Peranan TENS Pada Tatalaksana Nyeri Kronik

download Peranan TENS Pada Tatalaksana Nyeri Kronik

of 40

description

Referat

Transcript of Peranan TENS Pada Tatalaksana Nyeri Kronik

BAB I

BAB IPENDAHULUAN

Nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau penggambaran dalam bentuk kerusakan tersebut. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengalaman nyeri melibatkan dimensi sensori, emosional dan juga kognitif. Nyeri selalu bersifat subyektif, tidak ada dua individu yang mengalami nyeri yang sama menghasilkan respon atau perasaan yang identik pada individu tersebut. Berdasarkan perjalanan waktunya, nyeri dapat diklasifikasikan sebagai nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut biasanya awitannya tiba-tiba sedangkan nyeri kronik merupakan nyeri konstan atau intermitten yang menetap sepanjang suatu periode waktu tertentu.Pasien dengan nyeri kronik sering mengalami perubahan kemampuan adaptasi fisiologi dan nyeri yang menetap tersebut menjadi penyakit yang tersendiri. Pasien mengalami dekondisioning karena aktivitas fisik yang menurun, frustasi, depresi, perubahan perilaku, penurunan produktifitas, sikap, dan gaya hidup yang justru memperberat keluhan nyeri kronik.Salah satu terapi yang digunakan dalam rehabilitasi medik untuk mengelola nyeri kronik adalah dengan menggunakan modalitas fisik. Modalitas fisik adalah agen-agen fisik yang digunakan untuk menghasilkan respon terapi pada jaringan. Namun, pada referat ini yang akan dibahas adalah penggunaan TENS pada tatalaksana nyeri kronik di mana TENS merupakan teknik terapi yang tidak invasif dengan efek samping yang sangat minimal jika dibandingkan dengan terapi medikamentosa.

BAB IINYERI KRONIK

2.1. DEFINISIDefinisi nyeri yang paling luas diterima adalah yang diambil dari International Association for the Study of Pain (IASP), yaitu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan sehubungan dengan kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Nyeri kronik adalah nyeri yang menetap lebih dari 3 bulan atau nyeri yang berlangsung lebih lama dari proses penyembuhannya yang normal. Ada yang berpendapat lama nyeri kronik adalah berlangsung lebih dari 6 bulan. Kepustakaan lain menyebutkan bahwa nyeri didefinisikan sebagai nyeri kronik jika:1. berlangsung melampaui waktu yang diperlukan untuk penyembuhan nyeri akut atau penyembuhan jaringan 2. jika berhubungan dengan proses patologis kronis3. nyeri rekuren dalam interval bulan atau tahunTabel 2.1 Waktu yang diperlukan untuk penyembuhan normalJenis OrganWaktu Untuk Sembuh

Kulit3 - 7 hari

Tulang6 minggu

Tendon dan ligamen3 bulan

2.2. KLASIFIKASI NYERI KRONIKBerdasarkan mekanisme patofisiologinya nyeri kronik terbagi menjadi:1. Nyeri Nosiseptik Nyeri nosiseptik timbul sebagai akibat dari aktivasi nosiseptor perifer yang berlokasi pada jaringan yang mengalami kerusakan dan ditransmisikan ke saraf pusat melalui jalur sensori neural yang berfungsi secara normal. Nyeri nosiseptik umumnya berkaitan dengan derajat kerusakan jaringan somatik atau visceral.2. Nyeri Neuropatik Nyeri Neuropatik dihasilkan dari kerusakan atau perubahan strukur dan fungsi jaringan saraf. Nyeri neuropatik dapat timbul berkaitan dengan proses somatosensorik yang menyimpang pada saraf tepi atau sistem saraf pusat.3. Nyeri PsikogenikNyeri psikogenik sering dirujuk sebagai gangguan somatisasi. Penyebabnya didasari oleh adanya gangguan emosional atau stresor yang sering tidak disadari pasien. Nyeri psikogenik timbul walaupun tidak ditemukan organ sumber nyeri yang dapat diidentifikasi.

2.3. EPIDEMIOLOGIDiperkirakan 10-20% dari populasi dunia menderita nyeri kronik. Penelitian di Amerika Serikat dan Inggris menunjukkan bahwa 10-11% populasi mempunyai gejala nyeri kronik di seluruh bagian tubuh yang menetap, sedangkan 20-25% mengalami nyeri kronik regional dengan rasio perempuan 1,5 kali lebih banyak daripada laki-laki.

2.4. FISIOLOGI NYERIPada keadaan normal nyeri bertindak sebagai mekanisme peringatan yang mengindikasikan adanya kerusakan atau potensi kerusakan di dalam tubuh manusia. Namun pada nyeri kronik terjadi perubahan mekanisme sehingga tidak selalu mencerminkan proses patologi yang sebenarnya. Nyeri timbul sebagai respon terhadap stimulasi struktur nosiseptif. Stimulus dijalarkan melalui sepanjang saraf tepi ke sistem saraf pusat. Sensasi nyeri dan respon individu terhadap nyeri dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya mekanisme fisiologi reseptor nyeri, struktur anatomi sistem saraf nyeri, keadaan psikologi, emosional, perilaku, dan motivasi dari masing-masing individu. Variasi dalam beberapa faktor tersebut dapat memberikan perbedaan persepsi, derajat, tipe, lokasi, dan durasi nyeri.Interaksi yang kompleks antara stimulus dari kerusakan jaringan dan pengalaman subyektif dari nyeri kronis dapat digambarkan dengan proses umum yang dikenal sebagai transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.2.4.1. ReseptorUjung saraf aferen di seluruh jaringan tubuh dinamakan reseptor. Kepadatan reseptor di jaringan tubuh berbeda-beda. Untuk reseptor nyeri misalnya, jaringan yang sangat peka nyeri seperti kornea dan pulpa gigi menunjukkan kepadatan reseptor nyeri yang sangat tinggi dibandingkan dengan jaringan yang kurang peka nyeri seperti otot dan organ-organ visceral. Terdapat beberapa jenis reseptor, ada yang peka terhadap peregangan, temperatur, zat kimia, akan tetapi ada pula yang peka terhadap berbagai stimulus dan tipe ini dinamakan reseptor polimodal. Reseptor polimodal paling banyak berperan dalam proses timbulnya nyeri. Distribusi reseptor ini sangat luas luas (kulit, otot dan visera) dan mudah dimodulasi oleh karena sangat sensitif terhadap mediator kimiawi. Reseptor polimodal lebih sering disebut sebagai nosiseptor. Sensasi nyeri dimulai dari peristiwa seperti terpotong, terbakar, inflamasi yang merangsang ujung serabut saraf. Dalam keadaan normal, reseptor tersebut tidak aktif (sleeping nociceptors). Keadaan patologik mengakibatkan nosiseptor menjadi sensitif bahkan hipersensitif. Berkas saraf yang terlibat dalam peristiwa ini terdiri dari serabut C yang tidak bermyelin dan A-delta, serta neuron preganglion autonom.Selain sebagai penerima impuls, nosiseptor dapat pula berfungsi sebagai pelepas neuropeptida seperti substansia P dan CGRP (Calcitonin Gene Related Peptide) paska trauma atau inflamasi. Pelepasan substansi P dan CGRP akan menyebabkan terjadinya inflamasi neurogenik. Fungsinya untuk mencegah atau mengurangi efek merugikan dari trauma atau lesi dan mempercepat penyembuhan. Akan tetapi dalam beberapa keadaan patologik, fungsi tersebut justru berbalik menyebabkan nyeri terutama pada nyeri kronik.

