NASKAH PUBLIKASI KEPUASAN PASIEN TERHADAP PELAYANAN...
Transcript of NASKAH PUBLIKASI KEPUASAN PASIEN TERHADAP PELAYANAN...
1
NASKAH PUBLIKASI
KEPUASAN PASIEN TERHADAP PELAYANAN RUMAH
SAKIT UMUM PEMERINTAH DITINJAU DARI
KOMUNIKASI INTERPERSONAL ANTARA DOKTER DAN
PASIEN SERTA KLASIFIKASI RUMAH SAKIT
Oleh :
CICIK WIDIASTUTI
SUKARTI, Dr
MIFTAHUN NI’MAH SUSENO, S.Psi., Psi
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2008
2
KEPUASAN PASIEN TERHADAP PELAYANAN RUMAH SAKIT UMUM PEMERINTAH DITINJAU DARI KOMUNIKASI INTERPERSONAL ANTARA DOKTER DAN PASIEN SERTA KLASIFIKASI RUMAH
SAKIT
Cicik Widiastuti Sukarti, Dr
Miftahun Ni’mah Suseno, S.Psi., Psi
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara komunikasi interpersonal (dokter-pasien) dengan kepuasan pasien di Rumah Sakit Umum Pemerintah, serta menguji apakah tingkat kepuasan pasien berbeda berdasarkan klasifikasi Rumah Sakit Umum Pemerintah dengan mengontrol komunikasi interpersonal (dokter-pasien). Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara kepuasan pasien dengan komunikasi interpersonal (dokter-pasien). Semakin tinggi komunikasi interpersonal (dokter-pasien), semakin tinggi kepuasan pasien. Sebaliknya semakin rendah komunikasi interpersonal (dokter-pasien), semakin rendah kepuasan pasien. Dan dugaan yang kedua adalah ada perbedaan tingkat kepuasan pasien berdasarkan klasifikasi Rumah Sakit Umum Pemerintah dengan mengontrol komunikasi interpersonal antara dokter dan pasien. Subjek dalam penelitian ini adalah pasien di rumah sakit umum pemerintah yang mewakili tipe B dan C yang sebelumnya telah dipilih menggunakan teknik Stratified Sampling. Adapun kriteria subjek yang menjadi sampel yang mewakili 2 klasifikasi rumah sakit tersebut adalah pasien rawat jalan baik laki-laki maupun perempuan dengan kisaran usia antara 12 sampai 65 tahun, dan pernah berobat minimal satu kali di rumah sakit yang bersangkutan. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling. Adapun skala yang digunakan adalah skala kepuasan pasien yang dibuat sendiri oleh penulis dengan mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh Tubbs (2001). Skala komunikasi Interpersonal juga dibuat sendiri oleh peneliti dengan mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh De Vito (1997). Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan SPSS for Windows Version 15.0. Korelasi product moment dari Pearson menunjukkan rxy = 0,701 dan ? = 0,000 (? < 0,01). Hal ini berarti menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara kepuasan pasien dengan komunikasi, sehingga hipotesis diterima. Sedangkan dengan menggunakan analisis kovariansi didapat F = 3,197 dengan nilai signifikasi sebesar 0,077 (? > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kepuasan pasien berdasarkan klasifikasi Rumah Sakit Umum Pemerintah dengan mengontrol komunikasi interpersonal antara pasien dan dokter, sehingga hipotesis yang diajukan tidak diterima. Kata Kunci: Kepuasan Pasien, Komunikasi Interpersonal, Klasifikasi Rumah Sakit
3
PENGANTAR
Sebagian besar manusia di muka bumi ini pastinya pernah berhubungan
dengan instansi rumah sakit. Entah itu berobat karena sakit, kecelakaan, atau
mungkin melahirkan. Dan berbicara mengenai pasien, tentunya tak lepas dari
kepuasan yang mereka rasakan selama mereka menerima jasa atau pelayanan dari
tenaga rumah sakit. Pelayanan merupakan faktor penting karena ketidak pedulian
terhadap pelayanan yang diberikan kepada pasien akan menyebabkan munculnya
rasa tidak puas pada diri pasien. Pelayanan atau jasa oleh Kotler (2005) diartikan
sebagai suatu perbuatan di mana seseorang atau suatu kelompok menawarkan
pada kelompok atau orang lain sesuatu yang pada dasarnya tidak berwujud dan
produksinya berkaitan atau tidak berkaitan dengan fisik produk. Jadi bisa
dikatakan bahwa pelayanan merupakan suatu kegiatan atau perbuatan yang
menghasilkan sesuatu yang tidak berwujud, seperti misalnya dokter memberi
pelayanan kesehatan kepada pasiennya.
Namun pada kenyataannya, di Indonesia pelayanan dokter sering kurang
memuaskan dimata pasiennya. Sekretaris Komisi IV DPRD Sumatera Barat
Syafril A. Hadi, S.Pd dan anggota komisi IV Rizal Moenir St. mengatakan bahwa
persoalan pelayanan kesehatan di rumah sakit yang dikelola pemerintah,
kebanyakan memang mengecewakan pasien dan keluarganya. Beda jauh dengan
rumah sakit swasta. Menurutnya hanya satu hingga tiga rumah sakit yang
pelayanannya cukup bagus. Salah satunya berada di Surabaya (Musanif, 2007).
Menurut Siregar (2003), berdasarkan kepemilikannya rumah sakit dibagi
menjadi dua, yaitu rumah sakit pemerintah dan rumah sakit sukarela atau swasta.
