PEMERIKSAAN PENDENGARAN gede
-
Upload
fadhli-ahmad -
Category
Documents
-
view
403 -
download
24
Transcript of PEMERIKSAAN PENDENGARAN gede
Daftar Isi
Bab 1
1. Pendahuluan 2
Bab 2
Pemeriksaan pendengaran subjektif
1. Tes klinis sederhanaa. Tes berbisik 3b. Tes garputala 4c. Tes Rinne 4d. Tes Webber 5e. Tes Schwabach 6f. Tes Bing 7g. Tes Stenger 8
2. Audiometri nada murni 93. Audiometri khusus
a. Tes ABLB 13b. Tes SISI 14c. Tes kelelahan 14d. Audimetri tutur 15e. Audiometri Bekessy 16
Bab 3
Pemeriksaan pendengaran objektif
1. OAE 162. BERA 213. Audiometri impedans 244. Timpanometri 24
Bab 4
Pemeriksaan pendengaran pada bayi dan anak
1. BOA 272. Tes distraksi 293. Tes VRA 304. Play audiometri 315. Audiometri nada murni 32
Bab 5
Kesimpulan 33
1
BAB 1:
PENDAHULUAN
Audiologi adalah ilmu pengetahuan tentang fungsi pendengaran dan keseimbangan,
yang mempelajari pengukuran pendengaran maupun keseimbangan manusia yang erat
hubungannya dengan habilitasi dan rehabilitasi penderita. Rehabilitasi adalah usaha untuk
mengembalikan fungsi yang pernah dimiliki, sedangkan habilitasi adalah usaha untuk
memberikan fungsi yang seharusnya dimiliki.
Audiologi dasar ialah pengetahuan mengenai nada murni, bising, gangguan
pendengaran serta cara pemeriksaanya. Pemeriksaan pendengaran dilakukan dengan tes
penala, tes berbisik dan audiometri nada murni. Audiologi khusus diperlukan untuk
membedakan tuli sensorineural koklea dengan retrokoklea, audiometri obyektif, tes untuk tuli
anorganik, audiologi anak dan audiologi industri.
Tiga tujuan dalam penilaian klinis pendengaran yaitu perkiraan ambang dengar,
diferensiasi gangguan pendengaran konduktif dengan gangguan pendengaran
sensorineural, dan identifikasi gangguan pendengaran non organik.
Untuk memeriksa pendengaran diperlukan pemeriksaan hantaran melalui udara dan
tulang dengan memakai garpu tala atau audiometri nada murni. Kelainan hantaran melalui
udara menyebabkan tuli konduktif, berarti ada kelainan di telinga luar atau telinga tengah,
seperti atresia liang telinga, eksostosis liang telinga, serumen dan sumbatan tuba Eustachius
serta radang telinga tengah (OMA). Kelainan di telinga dalam menyebabkan tuli
sensorineural koklea atau retrokoklea. Secara fisiologis telinga dapat mendengar nada antara
20 sampai 18,000Hz. Untuk pendengaran sehari-hari paling efektif antara 500-2000Hz.
Terdapat dua tipe pemeriksaan pendengaran yaitu pemeriksaan pendengaran subjektif
dan pemeriksaan pendengaran objektif. Pemeriksaan pendengaran subjektif dibagi menjadi
Tes klinis sederhana dan Audiometri Subjektif. Contoh pemeriksaan pendengaran objektif
ialah Otoaccoustic Emission (OAE), Brain Evoked Respon Audiometry (BERA), Auditory
Steady State Response (ASSR) dan Acoustic Immittance.
2
BAB 2:
PEMERIKSAAN PENDENGARAN SUBJEKTIF
Pemeriksaan pendengaran subjektif dinilai berdasarkan respons subjektif penderita terhadap
berbagai rangsang suara. Tes ini dibagi menjadi :
a) Tes klinis sederhana :
o Tes suara
o Tes Penala/Garpu Tala
b) Audiometri Subjektif :
o Dewasa : Tes Bisik, Penala, Audiometri Nada Murni, Audiometri tutur
o Khusus : Short Increment Sensitivity Index (SISI), Alternate Binaural
Loudness Balance Test (ABLB), Tone decay, Audiometri tutur, Audiometri
Bakessy
2.1 TES KLINIS SEDERHANA
A. Tes Berbisik
Merupakan tes semikuantitatif
Tujuan : menentukan derajat ketulian secara kasar
Orang normal da p at mendengar bisikan dari jarak 6-10 meter
Cara pemeriksaam:
Ruangan tenang, panjang 6 meter
Berbisik pada akhir ekspirasi
Dimulai dari jarak 6 meter dan makin lama makin mendekat, maju tiap satu
meter sampai dapat mengulangi tiap kata dengan benar
Telinga yang tidak diperiksa ditutup, orang yang diperiksa tidak boleh melihat
pemeriksa (pemeriksa berdiri di sisi telinga yang diperiksa)
Interpretasi :
Normal : 5/6 sampai 6/6
Tuli ringan bila suara bisik 4 meter
Tuli sedang bila suara bisik antara 2 - 3 meter
3
Tuli berat bila suara bisik antara 0 - 1 meter
B. Tes Penala/ Tes Garputala
Pemeriksaan ini merupakan tes kualitatif. Terdapat berbagai macam tes penala, seperti tes
Rinne, tes Weber, tes Schwabach, tes Bing dan tes Stenger. Penala terdiri dari 1 set (5buah)
dengan frekuaensi 128Hz, 256Hz, 512Hz, 1024Hz dan 2048Hz. Pada umumnya dipakai 3
macam penala ; 512Hz, 1024Hz, 2048Hz. Jika akan memakai hanya 1 penala, digunakan
512Hz. Prinsip pemeriksaan ini adalah membandingkan antara hantaran udara (AC = air
conduction) dan hantaran tulang (BC = bone conduction). Untuk mempermudahkan
interpretasi secara klinik, dipakai tes Rinne, tes Weber dan tes Schwabach secara bersamaan.