2.4.2. TransduksiTransduksi adalah peristiwa perubahan stimulus nyeri menjadi sinyal nyeri yang terjadi di reseptor nyeri. Stimuli yang datang di reseptor mengubah permeabilitas membran reseptor terhadap berbagai ion terutama Na+. Reseptor mengubah berbagai stimulasi menjadi impuls listrik yang mampu menimbulkan potensial aksi di akson untuk dijalarkan ke medula spinalis.

Gambar 2.1 Skema specificity theory dan pattern theoryDikenal dua macam teori dalam proses transduksi ini, yaitu specificity theory dan pattern theory. Menurut specificity theory, sensasi nyeri tergantung ujung saraf yang terangsang dan reseptor tersebut berbeda-beda untuk setiap jenis sensasi. Sedangkan pattern theory berpendapat bahwa sensasi nyeri timbul karena peningkatan frekuensi dan intensitas rangsang yang dialami oleh reseptor nyeri.2.4.3. TransmisiLintasan PeriferTransmisi merupakan proses penghantaran sinyal nyeri dari reseptor sistem saraf tepi menuju medula spinalis kemudian melalui jalur tertentu akhirnya sampai ke otak. Pada saraf tepi, sinyal nyeri dihantarkan oleh serabut saraf C, A-delta, dan pada keadaan tertentu serabut A-beta dapat ikut terlibat.

Gambar 2.2 Transmisi sinyal nyeri pada sistem saraf perifer dan pusatSerabut saraf C peka terhadap rangsang mekanikal, termal, dan kimiawi, yang nantinya akan menyebabkan rasa nyeri yang dirasakan tumpul, berdenyut, sakit-sakitan, terbakar, atau kesemutan. Sensasi nyeri yang ditransmisikan melalui serabut C mempunyai onset yang lambat setelah terjadinya stimulus, berlangsung lama, sulit ditoleransi secara emosional, dan cenderung bersifat difus (diffusely localize). Sensasi ini dapat disertai dengan respon autonom (berkeringat, berdebar-debar, mual, atau peningkatan tekanan darah).Tabel 2.2 Karakteristik aferen primer pada serabut penghantar nyeri

Serabut A-delta, yang mempunyai lapisan myelin menghantarkan nyeri lebih cepat dari serabut C. Serabut A-delta lebih sensitif terhadap rangsang mekanikal dengan intensitas tinggi, dan dapat juga menghantarkan rangsang panas, dingin, atau rangsang lainnya. Sensasi yang dihantarkan dirasakan seperti menikam, menusuk, dan tajam. Onset yang dihantarkan lebih cepat, durasinya lebih pendek, lokasi yang dirasakan jelas, dan tidak berhubungan dengan respon emosi. Sensasi nyeri yang dijalarkan serabut A-delta biasanya tidak dapat dihambat dengan obat golongan opiat.

Gambar 2.3 Karakteristik serabut aferen dari sistem sarafSerabut A-beta dapat terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri yang tidak normal. Serabut A-beta (wide dynamic-range neuron) bermyelin dan berdiameter besar, menghantarkan sinyal lebih cepat dari serabut A-delta dan C. Serabut A-beta dalam keadaan normal menghantarkan sinyal yang berhubungan dengan getaran, peregangan, rangsang mekanik dan tidak menghantarkan nyeri. Namun demikian, dalam keadaan nyeri neuropatik dan sensitisasi sentral terjadi perubahan sehingga stimulus yang normal (tidak berhubungan dengan nyeri) dapat menghasilkan sensasi nyeri. Terdapat tiga teori yang menjelaskan keterlibatan serabut A-beta terhadap nyeri. Teori pertama mengatakan bahwa perangsangan serabut A-beta mengaktifkan sel saraf di medula spinalis yang telah mengalami sensitisasi sentral. Teori kedua menjelaskan bahwa serabut A-beta mengalami sprouting ke dalam lapisan medula spinalis yang normalnya merupakan akhiran serabut C, sehingga akhirnya menstimulasi neuron yang salah. Teori ketiga mengatakan bahwa serabut A-beta yang berada di dekat neuron nosiseptif yang rusak ikut terpicu secara abnormal. Perubahan dalam fungsi neuron inilah yang menjadi kunci dalam nyeri yang berkepanjangan.Lintasan Pusat Serabut saraf A-delta maupun C bersinaps secara langsung maupun melalui interneuron di lapisan superfisial kornu posterior medula spinalis (substansia gelatinosa). Beberapa serabut A-delta bersinaps pada lapisan yang lebih dalam, dimana serabut A-beta berakhir. Interneuron dalam kornu posterior dikenal sebagai Transmission cells atau sel T. Sel T membuat sambungan lokal di medula spinalis, baik dengan neuron eferen sebagai bagian dari refleks spinal, maupun dengan neuron aferen yang berlanjut ke level yang lebih tinggi.Impuls nosiseptif yang masuk ke kornu dorsalis kemudian dilanjutkan ke otak oleh neuron proyeksi. Terdapat beberapa jalur utama informasi nosiseptif menuju otak yaitu: 1. Traktus spinotalamikus2. Traktus spinoretikular3. Traktus spinomesenfalik4. Traktus spinoservikalisDari semua traktus tersebut di atas yang terpenting dan terbanyak dipelajari adalah traktus spinotalamikus. Traktus ini dalam perjalanannya ke talamus mempercabangkan traktus paleospinotalamikus (medial) dan traktus neospinotalamikus (lateral). Traktus paleospinotalamikus terutama berasal dari serabut aferen C dan dirilei di nukleus intralaminaris talami, di sini impuls didistribusikan ke korteks bilateral yang luas dan tidak mempunyai organisasi somatotopik. Oleh karena itu perangsangan nukleus intralaminaris talami akan menimbulkan rasa nyeri yang datangnya dari kedua bagian tubuh (kanan dan kiri) dan disertai perasaan takut dan sedih yang merupakan reaksi emosi terhadap nyeri. Impuls nyeri yang dibawa oleh traktus neospinotalamikus menuju area somatosensori primer maupun sekunder di korteks serebri yaitu area yang menerima input dari somaestesi spesifik. 2.4.4. Modulasi dan Kontrol NyeriBeberapa mekanisme yang menerangkan mengenai modulasi dan kontrol nyeri di antaranya adalah teori gate control, opioid endogen, inhibisi segmental di kornu posterior, dan mekanisme kontrol sentral psikologikal. Berbagai intervensi fisik, kimia, dan psikologikal dikembangkan berdasarkan pengertian mengenai modulasi nyeri. Sebagai contoh TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation) dikembangkan berdasarkan teori gate control.