4
Rumah sakit pemerintah terdiri atas rumah sakit yang dikelola oleh Departemen
Kesehatan, rumah sakit pemerintah daerah, rumah sakit militer, dan rumah sakit
BUMN. Sedangkan rumah sakit sukarela atau swasta, terdiri atas rumah sakit hak
milik dan rumah sakit nirlaba. Rumah sakit hak milik adalah rumah sakit bisnis
yang tujuan utamannya adalah mencari laba (profit). Sedangkan rumah sakit
nirlaba mencari laba sewajarnya saja, dan laba yang diperoleh rumah sakit ini
digunakan sebagai modal peningkatan sarana fisik, perluasan dan penyempurnaan
mutu pelayanan untuk kepentingan penderita. Secara garis besar baik rumah sakit
hak milik maupun rumah sakit nirlaba sama-sama mencari keuntungan. Sehingga
untuk mendapatkan keuntungan, yang mereka upayakan adalah memberikan
pelayanan yang berkualitas. Dengan pelayanan yang semakin baik dan berkualitas
tentunya kepuasan juga akan diperoleh para pasien yang berkunjung ke rumah
sakit tersebut. Dan hal tersebutlah yang menjadi penyebab kenapa sampai saat ini
masyarakat masih mendikotomikan rumah sakit pemerintah dengan rumah sakit
swasta.
Selain hal tersebut, fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini adalah banyak
orang Indonesia dari golongan ekonomi keatas yang memilih berobat ke luar
negeri dari pada berobat di negaranya sendiri. Sebuah data menyebutkan, di
Singapura setiap tahunnya sekitar 300.000 pasien internasional yang datang
berobat. Enam puluh persen dari dua perlimanya merupakan pasien Indonesia.
Sementara itu, jumlah orang Indonesia yang berobat ke Malaysia tahun-tahun
terakhir ini sudah melampaui yang ke Singapura, padahal dulu Malaysia
mengimpor dokter dari Indonesia (Nadesul, 2007). Alasan mengapa banyak orang
5
Indonesia berobat ke luar negeri diantaranya karena pelayanan yang diberikan
lebih baik, peralatan lebih canggih, obat-obatannya lebih ampuh, dokter bekerja
lebih profesional, serta pasien saat berobat disana merasa puas bertanya
(http://beritasore.com/2007/05/10/fenomena-ramai-ramai-berobat-ke-luar-
negeri/).
Bagaimana rumah sakit memberikan pelayanan, berpengaruh pada tingkat
kepuasan pasiennya. Kepuasan pasien merupakan faktor dasar yang sangat
menentukan apakah pasien akan kembali lagi ke jasa pelayanan yang sama.
Karena menurut Endang H (1998) dalam Harianto (2005) kepuasan merupakan
pengalaman yang akan mengendap di dalam ingatan pasien sehingga
mempengaruhi proses pengambilan keputusan pembelian produk yang sama.
Kepuasan didefinisikan oleh Kotler (2005) sebagai perasaan senang atau
kecewa yang muncul setelah membandingkan antara kinerja (hasil) produk yang
dipikirkan terhadap kinerja (atau hasil) yang diharapkan. Jika kinerja berada di
bawah harapan, pelanggan merasa tidak puas. Jika kinerja memenuhi harapan,
pelanggan merasa puas. Jika kinerja melebihi harapan, pelanggan amat puas atau
senang (Kotler, 2005). Jelas disini bahwa pelanggan akan mendapatkan kepuasan
jika antara apa yang diharapan dengan kenyataan yang mereka terima sesuai, dan
tentu saja mereka akan merasakan ketidakpuasan saat mendapati apa yang mereka
harapkan tak sesuai dengan kenyataannya.
Dalam buku Psikologi Pelayanan dalam Industri Jasa karangan Endar
Sugiarto (1999), istilah pelanggan mengacu pada tamu/ klien/ penumpang/ pasien/
pembeli/ pengunjung. Menurutnya pelanggan adalah orang-orang yang datang
6
kepada Anda (para petugas) dengan maksud, tujuan, dan harapan tertentu serta
ingin memperoleh apa yang diinginkan dengan cara yang menyenangkan. Dengan
begitu istilah kepuasan pelanggan dapat diartikan juga sebagai kepuasan pasien.
Tidak jauh beda dengan apa yang dikemukakan oleh Kotler, menurut Richard
F. Gerson, Ph. D (2004) kepuasan pelanggan merupakan persepsi pelanggan
bahwa harapannnya telah terpenuhi atau terlampaui. Menurutnya jika anda
membeli suatu barang maka anda berharap barang tersebut akan berfungsi dengan
baik. Jika tidak, anda tentu akan kecewa. Karena hal tersebut maka menurutnya
kepuasan pelanggan itu akan terjadi bila sebuah produk atau jasa memenuhi atau
melampaui harapan pelanggannya. Bila di implikasikan pada penelitian penulis,
maka dapat dikatakan bahwa pasien akan puas saat mereka mendapatkan
pelayanan atau jasa dari tenaga rumah sakit sesuai dengan yang diharapkan, baik
dari segi fasilitas maupun cara kerjanya.
