Pemberontakan Sporadis Muslim Rohingya Pascakemerdekaan … · Pemberontakan Sporadis Muslim...
Transcript of Pemberontakan Sporadis Muslim Rohingya Pascakemerdekaan … · Pemberontakan Sporadis Muslim...
Pemberontakan Sporadis Muslim Rohingya
Pascakemerdekaan Burma 1948 – 1988
Azizah
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Depok 2006
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Pemberontakan Sporadis Muslim Rohingya
Pascakemerdekaan Burma 1948 – 1988
Skripsi Diajukan untuk melengkapi persyaratan mencapai gelar
Sarjana Humaniora
Oleh
Azizah 0702070083
Program Studi Arab
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia Depok 2006
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Skripsi ini telah diujikan pada hari Rabu tanggal 19 Juli 2006.
PANITIA UJIAN
Ketua Pembimbing I
Maman Lesmana, M. Hum. Apipudin, M.Hum.
Panitera Pembimbing II
Letmiros, M. Hum. Abdurakhman, M. Hum.
Pembaca
Suranta, M. Hum.
Disahkan pada hari Senin, tanggal 7 Agustus 2006 oleh:
Koordinator Program Studi Dekan
Maman Lesmana, M. Hum. Prof. Dr. Ida Sundari Husen
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Seluruh skripsi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Depok, 19 Juli 2006
Penulis
Azizah
NPM. 0702070083
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Kupersembahkan untuk
Aba dan Umi tercinta
Serta kedua adik Hani dan Ja’far
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan taufik, rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat dan salam saya haturkan kepada Baginda Rasulullah SAW dan
kepada para keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya.
Skripsi ini dimaksudkan untuk melengkapi persyaratan mencapai gelar
Sarjana Humaniora di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Pada kesempatan ini pertama-tama saya mengucapkan rasa terima kasih saya
yang tak terhingga untuk kedua orang tua, Aba dan Umi, yang telah mencurahkan
seluruh doa, cinta dan kasih sayangnya yang tidak akan pernah bisa terbalas. Juga
kepada Hani dan Ja’far, kedua adik yang telah direpotkan dengan dimonopolinya
komputer di kamar. Untuk kakek, Enjid Salim bin Ahmad Al Haddad atas doanya
yang selalu diberikan walaupun dalam keadaan sakit.
Terima kasih banyak kepada Bapak Apipudin dan Bapak Abdurakhman yang
telah membimbing saya dalam mengerjakan skripsi ini dari awal sampai selesai,
terima kasih atas segala tenaga dan waktunya dalam membimbing skripsi saya.
Terima kasih juga kepada Bapak Maman Lesmana, Koordinator Program
Studi Arab yang banyak membantu skripsi saya. Kepada Bapak Suranta yang telah
bersedia menjadi pembaca skripsi ini dan kepada seluruh dosen pengajar program
studi Arab yang dengan sabar telah memberikan ilmunya.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Selanjutnya saya mengucapkan terima kasih kepada PT Gudang Garam dan
Yayasan Tifico yang telah memberikan beasiswanya sehingga dapat meringankan
finansial saya dalam menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya.
Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh pegawai
perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya yang telah membantu dalam
pengumpulan data skripsi ini dan telah memberikan kenyamanan sehingga
perpustakaan FIB menjadi rumah kedua bagi saya selama pembuatan skripsi.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Om Hamdan Basyar yang telah
meminjamkan buku LIPI yang sangat bermanfaat bagi penulisan skripsi ini, juga
kepada istri, Tante Rahmah atas dukungannya. Serta kepada pegawai perpustakaan
Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII LIPI) yang telah membantu saya
mencari data sumber.
Terima kasih kepada seluruh teman-teman Arab 2002 yang telah menjadi
bagian dalam hidup saya selama masa kuliah. Wira, terima kasih sudah menjadi
sahabat yang baik, maaf gak bisa banyak bantu kalo lagi ada masalah. Arie, yang di
akhir kuliah sering pergi bersama ke perpus-perpus untuk mencari bahan. Kepada
teman-teman 2002 yang sering ngumpul di perpus dan menjadi teman bersama
selama di akhir-akhir masa kuliah. Siti Chodijah, teman shopping, makasih jeung
udah nemenin Ik belanja-belanja. Nur Laily Nusroh, terima kasih telah mengajak saya
ke Ras FM saya jadi makin suka sama Al Jazirah. Dayat, sahabat yang selalu
berkorban, terima kasih sudah menjadi teman yang baik selama di kampus. Dedi,
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
sang sufi, terima kasih sudah menjadi tempat untuk bertanya dan tempat curhat
masalah agama jika saya sedang bingung.
Mira, teman gila di segala tempat. Hanifah, ukhti yang sangat sabar, tetaplah
berjuang, jangan pernah lelah dan menyerah. Musa Shahab, tetap semangat ye wan
ngerjain skripsinye. Emad, terima kasih atas foto-fotonya. Anggra, Baiq, Syukron,
Alia, Sitta, Zaeni, Rosi, Beni, Andini, Romlah, Een, Mahmud, terima kasih telah
menjadi bagian dari Keluarga Arab 2002.
Terima kasih banyak saya sampaikan kepada BPH Senat Mahasiswa FIB UI
2005, Ai, Yudi, Manda, Rian, Ani, Marni, Haura, Mas Ivan, Iqbal, Zaenal, Jerry, dan
Mey-Mey. Dan seluruh keluarga Senat Mahasiswa 2005 yang banyak mendukung
saya. Serta kepada Gita dan Iwid, kedua sahabat yang sudah meluangkan waktu dan
tenaga untuk mengedit skripsi ini serta atas doa dan dukungannya.
Terima kasih kepada Diani (Inggris ’02) yang telah membantu saya
menerjemahkan beberapa data. Juga kepada Kurniawan Lutfi (Manajemen ’00) yang
sangat membantu saya menerjemahkan beberapa buku sumber sehingga sangat
membantu saya dalam pembuatan skripsi ini.
Kepada teman-teman Arab ’03 terutama teman-teman ’04 (Kiki, Intan, Anggi
dan kawan-kawan) dan teman-teman ’05 atas doa dan dukungannya.
Saya sadar bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh
karena itu saya mengharapkan kritik dan saran agar skripsi ini bisa lebih baik.
Semoga skripsi ini dengan segala kekurangannya dapat bermanfaat bagi para
pembaca.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................i
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................vii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................................ix
BAB 1 PENDAHULUAN ..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................1
1.2 Alasan Memilih Judul ...........................................................................................10
1.3 Ruang Lingkup Penulisan .....................................................................................10
1.4 Perumusan Masalah .............................................................................................11
1.5 Tujuan Penulisan...................................................................................................12
1.6 Kerangka Teori .....................................................................................................12
1.7 Metode Penulisan..................................................................................................17
1.8 Sumber penulisan..................................................................................................17
1.9 Sistematika penulisan............................................................................................18
BAB 2 BURMA DAN MASYARAKATNYA.........................................................20
2.1 Burma....................................................................................................................20
2.2 Pemerintahan di Arakan........................................................................................24
2.2.1 Masa Kerajaan Arakan.......................................................................................24
2.2.2 Masa Pemerintahan Burma ................................................................................28
2.2.3 Masa Kolonisasi Inggris dan Jepang..................................................................29
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
2.2.4 Arakan Setelah Kemerdekaan Burma ................................................................35
2.2.5 Arakan di bawah Pemerintahan Militer .............................................................37
2.3 Kehidupan Beragama di Burma............................................................................45
2.3.1 Muslim di Burma ...............................................................................................46
BAB 3 MUSLIM ROHINGYA ................................................................................51
3.1 Sejarah Muslim Rohingya.....................................................................................51
3.2 Kedatangan Orang-Orang Arab dan Islam di Arakan...........................................52
3.3 Perkembangan Muslim Rohingya .........................................................................53
3.3.1 Penduduk............................................................................................................53
3.3.2 Agama dan Budaya Muslim Rohingya ..............................................................54
3.3.3 Pendidikan Muslim Rohingya............................................................................55
3.3.4 Status Politik Muslim Rohingya ........................................................................55
3.4 Perlakuan Terhadap Muslim Rohingya.................................................................56
3.4.1 Muslim Rohingya dan Masalah Sosial Budaya .................................................57
3.4.2 Muslim Rohingya dan Masalah Ekonomi..........................................................59
BAB 4 PEMBERONTAKAN SPORADIS MUSLIM ROHINGYA ....................62
4.1 Latar Belakang Pemberontakan ............................................................................62
4.2 Pemberontakan Muslim Rohingya di Masa Pemerintahan U Nu .........................65
4.3 Gerakan Muslim Rohingya Masa Pemerintahan Ne Win.....................................78
4.3.1 Rohingya Independence Force (RIF) dan perkembangannya ...........................80
4.4 Operasi Naga Min .................................................................................................83
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
4.5 Undang-Undang Kewarganegaraan 1982 .............................................................84
BAB 5 KESIMPULAN .............................................................................................86
BIBLIOGRAFI ...........................................................................................................92
LAMPIRAN ...............................................................................................................94
RIWAYAT HIDUP .................................................................................................108
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
DAFTAR SINGKATAN
AFPFL : Anti-Fascist People’s Freedom League
AHRO : Arakan Human Rights Organization
ANUO : Arakan National Union Organization
ANLP : Arakan National Liberation Party
ARIF : Arakan Rohingya Islamic Front
ARNO : Arakan Rohingya National Organization
BIA : Burma Independence Army
BRAJ : Burmese Rohingya Association in Japan
BRCA : Burmese Rohingya Community in Australia
BSPP : Burma Socialist Programme Party
CPA : Communist Party of Arakan
CPB : Communist Party of Burma
ENC : Ethnic Nationalities Council
GCBMA : General Council of Burma Moslem Associations
IMA : Ittihadul Mozahidin of Arakan
MPU : Members of the Parliament Union
NCGUB : National Coalition Government of the Union of Burma
NCUB : National Council of the Union of Burma
NDF : National Democratic Front
NDPH : National Democratic Party for Human Rights
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
NLD : National League Democracy
RIF : Rohingya Independence Force
RLO : Rohingya Liberation Organization
RNA : Rohingya National Alliance
RPF : Rohingya Patriotic Front
RSO : Rohingya Solidarity Organization
RYDF : Rohingya Youth Development Forum
SLMD : Students and Youth League for Mayu Development
SPDC : State Peace and Development Council
UNLD : United Nationalities League for Democracy
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Peta Burma ..............................................................................94
Lampiran 2 : Peta Arakan .............................................................................95
Lampiran 3 : Peta State dan Division Burma................................................96
Lampiran 4 : Peta negara-negara tetangga Burma........................................97
Lampiran 5 : Deklarasi Konvensi Bangsa Rohingya....................................98
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
IKHTISAR
AZIZAH. Pemberontakan Sporadis Muslim Rohingya Pascakemerdekaan
Burma 1948 – 1988. (Di bawah bimbingan Apipudin dan Abdurakhman). Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006.
Penulisan mengenai pemberontakan muslim Rohingya yang dilakukan secara
sporadis akibat tekanan yang berkepanjangan oleh masyarakat mayoritas Budha dan
pemerintah junta militer Burma.
Pengumpulan sumber didapatkan melalui perpustakaan-perpustakaan dan
beberapa media online. Metode penulisannya menggunakan empat tahap metode
sejarah. Pertama, Heuristik yaitu proses mencari dan menemukan sumber. Kedua,
proses kritik, yaitu memilah-milah sumber berdasarkan wilayah, periode dan etnis.
Ketiga, proses interpretasi yaitu menganalisis masalah dengan mengaplikasikan
berbagai teori, dalam penulisan ini digunakan teori sosial dan teori militer. Keempat,
historiografi, yaitu proses penulisan sejarah.
Hasil analisa adalah pemberontakan muslim Rohingya diakibatkan oleh
tindakan represif yang dilakukan secara terus menerus oleh masyarakat mayoritas
Budha dan pemerintah junta militer Ne Win serta kekecewaan muslim Rohingya
terhadap pemerintah Burma yang tidak memenuhi tuntutan mereka untuk menjadikan
daerah Arakan Utara sebagai wilayah otonomi Islam.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Pemberontakan yang berlangsung selama dua periode pemerintahan Burma,
masa U Nu (1948 – 1962) dan masa Ne Win (1962 – 1988) mengalami perbedaan
motif penyebab terjadinya penindasan oleh kedua pemerintah tersebut. Pada masa
pemerintahan U Nu muslim Rohingya ditindas oleh mayoritas Budha karena muslim
Rohingya menganut agama Islam, agama yang dianggap bukan agama asli Burma.
Sedangkan pada masa pemerintahan junta militer, muslim Rohingya ditindas karena
sistem pemerintahan junta militer yang mengeluarkan berbagai kebijakannya yang
sangat merugikan muslim Rohingya.
Dalam gerakan ini muslim Rohingya tidak mendapatkan bantuan dari negara
luar, hanya sedikit campur tangan dari negara tetangga, Bangladesh, yang banyak
menerima pengungsi asal Arakan ini. Namun, dikarenakan ketertutupan negara
Burma terhadap dunia internasional, tidak banyak yang bisa dilakukan negara-negara
luar untuk membantu masalah ini. Muslim Rohingya harus berjuang sendiri tanpa
bantuan dari luar negeri. Badan internasional pun tidak banyak membawa perubahan.
Walaupun organisasi PBB dan negara-negara lain telah meminta pihak pemerintah
Burma untuk merubah sikap mereka terhadap warganya, mereka tidak pernah
merubah sikapnya yang diktator.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat yang beragama Islam di Burma (pada Juni 1989 berganti nama
menjadi Myanmar1) merupakan kelompok minoritas, hanya 4% dari penduduk
Burma yang berjumlah 42 juta jiwa lebih.2 Walaupun pemeluk agama Islam
minoritas, tetapi mereka mempunyai pengaruh di berbagai bidang. Hal ini terbukti
dengan banyaknya jabatan penting di pemerintahan yang diduduki oleh orang Islam.
Mereka juga banyak menguasai bidang perdagangan, diplomatik, administrasi,
politik, bahasa, dan budaya.3
Masyarakat Burma dibagi berdasarkan faktor etnis, seperti Burma, Shan,
Karen, Rakhine, Kayah, Cina, India, dan Mon.4 Pembagian tersebut berlaku juga
dalam masyarakat muslim, ada muslim Burma atau Zerbadee, muslim keturunan
India, muslim Hui Hui atau Panthay, dan muslim Rohingya.5 Namun, pada umumnya
masyarakat muslim di Burma terbagi dalam tiga komunitas yang berbeda, yaitu:
1 Tempo, 1 Juli, 1989, hlm. 25. 2 The World Fact Book, “Burma” (7 Maret 2006, 13.14), terdapat di situs http://www.cia.gov/cia/publications/factbook/geos/bm.html3 Saiful Muzani, Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta, 1993), hlm. 28. 4 The World Fact Book, Loc. Cit. 5 Taufik Abdullah, “Islam Kontemporer di Myanmar,” Ensiklopedi Tematis Dinamika Masa Kini (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), hlm. 312 – 313.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
1. Muslim Burma atau Zerbadee.
2. Muslim India, imigran keturunan India.
3. Muslim Rohingya.
Masing-masing komunitas muslim mempunyai hubungan yang berbeda-beda
dengan mayoritas masyarakat Budha dan pemerintah.6 Komunitas pertama, muslim
Burma, merupakan komunitas yang terbentuk paling awal. Mereka berasal dari
wilayah Swebo di dataran tengah dekat ibu kota prakolonial kerajaan Burma.
Komunitas ini dapat dirunut asal usulnya hingga abad ke-13 dan ke-14, ketika nenek
moyang mereka datang ke negara itu sebagai pembantu istana, tentara sewaan, dan
pedagang dari Barat.7 Pada 1930-an, muslim Burma yang berasimilasi dengan baik
ini jumlahnya dilaporkan kurang dari sepertiga komunitas muslim.
Komunitas kedua, muslim India, merupakan komunitas muslim yang
terbentuk seiring kolonisasi Burma oleh Inggris pada abad ke-19. Pada 1886 sampai
1937, Burma dijadikan sebagai bagian dari Provinsi India oleh Inggris. Oleh karena
itu, banyak imigran dari India ke Burma. Pemerintah Inggris sangat berperan atas
datangnya muslim-muslim India ini. Mereka berdomisili di provinsi Arakan dan
Tenasserim. Kedatangan arus imigran yang besar ke Burma ini menyebabkan
munculnya masalah sosial, politik dan ekonomi.8
6 John L. Esposito, “Myanmar,” Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 139 - 140. 7 Ibid. 8 Riza Sihbudi, dkk., Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara: kasus Moro, Pattani, dan Rohingya. (Jakarta: PPW-LIPI, 2000), hlm.143.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Penyebab muslim India banyak berdatangan ke Burma karena kebutuhan
pemerintah Burma terhadap sumber daya manusia dan penilaian subyektif Inggris
tentang imigran India yang dinilai lebih adaptif dan mandiri. Di Burma, muslim India
ini mempertahankan hubungan erat dengan praktek-praktek religius dan kultural dari
tanah asal mereka. Hal ini sering membuat mereka berselisih dengan mayoritas
Budha mengenai masalah-masalah perkawinan dan hukum kepemilikan serta peran
Islam dalam kehidupan politik Burma.9
Komunitas muslim ketiga di Burma adalah komunitas muslim Rohingya yang
bermukim di negara bagian Arakan atau Rakhine, yang berbatasan dengan
Bangladesh. Sebelum 1784, walaupun penguasanya menggunakan perlambangan
Islam, Arakan adalah sebuah kerajaan Budha merdeka. Akan tetapi, kerajaan Budha
tersebut dihancurkan oleh tentara Burma pada 1784. Kedudukannya melemah
diakibatkan oleh bangkitnya kekuatan Burma di bagian Timur. Arakan kemudian
dimasukkan menjadi bagian dalam Burma oleh Inggris. Sejak saat itu, Arakan
didatangi sejumlah besar imigran dari Chittagong (Bengal). Proporsi terbesar kaum
muslim di Burma adalah keturunan Bengal dan sebagian besar mereka tinggal di
Negara Bagian Arakan.10 Arakan sendiri merupakan wilayah yang didiami oleh dua
komunitas etnis, Budha Arakan atau Rakhaing dan muslim Rohingya.11 Rakhaing
9 Ibid. 10 Esposito, Loc. Cit. 11 Mohammed Ashraf Alam, “A Short Historical Background”, (7 Maret 2006 12.57), terdapat di situs http://www.rohingyatimes.i-p.com/history/history_maa.html
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
menempati wilayah Arakan Selatan sedangkan muslim Rohingya tinggal di Arakan
Utara, terutama di daerah Buthidaung dan Maungdaw.
Setelah Burma merdeka pada 1948, ketiga komunitas muslim di atas memiliki
peran yang berbeda. Muslim Burma mendapat tempat dalam pemerintahan Perdana
Menteri U Nu. Setelah Perdana Menteri U Nu dikudeta pada 1962 oleh pemerintah
militer dan sosialis Jenderal Ne Win, muslim Burma masih banyak yang tetap
bertugas pada pemerintahan. Sebaliknya, kaum muslim India, yang lebih
berpandangan ke luar dan berorientasi pada perdagangan, mengalami masa hidup
yang lebih sulit setelah kemerdekaan.12 Menjelang bulan September 1964, sekitar
100.000 orang India terpaksa harus meninggalkan Burma akibat kebijakan
nasionalisasi dan birokratisasi yang dijalankan Ne Win.13
Akan tetapi, dibandingkan dengan Muslim Zerbadee dan muslim India,
kedudukan muslim Rohingya yang paling sulit. Mereka merupakan komunitas yang
paling miskin yang ada di Burma. Mereka selalu ditolak status kewarganegaraannya,
juga berbagai akses sekolah, dan rumah sakit.14 Selain itu, mereka juga disulitkan
oleh peperangan, dislokasi, dan perselisihan.15
Bersamaan dengan kemerdekaan Burma, banyak terjadi pemberontakan-
pemberontakan, seperti Komunis Bendera Merah (Red Flag Communist), Komunis
12 Esposito, Loc. Cit. 13 Alfian, Militer Dan Politik Pengalaman Beberapa Negara. (Djakarta, 1970), hlm. 8. 14 Andrew Selth, Burma’s Muslims: Terrorists or Terrorised ? (Canberra, 2003 ), hlm. 12. 15 Esposito, Loc. Cit.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Bendera Putih (White Flag Communist), dan White Comrade.16 Mereka menentang
pemerintah karena merasa tidak puas dengan kebijakan yang ada. Mereka tidak bisa
menentukan daerahnya sendiri, seperti yang terjadi di beberapa ras lain, misalnya
Shan, Kachin, dan Karen. Melihat keadaan ini, muslim Rohingya ikut memanfaatkan
kesempatan dari pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh gerakan
komunis tersebut. Mereka menuntut berdirinya daerah otonom. Namun, pemerintah
menolak kedua tuntutan pemberontak tersebut. Akibatnya, Rakhaing mencabut
dukungan mereka untuk AFPFL (Anti-Facist People’s Freedom League) dan memilih
ANUO (Arakan National Union Organization) dalam pemilihan. Sementara itu,
muslim Rohingya membentuk organisasi tentara “Mujahid”. Organisasi yang
dibentuk di bawah deklarasi Dobboro Chaung pada 20 Agustus 1947, dipimpin oleh
Jafar Hussain yang lebih dikenal dengan nama Jafar Kawal.17 Organisasi ini
bertujuan membentuk daerah otonomi Islam. Mereka menuntut agar bagian utara
Arakan yaitu Buthidaung dan Maungdaw dimasukkan ke dalam bagian Pakistan.
Gerakan Mujahid itu lebih dikenal dengan perjuangan bersenjata menuntut
otonomi di wilayah utara. Walaupun perjuangan mereka mengalami kemunduran
sejak tahun 1961, semangat untuk memperjuangkan tuntutan otonomi masih tetap
populer di muslim Rohingya. Perlawanan bersenjata, meski dilakukan secara
sporadis, sebenarnya tidak menguntungkan orang-orang Islam dalam situasi
pemerintahan militer yang berkuasa sejak 1962 ini. Kondisi sosial dan ekonomi yang
16 Kyaw Zan Tha, “Background of Rohingya Problem”, 22 Februari 2006 pukul 19.35, terdapat di situs http://rakhapura.com/read.asp?id=4&a=scholarscolumn17 Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
buruk serta wilayah Arakan yang terpencil, telah mengakibatkan timbulnya banyak
masalah. Sumber ekonomi dan lahan pertanian yang terbatas menimbulkan
perselisihan antara muslim Rohingya dan mayoritas Budha. Iklim sosial politik dan
ekonomi yang berkembang di Burma tidak memberi banyak pilihan kepada muslim
Rohingya. Muslim Rohingya memanfaatkan kesempatan yang ada dengan memilih
jalan mereka sendiri untuk menghadapi pemerintah pusat, tetapi tindakan ini tidak
membawa pengaruh besar.18
Pada tahun 1962, terjadi kudeta terhadap kekuasaan pemerintahan U Nu oleh
Jenderal Ne Win. Akibat kudeta ini, pemerintahan Burma mengalami proses
transformasi, dari pemerintah sipil menjadi pemerintah junta militer. Hal ini sangat
berdampak pada gerakan pemberontakan muslim Rohingya, yaitu pembubaran
gerakan Mujahid.
