Pengenalan Dan Penanganan Post

17
BAB I PENDAHULUAN Sindrom paska gegar otak adalah istilah yang umum digunakan untuk kumpulan sejumlah gejala yang terjadi setelah gegar otak. Sindrom paska gegar otak (Post Concussion Syndrome-PCS) diperkirakan terjadi 10% dari seluruh kasus gegar otak keseluruhan. Angka estimasi ini mungkin lebih rendah, tergantung dari populasi dan definisi dari PCS itu sendiri. The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4 th edition (DSM-IV) menyatakan bahwa PCS terjadi bila ada tiga atau lebih gejala gegar otak yang terjadi dalam kurun waktu minimal 3 bulan setelah trauma kepala 1 . PCS sering tidak dikenali oleh pasien maupun dokter lainnya. Mackenzie dan McMillan melaporkan hanya 20% orang awam, 40% pasien dengan gegar otak berkelanjutan, dan 60% dokter umum yang mampu mengenali kasus PCS berdasarkan gejala dasar 1 . Jika gejala gegar otak bertahan lebih lama dari yang seharusnya, maka diagnosa PCS harus dipertimbangkan. Usia dan komorbiditas penyerta (Attention Deficit/Hyperactivity Disorders –ADHD, depresi, ketidakmampuan pembelajaran) dapat mempengaruhi penentuan waktu diagnosis. Sebagai contoh, diagnosis PCS pada bulan pertama tidak tepat dilakukan pada pasien anak 13 tahun dengan gangguan ADHD, karena ADHD diketahui dapat memperpanjang waktu penyembuhan

Transcript of Pengenalan Dan Penanganan Post

Page 1: Pengenalan Dan Penanganan Post

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom paska gegar otak adalah istilah yang umum digunakan untuk

kumpulan sejumlah gejala yang terjadi setelah gegar otak. Sindrom paska gegar

otak (Post Concussion Syndrome-PCS) diperkirakan terjadi 10% dari seluruh

kasus gegar otak keseluruhan. Angka estimasi ini mungkin lebih rendah,

tergantung dari populasi dan definisi dari PCS itu sendiri. The Diagnostic and

Statistical Manual of Mental Disorders, 4th edition (DSM-IV) menyatakan bahwa

PCS terjadi bila ada tiga atau lebih gejala gegar otak yang terjadi dalam kurun

waktu minimal 3 bulan setelah trauma kepala1. PCS sering tidak dikenali oleh

pasien maupun dokter lainnya. Mackenzie dan McMillan melaporkan hanya 20%

orang awam, 40% pasien dengan gegar otak berkelanjutan, dan 60% dokter umum

yang mampu mengenali kasus PCS berdasarkan gejala dasar1.

Jika gejala gegar otak bertahan lebih lama dari yang seharusnya, maka

diagnosa PCS harus dipertimbangkan. Usia dan komorbiditas penyerta (Attention

Deficit/Hyperactivity Disorders –ADHD, depresi, ketidakmampuan

pembelajaran) dapat mempengaruhi penentuan waktu diagnosis. Sebagai contoh,

diagnosis PCS pada bulan pertama tidak tepat dilakukan pada pasien anak 13

tahun dengan gangguan ADHD, karena ADHD diketahui dapat memperpanjang

waktu penyembuhan gegar otak1. PCS hendaknya dipertimbangkan pada setiap

kasus, karena kurangnya pengobatan sindrom ini dapat menimbulkan frustasi

hebat bagi pasien dan keluarganya.

Page 2: Pengenalan Dan Penanganan Post

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi

Sindroma postconcussion adalah kumpulan gejala yang terdiri atas nyeri kepala,

pusing (dizziness), iritabilitas, mudah lelah, ansietas, gangguan memori,

menurutnya konsentrasi daninsomnia, yang merupakan sekuele setelah cedera

kepala ringan tertutup. Istilah lain yang digunakan untuk keadaan ini adalah post

traumatic instability, post traumatic headache, traumatic neurasthenia,traumatic

psychasthenia, post traumatic syndrome. Yang dimaksud dengan cedera kepala

ringan adalah suatu trauma yang terjadi dengan gangguan kesadaran sesaat atau

gangguan fungsi neurologik lain (misalnya memori, penglihatan) dengan GCS 13-

15.

