PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN ASUPAN · PDF fileyang mendasari terjadinya penyakit ginjal...
Transcript of PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN ASUPAN · PDF fileyang mendasari terjadinya penyakit ginjal...
PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN ASUPAN CAIRAN
DENGAN MEDIA AUDIOVISUAL TERHADAP KEPATUHAN
PEMBATASAN CAIRAN PADA PASIEN HEMODIALISA
DI RUANG HEMODIALISA RSUD DR. SOEHADI
PRIJONEGOROSRAGEN
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan
Oleh:
Sri Hartati
NIM. ST14056
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
i
PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN ASUPAN CAIRAN
DENGAN MEDIA AUDIOVISUAL TERHADAP KEPATUHAN
PEMBATASAN CAIRAN PADA PASIEN HEMODIALISA
DI RUANG HEMODIALISA RSUD DR. SOEHADI
PRIJONEGORO SRAGEN
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan
Oleh:
Sri Hartati
NIM. ST14056
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
ii
iii
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Sri Hartati
NIM : ST14056
Dengan ini menyatakan bahwa :
1) Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik (sarjana), baik di Stikes Kusuma Husada
Surakarta maupun di perguruan tinggi lain.
2) Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri
tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan masukan
Tim Penguji.
3) Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis
atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas
dicantumkan dalam daftar pustaka.
4) Pernyataan ini saya buat sesungguhnya dan apabila di kemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka
saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang
telah diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma
yang berlaku di perguruan tinggi ini.
Surakarta, Januari 2016
Yang membuat pernyataan,
(Sri Hartati)
NIK. ST14056
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya bagi Allah SWT yang telah menciptakan langit dan bumi
beserta semua pengetahuan di dalamnya, atas rahmat dan karunia-Nya peneliti
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Pendidikan Kesehatan
Asupan Cairan Dengan Media Audiovisual Terhadap KepatuhanPembatasan
Cairan Pada Pasien HemodialisaDi Ruang Hemodialisa RSUDdr. Soehadi
Prijonegoro Sragen”. Peneliti banyak mendapat bimbingan dan dukungan dari
berbagai pihak dalam penyusunan skripsi ini,, untuk itu peneliti mengucapkan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Ns. Wahyu Rima Agustin, M.Kep., selaku Ketua STIKes Kusuma Husada
Surakarta dan juga selaku penguji, yang telah memberikan kesempatan untuk
studi di STIKes Kusuma Husada Surakarta dan memberikan masukan dan
arahan serta bimbingan selama penyusunan skripsi ini.
2. Ns. Atiek Murharyati, M.Kep., selaku Ketua Program Studi Keperawatan
STIKes Kusuma Husada Surakarta, yang telah memberikan ijin dan
kesempatan untuk mengikuti perkuliahan di STIKes Kusuma Husada
Surakarta..
3. Ns. Anita Istiningtyas, M.Kep., selaku pembimbing utama yang telah
memberikan masukan dan arahan serta bimbingan selama penyusunan skripsi
ini.
4. Ns. Ika Subekti Wulandari, M.Kep., selaku pembimbing pendamping yang
telah memberikan masukan dan arahan serta bimbingan selama penyusunan
skripsi ini.
5. dr. Djoko Sugeng P, M.Kes., selaku direktur RSUD dr. Soehadi Prijonegoro
Sragen yang memberikan kesempatan kepada peneliti untuk melakukan
penelitian di RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen.
6. Direktur RSUD Sukoharjo beserta Kabid Diklat yang memberikan
kesempatan kepada peneliti untuk melakukan uji instrumen penenlitian di
RSUDSukoharjo.
v
7. Dhiding Supariti, S.Kep.,Ns, selaku Kasie keperawatan RSUD dr. Soehadi
Prijonegoro Sragen yang telah mendukung dan bekerja sama selama proses
penelitian dilakukan.
8. Kepala Bidang Diklat RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen (dr. Aminan,
Sp.JP) beserta staf-stafnya yang senantiasa memberikan dukungan dan
kemudahan dalam proses administratif dan teknik dalam pengumpulan data
penelitian.
9. Staf non akademik Program Studi Keperawatan STIKes Kusuma Husada
Surakarta yang telah membantu menyediakan fasilitas yang dibutuhkan
peneliti.
10. Orang tua, suami dan anak-anakku tersayang yang tiada henti dan jemu
mendoakan dan memberikan dukungan.
11. Rekan-rekan Program Studi Ilmu keperawatan angkatan 2014 yang saling
mendukung.
Harapan peneliti semoga skripsi ini membawa manfaat bagi kita sebagai
profesi dalam peningkatan mutu pendidikan dan pelayanan keperawatan.
Surakarta, Januari 2016
Peneliti
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………….. i
LEMBAR PENGESAHAN...…………………………………………….... ii
SURAT PERNYATAAN............................................................................... iii
KATA PENGANTAR.................................................................................... iv
DAFTAR ISI................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL........................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... x
ABSTRAK...................................................................................................... xi
ABSTRACT.................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang............................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah........................................................................ 6
1.3. Tujuan Penelitian......................................................................... 7
1.4. Manfaat Penelitian....................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10
2.1. Tinjauan Teori.............................................................................. 10
2.1.1. Konsep CKD.................................................................... 10
2.1.2. Hemodialisa...................................................................... 26
2.1.3. Kepatuhan......................................................................... 42
2.1.4. Pembatasan Asupan Cairan.............................................. 47
vii
2.1.5. Pendidikan Kesehatan...................................................... 49
2.2. Keaslian Penelitian....................................................................... 52
2.3. Kerangka Teori............................................................................ 53
2.4. Kerangka Konsep ........................................................................ 54
2.5. Hipotesis....................................................................................... 54
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 55
3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian..................................................... 55
3.2. Populasi dan Sampel...................................................................... 57
3.3. Tempat dan Waktu Penelitian........................................................ 58
3.4. Variabel, Definisi operasional dan Skala Pengukuran................... 59
3.5. Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data................................. 60
3.6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data........................................... 65
3.7. Etika Penelitian............................................................................ 68
BAB IV HASIL PENELITIAN 70
4.1. Analisa Univariat......................................................................... 70
4.2. Analisa Bivariat........................................................................... 74
BAB V PEMBAHASAN 76
5.1. Uji Univariat................................................................................. 76
5.2. Uji Bivarat.................................................................................... 87
BAB VI PENUTUP 94
6.1. Simpulan...................................................................................... 94
6.2. Saran............................................................................................ 95
DAFTAR PUSTAKA 96
LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel Judul Tabel Halaman
2.1. Klasifikasi CKD 12
3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian 59
4.1. Karakteristik Usia Responden 70
4.2. Karakteristik Jenis Kelamin Responden 70
4.3. Karakteristik Tingkat Pendidikan Responden 71
4.4. Karakteristik Status Pernikahan Responden 71
4.5. Karakteristik Lama HD Responden 72
4.6. Kepatuhan Pembatasan Cairan pada Kelompok
Kontrol dan Eksperimen Sebelum Pendidikan
Kesehatan
72
4.7. Kepatuhan Pembatasan Cairan pada Kelompok
Kontrol dan Eksperimen Sebelum Pendidikan
Kesehatan pada Observasi 1, Observasi 2 dan
Observasi 3
73
4.8. Perbedaan Tingkat Kepatuhan Pembatasan Cairan
pada Kelompok Eksperimen
74
4.9. Perbedaan Tingkat Kepatuhan Pembatasan Cairan
pada Kelompok Kontrol
74
4.10. Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap
Kepatuhan
75
ix
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar Judul Gambar Halaman
2.1 Kerangka Teori Penelitian 53
2.2 Kerangka Konsep Penelitian 54
3.1 Desain Penelitian 56
x
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Lampiran Keterangan
1 Surat Permohonan Ijin Studi Pendahuluan Penelitian
2 Surat Jawaban Permohonan Ijin Studi Pendahuluan
Penelitian
3 Time Schedule Penelitian
4 Kuesioner Penelitian
5 SAP & Materi
6 Surat Permohonan Ijin Uji Validitas Reliabilitas
7 Surat Jawaban Permohonan Uji Validitas Reliabilitas
8 Surat Keterangan Telah Melakukan Uji Validitas Reliabilitas
9 Surat Permohonan Ijin Penelitian
10 Surat Jawaban Permohonan Ijin Penelitian
11 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian
12 Data Penelitian
13 SPSS Penelitian
xi
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA
2016
Sri Hartati
Pengaruh Pendidikan Kesehatan Asupan Cairan Dengan Media Audiovisual
Terhadap Kepatuhan Pembatasan Cairan Pada Pasien Hemodialisa
Di Ruang Hemodialisa RSUDdr. Soehadi Prijonegoro Sragen
ABSTRAK
Pasien Chronic Kidney Disease (CKD) yang secara rutin menjalani
hemodialisa biasanya mengalami kelebihan volume cairan karena penurunan
fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan. Ketidakpatuhan pasien dalam
pembatasan cairan merupakan diagnosa keperawatan utama yang memerlukan
asuhan keperawatan terbaik dari perawat hemodialisa. Tujuan penelitian adalah
mengetahui adanya pengaruh antara pengaruh pendidikan kesehatan dengan
menggunakan meode audio visual terhadap kepatuhan pembatasan cairan.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif menggunakan metode quasi
experiment non randomized pretest-posttest with control group design. Sampel
penelitian berjumlah 40 pasien hemodialisa. Penelitian ini menggunakan uji
wilcoxon dan mann whitney.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh pendidikan kesehatan
dengan menggunakan metode audio visual terhadap kepatuhan pembatasan cairan
dengan p value 0,000.
Pendidikan kesehatan dengan menggunakan metode audiovisual dapat
meningkatkan kepatuhan karena menampilkan gerak, gambar dan suara sehingga
lebih menarik dan tidak monoton.
Kata Kunci: pendidikan kesehatan, audio visual, kepatuhan, Chronic Kidney
Disease, hemodialisa
Daftar Pustaka : 68 (2000-2015)
xii
BACHELOR OF NURSING PROGRAM
SCHOOL OF HEALTH SCIENCES OF KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
Sri Hartati
The Contribution of Healthcare Education with Audiovisual Media on Fluid
Intake to the Adherence to Fluid Restrictions in Hemodialysis Patients in
Hemodialysis Room at Dr. Soehadi Prijonegoro Regional Public Hospital of
Sragen
Abstract
Patients with Chronic Kidney Disease (CKD) regularly undergoing
hemodialysis tend to have excess fluid volume as a result of decreased kidney
function to remove extra fluids. Patients’ poor adherenceto fluid intake restrictions
is a major nursing diagnosis which requires good nursing service. This study aims
at investigating the relationship between the contributions of healthcare education
on the use of audiovisual media to the adherence on fluid restrictions.
This is a quantitative research using quasi-experimentaldesign with
nonrandomized control group pretest and post-test. A total of 40 patients with
hemodialysis were used as samples. This research applied Wilcoxon and Mann-
Whitney tests.
The results demontrate the contribution of health education on the use of
audiovisual media method to adherence on fluid restrictions with p-value of 0.000.
It is concluded that using audiovisual method can improve adherence on
fluid restrictions since the media present motion, picture and voice to makemore
interesting and engaging education.
Keywords : health education, audiovisual, adherence, Chronic Kidney
Disease, hemodialysis.
Bibliography : 68 (2000-2015)
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Chronic Kidney Disease (CKD) kini telah menjadi masalah kesehatan
serius di dunia. Penyakit ginjal dan saluran kemih telah menyebabkan
kematian sebesar 850.000 orang setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa
penyakit ini menduduki peringkat ke-12 tertinggi angka kematian (WHO,
2002).
CKD merupakan proses patofisiologi dengan etiologi yang multipel,
menyebabkan pengurangan sejumlah nefron dan fungsinya secara progresif
yang mendasari terjadinya penyakit ginjal terminal (Sukandar, 2006). CKD
mulai secara perlahan-lahan, menjadi penyakit kronik dan akhirnya menjadi
masalah yang serius dalam fungsi ginjal. Terapi pengobatan yang dilakukan
harus sesuai dengan kondisi fungsi ginjal tersebut (Leather Land, 2007).
CKD adalah satu dari penyakit kronik terbanyak yang dialami masyarakat
dunia, dimana hampir mengenai dua sampai tiga persen (Tavangar &
Sadeghian, 2003). Prevalensi CKD meningkat setiap tahunnya. Prevalensi
CKD meningkat sebanyak delapan persen dari tahun 2004 sampai dengan
2009. Terdapat 16,8 % dari populasi penduduk usia di atas 20 tahun
mengalami CKD dari kurun waktu 1999 sampai dengan 2004. Persentase ini
meningkat bila dibandingkan data enam tahun sebelumnya, yaitu 14,5%
(CDC, 2007).
2
Penatalaksanaan pasien CKD salah satunya adalah dengan hemodialiasa
(HD). HD masih menjadi alternatif yang baik bagi para penderita CKD.
Kualitas hidup pasien CKD yang menjalani hemodialisa cukup baik dan
panjang usia hidup sampai sekarang adalah 14 tahun (Rahardjo, 2006).
Pasien yang menjalani HD tiga kali dalam seminggu sejumlah 15.000
pasien di Iran. Kementerian Kesehatan Iran mengeluarkan data statistik
bahwa jumlah tersebut 20% dari seluruh pasien HD (Ghasemi, 2006).
Amerika sejumlah 280.000 pasien menjalani hemodialisa, lebih dari 120.000
(28%) menjalani transplantasi ginjal dan lebih dari 24.000 (7%) menjalani
Countinous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) (Brunner & Suddarth,
2008).
HD di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah
dilaksanakan di rumah sakit-rumah sakit rujukan maupun pelayanan
kesehatan lain. Jumlah Unit Renal yang melayani pelayanan HD berjumlah
244, dengan jumlah mesin HD 2242 dari berbagai merk. Jumlah pasien yang
menjalani HD di Indonesia sampai tahun 2012 berjumlah 15980 pasien
dengan jumlah perawat HD yang tersertifikasi sejumlah 1319 (IRR, 2012).
HD dapat memperpanjang usia hidup pasien, tetapi tidak bisa memperbaiki
fungsi ginjal yang telah rusak karena proses penyakit dan HD tidak secara
total menggantikan fungsi ginjal. Pasien HD menghadapi beberapa masalah
dan efek samping yang merugikan (Brunner & Suddarth, 2008).
HD adalah terapi jangka panjang, oleh karena itu pasien membutuhkan
adanya panduan untuk berkompromi dengan penyakitnya agar tidak menjadi
3
parah dan dapat menjaga kualitas hidup (Sajjadi, et al, 2008). Beberapa hal
yang harus diperhatikan untuk menjaga kualitas hidup pasien CKD adalah
konsumsi obat setiap hari, perubahan gaya hidup serta pembatasan asupan
makanan dan cairan. Pembatasan asupan cairan adalah hal yang penting
dilakukan pasien HD. Batas asupan cairan yang bisa dikonsumsi pasien
perhari adalah 500-750 ml ditambah jumlah urine/24 jam sehingga kenaikan
berat badan pasien tidak lebih dari 0,45 kg/hari (Almatsier, 2005).
Ketidakpatuhan terhadap pembatasan cairan adalah hal yang banyak
ditemui pada pasien HD. Diperkirakan 50% pasien tidak mengikuti secara
benar diet makanan maupun asupan cairan (Kutner, 2001). Selaras dengan
penelitian yang dilakukan oleh Kugler, dkk (2011) yang menemukan hasil
bahwa ketidakpatuhan pasien HD di Amerika dan Jerman terhadap
pembatasan asupan makanan adalah 80,4%, sedangkan ketidakpatuhan
pembatasan cairan adalah 75,3%. Penelitian yang dilakukan oleh Ramelan,
Ismonah, Hendrajaya (2013) menemukan bahwa ketidakpatuhan asupan
cairan pasien HD di RS Telogorejo Semarang adalah 35,4%.
Ketidakpatuhan terhadap pembatasan cairan membahayakan karena
mortalitas akan meningkat pada pasien hemodialisa apabila terjadi
peningkatan cairan tubuh 5,7% dari berat badan kering klien selama sesi
hemodialisa (Fisher, 2006). Peningkatan berat badan akibat asupan cairan
pasien yang tidak terkontrol tersebut yang menyebabkan terjadinya hipertensi
dan edema paru. Pasien juga akan merasa tidak nyaman karena sesak nafas,
lelah dan lemas (Fisher, 2004 cit. Fisher 2006). Kelebihan volume cairan
4
tubuh yang menyebabkan hipertensi dan odema pulmonum, akan
meningkatkan kemungkinan terjadinya kegawatdaruratan hemodialisis dan
meningkatkan risiko dilatasi dan hipertropi jantung. Sirkulasi volume darah
yang efektif dan optimal sangat diperlukan untuk menghindari komplikasi
sirkulasi (Lubis, 2008).
Pasien penyakit ginjal tahap akhir baik sebelum dan sesudah dilakukan
terapi hemodialisis cenderung mengalami fluktuasi volume cairan tubuh
(Lubis, 2008). Fluktuasi atau kelebihan cairan tersebut disebabkan oleh
penurunan fungsi ginjal dalam mengekresikan cairan dan kurangnya
kepatuhan pasien dalam membatasi asupan cairan pada pasien hemodialisa
rutin,.
Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan, alasan ketidakpatuhan
tersebut adalah keterbatasan informasi yang didapatkan pasien (Barnett, Li
Yoong & Pinikahana, 2008). Intervensi yang tepat untuk meningkatkan
kepatuhan pasien terhadap pembatasan asupan cairan adalah pendidikan
kesehatan. Pasien yang mendapatkan informasi yang tepat tentang
penyakitnya lebih efektif berpartisipasi dalam proses terapi adalah pendidikan
kesehatan (Brunner & Suddart, 2008).
Peran perawat adalah memberikan pendidikan kesehatan yang dibutuhkan
kepada pasien dan keluarga (Kallenbach, et, al., 2003). Perawat sebagai
edukator dapat menggunakan berbagai metode dan media yang dibutuhkan
agar pendidikan kesehatan yang diberikan kepada pasien menimbulkan hasil
yang baik yaitu perubahan perilaku hidup sehat. Berbagai media dapat
5
dipakai untuk memberikan pendidikan kesehatan seperti metode diskusi,
ceramah, audio visual maupun dengan media pamlet. Informasi akan
disimpan dalam memory 20% jika disampaikan dengan menggunakan media
visual, 50% jika menggunakan media audiovisual dan 70% jika dilakukan
dalam praktek nyata. Pertimbangan pengaruh budaya dalam proses belajar
diketahui bahwa intruksi akan lebih efektif apabila disampaikan dalam
bentuk video yang menampilkan pesan menyerupai benda asli (Notoatmodjo,
2007).
Penelitian Hare, Carter, & Forshaw (2013) membuktikan bahwa metode
terapi kognitif dapat menurunkan adanya oedema setelah 6 minggu intervensi
sebagai indikasi peningkatan terhadap kepatuhan pembatasan asupan cairan.
Penelitian Parvan et, al (2015) menemukan hasil bahwa penggunaan metode
pamflet dan tatap muka dalam memberikan pendidikan kesehatan
meningkatkan nilai pengetahuan dan juga kepatuhan terhadap terapi dan diet.