Pembubaran gerakan Mujahid tersebut tidak mengurangi semangat muslim
Rohingya lainnya. Mereka justru memperkuat barisan tentara mereka dengan
membentuk organisasi Rohingya Independence Force (RIF) pada 26 Maret 1963 di
Maungdaw.19 Selain itu, ada organisasi-organisasi muslim Rohingya lainnya, seperti
Rohingya Independence Army, Rohingya Patriotic Front (RPF), dan Rohingya
National Alliance (RNA). Semua organisasi ini memiliki tujuan yang sama, yaitu
18 Abdullah, Loc. Cit. 19 Martin Smith, BURMA: Insurgency and The Politics of Ethnicity (NewYork, 1991), hlm. 30.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
menuntut pembentukan daerah otonom bagi muslim Rohingya di wilayah
pemerintahan Burma.20
Salah satu dampak dari pemberontakan-pemberontakan di Arakan adalah
semakin bangkitnya kesadaran untuk memperjuangkan Arakan sebagai wilayah
otonom bagi muslim Rohingya.21 Meskipun pemberontakan tidak memberikan hasil
optimal, tetapi tetap memberikan efek politis di lingkungan muslim Burma, yaitu
berupa kesadaran tentang otonomi Arakan.
Pemerintah Burma melarang seseorang untuk memasuki Burma lewat jalur
darat. Semua orang asing hanya diperbolehkan masuk Burma lewat jalur udara, tetapi
banyak sekali kawasan yang tertutup bagi orang asing. Akibatnya, muslim Rohingya
sulit berkomunikasi dengan dunia luar untuk memberitahu apa yang terjadi pada diri
mereka.
Berdasarkan laporan PBB, kira-kira 20.000 umat Islam Arakan telah dibunuh
oleh rezim militer antara tahun 1962 hingga tahun 1984. Ratusan wanita diperkosa
dan semua harta benda milik umat Islam dirampas. Media komunikasi dalam negeri
digunakan untuk menyebarkan kebohongan dan fitnah terhadap Islam.22
Konvensi Bangsa Rohingya, yang terbentuk pada tanggal 14 – 16 Mei 2004
lalu, membuka mata dunia terhadap masalah Rohingya. Konvensi yang diikuti oleh
20 Ibid. 21 Riza Sihbudi, dkk., Op. Cit. hlm. 155. 22 Zaman kegelapan Islam dan Ketibaan Era Kebangkitan Islam, “Burma Penduduk Yang Berhadapan Dengan Kezaliman Penganut Budha”, (22 Februari 2006 pukul 19.30), diambil dari situs http://www.harunyahya.com/malaysian/buku/kebangkitanislam/kebangkitanislam19.php
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
organisasi-organisasi Rohingya yang ada di beberapa negara di belahan dunia itu
sedikit melegakan nasib Rohingya yang tertindas selama puluhan tahun.
Negara Burma merupakan negara yang tertutup bagi negara-negara asing
terutama untuk para wartawan. Oleh karena itu, bahan kepustakaan mengenai Burma
atau mengenai masalah yang terjadi pada minoritas muslim Rohingya sangat sulit
ditemukan. Hal itu juga ditambah dengan keadaan geografi Arakan yang terisolir dari
kota-kota di sekitarnya. Artikel atau buku yang ada, yang membahas masalah
Rohingya, hanya sedikit pembahasannya. Hal itu disebabkan minimnya masyarakat
umum yang mengetahui tentang masalah muslim Rohingya. Namun, bukan berarti
tidak ada sama sekali data-data yang membahas tentang Rohingya, sampai saat ini
penulis telah mendapatkan beberapa buku dan artikel dari Newsletter yang
dikeluarkan oleh Arakan Rohingya National Organization (ARNO).
Salah satu buku yang penulis dapatkan adalah buku hasil laporan penelitian
yang dilakukan oleh Puslitbang Politik dan Kewilayahan Lembaga Ilmu Pegetahuan
Indonesia (PPW-LIPI). Penelitian tersebut berjudul Problematika Minoritas Muslim
di Asia Tenggara: Kasus Moro, Pattani, dan Rohingya, penelitian itu membahas
problematika ketiga muslim minoritas dilihat dari perspektif masalah diskriminasi
sosial-budaya, masalah represi di bidang ekonomi, represi politik, serta membahas
tentang gerakan resistensi ketiga minoritas muslim tersebut dengan dimensi
internasional, dalam hal ini adalah peranan negara-negara OKI dalam menyikapi
masalah muslim Rohingya.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Dinamika kelompok minoritas muslim Rohingya masih menghadapi
persoalan-persoalan kemasyarakatan dan negara yang sangat kompleks. Fenomena
dinamika keminoritasan masyarakat yang beragama Islam di negara Burma, secara
umum diwarnai dengan represi, diskriminasi, dan eksploitasi dari kelompok
mayoritas, dan penguasa di negara itu. Hal itu menyebabkan persoalan-persoalan
sosial, politik dan ekonomi yang berlangsung, secara kumulatif menjadi gerakan-
gerakan yang mengarah pada separatis.
Buku tulisan Martin Smith yang berjudul Burma: Insurgency and the Politics
of Ethnicity merupakan buku yang menerangkan secara lengkap tentang Burma
secara umum. Di dalam buku tersebut diceritakan tentang konflik-konflik yang terjadi
dan tentang pemberontakan di Burma, termasuk pemberontakan Mujahid.
Buku lain yang membahas persoalan muslim Rohingya di Arakan adalah buku
yang ditulis oleh Clive J. Christie dengan judul A Modern History of Southeast Asia:
Decolonization, Nationalism, and Separatism. Salah satu bahasannya yang berjudul
“At the Frontier of the Islamic World: the Arakenese Muslim” membahas
perselisihan dan pemberontakan di dunia Islam, dalam hal ini adalah muslim Arakan
yang menjadi masyarakat minoritas yang terlupakan di negaranya sendiri. Diceritakan
pula keadaan di Arakan selama dan setelah perang dunia kedua, serta berbagai
pemberontakan-pemberontakan yang dilancarkan oleh gerakan Mujahidin.
Sementara itu, Newsletter yang dikeluarkan setiap bulan oleh ARNO (Arakan
Rohingya National Organzation) berisi berita-berita mengenai situasi dan kondisi
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
terkini di Arakan, dan di dalamnya terdapat artikel dan opini tentang Rohingya
ataupun tentang Burma.
1.2 Alasan Memilih Judul
Pada saat ini, perhatian dunia terfokus pada tragedi kemanusiaan di Palestina,
Irak, dan Iran, ataupun di penjuru dunia lain. Sedikit sekali masyarakat Internasional
yang mengangkat isu penderitaan muslim Rohingya di Burma yang mengalami
penindasan oleh penguasa junta militer.
Kurangnya perhatian masyarakat dunia terhadap masalah muslim Rohingya
serta ketertutupan pemerintah Burma terhadap dunia luar menyebabkan terbatasnya
buku-buku atau artikel yang membahas secara rinci tentang muslim Rohingya,
khususnya tentang gerakan-gerakan pemberontakan Rohingya. Hal itu menyebabkan
minimnya masyarakat luas yang mengetahui dengan pasti apa yang telah terjadi
dengan muslim Rohingya (dari kalangan akademisi maupun kalangan awam). Oleh
karena itu, penulis tertarik untuk mengangkat dan memaparkan masalah muslim
Rohingya dalam skripsi ini.
1.3 Ruang Lingkup Penulisan
Agar pembahasan skripsi ini terfokus, maka penulis membatasi penulisan
skripsi ini dengan membahas peristiwa pemberontakan dari tahun 1948 – 1988. Pada
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
tahun tersebut ada dua masa pemerintahan. Dua masa itu adalah tahun 1948, yang
merupakan tahun kemerdekaan negara Burma di bawah kepimpinan U Nu. Tahun ini
juga merupakan awal pemberontakan muslim Rohingya yang dipelopori oleh gerakan
Mujahid dan diteruskan oleh gerakan-gerakan yang lainnya. Masa pertama ini
berakhir saat pemerintahan U Nu dikudeta oleh Jenderal Ne Win pada tahun 1962.
Masa kedua adalah masa Ne Win. Pada saat itu Burma mengalami proses
transformasi bentuk pemerintahan, dari sipil menjadi junta militer. Hal itu berdampak
besar pada gerakan pemberontakan muslim Rohingya hingga kekuasaan Ne Win
berakhir pada tahun 1988.
1.4 Perumusan Masalah
Penindasan terhadap muslim Rohingya dilakukan pada dua masa
pemerintahan Burma, yaitu masa pemerintahan U Nu (1948 – 1962) dan masa
pemerintahan junta militer Ne Win (1962 – 1988). Penindasan ini mengakibatkan
penderitaan terhadap muslim Rohingya selama puluhan tahun. Dari masalah tersebut,
penulis mengajukan beberapa pertanyaan untuk mengungkapkan permasalahan, yaitu
sebagai berikut.
1. Kenapa muslim Rohingya menjadi sasaran dari berbagai aksi kekerasan di
Burma?
2. Apa motif penindasan dari dua masa pemerintahan Burma?
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
3. Siapa tokoh-tokoh di balik tindak kekerasan yang dilakukan terhadap muslim
Rohingya?
4. Apa yang melatarbelakangi terjadinya pemberontakan di Arakan?
5. Bagaimana muslim Rohingya melakukan perlawanan terhadap penindasan
yang menimpa mereka?
1.5 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan dan mengungkapkan masalah yang terjadi pada muslim
Rohingya.
2. Memberikan informasi-informasi yang jelas kepada khalayak umum
mengenai masalah muslim Rohingya yang selama ini kurang diperhatikan.
1.6 Kerangka Teori
Dalam ilmu sosial terdapat istilah yang dikenal dengan interaksi sosial.
Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama, persaingan, dan bahkan
pertentangan atau konflik. Menurut Gillin dan Gillin yang dikutip oleh Soerjono
Soekanto, ada dua macam proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi
sosial. Pertama, proses sosial yang asosiatif. Proses ini dibagi dalam tiga bentuk
khusus, yaitu: akomodasi, asimilasi dan akulturasi. Kedua, proses sosial yang
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
disosiatif. Proses ini mencakup persaingan yang meliputi kontravensi dan konflik.23
Sesuai dengan masalah yang diangkat dalam tulisan ini maka penulis menggunakan
proses disosiatif dalam bentuk konflik untuk menganalisis permasalahan antara
muslim Rohingya dan pemerintah Burma yang merupakan bentuk persaingan antara
penguasa dan kelompok minoritas.
Konflik adalah proses sosial suatu individu atau sekelompok orang yang
berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang
disertai dengan ancaman dan kekerasan. Pertentangan atau konflik merupakan akibat
dari tajamnya perbedaan-perbedaan, seperti perbedaan kebudayaan, perbedaan
kepentingan, baik itu kepentingan ekonomi maupun kepentingan politik, dan akibat
perubahan sosial.24
Konflik mempunyai beberapa bentuk khusus, diantaranya konflik pribadi,
konflik rasial, konflik antar kelas sosial, konflik politik, dan konflik internasional.
Dalam penulisan ini akan digunakan konflik rasial dan konflik politik. Konflik rasial
tidak hanya terletak pada perbedaan fisik, tetapi juga terletak pada perbedaan
kepentingan dan kebudayaan. Konflik akan semakin berkembang jika ditambah
dengan kenyataan bahwa salah satu etnis adalah kelompok mayoritas.25
Menurut Ted Robert Gurr, yang dikutip oleh Riza Sihbudi, ada tiga penyebab
terjadinya pemberontakan. Pertama, psikologis masyarakat akibat tekanan yang terus
23 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 77 - 78 24 Ibid. hlm. 107 – 108. 25 Ibid. hlm. 111 – 112.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
dilakukan sehingga menimbulkan pemberontakan. Pemberontakan tersebut akan
semakin cepat berkembang jika ada tokoh dari masyarakat yang tertindas turut
mendukung bahkan menjadi pemimpin perlawanan tersebut. Kedua, perbedaan kelas
antar masyarakat yang tajam, sehingga menimbulkan kecemburuan sosial atau
bahkan ketegangan sosial. Ketiga, rasa curiga akibat faktor suku atau agama dari
pihak minoritas terhadap kaum mayoritas yang mendominasi.26
Selain itu, Ted Robert Gurr menyebutkan, pemberontakan terjadi karena
adanya respon dari kekecewaan yang tidak dapat dihindari lagi. Kekecewaan tersebut
tidak perlu menimbulkan pemberontakan, namun kemarahan yang disebabkan oleh
kekecewaan merupakan kekuatan yang mendorong manusia untuk melakukan
pemberontakan. Apabila kekecewaan atau tekanan yang dialami cukup lama atau
terasa sangat menyakitkan, maka pemberontakan akan sangat mungkin terjadi.
Orang-orang yang tertekan memiliki watak untuk melakukan pemberontakan yang
sebanding dengan intensitas rasa tertekan tersebut.27
Sedangkan menurut Eric A. Nordlinger, salah satu penyebab terjadinya
konflik antar kelompok suku adalah masalah agama. Konflik ini dapat menimbulkan
perpecahan. Kelompok tersebut cenderung memperlihatkan pertentangan emosional
antar satu sama lain. Dalam hal ini perbedaan agama di Arakan yang menyebabkan
konflik antar muslim Rohingya dan Budha Arakan.28
26 Riza Sihbudi, dkk., Op. Cit. hlm. 192. 27 Thomas santoso, Teori-Teori Kekerasan (Jakarta, 2002), hlm. 73. 28 Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik, Kudeta Dan Pemerintahan, terj. Drs. Sahat Simamora (Jakarta, 1990), hlm. 213 – 214.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Untuk melengkapi penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teori
kekuasaan. Teori kekuasaan dijalankan melalui saluran-saluran tertentu, yaitu saluran
politik, saluran militer, saluran ekonomi, saluran tradisional, dan saluran ideologi.
Dalam penulisan ini penulis lebih menekankan pada saluran politik dan saluran
militer. Dalam saluran politik penguasa dan pemerintah berusaha untuk membuat
peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat dengan cara antara lain,
meyakinkan atau memaksa masyarakat untuk mentaati peraturan-peraturan yang telah
dibuat oleh badan-badan yang berwenang dan sah. Sedangkan saluran militer
merupakan saluran yang digunakan para penguasa dengan memakai cara paksaan
serta kekuatan militer. Untuk keperluan tersebut, seringkali dibentuk organisasi-
organisasi atau pasukan khusus yang bertindak sebagai dinas rahasia. Hal ini banyak
dijumpai pada negara totaliter.29 Persis seperti apa yang terjadi pada muslim
Rohingya mereka dipaksa untuk melakukan berbagai tindakan paksaan dari
pemerintah, misalnya membangun pagoda di atas tanah bekas masjid milik mereka
yang dihancurkan oleh pemerintah atau dikirimkannya Burma Territorial Force
(BTF) yang dipimpin oleh Mayor Tha Kyaw untuk menyerang gerakan Mujahid yang
menyebabkan gerakan ini tidak berjalan selama beberapa tahun hingga akhirnya
dibubarkan.
Pemerintah Militer yang berkuasa tidak mampu untuk mengatasi konflik yang
semakin parah, menurut Eric A. Nordlinger, militer telah membuat konflik menjadi
lebih parah. Beberapa juta orang semakin menderita sewaktu junta militer 29 Soerjono Soekanto, Op. Cit. hlm. 301 – 302.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
menjalankan pemerintahannya. Tindakan mereka telah menimbulkan perang saudara,
pemberontakan, pertumpahan darah dan pembunuhan.30
Pemerintah militer menganggap kompromi, tawar menawar, dan penyesuaian
dalam bentuk kelompok yang bertentangan adalah cara yang negatif. Langkah
perdamaian yang demikian dianggap kurang penting, tidak objektif dan berbahaya.
Cara-cara tersebut tidak disenangi oleh para elit militer. Tindakan ke arah perdamaian
tidak dihargai dan merupakan tanda kelemahan, niat yang tidak kuat, dan semangat
yang lemah. Mereka lebih bersedia menghadapi kekerasan daripada berdiskusi,
melakukan penindasan daripada kompromi. Tawar menawar dan kompromi bukan
merupakan cara yang umum dilaksanakan oleh pemerintah militer.31
Dengan demikian, militer tidak melaksanakan tugas yang rumit guna mencari
penyelesaian politik yang dapat diterima oleh kelompok suku yang bertentangan.
Mereka juga tidak bersedia untuk memberi konsesi kepada kelompok suku yang
bertentangan dengan sasaran dan kebijakan militer sendiri. Mereka lebih cenderung
mengeluarkan keputusan yang disepakati oleh satu pihak saja. Memaksakan
kehendak mereka sendiri, atau menindas satu kelompok dengan kekerasan, daripada
pandangan yang penting di antara kelompok itu atau dengan kelompok yang lain.32
30 Eric A. Nordlinger, Op. Cit. hlm. 212. 31 Ibid. hlm. 218 – 219. 32 Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
1.7 Metode Penulisan
Penulisan ini menggunakan proses metode sejarah. Dalam metode ini dikenal
empat tahap. Tahap pertama adalah Heuristik. Heuristik adalah proses mencari dan
menemukan sumber. Dalam metode ini penulis telah mendapatkan data primer dan
sekunder yang didapatkan dari beberapa perpustakaan dan situs media online yang
terkait dengan penulisan ini.
Tahap kedua adalah kritik, yaitu proses memilah-milah sumber. Sumber-
sumber buku yang telah penulis dapatkan merupakan buku Burma secara umum,
maka penulis memilah sumber tersebut sesuai dengan tema penulisan ini, yaitu
berdasarkan wilayah, etnis, dan periode.
Tahap ketiga adalah interpretasi, yaitu aplikasi berbagai teori untuk
menganalisis masalah. Dalam skripsi ini penulis akan menggunakan teori sosial dan
beberapa teori militer.
Tahap terakhir adalah historiografi, yaitu penulisan sejarah. Dalam tahap ini
penulis akan memaparkan peristiwa tematis pemberontakan muslim Rohingya.
1.8 Sumber penulisan
Dalam skripsi ini penulis tidak hanya menggunakan sumber buku, tetapi juga
mendapatkan sumber dari media online, surat kabar harian Suara Pembaruan yang
terbit pada tahun 1990 dan surat kabar harian Tempo tahun 1989. Sumber buku
penulis dapatkan dari Central for Strategic and International Study (CSIS), Lembaga
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya (FIB UI), dan Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia. Sedangkan sumber
surat kabar penulis dapatkan di Perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
(FIB UI) dan CSIS. Sementara itu, untuk media online penulis mendapatkan sumber
dari situs-situs antara lain, http://www.rohingya.com, http://www.rakhapura.com,
http://www.burmaissues.org, http://web.amnesty.org, http://www.eramuslim.com,
dan http://www.harunyahya.com.
1.9 Sistematika penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima bab. Bab Pertama adalah bab pendahuluan. Bab ini
berisi latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penulisan, alasan
memilih judul, ruang lingkup penulisan, kerangka teori, metode penulisan, sumber
penulisan dan sistematika penulisan.
Bab kedua menjelaskan tentang Burma secara umum, gambaran kehidupan
etnis, masa pemerintahan di Arakan, kehidupan beragama, dan kehidupan muslim di
Burma.
Bab ketiga membahas muslim Rohingya dan perkembangannya serta
perlakuan mayoritas Budha dan pemerintah Burma terhadap muslim Rohingya.
Bab keempat berisi tentang latar belakang terjadinya gerakan pemberontakan,
pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh gerakan-gerakan sporadis pada
masa pemerintahan U Nu dan masa pemerintahan junta militer Jenderal Ne Win,
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
tentang operasi Naga Min dan undang-undang kewarganegaraan 1982 serta tinjauan
analisis dengan berbagai penggunaan teori sebagai bentuk analisis masalah.
Bab kelima adalah kesimpulan dari skripsi ini dan sebagai pelengkap
disertakan juga daftar pustaka, dan lampiran-lampiran.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
BAB 2
BURMA DAN MASYARAKATNYA
2.1 Burma
Burma merupakan negara yang komunitasnya dibagi menjadi tujuh division,
yaitu Ayeyarwady, Bago, Magway, Mandalay, Sagaing, Tanintharyi, dan Rangoon.
Burma juga dibagi menjadi tujuh state, yaitu Chin, Kachin, Kayin, Kayah, Mon,
Rakhine, dan Shan.33
Di dalam undang-undang reformasi peta modern Burma, tahun 1974,34
disebutkan bahwa ada tujuh division, populasi terbesar di Burma. Disebutkan pula
ada tujuh etnik minoritas, yaitu Chin, Kachin, Karen, Kayah, Mon, Rakhine (Arakan),
dan Shan. Prosentase terakhir populasi etnis di Burma adalah etnis Burma 68%, Shan
9%, Rakhine 4%, Chinese 3%, India 2%, Mon 2%, dan etnis minoritas lainnya 5%.
Hal itu menunjukkan adanya percampuran etnis yang sangat kompleks. Akibatnya,
lebih dari 100 bahasa ditemukan di Burma. 35
33 The World Fact Book, “Burma” (7 Maret 2006, 13.14), terdapat di situs http://www.cia.gov/cia/publications/factbook/geos/bm.html34 Martin Smith, BURMA: Insurgency and The Politics of Ethnicity (NewYork, 1991), hlm. 30. 35 Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Pada masa lalu, Burma dikenal sebagai sebuah tempat yang menarik perhatian
bagi para antropolog. Hal itu karena Burma memiliki begitu banyak etnis yang
berbeda satu sama lain. Secara umum para antropolog sepakat bahwa penduduk
modern Burma dikenal dengan nama Mons yang terletak di Asia Selatan. Mereka
adalah keturunan Austro Asiatic atau Mon Khmer yang kebanyakan berasal dari Asia
Tenggara. Mereka juga disebut suku Palaung atau Ta-ang dan Wa pada saat
pemerintahan Shan. Suku yang pertama kali menetap adalah Karen dan Chin.
Kemudian, mereka pindah ke bagian tengah. Hal itu terjadi sebelum adanya migrasi
suku-suku Burma ke bagian utara Burma pada abad ke-9 dan ke-10. Pada saat yang
sama, suku Shan pindah melalui sungai-sungai di kaki gunung, timur laut. Mereka
melewati mayoritas etnik lain menuju ke Asia Tenggara. Gambaran etnik-etnik pada
saat itu terlihat jelas karena adanya migrasi bermacam-macam suku. Suku terbesar
adalah Tibeto-Burmese yang pindah ke daerah pegunungan ke arah tenggara.