Gambar 2.4 Skema teori gate controlTeori Gate ControlTeori modulasi nyeri ini pertama kali diperkenalkan oleh Melzack dan Wall pada tahun 1965. Menurut teori ini derajat nyeri ditentukan oleh keseimbangan rangsangan dan penghambatan input terhadap sel T di medula spinalis. Sel T menerima input rangsangan dari aferen nosiseptor C dan A-delta dan input penghambatan dari aferen sensori non nosiseptor A-beta. Peningkatan aktivitas aferen sensori non nosiseptor menyebabkan inhibisi presinaps pada sel T dan kemudian menutup secara efektif jembatan spinal ke kortek serebral dan menurunkan sensasi nyeri.Beberapa modalitas dan intervensi telah digunakan untuk mengontrol nyeri dengan cara mengaktivasi saraf sensori non nosiseptif yang kemudian menghambat aktivasi sel penghantar nyeri dan menutup jembatan untuk mentransmisikan nyeri. Sebagai contoh elektrostimulasi, traksi, kompresi, atau pijat yang kesemuanya dapat mengaktifkan saraf sensori non nosiseptif yang berdiameter besar, memiliki ambang yang rendah dan kemudian menghambat transmisi nyeri dengan menutup jembatan nyeri pada tingkat medula spinalis.

Gambar 2.5 Modulasi nyeri pada sistem saraf pusatSistem Opioid EndogenPersepsi nyeri juga dimodulasi oleh opioid endogen. Peptida ini dikenal dengan opio peptin (endorfin). Opio peptin mengontrol nyeri dengan cara berikatan dengan reseptor opiad pada sistem saraf. Opio peptin dan reseptor opiat ditemukan dalam berbagai ujung saraf perifer dan dalam neuron di beberapa regio dari sistem saraf. Opio peptin dan reseptor opiad terindentifikasi di beberapa tempat pada otak termasuk PAGM (Peri Aqueductal Grey Matter) dan nukleus raphe batang otak di mana struktur tersebut memicu analgesia ketika terstimulasi, dan di beberapa area pada sistem limbik. Opio peptin juga ditemukan pada konsentrasi yang tinggi dalam lapisan superfisial dari kornu posterior medula spinalis dan dalam sistem saraf enterik, dan juga ujung serabut saraf C.Opioid dan opio peptin selalu memiliki aksi inhibisi. Mereka menyebabkan inhibisi presinap dengan mensupresi influks kalsium ke dalam sel dan menyebabkan inhibisi post sinap dengan mengaktivasi pengeluaran kalium. Sebagai tambahan, opio peptin secara tidak langsung menginhibisi transmisi nyeri dengan mempengaruhi pelepasan GABA di dalam PAGM dan nukleus raphe.Opiad bekerja mengaktifkan neuron proyeksi descenden melalui mekanisme inhibisi. Opiad juga menunjukkan efek analgesiknya, langsung pada medula spinalis oleh karena dapat menghambat aktivitas neuron di kornu dorsalis. Mekanisme Kontrol Sentral dan PsikologikalTerdapat dua mekanisme kontrol sentral utama, yaitu periaqueductal grey matter (PAG) di otak tengah dan rostral ventromedial system (RVM). Lintasan PAG dan RVM menerima input dari sistem limbik, hal ini menjelaskan bagaimana faktor emosi dapat mempengaruhi persepsi nyeri.Terdapat jalur descenden yang membuat koneksi inhibisi pada kornu posterior medula spinalis. Neurotransmiter utama pada jalur ini adalah serotonin (5-HT) dan norepinephrine (noradrenalin). Hal ini menerangkan cara kerja dari antidepresan dan tramadol dalam menghambat nyeri.ES pada area yang luas menghasilkan opio peptin, seperti PAGM dan nukleus raphe, menginhibisi dengan kuat transmisi nyeri. Stimulasi pada area ini dapat mengurangi nyeri yang persisten pada manusia dan meningkatkan jumlah beta endorfin dalam CSF. Konsentrasi reseptor opiad dan opio peptin dalam sistem limbik yang berhubungan dalam fenomena emosional juga membuktikan dan menerangkan pengaruh respon emosional terhadap nyeri. Pelepasan opio peptin memainkan peran yang penting dalam modulasi dan kontrol nyeri selama terjadi stres emosional. Jika level opio peptin di otak dan CSF meningkat, maka ambang rangsang nyeri juga akan ikut meningkat.

2.4.5 PersepsiNyeri merupakan suatu pengalaman yang kompleks, melibatkan sensori dan afektif. Korteks area somatosensori primer dan sekunder berkaitan dengan aspek sensori dan diskriminasi nosisepsi, sedangkan area limbik berkaitan dengan afektif motivasi. Area korteks cingulatum anterior memainkan peran dalam emosi dan aversive (penolakan) dalam respon terhadap nyeri. Pengaruh korteks inilah yang menjelaskan peran modulasi bahwa memori dan pembelajaran sangat berpengaruh dalam persepsi nyeri.

2.5. PATOFISIOLOGI NYERI KRONIKNyeri kronik dapat disebabkan oleh proses patologi di jaringan yang persisten (contoh pada kanker) atau dapat juga disebabkan oleh nyeri yang persisten walaupun telah tejadi perbaikan jaringan (yang awalnya cedera) dengan disertai hilangnya kapasitas fungsional yang berlebihan.Pada nyeri akut, nyeri berasal dari peningkatan aktivitas nosiseptor yang mencerminkan adanya kerusakan jaringan. Setelah kerusakan jaringan, mediator inflamasi seperti glutamat, substansi P, kalsitonin dilepaskan dan menyebabkan peningkatan sensitivitas di area jaringan yang rusak dan sekitarnya. Pada beberapa kasus, nosiseptor tetap dalam keadaan terpicu (meletup) dan menyebabkan hipersensitivitas dalam kornu posterior medula spinalis. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan sensitivitas reseptor yang kemudian menyebabkan peningkatan respon nyeri terhadap rangsang mekanikal, termal, atau kimia. Aktivitas nosiseptor yang berkepanjangan dapat menyebabkan perubahan pada medula spinalis dan pusat yang lebih tinggi di otak dan berdampak pada peningkatan sensitivitas neuron yang memodulasi nyeri. Perubahan-perubahan ini dapat memperkuat stimulus periferal yang masuk walaupun stimulus non nyeri tersebut tidak cukup kuat untuk menimbulkan nyeri.

Gambar 2.6 Perbedaan proses kimia pada reseptor antara nyeri akut dan kronikNyeri kronis menginduksi banyak faktor yang mempertahankan nyeri dan menghambat penyembuhan yaitu :1. Aktivasi menetap dari reseptor AMPA menyebabkan perubahan polaritas membran dengan pelepasan Mg2+ yang membuka kanal Ca2+ pada kompleks reseptor NMDA.2. Ca2+ akan mengaktivasi protein kinase C (PKC) yang dibutuhkan oleh Nitric Oxide Synthase (NOS) untuk memproduksi Nitric Oxide (NO).3. NO akan berdifusi ke membran dan merangsang guanil sintase untuk menutup kanal K+. Hal ini menyebabkan resistensi terhadap opiad karena endorfin dan enkefalin menghambat nyeri dengan membuka kanal K+.4. NO juga akan merangsang pelepasan substansi P.5. Substansi P adalah neurokinin yang bila berikatan dengan reseptor neurokinin-1 (NK-1) akan memicu ekspresi gen c-fos.6. Ekspresi gen c-fos menyebabkan remodeling saraf dan hipersensitisasi.