1. Tes Rinne
Prinsip kerja : Membandingkan hantaran bunyi melalui udara dengan hantaran bunyi melalui
tulang pada telinga yang diperiksa.
Cara pemeriksaan :
a. Getarkan penala dengan memukulkan salah satu ujung jarinya ke telapak tangan atau
diapit kedua ujung oleh kedua jari.
b. Tekan ujung tangkai penala pada processus mastoideus salah satu pasien..
c. Tanyakan, apakah terdengar bunyi dengungan di telinga yang diperiksa atau tidak.
Jika terdengar, minta pasien memberi tanda apabila dengungan telah hilang.
d. Setelah pasien memberikan tanda, pemeriksa mengangkat penala dari processus
mastoideus lalu tempatkan penala di depan liang telinga.
4
Hasil pemeriksaan :
Tes Rinne (+) sekiranya pasien masih mendengar dengungan.
Tes Rinne (-) sekiranya pasien tidak mendengar dengungan.
Interpretasi Tes Rinne :
Rinne (+) : Pasien dengan pendengaran normal atau tuli sensorineural, suara di depan
liang telinga akan terdengar lebih lama dibandingkan di prosesus mastoideus (AC >
BC)
Rinnne (-) : Pasien dengan tuli konduktif, suara pada prosesus mastoid terdengar lebih
lama (AC < BC).
2. Tes Weber
Prinsip kerja : Membandingkan hantaran tulang telinga kiri dengan telinga kanan. Menurut
Weber apabila kita sedang berbicara atau menyanyi, kemudian telinga dengan jari tangan
maka suara akan terdengar lebih keras di telinga tersebut. Fenomena yang ditemukan adalah
mengenai lateralisasi hantaran tulang ke arah telinga yang disumbat.
Cara pemeriksaan:
a. Getarkan penala dengan memukulkan salah satu ujung jarinya ke telapak tangan atau
diapit kedua ujung oleh kedua jari.
b. Posisikan lalu tekan penala pada dahi pasien di garis tengah kepala (vertex, dahi,
pangkal hidung, tengah-tengah gigi seri).
5
c. Tanyakan kepada pasien apakah mendengar dengungan pada kedua telinga atau tidak,
dan apakah di kedua sisi dengungan sama atau ada yg lebih kuat (lateralisasi).
Hasil pemeriksaan:
Tidak terdapat lateralisasi saat garpu tala diletakkan di garis tengah kepala
Terdapat lateralisasi pada salah satu telinga saat garpu tala diletakkan di garis tengah
kepala.
Interpretasi Tes Weber :
Tidak ada lateralisasi : Pasien dengan pendengaran normal
Lateralisasi ke telinga yang sehat : Pasien dengan tuli sensorineural unilateral.
Lateralisasi ke telinga yang sakit : Pasien dengan tuli konduktif unilateral.
3. Tes Schwabach
Prinsip kerja: membandingkan hantaran tulang pada pasien dengan pemeriksa yang
pendengarannya dianggap normal.
Cara pemeriksaan:
a. Getarkan penala dengan memukulkan salah satu ujung jarinya ke telapak tangan atau
diapit kedua ujung oleh kedua jari.
b. Tekan ujung tungkai penala pada processus mastoideus salah satu telinga pasien.
c. Minta pasien mengangkat tangan saat dengungan hilang.
d. Pindahkan penala dari pasien ke processus mastoideus pemeriksa (pemeriksa harus
normal).
6
e. Perhatikan hasil:
Schwabach memendek: pemeriksa masih mendengarkan dengungan penala
setelah pasien menyatakan dengungannya telah hilang.
Schwabach normal: pemeriksa tidak mendengar dengungan penala setelah
pasien menyatakan dengungannya hilang.
Schwabach memanjang: dengungan akan terdengar lebih lama oleh penderita
dibandingkan pemeriksa.
Interpretasi sama dengan schwabach normal, untuk memastikan harus
dilakukan pemeriksaan selanjutnya.
f. Apabila Schwabach normal, untuk memastikan Schwabach tidak memanjang,
getarkan ulang penala, simpan di processus mastoideus pemeriksa hingga dengungan
tidak terdengar, lalu pindahkan ke processus mastoideus pasien.
g. Bila dengungan masih terdengar oleh pasien, dinyatakan schwabach memanjang.
Interpretasi Tes Schwabach :
Sama dengan pemeriksa : Pasien dengan pendengaran normal
Memanjang : Pasien dengan tuli konduktif
Memendek : Pasien dengan tuli sensorineural
4. Tes Bing (Tes Oklusi)
Prinsip kerja : Oklusi liang telinga akan membuat suara hantaran tulang terdengar lebih keras
pada telinga dengan mekanisme konduksi normal. Terdapat dua metode yang digunakan yaitu
perbandingan ambang dan perbandingan keras suara.
Cara pemeriksaan :
a. Sebuah penala yang digetarkan diletakkan pada prosessus os mastoid.
b. Pada metode perbandingan ambang, pasien diminta mengangkat tangan selama ia
masih dapat mendengarkan suara. Ketika pasien mengindikasikan bahwa suara sudah
tidak terdengar lagi, pemeriksa menutup liang telinga pasien dengan tekanan jari pada
tragus.
c. Jika pasien masih dapat mendengar suara kembali, hal ini disebut tes Bing (+) dan
apabila pasien tidak dapat mendengar suara kembali disebut tes Bing (-).