2.2 Epidemiologi

Insidensi dari sindroma ini bervariasi. Suatu penelitian yang dilakukan oleh

Brenner dkk tahun 1994 pada 200 pasien dengan cedera kepala ringan yang

dirawat di RS, menemukan insidensi nyeri kepala pasca trauma 69% dan dizziness

51%. Menurut Tjahjadi (1990) gejala nyeri kepala terdapat 70%, lelah

(kekurangan energi) 60%, dizziness 53 %. Onset sindroma postconcussion

bervariasi,pada beberapa kasus gejala dapat timbul pada hari hari pertama cedera

dan menetap selama beberapa waktu sampai beberapa bulan bahkan tahun. Pada

kasus lainnya gejala-gejalanya timbul kemudian, kadang-kadang sampai beberapa

minggu setelah cedera.

Nyeri kepala yang merupakan gejala utama sindroma postconcussion

biasanya timbul dalam 24 jam dari cedera, dan sekitar 6% terjadi beberapa hari

atau minggu kemudian. Menurut Guttman nyeri kepala terdapat lebih banyak pada

minggu-minggu pertama sesudah cedera kepala ringan. Tes psikologik yang

meliputi pemeriksaan pemrosesan informasi menunjukkan abnormalitas dengan

insidens yang sangat tinggi pada hari-hari pertama cedera.

Gejala-gejala ini menetap pada separuh dari kasus setelah 2 bulan atau

lebih danditemukan bersama keluhan lain seperti ansietas, mudah lelah, iritabilitas

Page 3: Pengenalan Dan Penanganan Post

dan sulit berkonsentrasi. Penelitian Jones (1974) secara retrospektif terhadap 3500

pasien cedera kepala ringan menemukan insidensi nyeri kepala, dizziness atau

keduanya sebanyak 57%. Gejala-gejala ini tetap ada paling sedikit selam 2 bulan

tetapi kemudian sebagian besar menghilang, hanya tinggal 1 % pasien dengan

gejala setelah 1 tahun. Penelitian yang dilakukan Rimel dkk. (1981) terhadap 500

pasien trauma kepala ringan menemukan 79% terdapat paling sedikit satu keluhan

dalam suatu wawancara 3 bulan setelah cedera, 78 % mengeluh nyeri kepala dan

59% terdapat gangguan memori. Suatu penelitian multisenter tahun 1987 yang

dilakukan oleh Levin dkk. Terhadap 155 pasien dengan cedera kepala ringan,

ditemukan keluhan pertama yang paling sering adalah nyeri kepala (82%).

Kemudian diikuti dengan keluhan penurunan energi pada 60% dan dizziness pada

53% kasus.

Keluhan ini kemudian berkurang pada 1 bulan dan 3 bulan setelah cedera,

dan pada

kesimpulan dari penelitian tersebut didapatkan keluhan nyeri kepala pada 47%

kasus, penurunan energi 22%, dan dizziness 22%. Kay dkk (1971) menduga

bahwa gejala-gejala postconcussion berhubungan dengan lamanya amnesia pasca

trauma, dimana frekwensi dan lamanya berlangsung gejala meningkat dengan

makin lamanya periode amnesia. Penelitian-penelitian

berikutnya oleh Ruther Ford dkk. (1977-1979) gagal untuk mengkonfirmasikan

penemuan tersebut. Sindroma postconcussion jarang terjadi pada pasien-pasien

dengan cedera berat yang berhubungan dengan penurunan kesadaran berat (koma)

selama beberapa waktu. Hal ini mungkin disebabkan pada saat kesadaran pasien

pulih kembali nyeri kepala, concussion telah berlalu, terlebih lagi pada pasien

dengan cedera berat lebih mendapat perhatian, simpati dan pengertian selama

masa pemulihannya. Penelitian-penelitian lain menduga kejadian lebih sering

terjadi pada wanita, pasien dengan umur lebih dari 40 tahun,pasien dengan

gangguan neuropsikiatrik sebelumnya,alkoholisme, penyalah gunaan obat atau

dengan cedera kepala sebelumnya. Tetapi juga hal ini tidak dapat dikonfirmasikan

dengan penelitianpenelitian berikutnya.