Perpindahan tersebut menjadi beberapa macam subkomunitas Kachin. Perpindahan
itu terus berlanjut hingga Thailand, mulai dari bermacam-macam suku di daerah
perbukitan, seperti Lisu dan Akha.36
Para sejarahwan melihat adanya suku-suku kecil seperti Mon, Burma, Arakan,
dan Shan di daerah perbukitan. Kerajaan-kerajaan itu menjadi basis sebuah
pemerintahan kota kecil yang di dalamnya sudah mulai dibangun struktur-struktur
politik. Kekuasaan pemerintahan sudah mulai muncul pada kerajaan-kerajaan tersebut
dengan frekuensi yang sangat besar. Umumnya, pemerintahan itu seperti sistem 36 Ibid. hlm. 32.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
monarki, misalnya yang digunakan suku Anawrahta, yang memiliki Undang-Undang
Pagan di Burma, abad 11. Undang-undang tersebut menciptakan kestabilan sistem
pemerintahan. Pada abad ke-14 dan ke-15 disebut sebagai abad kejayaan Shan. Pada
awal abad ke-16, suku Mon di Burma mencapai puncak kejayaannya pada masa
pemerintahan Mon Pegu. Ada sebuah anggapan bahwa pada abad 18 adalah masa
kejayaan Karen. Di Burma, ada tiga dinasti yang cukup besar, yaitu Anawrahta (abad
ke-11), Bayinaung (abad ke-16) dan Alaungphaya (abad ke-18). Tiga kerajaan
tersebut membentuk sebuah kerajaan yang terpusat dan akhirnya merekam sebuah
sejarah.37
Secara umum, konflik etnik yang terjadi di Burma semenjak kemerdekaan
telah menimbulkan banyak interpretasi karena banyak perbedaan sudut pandang. Jika
dikaitkan dengan kondisi politik kontemporer, perbedaan sudut pandang itu terjadi
karena sistem akademik yang ada menyebabkan para pemimpin politik sulit untuk
memimpin serta membangun identitas sejarah yang tepat untuk Burma.38
Pada masa pemerintahan Inggris, perbedaan sudut pandang itu dianggap
sebagai masalah yang lebih membingungkan sejarah Burma tentang hubungan etnik.
Pada zaman tersebut, banyak informasi tertulis yang akhirnya menjadi sebuah
persepsi dasar secara umum. Pada saat itu juga para kolonialis dan misionaris masuk
ke Burma untuk menjelajah dan menjalankan misinya.39
37 Ibid. 38 Ibid. hlm. 33. 39 Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Pada saat itu, ada kebijakan untuk menyatukan suku-suku minoritas dan
menghilangkan etnis atau Burmanisasi minoritas-minoritas yang ada. Namun, para
politikus tidak setuju dengan penyatuan perbedaan-perbedaan itu. Menurut salah
seorang politikus, Aung San, politik etnik tersebut adalah garda-garda terdepan dalam
politik persatuan nasional. Para sejarahwan sepakat dengan hal itu. Menurut mereka,
permasalahan persukuan di Burma sangat kompleks. Banyak kajian yang menyatakan
dengan jelas, bahwa dalam sejarah Burma, tidak ada masyarakat yang hanya satu
suku. Sebagai contoh, tidak hanya kerajaan Burma yang memiliki peraturan
pemerintahan dalam kerajaannya. Namun, juga Arakan, Shan dan Mon. Selain itu,
ada juga beberapa pemerintahan kecil yang mencerminkan masyarakat multietnik.40
Thakin Mya, seorang anggota dewan majelis, pada 1947, mengklaim bahwa sangat
sulit untuk menghomogenkan rakyat Burma dalam satu negara. Menurutnya, secara
ekonomi dan geografi, negara Burma adalah negara persatuan yang tidak dapat
dibagi-bagi.41
Tahun 1982, Burma memiliki hukum kependudukan yang ekstrem di dunia
internasional. Secara teoretis, kependudukan secara penuh hanya diberikan kepada
penduduk asli di Burma (sebelum adanya penyatuan dengan Inggris pada 1824). Hal
itu menyebabkan orang-orang non-Budha sangat dicurigai dan banyak yang ditawan.
Pada 1978, para tawanan non-Budha tersebut dieksodus dalam jumlah besar. Lebih
dari 200.000 muslim Arakan pergi ke Bangladesh setelah terkena operasi sensus
40 Ibid. hlm. 34. 41 Ibid. hlm. 35.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Naga Min. Operasi itu dilakukan pemerintah dengan cara memeriksa kartu identitas
mereka secara kejam.42
Angka kelahiran suku-suku minoritas semakin besar. Sejak Inggris dan India
pergi dari Burma, populasi di Burma semakin bertambah walaupun perlahan.
Akibatnya, ada marginalisasi integritas. Hal itu terbukti dengan berlanjutnya perang
saudara dan ketegangan-ketegangan politik sampai sekarang. Selain itu, bahasa-
bahasa etnis minoritas jarang diajarkan di sekolah. Bahkan hanya sedikit
pengembangan ekonomi yang dialokasikan untuk para etnis minoritas. Hal tersebut
membuat etnis minoritas sangat dirugikan.43
2.2 Pemerintahan di Arakan
Secara garis besar sejarah Arakan dibagi menjadi enam periode, yaitu:
Pertama, Kerajaan Independen 2666 SM – 1784 M, kedua, masa Pemerintahan
Burma 1784 – 1826, ketiga, masa Pemerintahan Inggris 1826 – 1942, keempat, masa
Pemerintahan Jepang 1942 – 1945, kelima, masa Pemerintahan Inggris 1945 – 1948,
dan keenam, masa Pemerintahan Burma 1948 – sekarang.44
42 Ibid. hlm. 37. 43 Ibid. hlm. 38. 44 Abdul Mabud Khan, “The Liberation Struggle in Arakan,” (7 Maret 2006, 13.10), terdapat dalam situs http://www.rakhapura.com/read.asp?id=15&a=scholarscolumn
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
2.2.1 Masa Kerajaan Arakan
Di bawah periode sejarah yang berbeda, Arakan telah menjadi sebuah
kerajaan yang dipimpin oleh kaum Hindu, Budha, dan Islam. Menurut A. P Phayre
dan G.E. Harvey, yang dikutip oleh Mohammed Ashraf Alam,45 Arakan didirikan
secara bergantian pada delapan kota. Mereka adalah Dhannyawadi (146 – 746) 25
raja, Vaisali (788 – 994) 12 raja, Pyin Tsa pertama/Sanbawut (1018 – 1103) 15 raja,
Pa-rein (1103 – 1167) 8 raja, Kharit (1167 – 1180) 4 raja, Pyin Tsa kedua (1180 –
1237) 16 raja, Launggrat (1237 – 1430) 17 raja, dan Mrauk-U (1430 – 1784) 48
raja.46
Marayu, raja pertama Arakan mendirikan kota Dhannyawadi, kemudian
keturunannya memimpin Arakan selama 1800 tahun. Dia adalah anak dari pangeran
Kapilavastu yang diusir dari tempat kelahirannya oleh lawan politiknya. Ketika
Marayu mulai dewasa, ia memimpin seluruh suku dari ibunya bersama pengikut-
pengikut ayahnya dari India. Setelah itu, dia mendirikan sebuah dinasti di Arakan
pada tempat yang disebut Dhannyawadi, dari sinilah dinasti itu disebut dinasti
Dhannyawadi.47
Setelah jatuhnya dinasti Dhannyawadi pertama, muncullah Dhannyawadi
kedua yang didirikan oleh Kanrazagri. Keturunan Kanrazagri memimpin Arakan
selama lebih dari 800 tahun. Dinasti yang didirikan oleh Kanrazagri ditaklukan oleh
45 Alam, Loc. Cit. 46 Ibid. 47 Khan, Loc. Cit.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
raja Surya, ia mendirikan kota Dhannyawadi yang ketiga.48 Menurut Morris Collis,
yang dikutip oleh Mohammed Ashraf Alam,49 Hindu memerintah Arakan dari abad
pertama hingga abad ke-10. Pada waktu itu, Arakan merupakan jembatan bagi orang
Hindu India untuk melakukan hubungan dengan negara-negara di timur. Akan tetapi,
riwayat Rakhine Arakan mengklaim bahwa kerajaan Dhannyawadi ditemukan pada
tahun 2666 SM dan terdapat nama raja yang dimulai sejak masa itu.50
Pada masa Raja Sandhaturiya (146 – 198) terdapat patung Mahamuni yang
merupakan patung dewa Budha terkenal sebagai tanda penghormatan kepada dewa
Budha. Pada awal abad permulaan, patung tersebut biasanya ditempatkan di daerah
suci di bukit Shiri Gupta di Dhannyawadi, sebuah kota tua yang terletak 25 mil ke
utara dari Mrauk-U.51 Patung itu dibawa ke Amarapura ketika Arakan ditaklukkan
oleh Burma pada 1784. Di Arakan, raja Budha juga dikenal sebagai Mahamuni.52
Pada akhir abad ke-8, sejarah menyebutkan adanya dinasti Chandra. Ibu
kotanya disebut Vaisali (bahasa India). Selama 230 tahun, 13 raja dari dinasti itu
berkuasa. Kota Vaisali didirikan pada tahun 788 oleh raja Mahataing Sandya.
Reruntuhan kota tersebut masih tampak pada tepi anak sungai sepanjang 44 mil pada
teluk Bengal dari kota Akyab. Kota ini menjadi pelabuhan perdagangan yang penting
yang disinggahi oleh ribuan kapal secara terus menerus. Raja-raja dinasti Chandra
meluaskan kekuasaan mereka ke sebelah utara, yaitu Chittagong. Vaisali runtuh
48 Ibid. 49 Alam, Loc. Cit. 50 Khan, Loc. Cit. 51 Alam, Loc. Cit. 52 Khan, Loc. Cit.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
karena invasi oleh Shan pada 957. Meskipun dalam keadaan tidak stabil, ia tetap
menjadi ibu kota hingga 1018. Sebelum kedatangan Islam di Arakan, orang-orang
Vaisali merupakan penganut Hindu dan Budha. Kemudian, mereka meninggalkan
Hindu dan memeluk agama Budha dan Islam.53
Pada tahun 1430, di Arakan berdiri dinasti Mrauk-U. Dinasti Mrauk-U adalah
sebuah kerajaan Islam dengan Sultan Sulaiman Shah sebagai pendirinya. Sultan
Sulaiman Shah dibantu oleh orang-orang dari Bengal. Ketika itu, setiap orang yang
akan diangkat menjadi raja harus dipilih secara konstitusional dengan syarat harus
mengerti ilmu pengetahuan tentang agama Islam.54
Selama masa dinasti Mrauk-U, sastra dan budaya di Arakan berkembang
dalam setiap segi kehidupan. Masa itu disebut “Masa keemasan dalam sejarah
Arakan”. Arakan memasuki masa paling jaya dalam sejarahnya dengan naiknya Raja
Mong Ben (1531 – 1553). Raja-raja Arakan mendirikan kekuasaan mereka di daerah
Chittagong selama abad 16. Selama kekuasaan Raja Razagri (1593 – 1612), dalam
waktu yang singkat, jajahan Arakan meluas dari Sunderban sampai ke Monlmein.
Pada masa pertengahan, beberapa raja Arakan menggunakan gelar muslim dan
menggunakan tulisan Arab di mata uang mereka, meniru raja-raja Bengal.55
Kerajaan Arakan jatuh ke tangan orang-orang Burma pada 1784. Thamada,
raja terakhir Arakan menjadi sandera. Ia dideportasi ke Pegu bersama keluarga dan
pengikutnya, juga bersama patung Mahamuni. Arakan, untuk pertama kalinya
53 Alam, Loc. Cit. 54 Riza Sihbudi, dkk., Op. Cit. hlm. 51. 55 Khan, Loc. Cit.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
kehilangan kemerdekaannya dan menjadi jajahan kekuasaaan asing. Arakan
kemudian menjadi bagian dari wilayah Burma.56
2.2.2 Masa Pemerintahan Burma
Pada tahun 1784, Raja Burma Boddawphaya mengirimkan 30.000 tentara
untuk menaklukkan Arakan atas permintaan bangsawan Nagasandi. Tentara tersebut
kembali pada Februari 1785 dengan keluarga kerajaan dan 20.000 tahanan. Pada
penaklukkan itu ribuan muslim dan Budha Arakan terbunuh. Tentara-tentara Burma
menghancurkan masjid, kuil, tempat-tempat suci, sekolah, dan perpustakaan kerajaan
Mrauk U. Mereka juga membawa Patung Mahamuni, milik Budha Arakan, ke
Burma. Jatuhnya kerajaan Mrauk U merupakan pukulan keras bagi umat muslim, saat
itu semua benda dan budaya Islam dihancurkan.57
Selama masa pemerintahan Burma (1784 – 1824), sekitar 200.000 penduduk
(Rohingya dan Rakhaing) mengungsi ke berbagai daerah. Kemudian, pemerintah
Inggris di daerah India Timur menerima pengungsi tersebut di wilayah selatan
Chittagong. Setelah Burma berkuasa selama 40 tahun, Inggris berhasil menguasai
Burma pada 1824.58
56 Ibid. 57 Alam, Loc. Cit. 58 Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
2.2.3 Masa Kolonisasi Inggris dan Jepang
Inggris melengkapi jajahannya ke seluruh bagian Burma tahun 1826 dan
menjadikan Burma sebagai bagian dari India tahun 1886. Dengan demikian, jumlah
penduduk Arakan berkurang. Beberapa bulan setelah perjanjian di Yandabo, Mr.
Paton, pengawas urusan sipil di Arakan, mengajukan sebuah data rinci ke Inggris
tentang batas wilayah, sejarah, populasi, angka produksi, kebiasaan, dan adat-istiadat
penduduk Arakan. Ia menyebutkan bahwa populasi Arakan adalah 100.000. Jumlah
itu terdiri atas Maghs 60.000, Muslim 30.000, dan Burma 10.000. Pada saat itu,
muslim Arakan yang telah ditaklukkan oleh Inggris adalah 30.000 orang. Jumlah
tersebut merupakan 30% dari total populasi di Arakan. Ketika situasi Arakan damai,
muslim Arakan yang berasal dari Chittagong mulai membangun kembali rumah
nenek moyang mereka di Arakan. Sebenarnya, orang-orang tersebut tidak takut
datang ke Arakan karena mereka tahu Arakan merupakan “Mugher Mulluk”, yaitu
negara yang tidak berhukum.59
Selama abad ke-15 sampai abad ke-16 terjadi perubahan besar. Islam lebih
berpengaruh daripada Budha. Pengaruh Islam itu ditunjukkan dengan kedatangan
Raja Moghul India, Shah Suja, ke Arakan. Populasi muslim Rohingya pun semakin
lama semakin bertambah.60
Selama perang dunia kedua, diperkirakan 500.000 orang imigran, orang India
dan orang muslim, meninggalkan Burma. Sebagian tunduk pada pemerintah Inggris.
59 Ibid. 60 Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Sebagian lagi dikejar secara kejam oleh nasionalis Burma Independent Army (BIA).
Pada saat itu, ribuan orang dilaporkan mati karena kelaparan, terserang penyakit, atau
karena serangan sporadis. Namun, kejadian itu hanya sedikit yang diceritakan dalam
sejarah modern Burma.61
Pada saat itu, di Arakan, banyak muslim dan Budha lokal yang mengatakan
tidak ada masalah serius antara kedua komunitas agama tersebut. Masalah itu
dikobarkan ketika unit BIA pertama memasuki daerah Arakan bersama Japanese
Imperial Army. BIA secara langsung memberikan peringatan tentang terjadinya
pengusiran orang-orang India. Mereka juga mengatakan ada yang menjadi pendukung
Inggris di Burma Pusat. Selain itu, mereka menanyakan kenapa nasionalis Rakhaing
tidak melakukan hal yang sama. Oleh karena itu, terjadilah pemberontakan pertama,
yaitu tahun 1942.62
Penyebab utama konflik yang terjadi di Arakan pada 1942 adalah akibat
invasi Jepang terhadap Burma. Konflik tersebut terus berlangsung hingga Inggris
berhasil mengusir Jepang keluar dari Arakan, tahun 1945. Selama tiga tahun invasi
Jepang tersebut (1942 – 1945), Arakan, termasuk Inggris, berada dalam posisi
terjepit. Saat itu, keadaan Arakan sangat kacau. Tidak ada hukum yang mengatur dan
keadaan administrasi pemerintahan yang cukup berantakan. Pembangunan Arakan
pun tereksploitasi oleh Jepang dan Inggris karena kedua negara tersebut punya
kepentingan masing-masing di Arakan, baik kepentingan militer maupun keinginan
61 Ibid. 62 Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
untuk menghancurkan rakyat Arakan secara mental. Puncak dari perang tersebut
adalah usaha mengasingkan Arakan dan Burma dari dunia internasional. Hal itu
mengakibatkan dampak yang sangat besar bagi Arakan.63
Salah satu dampak besar yang dirasakan oleh Arakan akibat perang tersebut
adalah hubungan yang baik antara muslim Arakan dan Inggris. Sementara itu,
hubungan dengan Jepang telah memicu konflik internal atau perang saudara antara
Budha dan komunitas muslim. Selama kekuasaan Jepang, Budha menjadi mayoritas
di wilayah itu. Mereka mengusir muslim Arakan dan menyebabkan muslim Arakan
melarikan diri ke wilayah utara. Di wilayah utara, tempat daerah-daerah kekuasaan
Inggris, tidak ada diskriminasi terhadap muslim Rohingya, terutama di daerah
Maungdaw.64
Pada bulan Desember 1942 hingga April 1943, Jepang berusaha melakukan
penyerangan terhadap Inggris. Saat itu, Inggris kalah dan akhirnya daerah kekuasaan
Inggris, yang merupakan daerah muslim Rohingya, berhasil direbut oleh Jepang.
Akibatnya Inggris harus menyerahkan populasi muslim tersebut. Pemerintah Jepang
kembali melakukan tindakan diskriminasi terhadap muslim Rohingya.65
Pada bulan April 1942, Inggris melakukan serangan dengan menggunakan
gerilya yang disebut dengan V Force. Serangan tersebut dilakukan oleh pasukan garis
depan Inggris. Muslim Arakan juga dikerahkan untuk menjadi tentara oleh Inggris
63 Clive J. Christie, A Modern of History Southeast Asia: decolonization, nationalism and separatism (London, 1996), hlm. 165. 64 Ibid. 65 Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
pada September 1942. Pada 1943, setelah masa pelatihan selesai, para tentara muslim
Arakan yang tergabung dalam V Force ini mulai memainkan peranan penting dalam
merebut kota Arakan. Muslim Arakan beroperasi di daerah-daerah yang memang
tidak ada pemiliknya dan di belakang garis perbatasan musuh dengan tujuan untuk
mendapatkan informasi. Mereka juga mengerahkan pasukan, menyelamatkan para
pilot yang tertembak pesawatnya, dan menghukum para mata-mata dan pengkhianat
yang tertangkap basah telah bekerja untuk Jepang.66
Pada akhir tahun 1943 sampai awal tahun 1944, militer Inggris melakukan
sebuah serangan baru di Arakan, untuk mengambil alih Arakan Utara dan kemudian
beralih ke arah selatan, menuju Akyab. Pada Januari 1944, Inggris mengambil alih
Maungdaw dengan kekuatan V Force, yang berperan penting dalam serangan ini.
Namun, rencana Inggris tersebut gagal karena adanya serangan dari Jepang di daerah
Buthidaung. Jepang memukul mundur Inggris hingga kembali ke wilayah Bengal.67
Setelah pertempuran yang cukup lama membuat Inggris putus asa, serangan
udara pun akhirnya digencarkan. Inggris terus mengontrol jalur darat di sekitar
pegunungan yang menghubungkan Maungdaw dengan Buthidaung. Sebelum
Desember 1944, Inggris berhasil mendapatkan Buthidaung. Awal Januari 1945,
Inggris mengalahkan Jepang dan hampir seluruh wilayah Arakan berada di bawah
kekuasaan Inggris.68
66 Ibid. hlm. 166. 67 Ibid. 68 Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Setelah perang, para muslim Rohingya secara tidak resmi telah mengusahakan
banyak hal yang berhubungan dengan status mereka. Inggris telah berjanji untuk
memberikan mereka sebuah wilayah nasional Islam di Maungdaw atas balasan
bantuan yang mereka berikan saat perang. Para tentara muslim Arakan yang
tergabung dalam V Force, para pemimpin Islam, seperti juga Anthony Irwin, merasa
sangat khawatir Inggris akan mengingkari janji tersebut. Menurut Anthony Irwin,
mereka pantas diberikan imbalan atas bantuan militer yang telah mereka berikan
untuk Inggris. Irwin mengatakan:
“Sebenarnya kaum-kaum minoritaslah yang paling banyak membantu Inggris selama tiga tahun ini untuk menyerang Jepang, mereka berperang dan menjadi tentara pendukung Inggris. Namun, sepertinya kaum-kaum minoritas inilah yang dilupakan oleh pemerintah Inggris. Seharusnya tidak! Inggris harus melihat siapa yang membantu mereka berperang dan kewajiban Inggrislah untuk memberikan penghargaan terhadap apa yang telah mereka lakukan.”69
Dalam waktu yang cukup lama, akhirnya muslim Arakan mendapatkan
wilayah mereka di Arakan Utara. Inggris memberikan otonomi pemerintahan lokal
kepada mereka. Untuk mengamankan pemerintahannya, orang-orang Budha yang
dulu bekerja untuk Jepang tidak diberikan jabatan-jabatan penting dalam
pemerintahan Inggris. Para tahanan muslim Arakan yang dulu melarikan diri ke
Bengal Selatan selama perang berlangsung, akhirnya kembali ke desa mereka
masing-masing. Ada juga para imigran yang berasal dari Chittagong, yang
memanfaatkan situasi ini dengan pindah ke Arakan Utara.70
69 Ibid. 70 Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Selama Inggris berada di Burma (1945), isu yang diangkat oleh Inggris adalah
menstabilkan pemerintahan setelah peperangan. Muslim Arakan yang tinggal di
Arakan Utara juga melihat adanya para imigran dan para tahanan yang masuk ke
Arakan Utara. Hal itu dapat memicu isu rasis dan memperburuk ketegangan
antaragama.71
Di Arakan, terjadi demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan oleh para orang-
orang nasionalis yang tidak menginginkan adanya pemerintahan Inggris. Pada 1946,
keadaan semakin anarkis. Hal tersebut terjadi karena adanya pengaruh komunis.
Sayangnya, Aung San sebagai pemimpin AFPFL (Anti-Facist People’s Freedom
League) tidak dapat menyelamatkan situasi di Arakan, terutama kondisi politiknya.
Hal itu memperlihatkan pemerintah yang kurang bertanggung jawab.72
Setelah Perang Dunia II, di Arakan Utara ada dua masalah besar. Masalah
pertama, yang merupakan masalah lokal, adalah perang saudara antara Islam dan
Budha. Perang saudara tersebut sudah terjadi sejak tahun 1942 dan terus berlangsung
sampai setelah Perang Dunia II. Masalah kedua, yang merupakan masalah nasional,
yaitu kekhawatiran para pemimpin muslim jika Inggris ditarik keluar dari Burma,
yang akhirnya menggantikan posisi mereka di pemerintahan oleh mayoritas Budha.