Fernandez, et al (2014) menggunakan berbagai metode untuk meningkatkan
kepatuhan pasien yaitu dengan audio visual, dose reminder, pelatihan tehnis
dan juga pemberian motivasi.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada tanggal 1 Juni 2015 di RSUD
dr. Soehadi Prijonegoro, CKD merupakan penyakit nomor satu terbanyak
pada tahun 2014 yaitu berjumlah 683 kasus. Sebanyak 549 pasien harus
menjalani hemodialisa karena sudah merupakan CKD grade V, akan tetapi
yang melaksanakan HD 336 pasien. Data lain yang didapatkan adalah
sembilan pasien dari 20 pasien yang menjalani HD dua kali dalam seminggu
6
dengan lama HD lima jam mengalami ascites, oedema ekstremitas dan susah
buang air kecil sedangkan kadar albumin dalam rentang normal. Hasil
wawancara dengan pasien didapatkan hasil bahwa karena merasa haus maka
pasien cenderung tidak membatasi asupan cairan. Pasien mengetahui bahwa
harus membatasai asupan cairan tetapi tidak tahu secara pasti jumlah asupan
cairan yang diperbolehkan. Pendidikan kesehatan oleh perawat dan dokter
HD telah dilakukan pada saat pertama akan mulai HD, pendidikan kesehatan
yang dilakukan dengan metode ceramah dan diskusi dan belum menggunakan
media.
Berdasarkan data di atas, peneliti mencoba untuk meneliti pengaruh
pendidikan kesehatan asupan cairan dengan media audiovisual terhadap
kepatuhan pembatasan cairan pada pasien hemodialisa di Ruang Hemodialisa
RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen.
1.2. Rumusan Masalah
Ketidakpatuhan terhadap pembatasan cairan adalah hal yang banyak
ditemui pada pasien HD. Peran perawat adalah memberikan pendidikan
kesehatan yang dibutuhkan kepada pasien dan keluarga. Perawat sebagai
edukator dapat menggunakan berbagai metode dan media yang dibutuhkan
agar pendidikan kesehatan yang diberikan kepada pasien menimbulkan hasil
yang baik yaitu perubahan perilaku hidup sehat dan salah satu metode yang
dianggap efektif adalah media audiovisual.
7
Berdasarkan fenomena yang terjadi di RSUD dr. Soehadi Prijonegoro
Sragen maka rumusan masalah penelitian ini adalah “adakah pengaruh
pendidikan kesehatan asupan cairan dengan media audiovisual terhadap
kepatuhan pembatasan cairan pada pasien hemodialisa di Ruang Hemodialisa
RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen?”
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
pendidikan kesehatan dengan media audiovisual terhadap kepatuhan
pembatasan cairan pada pasien hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD
dr. Soehadi Prijonegoro Sragen.
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini untuk:
1. Mengidentifikasi karakteristik pasien HD di Ruang Hemodialisa RSUD dr.
Soehadi Prijonegoro Sragen.
2. Mengidentifikasi tingkat kepatuhan pada kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol pasien HD di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi
Prijonegoro Sragen.
3. Mengidentifikasi perbedaan kepatuhan pada kelompok eksperimen di
Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen.
4. Mengidentifikasi perbedaan kepatuhan pada kelompok kontrol di Ruang
Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen.
8
5. Menganalisis perbedaan tingkat kepatuhan setelah dilakukan pendidikan
kesehatan media audio visual pada kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol HD di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Bagi Pasien
Pasien HD mendapatkan intervensi pendidikan kesehatan dengan
menggunakan media audio visual yang efektif untuk meningkatkan
kepatuhan pasien.
1.4.2. Manfaat Bagi Perawat Ruang HD
1. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi managemen rumah sakit
bahwa dengan teridentifikasinya efektifitas pendidikan kesehatan dengan
menggunakan media audiovisual dalam meningkatkan kepatuhan pasien
maka perawat ruang HD dapat menyusun pedoman baku tentang
pendidikan kesehatan bagi pasien CKD yang menjalani hemodialisa.
2. Masukan bagi perawat ruang HD untuk membuat rencana intervensi
terhadap upaya peningkatan kepatuhan pasien terhadap program terapi
yang diberikan.
1.4.2. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini bermanfaat bagi khasanah keilmuan keperawatan dan
pendidikan keperawatan, bahwa dengan teridentifikasinya efektifitas
pendidikan kesehatan dalam meningkatkan kepatuhan pasien maka
institusi pendidikan dapat melakukan upaya untuk meningkatkan
9
kemampuan peserta didik perawat dalam memberikan pendidikan
kesehatan.
1.4.3. Manfaat Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian ini bermanfaat bagi peneliti lain yang mempunyai minat
dan fokus mengenai pendidikan kesehatan untuk meningkatkan kepatuhan
pembatasan asupan cairan pada pasien CKD, peneliti lain dapat
mengembangkan penelitian sejenis dengan perbaikan yang menjadi
keterbatasan dalam penelitian ini dan meneliti pendidikan kesehatan
dengan menggunaan metode lainnya yang tidak diteliti dalam penelitian
ini, misal dengan metode pamlet, tatap muka, terapi kognitif dan yang
lainnya.
1.4.4. Manfaat Bagi Peneliti
Merupakan media pembelajaran dalam menerapkan ilmu dan pengetahuan
yang didapatkan selama menempuh perkuliahan akademik pada suatu
tatanan praktek pelayanan keperawatan yang nyata di rumah sakit dan
merupakan pengalaman berharga dalam melakukan penelitian.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teori
2.1.1.Konsep CKD
2.1.1.1. Definisi
National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome
Quality Initiative (K/DOQI) telah menyusun pedoman praktis
penatalaksanaan klinik tentang evaluasi, klasifikasi, dan stratifikasi
penyakit ginjal kronik. Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit
Ginjal Kronik (PGK) adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih
dari tiga bulan, berdasarkan kelainan patologis pada tahun 2002. Diagnosis
penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerolus kurang
dari 60 ml/menit/1,73 m² jika tidak ada tanda kerusakan ginjal. Kriteria
bukan CKD adalah pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari
tiga bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73 m² (Konsensus
Hemodialisa Pernefri, 2013).
CKD merupakan suatu penurunan fungsi jaringan ginjal secara
progresif sehingga massa ginjal yang masih ada tidak mampu lagi
mempertahankan lingkungan internal tubuh (Black & Hawks, 2005).
Adapun batasan penyakit ginjal kronik menurut Suwitra (2006) bahwa
penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi
yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan
11
pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang
irreversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal
yang tetap, berupa dialysis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu
sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat
penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.
Chronic Kidney Disease( CKD ) atau End Stage Renal Disease
(ESRD) adalah kerusakan fungsi ginjal yang progresif dan tidak dapat
pulih kembali, dimana tubuh tidak mampu memelihara metabolisme dan
gagal memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit berakibat
peningkatan ureum (azotemia) (Smeltzer, et al. 2008).
2.1.1.2. Klasifikasi CKD
CKD dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat penurunan fungsi
ginjal. Fungsi ginjal dapat dilihat berdasarkan nilai Laju Filtrasi
Glomerolus (LFG)/ Glomerular Filtration Rate (GFR), yang dihitung
dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault. Derajat glomurular
filtration rate (GFR) normal adalah : 125 mL/min/1,73 m²
(Smeltzer,et.al., 2008). Klasifikasi CKD dapat dilihat pada tabel 2.1.
12
Tabel 2.1. Klasifikasi Chronic Kidney Disease
Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt/1,73m²)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑
≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓
ringan
60 – 89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓
sedang
30 – 59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓
berat
15 – 29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
(Konsensus Hemodialisa, Pernfri, 2013)
2.1.1.3. Etiologi CKD
Penyebab CKD di Indonesia menurut Indonesian Renal Registry (IRR)
tahun 2012, adalah:
1. Penyakit ginjal hipertensi 35%
2. Nefropati diabetika 26%
3. Glumerulopati primer 12%
4. Nefropati obstruksi 8%
5. Pielonefritik kronik 7%
6. Lain-lain 6%
7. Tidak diketahui 2%
8. Nefropati asam urat 2%
9. Ginjal polikistik 1%
13
2.1.1.4. Patofisiologi
Patofisiologi awalnya tergantung dari penyakit yang mendasari dan
pada perkembangan lebih lanjut proses yang terjadi hampir sama (Black &
Hawks, 2005). Adanya pengurangan massa ginjal mengakibatkan
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai
upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti
sitokin dan growth factor sehingga menyebabkan terjadinya hiperfiltrasi
yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat, yang diikuti proses maladaptasi
berupa sklerosis nefron yang masih tersisa dan pada akhirnya akan terjadi
penurunan fungsi nefron secara progresif.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron
intrarenal yang dipengaruhi oleh growth factor Transforming Growth
Factor β (TGF-β) menyebabkan hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas.
Progresifitas penyakit ginjal kronik juga dipengaruhi oleh albuminuria,
hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia (Price & Wilson, 2005). Stadium
awal penyakit ginjal kronik mengalami kehilangan daya cadangan ginjal
(renal reverse) dimana basal laju filtrasi glomerulus (LFG) masih normal
atau malah meningkat dan dengan perlahan akan terjadi penurunan fungsi
nefron yang progresif ditandai adanya peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum (Suwitra, 2006).
Laju Filtrasi Glomerulus sebesar 60%, masih belum ada keluhan
atau asimptomatik tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan
14
kreatinin serum. LFG sebesar 30% mulai timbul keluhan seperti nokturia,
lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan dan setelah
terjadi penurunan LFG dibawah 30% terjadi gejala dan tanda uremia yang
nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme
fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan juga mudah terjadi infeksi
pada saluran perkemihan, pencernaan dan pernafasan, terjadi gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit yaitu hipovolemia, hipervolemia,
natrium dan kalium. LFG kurang dari 15% merupakan stadium gagal
ginjal yang sudah terjadi gejala dan komplikasi yang lebih berat dan
memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara
lain dialisis atau transplantasi ginjal (Price & Wilson, 2005).
Perubahan fisiologis yang dapat terjadi sebagai dampak CKD adalah:
1. Ketidakseimbangan Cairan
Mula-mula ginjal kehilangan fungsinya sehingga tidak mampu
memekatkan urine (hipothenuria) dan kehilangan cairan yang
berlebihan (poliuria). Hipothenuria tidak disebabkan atau
berhubungan dengan penurunan jumlah nefron, tetapi oleh
peningkatan beban zat tiap nefron. Hal ini terjadi karena keutuhan
nefron yang membawa zat tersebut dan kelebihan air untuk nefron-
nefron tersebut tidak dapat berfungsi lama. Terjadi osmotik diuretik,
menyebabkan seseorang menjadi dehidrasi (Brunner & Sudarth,
2012).
15
Ginjal tidak mampu menyaring urine (isothenuria), jika jumlah
nefron yang tidak berfungsi meningkat. Tahap ini, glomerulus menjadi
kaku dan plasma tidak dapat difilter dengan mudah melalui tubulus,
maka akan terjadi kelebihan cairan dengan retensi air dan natrium
(Brunner & Sudarth, 2012).
2. Ketidak seimbangan natrium
Ketidakseimbangan natrium merupakan masalah yang serius
dimana ginjal dapat mengeluarkan sedikitnya 20-30 mEq natrium
setiap hari atau dapat meningkat sampai 200 mEq perhari. Variasi
kehilangan natrium berhubungan dengan “intact nephron theory”.
Nefron menerima kelebihan natrium sehingga menyebabkan GFR
menurun dan dehidrasi. Kehilangan natrium lebih meningkat pada
gangguan gastrointestinal, terutama muntah dan diare. Keadaan ini
memperburuk hiponatremia dan dehidrasi (Brunner & Sudarth, 2012).
CKD yang berat keseimbangan natrium dapat dipertahankan
meskipun terjadi kehilangan yang fleksibel nilai natrium. Orang sehat
dapat pula meningkat di atas 500 mEq/hari. GFR menurun di bawah
25-30 ml/menit, maka ekskresi natrium kurang lebih 25 mEq/hari,
maksimal ekskresinya 150-200 mEq/hari. Natrium dalam diet dibatasi
1-1,5 gram/hari pada kondisi ini (Suwitra, 2006).
3. Ketidakseimbangan Kalium
Hiperkalemia jarang terjadi sebelum stadium 4, jika
keseimbangan cairan dan asidosis metabolik terkontrol.
16
Keseimbangan kalium berhubungan dengan sekresi aldosteron.
Selama output urine dipertahankan kadar kalium biasanya terpelihara.
Hiperkalemia terjadi karena pemasukan kalium yang berlebihan,
dampak pengobatan, hiperkatabolik (infeksi), atau hiponatremia.
Hiperkalemia juga merupakan karakteristik dari tahap uremia.
Hipokalemia terjadi pada keadaan muntah atau diare berat. Pada
penyakit tubuler ginjal, nefron ginjal meresorbsi kalium sehingga
ekskresi kalium meningkat. GFR menurun dan produksi NH3
meningkat jika hipokalemia persisten. HCO3 menurun dan natrium
bertahan (Brunner & Sudarth, 2012).
4. Ketidakseimbangan Asam Basa
Asidosis metabolik terjadi karena ginjal tidak mampu
mengekskresikan ion Hidrogen untuk menjaga pH darah normal.
Disfungsi renal tubuler mengakibatkan ketidakmampuan pengeluaran
ioh H. Pada umumnya penurunan ekskresi H sebanding dengan
penurunan GFR. Asam yang secara terus-menerus dibentuk oleh
metabolisme dalam tubuh tidak difiltrasi secara efektif melewati
glomerolus, NH3 menurun dan sel tubuler tidak berfungsi. Kegagalan
pembentukan bikarbonat memperberat ketidakseimbangan. Sebagian
kelebihan hidrogen dibuffer oleh mineral tulang. Akibatnya asidosis
metabolik memungkinkan terjadinya osteodistrophy (Brunner &
Sudarth, 2012).
17
5. Ketidakseimbangan magnesium
Magnesium pada tahap awal CKD adalah normal, tetapi
menurun secara progresif dalam ekskresi urine menyebabkan
akumulasi. Kombinasi penurunan ekskresi dan intake yang berlebihan
mengakibatkan henti napas dan jantung (Brunner & Sudarth, 2012).
6. Ketidakseimbangan Calsium dan Fosfor
Secara normal calsium dan pospor dipertahankan oleh
parathyroid hormon yang menyebabkan ginjal mereabsorbsi kalsium,
mobilisasi calsium dari tulang dan depresi resorbsi tubuler dari
pospor. Hiperpospatemia dan hipocalsemia terjadi sehingga timbul
hiperparathyroidisme sekunder bila fungsi ginjal menurun 20-25 %
dari normal. Metabolisme vitamin D terganggu. Osteorenaldystrophy
dapat terjadi bila hiperparathyroidisme berlangsung dalam waktu lama
(Brunner & Sudarth, 2012).
7. Gangguan Fungsi Hematologi
Ginjal merupakan tempat produksi hormon eritropoetin yang
mengontrol produksi sel darah merah. Produksi eritropoetin
mengalami gangguan sehingga merangsang pembentukan sel darah
merah oleh bone marrow pada gagal ginjal. Akumulasi racun uremia
akan menekan produksi sel darah merah dalam bone marrow dan
menyebabkan masa hidup sel darah merah menjadi lebih pendek.
Manifestasi klinis anemia diantaranya adalah pucat, takikardia,
penurunan toleransi terhadap aktivitas, gangguan perdarahan dapat
18
terjadi epistaksis, perdarahan gastrointestinal, kemerahan pada kulit
dan jaringan subkutan. Meskipun produksi trombosit masih normal
akan tetapi mengalami penurunan dalam fungsinya sehingga
menyebabkan terjadinya perdarahan. Peningkatan kehilangan sel
darah merah dapat terjadi akibat pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan laboratorium dan selama dialisis. Gagal ginjal juga dapat
menurunkan hematokrit (Brunner & Sudarth, 2012).
8. Retensi Ureum Kreatinin
Urea yang merupakan hasil metabolik protein meningkat
(terakumulasi). Kadar BUN bukan indikator yang tepat dari penyakit
ginjal sebab peningkatan BUN dapat terjadi pada penurunan GFR dan
peningkatan intake protein. Kreatinin serum adalah indikator yang
lebih baik pada gagal ginjal sebab kreatinin diekskresikan sama
dengan jumlah yang diproduksi tubuh secara konstan (Suwitra, 2006).
2.1.1.5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik yang dapat muncul pada klien dengan CKD dapat mengenai
semua sistem diantaranya yaitu (Kallenbach, et.al., 2005) :
1. Gangguan pada sistem gastrointestinal
a. Anoreksia, nausea dan vomitus, berhubungan dengan gangguan
metabolisme protein didalam usus, terbentuknya zat –zat toksik
akibat metabolisme bakteri usus seperti amonia dan metal
guanidine, serta sembabnya mukosa usus.
19
b. Foetor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air
liur diubah oleh bakteri di mulut menjadi amonia sehingga napas
berbau amonia. Akibat yang lain adalah timbulnya stomatitis dan
parotitis.
c. Cegukan (hiccup) sebabnya yang pasti belum diketahui.
d. Gastritis erosif, ulkus peptik, dan kolitis uremik.
2. Kulit
a. Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat
penimbunan urokrom, gatal-gatal dengan ekskoriasi akibat toksin
uremik dan pengendapan kalsium di pori-pori kulit.
b. Ekimosis akibat gangguan hematologis.
c. Urea fros, akibat kristalisasi urea yang ada pada keringat, (jarang
dijumpai)
d. Bekas-bekas garukan karena gatal.
3. Sistem Hematologi
a. Anemia dapat disebabkan berbagai faktor antara lain:
1) Berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga rangsangan
eritropoesis pada sumsum tulang menurun.
2) Hemolisis, akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam
suasana uremia toksik.
3) Defisisensi besi, asam folat, dan lain-lain, akibat nafsu makan
yang berkurang.
4) Perdarahan, paling sering pada saluran cerna dan kulit.
20
5) Fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatirodisme sekunder.
b. Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia
Mengakibatkan perdarahan akibat agregasi dan adhesi trombosit
yang berkurang serta menurunnya faktor trombosit III dan ADP
(adenosin difosfat)
c. Gangguan Fungsi Leukosit
Fagositosis dan kemotaksis berkurang, fungsi limfosit menurun
sehingga imunitas juga menurun.
4. Sistem Saraf dan Otot
a. Restless leg syndrome
Pasien merasa pegal pada kakinya sehingga selalu digerakkan.
b. Burning feat syndrome
Rasa semutan dan seperti terbakar, terutama di telapak kaki.
c. Ensefalopati metabolik
Lemah , tidak bisa tidur, gangguan konsentrasi, tremor, asteriksis,
mioklonus, kejang.
d. Miopati
Kelemahan dan hipotrofi otot-otot terutama otot-otot ekstermitas
proksimal.
5. Sistem Kardiovaskuler
a. Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan
aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron.
21
b. Nyeri dada dan sesak napas akibat perikarditis, efusi perikardial,
penyakit jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini,
dan gagal jantung akibat penimbunan cairan hipertensi.
c. Gangguan irama jantung akibat elektrolit dan klasifikasi metafisik.
d. Edema akibat penimbunan cairan.
6. Sistem Endokrin
a. Gangguan seksual: libido, fertilitas dan ereksi menurun pada laki-
laki akibat produksi testoteron dan spermatogenesis yang menurun.
