Pembangunan Desa

21
PARADIGMA PEMBANGUNAN DESA KONSEP NAWACITA, REVOLUSI MENTAL REVOLUSI MENTAL Reformasi yang dilakukan bangsa ini hanya bertumpu dan ditujukan pada aspek-aspek kelembagaan semata, dan belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik dalam rangka pembangunan bangsa (nation building). Kita hanya mereformasi aspek-aspek kelembagaan dan sistem bernegara, tetapi lupa merombak mentalitas para penyelenggara sistem ini. Padahal, “Sehebat apa pun kelembagaan yang kita ciptakan, selama ia ditangani oleh manusia dengan salah kaprah tidak akan membawa kesejahteraan”. Itulah sebabnya, : “Agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita perlu melakukan revolusi mental”. Mentalitas atau budaya yang tumbuh dan berkembang dalam tradisi represif orde baru, yang hingga saat ini masih berlangsung, bahkan beberapa diantaranya memperlihatkan gejala yang semakin merajalela. Kedelapan mentalitas budaya itu adalah : korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, sifat rakus, ingin menang sendiri, ingin kaya secara instan, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis. Kegagalan melakukan perubahan dan memberantas penyakit-penyakit mentalitas budaya ini akan mengakibatkan keberhasilan-keberhasilan reformasi yang sudah dicapai lenyap bersama kehancuran bangsa ini. Maka revolusi mental, sekali lagi, adalah pilihan jalan mendesak yang harus segera dilakukan oleh bangsa ini. Kedelapan bentuk mentalitas busuk secara umum dapat dipilah dan dipetakan kedalam dua area problematika proses reformasi dan pembangunan yang saat ini sedang dihadapi bangsa Indonesia. Beberapa diantaranya merupakan persoalan lintas-area. Pertama area 1