Gambar 2.7 Perbedaan antara perjalanan nyeri akut dan nyeri kronikSensitisasi sentral adalah respon berlebihan dari sel saraf nyeri di susunan saraf pusat terhadap input dari reseptor perifer. Medula spinalis bertugas sebagai penguat atau pengubah dari keadaan jaringan yang sebenarnya. Pada keadaan ini informasi yang diterima otak dari kornu posterior tidak akurat lagi dan tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya di jaringan. Lebih lanjut lagi, dapat terjadi perubahan penafsiran lokasi bagian tubuh oleh area sensorik primer otak yang menyebabkan penyimpangan kontrol motorik.Pasien dengan nyeri kronik sering mengalami perubahan kemampuan adaptasi fisiologi dan nyeri yang menetap tersebut menjadi penyakit yang tersendiri. Pasien mengalami dekondisioning karena aktivitas fisik yang menurun, frustasi, depresi, perubahan perilaku, penurunan produktifitas, sikap, dan gaya hidup yang justru memperberat keluhan nyeri kronik.

Gambar 2.8 Lingkaran setan nyeri kronikNyeri berpengaruh dan dipengaruhi oleh keadaan psikologi. Respon nyeri bersifat subyektif dan berbeda pada masing-masing individu karena hal tersebut dimodulasi oleh faktor somatik, sosial, dan psikologikal. Faktor kognitif dan emosi dapat memberi respon positif maupun negatif terhadap nyeri. Perlu kita ketahui bahwa selama pembelajaran mengenai pengalaman nyeri beberapa bagian otak teraktivasi secara simultan dan oleh karena itu tidak hanya terdapat satu pusat nyeri di otak. Nyeri kronik sering berhubungan dengan gangguan tidur dan penurunan fungsi. Dalam tahap ini nyeri menjadi penyebab dari disfungsi perilaku, penderitaan, dan disabilitas.2.6. PEMERIKSAAN DAN GAMBARAN KLINIS2.6.1. PemeriksaanPenilaian nyeri kronik meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penilaian komprehensif mengenai intensitas nyeri, faktor psikososial yang berhubungan dengan pengalaman nyeri dan faktor-faktor yang mempengaruhi tidur, aktivitas kehidupan sehari-hari, keadaan keluarga, dan pekerjaan. Keluhan subyektif mengenai derajat nyeri merupakan bagian yang penting sebagai penilaian awal dan untuk evaluasi pada kunjungan berikutnya. AnamnesisAnamnesis berfokus pada jangka waktu, kronologi, intensitas, lokasi nyeri, faktor yang memperberat atau memperingan, serta gejala penyerta nyeri. Status fungsional pasien harus ditetapkan. Reaksi terhadap intervensi diagnostik dan terapeutik harus diperhatikan, karena hal tersebut bisa menjadi perkiraan respon pengobatan mendatang.Riwayat terdahulu mengenai masalah iatrogenik karena prosedur yang tidak sesuai atau tidak perlu harus digali. Dicari riwayat penyalahgunaan zat kimia atau perilaku kecanduan karena hal ini merupakan indikator prognosis negatif. Riwayat sosial, ekonomi, dan kondisi psikologis perlu dicatat karena pasien sering berhadapan dengan masalah-masalah tersebut.Pemeriksaan FisikPemeriksaan fisik harus lengkap, berfokus pada sistem neurologi dan muskuloskeletal. Saraf kranialis harus dinilai. Sensasi protopatik (nyeri, suhu, sentuhan raba), sensasi proprioseptik (tekanan dalam, getaran, posisi) dan sensori kortikal (two point tactile discrimination, extinction phenomenon) harus didata. Pola anatomis nyeri dan gangguan sensorik sering memberikan petunjuk tingkat lesi atau dasar organik yang sesuai dengan keluhan. Contohnya hilangnya sensasi sentuhan ringan pada tangan dan lengan, tapi tetap mampu mengenali benda dan melakukan gerakan motorik halus (yang membutuhkan masukan sensorik yang utuh), memberikan perkiraan bahwa pasien berpura-pura sakit atau somatisasi yang berlebihan.

Tabel 2.3 Ringkasan anamnesis pada nyeri kronik

Karena pemeriksaan sistem motorik mungkin terbatas oleh karena nyeri, penilaian kekuatan, refleks, dan tonus otot harus dilakukan dengan cermat karena hal tersebut dapat memberi petunjuk diagnostik yang bernilai. Gangguan fungsi otonomik, seperti ketidakstabilan vasomotor, dapat dinilai dengan membandingkan suhu kulit, keringat, perubahan rambut dan kuku di anggota gerak. Ketidaknormalan ini mungkin merupakan tanda kerja simpatetik berlebihan yang sedang berlangsung, terutama bila terlokalisir pada daerah nyeri. Perubahan respon refleks mungkin salah satu tanda paling awal gangguan fungsi sistem saraf pusat (SSP), dan pemeriksaan refleks sering merupakan salah satu bagian pemeriksaan paling obyektif pada pasien nyeri. Teknik-teknik evaluasi standar ini perlu disertai dengan pemeriksaan fisik khusus (pemeriksaan provokasi) untuk melakukan penilaian yang lebih tepat. Selanjutnya, pemeriksaan penunjang dapat dilakukan sesuai dengan indikasi.

2.6.2. Gambaran KlinisThe American Medical Association mendefinisikan dan menjabarkan gambaran nyeri kronik sebagai berikut:1. DurasiMenurut literatur lama, istilah nyeri kronik dipakai untuk nyeri yang berlangsung lebih dari 6 bulan, namun beberapa pendapat terbaru menyatakan sindrom nyeri kronik dapat didiagnosis lebih awal, 2 sampai 4 minggu setelah onset nyeri.2. DramatisasiPasien dengan nyeri kronik memperlihatkan perilaku nyeri verbal dan nonverbal yang tidak lazim. Kata-kata yang digunakan untuk menggambarkan nyeri kronik penuh emosi, dibuat-buat, dan berlebihan. Pasien memperlihatkan postur dan perilaku maladaptatif, merintih, mengerang, terengah-engah atau meringis.3. Dilema diagnostikPasien cenderung memiliki riwayat telah dievaluasi oleh banyak dokter dan telah menjalani berbagai pemeriksaan penunjang, meskipun dengan hasil klinis yang samar-samar, inkonsisten, dan tidak akurat.4. Obat-obatanKetergantungan dan penyalahgunaan obat sering menyertai pasien nyeri kronik. Pasien mendapat resep dan mengonsumsi berbagai macam obat secara berlebihan.5. KetergantunganPasien menjadi tergantung terhadap dokter dan membutuhkan perawatan yang berlebihan. Mereka menjadi tergantung terhadap pasangan hidup dan keluarga, serta melepas tanggung jawab sosialnya.6. DepresiHasil tes psikologi menunjukkan depresi, hipokondriasis, dan histeria. Pasien cenderung tidak bahagia, putus asa, ketakutan, mudah tersinggung, atau bersikap bermusuhan. 7. DisuseImobilisasi yang berkepanjangan dan berlebihan menyebabkan nyeri muskuloskeletal sekunder. Pemakaian splint dan imobilisasi yang tidak tepat menyebabkan disfungsi muskuler dan deconditioning sehingga memperburuk keluhan nyeri pasien.8. DisfungsiPasien menjadi menarik diri dari lingkungan pergaulan, diberhentikan dari pekerjaan, kehilangan aktivitas rekreasional, menjauhkan diri dari teman dan keluarga serta terisolasi. Hal tersebut menyebabkan pasien mengalami masalah fisik, emosi, sosial, dan ekonomi.2.6.3. Pengukuran Nyeri Nyeri merupakan pengalaman subyektif dan kompleks yang melibatkan faktor sensori, emosi, psikologi, dan sosial. Saat ini nyeri dapat dimasukkan sebagai tanda vital ke lima selain respiration rate, tekanan darah, heart rate, dan suhu tubuh.Nyeri dapat dinilai menggunakan berbagai alat ukur. Di antaranya dapat dipakai self assessment tools dimensi tunggal atau multidimensi. Apabila nyeri yang diukur dengan sellf assessment tools tersebut tidak sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dianjurkan untuk menggunakan behavioral assessment. Pada anak bayi, anak usia di bawah 3 tahun, atau pasien dengan gangguan kognitif dapat dipakai skala FLACC (Face, Legs, Activity, Cry, Consolalibity).Alat ukur dimensi tunggal yang paling sering digunakan untuk evaluasi nyeri di antaranya Visual Analogue Scale, Numerical Rating Scale, Wong Baker Faces Scale.