Dua masalah tersebut akan berdampak besar bagi muslim Arakan.73
71 Ibid. hlm. 167. 72 Ibid. 73 Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
2.2.4 Arakan Setelah Kemerdekaan Burma
Setelah 40 tahun di bawah peraturan tirani Raja Boddawphaya di Burma,
kolonialis Inggris merebut Arakan dan memasukkannya ke India. Pada 1937, Inggris
memisahkan Burma dari India dan memasukkan Arakan menjadi bagian dari
kolonialis Inggris. Hal itu menunjukkan peraturan Home Rule (yang merupakan
peraturan administratif internal) dilakukan oleh Inggris dengan seenaknya. Tahun
1948, daerah Arakan hanya merupakan daerah kecil yang pemerintahan pusatnya
dipegang oleh Burma. Sebelum Burma merdeka, Arakan berada di bawah
perencanaan para pemimpin dan orang-orang yang berkepentingan di Burma. Arakan
tetap berada di bawah peraturan kolonial. Pemerintahan Arakan dipegang oleh orang
Burma, lalu oleh Inggris. Setelah itu, Arakan diperintah kembali oleh orang Burma.74
Pada tanggal 7 Oktober 1947, diadakan Konferensi London untuk
membicarakan masalah kemerdekaan Burma. Berdasarkan konferensi tersebut,
akhirnya, kekuasaan Inggris diserahkan kepada pemerintah Burma pada 4 Januari
1948. Tanggal tersebut dijadikan sebagai hari kemerdekaan Burma. Namun, usaha
meraih kemerdekaan harus ditebus dengan nyawa Aung San. Pemimpin AFPFL itu
dan juga sembilan calon anggota kabinet ditembak mati oleh lawan politiknya. Saat
itu, mereka sedang mengadakan pertemuan untuk menentukan masa depan negerinya,
Juli 1947. Akhirnya, wakil presiden AFPFL, U Nu, terpilih menjadi perdana menteri
Burma.75
74 Alam, Loc. Cit. 75 Priyambudi, “Burma Yang Penuh Pergolakan,” Suara pembaruan, 29 Mei, 1990.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Seperti halnya di wilayah lain Burma, di Arakan, kekerasan politik juga
terjadi saat perjuangan kemerdekaan. Kepentingan politik, baik dari komunitas
muslim maupun Budha, sangat diatur oleh pemerintah pusat Burma di Rangoon dan
Arakan. Namun, status mereka sebagai warga negara bagian tidak pernah dijamin.
Padahal, umat Islam secara jelas telah mendapatkan empat kursi dalam parlemen. Hal
itu merupakan bukti nyata bahwa status negara bagian mereka harus diakui.76 Pada
awal kemerdekaan, perdana menteri U Nu telah mengecewakan muslim Rohingya.
Karena didalam draft konstitusi Burma kaum muslim tidak dimasukkan dalam
kategori kelompok minoritas. Padahal pada saat itu, jumlah umat muslim di Burma
merupakan minoritas terbesar setelah Suku Karen. Akibatnya, umat muslim tidak
memiliki hak keminoritasan, seperti kuota dalam legislatif dan jaminan khusus dalam
soal intervensi status hukum individu kaum minoritas. Teorinya, posisi umat muslim
diangkat tinggi-tinggi, AFPFL menyatakan bahwa semua muslim Burma, baik yang
pribumi maupun yang hasil kawin campur, diperlakukan sama dengan etnis Burma
lainnya, termasuk kesempatan menjadi presiden atau anggota parlemen. Namun
dalam kenyataannya kebijakan tersebut tidak memberikan jaminan bagi umat muslim,
karena umat muslim tidak memiliki kesempatan untuk diangkat sebagai legislator.77
Pada saat para komunis dan nasionalis Rakhaing yang telah dipersenjatai
merebut kekuasaan di kota-kota Arakan, ratusan muslim Rohingya yang juga
dipersenjatai bersatu. Mereka bergabung dengan gerakan Mujahid yang dipimpin
76 Alam, Loc. Cit. 77 Riza Sihbudi, dkk., Op. Cit. hlm. 184
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
oleh Jafar Kawal. Muslim Rohingya melakukan pergerakan perlawanan dan
mendapatkan kemenangan pada 1950-an melawan tirani rezim Burma. Pemerintahan
Burma akhirnya memenuhi tuntutan mereka dengan memberikan beberapa posisi
pemerintahan serta daerah distrik khusus yang meliputi daerah Maungdaw,
Buthidaung, dan Rathedaung. Distrik khusus tersebut dikenal dengan daerah “Mayu
Frontier District” pada tanggal 1 Mei 1961.78
2.2.5 Arakan di bawah Pemerintahan Militer
Pada tahun 1958, terjadi kudeta militer pertama dibawah pimpinan Ne Win.
Salah satu sebab utama dilakukannya kudeta ini adalah kriris politik yang semakin
meningkat pada masa pemerintahan U Nu sebagai akibat langsung dari perpecahan
yang terjadi di dalam partainya, AFPFL (Anti-Fascist People’s Freedom League).
Pada tahun 1960 Jenderal Ne Win mengembalikan pemerintahan sipil dan
menegakkan demokrasi dengan cara melaksanakan pemilihan umum.79
Penarikan diri pemerintah militer yang berkuasa selama dua tahun ini bukan
karena tanpa alasan. Menjelang tahun 1960, kalangan militer meragukan bahwa
negara yang terpecah belah itu tidak dapat bersatu di bawah pemerintahan militer.
Dengan adanya unjuk rasa oleh masyarakat terhadap pemerintah, mereka menyadari
78 Ibid. 79 Alfian, Militer Dan Politik Pengalaman Beberapa Negara. (Djakarta, 1970), hlm. 5
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
akan manfaat kehadiran pemerintah sipil untuk meredakan aksi-aksi unjuk rasa
tersebut.80
Sesuai dengan pandangan Eric A. Nordlinger,81 bahwa salah satu faktor
jatuhnya kekuasaan militer akibat ketidakstabilan rezim militer adalah penarikan diri
secara sukarela dari pemerintahan mungkin dilakukan karena mendapat tekanan yang
kuat dari pihak sipil dan pihak militer sendiri merasa kedudukan mereka tidak dapat
dipertahankan sedangkan keadaan negara tidak dapat dikendalikan. Hal ini
digambarkan oleh Lucian W. Pye yang dikutip oleh Eric A. Nordlinger:82
“Pada tahun 1958, tentara Burma percaya bahwa masalah-masalah negara bisa diatasi seandainya pemerintah menunjukkan semangat dan keinginan untuk melakukan pengorbanan. Mereka melihat semangat dan kepercayaan ahli-ahli politik tidak lebih sebagai keinginan melakukan penyelewangan. Sebagai militer, mereka percaya bahwa semua masalah dapat diatasi melalui pengaruh yang bersih dari tindakan dan kehormatan. Dalam waktu enam bulan, para perwira militer mulai menyadari bahwa urusan pemerintahan sangat rumit dan sulit diawasi. Penyelesaiannya tidak semudah apa yang mereka duga. Setelah setahun berkuasa, para perwira militer mulai menyadari bahwa mereka terpaksa melanggar nilai-nilai awal mereka. Mereka sadar kalau mereka kehilangan status sebagai militer dan mengambil beberapa aspek yang terdapat pada para politisi yang selalu mereka pandang dengan perasaan benci” Padahal pemerintah seharusnya menyadari bahwa perpecahan antar suku,
yang didasarkan pada kesetiaan kuat terhadap kelompok kecil serta faktor-faktor
seperti ekonomi, sosial, dan kebudayaan merupakan masalah yang tidak dapat
mungkin diatasi dalam waktu singkat. Begitu pula dengan konflik etnis yang selalu
80 Eric A. Nordlinger, Op. Cit. hlm. 208 81 Ibid. hlm. 202. 82 Ibid. hlm. 206.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
melibatkan isu-isu terpendam yang didorong oleh emosi dan tidak dapat diatasi dalam
jangka waktu yang pendek. Hakikat politik menentukan bahwa pemerintahan akan
menerima keberadaan konflik kesukuan yang berkesinambungan, dengan disertai
pergolakan politik dan kekerasan. Oleh karena itu, untuk mengurangi tingkat
perpecahan nasional bukanlah pekerjaan yang mudah.83
Pemilihan umum yang dilaksanakan untuk yang ketiga kalinya (setelah tahun
1947 dan 1952) dalam sejarah Burma dimenangkan oleh partai baru yang dipimpin U
Nu, Pyidaungsu (Partai Persatuan) dengan perolehan angka yang tinggi, sekitar 80
persen dari 250 suara anggota. Dengan kemenangan ini, U Nu terpilih kembali
menjadi perdana menteri Burma. Namun keadaan ini tidak bertahan lama, dua tahun
kemudian, tepatnya pada tanggal 2 Maret 1962, Jenderal Ne Win kembali melakukan
kudeta kekuasaan terhadap pemerintahan Burma.84 U Nu dan seluruh kabinetnya
serta sebagian pemimpin kelompok minoritas dipenjarakan tanpa tuduhan resmi dan
tanpa diadili. Kudeta ini diikuti dengan pembentukan Dewan Revolusioner yang
diketuai sendiri oleh Ne Win dan kawan-kawan dekatnya. Sejak saat itu, Ne Win
mengumumkan garis besar politik dengan sebutan Burma Socialist Programme Party
(BSPP).85
Kudeta kali ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama, karena ketidakmampuan
pemerintah sipil untuk menciptakan suatu susunan politik yang sehat dan stabil.
Kompetisi dan kecurigaan diantara mereka sangat besar sehingga waktu mereka habis
83 Ibid. hlm. 215—216 84 Alfian, Op. Cit., hlm. 6. 85 Priyambudi, Loc. Cit.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
terbuang untuk saling mengkritik dan hal-hal lain yang memiliki pengaruh buruk
terhadap sistem pemerintahan demokrasi. Bahkan perebutan kekuasaan antar anggota
partai sendiri sudah menjadi kehidupan nyata dari politik Burma pada waktu itu.86
Kedua, masalah keamanan yang sering melanda Burma. U Nu sebagai
pemimpin Burma pada saat itu kurang berhasil dalam menghadapi masalah ini.
Pemberontakan-pemberontakan bersenjata yang dilakukan oleh orang-orang komunis
dan kelompok etnis minoritas menjadi sesuatu hal yang mengancam negara.
Sedangkan ratusan sisa-sisa tentara yang pernah terlibat dalam perang dunia kedua
turut bergabung dengan pemberontakan tersebut. Ketiga, disebabkan oleh faktor diri
pribadi dari U Nu sendiri sebagai pemimpin dan politisi. U Nu sebagai seorang
pemimpin yang terlihat cukup memiliki karisma kurang tegas dan lamban dalam
mengambil keputusan, kebijakan, atau tindakan. Hal ini berpengaruh pada
perkembangan hubungan diantara politisi-politisi sipil yang semakin memburuk
hingga menyebabkan perpecahan. Ketidaktegasan U Nu juga menyebabkan
kegagalan Burma dalam mengatasi berbagai macam pemberontakan.87
Selain ketiga penyebab di atas, ada beberapa hal lain yang menyebabkan
terjadinya kudeta kekuasaan seperti masalah keinginan untuk menjadikan agama
Budha sebagai agama negara Burma yang menimbulkan berbagai macam tanggapan
dalam masyarakat yang akan menambah kekacauan suasana politik. Sebab-sebab
inilah yang dijadikan alasan oleh Ne Win untuk melakukan kudeta kekuasaan
86 Alfian, Op. Cit. 87 Ibid. hlm. 7
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
terhadap pemerintahan U Nu, bahwa kudeta tersebut terpaksa dilakukan karena
keadaan yang semakin buruk yang akan membahayakan kelanjutan kehidupan
bernegara.88
Penyebab-penyebab tersebut sesuai dengan pandangan Eric A. Nordlinger,
militer seringkali menuduh pemerintah sipil telah gagal menjalankan tugas
pemerintahan. Tindakan yang tidak sah dan di luar kelembagaan, merosotnya
pertumbuhan ekonomi dan ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi
pertentangan politik tanpa kekerasan. Hal tersebut merupakan alasan yang sering
digunakan untuk menghalalkan tindakan mereka dalam mengambil alih kekuasaan
pemerintah.89
Pada tanggal 30 April 1962, Dewan Revolusioner mengeluarkan pernyataan
politik terpenting yaitu The Burmese Way to Socialism ‘Jalan Rakyat Burma menuju
Sosialis’. Dalam pernyataan ini dikemukakan alasan mengenai penghapusan sistem
demokrasi, sistem tersebut dianggap telah gagal dijalankan akibat kekurangan dan
kelemahan yang menyebabkan perpecahan dan pertentangan politik semakin
berkembang. Selain itu, pernyataan tersebut dikemukakan pula tentang rumusan
rencana pembangunan ekonomi yang sesuai dengan sosialisme Burma.90
Akibat pernyataan politiknya, Dewan Revolusioner menghapus undang-
undang dan membubarkan parlemen Burma. Semua kekuasaan negara, baik itu
legislatif, yudikatif maupun eksekutif dihapuskan. Pada Februari 1963, Dewan
88 Ibid. 89 Nordlinger, Op. Cit. hlm. 124. 90 Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Revolusioner menasionalisasi semua bank dan perusahaan bisnis di semua kota.
Padahal, di Arakan hampir semua pendirian bisnis utama dipegang oleh orang-orang
muslim. Oleh karena itu, nasionalisasi perusahaan tersebut merupakan pukulan berat
bagi mereka. Dewan Revolusioner menghapus semua partai politik dan hanya
mengakui satu partai, yaitu Burma Socialist Programme Party (BSPP) dengan Ne
Win sebagai ketuanya.91
Dewan Revolusioner melarang adanya gerakan muslim Rohingya. Semua
kesejahteraan dan sosial budaya muslim Rohingya dihapuskan. Rezim militer
mencabut program bahasa Rohingya yang disiarkan di Burma Broadcasting Service
(BBS) di Rangoon pada Oktober 1965.92 Sedangkan pada bulan Desember 1965,
Dewan Revolusioner melarang penerbitan semua koran-koran swasta yang
mengakibatkan matinya kebebasan pers.93
Dalam bidang politik, Jenderal Ne Win menerapkan kebijakan politik sistem
partai tunggal. Menurut Eric A. Nordlinger, ketika militer telah mendapatkan
kekuasaannya, maka salah satu langkah mereka untuk mempertahankan kekuasaan
tersebut ialah menghalangi pemimpin-pemimpin oposisi untuk menggunakan
kekuasaan pemerintahan, mereka takut akan kemungkinan terjadinya aksi balas
dendam untuk merebut kembali kekuasaan pemerintahan. Pemerintah menutup
91 Alam, Loc. Cit. 92 Ibid. 93 Alfian, Op. Cit., hlm. 8.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
peluang-peluang keterlibatan massa, persaingan politik, dan tidak ada hak
berpendapat, mereka merebut hak dan kebebasan politik masyarakat.94
Ne Win juga memanfaatkan dukungan militer untuk memperkuat posisinya.
Dalam kultur masyarakat Burma, rasa hormat terhadap nilai-nilai senioritas sangat
dijunjung tinggi. Kesetiaan militer tersebut dipakai oleh Ne Win untuk
menghancurkan lawan-lawan politiknya. Penggunaan cara-cara kekerasan, teror, dan
propaganda adalah cara berpolitik Ne Win ketika berkuasa. Selama lebih dari dua
dekade, Ne Win menghabiskan anggaran pemerintahnya untuk berperang melawan
kelompok-kelompok etnis minoritas di sepanjang perbatasan.95
Dalam bidang politik luar negeri, Ne Win menerapkan kebijakan menutup diri
dari dunia internasional. Bantuan-bantuan dari luar negeri selalu dicurigai sehingga
bantuan tersebut sering ditolak. Ford Foundation dan Asia Foundation dipulangkan,
rencana bantuan Amerika Serikat untuk pembuatan jalan raya sebesar US$ 84 juta
ditolak begitu saja. Syarat-syarat untuk pengiriman sarjana dan mahasiswa ke luar
negeri terutama ke negara-negara Barat dipersulit.96 Wartawan-wartawan asing diusir
dari Rangoon. Orang asing hanya diperbolehkan membawa visa yang berlaku selama
satu minggu dan itu pun hanya untuk mengunjungi daerah-daerah tertentu saja.
Semua jalan yang menuju ke sana ditutup. Penduduk lokal dikenai larangan
bepergian secara bebas ke luar negeri. Jaringan komunikasi internasional diawasi
94 Nordlinger, Op. Cit. hlm. 116. 95 Priyambudi, Loc. Cit. 96 Alfian, Op. Cit.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
secara ketat oleh negara. Singkatnya, rakyat Burma diasingkan dari dunia
internasional.97
Sementara itu, dalam bidang ekonomi, Ne Win melakukan nasionalisasi
besar-besaran. Mekanisme pasar ditentukan oleh semacam dewan perekonomian yang
dikontrol secara ketat oleh negara. Pabrik-pabrik, bank-bank, dan sektor-sektor
perekonomian yang penting dikuasai sepenuhnya oleh negara. Pada awalnya, usaha
ini cukup berhasil membawa Burma menjadi produsen beras nomor satu di dunia.
Namun, prestasi ini tidak berlangsung lama. Oleh karena adanya birokratisasi yang
dijalankan di semua sektor perekonomian, membuat hal itu menghambat
pengambilan keputusan dan efisiensi yang diperlukan dalam bidang perekonomian.
Akibat kebijakan ekonomi tersebut, barang-barang konsumsi dan barang-barang
kebutuhan dasar sangat sulit didapatkan.98 Terjadi krisis persediaan beras dan
makanan, pada tahun 1965 – 1966 produksi padi turun sebesar 5,3% dari tahun
sebelumnya, tahun 1966 – 1967 turun lagi sebesar 17,7% dari tahun 1965 – 1966.
Burma yang dikenal sebagai pengekspor beras nomor satu di dunia harus jatuh ke
nomor tiga setelah Muangthai dan Amerika Serikat.99 Harga barang melambung
tinggi, sementara nilai mata uang merosot drastis.100
Apa yang terjadi pada Burma setelah Ne Win berkuasa adalah suatu usaha
untuk mengasingkan Burma dari segala pengaruh dunia luar. Politik isolasi seperti ini
97 Priyambudi, Loc. Cit. 98 Priyambudi, Loc. Cit. 99 Alfian, Op. Cit., hlm. 9. 100 Aye Saung, Catatan-Catatan Dari Bawah Tanah: Otobiografi Pemberontakan Burma, terj. Nurul Agustina (Jakarta: LP3ES, 1991).
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
disebut sebagai politik Nasionalisme Tertutup, inward-looking nationalism. Negara-
negara yang menjalankan politik ini biasanya dipimpin oleh orang-orang yang sangat
takut akan kritik dari luar negeri terhadap kepemimpinan mereka atas rakyatnya,
sehingga pemerintah menutup rakyatnya rapat-rapat terasing dari orang lain.
Akibatnya, negara tersebut terjerumus ke dalam suatu sistem pemerintahan yang
rakyatnya hanya sedikit sekali memiliki hak suara.101
2.3 Kehidupan Beragama di Burma
Menurut perhitungan yang dibuat oleh pemerintah Burma, hampir 90 persen
dari penduduk Burma memeluk agama Budha Theravada. Akan tetapi, karena alasan
politis tertentu jumlah ini masih diragukan kebenarannya oleh banyak pihak.
Walaupun sekitar 89 persen penduduk Burma memang beragama Budha. Sekitar
empat persen dari penduduk memeluk Islam, empat persen lainnya memeluk agama
Kristen dan sisanya memeluk agama lain, seperti Hindu dan Yahudi.102
Menurut Departemen Dalam Negeri Amerika, ada keterkaitan antara suku
bangsa yang ada di Burma dengan agama yang mereka anut. Etnis Burma yang
meliputi 68 persen dari populasi, hampir seluruhnya memeluk agama Budha
Theravada. Hal itu sama dengan yang dianut oleh suku Shan (yang meliputi 9 persen
dari populasi) dan suku Mon (2 persen). Agama kristen adalah agama yang dominan
dianut oleh suku Kayah dan Karen (yang meliputi 7 persen dari populasi). Agama 101 Alfian, Op. Cit., hlm. 8. 102 Andrew Selth, Burma’s Muslims: Terrorists or Terrorised ? (Canberra, 2003), hlm. 3.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Hindu dianut oleh etnis India. Sementara itu Islam merupakan agama yang dianut
oleh mayoritas suku Rohingya yang bermukim di bagian Arakan.103
Undang-Undang Burma, yang diadopsi pada tahun 1948 ketika baru merdeka
dari Inggris, mengakui bahwa Budha merupakan agama mayoritas di negara tersebut.
Akan tetapi, negara juga memberikan kebebasan menjalankan kehidupan beragama
kepada semua orang. Sejalan dengan hal itu, pemerintah militer di Rangoon selalu
memberitahukan kepada dunia luar bahwa Burma adalah “negara yang bangga akan
dirinya karena semua agama yang ada di dunia berdampingan satu sama lain dalam
damai dan harmoni”. Akan tetapi, pernyataan tersebut tidak pernah terbukti semenjak
Ne Win meraih kekuasaan pada tahun 1962, dan hingga saat ini situasinya tidak
berubah.104
2.3.1 Muslim di Burma
Keberadaan kelompok muslim Burma paling awal dapat dilacak
keberadaannya pada abad ke-13 M dan ke-14 M. Saat itu, nenek moyang mereka
datang sebagai pedagang dan sebagai tentara bayaran. Kebanyakan mereka berasal
dari etnis Arab, Persia, dan India. Para pendatang ini kemudian menikah dengan
penduduk lokal yang beragama Budha, kemudian menetap di Burma. Mereka yang
meninggalkan Burma tidak membawa keluarga mereka.
103 Ibid. 104 Ibid. hlm. 4.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Di satu sisi, sebagai balasan dari pengabdian yang diberikan kepada pihak
kerajaan, kelompok muslim yang lain mendapatkan lahan di daerah, seperti Sagaing,
Yamethin, dan Kyauke. Sejumlah lainnya bekerja di pengadilan Burma, sebagai
administrator dan penerjemah. Kelompok muslim ini (termasuk anak cucunya)
berbicara dengan bahasa Burma, memakai pakaian Burma, dan menganggap diri
mereka sebagai orang Burma, tetapi tetap memeluk agama Islam. Di bawah
kekuasaan raja Burma, mereka dikenal dengan nama Pathi atau Kala. Saat ini, mereka
dikenal dengan nama Zerbadee, sebutan untuk seseorang dengan ayah beragama
Islam dan ibu beragama Budha. Akan tetapi, sebutan itu tidak disukai oleh muslim
Burma modern. Sebutan tersebut membawa implikasi yang disebabkan oleh agama
mereka. Mereka dianggap bukan orang Burma asli. Mereka lebih suka disebut dengan
sebutan Muslim Burma, sebuah istilah yang secara resmi diterima oleh pemerintah
kolonial Inggris pada tahun 1941.105
Arus imigrasi orang-orang India paling besar terjadi setelah Inggris menguasai
Burma pada masa tiga perang, antara tahun 1824 – 1886. Dengan menjadikan Burma
bagian dari British India, pemerintahan baru mendatangkan imigran dalam jumlah
besar sebagai buruh, pelayan, dan pedagang dari Asia Tengah. Kebanyakan dari
mereka mendirikan rumah dan usaha di ibu kota kolonial. Sebelum terjadinya
eksodus ke India, ketika pecahnya perang dunia kedua, terdapat lebih dari satu juta
imigran India di Burma, dari total populasi 16 juta. Lebih dari setengahnya, tinggal di
Rangoon (ibu kota Burma). Mereka berbicara bahasa Urdu dan Tamil dan memiliki 105 Ibid. hlm. 6.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
hubungan yang kuat dengan agama dan praktek budaya di tanah kelahiran mereka.