7
d. Pada metode perbandingan keras suara, liang telinga ditutup dan dibuka
bergantian saat penala yang bergetar ditempelkan pada prosessus mastoid.
e. Jika telinga pasien dapat menangkap bunyi yang mengeras disebut tes Bing (+),
tetapi j ika pasien t idak menyadari adanya perubahan kekerasan bunyi tersebut
disebut tes Bing (-).
Interpretasi tes Bing :
Tes Bing (+) : Pasien dengan pendengaran normal atau tuli sensorineural
Tes Bing (-) : Pasien dengan tuli konduktif, contohnya pada pasien otitis media dan
otosklerosis.
5. Tes Stenger
Prinsip kerja : Tes Stenger menggunakan prinsip masking. Akan terjadi penyatuan persepsi
mendengar di pusat pendengaran sentral apabila suara nada murni dengan intensitas yang
sama diberikan secara bilateral melalui earphone. Sehingga hanya akan terdengar sebagai
satu suara di tengah kepala. Tes Stenger digunakan pada pemeriksaan tuli anorganik
(simulasi atau pura-pura tuli).
Cara pemeriksaan :
Misalnya pada seseorang yang berpura-pura tuli pada telinga kiri. Dua buah penala yang
identik digetarkan dan masing-masing diletakkan di depan telinga kiri dan kanan, dengan
8
cara tidak kelihatan oleh orang yang diperiksa. Penala pertama digetarkan dan diletakkan
pada telinga kanan (yang normal) sehingga jelas terdengar. Kemudian penala yang kedua
digetarkan lebih keras dan diletakkan di depan telinga kiri (yang pura-pura tuli). Apabila
kedua telinga normal karena efek masking, hanya telinga kiri yang akan terdengar bunyi; jadi
telinga kanan tidak akan terdengar bunyi. Tetapi apabila telinga kiri tuli, telinga kanan tetap
mendengar bunyi.
Interpretasi Tes Stenger:
Contohnya pada seseorang yang tuli pada telinga kiri;
Hanya telinga kiri yang akan terdengar bunyi (telinga kanan tidak akan terdengar
bunyi) : kedua telinga normal, terdapat efek masking makanya orang tersebut berpura-
pura tuli
Telinga kanan tetap mendengar bunyi : Telinga kiri tuli, makanya orang tersebut
benar-benar tuli.
2.2 AUDIOMETRI NADA MURNI (PURE TONE AUDIOMETRY)
Audiometer nada murni adalah suatu alat elektronik yang menghasilkan bunyi yang
relatif bebas bising ataupun energi suara pada kelebihan nada, karenanya disebut nada
"murni". Dengan audiometri kita dapat membandingkan ambang pendengaran antara
hantaran udara menggunakan headphone (air conduction /AC) dan hantaran tulang dengan
menempelkan alat vibrator pada tulang mastoid (bone conduction /BC).Hasil pemeriksaaan
ini berupa audiogram. Audiometer memiliki tombol pengatur intensitas bunyi, tombol
pengatur frekuensi, headphone untuk memeriksa AC (hantaran udara) dan bone conductor
untuk memeriksa hantaran BC (hantaran tulang).
Teknik Pemeriksaan :
a. Pemeriksaan liang telinga untuk memastikan bahwa liang telinga tidak tersumbat.
Sekiranya banyak serumen sebaiknya dibersihkan dahulu.
b. Pasien duduk dan menghadap ke arah 300 dari posisi pemeriksa, sehingga pasien tidak dapat
melihat gerakan tangan, tetapi pemeriksa dapat mengamati pasien dengan bebas.
c. Memberikan instruksi dan menjelaskan pada pasien. Pasien harus memberikan tanda
dengan mengangkat tangannya setiap terdengar bunyi bagaimana pun lemahnya. Segera
9
setelah suara hilang, ia harus menurunkan tangannya kembali.
d. Memasang headphone :Benda-benda yang dapat mengganggu pemasangan
earphone dan mempengaruhi hasil pemeriksaan harus disingkirkan
e. Pemeriksaan dimulai dari telinga yang lebih baik dulu.
f. Urutan frekuensi ; dimulai pada 1000 Hz, dimana pendengaran paling stabil, kemudian
meningkat ke oktaf yang lebih tinggi dan akhirnya 500 Hz dan 250 Hz.
g. Ulangi tes pada 1000 Hz untuk meyakinkan sebelum beralih kepada telinga yang lain.
Perubahan diatas 20 dB atau lebih diantara dua oktaf, memerlukan pemeriksaan setengah
oktaf yaitu 1500 Hz, 3000 Hz atau 6000 Hz.
h. Pemberian sinyal; Cara untuk memperoleh intensitas awal adalah dengan menyusurnya mulai
dari 0 dB sampai diperoleh respons. Matikan sinyal satu-dua detik, kemudian berikan lagi pada
level yang sama. Bila ada respons, maka tes dapat dimulai pada intensitas tersebut.
i. Intensitas diturunkan secara bertahap sebanyak 10 dB setiap kali sampai respons menghilang,
kemudian naikkan 10 dB untuk mendapatkan respons, dan turunkan 5 dB untuk
memperoleh ambang terendah. Nada harus diberikan selama 0,5 detik secara irregular.
Derajat ketulian ISO :
0 - 25 dB Normal
26 - 40 dB Tuli ringan
41 – 55 dB Tuli sedang
56 – 70 dB Tuli sedang berat
71 – 90 dB Tuli berat
>90 dB Tuli sangat berat
Hasil audiogram telinga :
1. Pendengaran normal
Ambang AB dan BC sama atau kurang dari 25 dB
AC dan BC berimpit, tidak ada gap
10
Audiogram Normal
2. Tuli konduktif
BC normal atau kurang dari 25 dB
AC lebih dari 25 dB
Antara AC dan BC terdapat gap
Audiogram pada tuli konduktif
3. Tuli sensorineural
AC dan BC lebih dari 25 dB
AC dan BC berhimpit, tidak ada gap.