Sebab yang lain juga dihubungkan dengan metabolik tertentu
(seng, hormon paratiroid). Pada wanita timbul gangguan
menstruasi, gangguan ovulasi sampai amenorea.
b. Gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Pada gagal ginjal yang lanjut (klirens keratinin < 15
mL/ menit), terjadi penurunan klirens metabolik insulin
menyebabkan waktu paruh hormon aktif memanjang. Keadaan ini
dapat menyebabkan kebutuhan obat penurun glukosa darah akan
berkurang.
c. Gangguan metabolisme lemak.
d. Gangguan metabolisme vitamin D
7. Gangguan Sistem Lain
a. Tulang: osteodistrofi renal,yaitu osteomalasia, osteitis fibrosa,
osteoklerosis, dan klasifikasi metastatik.
22
b. Asidosis metabolik akibat penimbunan asam organik sebagai hasil
metabolisme.
c. Elektrolit: hiperfosfatemia, hiperkalemia, hipokalsemia.
2.1.1.6. Penatalaksanaan CKD
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal
ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat
akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal
dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah
atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat
merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus
adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan
keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan
memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2
L per hari bila ureum serum > 150 mg%.
23
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual
tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal
disease).
2. Terapi simptomatis
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum
kalium (hiperkalemia). Suplemen alkali dapat diberikan untuk
mencegah dan mengobati asidosis metabolik. Terapi alkali (sodium
bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau
serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah
satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian
transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian
mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang
sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan
keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan
gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut
sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi
dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
24
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan
kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi
hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi
subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular
yang diderita.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik
stadium lima, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi
tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan
transplantasi ginjal (Shagolian, et al, 2008).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah
gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Terapi dialisis tidak boleh
terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan
memperburuk faal ginjal (LFG) (Potter & Perry, 2005).
25
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi
elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi
refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) >
120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG
antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan
astenia berat (Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai
sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan.
Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen
darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow
fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan
panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala
yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia.
Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur
lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit
sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan
mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal
26
ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien
nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi
non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi
untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari
pusat ginjal (Sukandar, 2006).
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi
dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu
(Wilson, et.al., 2005) :
1) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih
seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya
mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah
2) Kualitas hidup normal kembali
3) Masa hidup (survival rate) lebih lama
4) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama
berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah
reaksi penolakan
5) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
2.1.2. Konsep Hemodialisa
2.1.2.1.Definisi
Hemodialisis merupakan suatu cara untuk mengeluarkan produk
sisa metabolisme berupa larutan (ureum dan kreatinin) dan air yang ada
pada darah melalui membran semipermeabel atau yang disebut dengan
27
dialyzer (Thomas, 2002). Prinsip kerja fisiologis dari hemodialisis adalah
difusi dan ultra filtrasi (Smeltzer, et al, 2008).
Difusi merupakan proses perpindahan molekul dari larutan dengan
konsentrasi tinggi ke daerah dengan larutan berkonsentrasi rendah sampai
tercapai kondisi seimbang (Smeltzer, et al, 2008). Proses terjadinya difusi
dipengaruhi oleh suhu, visikositas dan ukuran dari molekul (Price &
Wilson, 2005). Membran akan mengeluarkan tekanan positif saat darah
dipompa melalui dialyser, sehingga tekanan diruangan yang berlawanan
dengan membran menjadi rendah. Hal ini mengakibatkan cairan dan
larutan dengan ukuran kecil bergerak dari daerah yang bertekanan tinggi
menuju daerah yang bertekanan rendah (tekanan hidrostatik). Cairan dapat
bergerak menuju membran semipermeabel karena adanya tekanan
hidrostatik tersebut. Proses ini disebut dengan ultrafiltrasi (Daugirdas &
Wilson, 2005).
2.1.2.2.Persiapan Pasien hemodialisa
Periode waktu dari mulai dialysis sampai memulai terapi pengganti
ginjal atau Renal Replacement Therapy (RRT), biasanya hanya dalam
waktu yang pendek, tetapi sering ada periode waktu dari beberapa bulan
sampai beberapa tahun ketika pasien harus diberikan waktu untuk
menyesuaikan gaya hidup mereka dan mempersiapkan apapun bentuk
dialysis yang sesuai. Keperluan penanganan pre-dialysis meliputi bantuan
psikologis, termasuk monitor klinis tentang kondisi gangguan ginjal
(Lemone & Burke, 2008).
28
Semua pasien dengan kondisi CKD dengan creatinine plasma
diatas 150 mmol L- 1 dan /atau signifikansi proteinuria (<1 g 24 h-1)
sebaiknya dirujuk kepada ahli nephrologis. Pasien dengan kreatinin di atas
300 mmol L-1 sebaiknya dirujuk secepat mungkin. Struktur pendidikan
dan konseling bagi gangguan ginjal tahap akhir ini harus diberikan oleh
tim multi disiplin ilmu (Kidney Alliance, 2001).
Ada sejumlah pilihan yang perlu dipertimbangkan sehubungan
dengan lokasi treatmen haemodialysis untuk keperluan hemodialisa
jangka panjang.
1. Inserting Accses Hemodialysis
Keberhasilan suatu hemodialisis tergantung pada keadekuatan
aliran darah yang melalui dialyser. Bersihan yang optimal pada
produk sisa tergantung pada aliran dialisat, permeabilitas membran,
area permukaan membran, durasi dilaksanakannya dialisa, dan yang
paling penting yaitu kecepatan aliran darah (Roesli, 2006).
Dua kategori tempat inserting hemodialysis yaitu (Thomas, 2003):
a. Melalui perkutaneus, termasuk jugularis, subklavia dan femoralis.
Akses perkutaneus menggunakan kanula atau kateter yang
dimasukkan ke vena mayor atau vena besar. Kateter digunakan
sementara apabila anastomosis fistula belum matang. Pembuluh
darah vena yang dapat digunakan yaitu subclavia, femoralis dan
vena jugularis internal. Pemasangan kateter dapat berupa satu atau
dua lumen yang dimasukkan dengan menggunakan anastesi lokal
29
atau general. Ketepatan posisi kateter dapat dicek melalui sinar X-
ray (Daugirdas, Blake & Ing, 2007).
Peran perawat disini yaitu perawat dapat memberikan
pendidikan kesehatan, memelihara kepatenan letak kateter,
mencegah infeksi dan memberikan perawatan bila terjadi infeksi.
Perawat harus ketat terhadap pencegahan infeksi, untuk itu selalu
dilakukan observasi ada tidaknya bengkak, kemerahan atau
eksudat pada luka tempat penusukan. Luka tempat penusukan
ditutup dengan kasa yang tidak terlalu basah atau terlalu kering
(Kallenbach, et.al., 2005).
b. Arteriovenous fistulae (AVF) dan Arteriovenous graft
Arteriovenous fistulae (AVF) dikerjakan melalui prosedur
operasi anastomosis antara arteri brakialis dan vena sefalika pada
tangan kiri pasien. Kecepatan aliran darah berkisar antara 800 –
1000 mL/menit. Arteriovenous fistulae (AVF) dapat dilakukan
tiga sampai empat bulan sebelum hemodialysis diberikan dengan
tujuan agar terjadi proses kematangan jaringan pada daerah
anastomosis saat hemodialysis dilakukan (Daugirdas, Blake & Ing,
2007).
Perawatan preoperatif pada AVF yaitu perawat memberikan
kesempatan kepada pasien untuk berpartisipasi selama pelaksanaan
dan memberikan penjelasan kepada pasien selengkap-lengkapnya
tentang prosedur pembedahan dan perawatan yang dilakukan
30
setelah dilakukan tindakan anastomosis. Perawat memfasilitasi
pasien untuk dapat bertemu dengan pasien lain yang telah
berpengalaman dengan pemasangan AVF (Kallenbach, et.al.,
2005).
Perawatan pasien post operasi AVF menurut Konsensus
Hemodialisan Penferi (2013) yang harus diberikan perawat yaitu :
1) Tubuh dalam kondisi hangat agar dapat membantu sirkulasi
perifer.
2) Monitor tekanan darah dan pertahankan tekanan sistole minimal
100 mmHg, jika tekanan darah kurang dari 100 mmHg maka
akan beresiko terjadi trombosis fistula sehingga dilarang untuk
memberi obat antihipertensi.
3) Kaji daerah luka secara teratur, observasi adanya perdarahan
atau bengkak.
4) Observasi aliran darah yang melalui fistula dengan cara :
tempatkan stetoskop pada daerah insisi dan dengarkan suara
”bruits” disebut dengan bruit; Letakkan tangan pada daerah
insisi akan terasa seperti ada aliran, hal ini disebut dengan thrill.
5) Observasi bruit dan thrill secara teratur misalnya 15 menit sekali
pada jam pertama dan ajarkan pada pasien untuk merasakan
sensasi ini segera mungkin.
6) Sebelum pasien dipindahkan, perawat dapat memberikan
penjelasan kepada pasien agar pasien tidak menggunakan
31
tangannya untuk mengangkat beban yang berat. Ajarkan latihan
tangan dengan menggunakan bola sehingga mempercepat
kematangan fistula. Informasikan pada pasien agar memberitahu
kepada perawat atau dokter agar tidak menggunakan tangan
dengan fistula untuk melakukan plebotomi, pengukuran tekanan
darah atau kanulasi karena dapat menyebabkan kerusakan
permanen pada fistula.
7) Sarankan pada pasien jika terjadi perdarahan, bengkak dan tidak
adanya bruit atau thrill untuk segera datang ke rumah sakit
terdekat.
2. Dosis, Adekuasi dan Durasi Hemodialisa
a. Dosis
Dosis HD yang diresepkan menurut K/DOQI (2006) yaitu :
1) Tentukan tinggi badan dan berat badan pasien untuk mengukur
volume
2) Tentukan volume yang mengacu pada normogram
3) Tentukan klirens urea dari dializer yang dipakai sesuai dengan
laju aliran darah (Qb). Lihat petunjuk pada kemasan dializer.
4) Lama dialisis yang diinginkan dalam jam (T) : KT/V = 1,2
(untuk HD 3X seminggu).
Dosis HD yang sebenarnya dapat ditentukan setelah
hemodialisis, dengan rumus Daugirdas, Blake & Ing (2007) :
Kt/V=-ln(R–0,008t) + (4 – 3,5R)X(�� ����������� ���� �����)
�� ���� �����
32
Ket :
ln = logaritma natural
R = Ureum pasca dialisis/ureum pra dialisis
t = Lama dialisis (jam)
b. Adekuasi
Kecukupan dosis hemodialysis yang diberikan diukur dengan
istilah adekuasi dialisis. Terdapat korelasi yang kuat antara
adekuasi dialisis dengan angka morbiditas dan mortalitas (Septiwi,
2011). Adekuasi dialisis diukur dengan menghitung Urea
reduction Ratio (URR) dan KT/V. URR dihitung dengan rumus
yaitu :
URR = 100 X (1 – Ct/Co)
Ket:
Ct : ureum post dialisis, Co : ureum predialisis
Rumus lain berdasarkan Jindal (2006) dalam menghitung dosis
dialisis yaitu : KT/V
Ket :
K : bersihan ureum dialyser T : waktu pemberian dialysis
V : jumlah ureum yang terdistribusi dalam cairan tubuh
Target KT/V yang ideal adalah 1,2 (URR 65%) untuk HD 3X
perminggu selama 4 jam perkali HD dan 1,8 untuk HD 2X
perminggu selama 4 – 5 jam perkali HD. Frekuensi pengukuran
adekuasi HD sebaiknya dilakukan secara berkala (idealnya 1 kali
33
tiap bulan) minimal tiap 6 bulan. (Konsensus Hemodialisis
Pernefri, 2013).
c. Durasi
Berdasarkan pengalaman selama ini tentang durasi HD,
frekuensi 2X perminggu telah menghasilkan nilai KT/V yang
mencukupi (> 1,2) dan juga pasien merasa lebih nyaman. Dana
asuransi kesehatan yang tersedia juga terbatas dan hanya dapat
menanggung HD dengan frekuensi rata-rata 2X perminggu.
Hemodialisa di Indonesia biasa dilakukan HD 2X/minggu selama 4
– 5 jam dengan memperhatikan kebutuhan individual (Konsensus
Hemodialisa Pernefri, 2013).
d. Komplikasi HD
Komplikasi HD kepada pasien antara lain sebagai berikut
(Konsensus Hemodialisa Pernefri, 2013):
1) Komplikasi intradialitik
a) Gangguan hemodinamik
Komplikasi yang sering terjadi pada HD adalah gangguan
hemodinamik (Chou, et.al, 2006). Hipotensi intradialitik
terjadi pada 20-30% pasien yang menjalani HD secara
reguler (Tatsuya, et al, 2004).
34
Penyebab hipotensi menurut Daugirdas, Blake & Ing (2007):
(1) Gangguan kecepatan pengisian plasma karena kecepatan
ultrafiltrasi yang tinggi, hematokrit predialisis yang rendah,
dialisat rendah natrium, dialisat asetat.
(2) Peningkatan kapasitas vena yang tidak tepat akibat makan saat
dialisis berlangsung, demam, dialisat rendah natrium,
(3) Penurunan resistensi pembuluh darah akibat anemia, demam,
makan, dialisat asetat
(4) Disfungsi kardiak
(5) Penyebab yang jarang seperti tamponade perikard, aritmia,
reaksi terhadap dialiser, hemolisis, emboli udara, infark
miokard, perdarahan samar, sepsis.
Strategi pencegahan hipotensi:
(1) Penilaian ulang berat badan kering
(2) Hindari ultrafiltrasi yang terlalu cepat dan agresif
(3) Hindari penambahan berat badan interdialitik yang besar,
pertahankan <3% berat badan kering
(4) Pertimbangkan pemakaian dialisat dengan kadar natrium yang
lebih tinggi atau profiling natrium/UF
(5) Pertimbangkan pemakaian suhu dialisat yang lebih rendah (34-
360C)
(6) Hindari pemakaian dialisat asetat
(7) Hentikan pemakaian obat antihipertensi pre-dialisis
35
(8) Ultrafiltrasi sekuensial
(9) Pertahankan hemoglobin 10-12 g/dl
(Konsensus Hemodialisa Pernefri, 2013)
b) Sindrom disekuilibrium
Sindrom disekuilibrium adalah serangkaian gejala sistemik
dan neurologis yang dapat terjadi selama atau setelah dialisis
(Brunner & Sudarth, 2012). Pasien dengan gangguan neurologis
sebelumnya (misalnya stroke, trauma kepala, hematom subdural
atau hipertensi maligna) memeliki resiko yang lebih tinggi untuk
mengalami. Tanda dan gejala yaitu mual, muntah, sakit kepala,
pandangan kabur, gelisah, kejang dan koma (Daugirdas, Blake &
Ing, 2007).
Strategi pencegahan :
(1) Hindari dilisat yang agresif. Pada beberapa sesi HD awal harus
perlahan, memakai Qb yang rendah (150 ml/menit) dan durasi
yang lebih pendek
(2) Pemakaian dialisat tinggi natrium minimal 140 meg/L
(3) Pemakaian natrium profilling
(Konsensus Hemodialisa Pernefri, 2013)
36
c) Perdarahan
Pasien dialisis mempunyai angka insiden perdarahan yang
tinggi. Penyebabnya meliputi disfungsi platelet atau gangguan
interaksi platelet-endotelium, pemakaian antikoagulan selama HD,
interaksi platelet-membran dialiser yang mengakibatkan
trombositonia.
d) Emboli udara
Sumber udara yang memasuki sirkuit dialisis antara lain
tubing bagian pre-pompa, set infus intravena, bagian lain dari
tubing dialisis, udara dari dialisat dan dari ujung kateter vena
sentra yang tidak sengaja terbuka (Kallenbach, et.al., 2005).
Tanda dan gejala yang muncul tergantung dari volume udara
yang masuk ke dalam sistem pembuluh darah dan posisi pasien.
Udara akan masuk ke dalam sistem saraf pusat dan menyebabkan
kejang jika posisi pasien duduk. Udara akan memasuki jantung dan
menyebabkan penurunan curah jantung, sesak napas mendadak,
batuk serta sianosis sentral jika posisi pasien tidur (Daugirdas,
Blake & Ing, 2007).
Strategi pencegahan:
(1) Dialisis tidak boleh dilakukan apabila sistem alarm udara tidak
aktif
(2) Cairan intravena sebaiknya dalam kantong yang collapsible.
37
(3) Lakukan aspirasi kateter untuk darah yang kembali ke pasien
dan berikan bolus salin sebelum disambungkan ke sirkuit
dilaisis.
(4) Bilas dialiser dengan salin secara menyeluruh untuk
mengeluarkan gelembung udara.
(Konsensus Hemodialisa Pernefri, 2013)
e) Hemolisis
Hemolisis adalah kerusakan atau pecahnya sel darah merah
akibat pelepasan kalium intraseluler (Thomas, 2003). Hemolisis
akut menurut Kallenbach, et.al. (2005) biasanya disebabkan oleh:
(1) Kontaminasi dialiser/dialisat dengan formaldehid, pemutih,
tembaga, nitrat atau kloramin
(2) Perlengkapan dialisis yang rusak atau kesalahan prosedur
(3) Kateter/tube kinking
(4) Dialisat yang hiperosmolar
(5) Faktor terkait pasien
Gambaran klinis yang tampak adalah perubahan warna darah yang
kembali ke pasien dari gelap menjadi merah terang. Gejala
hemolisisis akut adalah nyeri pinggang, nyeri dada dan sesak napas
(Kallenbach, et.al., 2005).
Strategi pencegahan:
(1) Kualitas air harus mengikuti rekomendasi
(2) Proses pembilasan dialiser proses ulang dengan menyeluruh
38
(3) Persiapan dialisat yang baik untuk menghindari
hipoosmolaritas
(4) Monitor temperatur dialisat
(Konsensus Hemodialisa Pernefri, 2013)
f) Reaksi terhadap dialiser
(1) Tipe A (tipe anafilaksis)
Pasien dengan riwayat atopi memiliki resiko tinggi. Biasanya
terjadi pada beberapa menit pertama dialisis. Tanda dan gejala
yang muncul meliputi reaksi ringan (urtikaria, gatal, batuk,
bersin, mata berair, nyeri perut diare) sampai berat (reaksi
anafilaksis).
Strategi pencegahan:
(a) Pembilasan dialiser yang baik sebelum digunakan
(b) Hindari strerilisasi dialiser dengan ETO pada pasien dengan
riawayat alergi terhadap dialiser tipe A
(c) Antihistamin predialisis pada pasien dengan reaksi ringan
dan persisten.
(2) Tipe B (tipe reaksi dialiser non spesifik)
Manifestasinya adalah muncul rasa nyeri dada dengan atau
tanpa keluhan nyeri pinggang. Kondisi ringan maka dialisis
dapat dilanjutkan. Onset dapat terjadi dalam beberapa menit
setelah HD dimulai. Pencegahan dengan menggunakan tipe
membran dialiser yang berbeda.
39
g) Kram otot
Penyebab kram otot adalah perfusi ke otot yang menurun
serta kontraksi volume intravaskuler yang muncul sebagai akibat
dari proses ultrafiltrasi yang berlebihan (Brenner, 2004). Kram otot
dalam penelitian yang dilakukan oleh Armiyati (2009) terjadi pada
18% responden.