2.7. MANAJEMEN NYERI KRONIK Manajemen nyeri dimulai dengan asumsi bahwa semua keluhan nyeri adalah nyata sampai terbukti sebaliknya dan hampir semua nyeri mempunyai komponen psikologikal. Pendekatan terbaik adalah dengan menemukan dan mengatasi etiologi yang mendasari nyeri, meskipun hal tersebut tidak selalu ada dan tidak mudah untuk diidentifikasi.Proses nyeri kronik melibatkan beragam jalur saraf, transmiter, reseptor, dan dipengaruhi kondisi psikologis serta lingkungan sosial. Hal tersebut menunjukkan kontrol nyeri yang optimal memerlukan pendekatan multimodal dengan menggunakan terapi analgesia dari berbagai multidisiplin dan interdisiplin keilmuan. Multidisiplin menunjukkan bahwa penatalaksanaan nyeri kronik melibatkan dan memerlukan kerjasama dari berbagai bidang disiplin keilmuan. Interdisiplin berarti pendalaman keseluruhan proses dalam penatalaksanaan (evaluasi, goal setting, dan terapi) yang disepakati oleh berbagai tim yang terlibat.Berdasarkan penelitian, data-data terbaru menunjukkan bahwa penilaian dan pendekatan biopsikososial merupakan suatu metode penatalaksanaan yang terbaik. Hal ini didasari bahwa nyeri kronik bukan hanya merupakan masalah anatomis saja akan tetapi pengalaman nyeri juga melibatkan faktor psikologis. Dalam pendekatan biopsikososial, penatalaksanaan nyeri kronik meliputi penerimaan dan mengurangi rasa nyeri, pengembalian kemampuan mobilitas, perbaikan pola tidur, perbaikan mood, pemanfaatan waktu luang, dan dapat kembali bekerja.Tabel 2.4 Pendekatan multimodal dalam tatalaksana nyeri kronik

2.7.1. Rehabilitasi Medik pada Nyeri KronikTujuan utama pendekatan rehabilitasi dalam penatalaksanaan nyeri kronik adalah untuk mengurangi nyeri dan mengembalikan kapasitas fungsional seseorang. Seorang fisiatris memegang peran yang sangat penting dalam menilai, memanajemen nyeri kronik, dan memimpin tim rehabilitasi. Secara lebih terperinci, tujuan penatalaksanaan dalam manajemen nyeri kronik adalah sebagai berikut:1. Memelihara dan memaksimalkan fungsi dan aktivitas fisik.2. Mengurangi penyalahgunaan dan ketergantungan akibat obat-obatan, prosedur invasif, dan modalitas pasif lainnya, serta membantu pasien menjadi lebih aktif dalam menolong dirinya sendiri.3. Mengembalikan derajat aktivitas seperti semula baik di rumah, di tempat kerja, dan dalam pemanfaatan waktu luang.4. Menurunkan intensitas nyeri subyektif dan perilaku maladaptasi terhadap nyeri.5. Membantu pasien dalam menyelesaikan masalah kerja yang berkaitan dengan kondisi nyeri.Salah satu terapi yang digunakan dalam rehabilitasi medik untuk mengelola nyeri kronik adalah dengan menggunakan modalitas fisik. Modalitas fisik adalah agen-agen fisik yang digunakan untuk menghasilkan respon terapi pada jaringan. Modalitas tersebut antara lain pemakaian panas, dingin, air, suara, daya listrik, gelombang elektromagnetik, traksi, manipulasi, dan massage. Modalitas-modalitas tersebut umumnya digunakan sebagai terapi tambahan, bukan sebagai intervensi kuratif primer tunggal dalam penatalaksanaan nyeri kronik.Pemilihan modalitas dipengaruhi oleh banyak faktor. Bentuk tubuh mempengaruhi pemilihan modalitas karena jaringan adiposa subkutan berdampak pada dalamnya penetrasi pada banyak modalitas. Kondisi komorbid juga sebaiknya dipertimbangkan. Sebagai contoh, baik dingin maupun panas dapat mengakibatkan efek yang buruk terhadap pasien yang mengalami insufisiensi arterial yang signifikan. Dingin dapat mengakibatkan efek yang buruk melalui vasokonstriksi arterial, dan panas dapat menyebabkan komplikasi melalui peningkatan aktivitas metabolik, yang dapat melampaui peningkatan potensial pada aliran darah dan menghasilkan iskemia. Umur juga menjadi faktor dalam pemilihan modalitas. Jenis kelamin juga berperan dalam penggunaan modalitas, karena malformasi janin telah dilaporkan setelah penggunaan ultrasound di sekitar uterus gravid. Pada referat ini akan dibahas mengenai pemberian salah satu modalitas fisik dalam ilmu kedokteran fisik dan rehabilitasi yaitu transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS) pada tatalaksana nyeri kronik.

BAB IIITRANSCUTANEOUS ELECTRICAL NERVE STIMULATION (TENS)

3.1. DEFINISITranscutaneous electrical nerve stimulation (TENS) adalah metode stimulasi elektrik yang bertujuan untuk mengurangi nyeri dengan cara merangsang serabut saraf sensorik yang pada akhirnya akan menstimulasi sistem opioid dan atau memicu mekanisme gerbang nyeri. Metode aplikasi TENS yang berbeda akan menghasilkan mekanisme fisiologi yang berbeda pula. TENS merupakan teknik terapi yang tidak invasif dengan efek samping yang sangat minimal jika dibandingkan dengan terapi medikamentosa. Keluhan yang paling sering akibat penggunaan TENS adalah reaksi alergi pada kulit (sekitar 2-3% pasien) dan hal ini hampir selalu disebabkan karena material elektroda, gel konduktif atau perekat yang digunakan untuk meletakkan elektroda pada tempatnya. 3.2. MEKANISME AKSIBerdasarkan lokasi anatomikal, stimulasi yang menginduksi analgesia dapat dikategorikan menjadi perifer, segmental, dan ekstrasegmental. Secara umum, aksi utama konvensional TENS adalah analgesia segmental yang dimediasi oleh aktivitas serabut A-beta. Aksi utama AL-TENS adalah analgesia ekstrasegmental yang dimediasi oleh aktivitas ergoreseptor. Sementara aksi utama intense TENS adalah analgesia ekstrasegmental melalui aktivitas dalam aferen kutaneus yang berdiameter kecil. Intense TENS dan TENS konvensional juga sepertinya menghasilkan blokade perifer terhadap informasi aferen pada serabut tipe tertentu yang teraktivasi.3.2.1. Mekanisme Segmental (Teori Gate Control Melzack dan Wall)Tingkat keparahan sensasi nyeri ditentukan oleh keseimbangan dari input inhibisi dan eksitatori menuju sel T di medula spinalis. Sel T ini menerima input eksitatori dari serabut saraf C dan A-delta (aferen nosiseptor) dan menerima input inhibisi melalui substansia gelatinosa dari serabut saraf A-beta yang berdiameter besar (aferen non nosiseptor). Peningkatan aktivitas dari serabut saraf aferen sensorik non nosiseptor menyebabkan inhibisi presinaps sel T sehingga gerbang spinal menuju korteks serebral tertutup dan pada akhirnya mengurangi sensasi nyeri secara efektif. Peningkatan aktivitas dari serabut saraf A-beta ini dihasilkan dengan menggunakan TENS konvensional.