11
Audiogram pada tuli sensorineural
4. Tuli campuran
BC lebih dari 25 dB
AC lebih besar dari BC, terdapat gap
Audiogram pada tuli campuram
12
2.3 AUDIOMETRI KHUSUS
Untuk membedakan tuli kokhlea dan tuli retrokokhlea diperlukan pemeriksaan
khusus. Diperlukan pemahaman mengenai istilah recruitment dan kelelahan (decay/fatigue)
Recruitment adalah fenomena yang khas untuk ketulian kokhlear, dimana di atas
ambang dengar telinga yang terganggu akan lebih sensitif daripada telinga yang normal.
Peninggian intensitas sedikit saja di telinga yang sakit akan dirasakan lebih keras dari
normal. Dapat diperiksa dengan tes ABLB dan SISI
Adaptasi abnormal merupakan keadaan dimana terdapat kelainan retrokokhlea, bila
diberikan nada yang kontinu akan tak terdengar lagi dalam waktu yang lebih pendek dari
normal. Disebut juga tone decay yang disebabkan kelelahan saraf (fatigue)
a) Alternate Binaural Loudness Balance Test (ABLB)
Pada tes ABLB diberikan intensitas bunyi tertentu pada frekuensi yang sama pada kedua
telinga, sampai kedua telinga mencapai persepsi yang sama, yang disebut balans negatif.
Bila balans tercapai, terdapat rekrutmen positif. Pada rekrutmen, fungsi koklea lebih sensitif.
Grafik berupa laddergram, rekrutmen (+) menujukkan tuli kokhlea
Pada MLB (monoaural loudness balance). Prinsipnya sama dengan ABLB.
Pemeriksaan ini dilakukan bila terdapat tuli perseptif bilateral. Tes ini lebih sulit karena yang
dibandingkan ialah 2 frekuensi yang berbeda pada satu telinga (dianggap telinga yang sakit
frekuensi naik dan telinga yang normal frekuensi turun).
Gambar 11.Grafik ABLB A : recruitment (+) B : recruitment (-)
13
b) Short Increment Sensitivity Index (SISI)
Prinsip : Adanya fenomena recruitment dimana kokhlea dapat mengadaptasi secara
berlebihan peninggian intensitas yang kecil, sehingga pasien dapat membedakan selisih
intensitas yang kecil tersebut (1dB)
Cara pemeriksaan :
Tentukan ambang dengar pasien terlebih dahulu, misalnya 30 dB. Kemudian diberikan nada
kontinu 20 dB di atas ambang rangsangan, menjadi 50 dB. Kemudian diberikan bunyi
pendek yang intensitasnya 1 sampai 3 dB di atas nada kontinu tersebut, setiap 5 detik
Interpretasi :
Pada orang normal dan penderita tuli konduktif dapat mendeteksi perubahan 3 dB dengan
baik, tapi kurang baik untuk mendeteksi 1 dB Sedangkan penderita dengan tuli kokhlear
dapat mendeteksi perubahan 1 dB dengan baik, yaitu dengan skor 60-100 % (recruitment
positif)
Orang normal hanya 0-30 %.
c) Tes Kelelahan (Tone Decay)
Terjadinya kelelahan saraf oleh karena perangsangan terus menerus. Telinga yang diperiksa
dirangsang terus menerus maka terjadi kelelahan. Tandanya ialah pasien tidak dapat
mendengar dengan telinga yang diperiksa itu. Ada 2 cara : TTD (Threshold Tone Decay) dan
STAT (Supra Treshold Adaptation Test).
TTD (Treshold Tone Decay)
Pemeriksaan ini ditemukan oleh Garhart pada tahun 1957. Kemudian Rosenberg
memodifikasi setahun kemudian.
Cara Garhart adalah dengan melakukan rangsangan terus menerus pada telinga yang
diperiksa dengan integritas yang sesuai dengan ambang dengar, misalnya 40dB. Bila
setelah 60 detik masih dapat mendengar, berarti tidak ada kelelahan (decay), jadi
hasil tes negatif. Sebaliknya bila setelah 60 detik terdapat kelelahan, berarti tidak
dapat mendengar, tesnya positif.
Kemudian intensitas bunyi ditambah 5dB (jadi 40dB), maka pasien dapat mendengar
lagi. Ransangan diteruskan dengan 45dB dan seterusnya, dalam 60 detik dihitung
14
berapa penambahan intensitasnya.
Penambahan;
o 0 – 5dB : normal
o 10 -15dB : ringan (tidak khas)
o 20 – 25dB : sedang (tidak khas)
o >30dB : berat (khas ada kelelahan)
Pada Rosenberg ; bila penambahan kurang dari 15dB, dinyatakan normal, sedangkan
lebih dari 30dB, dikatakan sedang.
STAT (Supra Treshold Adaptation Test)
Cara pemeriksaan ini dimulai oleh Jerger pada tahun1957. Prinsipnya ialah
pemeriksaan pada 3 frekuensi ; 500Hz, 1000Hz dan 2000Hz pada 110dB SPL. SPL
ialah intensitas yang ada secara fisika sesungguhnya. 110 dB = 100 dB SL (pada
frekuensi 500 dan 2000Hz). Artinya, nada murni pada frekuensi 500, 1000, 2000 Hz
pada 110 dB SPL, diberikan secara terus menerus selama 60 detik dan dapat
mendengar berarti tidak ada kelelahan, bila kurang dari 60 detik maka ada kelelahan
(decay).
d)Audiometri Tutur (Speech Audiometry)
Pada tes ini dipakai kata-kata yang sudah disusun dalam silabus (sukukata) yaitu
monosilabus (satu suku kata) dan Bisilabus (dua suku kata). Kata-kata ini disusun
dalam daftar yang disebut Phonetically balance word LBT (PB, LIST).