description

Proposal

Transcript of Pembangunan Desa

PARADIGMA PEMBANGUNAN DESAKONSEP NAWACITA, REVOLUSI MENTAL

REVOLUSI MENTAL

Reformasi yang dilakukan bangsa ini hanya bertumpu dan ditujukan pada aspek-aspek kelembagaan semata, dan belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik dalam rangka pembangunan bangsa (nation building). Kita hanya mereformasi aspek-aspek kelembagaan dan sistem bernegara, tetapi lupa merombak mentalitas para penyelenggara sistem ini. Padahal, Sehebat apa pun kelembagaan yang kita ciptakan, selama ia ditangani oleh manusia dengan salah kaprah tidak akan membawa kesejahteraan. Itulah sebabnya, : Agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita perlu melakukan revolusi mental. Mentalitas atau budaya yang tumbuh dan berkembang dalam tradisi represif orde baru, yang hingga saat ini masih berlangsung, bahkan beberapa diantaranya memperlihatkan gejala yang semakin merajalela. Kedelapan mentalitas budaya itu adalah : korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, sifat rakus, ingin menang sendiri, ingin kaya secara instan, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis. Kegagalan melakukan perubahan dan memberantas penyakit-penyakit mentalitas budaya ini akan mengakibatkan keberhasilan-keberhasilan reformasi yang sudah dicapai lenyap bersama kehancuran bangsa ini. Maka revolusi mental, sekali lagi, adalah pilihan jalan mendesak yang harus segera dilakukan oleh bangsa ini.Kedelapan bentuk mentalitas busuk secara umum dapat dipilah dan dipetakan kedalam dua area problematika proses reformasi dan pembangunan yang saat ini sedang dihadapi bangsa Indonesia. Beberapa diantaranya merupakan persoalan lintas-area. Pertama area problematika bidang sosio-ekonomi, yang meliputi mentalitas rakus, ingin kaya secara instan, ingin menang sendiri (egois), oportunis, pelecehan terhadap hukum lalu berujung pada perilaku koruptif. Kedua area problematika bidang sosio-politik, yang meliputi mentalitas ingin menang sendiri (egois), oportunis, intoleransi terhadap perbedaan, kecenderungan memecahkan masalah dengan jalan kekerasan, dan pelecehan terhadap hukum.Tidak dapat dipungkiri, kesemua bentuk mental dan perilaku tersebut memang sudah lama menggejala dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Beberapa diantaranya bahkan sudah sangat akut dan dapat membahayakan sendi-sendi kebangsaan, semangat persatuan, rasa kedailan. Intoleransi dalam menyikap perbedaan misalnya (agama, etnik bahkan pilihan politik) yang dengan gampang menyulut konflik horizontal dimana-mana, sudah sangat sering terjadi dan menjadi pemandangan yang memprihatinkan. Bersitemali dengan mentalitas dan sikap ini adalah kecenderungan pelbagai elemen bangsa untuk mengambil jalan kekerasan dalam memecahkan setiap permasalahan yang dihadapi. Yang lebih menyedihkan lagi, bahwa dalam setiap kekisruhan komunalitas yang terjadi, tidak jarang muncul pihak-pihak yang dengan oportunismenya justru mengambil keuntungan-keuntungan sosial-ekonomi untuk kelompoknya. Pemandangan yang sama memprihatinkannya adalah perilaku koruptif yang nyaris seperti sudah menjadi budaya. Apapun mentalitas di belakangnya; sifat rakus dan tamak, ingin cepat kaya dengan caya instan, oportunisme atau akibat pengagungan terhadap hedonisme dan materialisme, serta makin menguatnya individualisme; kesemuanya jelas-jelas merupakan mental dan perilaku yang sangat membahayakan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, meruntuhkan rasa keadilan. Pelecehan terhadap hukum dan pengabaian terhadap nilai-nilai spiritual dan kaidah-kaidah agama yang kerap menyertai pelbagai gejala itu tidak mustahil dapat menjerumuskan bangsa ini kedalam pusaran barbarianisme yang tidak peduli lagi dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.Pada titik inilah pembaharuan mentalitas dan pelbagai bentuk perilaku destruktif itu secara radikal memang mendesak untuk dilakukan. Pendekatan kuncinya adalah dengan menggunakan strategi kebudayaan berbasis nilai-nilai Pancasila. Cara implementatifnya bisa melalui pintu masuk pendidikan (dalam arti yang seluas-luasnya tentu saja), sebuah gerakan kolosal yang bersifat nasional, dan/atau secara simultan melalui pengartikulasian secara kongkret prinsip-prinsip, cara dan intsrumen konseptual Revolusi Mental dalam pelbagai produk kebiijakan politik dan pembangunan infrastruktur. Dan satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah teladan mulia (uswah hasanah) dari para pemimpin bangsa dan penyelenggaran negara sampai ketingkat pedesaan.Berikut gambar yang menunjukan apa yang diharapkan dari pihak eksekutif/birokrasi pemerintah dengan jorgan Revolusi Mental nya pemerintahan baru Jokowi-Jusuf Kalla :

Gambar 1. Revolusi mental dalam perilaku pemerintahan

MEMPERSULIT SEGALA URUSANPARADIGMA BARUBEKERJA LEBIH DULUMENDENGARKAN DAN MENGERJAKANMENGUBAH DIRI SENDIRIMENGURANGI BEBAN ORANG LAIN & MASYARAKATMEMBERIMEMPER MUDAH SEGALA URUSAN

PARADIGMA LAMAMEMINTA UPAH LEBIH DULUMEMERINTAH DAN MEMPERKERJAKANMENGUBAH ORANG LAIN & MASYARAKATMENAMBAH BEBAN ORANG LAIN & MASYARAKATMEMINTA