Page 4: Pengenalan Dan Penanganan Post

2.3 Etiologi

Sindroma postconcusion dapat disebabkan oleh setiap cedera ringan yang

mengenai kepala, apapun penyebabnya, terutama yang menimbulkan gaya

akselerasi rotatsional.

Penyebab utama dari sindroma ini adalah kecelakaan lalu lintas, terutama di kota-

kota besar. Penyebab lain lain adalah kecelakaan kerja. Dalam bidang olah raga

yang paling sering menimbulkan sindroma ini adalah olah raga tinju.

Faktor risiko untuk pengembangan sindrom postconcussive termasuk

mekanisme non-olahraga, kehilangan kesadaran, amnesia untuk sesuatu hal, jenis

kelamin perempuan, dan hasil pengujian neurobehavioral abnormal setelah

kejadian.

• Sebuah persepsi umum adalah bahwa pasien yang mengalami sindrom

postconcussive dari cedera kepala adalah mereka yang menganggap sebagai

sumber yang disalahkan atas cedera dan keinginan untuk mengejar tuntutan

hukum. Namun, sebuah studi tunggal mengevaluasi ini tidak menunjukkan

korelasi antara usaha untuk menyalahkan dan tuntutan hukum. Bahkan, gejala

sindrom postconcussive masih tetap ada setelah penyelesaian hukum.

• Beberapa penulis telah menyimpulkan bahwa orang dengan riwayat depresi dan

gangguan kecemasan, tipe kepribadian premorbid tertentu, atau keterampilan yang

rendah mungkin cenderung untuk sindrom postconcussive, namun data yang ada

masih saling bertentangan.

• Nyeri leher setelah cedera kepala tidak berkorelasi dengan perkembangan

sindrom postconcussive.

• Meskipun jumlah pasien cenderung relatif kecil, penelitian yang lebih baru

menunjukkan bahwa sindrom postconcussive lebih mungkin untuk timbul pada

pasien dengan mual, sakit kepala, dan pusing.

• Satu studi menemukan hubungan terbalik antara jumlah tahun pendidikan dan

pengembangan sindrom postconcussive pada pasien dewasa.

• Pasien dengan masalah fisik premorbid juga telah ditemukan memiliki insiden

yang lebih tinggi terkena sindrom postconcussive setelah cedera kepala ringan.

Page 5: Pengenalan Dan Penanganan Post

• Satu studi menemukan bahwa persepsi penyakit itu sendiri mungkin memiliki

efek pada perkembangan sindrom postconcussive. Pasien yang percaya bahwa

gejala mereka punya konsekuensi negatif yang serius pada kehidupan mereka,

mempunyai risik lebih tinggi terkena sindrom post concussive.

2.4 Patofisiologi

Pada sindroma postconcussion tidak jelas adanya perubahan-perubahan struktural

secara gross pada SSP, meskipun pada concussion dikatakan terdapat perubahan

mikroskopik pada sel-sel saraf dan vaskuler. Kondisi ini mulanya diduga samata-

mata atas dasar psikologis, tapi sekarang

diketahui bahwa pada suatu cedera sedemikian sehingga menyebabkan gangguan

kesadaran atau adanya suatu periode amnesia pascatrauma, terjadi kerusakan

neuronal. Cedera yang ringan bila berulang akan mempunyai efek kumulatif.

Para ahli patologi belakangan ini dapat menunjukkan adanya lesi di otak

pada pasien yang meninggal yang sebelumnya telah mengalami pemulihan setelah

cedera kepala ringan. Saat ini telah diakui bahwa meskipun pada concussion

singkat, terjadi kerusakan struktural otak. Mekanisme utama pada cedera kepala

ringan nampaknya adalah shear strain. Kekuatan rotasional dapat ditimbulkan

sekalipun pada kecelakaan yang dianggap tidak berarti dan tidak perlu adanya

cedera coup dan contrecoup yang jelas. Hal ini pertama bisa menyebabkan

regangan pada akson-akson dengan akibat gangguan konduksi dan hilangnya

fungsi. Selanjutnya kekuatan ini dapat sedemikian rupa sehingga menyebabkan

disrupsi mielin dan neurilemma. Akhirnya dapat terjadi perdarahan kapiler.