Pasien diminta untuk mengulangi kata-kata yang didengar melalui kaset tape
recorder. Pada tuli perseptif koklea, pasien sulit untuk membedakan bunyi S, R, N, C,
H, CH sedangkan pada pada tuli retrokoklea lebih sulit lagi. Misalnya pada tuli
perseptif koklea, kata “kadar” didengarnya “kasar”, sedangkan kata “pasar”
didengarnya “kadar”.
Speech discrimination score;
90 – 100% = pendengaran normal
75 – 90% = tuli ringan
60 – 75% = tuli sedang
50 – 60 % = kesukaran mengikuti pembicaraan sehari-hari
15
< 50% = tuli berat
Guna pemeriksaan ini adalah untuk menilai kemampuan pasien dalam pembicaraan
sehari-hari dan untuk menilai dalam pemberian alat bantu dengar (hearing aid).
e) Audiometri Bekessy (Bekessy Audiometry)
Audiometi ini otomatis dapat menilai ambang pendengaran seseorang. Prinsip
pemeriksaan ini adalah dengan nada yang terputus (interupted sound) dan nada yang
terus menerus (continues sound). Bila ada suara masuk, maka pasien memencet
tombol. Akan didapatkan grafik seperti gigi gergaji, garis akan menaik ialah periode
suara yang dapat didengar, sedangkan garis yang turun ialah suara yang tidak
terdengar. Pada telinga normal, amplitudo 10dB. Pada rekrutmen amplitudo lebih
kecil.
Tipe-tipe Bekessy ;
o Bekessy tipe I : Normal.
Nada terputus dan terus menerus (continues) berimpit.
o Bekessy tipe II : Tuli perseptif koklea.
Nada terputus dan terus menerus berimpit hanya sampai
frekuensi 1000Hz dan grafik kontinu makin kecil.
o Bekessy tipe III : Tuli perseptif retrokoklea.
Nada terputus dan terus menerus berpisah.
o Bekessy tipe IV : sama dengan grafik tipe III hanya amplitudo lebih kecil.
16
BAB 3
PEMERIKSAAN PENDENGARAN OBJEKTIF
Antara pemeriksaan pendengaran objektif yang akan dibahas adalah seperti :
1. Otoaccoustic Emission (OAE)
2. Brain Evoked Respon Audiometry (BERA)
3. Audiometri Impedans
3.1 OCTOPUS EMISSION (OAE)
Suara yang berasal dari dunia luar diproses oleh koklea menjadi stimulus listrik,
selanjutnya dikirim ke batang otak melalui saraf pendengaran. Sebagian energi bunyi tidak
dikirim ke saraf pendengaran melainkan kembali menuju ke liang telinga. Proses ini mirip
dengan peristiwa echo (Kemp echo). Produk sampingan koklea ini selanjutkan disebut
sebagai emisi otoakustik (Otoaccoustic emission). Koklea tidak hanya menerima dan
memproses bunyi tetapi ojuga dapat memproduksi energi bunyi dengan intensitas rendah
yang berasal dari sel rambut luar koklea (outer hair cells).
Terdapat 2 jenis OAE yaitu (1) Spontaneous OAE (SPOAE) dan (2) Evoked OAE.
SPOAE adalah mekanisme aktif koklea untuk memproduksi OAE tanpa harus diberikan
stimulus, namun tidak semua orang dengan pendengaran normal mempunya SPOAE. EOAE
hanya akan timbl bila diberikan stimulus akustik yang dibedakan menjadi (1) Transient
Evoked OAE (TEOAE) dan (2) Distortion Product OAE (DPOAE). Pada TEOAE stimulus
akustik berupa click sedangkan DPOAE menggunakan stimulus berupa 2 buah nada murni
yang berbeda frekuensi dan intensitasnya.
17
Pemeriksaan OAE merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai fungsi
koklea yang obyektif, otomatis (menggunakan kriteria pass/ lulus/ dan refer/ tidak lulus),
tidak invasif, mudah, tidak membutuhkan waktu lama dan praktis sehingga sangat efisien
untuk program skrining pendengaran bayi baru lahir (Universal newborn Hearing Screening).
Pemeriksaan tidak harus di ruang kedap suara, cukup di ruangan yang tenang. Pada
mersin OAE generasi terakhir nilai OAE secara otomatis akan dikoreksi dengan noise yang
terjadi selama pemeriksaan. Artefak yang terjadi akan diseleksi saat itu juga (real time). Hal
tersebut menyebabkan nilai sensitifitas dan spesifitas OAE yang tinggi. Untuk memperoleh
hasil yang optimal diperlukan pemilihan probe (sumbat liang telinga) sesuai ukuran liang
telinga. Sedatif tidak diperlukan bila bayi dan anak koperatif.
18
Pemeriksaan OAE juga dimanfaatkan untuk memonitor efek negatif dari obat ototoksik,
diagnosis neueropati auditorik, membantu proses pemilihan alat bantu dengar, skrining
pemaparan bising (noise induced hearing loss) dan sebagai pemeriksaan penunjang pada
kasus – kasus yang berkaitan dengan gangguan koklea.
19
Contoh gambar alat OAE
Contoh cara pemeriksaan OAE dilakukan
20
3.2 BRAINSTEM EVOKED RESPONSE AUDIOMETRY
Istilah lain: Auditory Brainstem Response (ABR). BERA merupakan pemeriksaan
elektrofisiologik untuk menilai integritas sistim auditorik, bersifat obyektif, tidak invasif.
Dapat memeriksa bayi, anak, dewasa, penderita koma.