Menurut Zeithaml et. Al, 1996 (Umar, 2002) faktor yang menentukan
kepuasan pelanggan adalah kualitas pelayanan yang berfokus pada lima dimensi
jasa yaitu keandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), jaminan
(assurance), empati (emphaty), dan juga bukti langsung (tangibles). Hal tersebut
membuktikan bahwa kepuasan pasien tidak hanya dipengaruhi unsur teknis
(ketenagaan, fisik, peralatan) tetapi juga unsur non teknis yang bisa berupa
interaksi antara pasien dan tenaga kesehatan, biaya, dan lain sebagainya. Direktur
Rumah Sakit Umum (RSU) AW Sjahranie Samarinda Dr H Awang Joenani
(Kaltimpost, 3 September 2005) menyatakan bahwa kepuasan pasien itu
ditentukan oleh komunikasi antara dokter dan pasien. Dan yang sering menjadi
7
keluhan adalah dokter tak cukup waktu berkomunikasi intensif dengan pasiennya.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Smet (1994) yang menyatakan bahwa
topik yang paling penting dan banyak dibahas dalam perawatan kesehatan adalah
interaksi antara pasien dan tenaga kesehatan. Hubungan ini sangat penting karena
yang menentukan rasa puas pasien, ketaatan aturan medis, dan hasil akhir
kesehatannya. Jika komunikasi yang diberikan dokter kepada pasiennya
memberikan informasi yang dibutuhkan dan sesuai dengan yang diinginkan
pasien, pastilah pasien akan merasa puas dan pastinya akan datang lagi ketempat
dokter tersebut. Pasien juga akan menaati aturan ataupun anjuran-anjuran yang
disarankan oleh dokter tersebut. Hal tersebut seperti teori Reinforcement yang
dikemukakan B.F. Skinner dalam Alwisol (2004). Menurutnya Reinforcement
bisa bersifat positif dan negatif. Reinforcement positif adalah peristiwa atau
sesuatu yang membuat tingkahlaku yang dikehendaki berpeluang untuk diulang
atau terjadi lagi, sedangkan reinforcement negatif adalah peristiwa atau sesuatu
yang membuat tingkahlaku untuk diulang lebih kecil. Sehingga dalam hal ini
komunikasi berperan penting dalam tingkat kesembukan pasien
Penelitian yang di lakukan di luar negeri menunjukkan bahwa rata-rata
35-40 % pasien tidakpuas mengenai komunikasi dengan dokter mereka. Dan
bahwa aspek perawatan medis yang memberikan kenaikan pada ketidakpuasan
yang paling besar adalah jumlah dan jenis informasi yang diterima (Dickson dkk,
1989 dalam Smet, 1994). Hal serupa dapat dilihat juga dalam hasil penelitian yang
dilakukan Tubbs (2001) yang menunjukkan persentase bahwa dokter tidak ramah
8
sebesar 42%, penjelasan dokter tidak dapat dimengerti sebesar 30%, dokter tidak
menjawab pertanyaan dengan jujur dan lengkap sebesar 40%.
Rumah sakit adalah ujung tombak pembangunan kesehatan masyarakat.
Namun, tak sedikit keluhan selama ini yang diarahkan pada kualitas pelayanan
rumah sakit yang dinilai masih rendah. Sebagai suatu unit jasa maka kualitas
pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakan hal yang sangat penting. Dengan
menjaga kualitas pelayanan maka rumah sakit dapat membangun kepercayaan dan
mempertahankan pasien yang telah menggunakan jasanya dalam bidang
kesehatan. Menurut Departemen Kesehatan RI, sesuai dengan Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor: 983/ Menkes/ SK/ XI/ 1992 tentang Pedoman Organisasi
Rumah Sakit Umum, Rumah Sakit Umum Pemerintah Pusat dan Daerah
diklasifikasikan menjadi Rumah Sakit Umum kelas A, B, C, dan kelas D.
Klasifikasi tersebut didasarkan pada unsur pelayanan, ketenagaan, fisik, dan
peralatan (Siregar, 2003). Kepmenkes tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan
mutu pelayanan rumah sakit, Rumah sakit tipe C biasanya merupakan rumah sakit
yang memberikan pelayanan spesialis dasar seperti kebidanan, penyakit dalam,
bedah, dan anak. Setiap kabupaten di tanah air pada umumnya mempunyai rumah
sakit tipe C ini. Rumah sakit tipe B mempunyai layanan yang lebih lengkap
sedangkan rumah sakit tipe A merupakan rumah sakit yang paling lengkap
(Djauzi, 2002).
Karena hal tersebut diatas maka yang ingin diketahui peneliti adalah apakah
kepuasan pasien tiap rumah sakit berbeda berdasarkan pengklasifikasian rumah
sakit dengan mengontrol komunikasi interpersonal-nya. Dalam hal ini antara
9
dokter dan pasien, karena frekuensi terbanyak pasien berinteraksi (khususnya
pasien rawat jalan) adalah dengan dokter. Dan apabila benar ada perbedaan
kepuasan berdasarkan klasifikasi rumah sakit umum pemerintah dengan
mengontrol komunikasi interpersonal antara dokter dan pasien, manakah yang
lebih memberikan kepuasan dari keempat klasifikasi tersebut. Karena idealnya
rumah sakit tipe A yang memiliki pelayanan teknis (jenis pelayanan, ketenagaan,
fisik, peralatan) paling lengkap dibanding rumah sakit dengan tipe dibawahnya,
memberikan pelayanan non teknis yang juga memuaskan. Hal tersebut tentunya
dikarenakan rumah sakit tipe A dianggap rumah sakit umum pemerintah yang
paling bagus. Seperti yang dikemukakan Smet (1994) bahwa penentu kepuasan
pasien adalah interaksi antara pasien dan tenaga kesehatan, maka diharapkan tidak
akan pernah terjadi tingkat kepuasan pasien di rumah sakit tipe A lebih rendah
dibanding kepuasan pasien di rumah sakit dengan tipe dibawahnya dilihat dari
segi non teknis, dalam hal ini komunikasi interpersonal. Sehingga hal tersebut
yang akan dibuktikan oleh peneliti sebagai latar belakang masalah penelitian.