Gambar 3.1 Neurofisiologi efek analgesia dari TENS konvensional3.2.2. Mekanisme Ekstrasegmental (Sistem Opioid Endogen) TENS frekuensi rendah (AL-TENS) dapat menstimulasi produksi dan pelepasan endorfin dan enkefalin (endogen opioid). Modulasi persepsi nyeri dihasilkan akibat ikatan antara endogen opioid dengan reseptor opiat di otak (PAG; periaquaductus gray matter antara ventrikel III dan IV) dan area lain serta bertindak sebagai neurotransmiter dan neuromodulator untuk mengaktivasi jalur inhibitori descenden yang melibatkan sistem non opioid (serotonin).

Gambar 3.2 Neurofisiologi efek analgesia dari AL-TENS3.2.3. Mekanisme PeriferPemberian arus listrik pada serabut saraf akan menghasilkan impuls saraf yang nantinya akan berjalan dalam dua arah di sepanjang akson saraf, yang dinamakan aktivasi antidromik. Impuls saraf yang diinduksi TENS yang berjalan menjauhi sistem saraf pusat akan bertabrakan dan mematikan impuls aferen yang timbul dari kerusakan jaringan. Untuk TENS konvensional, aktivasi antidromik mungkin terjadi dalam serabut saraf berdiameter besar dan karena kerusakan jaringan dapat menghasilkan beberapa aktivitas dalam serabut saraf berdiameter besar, TENS konvensional dapat menciptakan efek analgesia dengan cara blokade perifer dalam serabut saraf berdiameter besarb tersebut. Blokade terhadap transmisi saraf perifer telah dibuktikan oleh Walsh dkk (1998) pada subyek manusia sehat.

Gambar 3.3 Blokade oleh TENS terhadap transmisi periferKontribusi blokade perifer untuk analgesia tampaknya lebih besar selama pemberian intense TENS. Impuls berjalan dalam serabut A-delta yang diinduksi oleh intense TENS akan bertabrakan dengan impuls nosiseptif, yang juga berjalan dalam serabut A-delta.

3.3. TIPE TENS3.3.1. TENS KonvensionalTujuan TENS konvensional adalah untuk mengaktivasi serabut A-beta yang berdiameter besar secara selektif tanpa mengaktivasi serabut A-delta dan C yang berdiameter kecil atau eferen otot. Penelitian pada hewan dan manusia mendukung hipotesis bahwa TENS konvensional menghasilkan analgesik segmental dengan onset dan offset yang cepat serta untuk nyeri yang lokasinya sesuai dengan dermatom. Secara teori, TENS frekuensi tinggi dan intensitas rendah merupakan TENS yang paling efektif untuk mengaktivasi serabut saraf yang berdiameter besar secara selektif, walaupun pada praktiknya hal ini akan dicapai ketika pengguna TENS merasakan paresthesia yang nyaman pada daerah di mana elektroda ditempatkan.

Gambar 3.4 Tujuan TENS konvensional adalah secara selektif mengaktivasi aferen A beta untuk menghasilkan analgesia segmental3.3.2. Acupuncture-like TENS (Acu TENS, AL-TENS)AL-TENS didefinisikan sebagai induksi kontraksi otot fasik yang kuat tetapi tidak menyakitkan pada miotom yang terkait dengan sumber nyeri. Tujuan AL-TENS adalah secara selektif mengaktivasi serabut saraf berdiameter kecil (A-delta atau grup III) yang berasal dari otot (ergoreseptor) dengan menginduksi kedutan (twitches) otot fasik. Oleh karena itu, TENS diberikan di atas motor point untuk mengaktivasi saraf eferen A-alfa untuk menimbulkan kedutan otot fasik yang menghasilkan aktivitas ergoreseptor. Pasien melaporkan rasa tidak nyaman ketika arus frekuensi rendah digunakan untuk menimbulkan kedutan otot. Penelitian membuktikan bahwa AL-TENS menghasilkan analgesia ekstrasegmental dengan cara yang sama seperti yang ditunjukkan pada akupuntur.

Gambar 3.5 Tujuan TENS konvensional adalah secara selektif mengaktivasi eferen grup I (GI) untuk menimbulkan kontraksi otot, yang menghasilkan aktivitas pada ergoreseptor dan aferen grup III (GIII). 3.3.3. Intense TENSTujuan dari intense TENS adalah mengaktivasi aferen kutaneus A-delta yang berdiameter kecil dengan cara memberikan TENS pada saraf perifer pada lokasi nyeri menggunakan frekuensi tinggi dan intensitas tinggi yang dapat ditoleransi oleh pasien. Aktivitas pada aferen kutaneus A-delta yang diinduksi oleh intense TENS telah dibuktikan menghasilkan blok perifer pada aktivitas aferen nosiseptif serta menghasilkan analgesia segmental dan ekstrasegmental.

Gambar 3.6 Tujuan intense TENS adalah secara selektif mengaktivasi aferen A-delta untuk menghasilkan analgesia ekstrasegmental. Aferen A-beta juga akan teraktivasi menghasilkan analgesia segmental.