Strategi pencegahan :
(1) Kurangi penambahan berat badan intradialitik
(2) Turunkan kecepatan ultrafiltrasi
(3) Kaji ulang berat badan kering
(4) Pakai dialisat bikarbonat
(5) Naikkan natrium bikarbonat
(6) Pemakaian obat quinine sulphate 300 mg, benzodiazepine kerja
pendek atau menengah.
(7) Latihan peregangan otot (Konsensus Hemodialisa Penferi,
2013)
h) Komplikasi akibat kesalahan teknik
Biasanya disebabkan oleh proporsi air dan dialisat yang tidak
tepat sehingga kadar natrium, kalium, kalsium dan pH dialisat
salah. Hal ini diakibatkan oleh wadah dialisat yang kosong,
sambungan konsentrat dialisat salah, mesin rusak, alarm
konduktivitas rusaka atu tidak aktif dan gangguan suplai air.
Gambaran klinis meliputi hipo/hipernatremia, asidosis/alkalosis,
40
hiperkalsemia, asidosis hiperkloremik. Tatalaksana sesuai dengan
penyebab dasar (Konsensus Hemodialisa Pernefri, 2013).
i) Kontaminasi mikroba/endotoksin
Gambaran klinis meliputi demam dan hipotensi. Kontaminasi dapat
disebabkan oleh proses pakai ulang dialiser yang tidak benar atau
dialist yang terkontaminasi. Resiko meningkat pada pemakaian
dialisat bikarbonat dan dialisis high-flux (Konsensus Hemodialisa
Pernefri, 2013).
j) Reaksi pirogenik
2) Komplikasi jangka panjang
Komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi yaitu anemia renal,
gangguan mineral dan tulang, toksisitas alumunium serta amiloidosis
terkait dialisis (Konsensus Hemodialisa Pernefri, 2013)
e. Peran Perawat Hemodialisa
Perawat hemodialisa adalah perawat profesional bersertifikat
pelatihan dialisis yang bertanggungjawab melaksanakan perawatan dan
bekerja secara tim di unit dialisis (Dirjend Yanmed, 2008) . Perawat
hemodialisa mempunyai peran penting sebagai pemberi asuhan, advokasi,
konsultan, pemberi edukasi untuk membantu pasien CKD mencapai
adekuasi hemodialisa (Smeltzer, et al, 2008). Perawat juga mempunyai
peran sebagai peneliti dalam rangka meningkatkan kualitas asuhan dalam
mencapai adekuasi berdasarkan fenomena atau masalah yang ada di ruang
hemodialisa (Kallenbach, et.al., 2005). Perawat hemodialisa harus
41
mempunyai kemampuan profesional dalam mempersiapkan pasien
sebelum proses hemodialisa berlangsung, memantau kondisi pasien selama
hemodialisa dan berkolaborasi dalam melakukan evaluasi pencapaian
adekuasi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien hemodialisa
(Braun, 2008).
Perawat harus menyiapkan latihan pre dialysis yang lengkap.
Termasuk mendiskusikan hal yang menjadi perhatian pasien atau tentang
sesi terakhir dialysis, membaca semua catatan tentang sesi dialysis terakhir
dan menanyakan permasalahan intra dialysis. Pengukuran tekanan darah,
pemberian cairan dan latihan klinis, semuanya memberikan kontribusi
terhadap latihan dry-weight yang benar (Lewis, Stabler & Welch, 200).
Latihan reguler tentang dry weight sangat penting untuk
memungkinkan perawat dan pasien menentukan jumlah cairan yang
dibuang yang dibutuhkan selama dialysis. Satu Kg sama dengan 1 L
cairan, artinya berat pasien merupakan metode yang sederhana dan akurat
untuk menentukan penambahan dan pengurangan cairan selama dialysis.
Istilah ”dry weight” merujuk pada berat dimana tidak ada bukti klinis
oedema, nafas yang pendek, peningkatan tekanan nadi leher atau
hipertensi (Reams & Elder, 2003). Penentuan dry weight harus
berdasarkan hasil pemeriksaan perawat, dokter dan ahli diet.
Bagaimanapun juga, dari hari ke hari menjadi tanggung jawab perawat dan
sudah banyak perawat yang dilatih dalam hal skill klinis rutin tentang
latihan cairan
42
Perawat menjelaskan kepada pasien tentang tujuan, persiapan,
pelaksanaan dan evaluasi pasca hemodialysis. Perawat memberikan
dukungan psikologis agar pasien dapat bekerjasama dengan tim
hemodialysis selama pasien membutuhkan terapi dialysis ini (Thomas,
2003).
2.1.3. Konsep Kepatuhan
2.1.3.1.Definisi Kepatuhan
Kepatuhan (adherence) secara umum didefinisikan sebagai tingkatan
perilaku seseorang yang mendapatkan pengobatan, mengikuti diet, dan
atau melaksanakan gaya hidup sesuai dengan rekomendasi pemberi
pelayanan kesehatan (WHO, 2003). Kepatuhan didefinisikan sebagai
keterlibatan pasien yang bersifat aktif, sukarela dan kolaboratif dalam
menerima perilaku untuk mencapai hasil yang terapeutik (Thorm, 2006).
Kepatuhan merupakan suatu perilaku dalam bentuk respon atau
reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme. Respon
sangat bergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain. Green (1980,
dalam Notoatmodjo, 2007) menjabarkan bahwa perilaku seseorang
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin
dan faktor penguat.
Penelitian menunjukkan kepatuhan lebih besar terhadap obat daripada
pada perubahan gaya hidup (Anderson, 1993, cit. Delamater, 2006).
Ketidakpatuhan terhadap pembatasan cairan adalah hal yang banyak
ditemui pada pasien HD. Diperkirakan 50% pasien tidak mengikuti secara
43
benar diet makanan maupun asupan cairan (Kuthner, 2001). Selaras
dengan penelitian yang dilakukan oleh Kugler, dkk (2011) yang
menemukan hasil bahwa ketidakpatuhan pasien HD di Amerika dan
Jerman terhadap pembatasan asupan makanan adalah 80,4%, sedangkan
ketidakpatuhan pembatasan cairan adalah 75,3%. Penelitian yang
dilakukan oleh Ramelan, Ismonah, Hendrajaya (2013) menemukan bahwa
ketidakpatuhan asupan cairan pasien HD di RS Telogorejo Semarang
adalah 35,4%. Penelitian Sitanggang (2010) menemukan hasil bahwa
100% dari kelompok kontrol yang ditelitinya mempunyai tingkat
kepatuhan pembatasan cairan yang buruk.
2.1.3.2.Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Pasien Hemodialisa
Faktor- faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien hemodialisis
adalah :
1. Faktor pasien
Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien meliputi sumber
daya, pengetahuan, sikap, keyakinan, persepsi dan harapan pasien.
Faktor-faktor ini analog dengan Faktor Predisposisi (Predisposing
factors) dari Green.
Pengetahuan pasien dan keyakinan tentang penyakit, motivasi
untuk mengelolanya, kepercayaan (self efficacy) tentang kemampuan
untuk terlibat dalam perilaku manajemen penyakit, dan harapan
mengenai hasil pengobatan serta konsekuensinya dari ketidakpatuhan
44
berinteraksi untuk mempengaruhi kepatuhan dengan cara yang belum
sepenuhnya dipahami (Sabate, 2001)
Penelitian tidak menunjukkan hubungan yang jelas antara
demografi pasien dan kepatuhan, tetapi beberapa hasil riset mencoba
menghubungkannya dengan kepatuhan terapi dialisis. Saran et al,
2003 menunjukkan hasil studi DOPPS (the Dialysis Outcomes and
Practice Patterns Study), bahwa prediktor peluang ketidakpatuhan
lebih tinggi mengenai usia yang lebih muda (untuk melewatkan dan
memperpendek dialisis, IDWG berlebihan, dan hiperfosfatemia), ras
Afrika Amerika (untuk melewatkan dan memperpendek dialysis),
jenis kelamin perempuan (untuk IDWG berlebihan), status bekerja
(untuk hiperposfatemia), merokok (untuk melewatkan dialisis dan
IDWG berlebihan), depresi (untuk melewatkan dan memperpendek
dialysis), status perkawinan (untuk hiperfosfatemia), dan waktu pada
dialysis (untuk memperpendek dialysis, IDWG berlebihan, dan
hiperkalemia).
Beberapa bukti menunjukkan bahwa tingkat pendidikan pasien
berperan dalam kepatuhan, tetapi memahami intruksi pengobatan dan
pentingnya perawatan mungkin lebih penting daripada tingkat
pendidikan pasien. Penelitian telah menunjukkan bahwa peningkatan
pengetahuan tidak berarti meningkatkan kepatuhan pasien terhadap
pengobatan yang diresepkan. Yang paling penting, seorang pasien
45
harus memiliki sumber daya dan motivasi untuk mematuhi protokol
pengobatan (Krueger et al, 2005).
2. Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Fasilitas pelayanan Hemodialisis dapat dikaitkan dengan
ketidakpatuhan. Fasilitas ukuran besar (10 atau lebih pasien di HD)
dihubungkan dengan reaksi melewatkan dan memperpendek waktu
pengobatan dialysis, serta kelebihan IDWG. Fasilitas dengan lebih
dari 60 pasien, resiko pasien melewatkan dialysis meningkat 77 %
(P=0,0001). Pada fasilitas dengan lebih dari 75 pasien, kemungkinan
memperpendek waktu dialysis meningkat 57 % (P=0,0006). Fasilitas
lebih besar dari 125 pasien dihubungkan dengan peluang yang lebih
besar untuk IDWG berlebihan (P=0,03) (Saran et al, 2003).
Tekanan waktu dalam pengaturan klinis merupakan hambatan
utama untuk memahami atau memperbaiki ketidakpatuhan.
Komunikasi dengan pasien adalah komponen penting dari perawatan,
sehingga pemberi pelayanan kesehatan harus mempunyai waktu yang
cukup untuk berbagi dengan pasien dalam diskusi tentang perilaku
mereka dan motivasi untuk perawatan diri. Perilaku dan penelitian
pendidikan menunjukkan kepatuhan terbaik mengenai pasien yang
menerima perhatian individu. Fasilitas hemodialisis yang besar
dengan beberapa perubahan dan pergantian cepat pasien dapat
membuat situasi yang lebih sulit untuk memberikan perawatan
pribadi. Tampaknya sistem pelayanan kesehatan sendiri menjadi
46
tantangan yang paling berat untuk kemampuan pasien berpartisipasi
secara efektif dalam perawatan mereka sendiri dan pengobatan.
Banyak penyedia layanan kesehatan cenderung untuk menekankan
kepatuhan yang ketat dan mungkin mempercayai bahwa pasien
hemodialisis mampu mengelola dirinya sendiri. Pada model perilaku
Green, faktor-faktor ini analog dengan faktor-faktor pemungkin
(enabling factors).
3. Petugas Hemodialisa
Salah satu faktor penting yang mempengaruhi kepatuhan adalah
hubungan yang dijalin oleh anggota staf hemodialisis dengan pasien
(Krueger dkk, 2005). DOPPS menunjukkan hubungan antara
kehadiran seorang ahli diet di fasilitas tersebut dan kemungkinan lebih
rendah dalam hal ketidakpatuhan kelebihan IDWG (Odds ratio [OR] =
0,75, P=0,08). Keberadaan staf terlatih juga berhubungan dengan
kepatuhan pasien. Hasil penelitian menunjukkan kemungkinan
melewatkan waktu hemodialisis adalah 11 % lebih rendah untuk
setiap kenaikan 10 % staf yang sangat terlatih dalam unit (staf dengan
pelatihan keperawatan formal 2 tahun atau lebih) (OR = 0,89, P =
0,06) (Saran et al, 2003 dalam Kamerrer, 2007).
Persentase jam staf yang sangat terlatih maupun jumlah staf
yang sangat terlatih dalam fasilitas tampaknya memiliki efek pada
kepatuhan pasien. Waktu yang didedikasikan perawat untuk konseling
pasien dapat meningkatkan kepatuhan pasien. Kehadiran ahli diet
47
terlatih (teregistrasi) tampaknya juga menurunkan kemungkinan
kelebihan IDWG. Pada model perilaku Green, faktor-faktor tersebut
analog dengan faktor-faktor penguat (reinforcing factors) (Kamerrer,
2007)
2.1.4. Konsep Pembatasan Asupan Cairan
Kondisi yang menggambarkan asupan cairan yang sesuai adalah :
tekanan darah normal, tidak adanya edema atau pembengkakan, tidak
adanya indikasi kelebihan cairan saat pemeriksaan paru – paru, tidak ada
indikasi sesak nafas (Hare, Carter & Forshaw, 2013). Pembatasan cairan
juga merupakan bagian dari resep diet untuk pasien ini. Cairan dibatasi,
yaitu dengan menjumlahkan urin/24jam ditambah 500-750 ml (Almatsier,
2004).
Pembatasan asupan cairan sampai 1 liter perhari sangat penting
karena meminimalkan resiko kelebihan cairan antar sesi hemodialisa
(Patrocinio & Rafael, 2003). Jumlah cairan yang tidak seimbang dapat
menyebabkan terjadinya edema paru ataupun hipertensi pada 2-3 orang
pasien hemodialisa. Ketidakseimbangan cairan juga dapat menyebabkan
terjadinya hipertropi pada ventrikel kiri (Villaverde, 2005).
Beberapa laporan menyatakan bahwa pembatasan cairan pada pasien
hemodialisa sangat dipengaruhi oleh perubahan musim dan masa-masa
tertentu dalam hidupnya. Penelitian Argiles (2004) menyatakan bahwa
asupan cairan pasien akan sangat tidak terkontrol pada musim panas dan
pada masa liburan Natal dan Tahun Baru karena pada musim panas
48
merangsang rasa haus dan pada masa liburan natal dan tahun baru banyak
mengonsumsi makanan ringan yang kering dan mengandung garam
sehingga memacu keinginan untuk minum (Welch, 2006).
Jumlah asupan cairan pasien baik cairan yang diminum langsung
ataupun yang dikandung oleh makanan dapat dikaji secara langsung
dengan mengukur kenaikan berat badan antar sesi hemodialisa
(Interdialytic weight gain/IDWG) (Welch, 2006). IDWG adalah
peningkatan berat badan antar hemodialisa yang paling utama dihasilkan
oleh asupan garam dan cairan (Geddes, 2003). Teorinya adalah asupan air
dan salin dapat bekerja sama dengan kalori dan protein dalam makanan,
yang akan disatukan untuk memperoleh status nutrisi yang lebih baik.
Asupan air dan garam dapat menimbulkan peningkatan cairan tubuh yang
menjadi kunci untuk kejadian hipertensi dan hipertropi ventrikel kiri
(Villaverde, 2005). IDWG yang dapat ditoleransi oleh tubuh adalah tidak
lebih dari 1,0-1,5 kg (Lewis et al., 1998) atau tidak lebih dari 3 % dari
berat kering (Fisher, 2006).
Berat kering adalah berat tubuh tanpa adanya kelebihan cairan yang
menumpuk diantara dua terapi hemodialisa (Mitchel, 2002). Berat kering
ini dapat disamakan dengan berat badan orang dengan ginjal sehat setelah
buang air kecil. Berat kering adalah berat terendah yang dapat ditoleransi
oleh pasien sesaat setelah terapi dialisis tanpa menyebabkan timbulnya
gejala turunnya tekanan darah, kram atau gejala lainnya yang merupakan
indikasi terlalu banyak cairan dibuang. (Reams & Elder, 2003).
49
2.1.5. Pendidikan Kesehatan
2.1.5.1.Definisi Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan diartikan sebagai suatu proses yang terdiri
dari pengkajian, intervensi dan evaluasi (Edelman & Mandle, 2010).
Pengkajian berguna menentukan kebutuhan, motivasi dan tujuan
pembelajaran yang dibuat bersama klien. Intervensi dilakukan untuk
menyediakan sumber pelajaran sesuai kebutuhan klien dan evaluasi
dilakukan selama proses pembelajaran maupun setiap tahap belajar untuk
mengetahui pencapaian kemampuan. Pembelajaran ulang dan follow up
kemampuan yang dimiliki dapat dilakukan jika perlu (Redman, 2007).
2.1.5.2.Tujuan
Tujuan pendidikan kesehatan secara umum adalah mengubah
perilaku individu atau masyarakat di bidang kesehatan (WHO, 1954 cit.
Bastable, 2002). Rincian tujuan pendidikan kesehatan sebagai berikut:
1. Menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang bernilai di masyarakat.
Pendidik kesehatan bertanggung jawab mengarahkan cara-cara hidup
sehat menjadi kebiasaan hidup.
2. Menolong individu agar mampu mandiri dan berkelompok
mengadakan kegiatan untuk mencapai tujuan hidup.
3. Mendorong pengembangan dan penggunaan secara tepat sarana
pelayanan kesehatan.
50
2.1.5.3.Media
Media pembelajaran merupakan alat yang digunakan dalam
pemberian informasi kesehatan. Notoatmodjo (2009) menyatakan media
pendidikan adalah alat yang digunakan untuk membantu dalam
menyampaikan bahan pendidikan atau pengajaran. Media pendidikan
disusun berdasarkan prinsip bahwa semakin banyak indra yang terlibat
dalam menerima stimulus, maka semakin banyak informasi yang diserap.
Informasi yang diberikan kepada seseorang pada awalnya akan
tersimpan dalam memori jangka pendek. Informasi akan bertahan selama
20 detik sebelum akhirnya dilupakan atau diproses untuk masuk ke dalam
memori jangka panjang. Informasi akan disimpan di memori jangka
panjang bila pembelajaran diterapkan ke situasi yang nyata sehingga tidak
mudah dilupakan (Edelman & Mandle, 2010).
Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa informasi akan disimpan
dalam memory 20% jika disampaikan dengan menggunakan media
visual, 50% jika menggunakan media audiovisual dan 70% jika
dilakukan dalam praktek nyata. Pertimbangan pengaruh budaya dalam
proses belajar diketahui bahwa intruksi akan lebih efektif apabila
disampaikan dalam bentuk video yang menampilkan pesan menyerupai
benda asli.
Media pendidikan kesehatan sebaiknya menggunakan film atau
permainan untuk memberikan gambaran yang hidup atau nyata yang
dapat diingat. Empat metode untuk memudahkan mengingat pelajaran,
51
yaitu gunakan kata dan kalimat yang pendek; pertegas kategorisasi;
pengulangan dan gunakan pernyataan yang konkrit dan spesifik; hindari
pernyataan yang umum dan abstrak (Ley, 1979, cit. Redman, 2007).
Media pembelajaran dapat diklasifikasikan berdasarkan sifatnya :
1. Media Auditif, yaitu media yang hanya dapat didengar saja, atau
media yang hanya memiliki unsur suara, seperti radio dan rekaman
suara.
2. Media Visual, yaitu media yang hanya dapat dilihat saja, tidak
mengandung unsur suara. Contoh yang termasuk ke dalam media ini
adalah film slide, foto, tranparansi, lukisan, gambar, dan berbagai
bentuk bahan yang dicetak seperti media grafis dan lain sebagainya.
3. Media Audiovisual, yaitu jenis media yang selain mengandung unsur
suara juga mengandung unsur gambar yang bisa dilihat, misalnya
rekaman video, berbagai ukuran film, slide suara, dan lain sebagainya.
Kemampuan media ini dianggap lebih baik dan lebih menarik, sebab
mengandung kedua unsur jenis media yang pertama dan kedua
(Sanjaya, 2010).