METODE PENELITIAN
A. Subjek Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah Pasien Rumah Sakit Umum milik
Pemerintah yang ada di DI Yogyakarta. Karena Populasi terdiri dari golongan-
golongan yang memiliki susunan yang bertingkat, yaitu kelas A, B, C, dan D
maka digunakan teknik stratified sampling untuk mencari perwakilan dari
keempat tipe rumah sakit umum pemerintah tersebut. Sedangkan untuk pemilihan
10
sampelnya digunakan teknik purposive sampling, yaitu pemilihan sekelompok
subjek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai
sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah
diketahui sebelumnya (Hadi, 2001). Adapun ciri-ciri subjek adalah:
1. Laki-laki maupun perempuan
2. Usia 12 sampai 65 tahun
3. Status pasien rawat jalan, dan pernah berobat minamal satu kali.
B. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan dua skala, yaitu
skala kepuasan pasien dan skala komunikasi interpersonal yang disusun sendiri
oleh peneliti dengan menggunakan skala model Likert dengan 4 pilihan jawaban,
yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju
(STS).
1. Skala Kepuasan Pasien
Skala ini digunakan untuk mengukur tingkat kepuasan pasien. Aspek-
aspek yang digunakan sebagai acuan dalam pembuatan skala kepuasan pasien
adalah aspek-aspek yang dikemukakan oleh Tubbs (2001), yang meliputi:
aspek kognitif, aspek afektif, dan kepuasan pada bagaimana dokter
melakukan pemeriksaan.
2. Skala Komunikasi Interpersonal
Skala ini digunakan untuk mengukur tingkat komunikasi interpersonal.
Aspek-aspek yang digunakan sebagai acuan dalam pembuatan skala kepuasan
pasien mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh DeVito (1997), yaitu:
11
keterbukaan, empati, dukungan, kepositifan, dan kesamaan.
C. Metode Analisis Data
Teknik statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis terdapat hubungan
positif antara kepuasan pasien dengan pelayanan komunikasi interpersonal antara
dokter dan pasien adalah dengan menggunakan analisis korelasi product moment
dari Pearson. Sedangkan teknik statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis
ada perbedaan tingkat kepuasan pasien berdasarkan klasifikasi Rumah Sakit
Umum Pemerintah dengan mengontrol komunikasi interpersonal antara pasien
dan dokter digunakan teknik analisis kovariansi (anakova). Anakova adalah suatu
teknik statistik yang digunakan untuk menganalisis ada tidaknya perbedaan nilai
variable tergantung yang bergejala interval atau rasio antara 2 subjek atau lebih
yang terbagi berdasarkan atas satu atau lebih variabel bebas yang bergejala
nominal dengan mengontrol satu atau lebih variabel lain yang bergejala interval
atau rasio. Perhitungan uji korelasi dan analisis kovariansi dilakukan dengan
bantuan program SPSS (Statistic Program For Social Science) for Windows
Version 15.0.
HASIL PENELITIAN
1. Uji Asumsi
a. Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah variabel penelitian
ini terdistribusi secara normal atau tidak. Jenis uji yang digunakan adalah
uji Kolmogorov-Smirnov. Kaidah yang digunakan adalah jika nilai
12
signifikansi atau nilai probabilitas (?) > 0,05 maka sebaran data tersebut
normal. Dan sebaliknya jika ? < 0,05 maka sebaran data tersebut tidak
normal.
Hasil Uji Normalitas
Kepuasan Komunikasi
RSU Nilai Z Nilai ? Nilai Z Nilai ? ? Keterangan
Sleman 0,816 0,518 1,089 0,186 > 0.05 Normal
Wates 0,611 0,850 0,958 0,318 > 0.05 Normal
b. Uji Linieritas
Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah variabel kepuasan
pasien dengan variabel komunikasi interpersonal memiliki hubungan
yang linear. Teknik yang digunakan dalam pengujian ini adalah dengan
teknik test for linearity dengan bantuan program SPSS for Windows
Version 15.0.
Hubungan antara kedua variabel dikatakan linier apabila ? < 0,05
begitu pula sebaliknya, hubungan antara kedua variabel dikatakan tidak
linier apabila ? > 0,05. Hasil uji linearitas menunjukkan F = 113,896
dengan ? = 0,000. Karena ? < 0,05 maka hubungan kedua variabel
tersebut adalah linier.
c. Uji Homogenitas
Uji homogenitas ini bertujuan untuk menguji apakah sampel-sampel
tersebut mempunyai varians yang sama. Kedua varians populasi
dikatakan mempunyai varians yang sama atau homogen apabila ? > 0,05
13
begitu pula sebaliknya, dikatakan tidak homogen apabila ? < 0,05.
Dengan bantuan SPSS for Windows Version 15.0 dilakukan uji
Levene untuk mengetahui homogenitas sampel-sampel penelitian.
Dengan uji tersebut didapat F hitung = 0,053 dengan nilai signifikasi atau
nilai probabilitas sebesar ? = 0,819. Hal ini menunjukkan bahwa ? >
0,05; sehingga dapat dikatakan bahwa data berasal dari populasi-populasi
yang mempunyai varians sama atau terbukti homogen.