Perbedaan agama telah menyebabkan konflik masalah ekonomi dan ketegangan ras.
Hal itu juga menyebabkan kerusuhan antara mayoritas Budha dan muslim Burma
melawan komunitas India di Rangoon pada tahun 1931 sampai 1938. Beberapa orang
India kembali ke Burma pada masa pemerintah kolonial 1945, tetapi jumlah mereka
tidak pernah mencapai jumlah yang sama seperti jumlah sebelum perang. Ketika
pemerintah militer Ne Win menguasai ekonomi Burma pada 1963 dan menjalankan
hukum kewarganegaraan baru, ratusan ribu warga Asia Selatan termasuk warga
muslimnya, diusir ke India dan Pakistan.106
Terdapat juga sejumlah kecil komunitas muslim Cina di timur laut Burma,
yang dikenal dengan Panthay. Pengikutnya adalah sisa-sisa bekas kesultanan Islam
yang berdiri di Yunan pada pertengahan abad ke-19. Banyaknya kehadiran muslim di
barat daya Cina berawal dari penempatan tentara muslim dalam jumlah besar, yang
dikirim oleh kaisar untuk meredam pemberontakan di Tibet pada tahun 801 SM.
Kemudian, muslim Turki datang ke wilayah tersebut bersama dengan Kubilai
Khan.107
Kunci penting yang membedakan antara muslim Burma dengan muslim yang
ada di negara lain adalah Islam di Burma tidak dipengaruhi oleh kekuatan eksternal.
Selain dari konflik periodik dengan negara tetangganya, Burma tidak pernah menjadi
target dari kekuatan besar negara Islam untuk menyebarkan Islam di sana. Muslim
106 Ibid. hlm. 7. 107 Ibid. hlm. 6.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Bengal memang pernah menorehkan pengaruhnya di Arakan, akan tetapi Islam gagal
meraih jantung di negeri ini. Kolonial Inggris, yang kemudian menguasai negeri ini,
menyebarkan agama Kristen. Tidak ada aktivitas dakwah Islam yang bertujuan untuk
menyebarkan Islam, seperti yang terjadi di Semenanjung Malaya. Hal itu membuat
muslim Burma yang berkembang melalui imigrasi dan eksogami, mempunyai
karakter yang unik. Menurut Moshe Yegar, yang dikutip oleh Andrew Selth,108 hal
itu disebabkan oleh keadaan geografis Burma yang menantang. Burma tidak menarik
untuk dikuasai, baik secara militer maupun komersial, sebagaimana negeri lainnya
yang lebih ke timur. Yang lebih penting lagi, di Burma telah hadir agama Budha
Theravada yang cukup kuat sejak abad ke 12.
Pernyataan ini diperkuat oleh Hugh Tinker yang dikutip oleh Riza Sihbudi,109
bahwa penyebab agama Islam tidak berkembang dengan baik di Burma adalah
geografi Burma yang sangat sulit dikuasai. Penaklukkan yang pernah dilakukan oleh
kaum Mongol, Manchu dan orang-orang Asia Tengah yang mengarah ke Asia
Tenggara umumnya berhenti ketika mencapai Burma. Hal tersebut disebabkan
kondisi geografi Burma yang dikelilingi hutan lebat, jurang, dan perbukitan tinggi.
Sedangkan sejarahwan lain mengemukakan bahwa negara Burma tidak memiliki daya
tarik bagi pedagang Malaysia dan Indonesia untuk datang ke Burma. Padahal para
pedagang-pedagang tersebut biasanya turut melakukan misi menyebarkan agama
Islam. Di Indonesia dan Malaysia, ketika pedagang Islam datang untuk menyebarkan
108 Ibid. hlm. 8. 109 Riza Sihbudi, dkk., Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara: kasus Moro, Pattani, dan Rohingya (Jakarta: PPW-LIPI, 2000), hlm. 175.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
agama Islam, sudah ada suasana religious yang memudahkan Islam beradaptasi
dengan agama yang sudah ada. Pada waktu itu, agama Hindu dan Budha di Indonesia
dan Malaysia sedang dalam posisi yang tidak begitu kental, baru pada tataran agama
hukum yang melingkar di lingkungan kaum elit tanpa mampu menetrasi massa secara
kuat. Keadaan tersebut dapat di manfaatkan dengan baik oleh para pedagang Islam.
Hal ini sangat berbeda dengan kondisi Burma, Budha telah menjadi agama yang kuat
dan mengakar dalam masyarakat Burma.
Pada tahun 1936, muslim Burma membentuk sebuah aliansi bernama General
Council of Burma Moslem Associations (GCBMA). Aliansi ini bertujuan untuk
menjamin kepentingan masyarakat muslim di masa kemerdekaan Burma, terutama
jaminan khusus status keanggotannya di parlemen. Selain itu organisasi ini juga
menjaga agama, budaya, dan status hukum komunitas muslim, baik yang pribumi,
imigran, maupun muslim hasil kawin campur. Organisasi ini diutamakan dipimpin
oleh muslim yang memiliki latar belakang minimal punya satu orang tua asli Burma.
Namun, upaya GCBMA ini tidak mendapat respon positif dari kolonialis Inggris,
demikian juga dengan masyarakat nasionalis Budha Burma, mereka tidak
memberikan jaminan tersebut pada kaum muslim.110
110 Ibid. hlm. 177.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
BAB 3
MUSLIM ROHINGYA
3.1 Sejarah Muslim Rohingya
Rohang, adalah sebutan kata Arakan sebelumnya. Arakan merupakan tempat
yang cukup terkenal bagi para pelaut Arab sebelum adanya Islam. Saat itu, banyak
orang-orang, seperti Arab, Moor, Turki, Moghuls, Asia Tengah, dan Bengal yang
datang sebagai pedagang, prajurit, dan ulama. Mereka datang melalui jalur darat dan
laut.111
Pendatang tersebut banyak yang tinggal di Arakan dan bercampur dengan
penduduk setempat. Percampuran suku tersebut membentuk suku baru, yaitu suku
Rohingya. Oleh karena itu, muslim Rohingya yang menetap di Arakan sudah ada
sejak abad ke-7 dan mereka tidak terbentuk dari satu suku saja. Mereka terbentuk dari
percampuran berbagai suku yang berbeda.112
Suku Rohingya sebenarnya adalah orang-orang Islam dengan budaya mereka
yang jelas terlihat di daerah Arakan. Hal itu karena mereka menurunkan agama
mereka pada seluruh keturunan mereka dari bangsa Arab, Moor, Pathan, Moghul,
Asia Tengah, Bengal dan beberapa bangsa Indo-Mongol. Percampuran dari berbagai
111 Mohammed Ashraf Alam, “A Short Historical Background”, (7 Maret 2006 12.57), terdapat di situs http://www.rohingyatimes.i-p.com/history/history_maa.html112 Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
suku, membuat penampakan fisik unik mereka seperti tulang pipi yang tidak begitu
keras, mata mereka tidak begitu sipit (seperti orang Rakhine Magh dan orang Burma),
hidung mereka tidak begitu pesek. Mereka lebih tinggi dari orang Rakhine Magh
tetapi kulit mereka lebih gelap, beberapa dari mereka kulitnya kemerahan, tetapi tidak
terlalu kekuningan.113
3.2 Kedatangan Orang-Orang Arab dan Islam di Arakan
Muslim Arab datang pertama kali melewati daratan India dan Asia Tenggara
melalui jalur perdagangan pada abad ke-7. Pada waktu itu, rempah-rempah, katun,
batu mulia, barang tambang, dan komoditas lainnya yang datang dari selatan dan Asia
Tenggara merupakan barang-barang yang sangat dibutuhkan di daerah Timur Tengah
dan Eropa. Orang-orang Arab datang sebagai nelayan dan hampir menguasai
perdagangan tersebut. Mereka melahirkan pedagang-pedagang yang menyebarkan
Islam dan menjadi pelaut-pelaut hebat. Pengetahuan mereka tentang navigasi, ilmu
garis lintang dan garis bujur, fenomena astronomi, dan geografi negara-negara telah
membuat mereka tak tertandingi dalam hal berdagang di Samudra Hindia selama
beberapa abad. Orang-orang Arab tersebut menulis tentang tempat-tempat yang
mereka datangi untuk membuktikan kedatangan mereka di dunia Timur dan Barat. 114
Agama Islam pertama kali masuk ke Arakan dibawa oleh orang-orang Arab
yang dipimpin Muhammad bin Hanafiya pada tahun 680 M. Pada waktu itu, Arakan 113 Ibid. 114 Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
dikuasai oleh sebuah kelompok kanibal yang dipimpin oleh Ratu Kaiyapuri. Ketika
Muhammad bin Hanafiya datang ke Burma dan menyebarkan agama Islam Ratu
Kaiyapuri ikut memeluk agama Islam. Lalu, Hanafiya menikahi Ratu Kaiyapuri.
Pengikut Ratu Kaiyapuri pun ikut memeluk agama Islam. Setelah itu, dakwah Islam
pun tersebar di Arakan oleh para pelaut dan pedagang yang berasal dari Timur
Tengah.115
Arakan, yang pada asal mulanya dinamakan Rohang, merupakan sebuah
bangsa yang berdiri sendiri sejak awal mula sejarah bangsa itu dikenal. Oleh karena
itulah, mereka dinamakan orang Rohangya, yang kini lebih dikenal dengan sebutan
Rohingya. Arakan itu sendiri merupakan kata jamak dari rukn, berasal dari kata
bahasa Arab yang artinya ‘tiang-tiang’. Kata tersebut mencirikan keislaman dari etnis
Rohingya.116
3.3 Perkembangan Muslim Rohingya
3.3.1 Penduduk
Penduduk Rohingya hidup dengan bercocok tanam. Hasil produksi pertanian
utama di Arakan berasal dari Rohingya. Sebagian penduduk yang lain, bekerja
sebagai nelayan, pedagang, pengrajin tangan, dan tukang kayu. Oleh karena
diskriminasi yang menimpa mereka, penduduk Rohingya mulai kehilangan tanah dan
menjadi tuna wisma. Lahan perkebunan mereka diambil oleh masyarakat Budha yang 115 Ibid. 116 Riza Sihbudi, dkk., Op. Cit., hlm. 51.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
datang dari dalam dan dari luar Arakan pada tahun 1942. Selain itu, pajak tinggi
terhadap hasil pertanian dan pengambilalihan tanah membuat mereka hidup di bawah
garis kemiskinan dan mengalami kelaparan. Jumlah pengusaha semakin menurun,
mereka tidak diizinkan melakukan kegiatan bisnis secara bebas. Rezim militer telah
melarang mereka mendapatkan hak kebebasan di kotanya. Hal itu berdampak pada
kehidupan sosial budaya, ekonomi, pendidikan, dan kehidupan sehari-hari muslim
Rohingya.117
3.3.2 Agama dan Budaya Muslim Rohingya
Masyarakat Rohingya adalah penganut agama Islam yang taat. Sebagian besar
dari muslim Rohingya, para laki-lakinya menumbuhkan janggut dan para wanita
memakai jilbab. Rumah-rumah mereka dikelilingi oleh dinding–dinding bambu yang
tinggi. Di Arakan, di setiap desa terdapat masjid dan madrasah (sekolah untuk
penganut agama Islam). Laki-laki Rohingya salat secara berjamaah sedangkan para
wanita salat di rumah.
Semua kegiatan sosial seperti menolong orang miskin, janda dan anak yatim,
serta acara pernikahan dan kematian dilakukan oleh suatu lembaga sosial yang ada di
setiap desa. Lembaga tersebut disebut Samaj. Ulama dalam lingkungan muslim
117 Nurul Islam, “Facts About The Rohingya Muslims Of Arakan”, (22 Februari 2006, 20.02), terdapat di situs http://www.rohingya.com/rohi/summary.htm
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Rohingya memiliki peranan yang sangat penting, khususnya dalam masalah hukum,
seperti masalah keluarga muslim Rohingya.118
3.3.3 Pendidikan Muslim Rohingya
Sebelum junta militer berkuasa tahun 1962, muslim Rohingya memiliki posisi
yang sama dengan masyarakat mayoritas Budha. Akibat kemiskinan, diskriminasi
sosial dan serangan yang terus melanda mereka, jumlah pelajar-pelajar muslim
Rohingya menurun drastis. Pendidikan tingkat dasar, apalagi tingkat tinggi, tidak bisa
dengan mudah mereka dapatkan.
Terdapat sejumlah sukarelawan di sekolah-sekolah agama untuk memberikan
pendidikan pada pelajar-pelajar muslim Rohingya. Namun, dengan adanya berbagai
larangan, minimnya dana dan fasilitas membuat mereka tidak mampu memberikan
pendidikan yang layak. Hal inilah yang menyebabkan mereka tidak bisa menciptakan
pemuda-pemuda yang berpendidikan untuk membantu menyelesaikan masalah
masyarakat Rohingya.119
3.3.4 Status Politik Muslim Rohingya
Sebelum 1962, muslim Rohingya dikenal sebagai etnis bangsa pribumi
Burma. Mereka memiliki perwakilan di parlemen Burma, beberapa dari mereka
diangkat menjadi menteri, sekretaris parlemen, dan di beberapa posisi pemerintahan
118 Ibid. 119 Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
lainnya. Setelah rezim militer berkuasa, secara sistematis hak politik mereka dicabut,
pegawai-pegawai pemerintahan yang sebelumnya diduduki oleh muslim Rohingya
diganti oleh orang-orang Budha Arakan.
Pada awal kemerdekaan, Budha Arakan yang fundamentalis sering menuduh
nasionalisme muslim Rohingya sebagai pro Pakistan. Berdasarkan pada tuduhan
tersebut muslim Rohingya sulit menjadi tentara, pejabat sipil, polisi, dan kepala desa
di wilayah mereka sendiri. Keadaan tersebut semakin parah setelah dikeluarkannya
Undang-Undang Kewarganegaraan 1982 yang menyatakan bahwa mereka bukan
penduduk asli Burma. Pemerintah tidak lagi mengizinkan mereka untuk berpartisipasi
dalam kehidupan politik pemerintahan Burma.120
3.4 Perlakuan Terhadap Muslim Rohingya
Di bawah pemerintahan kolonial, masyarakat muslim menduduki posisi senior
di bidang pelayanan umum dan masyarakat sipil. Selama tahun 1920-an dan 1930-an,
kelompok nasionalis muslim muda berada di garis depan menuntut kemerdekaan dari
Inggris. Setelah pembentukan Union of Burma tahun 1948, sejumlah muslim
menempati posisi yang tinggi di pemerintahan, di bawah pimpinan Perdana Menteri
U Nu yang beragama Budha. Setelah kudeta militer tahun 1962, sejumlah kecil
muslim terus mengabdi di bawah pemerintahan Jendral Ne Win.121
120 Ibid. 121 Selth, Op. Cit., hlm. 8.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Terhadap kelompok minoritas ini, pemerintah yang berkuasa memberlakukan
larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu. Pemerintah melarang pembentukan
perserikatan dan melarang munculnya gerakan yang mempertanyakan tentang hak-
hak buruh. Tidak jarang, mereka memperoleh perlakuan kasar, dan tidak
berperikemanusiaan. Hal itu menyebabkan sakit dan kematian merupakan hal yang
lekat dengan keseharian mereka.122
Diperkirakan, pemerintahan Burma telah melakukan paling tidak 13 operasi
bersenjata melawan Rohingya semenjak tahun 1948. Mereka melucuti senjata,
menutup sekolah agama, dan membakar masjid-masjid. Pada 1975, sekitar 15.000
penduduk muslim Rohingya mengungsi ke negara tetangga, Bangladesh, untuk
melarikan diri dari penganiayaan. Pada 1978, operasi militer masif, yang dikenal
dengan nama Operasi Naga Min, memaksa sekitar 200.000 Rohingya untuk keluar
dari Burma. Operasi tersebut meliputi relokasi paksa muslim disertai pemerkosaan,
pemaksaan, dan penggusuran masjid. Rezim yang berkuasa menyalahkan kelompok
pengacau Bengal atas kejadian itu.
3.4.1 Muslim Rohingya dan Masalah Sosial Budaya
Muslim Rohingya selalu mengalami pengalaman pahit atas ketidakadilan
sosial budaya yang mereka terima selama bertahun-tahun. Ketidakadilan tersebut
meliputi perlakuan atas agama, suku, dan posisi mereka sebagai kelompok minoritas.
122 Riza Sihbudi, dkk., Op. Cit., hlm. 61.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Pemerintah Burma yang diktator memberlakukan pembatasan-pembatasan pada
kelompok agama tertentu, bahkan melakukan pengawasan yang ketat untuk aktivitas
gerakan kelompok itu. Perlakuan yang tidak setara terhadap kelompok minoritas
merupakan perlakuan yang biasa diterima. Menurut pendapat Yegar, yang dikutip
oleh Riza Sihbudi,123 munculnya pertentangan antara pemerintah dan masyarakat
Burma dengan kelompok muslim minoritas pada intinya adalah sebagai akibat dari
perbedaan karakteristik yang tidak bisa disatukan antara adat kebiasaan orang Burma
dengan budaya Islam.
Secara umum, pemerintah sebenarnya mencanangkan kebijakan untuk
memberi kebebasan kepada penduduk dalam menjalankan agama mereka masing-
masing. Pada kenyataannya, pemerintah menerapkan banyak larangan, khususnya
terhadap kelompok minoritas. Kitab suci Alquran yang diterjemahkan ke dalam
bahasa lokal, tidak dapat diimpor secara legal. Izin untuk mendirikan masjid sangat
sulit didapatkan.124
Dalam hal bepergian ke luar negeri seperti menjalankan ibadah haji atau
menghadiri pertemuan keagamaan dengan luar negeri sebenarnya diperbolehkan.
Namun, pembatasan dan pengawasan yang ketat serta kesulitan lain menghadang
kelompok minoritas muslim ini. Seperti, pembatasan masa berlakunya visa, sulitnya
pengurusan paspor, dan kecurigaan atas segala kegiatan yang dilakukan oleh
kelompok minoritas muslim di dalam dan di luar negeri. Contoh perlakuan yang
123 Ibid. hlm. 60. 124 Ibid. hlm. 62.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
dilakukan pemerintah Burma pada tahun 1962, tentang aturan pembatasan haji. Pada
tahun tersebut, jamaah haji Burma berkisar sampai 500 orang. Namun dengan adanya
kebijakan uang ketat di era pemerintahan militer, jumlah tersebut turun drastis
menjadi rata-rata hanya 16 orang. Itu pun hanya diberikan kepada orang-orang tua
yang belum pernah pergi haji.125
Dalam pengaturan soal organisasi keagamaan, pemerintah menerapkan suatu
mekanisme yang mewajibkan setiap organisasi keagamaan kelompok harus
mendaftarkan diri pada Menteri Dalam negeri dengan tembusan ke Menteri Agama.
Namun, persoalan yang bertentangan timbul ketika salah satu di antara organisasi
tersebut yang memperoleh kesempatan untuk membuka rekening bank. Organisasi
tersebut diharuskan membuat tembusan ke Dewan Gereja Burma bukan ke Menteri
Agama.126
3.4.2 Muslim Rohingya dan Masalah Ekonomi
Di wilayah Arakan Utara yang mayoritas penduduknya adalah muslim,
pemerintah pusat menekankan suatu aturan baru yang menyebabkan kerugian besar
bagi muslim Rohingya. Aturan baru itu menyebutkan, bahwa petani, buruh pemotong
kayu dan bambu, serta pekerja agrobisnis, harus menjual produk mereka kepada agen
yang telah ditunjuk oleh pemerintah dalam harga yang sudah ditentukan. Mereka
125 Ibid. 126 Ibid. hlm. 63.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
dilarang menjual produknya kepada orang lain. Untuk memperoleh fasilitas tersebut,
para agen telah memberikan uang yang banyak kepada pemerintah.127
Pada tahun 1989, pemerintah militer Burma mengeluarkan kartu identitas baru
untuk penduduk. Kartu identitas tersebut tidak hanya memuat foto, nama orang tua,
dan alamat, tetapi juga memuat asal suku bangsa dan agama. Kartu identitas baru itu
harus selalu dibawa ke manapun mereka pergi. Kartu itu juga dibuat sebagai
persyaratan jika ingin membeli tiket untuk bepergian, mendaftarkan anak di sekolah,
melamar pekerjaan, termasuk semua kedudukan sebagai pegawai negeri, menjual atau
membeli tanah, dan kegiatan sehari-hari lainnya.128
Muslim Rohingya tidak diperbolehkan memiliki kartu identitas tersebut. Hal
itu membuat mereka mengalami kesulitan bila akan bepergian. Mereka
diperkenankan bepergian, setelah memperoleh izin dari pihak yang berwenang.
Dalam banyak kasus, izin perjalanan hanya diberikan untuk 12 jam saja dan hanya
pada kasus tertentu seorang muslim diberikan izin perjalanan sampai bisa menginap.
Untuk perjalanan yang jauh, seperti ke Maungdaw, Buthidaung, atau ke ibu kota
propinsi Akyab, mereka sulit mendapatkan izin. Kesulitan memperoleh izin
perjalanan itu menyebabkan masyarakat Rohingya sulit memperoleh pekerjaan,
terutama pada musim panas, ketika pekerjaan pertanian menurun. Muslim Rohingya
hidup dalam kamp konsentrasi dengan tidak mempunyai akses untuk bekerja, tidak
ada peluang untuk berdagang dan bisnis, serta tidak ada kesempatan untuk
127 Ibid. hlm. 88. 128 Ibid. hlm. 90.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
melanjutkan pendidikan. Bahkan, hak menikah pun dilarang. Muslim yang berjanggut
tidak boleh menggunakan transportasi umum atau memasuki kantor-kantor
pemerintah. Sementara muslim yang bukan penduduk Akyab (ibukota Arakan)
dilarang memasuki kota itu dan kota Rangoon.129
Kondisi di atas diperparah lagi dengan kewajiban untuk membayar berbagai
macam pajak. Bila musim panen, para petani diharuskan menjual kepada pemerintah
dengan harga yang sudah ditetapkan. Di samping itu, pajak padi dihitung dari
prosentase luas tanah yang dimiliki oleh petani, bukan dari hasil panen. Perhitungan
ini merugikan petani Rohingya yang sebagian besar dari mereka mempunyai tanah
tidak subur. Dengan kondisi tanah seperti itu dan pemerintah yang tetap
memberlakukan pajak padi berdasarkan luas tanah, membuat banyak petani Rohingya
yang tidak mampu membayar pajak.130
Dengan berbagai tekanan dan paksaan, baik dari pihak mayoritas Budha
maupun pihak pemerintah, muslim Rohingya selalu mengalami perlakuan yang
semena-mena. Muslim Rohingya seakan tidak lagi memiliki hak asasi untuk
menentukan kehidupan mereka sendiri.