Hal-hal ini dapat terlihat secara mikroskopik dengan terbentuknya axonal

retraction bulba dan parut mikrogilial. Perubahan ini terjadi secara difus, terutama

pada corpus callosum dan kuadran dorsolateral batang otak. Perubahan-perubahan

tersebut diatas dikenal sebagai diffuse axonal injury. Perubahan fisiologik terjadi

pada cedera kepala ringan. Pada percobaan binatang didapatkan adanya depresi

amplutudo aktivitas listrik.

Cedera patologis yang primer pada trauma kepala adalah penipisan axon

dan kerusakan ketegangan atau tensile strain, yang umumnya disebabkan oleh

gaya akselerasi rotasional. Luasnya cedera axon berhubungan dengan lamanya

Page 6: Pengenalan Dan Penanganan Post

amnesia post trauma dan kehilangan kesadaran. Bila neuron mengalami

kerusakan, inhibitor neurotransmiter seperti y-amino asam butirat, juga

neurotransmiter eksitator, seperti asetikolin, glutamat, dan aspartat, akan terlepas.

Neurotransmiter tersebut akan mengakibatkan kerusakan neuron lebih lanjut

(disebut sebagai tangga atau kaskade injuri). Perubahan lain setelah cedera kepala

yang dapat menjurus ke arah cedera difus neurologis adalah influks kalsium yang

berlebihan pada neuron yang rusak, pelepasan sitokin, kerusakan oleh radikal

bebas, kerusakan pada reseptor dinding sel, inflamasi dan perubahan pada

asetikolin, katekolamin, dan sistem neurotransmiter serotonergik. Penelitian post

mortem pada manusia dengan nyeri kepala kronik post trauma menunjukan

kerusakan axon difus, pengelompokan mikroglia, dan adanya bukti berupa

perdarahan petekie yang kecil-kecil yang tidak mengakibatkan defisit neurologis

fokal.

gaya akselerasi rotasional dapat menimbulkan disrupsi mielin dan neurilemna oleh

karena adanya peregangan. Terjadi perdarahan kapiler (mikroskopik) yang dapat

dibujktikan dengan adanya axonal retraction bulba dan parut mikroglial.

Perubahan ini terjadi secara difus , terutama pada corpus callosum dan kuadran

dorsolateral batang otak. Perubahan-perubahan tersebut dikenal sebagai diffuse

axonal injury

2.5 Gejala Klinik

Pada kasus-kasus sindroma postconcussion secara khas terdapat keluhan gejala-

gejala yang stereotipik yang hanya sedikit berbeda dari satu pasien dengan pasien

lainnya. Dari anamnesa terdapat cedera kepala ringan dengan sedikit atau tanpa

gangguan kesadaran. Keluhan-keluhan tersebut terdiri atas nyeri kepala,

iritabilitas dan dizziness, biasanya dipresipitasi dengan postur tegak. Vertigo tidak

lazim didapat, bila ada diduga akibat kerusakan pada telinga bagian dalam, N.

VIII atau batang otak. Gejala lain yang jarang adalah fotofobia dan rentan

terhadap suara. Kadang-kadang terdapat reaksi konversi, meliputi gangguan

penglihatan, gangguan pendengaran, ataksia, parese atau lebih anggota gerak dan

keluhan gangguan sensorik yang tidak jelas. Gangguan kemampuan

Page 7: Pengenalan Dan Penanganan Post

berkonsentrasi dan kesulitan dalam berfikir pada banyak pasien dapat

menimbulkan ansietas.