2. Uji Hipotesis
Metode yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel
kepuasan pasien dengan variabel komunikasi interpersonal adalah analisis
korelasi product moment dari Pearson. Sedangkan untuk membuktikan
bahwa kepuasan pasien berbeda berdasarkan klasifikasi rumah sakit umum
pemerintah dengan mengkontrol komunikasi interpersonal, digunakan metode
analisis kovariansi dengan menggunakan bantuan program SPSS for Windows
Version 15.0.
Dengan menggunakan analisis korelasi product moment dari Pearson,
didapat bahwa nilai korelasi antara variabel kepuasan pasien dengan
komunikasi interpersonal adalah rxy = 0,701 dan ? = 0,000 (? < 0,01). Hal ini
berarti menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara kepuasan pasien
dengan komunikasi interpersonal, sehingga hipotesis diterima. Semakin
tinggi komunikasi interpersonal antara dokter dan pasien maka semakin tinggi
pula kepuasan yang dirasakan pasien. Sebaliknya, semakin rendah
komunikasi interpersonal antara dokter dan pasien maka semakin rendah pula
14
kepuasan pasien. Koefisien determinasi hubungan antara kepuasan pasien
dengan komunikasi interpersonal menghasilkan nilai R Square = 0,492.
Artinya, komunikasi interpersonal memberikan sumbangan sebesar 0,492 ×
100 % = 49,2 % terhadap kepuasan pasien.
Hasil analisis data menggunakan metode kovariansi menunjukkan bahwa
F hitung untuk perbedaan kepuasan pasien di RSU Sleman dan RSU Wates
sebesar F = 3,197 dengan nilai signifikasi sebesar ? = 0,077 (? > 0,05). Hal
ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kepuasan pasien berdasarkan
klasifikasi Rumah Sakit Umum Pemerintah dengan mengontrol komunikasi
interpersonal antara pasien dan dokter, sehingga hipotesis yang diajukan
tidak diterima.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis data penelitian, maka hipotesis terdapat hubungan
positif antara kepuasan pasien dengan pelayanan komunikasi interpersonal antara
dokter dan pasien di rumah sakit umum pemerintah dapat diterima. Hal ini
ditunjukkan dengan analisis korelasi yang dilakukan dengan menggunakan teknik
korelasi product moment dari Pearson yang menunjukkan koefisien korelasi
sebesar rxy = 0,701 dengan ? = 0,000 (? < 0,01). Artinya, bahwa semakin tinggi
komunikasi interpersonal antara dokter dan pasien maka semakin tinggi pula
kepuasan yang dirasakan pasien. Sebaliknya, semakin rendah komunikasi
interpersonal antara dokter dan pasien maka semakin rendah pula kepuasan
pasien.
15
Hipotesis tersebut diatas, yang menyatakan terdapat hubungan positif antara
kepuasan pasien dengan komunikasi interpersonal, sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Smet (1994) yang menyatakan bahwa topik yang paling
penting dan banyak dibahas dalam perawatan kesehatan adalah interaksi antara
pasien dan tenaga kesehatan. Hubungan ini sangat penting karena menentukan
rasa puas pasien, ketaatan aturan medis, dan juga hasil akhir kesehatan pasien.
Dalam penelitian ini komunikasi interpersonal memberikan sumbangan sebesar
49,2% kepada kepuasan pasien. Hal tersebut menunjukkan bahwa komunikasi
sangat berperan penting terhadap kepuasan pasien.
Selain sesuai dengan pendapat Smet (1994), terbuktinya hipotesis ini juga
sesuai dengan penelitian yang dilakukan Resnani (2002) yang menunjukkan
bahwa komunikasi dokter yang pengukurannya meliputi kredibilitas dokter
sebagai komunikator, pesan-pesan verbal, dan pesan-pesan nonverbal komunikasi
dokter mempunyai pengaruh positif terhadap kepuasan pasien rawat jalan di
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. M. Yunus Kota Bengkulu.
Hasil tersebut diatas juga sesuai dengan hasil pengkategorian subjek dari
penelitian ini. Dengan menggunakan mean hipotetik, skala kepuasan pasien baik
di RSU Sleman maupun di RSU Wates berada dalam kategori sedang sampai
sangat tinggi. Dari 50 orang pasien di RSU Sleman, 72 % - nya berada dalam
kategori kepuasan pasien tinggi, yaitu sebanyak 36 orang. Sedangkan di RSU
Wates dari 50 orang pasien, yang berada dalam kategori tinggi sebanyak 40 orang
atau 80 %. Sama dengan skala kepuasan pasien, pengkategorian untuk skala
komunikasi interpersonal baik di RSU Sleman maupun RSU Wates berada dalam
16
kategori sedang sampai sangat tinggi. Dan frekuensi terbanyak di masing-masing
rumah sakit tersebut berada dalam kategori tinggi. Untuk RSU Sleman sebanyak
80 % pasien atau 40 orang, sedangkan RSU Wates sebanyak 84 % atau 42 orang
yang masuk dalam kategori tinggi.
Kepuasan pasien yang tinggi ini dapat dipengaruhi karena di daerahnya tidak
ada rumah sakit umum pemerintah yang memiliki tipe diatasnya, sehingga ke dua
rumah sakit tersebut menjadi rujukan pukesmas-puskesmas yang ada sekitarnya.
Ada kemungkinan pasien hanya membandingkan pelayanan antara puskesmas
tempat berobat terdahulu dengan rumah sakit yang sekarang menjadi rujukan.