2.1.5.4.Peran Media Pendidikan Kesehatan terhadap Perubahan Perilaku
Individu
Penelitian yang dilakukan Kapti (2010) di dua RS di Kota Malang
membuktikan bahwa penggunaan media audio visual dalam pendidikan
mampu meningkatkan pengetahuan dan sikap ibu dalam tata laksana
diare pada anak. Hasil yang sama juga didapatkan dari penelitian yang
52
dilakukan oleh Davis (2011), di mana media audio visual efektif untuk
meningkatkan pengetahuan dan keinginan mengkonsumsi buah dan
sayuran bagi penderita diabetes. Dewi (2012) melakukan penelitian yang
hasilnya adalah pendidikan kesehatan dengan media audio visual efektif
meningkatkan pengetahuan, sikap terhadap nutrisi dan perawatan luka
serta penyembuhan luka caesar.
2.2. Keaslian Penelitian
No Nama Judul Metode Hasil
1. Ridlwan
Kamaludin,
Eva Rahayu
(2009)
Analisis Faktor-
Faktor yang
Mempengaruhi
Kepatuhan Asupan
Cairan pada Pasien
Gagal Ginjal
Kronik dengan Hemodialisis di
RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto
Metode penelitian
menggunakan
deskriptif analitikf.
Pendekatan cross
sectional. Jumlah
responden 51
pasien.
Faktor yang
mempengaruhi
kepatuhan
pembatasan intake
cairan adalah peran
perawat, tingkat
pengetahuan, pendidikan, peran
keluarga, konsep diri
2. Kartika Sitanggang
(2010)
Pengaruh Terapi Perilaku Kognitif
terhadap
Pembatasan Asupan Cairan
Pasien Hemodialisa
di RSUP Haji
Adam Malik
Medan
Desain quasi eksperimen.
Pengambilan
sampel dengan purposive
sampling, jumlah
sampel 26 pasien
Tidak ada pengaruh
terapi perilaku
kognitif terhadap
pembatasan asupan
cairan pasien
hemodialisa di
RSUP Haji Adam
Malik Medan.
3. Mia Intania Ramelan,
Ismonah,
Hendrajaya (2013)
Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi
Kepatuhan Pembatasan
Asupan Cairan
Pada Klien Dengan
Chronic Kidney
Disease Yang
Menjalani
Hemodialisa
Pendekatan Cross sectional.
Pengambilan
sampel dengan purposive
sampling, jumlah
48 responden.
Faktor yang
mempengaruhi
adalah pengetahuan,
dukungan keluarga
dan IDGW.
53
2.3. Kerangka Teori
CKD
(Chronic Kidney Disease)
Terapi Ginjal Pengganti
Etiologi
1. Penyakit ginjal hipertensi
2. Nefrotika diabetika 3. Glomerulopati primer
4. Nefropati obstruksi
5. Pielonefrotik kronik 6. Lain-lain
7. Tidak diketahui
8. Nefropati asam urat
9. Ginjal polikistik
Penatalaksanaan
Komplikasi HD
1. Komplikasi intradialitik
2. Komplikasi Jangka Panjang Kepatuhan
Pembatasan Cairan
Sumber: Kamerrer (2007); Suwitra (2006); Notoadmodjo ( 2007)
Gambar 2.1. Kerangka Teori Penelitian
Terapi Konservatif Terapi Simptomatis
Pencegahan
Pendidikan
Kesehatan
Kepatuhan Pembatasan
Makanan
Auditif Visual Audiovisual
Stadium 2
Stadium 3
Stadium 4
Stadium 5
Stadium 1
Peritoneal
dialisis Transplantasi
ginjal Hemodialisis
: Diteliti
: Tidak diteliti
54
2.4. Kerangka Konsep
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
2.4. Hipotesis
Hipotesis penelitian yaitu jawaban sementara atau kesimpulan yang diambil
untuk menjawab permasalahan yang diajukan dalam penelitian (Arikunto,
2009).
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
Ha: Ada pengaruh pendidikan kesehatan menggunakan media
audiovisual terhadap kepatuhan pembatasan cairan pada pasien
hemodialisa
Ho: Tidak ada pengaruh pendidikan kesehatan menggunakan media
audiovisual terhadap kepatuhan pembatasan cairan pada pasien
hemodialisa
Pendidikan Kesehatan
tentang Pembatasan
cairan dengan media
audio visual
Kepatuhan pembatasan
cairan
Variabel Independen Variabel Dependen
55
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan rancangan penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain Quasi
Experiment dengan pendekatan pretest-posttest with control group design
untuk mengukur pengaruh pendidikan kesehatan yang diberikan pada pasien
HD terhadap kepatuhan pembatasan cairan. Pendekatan pretest-posttest with
control group design digunakan untuk melihat efektifitas perlakuan melalui
perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (Arikunto,
2009). Pendekatan pretest-posttest control group design atau desain
eksperimen semu berupa non equivalent control group pada dasarnya
merupakan desain penelitian yang diterapkan pada kondisi yang lebih
memungkinkan untuk membandingkan dengan kelompok kontrol serupa
tetapi tidak perlu dengan kelompok yang benar-benar sama dan kelompok
yang diberi intervensi pada desain penelitian ini tidak mungkin sama betul
dengan kelompok kontrol (Notoatmodjo, 2010).
Kepatuhan pasien HD sebagai variabel dependen diukur sebelum dan
setelah pendidikan kesehatan dilakukan. Pengukuran mengenai kepatuhan
pasien diambil dari sumber primer yaitu pasien HD secara langsung dengan
menggunakan kuesioner yang disusun dan dikembangkan sendiri oleh
peneliti. Deskripsi dari penelitian ini sesuai dengan pendapat Arikunto (2009)
adalah sebagai berikut:
56
Gambar 3.1 Desain Penelitian Menggunakan Pendekatan
Pretest-posttest Control Group Design
Keterangan:
O1 : Kepatuhan pasien HD pada kelompok eksperimen yang diukur
sebelum dilakukan pendidikan kesehatan
O2 : Kepatuhan pasien HD pada kelompok eksperimen yang diukur
setelah dilakukan pendidikan kesehatan
O3 : Kepatuhan pasien HD pada kelompok kontrol yang diukur
sebelum dilakukan pendidikan kesehatan
O4 : Kepatuhan pasien HD pada kelompok kontrol yang diukur
setelah dilakukan pendidikan kesehatan
X1 : O2 – O1 = Perubahan atau deviasi kepatuhan pasien HD pada
kelompok eksperimen sebelum dan setelah pendidikan kesehatan
dilakukan
E :
P :
O1 O2 Intervensi
O3 O4
X1
X2
X3 X4
57
X2 : O4 – O3 = Perubahan atau deviasi kepatuhan pasien HD pada
kelompok kontrol sebelum dan setelah pendidikan kesehatan
dilakukan pada kelompok eksperimen
X3 : O1 – O3 = Perbedaan kepatuhan pasien antara kelompok
eksperimen dan kelompok control
X4 : O2 – O4 = Perbedaan kepatuhan pasien HD antarakelompok
eksperimen dan kelompok kontrol setelah dilakukan
Pendidikan kesehatan
E : Kelompok eksperimen
P : Kelompok kontrol
3.3. Populasi dan sampel
3.3.1. Populasi
Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas
objek/subjek yang memiliki kualitas dan karakteristik tertentu untuk
dipelajari dan ditarik kesimpulannya oleh peneliti. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh pasien HD yang berjumlah 40 di Ruang
Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen (Sugiyono, 2008).
3.3.2. Sampel
Sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2008). Sampel adalah sebagian atau
wakil populasi yang akan diteliti (Arikunto, 2009).
58
Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik non propability
sampling dengan menggunakan purposive sampling yaitu teknik
penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu, dengan demikian sampel
dalam penelitian ini adalah pasien hemodialisa yang memenuhi kriteria
inklusi. 20 sampel untuk kelompok eksperimen dan 20 sampel untuk
kelompok kontrol. Penentuan responden yang termasuk kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol dilakukan secara acak.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:
1. Menjalani HD secara rutin dua kali seminggu
2. Dapat membaca dan menulis.
3. Mampu berbahasa indonesia.
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:
1. Mengalami komplikasi
2. Mengalami penurunan kesadaran dan kondisi
3. Mengalami gangguan pendengaran dan penglihatan
4. Meninggal
3.3. Tempat dan waktu penelitian
3.3.1. Tempat penelitian
Penelitian ini mengambil tempat di RSUD dr. Soehadi Prijonegoro
Sragen dengan menggunakan Instalasi Hemodialisa.
59
3.3.2. Waktu penelitian
Penelitian ini sudah dilaksanakan pada tanggal 1 sampai dengan 16
Januari 2016. Secara lengkap tabel waktu dan tahapan penelitian dapat
dilihat pada lampiran 1.
3.4. Variabel, definisi operasional dan skala pengukuran
Tabel 3.1. Variabel penelitian, definisi operasional dan skala pengukuran
No Variabel
Penelitian
Definisi
Operasional
Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Variabel independen
1. Pendidikan kesehatan asupan
cairan media
audiovisual
Media pendidikan
kesehatan yang
menyajikan informasi dalam
bentuk
audiovisual
1. Yang diberikan pendidikan
kesehatan
menggunakan media audiovisual
2. Yang tidak
diberikan
pendidikan
kesehatan
menggunakan
media audiovisual
Nominal
Variabel dependen
2. Kepatuhan
pembatasan cairan
Perilaku pasien
untuk mengikuti pembatasan
cairan
Kuesioner Pre Test
Eksperimen 1: Tidak patuh
(<7,10)
2: Patuh ≥ 7,10) Kontrol
1: Tidak patuh
(<6,7)
2: Patuh ≥6,7)
Observasi
Pertama
Eksperimen
1: Tidak patuh (<9,55)
2: Patuh ≥9,55)
Kontrol 1: Tidak patuh
(<7,75)
2: Patuh ≥7,75)
Ordinal
60
No Variabel
Penelitian
Definisi
Operasional
Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Variabel independen
Observasi Kedua Eksperimen
1: Tidak patuh
(<11,75) 2: Patuh ≥11,75)
Kontrol
1: Tidak patuh
(<7,30)
2: Patuh ≥7,30)
Observasi Ketiga
Eksperimen
1: Tidak patuh
(<13,55) 2: Patuh ≥13,55)
Kontrol
1: Tidak patuh (<7,70)
2: Patuh ≥7,70)
3.5. Alat penelitian dan cara pengumpulan data
3.5.1. Alat penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh
peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan
hasilnya lebih baik (cermat, lengkap dan sistematis) sehingga lebih mudah
diolah (Saryono, 2008).
Alat pengumpul data atau instrumen yang digunakan dalam penelitian
ini adalah kuesioner dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang berkaitan
dengan data karakteristik pasien HD, dan kepatuhan pembatasan cairan
pasien HD (lampiran 2) serta alat bantu audiovisual seperti laptop, speaker
aktif untuk kelompok eksperimen dan kuesioner untuk kelompok kontrol.
Kuesioner kepatuhan merupakan modifikasi dari kuesioner kepatuhan
61
yang disusun oleh Hirmawati (2014) yang terdiri dari 19 pernyataan, enam
pernyataan negatif dan 13 pernyataan positif. Pernyataan positif dengan
nilai satu untuk jawaban “ya” dan nilai nol untuk jawaban “tidak”,
sedangkan untuk pernyataan negatif nilai nol untuk jawaban “ya” dan nilai
satu untuk jawaban “tidak”.
1. Uji Validitas
Uji validitas dilakukan untuk mengetahui ketepatan alat ukur
(kuesioner) mengukur variabel-variabel yang diteliti. Pengukuran
validitas kuesioner dilakukan melalui uji korelasi dengan cara
membandingkan antara skor setiap pernyataan dengan skor totalnya
(Hastono, 2007). Teknik korelasi menggunakan Pearson product
moment (r). Masing-masing nilai signifikan dari item pertanyaan
dibandingkan nilai r tabel pada tingkat kemaknaan 5%, jika lebih
besar maka item pertanyaan tersebut valid (Notoatmodjo, 2005).
Rumus:
Keterangan:
rxy = korelasi antara x dan y
x = skor nilai x
y = skor nilai total
N = jumlah sampel
r = � (∑ ��) –(∑ � ∑ �)
��� ∑ ��� (∑ ��)�(� ∑ ��� (∑ �)�
62
Uji coba instrumen untuk menilai validitas dan reliabilitas
kuesioner yang dimodifikasi peneliti dilakukan pada bulan Oktober
2015 sejumlah 30 pasien HD di RSUD Sukoharjo.
Variabel kuesioner telah diukur dengan menggunakan uji korelasi
Pearson Product Moment dan reliabilitas telah diukur dengan
menggunakan alpha cronbach.
Hasil uji coba intrumen menunjukkan bahwa kuesioner
kepatuhan dari 22 item pernyataan yang valid berjumlah 19 item
pernyataan, sedangkan item pernyataan yang tidak valid berjumlah 3
item pernyataan. Item pernyataan yang tidak valid selanjutnya 3 item
pernyataan dibuang. Item pernyataan yang valid merupakan item
pernyataan yang mempunyai nilai validitas yang lebih dari nilai r tabel
(r = 0, 361). Semua item pernyataan sudah mewakili variabel yang akan
diteliti.
2. Uji Reliabilitas
Pernyataan yang sudah valid kemudian diukur reliabilitasnya.
Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui sejauhmana hasil
perngukuran tetap konsisten bila dilakukan lebih dari satu kali
terhadap pernyataan yang sama dengan alat ukur yang sama. Metode
cronbach alpha test merupakan salah satu metode yang cukup handal
dan terpercaya untuk mengukur konsistensi internal reliabilitas. Burn
dan Grove (1997 dalam Hamid, 2008) menyatakan bahwa untuk
instrumen yang baru dikembangkan, tingkat koefisien reliabilitas 0,70
63
masih dapat diterima akan tetapi untuk intrumen yang telah
dikembangkan dengan baik tingkat koefisien reliabilitas yang dapat
diterima lebih dari 0,80.
Rumus:
Keterangan:
R11 = reliabilitas instrument
K = banyaknya butir pertanyaan
∑ ���= jumlah varian butir
�� = varian total
Reliabilitas kuesioner pernyataan telah diukur dengan
menggunakan alpha cronbach. Hasil uji intrumen menunjukkan bahwa
kuesioner kepatuhan mempunyai nilai alpha cronbach 0,908 sehingga
kuesioner dinyatakan reliabel dan dapat digunakan dalam penelitian untuk
mengukur variabel yang diteliti.
3.5.2. Cara pengumpulan data
Cara pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner dan pada
responden yang memenuhi kriteria inklusi sampel penelitian ini.
Pengambilan data dilakukan sebanyak dua kali, dengan selang waktu 1
minggu. Langkah-langkah penelitian yang dilakukan adalah sebagai
berikut:
1. Peneliti menjelaskan tujuan penelitian, manfaat penelitian dan proses
penelitian.
R11 = ( ����) (
∑ ����� )
64
2. Peneliti menyerahkan kuesioner dan responden dipersilahkan untuk
memahami penelitian yang dilaksanakan dengan membaca petunjuk
penelitian (pre test).
3. Peneliti mempersilahkan responden untuk menandatangani lembar
persetujuan atas keikutsertaannya sebagai subjek penelitian dan
mengisi kuesioner tentang kepatuhan.
4. Waktu pengisian kuesioner adalah 10 – 15 menit.
5. Kuesioner yang telah selesai diisi diserahkan kembali kepada peneliti
dan peneliti melakukan pengecekan terhadap kelengkapan dan
kejelasan isian kuesioner.
6. Peneliti mengumpulkan kuesioner-kuesioner yang telah diisi oleh
responden dalam satu dokumen.
7. Responden diberikan pendidikan kesehatan dengan menggunakan
media audiovisual pada kelompok eksperimen selama 15 menit.
8. Peneliti menyerahkan kuesioner dan responden dipersilahkan untuk
mengisi kuesioner tentang kepatuhan (Observasi 1).
9. Observasi 2 dilakukan 3 hari setelah observasi 1.
10. Observasi 3 (Post test) dilakukan 3 hari setelah observasi 2.
11. Waktu pengisian kuesioner adalah 10 – 15 menit.
12. Kuesioner yang telah selesai diisi diserahkan kembali kepada peneliti
dan peneliti melakukan pengecekan terhadap kelengkapan dan
kejelasan isian kuesioner.
65
13. Peneliti mengumpulkan kuesioner-kuesioner yang telah diisi oleh
responden dalam satu dokumen.
3.6. Teknik pengolahan dan analisa data
3.6.1. Pengolahan data
Proses analisis data terhadap variabel penelitian didahului oleh
pengolahan data yang terdiri dari proses editing, coding, processing dan
cleaning (Hastono, 2007).
1. Editing
Editing adalah kegiatan untuk mengecek kelengkapan, kejelasan,
relevan dan konsistensi data yang diberikan responden. Editing
dilakukan peneliti dengan cara langsung mengecek kuesioner pada saat
dikumpulkan responden, jika ada responden yang tidak lengkap dan
jelas dalam mengisi, peneliti meminta responden untuk melengkapi
dan juga meminta kejelasan langsung kepada responden.
2. Coding
Coding berarti merubah data yang berbentuk huruf menjadi data yang
berbentuk angka atau bilangan. Hal ini dilakukan dengan cara
membuat koding pada lembar kuesioner untuk memudahkan pada
waktu memasukkan data. Responden 1 sampai dengan 20 adalah
kelompok kontrol, responden 21 sampai dengan 40 adalah kelompok
eksperimen. Coding untuk pre tes adalah huruf A dan coding untuk
observasi 1, 2 dan 3 adalah huruh B 1, B2, B3. Coding jawaban benar
66
adalah 1 dan jawaban salah adalah 0. Tingkat kepatuhan diberikan
kode 0 jika tidak patuh dan kode 1 jika patuh.
Kode untuk laki-laki dibuat 1 dan perempuan dibuat 2. Kode untuk
tingkat pendidikan SD/Tidak Sekolah = 1, SMP/SMU = 2 dan PT = 3.
Kode untuk status nikah responden 0 = tidak menikah dan 1 =
menikah.
3. Processing
Processing yaitu proses data dengan cara menganalisis data yang
dimulai dengan cara memasukkan data dalam lembar rekap yang
selanjutnya data yang telah terkumpul dimasukkan dalam program
analisis data menggunakan komputer.
4. Cleaning
Cleaning yaitu mengecek kembali kemungkinan kesalahan dalam
memasukkan data. Setelah dipastikan data dimasukkan dengan benar,
maka dapat dilanjutkan ke tahap analisis data menggunakan program
analisis data terkomputerisasi.
3.6.1. Analisa data
Analisis data dalam penelitian menjadi dua bagian yaitu analisis univariat,
analisis bivariat:
1. Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan atau
menjelaskan karakteristik variabel-variabel yang diteliti. Karakteristik
responden yang terdiri dari jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, status
67
marital, lama HD, serta kepatuhan pasien HD disajikan dalam bentuk
proporsi yang disajikan dalam distribusi frekuensi.
2. Analisis Bivariat
Berdasarkan variabel dalam penelitian ini yaitu pendidikan kesehatan
terhadap kepatuhan pasien pada kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol maka uji statistik bivariat yang akan dilakukan adalah dengan
metode mann whitney u-test. Uji ini digunakan untuk menguji hipotesis
komparatif dua sampel independen bila datanya berbentuk ordinal
(Sugiyono, 2010).