REVOLUSI MENTAL

PEMBANGUNAN DESA

Desa, sejak kemerdekaan Republik ini sampai sekarang, hanyalah dipandang sebagai bagian terkecil dari wilayah negara.[footnoteRef:1] Namun sejatinya desa adalah bagian vital yang tidak dapat dipisahkan dalam hierarki struktur bernegara. Karena pada hakikatnya tidak akan ada suatu negara yanpa memiliki bagian-bagian terkecil yang dalam konteks negara Indonesia biasa disebut dengan desa. Aristoteles [footnoteRef:2] mengatakan bahwa negara adalah persekutuan daripada keluarga dan desa, guna memperoleh hidup yang sebaik-baiknya. Dengan logika bahwa negara itu diawali dari manusia, manusia itu kemudian membentuk keluarga, masing-masing keluarga itu bersatu dan membentuk desa, desa-desa yang ditinggali keluarga kemudian membentuk kata negara (polis dalam bahasa Yunani), dengan tujuan untuk dapat mempertahankan diri dari serangan musuh. Sehingga dalam tafsir yang sama istilah republik dan istilah desa dapat diletakkan pada istilah negara, atau dengan kata lain dapat pula diartikan bahwa adalah cikal bakal atau asal mula negara.[footnoteRef:3] [1: Moh. Fadli, Jazim Hamidi, Mustafa Lutfi. 2011. Pembentukan Peraturan Desa Partisipatif. Malang : UB Press. Hlm 2.] [2: Aristoteles dalam Sri Soemantri Martoseewignjo. Sistem-Sistem Pemerintahan Negara-Negara ASEAN, Tarsito, Bandung, 1976. Hlm 3.] [3: Dr. Didik Sukriono, Pembaharuan Hukum Pemerintah Desa. 2010. Malang : Setara Press.]

Konsep desa sebagai entitas sosial sangatlah beragam, yaitu sesuai dengan maksud dan sudut pandang yang hendak diguanakan dalam melihat desa. Sebutan desa dapat berupa konsep tanpa makna politik, namun juga dapat berarti suatu posisi politik sekaligus kualitas posisi dihadapkan pihak atau kekuatan lain. Secara etimologis istilah desa[footnoteRef:4] berasal dari kata swadesi bahasa Sansekerta yang berarti wilayah, tempat atau bagian yang mandiri dan otonom. Istilah tersebut diintrodusir kembali oleh Soetardjo Kartohadikoesoemo bahwa perkataan desa, dusun, desi (kata swadesi sama halnya dengan perkataan negara, negeri, nagary, negory yang berasal dari perkataan negarom) kata tersebut berasal dari perkataan Sanskrit (Sansekerta) yang artinya tanah air, tanah asal, tanah kelahiran.[footnoteRef:5] Namun sedikit berbeda halnya dengan Ateng Syafrudin yang juga memberikan tafsir informasi tentang istilah yang digunakan sebagai kesamaan istilah desa, yakni swargama (gramani), dhisa, marga, nagari, mukim, kuria, tumenggungan, negorey, wanua, atau negory, manoa, banjar, dan penanian.[footnoteRef:6] [4: P. J. Zoetmulder dan S.O. Robson, Kamus Jawa Kuno Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006. Hlm 212.] [5: Soetardjo Kartohadikoesoemo, Desa, Balai Pustaka, Cet. V, Jakarta, 1984. Hlm 1.] [6: Ateng Syafrudin dan Suprin Naa, Republik Desa, Pergulatan Hukum Tradisional dan Hukum Modern Dalam Desain Otonomi Desa, PT Alumni, Bandung, 2010. Hlm 2-3.]

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia desa diartikan sebagai kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri.[footnoteRef:7] Secara sosiologis, definisi desa digambarkan sebagai bentuk kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan yang saling mengenal. Corak kehidupan yang relatif homogen serta banyak bergantung pada alam, mempunyai sifat sederhana dengan ikatan sosial dan adat istiadat yang kuat.[footnoteRef:8] Perspektif antropologis melihat desa sebagai suatu kumpulan manusia atau komuniti dengan alatar suatu lingkungan atau geografis tertentu yang memiliki corak kebiasaan, adat istiadat dan budaya dalam kehidupannya, adanya upaya eksistensi hidup dan nilai estetika yang dimiliki mendorong adanya perbedaan karakter dan corak budaya yang dimiliki antara satu desa dengan desa lainnya.[footnoteRef:9] [7: Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan Balai Pustaka, Edisi Kedua, Cet. VII, Jakarta , 1995. Hlm. 226.] [8: Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi 12, Rajawali Press, Jakarta, 1990, sebagaimana yang dikutip oleh I gede Agus Wibawa, Pengaruh Status Kelurahan Menjadi Desa Dalam Persektif Pemerintahan Daerah (Studi Kasus Perubahan Status Pemerintahan), Disertasi tidak diterbitkan, Program Pascasarjana FIA Universitas Brawijaya, 2011. Hlm. 9-11.] [9: Ibid. ]