BERA merupakan cara pengukuran evoked potential (aktifitas listrik yang dihasilkan
n.VIII, pusat – pusat neutral dan traktus di dalam batang otak) sebagai respons terhadap
stimulus auditorik. Stimulus bunyi yang digunakan berupa bunyi click atau toneburst yang
diberikan melalui headphone, insert probe, bone vibrator. Untuk memperoleh stimulus yang
paling efisien sebaliknya digunakan insert probe. Stimulus click merupakan impuls listrik
dangan onset cepat dan durasi yang sangat singkat (0,1 ms), menghasilkan respons pada
average frequency antara 2000 – 4000 Hz. Tone burst juga merupakan stimulus dengan
durasi singkat namun memiliki frekuensi yang spesifik.
Respons terhadap stimulus auditorik berupa evoked potential yang sinkron, direkam
melalui elektroda permukaan (surface electrode) yang ditempelkan pada kulit kepala (dahi
dan prosesus mastoid), kemudian diproses melalui program komputer dan ditampilkan
sebagai 5 gelombang defleksi positif (gelombang I sampai V) yang terjadi sekitar 2 – 12 ms
setelah stimulus diberikan. Analisis gelombang BERA berdasarkan (1) marfologi gelombang,
(2) masa laten dan (3) amplitudo gelombang.
21
Salah satu faktor penting dalam menganalisa gelombang BERA adalah menentukan
masa laten, yaitu waktu (milidetik) yang diperlukan sejak stimulus diberikan sampai terjadi
EP untuk masing – masing gelombang (gel I sampai V). Dikenal 3 jenis masa laten: (1) masa
laten absolut dan (2) masa laten antar gelombang (interwave latency attau interpeak latency)
dan (3) masa laten antar telinga (interaural latency). Masa laten absolut gelombang I adalah
waktu yang dibutuhkan sejak pemberian stimulus sampai timbultnya gelombang I adalah
waktu yang dibutuhkan sejak pemberian stimulus sampai timbulnya gelombang I. Masa laten
antar gelombang adalah selisih waktu antar gelombang, misalnya masa laten antar gelombang
I – III, III – V, I – V. Masa laten antar telinga yaitu membandingkan masa laten absolut
gelombang yang sama pada kedua telinga. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
pemanjangan masa laten fisiologik yang terjadi billa intensitas stimulus diperkecil.
Terdapatkan pemanjanan masa laten pada beberpa frekuensi menunjukkan adanya suatu
gangguan konduksi.
22
Perlu dipertimbangkan faktor maturitas jaras saraf auditorik pada bayi dan anak yang
usianya kurang dari 12 – 18 bulan, karena terdapat perbedaan masa laten, amplitudo dan
morfologi gelombang dibandingkan dengan anak yang lebih besar maupun orang dewasa.
Contoh mekanisme pemeriksaan pendengaran dengan BERA
Contoh gambar anak yang sedang dilakukan pemeriksaaan BERA
23
3.3 AUDIOMETRI IMPEDANS
Pada pemeriksaan ini di periksa kelenturan membrane timpani dengan tekanan
tertentu pada Meatus Acusticus Eksterna
a. Timpanometri yaitu untuk mengetahui keadaan dalam kavum timpani. Misalnya
ada cairan , gangguan rangkaian tulang pendegaran, kekakuan pada membrane
Timpani dan membrane timpani sangat Lutur
b. Fungsi Tuba Estacius : Untuk mengetahui Fungsi Tuba ( Terbuka atau Tertutup )
c. Refleks stapedius Pada telinga Normal Reflek satapedius muncul pada
Rangsangan 70 – 80 db
Pada Lesi koklea ambang rangsang reflex Stapedius Menurun sedangkan pada Lesi
Retrokolea ambang rangsang itu naik.
TIMPANOMETRI
Pemeriksaan ini diperlukan untuk menilai kondisi telinga tengah. Gambaran
timpanometri yang abnormal (adanya cairan atau tekanan negative di telinga tengah)
merupakan petunjuk adanya gangguan pendengaran konduktif.
Melalui probe tone (sumbat liang telinga) yang dipasang pada liang telinga berdasarkan
energy suara yang dipantulkan kembali (ke arah luar) oleh gendang telinga. Pada orang
dewasa atau bayi berusia di atas 7 bulan digunakan probe tone frekuensi 226 Hz. Khusus
untuk bayi dibawah usia 6 bulan tidak digunakan probe tone 226 Hz karena akan terjadi
resonansi pada liang telinga sehingga harus digunakan probe tone frekuensi tinggi (668678
atau 1000 Hz).
24
Contoh gambar hasil timpanometri
Terdapat 4 jenis timpanogram yaitu:
1. Tipe A (normal)
2. Tipe Ad (diskontinuitas tulang tulang pendengaran)
3. Tipe As (kekakuan rangkaian tulang pendengaran)
4. Tipe B (cairan di dalam telinga tengah)
5. Tipe C (Gangguan fungsi tuba Eustachius)
Contoh alat timpanometri
25
Contoh pemeriksaan timpanometri
26
BAB 4
PEMERIKSAAN PENDENGARAN PADA BAYI DAN ANAK
Pada prinsipnya gangguan pendengaran pada bayi harus diketahui sedini mungkin.
Walaupun derajat ketulian yang dialami seorang bayi hanya bersifat ringan, namun dalam
perkembangan selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan berbicara dan berbahasa. Dalam
keadaan normal seorang bayi telah memiliki kesiapan berkomunikasi yang efektif pada usia
18 bulan, berarti saat tersebut merupakan periode kritis untuk mengetahui adanya gangguan
pendengaran.