Rumus:
U1 = n1n2 + ��(�� �)
� – R1
U2 = n1n2 + ��(�� �)
� – R2 Keterangan:
n1 = Jumlah sampel 1
n2 = Jumlah sampel 2
U1 = Jumlah peringkat 1
U2 = Jumlah peringkat 2
R1 = Jumlah rangking pada sampel n1
R2 = Jumlah rangking pada sampel n2
Uji statistik bivariat yang akan dilakukan untuk mengidentifikasi
perbedaan kepatuhan pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
68
adalah dengan menggunakan wilcoxon match pairs test.. Uji ini
merupakan suatu uji yang menghitung tanda dan besarnya selisih dua buah
rerata populasi. Uji ini untuk menguji signifikasi hipotesis komparatif dua
sampel yang berkorelasi bila datanya berbentuk ordinal (Sugiyono, 2010).
Rumus:
Z = !�"!
#!
µT = �(� �)
$
%T = �� (� �)(�� �)�$
3.7. Etika penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika penelitian
dengan memberikan perlindungan terhadap responden yang menjadi subjek
dalam penelitian ini. Hal ini dilakukan untuk mencegah timbulnya masalah
etik yang dapat terjadi selama proses penelitian berlangsung dengan
menerapkan prinsip etika riset penelitian yaitu beneficence, prinsip
menghargai martabat manusia dan prinsip mendapatkan keadilan (Hamid,
2007).
69
Aplikasi Prinsip Etik Penelitian
3.7.1. Anomynity
Responden tidak perlu menuliskan nama pada kuesioner yang diisi.
Kuesioner dalam penelitian ini menggunakan kode responden yang diisi
oleh peneliti (Hamid, 2007).
3.7.2. Confidentiality
Informasi yang didapatkan dalam penelitian hanya digunakan
untuk keperluan penelitian dan analisis data serta tidak dapat diketahui
secara luas untuk kepentingan publikasi (Hamid, 2007).
3.7.3. Informed Concent
Informed concent atau persetujuan menjadi responden dibuktikan
dengan penanda tanganan surat persetujuan seperti tercantum pada
lampiran 2 oleh responden menjadi subjek penelitian secara sukarela dan
tanpa paksaan dengan didahului dengan penjelasan oleh peneliti secara
lengkap dan adekuat dengan bahasa yang mudah dipahami oleh responden
tentang tujuan, prosedur penelitian, manfaat, dan jaminan kerahasiaan
informasi yang diberikan responden (Hamid, 2007).
70
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Analisa Univariat
4.1.1. Karakteristik Responden
1. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur
Tabel 4.1 Karakteristik Usia pada Pasien HD di Ruang HD RSUD dr.
Soehadi Prijonegoro Sragen 2016 (n = 20)
Klasifikasi Umur Kelompok Kontrol Kelompok eksperimen
Frekuensi Persen (%) Frekuensi Persen (%)
17-25 Tahun 0 0 1 5
26-35 Tahun 1 5 1 5
36-45 Tahun 10 50 5 25
46-55 Tahun 4 20 7 35
56-65 Tahun 5 25 6 30
Total 20 100 20 100
Karakteristik responden berdasarkan umur yang paling banyak pada
kelompok kontrol adalah umur 36-45 tahun sebanyak 10 orang (50%)
dan kelompok eksperimen adalah umur 46-55 tahun sebanyak 7 orang
(35%).
2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 4.2 Karakteristik Jenis Kelamin pada Pasien HD di Ruang HD
RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen 2016 (n = 20)
Jenis
Kelamim
Kelompok Kontrol Kelompok Eksperimen
Frekuensi Persen (%) Frekuensi Persen (%)
Laki-laki 17 85 16 80
Perempuan 3 15 4 20
Total 20 100 20 100
71
Karakteristik responden yang paling banyak pada kelompok kontrol
berdasarkan jenis kelamin adalah laki-laki sebanyak 17 orang (85%)
dan kelompok eksperimen adalah laki-laki sebanyak 16 orang (80%)
3. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tabel 4.3 Karakteristik Tingkat Pendidikan pada Pasien HD di
Ruang HD RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen 2016 (n = 20)
Tingkat
Pendidikan
Kelompok Kontrol Kelompok eksperimen
Frekuensi Persen (%) Frekuensi Persen (%)
SD/Tidak
Bersekolah
3 15 5 25
SMP/SMU 15 75 14 70
DIII/S1/S2 2 10 1 5
Total 20 100 20 100
Karakterisik responden berdasarkan tingkat pendidikan yang paling
banyak pada kelompok kontrol adalah SMP/SMU sebanyak 15 orang
(75%) dan kelompok eksperimen adalah SMP/SMU sebanyak 14 orang
(70%).
4. Karakteristik Responden Berdasarkan Status Pernikahan
Tabel 4.4 Karakteristik Status Pernikahan pada Pasien HD di Ruang
HD RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen 2016 (n = 20)
Status Nikah Kelompok Kontrol Kelompok eksperimen
Frekuensi Persen (%) Frekuensi Persen (%)
Menikah 20 100 20 100 Belum Menikah 0 0 0 0
Total 20 100 20 100
Karakteristik responden berdasarkan status pernikahan menunjukkan
semua sudah menikah baik kelompok kontrol maupun perlakuan
72
sebanyak 20 orang (100%) pada kelompok kontrol dan 20 orang
(100%) pada kelompok eksperimen.
5. Karakteristik Responden Berdasarkan Lama HD
Tabel 4.5 Karakteristik Lama HD pada Pasien HD di Ruang HD RSUD
dr. Soehadi Prijonegoro Sragen 2016 (n = 20)
Lama HD Kelompok Kontrol Kelompok eksperimen
Frekuensi Persen (%) Frekuensi Persen (%)
0 - 1 Tahun 2 10 7 35
>1 – 3 Tahun 16 80 12 60
>3 Tahun 2 10 1 5
Total 20 100 20 100
Karakteristik responden berdasarkan lama HD yang paling banyak pada
kelompok kontrol adalah >1 - 3 tahun sebanyak 16 orang (80%) dan
kelompok eksperimen adalah >1 - 3 tahun sebanyak 12 orang (60%).
4.1.2. Kepatuhan Pembatasan Cairan Responden pada Kelompok Kontrol dan
Eksperimen Sebelum Pendidikan Kesehatan
Tabel 4.6 Kepatuhan Pembatasan Cairan Responden pada Kelompok
Kontrol dan Eksperimen Sebelum Pendidikan Kesehatan
Tingkat
Kepatuhan
Kelompok Kontrol Kelompok eksperimen
Frekuensi Persen (%) Frekuensi Persen (%)
Patuh 13 65 9 45
Tidak Patuh 7 35 11 55
Total 20 100 20 100
Kepatuhan pada kelompok kontrol sebelum pendidikan kesehatan yang
paling banyak adalah patuh sebanyak 13 orang (65%) dan kelompok
eksperimen adalah tidak patuh sebanyak 11 orang (55 %).
73
4.1.3. Kepatuhan Pembatasan Cairan pada Kelompok Kontrol dan Eksperimen
Sesudah Pendidikan Kesehatan pada Observasi 1, Observasi 2 dan
Observasi 3
Tabel 4.7 Kepatuhan Pembatasan Cairan pada Kelompok Kontrol dan
Eksperimen Sesudah Pendidikan Kesehatan pada Observasi 1, Observasi
2, Observasi 3
Tingkat
Kepatuhan
Observasi 1 Observasi 2 Observasi 3 Kelompok
Kontrol
Kelompok
Eksperimen
Kelompok
Kontrol
Kelompok
Eksperimen
Kelompok
Kontrol
Kelompok
Eksperimen
F % F % F % F % F % F %
Patuh 13 65 11 55 13 65 9 45 13 65 12 60
Tidak Patuh 7 35 9 45 7 35 11 55 7 35 8 40
Total 20 100 20 100 20 100 20 100 20 100 20 100
Kepatuhan pada kelompok kontrol setelah pendidikan kesehatan
pada observasi 1 yang paling banyak adalah patuh sebanyak 13 orang
(65%) dan kelompok eksperimen adalah patuh sebanyak 11 orang (55%).
Kepatuhan pada kelompok kontrol setelah pendidikan kesehatan
pada observasi 2 yang paling banyak adalah patuh sebanyak 13 orang
(65%) dan kelompok eksperimen adalah tidak patuh sebanyak 11 orang
(55%).
Kepatuhan pada kelompok kontrol setelah pendidikan kesehatan
pada observasi 3 yang paling banyak adalah patuh sebanyak 13 orang
(65%) dan kelompok eksperimen adalah patuh sebanyak 12 orang (60%).
74
4.2. Analisa Bivariat
4.2.1. Perbedaan Tingkat Kepatuhan Pembatasan Cairan pada Kelompok
Eksperimen
Tabel 4.8 Perbedaan Tingkat Kepatuhan pada Kelompok Eksperimen
Sebelum dan Sesudah Pendidikan Kesehatan
Tingkat
Kepatuhan Pre Post (Obs 3) p value
Patuh 9 12 0,000
Tidak Patuh 11 8
Hasil tingkat kepatuhan pada kelompok eksperimen sebelum dan
sesudah pendidikan kesehatan menggunakan uji wilcoxon didapatkan hasil
p value 0,000 sehingga p value< 0,05 maka Ha diterima dan H0 ditolak
artinya ada perbedaan kepatuhan pembatasan cairan pada pasien
hemodialisa pada kelompok eksperimen.
4.2.2. Perbedaaan Tingkat Kepatuhan Pembatasan Cairan pada Kelompok
Kontrol
Tabel 4.9 Perbedaan Tingkat Kepatuhan pada Kelompok Kontrol
Tingkat
Kepatuhan Pre Post (Obs 3) p value
Patuh 13 13 1,000
Tidak Patuh 7 7
Hasil kepatuhan pada kelompok kontrol menggunakan uji wilcoxon
didapatkan hasil p value 1,000 sehingga p value > 0,05 maka Ha ditolak
dan H0 diterima artinya tidak ada perbedaan kepatuhan pembatasan cairan
pada pasien hemodialisa pada kelompok kontrol.
75
4.2.3. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Kepatuhan
Tabel 4.10 Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Kepatuhan
Tingkat Kepatuhan Kontrol Perlakuan p value
Patuh 13 12 0,000
Tidak Patuh 7 8
Hasil tingkat kepatuhan pada kelompok kontrol dan eksperimen sesudah
pendidikan kesehatan menggunakan uji Mann Whitney didapatkan hasil p
value 0,000 sehingga p value< 0,05 maka Ha diterima dan H0 ditolak
artinya ada pengaruh pendidikan kesehatan menggunakan metode audio
visual terhadap tingkat kepatuhan.
76
BAB V
PEMBAHASAN
5.1. Uji Univariat
5.1.1. Umur
Karakteristik responden berdasarkan umur yang paling banyak pada
kelompok kontrol adalah umur 36-45 tahun sebanyak 10 orang (50%) dan
kelompok eksperimen adalah umur 46-55 tahun sebanyak 7 orang (35%).
Gambaran usia demikian menunjukkan bahwa mayoritas pasien
berada pada kelompok usia dewasa. Semakin tua individu maka akan
semakin tahan terhadap persuasi (Azwar, 2005). Seseorang akan lebih
rawan terhadap persuasi sewaktu muda dan kemudian dengan bertambah
usia, akan semakin kuat sehingga menjadi semakin stabil (Rohman, 2007).
Usia berkaitan erat dengan tingkat kedewasaan atau maturitas,
semakin meningkat usia maka semakin meningkat juga kedewasaan atau
kematangan baik secara teknik, maupun psikologis, serta akan semakin
mampu melaksanakan tugasnya (Siagian, 2001). Usia yang semakin
meningkat akan meningkatkan pula kemampuan seseorang dalam
mengambil keputusan, berfikir rasional, mengendalikan emosi, toleran dan
semakin terbuka terhadap pandangan orang lain (Rohman, 2007).
Seiring dengan bertambahnya usia, fungsi ginjal juga dapat
menurun. Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia (YGDI, 2006) menyatakan
bahwa penderita CKD yang menjalani HD 49% berusia antara 35-55
77
tahun. Kasus CKD cenderung meningkat pada usia dewasa karena proses
perjalanan penyakitnya yang bersifat progresif dan kronis (Smeltzer, et al,
2008). Usia dewasa pada umumnya merupakan seseorang yang aktif
dengan memiliki fungsi peran yang banyak, mulai perannnya sebagai
individu sendiri, keluarga, di tempat kerja, maupun di kelompok sosial.
Ketika seorang dewasa mengalami sakit kronik, maka akan terdapat
konflik dalam dirinya sehingga dapat mempengaruhi kepatuhan individu.
5.1.2. Jenis Kelamin
Mayoritas jenis kelamin responden pada kelompok kontrol dan
kelompok eksperimen adalah laki-laki. Jumlah pasien pria lebih banyak
dari perempuan dapat disebabkan karena beberapa hal.
Perbesaran prostat pada laki-laki dapat menyebabkan terjadinya
obstruksi dan infeksi yang dapat berkembang menjadi gagal ginjal. Selain
itu, pembentukan batu renal lebih banyak diderita oleh laki-laki karena
saluran kemih pada laki-laki lebih panjang sehingga pengendapan zat
pembentuk batu lebih banyak pada laki-laki dari pada perempuan. Laki-
laki juga lebih banyak mempunyai kebiasaan yang dapat mempengaruhi
kesehatan seperti merokok, minum kopi, alkohol, dan minuman suplemen
yang dapat memicu terjadinya penyakit sitemik yang dapat menyebabkan
penurunan fungsi ginjal (Black & Hawks, 2005).
Berdasarkan literatur menyatakan tidak terdapat perbedaan kejadian
CKD pada usia dan jenis kelamin tertentu karena CKD dapat mengenai
segala macam usia dan jenis kelamin sesuai dengan etiologinya. Jenis
78
kelamin laki-laki dan perempuan mempunyai resiko yang sama untuk
menderita CKD. Pengaruh pola hidup yang menyebabkan seseorang
menderita CKD dan harus menjalani HD.
Kemampuan memecahkan masalah, keterampilan analisis, dorongan
kompetitif, motivasi, sosiabilitas, dan kemampuan belajar adalah sama
antara laki-laki dan perempuan (Rohman, 2007).
5.1.3. Tingkat Pendidikan
Mayoritas rensponden pada kelompok kontrol maupun kelompok
eksperimen mempunyai tingkat pendidikan SMP/SMU. Tingkat
pendidikan merupakan indikator bahwa seseorang telah menempuh
jenjang pendidikan formal di bidang tertentu, namun bukan indikator
bahwa seseorang telah menguasai beberapa bidang ilmu.
Seseorang dengan pendidikan yang baik, lebih matang terhadap
proses perubahan pada dirinya, sehingga lebih mudah menerima pengaruh
luar yang positif, objektif dan terbuka terhadap berbagai informasi
termasuk informasi tentang kesehatan (Notoatmodjo, 2003). Azwar (2005)
mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka
ia akan cenderung berperilaku positif karena pendidikan yang diperoleh
dapat meletakkan dasar-dasar pengertian dalam diri seseorang.
5.1.4. Status Pernikahan
Seluruh responden mempunyai status menikah (100%). Semua
responden masih mempunyai pasangan hidup dan ini dapat merupakan
support system yang baik dalam meningkatkan kondisi kesehatan pasien.
79
Status pernikahan merupakan prediktor terbaik dari kualitas hidup
secara keseluruhan. Ketegangan peran berupa perubahan peran sehat sakit
akibat kegagalan fungsi ginjal, perubahan bentuk dan penampilan fisik
akibat ascites, dapat diminimalkan dengan adanya dukungan dari
pasangan. Hal ini dapat meningkatkan rasa percaya diri, optimis dan
motivasi yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien CKD. Sesuai
dengan kultur Jawa, dukungan dari keluarga besar juga ikut berperan
dalam memberikan dukungan bagi pasien HD (Septiwi, 2011).
Hal ini secara keseluruhan menunjukkan bahwa individu yang
menikah memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi daripada individu yang
tidak menikah, bercerai, ataupun janda/duda akibat pasangan meninggal.
Keluarga memiliki fungsi untuk memberikan dukungan (baik material,
sosial, maupun emosional) (Brunner & Suddart, 2012).
Dukungan keluarga akan mempengaruhi kesehatan secara fisik dan
psikologis, di mana dukungan keluarga tersebut dapat diberikan melalui
dukungan emosional, informasi dan nasihat, dukungan dalam masalah
finasial, dukungan untuk mengurangi tingkat depresi dan ketakutan
terhadap kematian, serta pembatasan asupan cairan (Brunner & Suddart,
2012).
5.1.5. Lama Menjalani HD
Mayoritas responden pada kelompok kontrol dan kelompok
ekperimen menjalani HD > 1 – 3 tahun. Ketidakpatuhan seringkali muncul
pada saat kondisi kesehatan kronik, ketika penyebab timbulnya bervariasi,
80
atau apabila gejala tidak nampak, program pengobatan komplek dan rumit,
dan ketika pengobatan membutuhkan perubahan gaya hidup (Delamater,
2006). Kebermaknaan durasi menderita penyakit ini disebabkan timbulnya
perasaan jenuh, bosan, dan depresi pada sebagian besar pasien CKD yang
menjalani terapi jangka panjang (Ciechhanowski, 2000).
5.1.6. Kepatuhan Pembatasan Cairan pada Kelompok Kontrol di Ruang HD
RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen
Kepatuhan pada kelompok kontrol sebelum pendidikan kesehatan yang
paling banyak adalah patuh sebanyak 13 orang (65%).
Kepatuhan dimaknai sebagai perilaku seseorang dalam meminum
obat, mengikuti anjuran diet dan atau melakukan perubahan gaya hidup
yang sesuai dengan rekomendasi dari tenaga kesehatan profesional (WHO,
2003). Kepatuhan berkenaan dengan kemampuan dan kemauan individu
untuk mengikuti cara sehat yang berkaitan dengan nasehat, aturan yang
ditetapkan, mengikuti jadwal. Kepatuhan adalah tingkat perilaku klien
dalam mengambil suatu tindakan untuk pengobatan seperti diet, kebiasaan
hidup sehat, dan ketepatan berobat (Niven, 2002).
Kepatuhan dalam menjalani HD dan pembatasan cairan penting agar
pasien merasa nyaman pada saat sebelum, selama dan sesudah terapi HD
(Imelda, 2012). Kepatuhan pembatasan cairan bagi pasien HD merupakan
hal penting untuk dilakukan, jika pasien tidak patuh akan terjadi
penumpukan zat-zat berbahaya dalam tubuh hasil metabolisme dalam
darah.
81
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien CKD dalam
pembatasan asupan cairan adalah faktor pendidikan, konsep diri,
pengetahuan pasien, keterlibatan tenaga kesehatan dan keterlibatan
keluarga (Kamaluddin & Rahayu, 2009).
Peneliti berpendapat pendidikan pasien CKD di RSUD dr. soehadi
Prijonegoro yang sebagian besar SMP/SMU yang dapat mempengaruhi
kepatuhan. Pendidikan merupakan faktor yang penting pada pasien untuk
dapat memahami dan mengatur dirinya sendiri dalam makan maupun
minum (Liu, 2010). Beberapa bukti menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan pasien berperan dalam kepatuhan, tetapi memahami instruksi
pengobatan dan pentingnya perawatan mungkin lebih penting daripada
tingkat pendidikan pasien. Penelitian telah menunjukkan bahwa
peningkatan pengetahuan tidak berarti meningkatkan kepatuhan pasien
terhadap pengobatan yang diresepkan. Yang paling penting, seorang
pasien harus memiliki sumber daya dan motivasi untuk mematuhi protokol
pengobatan (Krueger et al, 2005).