Dalam hal ini RSU Sleman dan RSU Wates. Hasil perhitungan deskripsi subjek,
dari 50 pasien di RSU Sleman 22 % pasien merupakan pasien rujukan dari
puskesmas di daerah tersebut. Begitu juga di RSU Wates sebanyak 36 % pasien
yang merupakan pasien rujukan dari puskesmas. Hal tersebut diatas sesuai dengan
apa yang dikemukakan Rakhmat (2005) bahwa persepsi interpersonal dipengaruhi
faktor-faktor personal yang salah satunya adalah pengalaman.
Menurut badan statistik provinsi DI Yogyakarta tahun 2006/ 2007, di
Kabupaten Sleman terdapat tiga rumah sakit umum pemerintah, sedangkan di
kabupaten Kulon Progo hanya ada satu rumah sakit umum pemerintah. Ketiga
rumah sakit yang berada di kabupaten Sleman tersebut adalah RSU Sleman, RSU
Sardjito, dan RSU Jiwa Lalijiwa Pakem. Sedangkan rumah sakit umum
pemerintah yang berada di kabupaten Kulon Progo adalah RSU Wates
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Di kabupaten Sleman
walaupun ada tiga rumah sakit umum pemerintah namun lokasi ketiga rumah sakit
17
tersebut berjauhan. Sebanyak 40 % pasien di Sleman menyatakan bahawa alasan
mereka memilih RSU Sleman sebagai tempat berobat karena dekat dengan tempat
tinggal. Sesuai teori Rakhmat (2005) yang menyatakan bahwa faktor pengalaman
mempengaruhi persepsi interpersonal. Kemungkinan besar pasien tersebut tidak
pernah atau tidak memiliki pengalaman berobat di rumah sakit lain. Jadi bisa
dikatakan mereka merasa puas karena bagaimanapun di rumah sakit tersebut
mereka biasa berobat. Begitu juga dengan pasien di RSU Wates sebanyak 48 %
pasien menyatakan bahwa alasan berobat disana adalah karena dekat dengan
tempat tinggal. Apalagi menurut data statistik disana hanya ada satu rumah sakit
umum pemerintah.
Komunikasi interpersonal yang tinggi dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa dokter memiliki skill komunikasi yang cukup baik, sehingga komunikasi
interpersonal yang terjalin antara dokter dan pasien dapat berhasil. Menurut
Hardjana (2003) agar komunikasi dapat berhasil yang dibutuhkan adalah memiliki
kecakapan sosial (kecakapan kognitif) dan juga kecakapan behavioral. Untuk
kecakapan sosial, yang harus dimiliki adalah rasa empaty (empathy), perspektif
sosial (social perspective), kepekaan (sensitivity), pengetahuan akan situasi pada
saat berkomunikasi, serta memonitor diri (self-monitoring). Sedangkan untuk
kecakapan behavioral, meliputi keterlibatan interaktif, manajemen interaksi
(interaction management), serta keluwesan perilaku (behavioral flexibility).
Sebenarnya hal yang paling sederhanan untuk meningkatkan kepuasan pada
pasien saat berkomunikasi seperti yang dikemukakan Mustikasar (2006) adalah
yang pertama saat sedang bicara berhadapan. Maksudnya disini kadang dokter
18
sibuk sendiri, entah membenahi alat-alat medis atau sibuk membenahi berkas-
berkas di mejanya. Atau malah proses komunikasi terjadi di kursi praktek,
misalnya saja tempat tidur periksa atau kursi periksa dokter gigi. Yang ke dua
mempertahankan kontak mata. Kontak mata memberikan makna bahwa dokter
menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi. Yang ke
tiga membungkuk ke arak klien. Posisi ini secara psikologis menunjukkan
keinginan untuk mengatakan atau mendengarkan sesuatu sehingga membuat
pasien antusias menceritakan keluhannya. Yang ke empat mempertahankan sikap
terbuka, misalnya tidak melipat kaki atau tangan karena hal tersebut
menunjukkan batas antara dokter dan pasien. Pasien akan merasa dokter lebih
tinggi derajatnya sehingga merasa sungkan atau takut. Yang ke lima tetap relaks.
Yang dimaksud disini agar dokter tetap dapat mengontrol keseimbangan antara
ketenangan dan relaksasi dalam memberikan respon pada klien. Misalnya saat
menghadapi penyakit pasien yang kebetulan belum dokter kuasai, yang harus
dilakukan dokter adalah meyakinkan pasien jika dokter paham dengan penyakit
yang dideritanya, namun informasi yang diberikan tidak mengada-ngada. Yang
terakhir yang kadang dilupakan adalah berjabat tangan. Berjabat tangan ini
merupakan hal yang sepele dilakukan, namun memiliki arti yang sangat dalam.
Jabat tangan menunjukkan perhatian dan memberikan kenyamanan pada
pasiennya.
Hipotesis ke dua yang menyatakan ada perbedaan tingkat kepuasan pasien
berdasarkan klasifikasi rumah sakit umum pemerintah dengan mengontrol
komunikasi interpersonal antara pasien dan dokter, dari hasil perhitungan
19
menggunakan analisis kovariansi menunjukkan bahwa F hitung sebesar 3,197
dengan nilai signifikasi sebesar ? = 0,077 (? > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
hipotesis yang diajukan peneliti tidak diterima. Artinya, tidak ada perbedaan
tingkat kepuasan pasien berdasarkan klasifikasi rumah sakit umum pemerintah
dengan mengontrol komunikasi interpersonal antara dokter dan pasien. Dan dalam
penelitian ini antara Rumah Sakit Umum tipe B (RSU Sleman) dengan Rumah
Sakit Umum tipe C (RSU Wates).