Dibandingkan dengan orang dewasa pemeriksaan pendengaran pada bayi dan anak jauh
lebih sulit dan memerlukan ketelitian dan kesabaran. Selain itu pemeriksa harus memiliki
pengetahuan tentang hubungan antara usia bayi dengan taraf perkembangan motorik dan
auditorik. Berdasarkan pertimbangan tersebut adakalanya perlu dilakukan pemeriksaan
ulangan atau pemeriksaan tambahan untuk melakukan konfirmasi hasil pemeriksaan
sebelumnya.
Beberapa pemeriksaan pendengaran yang dapat dilakukan pada bayi;
1. Behavioral Observation Audiometry (BOA)
a. Behavioral Reflex Audiometry
b. Behavioral Response Audiometry
i. Tes distraksi
ii. Visual Reinforcement Audiometry (VRA)
c. Audiometri bermain (play audimetry)
2. Audiometri Nada Murni
Behavioral Observation Audiometry (BOA)
Tes ini berdasarkan respons aktif pasien terhadap stimulus bunyi dan merupakan
respons yang disadari (voluntary response). Metoda ini dapat mengetahui seluruh sistim
auditorik termasuk pusat kognitif yang lebih tinggi. Behavioral audiometry penting untuk
mengetahui respons subyektif sistim auditorik pada bayi dan anak dan juga bermanfaat untuk
27
penilaian habilitasi pendengaran yaitu pada pengukuran alat bantu dengar (hearing dan
fitting). Pemeriksaan ini dapat digunakan pada setiap tahap usia perkembangan bayi, namun
pilihan jenis tes harus disesuaikan dengan usia bayi.
Pemeriksaan dilakukan pada runangan yang cukup tenang (bising lingkungan tidak
lebih dari 60dB), idelaknya pada ruang kedap suara (sound proof room). Sebagai sumber
bunyi sederhana dapat digunakan tepukan tangan, tambur, bola plastik berisi pasir, remasa
kertas minyak, bel, terompat karet, mainan yang mempunyai bunyi frekuensi tinggi (squaker
toy) dll.
Sumber bunyi tersebut harus dikalibrasi frekuensi dan intensitasnya. Bila tersedia bisa
dipakai alat buatan pabrik seperti baby reactometer, Neometer, Viena tone (frekuensi 3000
Hz dengan pilihan intensitas 70, 80 , 90, dan 100 dB).
Dinilai kemampuan anak dalam memberikan respons terhadap sumber bunyi tersebut.
Pemeriksaan Behavioral Observation Audiometry dibedakan menjadi (1) Behavioral Reflex
Audiometry dan (2) Behavioral Response Audiometry.
Contoh pemeriksaan Behavioral Observation Audiometry
28
Behavioral Reflex Audiometry
Dilakukan pengamatan respons behavioral yang bersifat refleks sebagai reaksi terhadap
stimulus bunyi.
Respons behavioral yang dapat diamati antara lain: mengejapkan mata (auropalpebral
reflex), melebarkan mata (eye widening), mengerutkan wajah (grimacing), berhenti menyusu
(cessation reflex), denyut jantung meningkat refleks Moro (paling konsisten). Refleks
auropalpebral dan Moro rentan terhadap efek habituasi, maksudnya bila stimulus diberikan
berulang-ulang bayi menjadi bosan sehingga tidak memberi respon walaupun dapat
mendengar. Stimulus dengan intensitas sekitar 65-80 dBHL diberikan melalui loudspeaker,
jadi merupakan metode sound field atau dikenal juga sebagai Free field test. Stimulus juga
dapat diberikan melalui noisemaker yang dapat dipilih intensitasnya. Pemeriksaan ini tidk
dapat menentukan ambang dengar.
Bila kita mengharapkan terjadinya refleks Moro dengan stimulus bunyi dan keras
sebaiknya dilakukan pada akhir prosedur karena bayi akan terkejut, takut dan menangis,
sehingga menyulitkan ovservasi selanjutnya,
Behavioral Response Audiometry
Pada bayi normal sekitar usia 5-6 bulan, stimulus akustik akan menghasilkan pola
respons khas berupa menoleh atau menggerakkan kepala ke arah sumber bunyi di luar
lapangan pandang. Awalnya gerakan kepala hanya pada bidang horisontal, dan dengan
bertambahnya usia bayi dapat melokalisir sumber bunyi dari arah bawah. Selanjutnya bayi
mampu mencari sumber bunyi dari bagian atas. Pada bayi normal kemampuan melokalisir
sumber bunyi dari segala arah akan tercapai pada usia 13-16 bulan.
Teknik Behavioral Response Audiometry yang seringkali digunakan adalah (1) Tes
Distraksi dan (2) Visual Reinforcement Audiometry(VRA).
- Tes Distraksi
Tes ini dilakukan pada ruang kedap suara, menggunakan stimulus nada murni. Bayi
dipangku oleh ibu atau pengasuh. Diperlukan 2 orang pemeriksa, pemeriksa pertama
bertugas untuk menjaga konsentrasi bayi, misalnya dengan meperlihatkan mainan
yang tidak terlalu menarik perhatian; selain memperhatikan respons bayi. Pemeriksa
29
kedua berperan memberikan stimulus bunyi, misalnya dengan audiometer yang
terhubung dengan pengeras suara.
Respons terhadap stimulus bunyi andalan menggerakan bola mata atau menolah kea
rah sumber bunyi. Bila tidak ada respons terhadap stimuli bunyi, pemeriksaan diulang
sekali lagi. Kalau tetap tidak berhasil, pemeriksaan ketiga dilakukan lagi 1 minggu
kemudian. Seandainya tetap tidak ada respons harus dilakukan pemeriksaan
audiologik lanjutan yang lebih lengkap.
