler normal paru. Pergeseran
keseimbangan oksidan / antioksidan bisa memicu terjadinya stres
oksidatif.
Rokok mengandung radikal bebas dalam asap dan dalam rokok.
Penelitian In vitro telah menunjukkan bahwa leukosit alveolar dari
perokok spontan meningkatkan pelepaskan jumlah oksidan, seperti O2 dan
H2O2 , dibandingkan dengan mereka yang bukan perokok. Komponen
matriks paru (elastin dan kolagen) dapat rusak langsung oleh oksidan
dalam asap rokok ( 62 ). Selain itu, asap rokok dapat mengganggu sintesis
dan perbaikan elastin (63). Semua jaringan rentan terhadap kerusakan
oksidan. Cedera epitel dimanifestasikan sebagai peningkatan permeabilitas
epitel dan mungkin merupakan peristiwa awal yang penting setelah
terpapar rokok asap (64). Dengan demikian, asap rokok memiliki efek
merugikan pada fungsi sel epitel alveolar.
2.4 Klasifikasi PPOK
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) 2007, dibagi atas 4 derajat:
a) Derajat I: PPOK ringan
Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum).
Keterbatasan aliran udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80%
18
Prediksi). Pada derajat ini, orang tersebut mungkin tidak menyadari
bahwa fungsi parunya abnormal.
b) Derajat II: PPOK sedang
Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP <
70%; 50% < VEP1 < 80%), disertai dengan adanya pemendekan
dalam bernafas. Dalam tingkat ini pasien biasanya mulai mencari
pengobatan oleh karena sesak nafas yang dialaminya.
c) Derajat III: PPOK berat
Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang
semakin memburuk (VEP1 / KVP < 70%; 30% VEP1 < 50%
prediksi). Terjadi sesak nafas yang semakin memberat, penurunan
kapasitas latihan dan eksaserbasi yang berulang yang berdampak
pada kualitas hidup pasien.
d) Derajat IV: PPOK sangat berat
Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP <
70%; VEP1 < 30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah
dengan adanya gagal nafas kronik dan gagal jantung kanan.
Terdapat ketidak sesuaian antara nilai VEP1 dan gejala penderita, oleh
sebab itu perlu diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin
tidak bisa diprediksi dengan VEP1. (Antonio et all, 2007)
2.5 Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan
tanda inflasi paru.
Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
E. Gambaran klinis
a. Anamnesis
19
i. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
ii. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
iii. Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan
lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan
asap rokok dan polusi udara
iv. Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
v. Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan Fisik
i. PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
1. Inspeksi
Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal
sebanding)
Penggunaan otot bantu napas
Hipertropi otot bantu napas
Pelebaran sela iga
Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis leher dan edema tungkai
Penampilan pink puffer atau blue bloater
2. Palpasi
a. Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
3. Perkusi
a. Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil,
letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
4. Auskultasi
a. Suara napas vesikuler normal, atau melemah
b. Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa ekspirasi memanjang bunyi jantung terdengar
jauh
20
Ciri khas yang mungkin ditemui pada penderita PPOK :
1. Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed – lips breathing
2. Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat
edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
3. Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan
ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh
untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.
Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin
ii. Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP)
a. Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau
VEP1/KVP ( %).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75 %
VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai
sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi
dan sore, tidak lebih dari 20%
iii. Uji bronkodilator
21
1. Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter.
2. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 -
20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE,
perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
iv. Darah rutin
1. Hb, Ht, leukosit
v. Radiologi
1. Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain
2. Pada emfisema terlihat gambaran :
3. Hiperinflasi
4. Hiperlusen
5. Ruang retrosternal melebar
6. Diafragma mendatar
7. Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance)
vi. Pada bronkitis kronik :
1. Normal
2. Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
a. Pemeriksaan khusus
vii. Faal paru
1. Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF),
Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
2. DLCO menurun pada emfisema
3. Raw meningkat pada bronkitis kronik
4. Sgaw meningkat
22
5. Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
viii. Uji latih kardiopulmoner
1. Sepeda statis (ergocycle)
2. Jentera (treadmill)
3. Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
ix. Uji provokasi bronkus
1. Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil
PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan
x. Uji coba kortikosteroid
1. Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama
2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan
minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru
setelah pemberian kortikosteroid
xi. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
1. Gagal napas kronik stabil
2. Gagal napas akut pada gagal napas kronik
xii. Radiologi
1. CT - Scan resolusi tinggi
2. Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema
atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
3. Scan ventilasi perfusi
4. Mengetahui fungsi respirasi paru
xiii. Elektrokardiografi
23
1. Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal
dan hipertrofi ventrikel kanan.
2. Ekokardiografi
3. Menilai funfsi jantung kanan
xiv. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi
diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik
yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama
eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
xv. Kadar alfa-1 antitripsin
1. Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema
pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di
Indonesia.
2.6 Diagnosis Banding
xvi. Asma
xvii. SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)
1. Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada
penderita pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.
xviii. Pneumotoraks
xix. Gagal jantung kronik
xx. Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis,
destroyed lung.
xxi. Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering
ditemukan di Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan
karena terapi dan prognosisnya berbeda.
xxii. Adapun karakteristik dari Asma, PPOK, dan SOPT pada tabel 2
24
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan umum PPOK
Tujuan penatalaksanaan :
- Mengurangi gejala
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualiti hidup penderita
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
1. Edukasi
2. Obat – obatan
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi
PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan
nonreversibel, sehingga penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1)
penatalaksanaan pada keadaan stabil dan (2) penatalaksanaan pada
eksaserbasi akut.
26