Tujuan utama dari penelitian ini sebenarnya adalah untuk membuktikan
apakah benar rumah sakit umum pemerintah berstandar A memberikan kepuasan
yang lebih tinggi dibanding rumah sakit dengan standar tipe di bawahnya. Begitu
juga dengan tingkat kepuasan yang dimiliki rumah sakit B, maupun C
dibandingkan rumah sakit dengan tipe dibawahnya. Dan ternyata hipotesis yang
diajukan peneliti tidak terbukti, yaitu bahwa tidak ada perbedaan tingkat kepuasan
pasien berdasarkan klasifikasi rumah sakit umum pemerintah dengan mengontrol
komunikasi interpersonal antara dokter dan pasien.
Jadi penelitian ini menunjukkan bahwa klasifikasi rumah sakit umum
pemerintah bukanlah penentu tingkat kepuasan pasien dalam hal komunikasi
interpersonal antara dokter dan pasien. Dan alasan mengapa tidak ada perbedaan
kepuasan antara kedua rumah sakit tersebut, alasannya seperti halnya korelasi
antara kepuasan pasien dengan komunikasi interpersonal yang sama-sama
memberikan skor tinggi. Kemungkinan besar disebabkan karena kedua rumah
sakit tersebut menjadi satu-satunya tempat rujuan dari puskesmas-puskesmas yang
terdapat di sekitar daerah itu. Sehingga pasien hanya membandingkan pelayanan
20
yang ada di puskesmas dengan rumah sakit yang mereka kunjungi. Mungkin akan
menjadi berbeda apabila letak antara rumah sakit tipe A, B, C dan juga rumah
sakit tipe D berada di lokasi yang tidak terlalu jauh jaraknya atau minimal dalam
satu Kabupaten. Sehingga alternatif pemilihan rumah sakit yang akan dikunjungi
pasien beragam. Selain alasan tersebut, alasan lain tidak terbuktinya hipotesis
disebabkan karena rumah sakit yang dibandingkan hanya B dan C saja. Dimana
bila dilihat dari segi teknis kedua rumah sakit tersebut memiliki perbedaan yang
tidak begitu signifikan. Akan sangat mungkin muncul suatu perbedaan apabila
yang dibandingkan rumah sakit tipe A dengan C, A dengan D, atau rumah sakit B
dengan D.
Dalam pelaksanaan penelitian ini, ada beberapa kelemahan yang disadari oleh
peneliti, yaitu:
1. Peneliti hanya mampu mendapatkan dua sampel rumah sakit saja, yaitu RSU
tipe B dan tipe C, sehingga dalam membandingkan kepuasan berdasarkan
klasifikasi rumah sakit umum pemerintah dirasa tidak maksimal. Proses
administrasi perizinan merupakan salah satu faktor yang menjadi kendala
dalam penelitian ini. Salah satu rumah sakit yang mewakili klasifikasi tipe A
memiliki birokrasi yang sulit menurut peneliti, sehingga karena keterbatasan
waktu yang dimiliki peneliti, peneliti memutuskan untuk tidak meneliti rumah
sakit tersebut.
2. Kekurangan yang lain adalah dalam proses pelaksanaan pengambilan data,
yaitu peneliti masih kurang puas dengan jumlah subjek yang dijadikan
sampel. Hal ini disebabkan karena letak rumah sakit cukup jauh dari tempat
21
tinggal peneliti. Karena keterbatasan tenaga, waktu, dan biaya maka jumlah
subjek yang diambil hanya terbatas.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan peneliti, didapat hasil r = 0,701
dengan ? sebesar 0,000 (? < 0,01). Maka dapat diambil kesimpulan bahwa ada
hubungan positif antara kepuasan dengan komunikasi interpersonal antara dokter
dan pasien, sehingga hipotesis diterima. Jika komunikasi interpersonal yang
terjalin antara dokter dan pasien tinggi, maka tinggi pula kepuasan yang dirasakan
pasien tersebut. Sebaliknya, semakin rendah komunikasi interpersonal maka
semakin rendah pula kepuasan yang dirasakan pasien. Besarnya sumbangan
komunikasi interpersonal terhadap kepuasan adalah sebesar 49,2 % dan
selebihnya sebesar 50,8 % dipengaruhi oleh faktor lain diluar komunikasi
interpersonal antara dokter dan pasien, seperti biaya rumah sakit, bukti langsung
(pelayanan, ketenagaan, fisik dan peralatan), serta interaksi pasien dengan tenaga
rumah sakit lainnya (perawat, apoteker, tenaga administrasi, dan lain-lain).
Sedangkan hipotesis kedua yang menyatakan ada perbedaan tingkat kepuasan
pasien berdasarkan klasifikasi rumah sakit umum pemerintah dengan mengontrol
komunikasi interpersonal antara dokter dan pasien ternyata tidak terbukti. Dengan
analisis menggunakan analisis kovariansi didapat hasil F = 3,197 dengan
? = 0,077. Karena nilai signifikasi > 0,05 maka hipotesis yang diajukan peneliti
tidak diterima. Sehingga kesimpulannya tidak ada perbedaan kepuasan pasien
berdasarkan klasifikasi rumah sakit umum pemerintah dengan mengontrol
22
komunikasi interpersonal antara dokter dan pasien.