Ketidakmampuan untuk melaksanakan tugas tertentu dengan efisiensi dan

kecepatan yang sama seperti sebelum terjadi cedera menimbulkan berbagai

pertahanan psikologik. Beberapa pasien menjadi iritable, bersikap bermusuhan

dan mudah berprasangka, sementara pada pasien lain menarik diri dari

lingkungannya untuk bersembunyi dari kekurangannya. Depresi kadang-kadang

terlihat setelah 1-3 bulan. Namun kebanyakan pasien dapat kembali bekerja dan

akhirnya mengalami remisi dari gejala-gejalanya.

Pada kasus-kasus dengan gambaran psikoneurotik, pemeriksaan

neurologic hasilnya normal dan tidak sejalan dengan gejala pengobatan. Program

terapi yang mendasar pada sindroma ini belum dapat diformulasikan karena

mekanisme dari sindroma ini belum sepenuhnya diketahui. Untuk mengurangi

sekecil mungkin disabilitas akibat sindroma postconcussion, dokter dapat

berperan besar dengan memberikan keyakinan pada pasien yang cendrung

terdapat kecemasan setelah cedera kepala. Gejala-gejala pada pasien sering dapat

diperbaiki dengan memberikan penjelasan mengenai penyebab, mekanisme dan

perjalanan penyakit dari gejala-gejala yang dialami pasien, menggaris bawahi

kemungkinan yang besar untuk pulih secara sempurna dalam waktu relatif

singkat.

Sikap penuh perhiatian dari dokter sangat membantu. Dokter perlu

menyediakan waktu pada saat pemeriksaan pertama maupun pada follow-up

selanjutnya dan mendiskusikan dengan pasien mengenai masalah cederanya.

Nyeri kepala adalah gejala sindroma postconcussion yang dapat diobati meskipun

menfaatnya relatif terbatas. Dapat diberikan alkaloid ergot (Ergonovine)

sebagai profilaksis. Bila perlu dapat diberikan Phenothiazine. Amitriptilin dan

Propranolol untuk mengendalikan kecemasan yang berlebih. Dengan

menggunakan Ergonovin, Amitriptilin dan Propranolol pada 100 pasien, 19

diperoleh perbaikan yang nyata, 24 perbaikan sdang dan sisanya hanya sedikit

perbaikan atau tidak ada perubahan. Pemberian analgetik dapat mendukung,

namun harus dibatasi penggunaan hariannya. Indometasin (75-250 mg/hari) dan

Page 8: Pengenalan Dan Penanganan Post

Naproxen (1000-15000 mg/hari) berguna untuk menghindari ketergantungan

terhadap analgetik.

Seperti halnya pada pasien dengan nyeri kepala kronik, kontraksi otot-otot

leher secara sekunder bisa meningkatkan masalah nyeri. Hal ini dapat dicoba

diatasi dengan pemberian pemanasan, pijat, traksi leher, collar, bantal pada leher.

Ambulasi dini sering dapat mencegah timbulnya gejala neurotik, dan pasien-

pasien cedera kepala ringan dapat diijinkan untuk bergerak dan mandiri sesegera

mungkin. Bagi yang mampu dianjurkan untuk kembali bekerja segera.

Namun pada pasien-pasien dengan pekerjaan yang membutuhkan intelektualitas

hendaknya tidak terlalu cepat dianjurkan kembali bekerja untuk menghindari

timbulnya keyakinan bahwa dirinya sudah tidak mampu melaksanakan

pekerjaannya. Hal ini bisa memulai suatu lingkaran konflik antara keinginan

bekerja dan kecemasan yang akan dapat memperberat gejala-gejalanya.

2.6 Diagnosa Pcs

Menilai seluruh spektrum gejala diperlukan untuk mendiagnosa secara

tepat PCS. Gejala PCS pada dasarnya adalah kelanjutan dari gejala gegar otak

akut, namun gejala-gejala tersebut dapat saling berinteraksi yang mengakibatkan

perburukan dari gambaran penyakit ini (contohnya pada gangguan tidur yang

dapat memperburuk kemampuan untuk konsentrasi). Menurut ICD-10, PCS

adalah sejumlah gejala yang muncul setelah adanya trauma kepala, dimana trauma

kepala yang terjadi menimbulkan hilangnya kesadaran dan harus ada minimal 3

gejala seperti sakit kepala, pusing, kelelahan, perasaan mudah tersinggung,

kesulitan dalam konsentrasi dan mengerjakan sejumlah tugas, gangguan memori,

insomnia, dan berkurangnya toleransi terhadap stress maupun kejadian emosional.