129 Ibid. 130 Ibid. hlm. 91.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
BAB 4
PEMBERONTAKAN SPORADIS MUSLIM ROHINGYA
4.1 Latar Belakang Pemberontakan
Di masa pendudukan Jepang tahun 1942, sebagian besar masyarakat muslim
di Arakan tetap proinggris. Untuk mempertahankan loyalitas dan dukungan ini,
pemerintah Inggris menjanjikan pada kaum muslim, menjadikan wilayah Arakan
Utara sebagai wilayah muslim secara nasional. Ketika Jepang kalah dalam Perang
Dunia II, dan Inggris kembali menduduki Burma, tokoh-tokoh dari masyarakat
muslim Rohingya yang berkolaborasi dengan Inggris ditunjuk untuk menduduki
jabatan-jabatan penting dalam birokrasi dan administrasi lokal di Arakan. Di masa itu
Inggris juga banyak mendatangkan imigran muslim yang berasal dari Chittagong,
Pakistan Timur. Inggris juga mengundang ratusan ribu pengungsi muslim di Arakan
Selatan yang menyeberang ke India di tahun 1942 untuk kembali ke Arakan Utara.131
Berdasarkan afiliasi keagamaan dari mayoritas penghuninya, Arakan terbagi
ke dalam dua distrik; di bagian utara merupakan distrik muslim, dan di bagian selatan
merupakan distrik kaum Budha.132 Sejak pemerintahan kolonial Inggris, kelompok
Budha dan muslim Arakan sudah saling bermusuhan satu sama lain. Mereka saling
bersaing untuk memperebutkan sumber-sumber daya ekonomi. Di bagian selatan
131 Ibid. hlm. 150. 132 Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Arakan orang-orang yang beragama Budha merupakan kelompok mayoritas
sedangkan Islam tergolong minoritas. Sebaliknya, di Arakan Utara kaum muslim
merupakan mayoritas sedangkan Budha adalah minoritas. Di Arakan Selatan,
mayoritas Budha sering menyerang minoritas muslim. Hal itu mengakibatkan
terjadinya gelombang pengungsian kaum muslim ke Arakan Utara. Terdapat pula
sekitar 22.000 orang muslim Arakan yang menyeberang ke daerah perbatasan
Bangladesh. Cerita yang dibawa oleh para pengungsi muslim yang mencapai daerah
Maungdaw di Arakan Utara tentang perlakuan kaum Budha membangkitkan
kemarahan penduduk asli muslim di sana. Sebagai pelampiasan dendam, penduduk
muslim di Arakan Utara itu menyiksa kaum minoritas Budha. Pada akhirnya,
penyerangan ini mengakibatkan kelompok Budha di Arakan Utara menyeberang ke
selatan tempat mayoritas kaum Budha.133
Setelah kemerdekaan Burma, posisi para pejabat dan pegawai muslim di
Arakan Utara banyak yang diganti oleh pemerintah Burma dengan kaum Budha
Arakan. Pemerintah Burma yang baru juga berupaya memulihkan kembali desa-desa
Budha yang ditinggalkan oleh para penghuninya selama terjadi kerusuhan. Kaum
muslim yang menduduki tanah-tanah kaum Budha diusir begitu saja, tanpa
menyediakan lahan baru sebagai penggantinya. Perlakuan semena-mena dari
pemerintah Burma ini diperburuk lagi dengan kegagalan pemerintah Burma untuk
memenuhi janji Inggris; menjadikan Arakan Utara sebagai wilayah administratif
muslim yang tersendiri. Hal itu berakibat terjadinya berbagai sabotase dan sikap non- 133 Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
kooperatif dari kaum muslim di Arakan Utara kepada pemerintah Burma dan
masyarakat Budha setempat. Mereka mengadakan boikot ekonomi, sosial maupun
politik. Kaum muslim menyabotase pengiriman bahan-bahan makanan dan fasilitas
air bersih di perkampungan-perkampungan kaum Budha di Arakan Utara. Hal
tersebut merupakan upaya kaum muslim untuk mengusir kaum Budha kembali ke
Arakan Selatan.134
Menurut Ted Robert Gurr, yang dikutip oleh Riza Sihbudi,135 ada tiga
penyebab terjadinya pemberontakan. Pertama, karena secara psikologis masyarakat
tertentu mengalami tekanan. Pada saat tekanan tersebut mencapai tingkat yang tak
dapat ditahan lagi, maka akan timbul perlawanan atau pemberontakan. Peristiwa
tesebut akan cepat berkembang jika ada tokoh dari masyarakat yang tertindas turut
mendukung bahkan menjadi pemimpin perlawanan tersebut. Kedua, karena
perbedaan kelas yang tajam, sehingga menimbulkan kecemburuan sosial atau bahkan
frustasi sosial di kalangan yang menderita yang jika tak terbendung lagi maka akan
menimbulkan pemberontakan. Ketiga, karena rasa curiga akibat faktor suku atau
agama dari pihak minoritas terhadap kaum mayoritas yang mendominasi.
Sedangkan menurut Eric A. Nordlinger,136 salah satu penyebab terjadinya
konflik antar kelompok suku adalah masalah agama. Konflik ini dapat menimbulkan
perpecahan. Kelompok tersebut cenderung memperlihatkan pertentangan emosional
antar satu sama lain. Dalam hal ini perbedaan agama di Arakan yang menyebabkan
134 Ibid. hlm. 151. 135 Ibid. hlm. 192. 136 Eric A. Nordlinger, Op. Cit. hlm. 213-214.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
konflik antar muslim Rohingya dan Budha Arakan. Konflik ini semakin parah setelah
Ne Win berkuasa di Burma dengan sistem junta militernya. Dengan berbagai
kebijakan yang merugikan rakyat terutama muslim Rohingya semakin gencar
dilakukan. Seperti Operasi Naga Min (Operasi Raja Naga) pada tahun 1978 yang
telah mengusir 200.000 muslim Rohingya dari Arakan dan Undang-Undang
Kewarganegaraan tahun 1982 yang menyatakan bahwa muslim Rohingya bukan
bagian dari warga negara Burma. Dengan berbagai tindakannya tersebut muslim
Rohingya semakin mengalami penderitaan yang seakan tak pernah ada habisnya.
4.2 Pemberontakan Muslim Rohingya di Masa Pemerintahan U Nu
Pada bulan Agustus 1948, delapan bulan setelah kemerdekaan, terjadi
kekacauan yang luar biasa. Banyak terjadi pemberontakan-pemberontakan, seperti
Komunis Bendera Merah (Red Flag Communist), Komunis Bendera Putih (White
Flag Communist), dan White Comrade. Mereka merasa tidak puas dengan kebijakan
pemerintah karena tidak bisa menentukan daerahnya sendiri, seperti yang diharapkan
di beberapa ras lain, yaitu Shan, Kachin, dan Karen.137
Muslim Rohingya pun dirugikan, dengan status mereka dalam pemerintahan
nonmuslim, ketika pejabat-pejabat Islam digantikan oleh orang-orang Budha.
Pengungsi-pengungsi Budha yang berada di bagian Arakan Selatan diperbolehkan
untuk kembali ke rumah dan desa, dari tempat mereka dipindahkan beberapa tahun
137 Kyaw Zan Tha, Loc. Cit.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
sebelumnya.138 Melihat keadaan ini, muslim Rohingya memanfaatkan kesempatan
dari aksi gerakan yang dilakukan oleh gerakan-gerakan komunis. Mereka menuntut
berdirinya negara otonom. Namun, pemerintah menolak kedua tuntutan tersebut.
Akibatnya, gerakan komunis mencabut dukungan mereka untuk AFPFL (Anti-Fascist
People’s Freedom League) dan memilih Arakan National Union Organization
(ANUO) dalam pemilihan. Sementara itu, muslim Rohingya memulai pemberontakan
di bawah gerakan Mujahid. Gerakan tersebut dibentuk pada deklarasi Dobboro
Chaung, Agustus 1947, dipimpin oleh Jafar Hussain atau lebih dikenal dengan nama
Jafar Kawal139 (pada Oktober 1950 Jafar Kawal dibunuh. Kepemimpinan Mujahid
digantikan oleh penerusnya, Cassim).140 Pemimpin muslim mulai menyerukan jihad
melawan pendudukan Arakan, dan target utama dari penyerangan ini adalah
penduduk lokal beragama Budha, bukan perwakilan pemerintah pusat.141
Oleh karena lemahnya pemerintah pusat pada waktu itu, ditambah dengan
kekacauan yang terjadi di Burma, gerakan yang dilakukan oleh Mujahid berkembang
semakin cepat.142 Dalam setahun pemberontakan Mujahid menguasai sebagian besar
wilayah Arakan Utara serta menarik perhatian warga Rangoon pada waktu itu.
Peristiwa itu terjadi bersamaan dengan kejatuhan Burma dalam ketidakstabilan
politik. Pemerintah juga tidak memulai tindakan pencegahan hingga 1951.143
138 Christie, Op. Cit., hlm. 168. 139 Tha, Loc. Cit. 140 Smith, Op. Cit., hlm. 129. 141 Selth, Op. Cit., hlm. 14. 142 Ibid. 143 Christie, Op. Cit.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Pada awal timbulnya pemberontakan, banyak pemimpin-pemimpin Islam
yang berkhutbah tentang pembelaan terhadap Islam atau melakukan jihad ketika ada
yang menyerang hak serta wilayah umat Islam. Dengan istilah yang lebih spesifik,
pemberontak dan warga muslim Arakan yang tidak secara langsung mendukung
pemberontakan inginkan adalah pemberian daerah khusus bagi umat Islam, sebuah
“negara bagian perbatasan”. Seperti halnya yang disebut oleh pertemuan muslim di
Maungdaw pada April 1947, daerah yang bukan pemisahan dari Burma, tetapi dari
dominasi umat Budha di Arakan.144
Keadaan di Arakan saat itu sangatlah rumit, dengan banyaknya kekerasan
yang terjadi di seluruh Arakan, tidak hanya di daerah utara yang didominasi oleh
muslim. Akibat perang yang berkepanjangan, Arakan terisolasi dari wilayah Burma
yang lain. Hal itu juga disebabkan semakin parahnya gerakan separatis setelah
perang. Infrastruktur yang terdapat di Arakan tidaklah mencukupi dan telah
dihancurkan semasa perang. Banyak masyarakat Arakan menganggap bahwa para
politikus Burma kurang memperhatikan perbaikan ekonomi wilayah tersebut. Hal
tersebut menyebabkan stimulasi sentimen separatis dan permintaan untuk
pembentukan negara bagian bagi orang-orang Arakan sebagai “unit otonomi yang
terpisah” dalam kesatuan Burma, dari orang-orang yang beragama Budha.145
Dalam keadaan yang penuh kekerasan, Arakan sangat terpengaruh oleh
pemimpin pergerakan setempat yang merupakan pemimpin Mujahid. Sejak adanya
144 Ibid. 145 Ibid. hlm. 169.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
saling ketergantungan antarpara pemberontak, tanpa bisa dihindari, ada kolusi
antarmereka, dalam hal persenjataan dan penyelundupan beras. Hal itu juga terjadi
antara Mujahid dan grup pemberontak lain di Arakan. Akan tetapi, secara
keseluruhan antara muslim Arakan yang memberontak dan pihak separatis selalu
diliputi rasa curiga, bahkan terjadi konflik terbuka. Hal itu membuat pemberontakan
Mujahid dianggap sebagai gejala konflik internal Arakan, yang juga merupakan
tantangan bagi pemerintah pusat. Hal terakhir yang diinginkan oleh penduduk muslim
Rohingya adalah pembentukan negara bagian Arakan yang semiotonom. Jika
terwujud, hal itu merupakan bentuk kebaikan yang diberikan oleh pemerintah yang
didominasi oleh Budha Arakan yang berpusat di Akyab (ibu kota Arakan).146
Keadaan hubungan yang kompleks antara penduduk muslim Arakan, Budha,
dan pemerintah pusat memberikan peluang kepada Rangoon untuk mengeksploitasi
pertentangan regional dan komunitas tersebut. Pada saat yang sama, hal tersebut
mempersulit terbentuknya keputusan politik yang dapat memuaskan semua pihak.
Jika kesepakatan dibuat bersama salah satu kelompok pemberontak, maka akan
ditentang oleh kelompok yang lain. Arakan merupakan contoh yang sempurna bagi
“ekuilibrium ketidakstabilan” yang melanda daerah-daerah di Burma dalam beberapa
dekade sejak kemerdekaan.147
Antara tahun 1951 – 1954, tentara Burma lebih memfokuskan perhatiannya
terhadap Arakan. Serangkaian aksi diadakan untuk meredam tindakan gerakan
146 Ibid. 147 Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Mujahid. Di antaranya menangkap dan mengasingkan pemimpin Mujahid, Cassim, ke
Pakistan pada bulan Juni 1954. Aksi tersebut berpuncak pada November 1954 dengan
nama ‘Operation Mansoon’. Tujuan utama operasi tersebut adalah untuk memecah
persatuan pemberontak muslim langsung di daerah mereka. Akibatnya, kegiatan
Mujahid berfokus pada penyelundupan beras dan imigran gelap ke Pakistan untuk
mendapatkan senjata. Pemberontakan melemah dan menjadi semikejahatan yang
menjadikan masyarakat sipil menjadi korban.148
Mei 1946, beberapa kaum muslim Rohingya mencoba membuat maklumat
untuk bekerja sama dengan M. Ali Jinnah, seorang tokoh Pakistan, untuk
menggabungkan wilayah Arakan Utara sebagai bagian dari Pakistan. Dua bulan
setelah maklumat ini diumumkan, Liga Muslim Arakan Utara (North Arakan Muslim
League) didirikan. Anggota-anggotanya, khususnya yang ingin bergabung dengan
Pakistan, adalah imigran muslim yang berasal dari Chittagong sedangkan muslim
Rohingya yang lain menolak penggabungan ini. M. Ali Jinnah berusaha meyakinkan
Jenderal Aung San, pemimpin Burma waktu itu, yang tidak mendukung
penggabungan tersebut. Setelah Pakistan mencapai kemerdekaannya, dan Ali Jinnah
menjadi pemimpin di tahun 1947, sama sekali tidak terjadi pergolakan di Arakan.
Namun, setahun kemudian, tepatnya di bulan April 1948, pecah lagi kerusuhan di
Arakan. Hal ini disebabkan pemerintah Burma melancarkan program
pengambilalihan tanah-tanah muslim untuk kaum Budha. Pemerintah Burma
berkeyakinan tanah-tanah yang dimiliki kaum muslim dulunya merupakan tanah- 148 Ibid. hlm. 170.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
tanah Budha Burma yang ditinggalkan untuk menghindari diri dari kerusuhan
antarkelompok keagamaan.149
Tindakan pemerintah Burma sangat meresahkan kaum Mullah Arakan, di
dalam setiap khutbah mereka senantiasa melancarkan jihad melawan Budha Burma
yang mereka sebut sebagai bentuk untuk melawan kekafiran. Khutbah-khutbah ini
menyalakan semangat antipati yang luar biasa di kalangan muslim terhadap
pemerintah Burma, yang dianggapnya hanya memenuhi kepentingan Budha Arakan
saja. Penduduk akhirnya melancarkan aksi protes di Maung Bazar terhadap
pemerintah yang menyita tanah-tanah mereka. Petugas keamanan yang didatangkan
oleh pemerintah Rangoon untuk menertibkan suasana justru menjadi sasaran amuk
massa. Peristiwa di Maung Bazar menjadi titik awal dari pemberontakan muslim
Rohingya di Arakan Utara terhadap pemerintah Rangoon.150
Muslim di bagian Burma lainnya tidak mendukung pemberontakan muslim
Rohingya yang dipelopori oleh kaum Mullah. Muslim yang berhaluan moderat
bahkan berusaha mempengaruhi para pemberontak untuk menghentikan aktivitasnya.
Mereka meyakinkan pemerintah Rangoon bahwa pemberontakan tersebut merupakan
hasil provokasi dan digerakkan oleh sebagian kecil pemimpin muslim Arakan.
Pemerintah Burma berusaha melakukan negosiasi dengan para pemberontak dengan
mengirimkan komisi khusus di bulan Juli 1948 yang mencoba menyelidiki sebab-
149 Riza Sihbudi, dkk., Op. Cit. hlm. 151. 150 Ibid. hlm. 152.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
sebab pemberontakan dengan mendengarkan segala keluhan-keluhan mereka.151
Dalam dengar pendapat di antara kedua belah pihak, kaum pemberontak muslim
Rohingya mengutarakan pada komisi pemerintah, bahwa Rohingya tidaklah seperti
imigran muslim yang berasal dari Chittagong, meskipun keduanya menganut agama
yang sama, serta memiliki atribut-atribut kultural maupun etnik yang relatif sama.
Muslim Rohingya sudah berabad-abad dan secara turun-temurun tinggal di Arakan,
mereka mengklaim dirinya sebagai penduduk asli Arakan. Kuburan nenek-moyang
dan masjid yang dibangun berabad-abad yang silam adalah simbol-simbol keaslian.
Mereka adalah “the native Arakan”. Sementara itu, muslim Chittagong, menurut
Rohingya, adalah imigran yang didatangkan oleh pemerintah kolonial Inggris untuk
membantu pembangunan infrastruktur dan prasarana lainnya di Burma. Meskipun
sudah demikian jelas perbedaannya, tetap saja masyarakat Budha Arakan
menganggap Rohingya tidak bedanya dengan imigran Chittagong. Masyarakat
Budha Arakan bahkan melancarkan propaganda bahwa muslim Rohingya adalah
bagian dari muslim Pakistan sehingga hak-hak hidupnya atas tanah Arakan harus
diabaikan.152
Hampir semua sektor kehidupan di Arakan dikuasai oleh Budha Arakan.
Mulai dari birokrasi pemerintahan sipil, militer, perdagangan, dan jasa. Muslim
Rohingya sangat dimarginalkan, kesempatan mereka untuk menjadi polisi, kepala
desa, pegawai pemerintah sangatlah kecil dibanding Budha. Polisi dan kepala desa di
151 Ibid. 152 Ibid. hlm. 153.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
daerah-daerah muslim banyak digantikan oleh orang-orang Budha. Muslim di Arakan
juga diperlakukan tidak adil. Mereka dijarah, diperas, dan dipenjarakan tanpa proses
pengadilan. 153
Akibat ancaman dan penggusuran oleh kaum Budha, muslim Rohingya yang
diusir di tahun 1942 tidak bisa kembali ke desanya lagi. Akibatnya, ribuan pengungsi
Rohingya hidup di tempat-tempat pengungsian di India dan Pakistan. Sementara itu,
tanah-tanah dan harta-benda mereka di Arakan dirampas. Para mujahid Rohingya
mengangkat senjata karena segala protes dan tuntutan mereka tak didengar oleh
pemerintah Rangoon. Pemerintah Rangoon malah mendukung terjadinya
pembasmian etnis dan menghilangkan identitas etnis Rohingya dengan mengambil
kembali tanah-tanah Rohingya untuk Budha. Pemerintah justru mengadakan operasi
militer besar-besaran untuk membantai dan mengusir Rohingya dari tanah
kelahirannya. Rohingya menghendaki keadilan. Mereka berharap dapat menjadi
warga negara Burma di bawah aturan hukum, bukan di bawah dominasi tirani.154
Sayangnya, tidak tercapai kesepakatan antara komisi yang mewakili
pemerintah dan pihak pemberontak. Pemerintah tetap menempuh kekerasan militer
untuk melumpuhkan pemberontakan. Para pemberontak bertempur sengit melawan
polisi dan angkatan bersenjata Burma yang ditempatkan di Arakan untuk mengepung
wilayah ini dalam waktu yang relatif panjang. Di tahun 1949, militer Burma berhasil
menguasai pelabuhan Akyab sedangkan para pemberontak menguasai seluruh
153 Ibid. 154 Ibid. hlm. 154.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
wilayah Arakan Utara.155 Gerakan-gerakan pemberontakan muslim juga terjadi di
bagian lain propinsi Arakan. Pada tahun 1954, Cassim, pemimpin muda militan dan
berpendidikan, menjadi pemimpin dari setiap gerakan yang dilakukan oleh muslim
Rohingya. Dalam waktu yang singkat, ia berhasil memperoleh dukungan dalam
jumlah besar. Namun, pada 13 September 1966 Cassim dibunuh oleh orang tak
dikenal di daerah Cox’s Bazar. Kematiannya menyebabkan gerakan muslim
Rohingya mengalami kemunduran.156
Dari tahun 1951 sampai 1954, militer Burma mengadakan serangan besar-
besaran terhadap gerilyawan Rohingya. Hal itu membuat gerilyawan Rohingya
terpaksa mundur dari wilayah yang didudukinya. Operasi militer pemerintah pada
bulan November 1954, pada akhirnya menghancurkan basis pertahanan terakhir dari
para mujahid Rohingya. Beberapa pemimpin utama pemberontakan terbunuh dalam
pertempuran ini. Keberhasilan operasi militer ini membuat perlawanan Rohingya
menurun. Kekuatan Rohingya semakin memudar dan terpecah-pecah ke dalam
kelompok-kelompok kecil. Pada akhirnya, gerakan Mujahid tidak lagi menjadi
ancaman bagi pemerintah Burma.157
Setelah berakhirnya operasi militer yang terorganisir dari para mujahid,
pemerintah Burma masih melancarkan tuduhan bahwa para mujahid mendorong
masuknya ribuan imigran gelap dari Chittagong, yang sangat padat penduduknya, ke
Arakan. Para imigran ini, karena faktor kesamaan agama sangat mudah membaur
155 Ibid. 156 Khan, Loc. Cit. 157 Riza Sihbudi, dkk., Op. Cit., hlm. 154.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
dengan muslim Rohingya di Arakan Utara.158 Mereka, seperti halnya Rohingya,
hidup dari pertanian subsistem dengan menggarap lahan-lahan kosong di Arakan.