SARAN
A. Subjek penelitian
Untuk meningkatkan kepuasan pasien, pasien diharapkan agar lebih aktif
menanyakan penyakit yang dideritanya. Jangan malu atau malas bertanya
karena sudah menjadi hak pasien untuk mendapatkan informasi yang lengkap,
tepat, dan jelas.
B. Dokter
Untuk meningkatkan kepuasan pasien, yang harus dimiliki dokter adalah
kemampuan komunikasi yang baik. Sehingga dalam konteks ini, yang harus
ditingkatkan oleh para dokter adalah skill komunikasinya. Dan hal tersebut
misalnya dapat dilakukan dengan cara ikut pelatihan-pelatihan atau banyak
membaca buku mengenai komunikasi interpersonal.
C. Rumah Sakit:
1. Diadakan pelatihan kemampuan komunikasi interpersonal baik kepada
dokter maupun tenaga medis lainnya untuk meningkatkan kemampuan
komunikasi.
2. Rutin menyebar quesioner kepada pasien untuk memantau atau
mengetahui tingkat kepuasan yang dirasakan pasien terhadap pelayanan
yang ada di rumah sakit tersebut, misalnya tiap satu tahun atau enam
bulan sekali.
23
D. Untuk peneliti selanjutnya :
1. Sedapat mungkin menggunakan sampel rumah sakit tipe A, B, C , dan
juga D. Dan diusahakan ke empat tipe tersebut berada dalam satu
wilayah yang tidak terlalu jauh jaraknya. Adapun bila nantinya hanya
membandingkan dua rumah sakit, diharapkan peneliti membandingkan
rumah sakit tipe A dengan C, A dengan D, atau B dengan D. Sehingga
diharapkan hipotesis yang menyatakan ada perbedaan kepuasan
pelayanan antar rumah sakit umum pemerintah benar-benar terbukti.
2. Mengukur kepuasan secara global tidak sebatas hubungan komunikasi
antara dokter dan pasien saja.
3. Pada penelitian berikutnya, diharapkan kepada peneliti supaya
pengambilan data dilakukan tidak hanya menggunakan teknik quesioner,
namun juga wawancara. Hal tersebut dengan maksud agar data yang
diambil semakin lengkap dan terperinci.
4. Administrasi perizinan harus dipersiapkan jauh-jauh hari, karena
berbungan dengan suatu instansi biasanya memakan waktu yang cukup
lama.
24
DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. 2004. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press. Azwar, S. 2002. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. _______ . 2005. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. _______ . 2007. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. De Vito, J. A. 1997. Komunikasi Antarpribadi. Jakarta: Professional Books. DepKesRI. 1976. Standarisasi Rumah Sakit Umum Kelas C & Kelas D. Jakarta:
DepkesRI. ________. 1986. Pedoman Pelayanan Rumah Sakit Kelas B (Subkelas B1).
Jakarta: DepkesRI. ________. 1989. Pola Prosedur Kerja Tetap (Protap) di Rumah Sakit Kelas C
&D. Jakarta: DepkesRI. Djauzi, S. 2002. Konsultasi Kesehatan. http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0205/19/lptek/kons22.htm.17/05/07 Gerson, F. R. 2004. Mengukur Kepuasan Pelanggan. Jakarta: PPM. Hadi, S. 2001. Statistik : Jilid 2. Yogyakarta: Andi Offset. Hardjana, A. M. 2003. Komunikasi Intarpersonal dan Interpersonal. Yogyakarta:
Kanisius. Harianto; Khasanah, N. & Supardi, S. 2005. Kepuasan Pasien terhadap Pelayanan
Resep di Apotek Kopkar Rumah Sakit Budhi Asih Jakarta. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. II, No. 1, 12-23.
Kaltimpost. 2005. RSU AWS Akui Ketentuan Uang Muka.
http://www.kaltimpost.web.id/berita/index.asp?Berita=Prokaltim&id=128134.03/10/2007
Kotler, P. 2005. Manajemen Pemasaran: Edisi ke II Jilid I. Jakarta: PT INDEKS
Kelompok Gramedia. Musanif, M. 2007. Hoi....!!!! amak indak ka barubek.
http://musriadi.multiply.com/journal/item/55-22k.02/06/08 Mustikasari. 2006. Komunikasi dalam Pelayanan Keperawatan II.
25
http://mustikanurse.blogspot.com/2006/12/komunikasi-dalam-pelayanaan-keperawatan-12.html.17/05/07
Nadesul, H. 2007. Haruskah kita mengekspor pasien.
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0701/12/kesehatan/3234081.htm-44k-.17/05/07
Rakhmat, J. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Resnani. 2002. Pengaruh Komunikasi Dokter terhadap Kepuasan Pasien Rawat
Jalan. Jurnal Penelitian UNIB, Vol. VIII, No. 2, 105-110. Siregar, C. J.P. 2003. Farmasi Rumah Sakit: Teori dan Penerapan. Jakarta: EGC. Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: Rasindo. Sugiarto, E. 1999. Psikologi Pelayanan dalam Industri Jasa. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. Tubbs, S. L. & Moss, S. 2001. Human Communication (Konteks-konteks
Komunikasi): Buku kedua. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Umar, H 2002. Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
26
Identitas Penulis
Nama : Cicik Widiastuti
Alamat : Jl. Kaliurang Km 12 Candikarang No. 19 Ngaglik Sleman
Yogyakarta
No. HP : 08121577324