Secara historis desa merupakan embrio bagi terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia, jauh sebelum negara bangsa modern ini terbentuk, entitas sosial sejenis desa atau masyarakat adat dan lain sebagainya, telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi sangat penting. Perspektif ekonomi memotret desa sebagai komunitas masyarakat yang memiliki modal produksi yang khas dan merupakan lumbung bahan mentah (raw material) dan sumber tenaga kerja (man power). Sedangkan perspektif yuridis-politis bahwa desa seringkali dipandang sebagai suatu pemerintahan terendah di Indonesia atau kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai identitas, entitas yang berbeda-beda dan memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan NKRI. Dengan kata lain, desa tidak saja dapat didefinisikan sebagai kesatuan hukum yang memiliki batas-batas wilayah dan berwenang dalam mengatur, mengurus segala kebutuhan, kepentingan masyarakat setempat yang diakui serta dihormati keberadaannya dalam sistem pemerintahan NKRI, akan tetapi desa sebagai kesatuan masyarakat hukum memberikan pemahaman yang mendalam bahwa institusi desa bukan hanya sebagai entitas administratif (administrative entity) , akan tetapi juga sebagai entitas hukum (legal entity), yang secara tidak langsung harus dihargai, diistimewakan dan dilindungi dalam sistem pemerintahan di Indonesia.Visi reformasi Desa adalah menuju Desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera. Karena berbasis visi itu, maka Desa tidak bisa dipahami hanya sebagai wilayah administratif atau tempat kediaman penduduk semata, melainkan sebagai entitas sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum. Paralel dengan visi tersebut, sebaiknya Desa ditransformasikan sesuai ajaran Trisakti-nya Bung Karno sebagai dasar pijakan. Sebuah pemikiran yang menghendaki agar bangsa Indonesia berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan (kepribadian khas Indonesia, tentunya). Revolusi mental ini juga harus didasarkan pada nilai, budaya dan karakter bangsa Indonesia sendiri, tidak dipijakkan pada nilai dan budaya asing yang tidak selamanya dan tidak semuanya cocok bagi bangsa Indonesia.Kedaulatan yang sesuai dengan Nawacita untuk pembangunan dipedesaan dapat digambarkan sebagai berikut

Gambar 2. Kedaulatan politik. KEDAULATAN POLITIK RAKYATPOLITIKKELEMBAGAAN MASYARAKAT DESAKELEMBAGAAN PEMERINTAH DESAPARTISIPASI POLITIK RAKYATASPIRASI POLITIK RAKYATINTERAKSI SOSIAL INDIVIDU DAN KUMUNITASPEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESAPELAYANAN PEMBANGUNAN DESA

Gambar 3. kemandirian ekonomi rakyatEKONOMIBUDIDAYA PERTANIAN/PETERNAKANPRASARANA/INFRASTRUKTUR PERTANIANREFORMASI AGRARIA/TANAH UNTUK PERTANIANPENGGUNAAN ENERGI DAN TRANSFORTASI DESAKEMANDIRIAN EKONOMI RAKYATKEGIATAN USAHA NON PERTANIANSARANA PRODUKSI PASCA PANEN

gambar 4. kemandirian budaya

BUDAYAKELEMBAGAAN ADAT MASYARAKAT LOKALLEGENDA/SEJARAH LOKALPELESTARIAN ADAT/BUDAYA LOKALPEMBINAAN MASYARAKAT ADATPENDALAMAN PELESTARIAN HUKUM ADATKEPRIBADIAN BUDAYA LOKALKOMUNITAS ADAT MASYARAKAT LOKAL