Pemimpin-pemimpin Rohingya menolak tuduhan tersebut. Mereka mengatakan
pemerintah Rangoon tidak hanya melancarkan tuduhan yang tidak benar, tetapi juga
melakukan propaganda untuk mencegah para pengungsi Rohingya, yang dulunya
melarikan diri ke Pakistan, untuk kembali ke tanah air dengan menuduh mereka
berasal dari Chittagong yang menyusup ke Burma secara ilegal.159
Salah satu dampak dari pemberontakan di Arakan adalah makin bangkitnya
kesadaran untuk memperjuangkan Arakan sebagai wilayah otonom bagi muslim
Rohingya. Mereka yang berhaluan moderat juga menuntut Arakan menjadi negara
bagian tersendiri (State of Arakan) di bawah persatuan Burma yang memiliki hak-hak
dan kesempatan yang sejajar dengan daerah bagian lainnya. Sebagian besar dari
Rohingya, khususnya yang tinggal di daerah Buthidaung dan Maungdaw, lebih
menekankan tuntutan pembentukan Arakan sebagai wilayah otonom yang
bertanggung jawab langsung pada pemerintah pusat di Rangoon, dengan
menyingkirkan semua pejabat pemerintahan Arakan yang beragama Budha.160
Antara 1960 sampai 1962, masyarakat Rohingya berjuang untuk memperbaiki
status Arakan. Pada waktu pemilihan umum April 1960, U Nu berjanji jika partainya
memenangkan pemilu, dia akan menjadikan Arakan sebagai wilayah negara bagian
yang otonom dan sejajar dengan negara-negara bagian lainnya dibawah persatuan
158 Ibid. 159 Ibid. hlm. 155. 160 Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Burma. Setelah mencapai kemenangan, U Nu membentuk komisi yang bertugas
mengumpulkan segala permasalahan dan aspirasi muslim Arakan.161
Pada tahun selanjutnya, U Nu memenuhi janjinya setelah regional autonomy
commission tahun 1948, mengumumkan pembentukan negara Mon dan Arakan, yang
akan diselesaikan pada tahun 1962. Akan tetapi, kelompok Mujahid yang tidak puas
meneruskan pemberontakan untuk memaksa dan meminta hak beragama Islam dan
pemisahan yang legal dari daerah terdepan Mayu dari Burma. Walaupun pemerintah
merasa mendapatkan dukungan selama tahun 1961 dengan menyerahnya 500 tentara
gerilya Mujahid bersenjata berat yang dipimpin oleh Rauschid Bullah dan Mustafiz,
yang aktif di perbatasan Pakistan semenjak merdeka, banyak penduduk lokal Budha
dan Islam yang berkata bahwa terdapat potensi konflik yang tidak terlihat oleh
pemerintah Burma.
Rohingya Jamieatul Ulama merupakan salah satu organisasi yang
menyerahkan memorandum yang mencatat semua aspirasi dan pandangan muslim
Rohingya. Memorandum tersebut di antaranya menyebutkan bahwa muslim
Rohingya menghendaki wilayah otonom yang langsung berada di bawah pengawasan
pemerintah pusat Rangoon. Pemenuhan tuntutan tersebut merupakan persyaratan
untuk menghentikan kasus-kasus penyelundupan dan datangnya imigran gelap
sehingga perdamaian dan ketertiban dapat terpelihara di Arakan.162
161 Ibid. 162 Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Sebuah pemerintahan lokal yang terpisah dari yang lainnya perlu didirikan di
Arakan untuk membantu meningkatkan standar hidup masyarakat muslim Rohingya
yang selama ini sangat bergantung pada pertanian subsistem. Melalui birokrasi lokal
yang otonom, muslim Arakan mengharap segala pelanggaran hak asasi manusia yang
dilakukan oleh Budha Arakan terhadap kaum muslim bisa ditindak langsung.163
Muslim Rohingya tidak keberatan dengan dibentuknya negara bagian Arakan
asal disertai persyaratan bahwa Arakan juga harus memiliki Dewan Regional yang
memiliki otonomi penuh untuk menanggulangi masalah-masalah lokal. Eksekutif di
tingkat pusat harus mempertimbangkan saran Dewan Regional dalam menunjuk dan
menempatkan orang-orang yang menduduki jabatan penting dalam pemerintahan
negara bagian Arakan. Begitu pula dalam hal mencari penyelesaian masalah regional
Arakan, pejabat pusat harus mendengar pula nasihat dan bahan-bahan pertimbangan
yang diajukan Dewan Regional. Pemerintah regional Arakan sudah semestinya
mendapatkan pelimpahan wewenang, tugas, dan tanggung jawab langsung dari
pemerintah pusat di Rangoon guna mengatasi masalah ekonomi, politik, budaya,
pendidikan, dan agama. Wakil-wakil dari wilayah Maungdaw dan Buthidaung,
meskipun pada dasarnya menyetujui pembentukan negara bagian Arakan, mereka
menolak wilayah mereka (Maungdaw, Buthidaung, dan sebagian dari Rathedaung)
menjadi bagian dari the state of Arakan. Muslim di ketiga wilayah ini menempati
posisi mayoritas. Oleh karenanya, menurut anggapan mereka, menyatukan Islam
163 Ibid. hlm. 156.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
dengan Budha Arakan ke dalam satu negara bagian, sama artinya dengan
mengundang pertumpahan darah baru.164
Pandangan muslim di Akyab dan di wilayah Arakan lainnya, tempat muslim
menjadi minoritas, tentang rencana pembentukan negara bagian Arakan, lebih
kompleks lagi. Mereka tidak keberatan dengan ide pembentukan negara bagian
Arakan sepanjang ada jaminan hak-hak muslim di dalam konstitusi maupun
praktiknya sehari-hari. Mereka juga menuntut persamaan hak, baik Budha maupun
muslim Arakan secara bergiliran menduduki posisi sebagai kepala negara bagian
Arakan. Bila kepemimpinan dipegang oleh umat Islam, maka wakilnya Budha.
Demikian pula dengan posisi Dewan Negara bagian, bila ketuanya Budha, maka
wakilnya dari umat Islam. Begitu seterusnya, setiap mendudukkan personel dalam
jabatan-jabatan penting di pemerintahan, diatur secara bergantian antara umat Islam
dan Budha.165
Mereka juga mengusulkan pada pemerintah Rangoon agar sepertiga dari
jabatan kementerian dipegang muslim. Begitu pula halnya dalam menempatkan figur-
figur yang menjalankan pemerintahan negara bagian, suara delegasi muslim harus
didengar terlebih dulu. Jumlah kaum muslim yang menduduki posisi penting di
pemerintahan, kementerian, parlemen harus proporsional sesuai dengan prosentase
jumlah muslim secara keseluruhan.166
164 Ibid. 165 Ibid. hlm. 157. 166 Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Pada 1 Mei 1961, pemerintah Rangoon membentuk daerah perbatasan Mayu
(Mayu Frontier) yang meliputi Maungdaw, Buthidaung, dan bagian barat
Rathedaung. Daerah tersebut merupakan wilayah administratif militer, bukan
merupakan suatu pemerintahan otonom. Namun, karena pembentukan zona militer ini
tidak menjadikan Arakan sebagai subordinat dari pemerintah Rangoon, pemimpin-
pemimpin Rohingya dapat menyetujuinya. Persetujuan ini tampak, khususnya setelah
pemerintahan administratif militer yang baru berhasil menekan pemberontakan-
pemberontakan lokal dan memulihkan keamanan dan perdamaian di wilayah
Mayu.167
4.3 Gerakan Muslim Rohingya Masa Pemerintahan Ne Win
Pemerintah AFPFL (Anti-Fascist People’s Freedom League) mengirimkan
Burma Territorial Force (BTF) yang dipimpin oleh Mayor Tha Kyaw untuk
menghentikan gerakan Mujahid. Akhirnya, Mujahid termasuk pemimpinnya, Cassim,
melarikan diri ke Pakistan Timur dan pada tahun 1959 gerakan Mujahid tidak
berjalan.168
Awal 1962, pemerintah mengajukan draft pembentukan negara bagian Arakan
tanpa memasukkan wilayah Mayu ke dalamnya. Namun, sesudah terjadi kudeta di
bawah pimpinan Ne Win pada Maret 1962, rezim baru Burma tersebut membatalkan
rencana pembentukan negara bagian Arakan dan membubarkan gerakan Mujahid. 167 Ibid. 168 Tha, Loc. Cit.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Hingga kini, cita-cita untuk membentuk wilayah Arakan yang otonom masih
terkatung-katung. Arakan tetap berada di bawah kontrol represif dari pemerintahan
militer Burma.169
Partai militer Burmese Socialist Programme Party (BSPP) telah mengekang
kebebasan seluruh rakyat Burma, membatasi gerak politik dan melarang publikasi
apapun yang bernada antipemerintah. Penduduk dihalang-halangi untuk bepergian ke
daerah-daerah tertentu, dan jarang sekali diberi paspor untuk ke luar negeri. Semua
industri dan bank-bank dinasionalisasikan dan dilakukan pengawasan yang sangat
ketat terhadap perdagangan oleh pemerintah. Semua hal tersebut dilakukan dengan
alasan akan membawa Burma ke dalam sosialisme.
Jenderal Ne Win membuat sebuah perencanaan yang bertujuan mengusir
setiap orang yang beragama Islam keluar dari Burma. Umat Islam yang masih tersisa
diintegrasikan ke dalam masyarakat Budha. Partainya mengadakan suatu propaganda
besar-besaran yang bertujuan menuduh orang-orang Islam sebagai unsur-unsur yang
antipemerintah. Mereka mengatakan bahwa umat Islam merupakan orang asing di
negara itu meskipun pada kenyataannya mereka telah bergenerasi-generasi tinggal di
sana. Pihak militer dan alat-alat kekuasaan negara lainnya diperintahkan untuk
menghancurkan segala yang berbau Islam dalam masyarakat, dengan melakukan
segala bentuk penindasan di bidang sosial, politik, ekonomi, dan pendidikan.
169 Riza Sihbudi, dkk., Op. Cit., hlm. 158.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
4.3.1 Rohingya Independence Force (RIF) dan Perkembangannya
Umat Islam di Arakan terperangkap di antara situasi yang tidak pasti. Banyak
warga muslim yang mengalami kesulitan untuk membuktikan status
kewarganegaraan mereka dan takut akan hak mereka untuk menetap di dalam negeri.
Seorang mantan mahasiswa dari Universitas Rangoon, Muhammad Jafar Habib,
mereformasi gerakan Mujahid dengan nama baru, Rohingya Independece Force pada
26 maret 1963 di Maungdaw, Arakan Utara.170 Mengikuti jejak pendahulunya,
Mujahid, RIF merupakan gerakan sebagai bentuk protes terhadap kudeta militer Ne
Win dan pelarangan organisasi muslim seperti Rohingya Students Union dan
Rohingya Youth League. Sedikit sekali yang diketahui mengenai RIF, akan tetapi
laporan mengenai kontak senjata dengan pihak pemerintah kadang kala muncul ke
media.171 Tahun 1969, RIF berubah nama menjadi Rohingya Independence Army
(AIR) dipimpin oleh Jafar Habib.172
Pada tanggal 12 September 1973 berdiri Rohingya Patriotic Front (RPF)
dengan pemimpinnya Jafar Habib di Sack Dala. Organisasi ini merupakan perubahan
dari Rohingya Independence Army (AIR). Setelah kemerdekaan Bangladesh, banyak
terjadi perubahan di RPF dan akhirnya, pada Juni 1974, RPF direkonstruksi, dipimpin
oleh Jafar Habib, Presiden Nurul Islam, Wakil Presiden, dan Sekretaris Umum
170 Smith, Op. Cit., hlm. 219. 171 Selth, Op. Cit., hlm. 15. 172 Rohingya politics, (22 Februari 2006, 20.00), terdapat di situs http://www.rohingya.com/rohi/index.htm
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Shabbir Hussain. Tujuan organisasi ini sama dengan organisasi sebelumnya, yaitu
membentuk negara otonomi Islam.173
Gerakan yang terinspirasi oleh munculnya semangat pan-islamisme di dunia
ini, mengkampanyekan ketidakadilan yang dirasakan oleh muslim di Arakan. Namun,
gerakan ini hanya mendapat sambutan yang kecil dan akhirnya terpecah ke dalam
beberapa faksi.174
Pakta dengan Rohingya Patriotic Front disetujui pada 1973. Walaupun
kelompok mujahid dapat mempersenjatai beberapa ratus penduduk muslim dengan
bantuan Bangladesh sepanjang sungai Naaf, secara militer perjanjian ini tidak terlalu
signifikan.175
Sementara itu, Zafar Sani mereorganisasi unit gerilya diantara komunitas
muslim di wilayah agak ke utara sepanjang sungai Naaf. Pada awalnya, kelompok
muslim National Liberation Party yang dipimpin oleh Sani bekerja di antara aliansi
dengan Rakhine ‘Nationalist’ Front, Communist Party of Arakan (CPA), dan Arakan
National Liberation Party (ANLP). Melimpahnya supply senjata selama perang
kemerdekaan Bangladesh, membuat kelompok muslim National Liberation Party
menjelma menjadi kelompok pengacau nomor dua di negara tersebut setelah
Communist Party of Burma (CPB), tahun 1970.176
173 Ibid. 174 Selth, Op. Cit. 175 Smith, Op. Cit., hlm. 241. 176 Ibid. hlm. 219.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Pada 1982, salah satu faksinya membentuk Rohingya Solidarity Organisation
(RSO), dan kemudian sempalannya membentuk Arakan Rohingya Islamic Front
(ARIF) pada 1986. Keduanya berkedudukan di selatan Bangladesh.177
Organisasi-organisasi ini merupakan organisasi yang didirikan sebagai bentuk
perlawanan terhadap pemerintah yang tak henti-hentinya melakukan penindasan.
Salah satu dampak dari pemberontakan di Arakan adalah semakin bangkitnya
kesadaran untuk memperjuangkan Arakan sebagai wilayah otonom bagi muslim
Rohingya. Kendati perlawanan kekerasan tak memberikan hasil optimal,
pemberontakan itu tetap memberikan efek politik di lingkungan muslim Burma, yaitu
kesadaran tentang otonomi Arakan.178
Menanggapi perlawanan di wilayah Arakan, di samping melakukan
penyerangan militer, pemerintah juga sempat beberapa kali bernegoisasi. Pemerintah
tidak mampu menumpas habis gerakan ini, terutama karena kendala geografi.
Sebaliknya, pemberontakan muslim Rohingya tidak kunjung menjadi besar. Hal itu
karena di antara mereka sendiri cenderung terpecah ke dalam kelompok-kelompok
kecil.
177 Selth, Op. Cit., hlm. 15. 178 Riza Sihbudi, dkk., Op. Cit., hlm. 155.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
4.4 Operasi Naga Min
Pada tahun 1978, pemerintah Burma melancarkan operasi militer untuk
mengusir muslim Rohingya dari Arakan. Mereka dianggap sebagai komunitas ilegal
di tanah kelahiran mereka sendiri. Operasi yang disebut dengan nama Operasi Naga
Min (Dragon King Operation/Operasi Raja Naga) ini telah memaksa 200.000 muslim
Rohingya mengungsi ke negara Bangladesh untuk melarikan diri dari
penganiayaan.179 Padahal, saat itu jumlah penduduk yang bermukim di Bangladesh
sudah mencapai 156.630 orang.180 Operasi tersebut meliputi relokasi paksa muslim
disertai pemerkosaan, pembunuhan, dan penggusuran masjid.181
Setelah melalui perundingan dan bantuan Komisi Tinggi PBB untuk
pengungsi, Burma menerima kembali 186.965 muslim Rohingya untuk menetap di
Arakan, di bawah perjanjian Decca pada tahun 1979.182 Akan tetapi, rezim yang
berkuasa saat itu menyalahkan semua kekacauan kepada orang-orang Bengal.
Menurut mereka, yang menyebabkan kekacauan dan yang menyerang desa Budha di
Arakan dilakukan oleh “kelompok bersenjata Bengal”, “kelompok perampok
Bengal”, dan, “ekstremis Islam”. Sejak saat itu, ribuan orang Islam Burma terus
mengungsi ke berbagai negara, seperti Pakistan, Mesir, dan negara-negara Arab
lainnya. Mereka dianggap sebagai “Palestina Baru” di Asia.183
179 Selth, Op. Cit., hlm. 12. 180 Tha, Loc. Cit. 181 Selth, Op. Cit. 182 Tha, Loc. Cit. 183 Smith, Op. Cit., hlm. 241.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
4.5 Undang-Undang Kewarganegaraan 1982
Tidak lama setelah operasi Naga Min berlangsung, pada tahun 1982, penguasa
militer Burma mengeluarkan sebuah dekrit tentang Undang-Undang
Kewarganegaraan Burma.184 Di dalam undang-undang tersebut, muslim Rohingya
dicoret hak kewarganegaraannya dan mereka menjadi tidak mempunyai negara
(stateless).185 Ne Win memaklumatkan bahwa muslim Rohingya adalah rakyat tanpa
negara (people without state).186
Padahal, status warga negara sangat penting bagi penduduk muslim Rohingya.
Dengan memperoleh status warga negara, mereka bisa memperoleh kemudahan
sosial, pendidikan, dan kesehatan. Kebijakan itu telah menyebabkan kaum muslim
Rohingya semakin mengalami penindasan, penyiksaan, tekanan, dan kematian di
tangan penguasa tirani militer Burma. Pembunuhan yang tidak terhitung jumlahnya,
pelecehan terhadap wanita Islam, tindakan penangkapan yang sewenang-wenang,
pengurungan dalam penjara, serta perlakuan dengan cambuk, sampai hukuman mati
yang semena-mena.187 Selain itu, pemerintah juga menghilangkan segala ciri yang
berbau keislaman. Sehingga, muslim Rohingya dilarang untuk memelihara janggut,
memakai kopiah dan penutup kepala yang lain, serta memakai jilbab (tutup kepala
184 Riza Sihbudi, dkk., Op. Cit. hlm. 52. 185 Ibid. hlm. 89. 186 “Apa Salah Kami Sebagai Muslim?” (7 Maret 2006, 13.07), terdapat di situs http://www.eramuslim.com/br/dn/34/6244,1,v.html187 Riza Sihbudi, dkk., Op. Cit. hlm. 89.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
bagi wanita). Akibatnya, sekitar 20.000 muslim Rohingya dibunuh oleh rezim militer
di antara tahun 1962 sampai tahun 1984.188
188 Zaman kegelapan Islam dan Ketibaan Era Kebangkitan Islam, “Burma Penduduk Yang Berhadapan Dengan Kezaliman Penganut Budha”, (22 Februari 2006, 19.30), Diambil dari situs http://www.harunyahya.com/malaysian/buku/kebangkitanislam/kebangkitanislam19.php
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
BAB 5
KESIMPULAN
Muslim Rohingya merupakan muslim minoritas yang tertindas sejak tahun
1942 oleh masyarakat mayoritas Budha dan pemerintah. Kelompok muslim yang
tinggal di Arakan ini memulai pemberontakannya akibat tekanan yang
berkepanjangan setelah Burma meraih kemerdekaannya tahun 1948. Muslim
Rohingya sebagai muslim minoritas hampir tidak pernah merasakan kehidupan yang
layak. Penindasan-penindasan seakan sudah akrab dalam kehidupan mereka. Sejak
Burma merdeka sampai pemerintahan junta militer, muslim Rohingya selalu
diperlakukan tidak adil oleh mayoritas Burma. Agama Islam dianggap bukan agama
asli Burma. Sedangkan penganutnya, muslim Rohingya, dianggap sebagai imigran
ilegal yang datang dari Chittagong (Pakistan Timur). Berbagai hak individu muslim
Rohingya dirampas oleh orang-orang Budha Arakan dan pemerintah.
Dengan berbagai tekanan, muslim Rohingya pun melakukan perlawanan atas
kekerasan yang mereka terima. Mereka menuntut kepada pemerintah untuk
menjadikan Arakan Utara (Buthidaung, Maungdaw, dan sebagian Rathedaung)
sebagai wilayah otonomi bagi muslim Rohingya di bawah pemerintahan Burma
terlepas dari dominasi mayoritas umat Budha. Namun, tuntutan ini tidak dipenuhi
oleh pemerintah Burma. Akibat kekecewaan dan tekanan yang dialami muslim
Rohingya, mendorong mereka untuk melakukan pemberontakan. Pemberontakan pun
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
semakin berkembang ketika banyak tokoh-tokoh Rohingya, seperti Jafar Kawal dan
Cassim turut mengobarkan semangat untuk menuntut keadilan bagi muslim
Rohingya.
Pemberontakan muslim Rohingya selama dua periode pemerintahan Burma,
masa U Nu (1948 – 1962) dan masa Ne Win (1962 – 1988) mengalami perbedaan
motif penyebab terjadinya penindasan oleh kedua pemerintah tersebut. Pada masa
pemerintahan U Nu muslim Rohingya ditindas oleh mayoritas Budha karena muslim
Rohingya menganut agama Islam, agama yang dianggap bukan agama asli Burma.
Sedangkan pada masa pemerintahan junta militer, muslim Rohingya ditindas karena
sistem pemerintahan junta militer yang mengeluarkan berbagai kebijakannya yang
sangat merugikan muslim Rohingya.
Pada masa pemerintahan U Nu pihak yang bertikai adalah muslim Rohingya
sebagai muslim minoritas yang tertindas dan mayoritas Budha sebagai pihak yang
mendominasi. Konflik antar kedua kelompok ini dikarenakan kedudukan muslim
Rohingya yang diambil alih oleh mayoritas Budha setelah Burma merdeka, muslim
Rohingya dianggap sebagai masyarakat asing penganut agama Islam yang datang ke
Arakan sebagai imigran ilegal dari Chittagong (Pakistan Timur). Atas alasan tersebut
mayoritas Budha merampas hak-hak muslim Rohingya dan melakukan tindakan
represif terhadap muslim Rohingya.
Sedangkan pada masa pemerintahan Ne Win, pihak yang bertikai adalah
muslim Rohingya dengan gerakan Mujahid, Rohingya Independence Front, dan
gerakan-gerakan yang lainnya yang dipimpin oleh Jafar Kawwal, Cassim, Jafar
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Habib, Zafar Sani, dan pemerintah junta militer Burma yang dipimpin oleh Jenderal
Ne Win. Pemerintah yang menganut sistem militer merupakan pemerintah yang
berkuasa dengan cara paksaan dan tekanan dengan kekuatan militer dan kebijakan-
kebijakan sepihak. Dengan alasan ingin memperbaiki pemerintahan U Nu yang
dianggap telah gagal menjalankan pemerintahan karena pada saat itu Burma
mengalami kekacauan politik akibat merebaknya aksi-aksi pemberontakan oleh
gerakan separatis yang banyak dilancarkan oleh kelompok komunis dan kelompok
minoritas, Ne Win mengambil alih kekuasaan pemerintah. Namun, ketika
pemerintahan dikuasai Ne Win, Burma semakin mengalami kekacauan. Tekanan-
tekanan yang dilakukan pemerintah militer dengan tujuan untuk menjadikan Burma
sebagai negara sosialis malah membuat rakyat Burma semakin menderita, terutama
muslim Rohingya. Gerakan Mujahid setelah Ne Win berkuasa dibubarkan. Muslim
Rohingya yang lain semakin mengalami penderitaan akibat penindasan yang tidak
berperikemanusiaan. Setelah pembubaran gerakan Mujahid, berdirilah gerakan-
gerakan lain sebagai wadah aspirasi muslim Rohingya yang memiliki tujuan yang
sama dengan Mujahid, menuntut wilayah otonomi Islam untuk daerah Arakan Utara.