Contoh tes distraksi yang dilakukan pada anak
- Visual Reinforcement Audiometry (VRA)
Mulai dapat dilakukan pada bayi 4-7 bulan dimana control neuromotor berupa bulan
dimana control neuromotor berupa kemampuan mencari sumber bunyi sudah
berkembang. Pada masa ini respons unconditioned beralih menjadi respons
conditioned. Pemeriksaan pendengaran berdasarkan respons conditioned yang
diperkuat dengan stimulus visual dikenal sebagai VRA. Stimulus bunyi diberikan
bersamaan dengan stimulus visual, bayi akan member respons orientasi atau
melokalisir bunyi dengan cara menoleh ke arah sumber bunyi. Dengan intensitas yang
sama diberikan stimulus bunyi saja (tanpa stimulus visual), bila bayi member respons
diberi hadiah berupa stimulus visual. Pada tes VRA juga diperlukan 2 orang
30
pemeriksa. Pemeriksaan VRA dapat dipergunakan menentukan ambang pendengaran,
namun karena stimulus diberikan melalui pengeras suara maka respon yang terjadi
merupakan tajam pendengaran pada telinga yang lebih baik.
Contoh pemeriksaan VRA
Play audiometry (usia 2-5 tahun)
Pemeriksaan Play Audiometry (Conditioned play audiometry) meliputi teknik melatih
anak untuk mendengar stimulus bunyi disertai pengamatan respons motorik spesifik dalam
suatu aktivitas permainan. Misalnya sebelum pemeriksaan anak dilatih (conditioned) untuk
memasukkan bedan tersebut ke dalam kotak segera setelah mendengar bunyi. Diperlukan 2
orang pemeriksa, yang pertama bertugas memberikan stimulus melalui audiometer sedangkan
pemeriksa kedua melatih anak dan mengamati respons. Stimulus biasanya diberikan melalui
headphone. Dengan mengatur frekuensi dan menentukan intensitas stimulus bunyi terkecil
31
yang dapat menimbulan respons dapat ditentukan ambang pendengaran pada frekuensi
tertentu (spesifik).
Contoh pemeriksaan play audiometri
Audimetri nada murni
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan audiometer, dan hasil pencatatannya
disebut sebagai audiogram. Dapat dilakukan pada anak berusia lebih dari 4 tahun yang
koperatif. Sebagai sumber suara digunakan nada murni (pure tone) yaitu bunyi yang hanya
terdiri dari 1 frekuensi. Pemeriksaan dilakukan pada ruang kedap suara, dengan menilai
hantaran suara melalui udara (air conduction) melalui headphone pada frekuensi 125, 250,
5000, 1000, 2000, 4000 dan 8000 Hz. Hantaran suara melalui tulang (bone conduction)
diperiksa dengan memasang bone vibrator pada prosesus mastoid yang dilakukan pada
frekuensi 500, 1000, 2000, 4000 Hz. Intensitas yang biasa digunakan antara 10 – 100 dB
(masing – masing dengan kelipatan 10), secara bergantian pada kedua telinga. Suara dengan
intensitas terendah yang dapat didengar dicatat pada audiogram untuk memperoleh informasi
tentang jenis dan derajat ketulian.
32
Kesimpulan
Telinga merupakan suatu unsur pancaindera dan juga merupakan salah satu syarat untuk
mencapai kualitas kesejahteraan hidup normal. Karena selain sebagai alat pendengaran juga
sebagai alat keseimbangan. Sehingga sangat penting untuk mengetahui secara dini penyakit
serta gangguan yang mengurangi bahkan merusak fungsinya .
Gejala yang sering pada telinga berupa nyeri telinga, namun bisa juga keluhan lain seperti
gangguan pendengaran/tuli, suara berdenging/berdengung, rasa pusing yang berputar, keluar
cairan dari telinga, gatal.
Sehingga penanganan gejala-gejala pada telinga tergantung dari berat atau ringan
penyakitnya. Penanganan yang cepat, tepat dan adekuat akan mengurangi bahkan
memperbaiki fungsi telinga yang terganggu tersebut. Paling utama adalah pada anak-anak, di
mana fungsi pendengaran pada mereka harus dikenalpasti sejak kecik sama ada fungsinya
bagus atau tidak agar tidak mengganggu pertumbuhan mereka.
Pemeriksaan pendengaran juga sangat mudah dan murah untuk dilakukan, makanya kita
harus menggalakkan orang umum agar memeriksa pemdengaran mereka sekiranya memang
ada keluhan yang berkaitan dengan fungsi system ini.
33
Daftar pustaka
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi Keenam. Cetakan ke-1. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta: 2007
2. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Penerbit buku
kedokteran EGC. Jakarta: 1997
3. Probst R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaryngology. George Thieme Verlag.
Stuttgart : 2006
4. Prof. Dr. dr. Sardjono Soedjak, MHPEd, Sp.THT, dr. Sri Rukmini, Sp.THT, dr. Sri
Herawati,
5. Sp.THT & dr. Sri Sukesi, Sp.THT. 2000. Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung &
6. Tenggorok. Jakarta : EGC.
7. 2. Darryl Virgiawan Tanod. 2009. Tes Fungsi Pendengaran (Hearing Function Test).
8. http://darryltanod.blogspot.com/2009/09/tes-fungsi-pendengaran-hearing-
function.html.
9. dr. Dwi Priyo Miyoso, dr. Nice Mewengkang L dan dr. Dullah Aritomoyo. 1985.
Diagnosis Kekurangan Pendengaran. Cermin Dunia Kedokteran No. 39.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/05_DiagnosisKekuranganPendengaran.pdf/
05_DiagnosisKekuranganPendengaran.html. 24/5/2010.
10. Anonim. 2009. Pemeriksaan Tes Pendengaran : Pemeriksaan Audiometri, Rinne Test,
Weber Test dan Scwabach Test.
http://pemeriksaantespendengaran.blogspot.com/2009/11/pemeriksaan-audiometri-
rinneweber-test.html. 24/5/2010.
34