OTONOMI DESAKehidupan negara pada prinsipnya sama dengan kehidupan keluarga. Kedaulatan rakyat memberi gambaran, bahwa rakyatlah pemegang kekuasaan tertinggi dalam setiap kehidupannya dalam bermasyarakat dan bernegara. Penyelenggaraan pemerintah negara berdasarkan kedaulatan rakyat tersebut akan terlihat dalam sistem pemerintahan indonesia. Dalam sistem pemerintahan indonesia akan tergambarkan peran lembaga negara sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat.Desa sebagai entitas terkecil dari sebuah Negara mempunyai hak-hak yang dilindungi oleh undang-undang otanomi daerah antara laina) Hak Desa untuk mempunyai, mengelola atau memperoleh sumberdaya ekonomi-politik; b) Kewenangan untuk mengatur atau mengambil keputusan atas pengelolaan barang-barang publik dan kepentingan masyarakat setempat; c) Tanggungjawab Desa untuk mengurus kepentingan publik (rakyat) Desa melalui pelayanan publik. Dengan demikian Desa mempunyai hak dan kewenangan jika berhadapan dengan pemerintah, sekaligus mempunyai tanggungjawab jika berhadapan dengan rakyat. Agar ketiganya berjalan, Desa membutuhkan keleluasaan untuk mengambil keputusan yang sesuai dengan kewenangan yang dimiliki, serta kapasitas (kemampuan) untuk menopang tanggungjawab mengurus masyarakat. Dalam sistem pemerintahan desa dibentuk lembaga-lembaga sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat. Lembaga sosial pedesaan pada dasarnya adalah terdiri dari kumpulan norma-norma dan nilai-nilai bertujuan untuk mengatur perilaku masyarakat sehingga kebutuhan masyarakat dapat dipenuhi dan tujuannya dapat dicapai. Dalam kaitannya dengan strukturtural dan kultural organisasi sosial yang terbentuk di pedasaan, maka status menjadi sebuah refleksi dari struktur sosial dan peran menjadi refleksi dari kultur yang berlaku dalam masyarakat, oleh karena demikian lembaga sosial sengaja dibentuk dengan pada aspek strulturalnya tetapi peranan dalam kehidupan sosial masyarakat pedesaan merupakan perwujudan dari aspek kulturalnya dimana di kedepankanya aspek gotong royong dan kebersamaan dalam struktural organisasi tersebut.Untuk menciptakan sebuah kemajuan di pedesaan akibat krisis perekonomian dan cara-cara lama yang di lakukan oleh masyarakat, maka di lakukanlah inovasi kelembagaan sosial, dimana di mulai dari struktur keorganisasian desa serta lembaga-lembaga pertanian dan perekonomian lainya., sehingga bagaimana kemudian, desa tercipta sebagai desa yang mandiri, maju, dan sejahtera.

Gambar 5 susunan lembaga pemerintahan desa

Gagasan Revolusi Mental bertolak dari sebuah fenomena paradoksal yang dialami bangsa Indonesia setelah 16 tahun melaksanakan reformasi, yang telah membuat masyarakat menjadi resah. Paradok ini tampak dari kenyataan, di satu sisi, khususnya bidang politik dan ekonomi, bangsa Indonesia telah berhasil memperoleh kemajuan-kemajuan yang membanggakan. Dalam bidang politik, bangsa Indonesia telah berhasil menghadirkan, merawat dan memperkuat kehidupan demokrasi dibawah kepemimpinan nasional yang didukung rakyat melalui pemilu berkala yang demokratis. Pada saat yang sama, kehidupan ekonomi juga semakin berkembang dan masyarakat banyak yang bertambah makmur. Mei 2014 ini, Bank Dunia bahkan merilis, bahwa ekonomi Indonesia sudah masuk 10 besar dunia. Tidak heran jika kemudian masyarakat internasional menjadikan Indonesia sebagai model keberhasilan reformasi yang menghantarkan kebebasan politik serta demokrasi bersama pembangunan ekonomi bagi masyarakatnya. Namun di sisi lain, bangsa Indonesia tak semakin bahagia; yang tampak justru keresahan dan kegalauan. Keresahan dan kegalauan tampak sangat jelas melalui aksi-aksi protes jalanan di kota besar maupun kecil, dan pelbagai ruang publik lainnya, seperti media massa dan media sosial. Inilah paradoks yang dimaksud membuat para pemimpin dan pemikir bangsa bingung menjelaskannya sebagai sebuah fenomena sosiologis : rakyat resah dan marah, justru pada saat kebebasan politik, konsolidasi demokrasi dan pembangunan ekonomi secara simultan telah berhasil, hingga batas tertentu, diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Lantas, mengapa hal itu terjadi ? Kita hanya mereformasi aspek-aspek kelembagaan dan sistem bernegara, tetapi lupa merombak mentalitas para penyelenggara sistem ini. Oleh karena itu diperlukan program aksi pengawalan revolusi mental pada satuan terkecil pemerintah desa untuk meredam kegaulaun masyarakat bangsa ini

gambar.6 Program Aksi mengawal revolusi mental

KELEMBAGAANPROGRAM AKSINON FORMALPERUBAHAN SIKAP PERILAKU INDIVIDUBIMBINGAN DAN KONSULTASIINFRASTRUKTURMOTIVASI DAN KETELADANANMENDORONG BAKAT DAN MENOPANG KETERBATASANPERUBAHAN MENTAL