3.3.4. Burst TENSBurst TENS yaitu satu seri pulses diulang 1-5 kali perdetik, umumnya dua seri perdetik. Setiap seri terdiri dari gelombang dengan frekuensi tinggi (90-130Hz) dan intensitas tinggi. Ini merupakan kombinasi konvensional dan acupuncture-like TENS dengan tujuan untuk mengurangi nyeri. Jenis aplikasi ini dapat secara efektif menstimulasi mekanisme gate control dan sistem opioid endogen secara bergantian. 3.3.5. Modulated TENS Modulated TENS yaitu waktu, pulse, frekuensi, dan amplitudo bisa tetap dan bisa divariasikan..Gambar 3.7 Pola pulse pada berbagai tipe TENS

Tabel 3.1 Karakteristik dari berbagai tipe TENS

3.4. PENEMPATAN ELEKTRODAUntuk memperoleh keuntungan maksimal dari modalitas ini, letakkan stimulus sesuai dengan segmen medula spinalis (sesuai dengan lokasi nyeri). Meletakkan elektroda baik pada daerah lesi atau area nyeri, merupakan mekanisme yang paling umum dilakukan. Terdapat beberapa alternatif yang telah diteliti dan ternyata menunjukkan hasil yang efektif :1. Stimulasi pada radiks saraf yang sesuai2. Stimulasi pada saraf perifer (paling baik pada proksimal dari area nyeri)3. Stimulasi motor point (diinervasi oleh radiks yang sama)4. Stimulasi pada trigger point atau titik akupuntur5. Stimulasi diletakkan sesuai dengan dermatom, miotom, atau sklerotomKarena TENS konvensional menggunakan mekanisme segmental, elektroda TENS ditempatkan untuk menstimulasi serabut saraf A-beta yang memasuki segmen spinal yang sama dengan serabut nosiseptif terkait dengan sumber nyeri. Oleh karena itu, elektroda diletakkan sedemikian rupa sehingga arus listrik dapat menembus area nyeri dan hal ini biasanya diperoleh dengan meletakkan elektroda berseberangan satu sama lain pada area nyeri. Elektroda harus diletakkan pada kulit dengan inervasi yang baik. Jika tidak memungkinkan meletakkan elektroda pada kulit dengan inervasi yang baik, dikarenakan hilangnya bagian tubuh akibat amputasi, lesi kulit atau perubahan sensitivitas kulit, elektroda dapat diletakkan secara proksimal pada trunkus saraf utama yang merupakan sumber dari area nyeri. Atau dengan cara lain, elektroda dapat ditempatkan pada segmen medula spinalis yang terkait dengan sumber nyeri. Elektroda juga dapat diaplikasikan pada sisi kontralateral dengan area nyeri pada kondisi-kondisi seperti phantom limb pain dan neuralgia trigeminal.

Gambar 3.8 Posisi elektroda untuk kondisi nyeri yang umum (Anterior)

Gambar 3.9 Posisi elektroda untuk kondisi nyeri yang umum (Posterior) TENS dengan dual channel yang menggunakan empat elektroda dapat digunakan pada area nyeri yang sangat luas. Namun, jika nyeri bersifat menyeluruh dan menjalar ke sejumlah bagian besar tubuh, maka akan lebih tepat jika kita menggunakan AL-TENS pada miotome yang relevan karena hal ini akan menghasilkan efek analgesik yang bersifat menyeluruh (general). TENS dengan stimulator dual channel bermanfaat untuk pasien dengan nyeri multipel seperti nyeri punggung bawah atau skiatika. 3.5. KONTRAINDIKASIKontraindikasi Relatif Pasien dengan alat pacu jantung Pasien dengan gangguan jantung Nyeri yang belum terdiagnosa Epilepsi

Kehamilan : Trimester pertama Pada daerah uterusKontraindikasi ABSOLUT Pada sinus karotis Permukaan mukosa (misal : mulut) Penempatan elektroda pada permukaan kulit yang mengalami infeksi atau inflamasi Penempatan elektroda pada sinus karotis di daerah anterolateral leher karena bisa merangsang saraf vagus sehingga terjadi henti jantung

3.6. TENS PADA NYERI KRONIKPenggunaan TENS untuk nyeri kronik secara luas didukung oleh banyak penelitian klinis yang menunjukkan bahwa TENS bermanfaat untuk kondisi-kondisi nyeri kronik. Kondisi-kondisi ini seperti neuropati kronik, neuralgia postherpetic, nyeri puntung, phantom limb pain, nyeri muskuloskeletal serta arthritis.Ulasan sistematik mengenai TENS dan nyeri kronik menyimpulkan bahwa sulit untuk menentukan efektivitas TENS dikarenakan kurangnya penelitian dengan kualitas yang baik. Reeve, Menon, dan Corabian (1996) melaporkan bahwa sembilan dari 20 penelitian uji acak terkontrol (randomized controlled trial; RCT) memberikan bukti bahwa TENS lebih efektif daripada plasebo TENS pada beberapa kondisi. Delapan dari 20 RCT menunjukkan bukti bahwa TENS tidak lebih efektif daripada TENS plasebo atau akupuntur. Reeve, Menon, dan Corabian menyimpulkan bahwa bukti-bukti yang ada belum jelas dan kualitas metodologi dari beberapa penelitian ini juga terbilang rendah.

Tabel 3.2 Hasil ulasan sistematik penggunaan TENS pada nyeri kronik

McQuay dkk (1997) juga melaporkan bahwa terdapat bukti yang sedikit untuk menilai efektivitas TENS pada pasien rawat jalan yang datang dengan keluhan nyeri kronik. Sepuluh dari 24 RCT memberikan bukti bahwa efek TENS lebih baik daripada TENS plasebo atau pil plasebo. Lima belas RCT membandingkan TENS dengan terapi aktif dan hanya tiga yang melaporkan bahwa TENS memberikan manfaat yang jauh lebih besar dibandingkan dengan terapi aktif. Namun, lebih dari 80% penelitian termasuk ulasan oleh McQuay dan Moore (1998) memberikan TENS kurang dari 10 jam dalam seminggu dan 67% penelitian memberikan TENS kurang dari 10 sesi terapi. McQuay dan Moore menyimpulkan bahwa TENS dapat memberikan beberapa manfaat untuk pasien dengan nyeri kronik jika dosis yang cukup besar/sering dan tepat diberikan.Dari beberapa literatur, didapatkan beberapa kontradiksi mengenai penggunaan TENS. Marchand dkk (1993) menyimpulkan bahwa TENS konvensional secara signifikan lebih efektif daripada TENS plasebo dalam mengurangi intensitas nyeri. Sebaliknya, RCT oleh Deyo dkk (1990) menyimpulkan bahwa terapi dengan TENS tidak lebih efektif daripada terapi dengan plasebo pada 145 pasien dengan nyeri punggung bawah kronik. Meta-analisis menunjukkan bahwa lebih banyak pasien yang mengalami perbaikan dengan menggunakan AL-TENS (86,70%) daripada menggunakan TENS konvensional (45,80%) atau plasebo (36,40%), dengan odds ratio yang lebih besar untuk AL-TENS vs plasebo (7,22) daripada TENS konvensional vs plasebo (1,62). Flowerdew dan Gadsby (1997) menyimpulkan bahwa TENS dapat mengurangi nyeri dan meningkatkan lingkup gerak sendi pada pasien dengan nyeri punggung bawah kronik walaupun RCT definitif masih tetap dibutuhkan untuk menganalisis hal ini lebih jauh lagi. Oleh karena itu, bukti penggunaan dan efektivitas TENS untuk nyeri kronik masih belum jelas sampai saat ini. TENS juga telah digunakan untuk kondisi angina, dismenorrhae, nyeri yang terkait dengan kanker, ataupun nyeri pada anak-anak. TENS konvensional digunakan untuk angina dengan elektroda ditempatkan pada area nyeri di daerah dada. Mannheimer dkk (1985); Mannheimer, Emanuelsson dan Waagstein (1990) telah menunjukkan bahwa TENS meningkatkan kapasitas kerja, mengurangi ST depresi, serta menurunkan frekuensi serangan angina dan konsumsi nitrogliserin saat dibandingkan dengan kelompok kontrol. Beberapa variasi tipe TENS juga telah dilaporkan bermanfaat dalam tatalaksana dismenorrhae. Pada kasus dismenorrhae, umumnya elektroda ditempatkan pada vertebra thorakal dan terkadang pada titik akupuntur. Keberhasilan penggunaan TENS untuk terapi paliatif juga telah dilaporkan baik pada anak-anak maupun pada orang dewasa. TENS juga dapat digunakan untuk penyakit tulang metastasis atau nyeri akibat kompresi saraf oleh neoplasma. Pada kondisi-kondisi ini, elektroda sebaiknya ditempatkan pada kulit yang sehat dekat dengan area nyeri atau daerah dengan sensibilitas yang masih baik, atau pada dermatom yang terkena. TENS telah dibuktikan bermanfaat dalam manajemen variasi nyeri pada anak-anak termasuk nyeri gigi, ataupun prosedur bedah minor.