Pertentangan atau konflik merupakan akibat dari tajamnya perbedaan-
perbedaan misalnya menyangkut perbedaan ras atau etnis. Akibat dari pertentangan
diantaranya adalah tambahnya solidaritas in-group. Apabila suatu kelompok
bertentangan dengan kelompok lain, maka solidaritas antar warga kelompok biasanya
akan bertambah erat. Mereka bahkan bersedia berkorban demi keutuhan
kelompoknya. Hal ini terbukti pada muslim Rohingya yang saling bekerja sama
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
membentuk suatu gerakan untuk mempertahankan komunitas mereka yang
berdampak semakin eratnya hubungan antara muslim Rohingya untuk mencapai
tujuannya.
Muslim Rohingya merupakan komunitas yang terasing, baik karena kondisi
geografi Arakan yang terisolir maupun kebijakan pemerintah pusat yang sengaja
mengasingkan diri dari dunia internasional. Dalam ilmu sosiologi keterasingan dapat
disebabkan karena pengaruh perbedaan ras atau kebudayaan yang kemudian
menimbulkan prasangka-prasangka. Muslim Rohingya merupakan muslim keturunan
Bengal yang penerus-penerusnya menetap dan menjadi bagian dari warga Arakan.
Namun, walaupun mereka telah bergenerasi-generasi tinggal di Arakan, muslim
Rohingya tetap dianggap sebagai masyarakat asing yang datang dari negara Pakistan
sebagai imigran ilegal sehingga mereka mengalami ketidakadilan atas agama, suku
dan posisi mereka sebagai kelompok minoritas.
Keterasingan ini mengakibatkan putusnya komunikasi dengan dunia luar
serta sulitnya mengadakan suatu interaksi sosial. Begitu pula yang terjadi dengan
muslim Rohingya, selama puluhan tahun tertindas mereka tak dapat
mengkomunikasikan apa yang mereka alami kepada masyarakat luas sehingga
kejadian yang tak berperikemanusiaan itu pada umumnya tidak mendapat perhatian
dari dunia luar.
Tahun 1995 dua organisasi Rohingya, Arakan Islamic Front (ARIF) dan
Rohingya Solidarity Organization (RSO) bersatu dalam satu aliansi, yaitu Rohingya
National Alliance (RNA). Organisasi ini bekerja sama dalam semua bidang, politik,
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
militer, sosial budaya, dan pendidikan. Selain organisasi-organisasi tersebut terdapat
organisasi lain, seperti Rohingya Liberation Organization (RLO) dan Ittihadul
Mozahidin of Arakan (IMA). Pada tahun 1999, kembali dibentuk Arakan Rohingya
National Organisation (ARNO), sebuah wadah organisasi bagi aspirasi muslim
Rohingya.
Dalam gerakan ini muslim Rohingya tidak mendapatkan bantuan dari negara
luar, hanya sedikit campur tangan dari negara tetangga, Bangladesh, yang banyak
menerima pengungsi asal Arakan ini. Namun, dikarenakan ketertutupan negara
Burma terhadap dunia internasional, tidak banyak yang bisa dilakukan negara-negara
luar untuk membantu masalah ini. Muslim Rohingya harus berjuang sendiri tanpa
bantuan dari luar negeri. Badan internasional pun tidak banyak membawa perubahan.
Walaupun organisasi PBB dan negara-negara lain telah meminta pihak pemerintah
Burma untuk merubah sikap mereka terhadap warganya, mereka tidak pernah
merubah sikapnya yang diktator.
Sejak Burma merdeka sampai Ne Win tidak lagi menjadi pemimpin Burma,
tuntutan muslim Rohingya hanya tinggal tuntutan, sekedar keinginan yang tidak
pernah terpenuhi. Hal itu terlihat pada konvensi bangsa Rohingya yang terbentuk
pada tanggal 14 – 16 Mei 2004. Diantara isi deklarasi tersebut adalah menyatakan
bahwa Rohingya merupakan salah satu etnis kebangsaan Burma, dan mereka
memiliki hak-hak tersendiri serta mengecam pemerintah Burma karena telah
membatasi gerakan kebebasan sosial, ekonomi, kebudayaan dan aktivitas keagamaan
Rohingya. Namun, deklarasi ini tidak membawa pengaruh banyak terhadap nasib
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
muslim Rohingya, mereka tetap ditindas oleh junta militer yang masih terus berkuasa
di Burma. Hal tersebut terbukti pada 26 April 2006 ditemukan sebuah kapal yang
mengangkut 77 warga muslim Rohingya terdampar di Pulau Rondo, Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Mereka terpaksa meninggalkan negaranya untuk
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, karena selama ini di Myanmar mereka
sangat sulit memperoleh pekerjaan. Kelompok yang semula ingin menuju ke
Malaysia ini mengaku tidak ingin kembali ke negara asal mereka. Namun, setidaknya
dampak dari konvensi bangsa Rohingya tersebut, dunia telah mengetahui apa yang
telah terjadi selama ini terhadap muslim Rohingya. Muslim Rohingya sendiri bisa
memberikan banyak informasi tentang keadaan mereka melalui organisasi Arakan
Rohingya National Rohingya (ARNO), organisasi muslim Rohingya yang terus
berjuang sampai sekarang. Sampai saat ini perjuangan muslim Rohingya untuk
memenuhi tuntutannya tidak pernah berhasil, tuntutan mereka tidak pernah mencapai
titik hasil yang signifikan.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
BIBLIOGRAFI
Buku Abdullah, Taufik. “Islam Kontemporer di Myanmar,” Ensiklopedi Tematis Dinamika
Masa Kini (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 312 - 313. Alfian. Militer Dan Politik Pengalaman Beberapa Negara. Djakarta: Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, 1970. Esposito, John L. “Myanmar,” Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern (Bandung:
Mizan, 2001), hlm. 139 - 140. Christie, Clive J. A Modern of History Southeast Asia: decolonization, nationalism
and separatism. London: Tauris Academic Studies an imprint of I.B. Tauris Publisher, 1996.
Henderson, John W. dkk. Area Hand Book for Burma. Amerika: Foreign Area
Studies The American University, 1971. Muzani, Saiful. Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Jakarta:
Pustaka LP3ES, 1993. Nordlinger, Eric A. Militer Dalam Kekuasaan Kudeta Dan Pemerintahan, terj. Drs.
Sahat Simamora, Jakarta: Rineka Cipta, 1990. Salim, Peter Drs., dan Yenny Salim. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta:
Modern English Press, 1991. Santoso, Thomas. Teori-Teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002. Saung, Aye. Catatan-Catatan Dari Bawah Tanah: Otobiografi Pemberontakan
Burma. Terj. Nurul Agustina, Jakarta: LP3ES, 1991. Selth, Andrew. Burma’s Muslims: Terrorists or Terrorised ?. Canberra: Strategic and
Defence Studies Centre The Australian National University, 2003.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Sihbudi, Riza. Dkk. Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara: kasus Moro, Pattani, dan Rohingya. Jakarta: PPW-LIPI, 2000.
Smith, Martin. BURMA: Insurgency and The Politics of Ethnicity. NewYork: St.
Martin’s Press, 1991. Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1998. Tinker, Hugh. The Union of Burma. London: Oxford University Press, 1967.
Artikel Harian
Priyambudi. “Myanmar Yang penuh Pergolakan,” Suara Pembaruan, 29 Mei, 1990. Tempo, 1 Juli, 1989.
Media Online
“The World Fact Book, Burma,” (7 Maret 2006, 13.14), terdapat di situs http://www.cia.gov/cia/publications/factbook/geos/bm.html
Mohammed Ashraf Alam, “A Short Historical Background,” (7 Maret 2006, 12.57),
terdapat di situs http://www.rohingyatimes.i-p.com/history/history_maa.html Kyaw Zan Tha, “Background of Rohingya Problem,” (22 Februari 2006, pukul
19.35), terdapat di situs http://rakhapura.com/read.asp?id=4&a=scholarscolumn “Rohingya politics,” (22 Februari 2006, 20.00), terdapat di situs
http://www.rohingya.com/rohi/index.htm Abdul Mabud Khan, “The Liberation Struggle in Arakan,” (7 Maret 2006, 13.10)
terdapat di situs http://www.rakhapura.com/read.asp?id=15&a=scholarscolumn
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Lampiran 1
Peta Burma
Sumber:
Facts About Burma, 1983.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Lampiran 2
Peta Arakan
Sumber:
Facts About Burma, 1983.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Lampiran 3
Peta State dan Division Burma
Sumber:
Facts About Burma, 1983.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Lampiran 4
Peta Negara-Negara Tetangga Burma
Sumber:
Facts About Burma, 1983.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Lampiran 5
Deklarasi Konvensi Bangsa Rohingya
Press Release:
THE ROHINGYA NATIONAL CONVENTION
The Rohingya National Convention was held on 14-16 May 2004. It was participated
by Arakan Rohingya National Organisation (ARNO), Burmese Rohingya Association
in Japan (BRAJ), Burmese Rohingya Community in Australia (BRCA), exiled
leaders of the National Democratic Party for Human Rights (NDPH), Students and
Youth League for Mayu Development (SLMD), National League for Democracy
(NLD) in Arakan, and other organizations and leaders from inside and outside Arakan
– including Rohingya Youth Development Forum (RYDF), Arakan Human Rights
Organization (AHRO), Ex.MPs, Rohingya elites from Bangladesh, academics and
professionals, religious and community leaders, youth and student leaders, refugee
leaders and social welfare activists.
The Convention has formed a “Working Committee” with the participants for
building consensus and drafting Arakan State constitution, in a manner consistent to
democracy and federalism. It has expressed total support and solidarity with the
Arakan Rohingya National Organisation (ARNO) entrusting all matters of national
interest to it.
Following is the Declaration of the Convention in abridged form:
The Rohingya are an indigenous people in Arakan and, therefore, are one of the many
ethnic nationalities of the Union of Burma entitled to the “right of self-
determination”.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
The Convention has called for unity and combined efforts of all peoples of the
country for establishing a genuine Democratic Federal Union of Burma that will
ensure political self-determination, self-identification, democracy, equality, justice
and human rights to all, including the ethnic Rohingya. Meanwhile, the Convention
has deplored the policy of ‘exclusiveness’ practiced by some Rakhaing political party
leaders and individuals to keep the Rohingya politically marginalized and has urged
upon them to work together to find the best solution for our future generation.
The Convention has expressed its deep concern over the SPDC sponsored sham
National Convention of 17 May 2004.The only real route to national reconciliation
and political reform in Burma is a “tripartite dialogue” with the junta, the democratic
oppositions and ethnic nationalities as called for annually by the United Nations since
1994. The Convention has expressed its support to the decisions of the NLD and
United Nationalities League for Democracy (UNLD) with Shan Nationalities League
for Democracy (SNLD) not to participate in the SPDC’s National Convention.
The Convention has expressed its support to the NDPH and Kaman National league
for Democracy (KNLD) and all other election winning parties in Arakan, and urges
upon them to work together on the basis of mutual respect and benefit.
The Convention has urged upon the international community and host countries,
including Bangladesh, to help the refugees from Burma continue their peaceful living
in their present places of refuge on humanitarian ground. The Convention has also
urged upon Bangladesh to play a ‘Key role’ for a permanent solution of the Rohingya
problem.
The Convention has welcomed the continued sanction of the US and EU against the
SPDC and has urged upon them to take tougher political and economic sanctions
unless it initiates meaningful progress toward democracy. The Convention has also
urged the neighboring China, India, Bangladesh and ASEAN countries to mount
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
effective pressure against the SPDC for the restoration of democracy and human
rights in Burma, in the interest of peace and stability in the region.
The Convention has strongly condemned the continuing human rights violations on
the Burmese people and democracy activists, particularly in areas of ethnic
nationalities and Arakan; and it has called upon the junta to stop treating the
Rohingya as animals and ensure their rights and freedom.
The Convention has strongly condemned the SPDC’s state terrorism upon Daw Aung
San Suu Kyi and her supporters at Depayin on 30 May 2003 and has demanded for an
impartial investigation into the massacre, take action against perpetrators, and
immediately release Daw Aung San Suu Kyi and all political prisoners, including the
student leader Min Ko Naing now in Akyab jail.
The Convention has stressed that people of Arakan with the indigenous Rohingya
have complete right and ownership of the resources, gas and petroleum in their
backyard or under their feet and it has condemned the SPDC for selling the gas to
serve its own purposes, without informed consent of the people, which does not
benefit the people.
Abul Faiz (a) AFK Jilani
Chairman
Rohingya National Convention
Arakan, Burma.
Dated: 18 May 2004
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
DECLARATION OF THE ROHINGYA NATIONAL CONVENTION
Arakan, also known as Rohang, had been a sovereign independent kingdom for many
centuries. Burman invaded and occupied it 1784. Then the British imperialist
colonized our homeland in 1824. They transferred the “sovereignty’ over Arakan to
Burma at the time of Burmese independence in January 1948.
Arakan is a land with a population of diverse, ethnic, linguistic, cultural and religious
identities. Rakhaing and Rohingya are the two major indigenous peoples of Arakan.
There are other ethnic races distributed among Chin, Kaman, Thet, Dinnet,
Mramagri, Mro and Khami etc.
Throughout the Burmese rule, the Rohingya are under endless tyranny. Campaigns of
terror, genocide, ethnic cleansing, extermination and other grave human rights
violations have been perpetrated against them in a systematic and planned way.
The Rohingya tried to redress their grievances by peaceful means. But their non-
violence resistance was met with premeditated and planned government and state
sponsored terrorism directed towards annihilating the Rohingya population. So, the
Rohingya first embarked on freedom movement for their “right of self-
determination” soon after the Burmese independence in 1948. The current movement
is but the continuation of the Rohingya people’s long and heroic struggle.
The Rohingya National Convention was held on 14-16 May 2004 in a place on the
border area. It was a long felt national conference of the Rohingya people,
participated by Arakan Rohingya National Organisation (ARNO), Burmese Rohingya
Association in Japan (BRAJ), Burmese Rohingya Community in Australia (BRCA),
exiled leaders of the National Democratic Party for Human Rights (NDPH), Students
and Youth League for Mayu Development (SLMD) and National League for
Democracy (NLD) in Arakan, and other organizations and leaders from inside and
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
outside Arakan -- including Rohingya Youth Development Forum (RYDF), Arakan
Human Rights Organization (AHRO), Ex. Members of the Parliament (MPs),
Rohingya elites from Bangladesh, academics and professionals, religious and
community leaders, youth and student leaders, refugees leaders and social welfare
activists. A number of Rohingya groups and individuals from home and abroad,
particularly from USA, Canada, France, Netherlands, KSA, UAE, Pakistan, Thailand
and Malaysia sent their messages expressing their solidarity with the Convention.
The delegates and participants discussed on the current political developments and
process and other important issues and problems relating to Arakan and its peoples,
particularly matters of Rohingya’s concern.
The Convention expressed its total support and solidarity with Arakan Rohingya
National Organisation (ARNO) entrusting all matters of national interest to it.
The Convention formed a “Working Committee” with the participants for building
consensus and drafting Arakan State Constitution, in a manner consistent to
democracy and federalism.
The Convention unanimously issued a Declaration as follows:
(1) The Rohingya are an indigenous people in Arakan and, therefore, are one of the
many ethnic nationalities of the Union of Burma. The Rohingya -- having a
supporting history, separate culture, civilization, language and literature, historically
settled territory and reasonable size of population and area -- consider themselves
distinct from other sectors of the society and are determined to preserve, develop and
transmit to future generations their ancestral history, and their ethnic identity, as the
basis of their continued existence as people, in accordance with their own cultural
pattern, social institution and legal system.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
(2) The Rohingya have the right to ‘self-determination’ by virtue of which they have
the right of whatever degree of autonomy they choose. The concept of the Rohingy’s
‘self-determination’ is to charter the future of the Rohingya and that of their
generation to come under genuine federalism of the Union of Burma.
(3) The Convention stresses the need for unity among all the peoples of Arakan and
Burma, irrespective of language, culture, religion and ethnic background, for
establishing a genuine Democratic Federal Union of Burma that will ensure political
self-determination, self-identification, democracy, equality, justice and human rights
to all.
(4) The Convention deplores the policy of ‘exclusiveness’ being practiced by some
Rakhaing political party leaders and individuals to keep the Rohingya politically
marginalized and urges upon them to shun from inflammatory writings, speeches and
activities against the Rohingya, in the interest of the all people of Arakan. Such
practice that leads to confrontation rather than co-existence cannot be done without
doing injustice to the composite nature of the Arakan society. Let’s come forward
with a commitment for both unity and diversity, a respect for difference, willingness
to share power. Replace hatred with love and affection, because the third party
preaches the hatred. Let’s replace the policy of confrontation and destruction with
cooperation, peace and development and let’s work together to find the best solution
for our future generation.
(5) The Convention expresses its solidarity with all Burmese oppositions, democratic
forces and ethnic nationalities and aspires to work together with Members of the
Parliament Union (MPU), United Nationalities League for Democracy (UNLD)
Ethnic Nationalities Council (ENC), National Democratic Front (NDF), National
Council of the Union of Burma (NCUB), and National Coalition Government of the
Union of Burma (NCGUB).
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
(6) The Convention expresses its support to the 1990 General Elections results and
National League for Democracy (NLD) whose parliamentarians won an
overwhelming victory and its leader Daw Aung San Suu Kyi and other political and
ethnic parties, including the National Democratic Party for Human Rights (NDPH)
and Kaman National League for Democracy (KNLD).
(7) The Convention expresses its concern over the SPDC sponsored sham National
Convention to be held, on 17 May 2004, only with its handpicked persons, without
regards to democratic norms. This unauthentic convention is liable to be condemned
nationally and internationally. There would be no genuine indication of democratic
changes and national reconciliation in Burma while the military regime continues to
keep political prisoners and suppress basic freedom. The SPDC Roadmap has yet to
be manifested by real and tangible changes on the ground towards a genuinely free,
transparent, and an inclusive process involving all political parties, ethnic
nationalities, including Rohingya, and elements of civil society. The only real route to
political reform in Burma is a ‘tripartite dialogue’ with the junta, the democratic
oppositions and ethnic nationalities as called for annually by the United Nations since
1994. Without ‘tripartite dialogue’ there is little hope for national reconciliation and,
there will be no peaceful resolution of crisis in the Union.
The Convention supports the decisions and actions of the NLD and UNLD, including
Shan National League for Democracy (SNLD), not to participate in the sham
convention.
(8) The Convention strongly condemns the SPDC’s state terrorism upon Daw Aung
San Suu Kyi and her supporters at Depayin on 30 May 2003, in which hundreds of
people were reportedly killed and injured. In contradiction to its slogan about national
harmony and unity, the SPDC is practicing violence and terrorism to oppress and
subjugate the country’s democracy activists and ethnic nationalities. The Convention
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
demands for an immediate and impartial investigation into the massacre and take
action against perpetrators. It also calls upon the SPDC to immediately release Daw
Aung San Suu Kyi and all political prisoners across the country, including the ailing
student leader Min Ko Naing now in Akyab jail.
(9) The Convention welcomes and thanks the United States and European Union for
their renewal and continued sanction against the SPDC. In view of the absence of
tangible and substantial efforts and measurable progress toward transition to
democracy, the Convention urges upon the international community to take tougher
political and economic sanctions against SPDC. In this connection, the US and EU
may formally place the issue on the agenda of the U.N. Security Council, and work
urgently toward a resolution threatening credible sanctions against the Burmese
regime unless it initiates meaningful progress toward democracy.
(10) The Convention notes that there are huge number of refugees from Burma
sheltering in all neighboring countries and urges upon the international community,
UN with UNHCR, and the host countries to help them continue their peaceful living
on humanitarian ground.
Since 1948 about 1.5 million Rohingyas have been expelled or have fled the country
for their lives. Many of these uprooted people are taking shelter in Bangladesh,
Pakistan, Saudi Arabia, UAE, other Middle-East countries, Thailand and Malaysia.
They are still waiting to return to their ancestral homeland of Arakan with dignity and
honor.
(11) The Convention expresses its serious concern over the continuing human rights
violations on the Burmese people and democracy activists, particularly on the
Rohingya and in areas of ethnic nationalities. Crimes like extra judicial killings,
summery executions, arbitrary arrests and torture, humiliating restriction on the
movement, forced labor, forced relocation, confiscation of properties, destruction of
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
settlements and places of worship, mosques and religious schools are being
perpetrated. Rapes and molestation of womenfolk have become the unwritten but
institutionalized code of punishment by the military junta. The Convention calls upon
the SPDC to stop forthwith all its heinous actions against the people.
(12) The Convention strongly condemns the SPDC for its continued humiliating
restrictions on the freedom movement and other socio-economic, cultural and
religious activities of the Rohingya. The movement restriction imposed on the
Rohingya is not acceptable to any living creatures on earth. The Convention calls
upon the junta to stop treating the Rohingya as animals and ensure their human rights
and freedom.
(13) The Convention proclaims that the people of Arakan with the indigenous
Rohingya have the right to own, develop and control their land and territories, air,
water, coastal sea, flora and fauna and other resources, they have traditionally
occupied or otherwise used. They have complete right and ownership of the gas and
petroleum in their homeland.
The Convention expresses its serious concern that the SPDC is now selling the gas to
serve its own purposes and the people of Arakan are not benefiting from the huge gas
reserve in their backyard. The Convention urges upon all those interested in Arakan
gas to comply with all civilized norms and practices in order to serve the local people
of the area, help restore democracy with legitimate responsible government and
thereafter enter into gas deals and other projects with the informed consent of the
people.
(14) The Convention expresses its gratitude to neighboring Bangladesh for providing
food and shelter to our people. Being a neighboring Muslim country affected by the
Rohingya problem with a huge number of refugees taking refuge on her soil over the
decades, the Convention urges upon democratic Bangladesh to review its policy
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
toward military ruled Burma and to play a ‘key role’ for a permanent solution of the
Rohingya problem.
(15) The Conventions appeals to all neighboring countries, particularly Bangladesh,
India, China and Thailand to help restore democracy and human rights in Burma.
(16) The Convention appeals to UN and its member states, including OIC and
ASEAN to mount effective pressure against the SPDC for the restoration of
democracy and human rights in Burma, in the interest of peace and stability in the
region.
Chairman
Rohingya National Convention
Arakan, Burma.
Dated: 16 May 2004
Sumber :
http://rnc.bravehost.com/press%20release.html
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
RIWAYAT HIDUP
AZIZAH, lahir di Depok, 25 April 1985, adalah anak pertama dari tiga
bersaudara pasangan Abdul Kadir Al Haddad dan Siti Haroh. Ia memperoleh
pendidikan dasar dan menengah di Jakarta dan mendapat ijazah Sekolah Menengah
Umum Negeri 97 pada tahun 2002.
Ia melanjutkan studi di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia, Program Studi Arab, pada tahun 2002 dan memperoleh gelar Sarjana
Humaniora tahun 2006.
Semasa kuliah penulis aktif sebagai anggota IKABA (Ikatan Keluarga Asia
Barat) departemen Seni dan Olahraga tahun 2002 – 2003, pengurus BEM UI (Badan
Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia) Bidang Pengmas (Pengembangan
Masyarakat) tahun 2003 – 2004, Ketua Advokasi IKABA tahun 2004, dan Kepala
Departemen Kesma (Kesejahteraan Mahasiswa) SM FIB UI (Senat Mahasiswa
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia) tahun 2005.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006