NON FORMAL

AZAS PEBANGUNAN DESAKetika berbicara tentang otonomi daerah dan Desa, maka kita langsung melihat desentralisasi sebagai azas utama. Azas untuk menopang otonomi daerah tentu sudah final, yakni menggunakan azas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan (delegasi). Azas desentralisasi terutama diberikan kepada kabupaten/kota mengingat daerah ini menjadi titik berat otonomi, sedangkan azas dekosentrasi terutama diberikan kepada provinsi mengingat gubernur adalah wakil pemerintah pusat yang berada di daerah. Azas tugas pembantuan (delegasi) diberikan oleh pemerintah pusat kepada provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan bahkan kepada Desa. Tetapi perspektif dan azas-azas itu tidak bisa cukup dan sempurna untuk menempatkan posisi dan peran Desa, karena Desa mempunyai otonomi asli dengan basis hak-hak bawaan (asal-usul). Karena itu diusulkan kembali dua azas utama yang digunakan untuk mendasari otonomi pemerintahan Desa. Pertama, rekognisi atau pengakuan terhadap hak asal-usul Desa. Pasal 18 UUD 1945, misalnya, menekankan perspektif rekognisi ini, yakni mengakui keberadaan daerah-daerah istimewa dan sejumlah 250 kesatuan masyarakat hukum yang memiliki beragam nama dan susunan aslinya. UU No. 32/2004 juga memberi pengakuan terhadap kewenangan/hak asal-usul Desa, meski jabarannya tidak terlalu jelas. UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh juga mengakui dan bahkan memulihkan posisi mukim yang semula hanya menjadi lembaga adat menjadi unit pemerintahan yang berada di tengah-tengah kecamatan dan Desa (gampong). Kedua, azas subsidiaritas, yakni lokalisasi kewenangan di aras Desa dan pengambilan keputusan secara lokal atas kepentingan masyarakat setempat. Dengan subsidiaritas urusan-urusan yang berskala lokal diputuskan secara lokal dengan kewenangan Desa, dan masalah-masalah lokal juga diselesaikan secara lokal. Subsidiaritas mengandung spirit menghargai, mempercayai dan menantang Desa untuk bergerak. Tanpa subsidiaritas itu inisiatif lokal Desa akan sulit tumbuh, dan Desa kian menjadi beban berat bagi pemerintah. Masyarakat adat di Indonesia sebenarnya mempunyai pengalaman panjang dalam praktik subsidiaritas itu. Contoh yang utama adalah peradilan adat atau penyelesaian sengketa lokal di Aceh. Peradilan adat pertama dilakukan di tingkat gampong dan jika tidak selesai baru dibawa naik ke tingkat mukim. Mekanisme subsidiaritas ini hampir sama dengan mekanisme peradilan modern di Indonesia, yakni dimulai dari pengadilan negeri (di level kabupaten/kota), jika tidak selesai baru dibawa naik ke level pengadilan tinggi (provinsi) dan terakhir berada di level kasasi Mahkamah Agung. Berdasarkan pemahaman pada gambaran umum di atas, maka prespektif pengaturan Desa ke depan paling tidak harus dapat menjawab pertanyaan mengapa paradigma yang menjadi dasar pengaturan mengenai Desa yaitu memberikan dasar menuju kemandirian, artinya memberikan landasan yang kuat menuju terbangunnya suatu komunitas yang mengatur dirinya sendiri kurang dapat berjalan? Menurut Kuntowijoyo (dalam Suhartono, 2001: 30), ada tiga paradigma yang berkembang dalam melihat Desa. Pertama, paradigma yang melihat masalah pada rakyat itu sendiri. Kedua, paradigma yang melihat kondisi yang menyebabkan tidak adanya kesempatan bagi rakyat. Ketiga, paradigma yang melihat pada struktur dan sistem yang tidak adil. Berdasarkan paradigma yang pertama, yaitu melihat permasalahan Desa berdasarkan pada masalah rakyat itu sendiri, maka dalam Undang-Undang Desa yang ditekankan adalah bagaimana menjadikan pembangunan perdesaaan itu dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat (DOUM). Masyarakat Perdesaan adalah pelaku utama pembangunan di Desa, sedangkan Pemerintah Desa mempunyai tugas utama untuk membimbing, mengarahkan dan menciptakan suasana yang kondusif. Berdasarkan paradigma di atas, maka peran desa di dalam masyarakat harus ditingkatkan dalam: 1) Mekanisme pembentukan, penghapusan dan penggabungan Desa serta perubahan status Desa menjadi kelurahan; 2) Penyelenggaraan pemerintahan Desa 3) Mengidentifikasi dan melaksanakan kewenangan Desa; 4) Pembuatan Peraturan Desa 5) Perencanaan Pembangunan Desa 6) Kepengurusan Badan Usaha Milik Desa 7) Kerjasama Desa 8) Meningkatkan peran Lembaga Kemasyarakatan 9) Melestarikan Lembaga Adat