Durasi Penggunaan TENS pada Nyeri KronikBeberapa penelitian klinis telah melaporkan bahwa pengurangan nyeri yang maksimal didapat saat TENS dihidupkan dan efek analgesik tersebut biasanya menghilang dengan cepat ketika TENS dimatikan. Oleh karena itu, pasien yang menggunakan TENS konvensional sebaiknya dimotivasi untuk menggunakan TENS kapanpun jika nyeri timbul. Untuk pasien dengan nyeri kronik, hal ini berarti bahwa pasien dapat menggunakan TENS hampir sepanjang hari. Penelitian terhadap pengguna TENS jangka panjang yang dilakukan oleh Johnson, Ashton dan Thompson (1991) menunjukkan bahwa 75% subyek melaporkan menggunakan TENS hampir sepanjang hari dan 30% melaporkan menggunakan TENS lebih dari 49 jam dalam seminggu. Ketika TENS digunakan secara terus-menerus seperti ini, kita harus memberikan edukasi kepada pasien untuk selalu memonitor kondisi kulit pada daerah penempatan elektroda dan secara reguler (walaupun singkat) berhenti untuk menggunakan stimulasi / TENS. Beberapa pasien melaporkan analgesia paska stimulasi walaupun durasi dari efek ini bervariasi, antara 2 jam hingga 18 jam. Hal ini merefleksikan fluktuasi alami dalam gejala dan ekspektasi pasien terhadap durasi terapi. Efek analgesia AL-TENS lebih panjang daripada TENS konvensional dan hal ini didukung oleh temuan awal pada penelitian eksperimental oleh Johnson, Ashton dan Thompson (1992). Namun, penelitian yang lebih jauh dibutuhkan untuk menentukan durasi efek analgesik dari berbagai tipe aplikasi TENS.

BAB IVPENUTUP

Nyeri kronik merupakan suatu keadaan abnormal dimana nyeri tidak lagi hanya menjadi gejala dari kerusakan yang sedang berlangsung, melainkan suatu keadaan di mana nyeri dan perilaku nyeri telah menjadi proses primer.Nyeri kronik adalah nyeri yang menetap lebih dari 3-6 bulan atau nyeri yang berlangsung lebih lama dari proses penyembuhannya yang normal, atau berhubungan dengan proses patologis kronis, atau nyeri rekuren dalam interval bulan atau tahun.Selain aspek fisik, nyeri mempunyai komponen psikologikal. Pasien dengan nyeri kronik sering sulit ditangani dan menimbulkan rasa frustasi serta putus asa. Pendekatan terbaik adalah dengan menemukan dan mengatasi etiologi yang mendasari nyeri, meskipun hal tersebut tidak selalu ada dan tidak mudah untuk diidentifikasi.Proses nyeri kronik melibatkan beragam jalur saraf, transmiter, reseptor, dan dipengaruhi kondisi psikologis dan lingkungan sosial. Hal tersebut menunjukkan kontrol nyeri yang optimal memerlukan pendekatan multimodal dengan menggunakan terapi analgesia dari berbagai multidisiplin dan interdisiplin keilmuan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Stanos S, Tybursky M, Harden R. Chronic pain. In: Braddom RL. Physical medicine and rehabilitation. 4th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.p. 935-70.2. Walsh N, Dumitru D, Schoenfield L. Treatment of the patient with chronic pain. In: Delisa JA. Physical medicine and rehabilitation principles and practice. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2005.p. 493-530. 3. Tan JC. Practical manual of physical medicine and rehabilitation. New York: Mosby Inc; 1998. p. 607-44.4. Argoff CE, McCleane G. Pain management secrets. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2009.5. Marcus DA, Cope DK, Deodhar A. An atlas of investigation and management chronic pain. Oxford: Clinical Publishing; 2009.6. Serpell M, Basler M, Chaudhari M. Handbook of pain management. London: Springer; 2009.7. Whitten CE, Dinovan M, Cristobal K. Treating chronic pain new knowledge more choices. The Permanente Journal. 2005; 9(4): 9-18.8. Carr DB. Physical rehabilitation in managing pain. Pain Clinical Updates. 1997; 5(3): 14-21.9. Winterowd C, Beck AT, Gruener D. Cognitive therapy with chronic pain patients. New York: Springer Publishing Company; 2003. p.3-57.10. Vadivelu N, Urman RD, Hines RL. Essentials of pain management. New York: Springer; 2011. p.31-74.11. Lynch ME, Craig KD, Peng PW. Clinical pain management a practical guide. West Sussex: Wiley-Blackwell; 2011.12. Buschmann H, Christoph T, Friderichs E. Analgesics from chemistry and pharmacology to clinical application. Weinheim: Wiley-VCH; 2003.p. 13-121.13. Kisner C, Colby L. Therapeutic exercise foundations and techniquea. Philadelphia: F.A. Davis Company; 2002.14. Ramamurthy, Alanmanou, Rogers. Decision making in pain management. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006.p. 2-23.15. Gallagher RM, Verma S. Biopsychosocial factors in pain medicine. In: Wallace MS, Staat PS. Pain medicine and management just the facts. New York: McGraw-Hill; 2005.p. 244-54.16. National Cancer Institute. Pain control support for people with cancer. New York: Nova Science Publishers Inc; 2009.p. 5-47.17. Hadjistavropoulos T, Craig KD. Pain psychological perspectives. London: Lawrence Erlbaum Associates Publisher; 2004.p. 13-5818. Jay Gw. Practical guide to chronic pain syndromes. New York: Informa Healthcare USA Inc; 2010.p. 327-397.19. Geoffrey T, Aslam H. Spinal mechanisms of chronic pain. AJPM. 2006; 17: 27-43.20. Lenz FA, Casey KL, Willis WD. The human pain system experimental and clinical perspectives. Cambridge: Cambridge University Press; 2010. 21. Helme RD. Drug treatment of neuropathic pain. Australian Presciber. 2006; 29(3): 72-5.22. Curatolo M, Nielsen LA, Felix SP. Central hypersensitivity in chronic pain mechanisms and clinical implications. Phys Med Rehabil Clin N Am. 2006; 7: 287302.23. Schatman ME, Campbell A. Chronic pain management guidelines for multidisciplinary program development. New York: Informa Healthcare USA Inc; 2007.24. Wilson PR, Watson P, Haythornthwaite J. Clinical pain management chronic pain. London: Hodder and Stoughton Limited; 2008.25. Stannard C, Kalso E, Ballantyne J. Evidence based chronic pain management. West Sussex: Wiley-Blackwell; 2010.

38