Gejala dari PCS secara garis besar dapat digolongkan menjadi 4, yakni gejala

somatis atau fisik (sakit kepala, mual, pusing, gangguan keseimbangan, kelelahan,

dan sensitif terhadap cahaya dan suara), kognitif (konsentrasi dan memori yang

buruk, kesadaran mental “berkabut”, ketangkasan yang melambat), emosional

(lekas marah, sedih, cemas, emosi labil) atau terkait dengan tidur (tidur lebih lama

atau sedikit dibanding biasanya, sulit untuk memulai tidur atau mudah terjaga,

mengantuk).

Page 9: Pengenalan Dan Penanganan Post

Gambar 1. Gejala-gejala dari PCS2

Diagnosa PCS juga dipersulit oleh adanya gejala gangguan lain (misalnya

depresi, post traumatic stress disorders). Iverson menyatakan bahwa 90% pasien

depresi akan memenuhi kriteria PCS berdasarkan keluhan pribadi dan 50% akan

memenuhi kriteria konservatif untuk diagnosis1. Penting untuk diperhatikan

kondisi sebelum trauma dan untuk selalu menilai perburukan kondisi yang terjadi

setelah trauma kepala misalnya riwayat cedera dan gejala berikutnya, prestasi

akademik dan pergulatan pekerjaan, stress dalam keluarga atau lingkungan sosial,

dan pengobatan sebelumnya.

Tidak ada garis pedoman untuk pencitraan diagnostik PCS, namun banyak

dokter melakukan pencitraan kranial. Tomografi terkomputerisasi (Computed

tomography-CT) sering kurang bermanfaat. Pencitraan resonansi magnetik

(Magnetic resonance imaging-MRI), signal-weighted MRI, dan pencitraan tensor

difusi (Diffusion tensor imaging-DTI) dapat mengidentifikasi adanya kelainan di

kepala, yang dapat membantu untuk menjelaskan gejala dan perpanjangan waktu

penyembuhan. Banyak penelitian yang sedang dikerjakan pada area ini.

Cedera yang secara klinis signifikan dapat tidak disertai kelainan pada CT

scan atau pada MRI karena sifat kerusakan yang difus. Beberapa penelitian

menunjukan bahwa MRI lebih sensitif untuk mendeteksi kerusakan SSP dengan

gangguan kesadaran bila dibandingkan CT scan, MRI lebih baik dalam

mendeteksi abnormalitas seperti kontussio, edema fokal, dan lesi mikroskopis

(misalnya perdarahan mikropetekie), terutama bila pemeriksaan dilaksanakan

beberapa hari setelah kejadian trauma. Pemeriksaan dengan single photon

Page 10: Pengenalan Dan Penanganan Post

emission computed tomography (SPECT) telah menunjukan penurunan aliran

darah regional yang asimetris selama 3 tahun setelah cedera, terutama pada pasien

yang mengalami nyeri kepala post trauma, yang menunjukan bahwa terjadi

perubahan jangka panjang fisiologis setelah cedera. Penelitian dengan positron

emission tomography (PET) menunjukan adanya reduksi dalam tingkat metabolik

glukosa pada individu yang didiagnosis post concussional syndrome.

Elektroensefalogram kadang-kadang dapat menunjukkan aktivitas gelombang

lambat yang asinkron setelah trauma kepala sedang., tetapi lebih sering

memberikan hasil normal, sehingga tidak dapat dipakai sebgai tes skrining untuk

sindroma post concusion.

Page 11: Pengenalan Dan Penanganan Post

DAFTAR PUSTAKA

1. Logan K. Recgnition and Management of Post-Concussion Syndrome.

Human Kinetics. 2010;15:4-7.

2. Reddy CC. Postconcussion syndrome: a Physiarist’s Approach. American

Academy of Physical Medicine and Rehabilitation.2011;3:396-405