Status pernikahan responden dalam penelitian ini 100% menikah.
Dukungan sosial khususnya dari keluarga mempunyai pengaruh yang
besar untuk mengurangi dampak stres yang diakibatkan penyakit CKD dan
terapi HD. Hal ini disebabkan karena mereka dapat berpikir lebih realistik
dan mendapatkan perspektif lain yang lebih positif dari keluarga sehingga
dapat mengembangkan mekanisme koping yang adaptif sehingga pada
82
akhirnya mematuhi rekomendasi terapi CKD yang dianjurkan petugas
kesehatan, khususnya perawat.
5.1.7. Kepatuhan Pembatasan Cairan pada Kelompok Eksperimen di Ruang HD
RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen Sebelum Diberikan Pendidikan
Kesehatan
Kepatuhan pada kelompok eksperimen adalah tidak patuh sebanyak 11
orang (55 %).
Kepatuhan pasien dalam mengurangi asupan cairan dirasakan masih
kurang oleh kebanyakan perawat ruangan hemodialisa, dan merupakan
salah satu prioritas utama diagnosa keperawatan yang ditegakkan dalam
memberikan pelayanan keperawatan, pasien CKD yang menjalani HD
rutin di rumah sakit Prof dr. Margono Soekarjo Purwokerto 32,7 %
penderita CKD tidak patuh dalam mengurangi asupan cairan (Kamaluddin
& Rahayu, 2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien HD
secara garis besar adalah faktor pasien, fasilitas pelayanan kesehatan dan
petugas hemodialisis (Kamerrer, 2007).
Pendapat peneliti terkait kepatuhan kelompok eksperimen yang tidak
patuh adalah pada kelompok eksperimen hanya dua pasien dari 20 pasien
yang menjalani HD dua kali dalam seminggu dengan lama HD lima jam
mengalami ascites, oedema ekstremitas dan susah buang air kecil. Pasien
belum merasakan ketidaknyaman akibat kelebihan cairan sehingga
cenderung tidak patuh.
83
Lama seseorang untuk menderita penyakit tidak dapat dicegah atau
diprediksi, namun perawat harus mengoptimalkan peran dan fungsinya
sebagai caregiver yang bermakna perawat mengintegrasikan perannnya
sebagai communicator, teacher, conselor, advocate dan leader untuk
mencegah, meminimalisir, dan mengatasi masalah kepatuhan melalui
pemberian asuhan keperawatan yang holistik dan spesifik sesuai dengan
karakteristik pasien (Bangun, 2009).
5.1.8. Kepatuhan Pembatasan Cairan pada Kelompok Kontrol (Post Tes)
Kepatuhan pada kelompok kontrol setelah pendidikan kesehatan
pada observasi 1 yang paling banyak adalah patuh sebanyak 13 orang
(65%), pada observasi 2 yang paling banyak adalah patuh sebanyak 13
orang (65%) dan pada observasi 3 yang paling banyak adalah patuh
sebanyak 13 orang (65%).
Fernandez (2014) dalam penelitiannya menemukan hasil bahwa pada
observasi 2 responden pada kelompok kontrol lebih patuh dari pada
kelompok intervensi, meskipun pada observasi 3 kelompok intervensi
lebih patuh.
Faktor yang dapat mempengaruhi perilaku adalah pengalaman
pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh
kebudayaan, media massa, agama, dan faktor emosional dan pendidikan
formal dan informal (Azwar, 2011).
Pendapat peneliti terkait kepatuhan kelompok kontrol yang
cenderung tetap tingkat kepatuhan adalah pada kelompok kontrol sebagian
84
responden telah mengalami tanda-tanda kelebihan cairan. Sembilan pasien
dari 20 pasien kelompok kontrol yang menjalani HD dua kali dalam
seminggu dengan lama HD lima jam mengalami ascites, oedema
ekstremitas dan susah buang air kecil sedangkan kadar albumin dalam
rentang normal.
Pasien yang mengalami kelebihan cairan merasa tidak nyaman
karena sesak nafas, lelah dan lemas (Fisher, 2004 cit. Fisher 2006).
Pengalaman itu yang mendorong pasien untuk mematuhi pembatasan
asupan cairan. Pasien yang telah mengalami komplikasi akibat penyakit
membutuhkan komitmen yang positif dari pasien CKD untuk melakukan
serangkaian perubahan gaya hidup untuk meminimalkan dampak
komplikasi terhadap organ atau sistem tubuh yang lain (Bangun, 2009).
5.1.9. Kepatuhan Pembatasan Cairan pada Kelompok Eksperimen Sesudah
Pendidikan Kesehatan
Kepatuhan pada kelompok eksperimen setelah pendidikan kesehatan
pada observasi 1 yang paling banyak adalah patuh sebanyak 11 orang
(55%), pada observasi 2 yang paling banyak adalah tidak patuh sebanyak
11 orang (55%) dan pada observasi 3 yang paling banyak adalah patuh
sebanyak 12 orang (60%).
Pendidikan kesehatan diartikan sebagai suatu proses yang terdiri dari
pengkajian, intervensi dan evaluasi (Edelman & Mandle, 2010).
Pengkajian berguna menentukan kebutuhan, motivasi dan tujuan
pembelajaran yang dibuat bersama klien. Intervensi dilakukan untuk
85
menyediakan sumber pelajaran sesuai kebutuhan klien dan evaluasi
dilakukan selama proses pembelajaran maupun setiap tahap belajar untuk
mengetahui pencapaian kemampuan. Pembelajaran ulang dan follow up
kemampuan yang dimiliki dapat dilakukan jika perlu (Redman, 2007).
Tujuan pendidikan kesehatan secara umum adalah mengubah
perilaku individu atau masyarakat di bidang kesehatan (WHO, 1954 cit.
Bastable, 2002).Notoatmodjo (2009) menyatakan media pendidikan adalah
alat yang digunakan untuk membantu dalam menyampaikan bahan
pendidikan atau pengajaran.
Faktor lain yang mendukung adalah adalah sebagian besar responden
berada pada rentang usia dewasa. Usia reponden yang lebih matang
menyebabkan pengajaran dewasa dapat terjadi dengan baik. Sesuai dengan
pendapat Potter & Perry (2005) yang menyatakan bahwa pertambahan usia
meningkatkan kemampuan untuk membimbing dan menilai diri secara
mandiri.
Pengetahuan yang dimiliki responden sebelumnya ditambah dengan
informasi yang diberikan dapat meningkatkan pengetahuan menjadi lebih
baik. Faktor lain yang dapat meningkatkan pengetahuan responden adalah
media yang digunakan berupa gambar, tulisan dan suara. Penelitian ini
selain pemberian pendidikan kesehatan 1 x, kemudian adaya reinforcement
sebanyak 3x semakin menguatkan responden untuk meningkatkan
kepatuhan. Materi informasi juga merupakan hal yang menarik bagi
86
responden karena berkaitan dengan upaya yang harus dilakukan pasien HD
agar dapat merasa nyaman sebelum, selama dan sesudah HD.
Keberhasilan dapat dicapai seseorang dengan melewati 3 (tiga)
tahapan kepatuhan, yaitu pertama adalah percaya pada akurasi dari
diagnosa, kesesuaian terapi, kemampuan untuk melaksanakan terapi dan
validasi serta kecenderungan terapi untuk mencapai keberhasilan. Ketika
pasien CKD memiliki dasar kepercayaan, maka pasien CKD akan
beradaptasi terhadap kondisi sakitnya serta terapi yang harus dijalani
akibat menderita penyakit tersebut. Tahap kedua adalah pengetahuan.
Seseorang perlu mengetahui apa yang harus dilakukan agar dapat
mengerjakan tindakan tersebut dengan tepat dan benar. Instruksi yang jelas
dan model mental yang dikembangkan dengan baik membantu individu
dalam melakukan tindakan dengan efektif. Pengetahuan yang baik tentang
kapan dan bagaimana melaksanakan suatu terapi akan membantu pasien
CKD untuk mengembangkan petunjuk-petunjuk kritis dan mengingatkan
untuk selalu patuh terhadap rekomendasi terapi. Tahap yang terakhir
adalah tindakan. Pasien CKD akan patuh melaksanakan rekomendasi
terapi jika percaya pada tujuan dan efektifitas dari terapi, tahu bagaimana
melaksanakan dengan sesuai dan mampu melaksanakan terapi yang
dianjurkan karena setiap kali dilaksanakan (atau tidak) adalah penegasan
ulang dari kepercayaan, pengetahuan dan kemampuan bertindak (Klein,
2006).
87
5.2. Uji Bivariat
5.2.1. Perbedaan Tingkat Kepatuhan Pembatasan Cairan pada Kelompok
Eksperimen
Hasil tingkat kepatuhan pada kelompok eksperimen sebelum dan
sesudah pendidikan kesehatan menggunakan uji wilcoxon didapatkan
hasil p value 0,000 sehingga p value< 0,05 maka Ha diterima dan H0
ditolak artinya ada perbedaan kepatuhan pembatasan cairan pada pasien
hemodialisa pada kelompok eksperimen.
Tidak ada intervensi standar yang dapat meningkatkan kepatuhan,
karena ada banyak aspek yang berperan mempengaruhi kepatuhan.
Penelitian Hare, Carter, & Forshaw (2013) membuktikan bahwa metode
terapi kognitif dapat menurunkan adanya oedema setelah 6 minggu
intervensi sebagai indikasi peningkatan terhadap kepatuhan pembatasan
asupan cairan. Penelitian Parvan et, al (2015) menemukan hasil bahwa
penggunaan metode pamflet dan tatap muka dalam memberikan
pendidikan kesehatan meningkatkan nilai pengetahuan dan juga
kepatuhan terhadap terapi dan diet.
Ketidakpatuhan adalah individu tidak melaksanakan sebuah
program pengobatan yang disarankan dari pihak luar, yakni otoritas
individu yang kuat yang menyebabkan individu enggan untuk
melaksanakan kepatuhan yang disarankan. Dalam hal ini sosial preasure
atau tekanan sosial baik dari petugas kesehatan atau keluarga tidak
memberikan efek pada perubahan individu dalam melaksanakan
88
pengobatan atau terapi. Ketidakpatuhan dapat mendatangkan beberapa
konsekuensi yang harus ditanggung individu. Beberapa konsekuensi
yang harus ditanggung individu mungkin tidak dirasakan secara
langsung, namun dampak serius akibat sikap tidak patuh mampu
memberikan efek dikemudian waktu (Saifunurmazah, 2013).
Pendapat peneliti terkait pengaruh intervensi terhadap kepatuhan
responden terjadi karena informasi yang diberikan merupakan informasi
yang secara umum sudah diketahui kebenarannya. Pasien CKD
mengetahui bahwa pembatasan cairan diperlukan agar tidak mengalami
komplikasi yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan bahkan kematian.
Kebenaran informasi menimbulkan keinginan untuk merubah nilai-nilai
yang dianut selama ini dan menerima informasi yang diberikan.
5.2.2. Perbedaaan Tingkat Kepatuhan Pembatasan Cairan pada Kelompok Kontrol
Hasil kepatuhan pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah
dilakukan pendidikan kesehatan menggunakan uji wilcoxon didapatkan
hasil p value 1,000 sehingga p value > 0,05 maka Ha ditolak dan H0
diterima artinya tidak ada perbedaan kepatuhan pembatasan cairan pada
pasien hemodialisa pada kelompok kontrol.
Perilaku tidak mudah untuk diubah. Kepatuhan pembatasan asupan
cairan tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan dan sikap. Terdapat
faktor lain yang mempengaruhi, baik internal maupun eksternal. Faktor
ekternal yang turut berperan pada kepatuhan pembatasan cairan. Beberapa
laporan menyatakan bahwa pembatasan cairan pada pasien hemodialisa
89
sangat dipengaruhi oleh perubahan musim dan masa-masa tertentu dalam
hidupnya. Penelitian Argiles (2004) menyatakan bahwa asupan cairan
pasien akan sangat tidak terkontrol pada musim panas dan pada masa
liburan Natal dan Tahun Baru karena pada musim panas merangsang rasa
haus dan pada masa liburan natal dan tahun baru banyak mengonsumsi
makanan ringan yang kering dan mengandung garam sehingga memacu
keinginan untuk minum (Welch, 2006).
Penelitian dilakukan pada bulan Januari tahun 2016, cuaca pada saat
penelitian panas pada siang maupun malam hari. Musim hujan seharusnya,
akan tetapi di daerah Sragen, hujan masih jarang turun. Pasien HD lebih
sulit melakukan pembatasan cairan karena rasa haus yang dirasakan.
Peneliti berpendapat kelompok kontrol tidak mengalami perubahan
tingkat kepatuhan yang bermakna karena tidak mendapat pendidikan
kesehatan dengan menggunakan audio visual. Pengetahuan kelompok
kontrol tentang pembatasan asupan cairan hanya didapatkan dari informasi
petugas kesehatan pada awal pasien akan menjalani HD.
Pemberian informasi yang minimal menyebabkan pemahaman pasien
CKD tentang penyakit, terapi, pembatasan asupan cairan, perawatan di
rumah dan komplikasi yang tidak optimal. Ketidakpahaman ini
diakibatkan tidak adekuatnya implementasi peran dan fungsi perawat
sebagai caregiver di ruang HD RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen.
Hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti saat studi pendahuluan
maupun selama proses pengumpulan data penelitian, perawat cenderung
90
hanya berfokus untuk menyelesaikan tugas dan memenuhi kebutuhan
biologis dan fisik pasien. Hal ini menyebabkan perawat mengabaikan
kebutuhan pasien akan informasi mengenai terapi dan perawatan diri
selama di rumah. Hal ini menjelaskan sebab meskipun hampir sebagian
besar tingkat pendidikan pasien CKD di RSUD dr. Soehadi Prijonegoro
berpendidikan menengah (SMP/SMU) namun pengetahuannya terkait
perawatan diri di rumah masih kurang sehingga cenderung tidak
memperdulikan dan tidak mematuhi rekomendasi terapi yang diberikan.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi kepatuhan pasien adalah
keterlibatan petugas kesehatan. Persentase jam staf yang sangat terlatih
maupun jumlah staf yang sangat terlatih dalam fasilitas tampaknya
memiliki efek pada kepatuhan pasien. Waktu yang didedikasikan perawat
untuk konseling pasien dapat meningkatkan kepatuhan pasien. Kehadiran
ahli diet terlatih (teregistrasi) tampaknya juga menurunkan kemungkinan
kelebihan IDWG. Pada model perilaku Green, faktor-faktor tersebut
analog dengan faktor-faktor penguat (reinforcing factors) (Kamerrer,
2007).
Informasi tertentu dapat mempengaruhi perilaku. Informasi yang
dapat mempengaruhi perilaku sangat tergantung dari isi, sumber dan media
informasi, yang bersangkutan. Dilihat dari segi isi informasi, bahwa
informasi yang menumbuhkan perilaku adalah yang menimbulkan pesan
persuasif. Pesan yang disampaikan dalam proses komunikasi haruslah
91
memiliki kemmapuan untuk mempengaruhi keyakinan sasaran didik
(Simamora, 2009).
5.2.3. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Kepatuhan
Pendidikan kesehatan tentang pembatasan asupan cairan merupakan
suatu upaya memberikan informasi kepada pasien CKD yang menjalani
HD di RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. Materi yang disampaikan
berkaitan dengan komposisi cairan tubuh, masalah kelebihan cairan,
batasan asupan cairan, cara menghitung kebutuhan cairan dan tips cara
membatasai asupan cairan pada pasien HD.
Hasil tingkat kepatuhan pada kelompok kontrol dan eksperimen
sesudah pendidikan kesehatan menggunakan uji Mann Whitney didapatkan
hasil p value 0,004 sehingga p value< 0,05 maka Ha diterima dan H0
ditolak artinya ada pengaruh pendidikan kesehatan menggunakan metode
audio visual terhadap tingkat kepatuhan.
Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh
Fernandez, et al (2014) bahwa pendidikan kesehatan dengan menggunakan
multimedia mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien PPOK terhadap
terapi. Penelitian yang dilakukan Kapti (2010) di dua RS di Kota Malang
membuktikan bahwa penggunaan media audio visual dalam pendidikan
mampu meningkatkan pengetahuan dan sikap ibu dalam tata laksana diare
pada anak.
Hasil yang sama juga didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh
Davis (2011), di mana media audio visual efektif untuk meningkatkan
92
pengetahuan dan keinginan mengkonsumsi buah dan sayuran bagi
penderita diabetes. Dewi (2012) melakukan penelitian yang hasilnya
adalah pendidikan kesehatan dengan media audio visual efektif
meningkatkan pengetahuan, sikap terhadap nutrisi dan perawatan luka
serta penyembuhan luka caesar.
Pendapat peneliti terkait bermaknanya intervensi pendidikan
kesehatan dengan media audio visual terhadap kepatuhan dapat terjadi
karena kesiapan responden untuk belajar. Hal ini dapat dilihat dari jumlah
responden pada kelompok eksperimen yang sebagian besar berpendidikan
SMP/SMU sejumlah 14 pasien (70%). Selain itu, kesadaran responden
terhadap manfaat tindakan secara langsung juga memotivasi responden
untuk memperhatikan informasi yang diberikan. Pemahaman responden
terhadap informasi yang disampaikan berdampak terhadap tingkat
pengetahuan responden sehingga responden memilih perilaku yang lebih
baik.
Selama pendidikan kesehatan berlangsung responden menyimak
dengan seksama video yang ditayangkan. Antusias responden juga terlihat
ketika video selesai ditayangkan, hal-hal yang kurang dipahami ditanyakan
secara langsung kepada peneliti.
Faktor lain yang mendukung adalah sebagian besar responden
berada pada rentang usia dewasa (36 – 65 tahun). Usia responden yang
telah matang menyebabkan pengajaran dewasa dapat terjadi dengan baik.
Sesuai dengan teori yang mengungkapkan bahwa pertambahan usia
93
meningkatkan kemampuan untuk membimbing diri secara mandiri (Potter
& Perry, 2006).
Pengetahuan yang dimiliki responden sebelumnya ditambah dengan
informasi yang diberikan saat ini dapat meningkatkan pengetahuan dan
kepatuhan menjadi lebih baik. Faktor lain yang dapat meningkatkan
kepatuhan responden adalah media yang digunakan yang berupa gambar,
tulisan dan suara.
Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa informasi akan disimpan
dalam memory 20% jika disampaikan dengan menggunakan media visual,
50% jika menggunakan media audiovisual dan 70% jika dilakukan dalam
praktek nyata. Pertimbangan pengaruh budaya dalam proses belajar
diketahui bahwa intruksi akan lebih efektif apabila disampaikan dalam
bentuk video yang menampilkan pesan menyerupai benda asli.Pemilihan
audiovisual sebagai media pendidikan kesehatan dapat diterima dengan
baik oleh respnden, media ini menampilkan gerak, gambar, dan suara lebih
menarik dan tidak monoton.
Media pendidikan kesehatan menggunakan film atau permainan
dapat memberikan gambaran yang hidup atau nyata yang dapat diingat.