Berdasarkan ketentuan di atas, maka sebenarnya peran masyarakat akan ditingkatkan dalam segenap aspek yang berkembang di Desa, seperti penyelenggaraan pemerintahan Desa, demokrasi Desa, ekonomi dan pembangunan Desa, kerjasama antar Desa dan hubungan Desa dengan supra Desa. Dari paradigma kedua, yang melihat kondisi yang menyebabkan tidak adanya kesempatan bagi rakyat, permasalahan Desa ini akan membuka kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat aktif dalam: a. penyelenggaraan pemerintahan Desa b. pengembangan ekonomi pedesaan c. pengembangan demokrasi lokal d. pengembangan kerjasama Desa Selanjutnya dari paradigma ketiga, yang melihat pada struktur dan sistem yang tidak adil, maka Desa ini: a. memungkinkan Desa menerima atau menolak penyerahan urusan pemerintahan di atasnya b. menegaskan akan arti pentingnya hak asal-usul, adat istiadat Desa dan sosial budaya masyarakat Desa c. menegaskan akan arti pentingnya Kepala Desa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengembangkan ekonomi Desa, mengembangkan pendapatan masyarakat dan Desa dan sebagainya. [footnoteRef:10] [10: Dr. Didik Sukriono. 2010. Pembaharuan Hukum Pemerintahan Desa. Malang : Setara Press.]

ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERDESAANSesuai dengan amanat UU No. 6/2014 tentang Desa, tujuan pembangunan desa adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, membangun potensi ekonomi lokal , serta pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, pada periode tahun 2015-2019 pembangunan perdesaan diarahkan untuk penguatan desa dan masyarakatnya, serta pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di perdesaan untuk mendorong pengembangan perdesaan berkelanjutan yang memiliki ketahanan sosial, ekonomi, dan ekologi serta mendorong keterkaitan desa-kota. Kebijakan pembangunan perdesaan tahun 2015-2019 dilakukan dengan strategi sebagai berikut:1. Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan Bagi Masyarakat Miskin dan Rentan di Desa a) Meningkatkan peran dan kapasitas pemerintah daerah dalam memajukan ekonomi masyarakat miskin dan rentan.b) Meningkatkan kapasitas masyarakat miskin dan rentan dalam pengembangan usaha berbasis potensi lokal; c) Memberikan dukungan bagi masyarakat miskin dan rentan melalui penyediaan lapangan usaha, dana bergulir, kewirausahaan, dan lembaga keuangan mikro.2. Peningkatan Ketersediaan Pelayanan Umum dan Pelayanan Dasar Minimum di Perdesaana) Memenuhi kebutuhan dasar masyarakat perdesaan dalam hal perumahan, sanitasi (air limbah, persampahan, dan drainase lingkungan) dan air minum.b) Memenuhi kebutuhan dasar masyarakat perdesaan dalam bidang pendidikan dan kesehatan dasar (penyediaan sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan serta tenaga pendidikan dan kesehatan).c) Meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana dasar dalam menunjang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat perdesaan yang berupa akses ke pasar, lembaga keuangan, dan toko saprodi pertanian/perikanan.d) Meningkatkan kapasitas maupun kualitas jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, dan jaringan transportasi.3. Peningkatan Keberdayaan Masyarakat Perdesaana) Meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan, melalui fasilitasi dan pendampingan berkelanjutan dalam perencanaan, pembangunan, dan pengelolaan desa.b) Meningkatkan keberdayaan masyarakat adat, melalui penguatan lembaga adat dan Desa Adat, perlindungan hak-hak masyarakat adat sesuai dengan perundangan yang berlaku.c) Meningkatkan keberdayaan masyarakat melalui penguatan sosial budaya masyarakat dan keadilan gender(kelompok wanita, pemuda, anak, dan TKI)4. Perwujudan Tata Kelola Desa yang Baika) Mempersiapkan peraturan teknis pendukung pelaksanaan UU No. 6/2014 tentang Desa, PP No 43/2014 tentang peraturan pelaksanaan UU No 6/2014 tentang Desa, dan PP No 60/2014 tentang Dana Desa.b) Memfasilitasi peningkatan kapasitas pemerintah desa.c) Memfasilitasi peningkatan kapasitas Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan lembaga lembaga lainnya di tingkat desa.d) Mempersiapkan data, informasi, dan indeks desa yang digunakan sebagai acuan bersama dalam perencanaan dan pembangunan, serta monitoring dan evaluasi kemajuan perkembangan desa.e) Memastikan secara bertahap pemenuhan alokasi Dana Desa.f) Memfasilitasi kerjasama antar desa

Gambar.7 tata kelola kawasan pemerintahan desa

LAYANAN JASA PEMERINTAH DESA & AKTIVITAS SOSIAL BUDAYAKAWASAN LAYANAN PEMERINTAH DESAKAWASAN PEMUKIMAN DESAKAWASAN KESEJAHTERAAN RAKYATKAWASAN KEGIATAN EKONOMI RAKYATSARANA OLAHA RAGA DAN KEGIATAN SOSIALPERUMAHAN DAN PEMUKIMAN PENDUDUKKESEHATAN, PENDIDIKAN DAN SOSIAL BUDAYAKANTOR KOPERASI, BANk DESA, PASAR DESAFASILITAS UMUM DESA DAN PEMAKAMANKANTOR DESA DAN LEMBAGA DESA

5. Perwujudan Kemandirian Pangan dan Pengelolaan SDA-LH yang Berkelanjutan dengan Memanfaatkan Inovasi dan Teknologi Tepat Guna di Perdesaana) Mengendalikan pemanfaatanruang kawasan perdesaan melalui redistribusi lahan kepada petani/nelayan (land reform), serta menekan laju alih fungsi lahanpertanian, kawasan pesisir dan kelautan secara berkelanjutanMemfasilitasi peningkatan kesadaran masyarakat dalam mewujudkan kemandirian pangan dan energi perdesaan.b) Memfasilitasi peningkatan kesadaran masyarakatdalam pemanfaatan, pengelolaan, dan konservasi SDA dan lingkungan hidup yang seimbang, berkelanjutan, dan berwawasan mitigasi bencana;

gambar 8. Tata kelola kawasan ekonomi desaAREA BUDIDAYA PERTANIANSTANDARISAS LUAS AREA KAWASAN PERTANIANJENIS USAHA TANIPRASARA DAN SARANA

Gambar 9 tata kelola kawasan lainnyaPENGELOLAAN AREA NON PERTANIANJENIS KEGIATAN USAHA PRASARA DAN SARANA

6. Pengembangan Ekonomi Perdesaana) Meningkatkan kegiatan ekonomi desa yang berbasis komoditas unggulan, melalui pengembangan rantai nilai, peningkatan produktivitas, serta penerapan ekonomi hijau.b) Menyediakan dan meningkatkan sarana dan prasarana produksi, pengolahan, dan pasar desa.c) Meningkatkan akses masyarakat desa terhadap modal usaha, pemasaran dan informasi pasar.d) mengembangkan lembaga pendukung ekonomi desa seperti koperasi, dan BUMDesa, dan lembaga ekonomi mikro lainnya.1