Empat metode untuk memudahkan mengingat pelajaran, yaitu gunakan
kata dan kalimat yang pendek; pertegas kategorisasi; pengulangan dan
gunakan pernyataan yang konkrit dan spesifik; hindari pernyataan yang
umum dan abstrak (Ley, 1979, cit. Redman, 2007).
94
BAB VI
PENUTUP
6.1. Simpulan
1. Karakteristik usia pasien CKD yang menjalani HD adalah 36-55 tahun,
lama menjalani HD >1 – 3 tahun, sebagian besar berjenis kelamin laki-laki
dan berpendidikan SMP/SMU, serta seluruh responden menikah.
2. Kepatuhan pada kelompok eksperimen sebelum pendidikan kesehatan
yang paling banyak adalah tidak patuh, observasi 1 adalah patuh, observasi
2 adalah tidak patuh dan observasi 3 adalah patuh. Kepatuhan pada
kelompok kontrol yang paling banyak pada pre test adalah patuh,
observasi 1 adalah patuh, observasi 2 adalah patuh dan observasi 3 adalah
patuh.
3. Ada perbedaan kepatuhan pembatasan cairan pada pasien hemodialisa
pada kelompok eksperimen.
4. Tidak ada perbedaan kepatuhan pembatasan cairan pada pasien
hemodialisa pada kelompok kontrol.
5. Ada pengaruh pendidikan kesehatan menggunakan media audiovisual
terhadap kepatuhan pembatasan cairan pada pasien hemodialisa pada
kelompok eksperimen.
95
6.2. Saran
1. Bagi Pasien HD
Pasien mendapatkan pengetahuan tentang pembatasan cairan yang benar
bagi pasien HD sehingga dapat meningkatkan kepatuhan.
2. Bagi Perawat HD
Perawat HD dapat menggunakan media pendidikan kesehatan dengan
mendia audio visual dalam kegiatan pendidikan kesehatan bagi pasien
dalam upaya meningkatkan kepatuhan pembatasan cairan bagi pasien HD
serta dapat meningkatkan kualitas hidup pasien HD
3. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat dimasukkan dalam materi tentang media
pendidikan kesehatan sehingga meningkatkan praktikum tentang
pendidikan kesehatan dengan berbagai jenis media dan pembuatan media
yang sesuai dengan sasaran penyuluhan.
4. Bagi Peneliti Lain
Penelitian ini dapat dikembangkan oleh peneliti lain dengan mengubah
metode penelitian, misal membandingkan efektifitas pendidikan kesehatan
dengan menggunakan audio visual dan pendidikan kesehatan dengan
demontrasi, sehingga pasien HD tidak hanya melihat dan mendengarkan
tetapi juga dapat mempraktekkan sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Almatseir, S. (2005). Pemilihan Diet. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Arikunto, S. (2009). Manajemen penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Azwar, S. (2005). Sikap manusia: teori dan pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Bangun, A.V. (2009). Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kepatuhan
pasien tipe 2 dalam konteks asuhan keperawatan di poliklinik endokrin rshs
bandung. Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Jakarta.
Barnett, T., Li Yoong, T., Pinikahana, J., Si-Yen, T. (2008). Fluid compliance
among patients having hemodialysis: can an educational programme make a
difference?. J Adv Nurs. 61 (3), 300-306.
Bastable, S.B. (2002). Perawat sebagai pendidik: prinsip-prinsip pengajaran dan
pembelajaran. Jakarta: EGC.
Black, J.M. & Hawks, J.H. (2009). Medical surgical nursing : Clinical
management for positive outcome. 8th Edition. St. Louis Missouri: Elsevier
Saunders.
Braun, C.A. (2008). The nurse practitioner’s role: vital in nephrology. Diakses
tanggal 20 Mei 2015, dari http://www.medscape.com/viewarticle/570414.
Brunnert & Suddarth’s. (2012). Texbook of medical surgical nursing. Lippincot:
Williams & Wilkins.
Cavanaugh, K.L., Wingard, R.L., Hakim, R.M., Elasy, T.A., Ikizler, T.A. (2009).
Patient dialysis knowledge is associated with permanent arteriovenous access
use in chronic hemodialysis. Clin J Am SocNephrol. 4 (5), 950-956.
Centers for Disease Control and Prevention. (2007). CKD in the United States:
An Overview of the USRDS Annual Data Report, Volume 1.
Chou, K.J., Lee, T., Chen, C.L., Hsu, C.Y., Chung, H.M., Liu, C.P., & Fang, H.C.
(2006). Physiological changes during hemodyalisis in patient with
intradialysis hypertension. Kidney Int. 69 (10):1833-8. Diakses tanggal 20
Mei 2015, dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16691262.
Davis, R.L. (2011). Short nutritional videos and knowledge change in a
population of low income individual in a community outreach setting. Tesis.
Graduated program in Allied Medicine.
Daugirdas, J.T., Blake, P.G., Ing, T.S. (2007). Handbook of dialysis. 4th Edition.
Philadelphia: Lippincott.
Delamater, A.M. (2006). Improving patient adherence. Diakses tnggal 25 Mei
2015, dari http://www.clinical. diabetesjournals.org/cgi/content/full/242/71.
Dewi, S. (2012). Efektivitas pendidikan kesehatan tentang nutrisi dan perawatan
luka dengan video terhadap penyembuhan luka cesar. Tesis. Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia, Depok.
Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medis. (2008). Pedoman pelayanan
hemodialisis di saranan pelayanan kesehatan.
Edelman, C.L. & Mandle, C.L. (2010). Health promotion throught out the lifepan.
7th Edition. St. Louis Missouri: Elsevier Saunders.
Fernández, J.L., Fernández, F.L., Ruiz, A.G., Torres, D.P., & Fonseca, P.B.
(2014). Efficacy of a multifactorial intervention on therapeutic adherence in
patients with chronic obstructive pulmonary disease (COPD): a randomized
controlled trial. BMC Pulmonary Medicine. 14, 70.
http://www.biomedcentral.com/1471-2466/14/70.
Fisher, L. (2006). Physhicological intervention in fluid management. Diakses 17
Mei 2015, dari
http://proquest.umi.com/pqdweb?index=16&did=1456931461&SrchMode=1
&sid=7&Fmt=6&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQD&
TS=1240993656&clientId=63928.
Geddes, C.C. Houston, M., & Pediani, L. (2003). Excess interdialytic sodium
intake is not always dietery. Nephrol Dial Transflant. 18, 223-224.
Ghasemi H. The number of dialysis patients doubled. Resalat Newspaper
[Internet]. (2006). Diakses tanggal 14 Maei 2015, dari http://
magiran.com/n1262136.
Gunatillake, N. D., Jarvis, E.M., & Johnson, D.W. (2011). Hemodialysis Access
Infections, Epidemiology, Pathogenesis and Prevention. INTECH Open
Access Publisher. Diakses tanggal 20 Mei 2015, dari
http://www.intechopen.com/books/howtoreference/technical-problems-in-
patients-on-hemodialysis/hemodialysis-access-infections-epidemiology-
pathogenesis-and-prevention.
Hamid, A.Y.S. (Ed.). (2008). Riset keperawatan: Konsep, etika & instrumentasi.
(Vol 2). Jakarta: EGC.
Hare, J., Carter, D.C., & Forshaw, M. (2013). A randomized controlled trial to
evaluate the effectiveness of a cognitive behavioural group approach to
improve patient adherence to peritoneal dialysis fluid restrictions: a pilot
study. Nephrol Dial Transplant. 0, 1–13. doi: 10.1093/ndt/gft477.
Hastono, S.P. (2007). Basic data analysis for health research training: Analisis
data kesehatan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Hirmawaty, T. (2014). Pengaruh Metode Pendidikan Kesehtan Individual Terhadap
Kepatuhan Dalam Pembatasan Asupan Cairan Pada Pasien Gagal Ginjal
Kronik di RSUD Tarakan. Skripsi. Universitas Esa Unggulan, Jakarta.
Indonesian Renal Registry. (2012). Report 5th.
Kallenbach, et.al (2005). Review of hemodialysis for nursing and dialysis
personal. 7th Edition. St. Louis Missouri: Elsevier Saunders.
Kamalludin, R & Rahayu, E. (2009). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
kepatuhan asupan cairan pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis
di rsud prof.dr. margono soekarjo purwokerto. The Soedirman Journal of
Nursing. 4(1), 20-31.
Kammerer, J., Garry, G., Hartigan, M, Carter, B., Erlich, L. (2007). Adherence in
patients on dialysis: Strategy for succes. Nephrology Nursing Journal. 34 (5),
479-485.
Kapti, R.E. (2010). Efektivitas audiovisual sebagai media penyuluhan kesehatan
terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap ibu dalam tata laksana balita
dengan diare di dua rumah sakit kota malang. Tesis. Universitas Indonesia,
Depok.
Kidney Alliance. (2001). End stage renal failure – A framework for planning and
service delivery. London: Kidney Delivery.
Klein, et. al. (2006). Medication adherence: many condition, a common problem.
Diakses pada tanggal 27 Desember 2015, dari
http://www.proquest.umi.com/pqdweb.
Kugler, C., Maeding, I., & Russel, C.L. (2011). Non-adherence in patients on
chronic hemodialysis: an international comparation study. Jnephrol. 26(03),
366-375.
Kutner, N. G. (2001). Improving compliance in dialysis patients: does anything
work? Semin Dial. 14 (5), 324-327.
Le Mone, P. & Burke, K.M. (2008). Medical surgical nursing: critical nursing in
client care. 6th Edition. New Jersey: Prentice Hall Health.
Leather land S. (2007). Continuing care of the renal patient: a guide for nurses.
Dialysis & Transplantation. 36 (11), 572-83.
Lewis, A. L., Stabler, K.A., & Welch, J.L. (2010). Perceived informational needs,
problem, or concern among patients with stage 4 chronic kidney disease.
Nephrology Nursing Journal. 37(2), 143-149.
Lubis, A.J. (2008). Dukungan keluarga pada pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani hemodialisis. Diakses 12 Mei 2015, dari
http://library.usu.ac.id/download/fk/06010311.
Michell. (2002). Estimated dry weight (EDW): Aiming for accuracy. Nephrol
Nurs J. 29(5), 421-428.
National Kidney Foundation. (2000). K/DOQI Clinical practice guideline for
chronic kidney disease: Evaluations, classification and stratification. Diakses
12 Mei 2015, dari http://www.kidneyorg/profesional/kdoqi/guideline-
ckd/htm.
Notoatmodjo, S. (2009). Metodologi penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. (2009). Pengembangan sumber daya manusia. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. (2007). Perilaku kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta: Rineka.
Parvan, K., Hasankhani, H., Seyyedrasoolli, A., Riahi, S.M., & Ghorbani, M.
(2015). The effect of tho educational methods on knowledge and adherence to
treatment in hemodialysis patients: Clinical trial. Journal of Caring Sciences.
4(1), 83-93.
Pernefri. 2013. Konsensus hemodialisis perhimpunan nefrologi indonesia. Jakarta.
Potter, P.A. & Perry, A.G. (2005). Fundamental of nursing: concepts, procces
and practice. 6th Edition. Philadelphia: by Mosby Year Booc Inc.
Price, S.A. & Wilson, L.M. (2003). Pathophysiology: Clinical concepts of
dissease processes. Philadelphia: by Mosby Year Booc Inc.
Rahardjo P., Susalit, E., Suhardjon. (2006). Hemodialisis. Dalam Sudoyo, dkk.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ramelan, M.I., Ismonah, & Hendrajaya. Analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi kepatuhan pembatasan asupan cairan pada klien dengan
chronic kidney disease yang menjalani hemodialisis. Skripsi. STiKes
Telogorejo, Semarang.
Ream, Elder, V. (2003). Dry weight: To be set or not to be that is a good question.
Nephrology Nursing Journal. 30(2). 236.
Redman, B.K. (2007). Practice of patient education: A case study approach. 3rd
Edition. St. Louis Missouri: Mosby Elsevier.
Roesli, R. (2006). Terapi pengganti ginjal berkesinambungan (CRRT). Dalam
Sudoyo, dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Rohman. (2007). Faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian asuhan
spiritual oleh perawat di RS Islam Jakarta. Thesis. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Sajjadi, M., Akbari, A, Kianmehr, M., Atarodi, A.R. (2008). The relationship
between self-care and depression in patients undergoing hemodialysis.
Quarterly of the Horizon of Medical Sciences. 14 (1), 13-7.
Sanjaya, W. (2010). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standart Proses
Pendidikan. Edisi I.Jakarta : Kencana Prenada Media.
Saryono. (2008). Metodologi penelitian kesehatan: penuntun praktis bagi pemula.
Mitra Cendikia: Jogjakarta
Septiwi, W. (2010). Hubungan antara edukasi hemodialisis dengan kualitas hidup
pasien hemodialisis di unit hemodialisis rs prof. dr. margono soekarjo
purwokerto. Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok.
Shahgholian, N., Ghafourifard, M., Rafieian, M., & Mortazavi, M. (2008). Impact
of two types of sodium and ultra filtration profile on intradialytic hypotension
in hemodialysis patients. IJNMR Autumn. 13(4). 135-136.
Sitanggang, K. (2009). Pengaruh terapi perilaku kognitif terhadap pembatasan
asupan cairan pasien hemodialisa di rsup haji adam malik medan. Skripsi.
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, Medan.
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., Cheever, K.H. (2008). Texbook of
medical surgical nursing. 12th Edition. Philadelphia: Lipincott Williams &
Wilkins.
Sukandar, E. (2006). Gagal ginjal dan panduan terapi dialisis. Bandung: FK
UNPAD.
Suwitra, K. (2006). Penyakit ginjak kronik. Dalam Sudoyo, dkk. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Tavangar, H, & Sadeghian H.A. (2003). A study of the relation of coping methods
with psychological complications in hemodialysis patients. Journal of
Shaheed Sadoughi University of Yazd. 11 (3), 39-45.
Thorm. (2006). Overview of patient adherence to medication. Diakses tanggal 20
Mei 2015, dari http://www.clinical.DMjournals.org/cgi/content/full/24/2/71.
Thomas, N. (2003). Renal nursing. 2nd Edition. St. Louis Missouri: Elsevier
Saunder.
WHO. (2003). Adherence long term therapy: Evidence for action. Diakses tanggal
20 Mei 2015, dari
http://www.emro.who.int/ncd/publicity/adherencereportindiabetespatient/.
WHO. (2003). World health organization : departement of measurement and
health information. Diakses 24 Mei 2015, dari http://who.int/evidence/bod.
Wilson, B., Harwood, L., Cusolito, H.L., Heidenheim, P., Craik, D & Clark, W.F.
(2006). Gender differences in the timing of initiation of chronic hemodialysis.
London, ontario: CANNT 2006 in partnership with RPN, London Convention
Centre.
LAMPIRAN
WAKTU PENELITIAN
No Kegiatan
Bulan
Juni Juli Agustus September
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4
1. Memilih Judul
2. Studi Pendahuluan
3. Menyusun Proposal
4. Seminar Proposal
5. Revisi Proposal
No Kegiatan
Bulan
Oktober November Desember Januari
1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 1 2 3 4
6. Uji Coba Instrumen
7. Sosialisasi dan Perijinan
8. Pelaksanaan Penelitian
9. Analisis Data
No Kegiatan
Bulan
Februari Februari Maret April
1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 1 2 3 4
10. Penyusunan Laporan
11. Seminar Skripsi
12. Revisi dan Penyerahan
Skripsi
STIKES KUSUMA HUSADA
KUESIONER PENELITIAN
PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN ASUPAN CAIRAN
DENGAN MEDIA AUDIOVISUAL TERHADAP KEPATUHAN
PEMBATASAN CAIRAN PADA PASIEN HEMODIALISA
DI RUANG HEMODIALISA RSUD DR. SOEHADI
PRIJONEGOROSRAGEN
KUESIONER A: Karakteristik Demografi
KUESIONER B: Kepatuhan
PENELITI:
Sri Hartati
NIM. ST14056
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
SURAT PERMOHONAN
UNTUK BERPARTISIPASI SEBAGAI RESPONDEN PENELITIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama : Sri Hartati
Pekerjaan : Mahasiswa Program Sarjana STIKes Kusuma Husada
Surakarta
Nomor kontak : Ponsel 08122762304
Dengan ini mengajukan dengan hormat, kepada Bapak/Ibu/Saudara untuk
bersedia menjadi responden penelitian yang akan saya lakukan, dengan judul
“Pengaruh Pendidikan Kesehatan Asupan Cairan Dengan Media Audiovisual
Terhadap Kepatuhan Pembatasan Cairan Pada Pasien HemodialisaDi Ruang
Hemodialisa Rsud Dr. Soehadi Prijonegoro Sragen”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keefektifan pendidikan kesehatan
dengan media audio visual terhadap kepatuhan pasien HD di Ruang Hemodialisa
RSUD dr. Soehadi PrijonegoroSragen. Data yang diperoleh akan dipergunakan
untuk kepentingan akademik dan sebagai masukan untuk meningkatkan kualitas
pelayanan keperawatan di RSUD dr. Soehadi PrijonegoroSragen.
Bapak/Ibu/Saudara akan diminta mengisi kuesioner yang terdiri dari kuesioner
data demografi & Kejadian kejang demam, dan kuesioner pengetahuan orang tua
tentang penanganan demam selama kira-kira 10-15 menit.
Saya menjamin bahwa penelitian ini tidak akan menimbulkan dampak negatif dan
tidak akan mempengaruhi pelayanan kesehatan terhadap Bapak/Ibu/Saudara
sebagai responden. Saya menjamin kerahasian identitas dan data yang diperoleh,
baik dalam pengumpulan, pengolahan dan penyajian nanti.
Apabila ada pertanyaan lebih dalam tentang penelitian ini dapat menghubungi
peneliti pada alamat dan nomor kontak yang tercantum di atas. Demikian surat
permohonan ini saya buat, atas partisipasi dan kerja sama yang baik saya ucapkan
terima kasih.
Sragen, ………………… 2016
Hormat saya,
________________
Sri Hartati
SURAT PERNYATAAN BERSEDIA
BERPARTISIPASI SEBAGAI RESPONDEN PENELITIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : _______________________________________________
Umur : _______________________________________________
Alamat : _______________________________________________
_______________________________________________
Manyatakan bahwa:
1. Telah mendapatkan penjelasan tentang “Pengaruh Pendidikan Kesehatan
Asupan Cairan Dengan Media Audiovisual Terhadap Kepatuhan
Pembatasan Cairan Pada Pasien Hemodialisa Di Ruang Hemodialisa Rsud
Dr. Soehadi Prijonegoro Sragen”.
2. Telah diberikan kesempatan untuk bertanya dan mendapatkan jawaban
terbuka dari peneliti
3. Memahami prosedur penelitian yang akan dilakukan, tujuan, manfaat dan
kemungkinan dampak yang dapat timbul dari penelitian ini.
Dengan pertimbanagn di atas, maka dengan ini saya memutuskan tanpa paksaan
dari pihak manapun juga, bahwa saya bersedia/tidak bersedia* berpartisipasi
menjadi responden dalam penelitian ini.
Demikian pernyataan ini saya buat agar dapat dipergunakan seperlunya.
Sragen, ………………..2016
Peneliti
__________________
Sri Hartati
Yang membuat pernyataan
___________________
Nama dan tanda tangan
Catatan: * Coret yang tidak perlu