Monika Ary Kartika Catalogue

16
A Solo Exhibition by Monika Ary Kartika Blue Festival, 177 x 147 cm, oil and mix media on canvas C o n F e s t i v i t a

description

Monika Ary Kartika Catalogue, solo exhibition at vivi yip art room, november 2010. Designed by Kotasis Kamar Desain 3x3x3

Transcript of Monika Ary Kartika Catalogue

Page 1: Monika Ary Kartika Catalogue

A Solo Exhibition by Monika Ary Kartika

Blue Festival, 177 x 147 cm, oil and mix media on canvas

Con Festivita

Page 2: Monika Ary Kartika Catalogue

2

Page 3: Monika Ary Kartika Catalogue

3

Gelora, 155 x 197 cm,oil and mix media on canvas

Green Carnaval,155 x 197 cm,oil and mix mediaon canvas

Page 4: Monika Ary Kartika Catalogue

4

Black and White, 177 x 147 cm,oil and mix media on canvas

Page 5: Monika Ary Kartika Catalogue

5

Studio Monika Ary Kartika terletak di kawasan pegunungan dekat Lembang, Bandung yang jauh dari kawasan perkotaan. Di sana ia bekerja, biasanya sendirian tapi ia tidak merasa kesepian. Selain pelukis, Monika hobi berdansa dan secara tetap menghadiri acara dansa pada klub-klub dansa Latin. Aneh, ketika ia hadir pada suasana riuh ini (dansa Latin dikenal sangat festive, tercermin pada gerak tubuh dan kostumnya), Monika justru merasa kesepian. Berpangkal pada paradoks ini, sejak tahun 2008 Monika menjelajahi rasa festive dan mengungkapkan pencarian ini melalui karya-karyanya.

Sudah tentu ia mula-mula mencoba mengangkat suasana klub dansa Latin yang diikutinya secara tetap. Ia

Con Festivita*Con Festivita: “raya” dalam Bahasa Latin /Latin for “with feasts”

Monika Ary Kartika’s studio is located in the mountain-ous area around Lembang, Bandung, far removed from the urban area. She works there, usually alone, but she does not feel alone. Apart from being a painter, Monika is also a dancer who regularly attends danc-ing events in Latin dance clubs-especially Salsa clubs. Strangely enough, it is precisely when she is in the middle of such merry events—Latin dance is known to be very festive, as evident in the movements and costumes—that Monika feels alone. It was with this paradox in mind that Monika set out in 2008 to explore the experience of festivity and express her explora-tions through her works.

by Jim Supangkat /curator/

Page 6: Monika Ary Kartika Catalogue

6

membuat sejumlah foto suasana ruang-ruang dansa dan foto kawan-kawannya ketika berdansa. Monika kemudian mengolah foto-foto ini, mengedit, menggabungkan, mengubah, atau menambah warna melalui proses digital pada komputer dan kemudian memindahkannya ke atas kanvas. Ternyata Monika merasa tidak menemukan apa yang dicarinya. Lukisan-lukisan yang dihasilkannya justru menampilkan suasana lengang yang sepi. Sejumlah lukisannya terpusat pada penggambaran para pedansa dengan latar kosong. Sejumlah lagi menampilkan kerumunan pendansa yang sama sekali tidak menampilkan kesan festive. Warna pada lukisan-lukisan ini cenderung khromatik dan gelap; menampilkan suasana muram. Monika merasa seperti tertahan untuk menampilkan warna cerah yang festive.

Maka Monika kembali menjelajah mencari subject matter dan suatu ketika perhatiannya terpancing pada Jember Fashion Carnaval di kota Jember yang secara tetap diberitakan harian Kompas. Ia mendatangi festival ini dan mencoba mendalaminya. Perayaan ini merupakan parade di mana semua peserta menampilkan pakaian karnaval yang dirancang sendiri yang dibimbing oleh tim pemrakarsa. Tradisi ini dimulai sekitar sembilan tahun lalu dan diselenggarakan setiap tahun. Waktunya, beberapa hari menjelang bulan Ramadhan. Pemrakarsa tradisi ini adalah perancang busana Dynand Fariz, di Jember yang mempunyai industri fashion. Namun perayaan ini tidak punya tujuan komersial. Para peserta membiayai sendiri pakaian karnaval yang diperagakan. “Ada yang sampai menjual motor untuk bisa mengikuti karnaval ini,” kata Monika mengisahkan.

Naturally enough, she began by pre-senting the atmosphere of the Latin dance clubs to which she usually goes. She browsed the Internet look-ing for pictures and information about international Latin dance competitions all over the world. Monika then digitally processed the pictures—edited, combined, changed them, or added some colors to them—before transferring them on to her canvases.

It turned out that Monika did not find what she was looking for. The paintings she created turned out to present lonely, quaint atmosphere. Some of her paintings are focused on the dancers, with empty backgrounds. Others present a crowd of dancers but with no festive atmosphere what-soever. The colors tend to be dark, giving rise to a gloomy atmosphere. Monika felt as if she was restricted in her effort to present festive, bright colors.

Monika pressed on with her explo-rations and sought other subject matters, and one day Jember Fash-ion Carnival caught her attention. This is a carnival held in the small town of Jember in East Java, and the Indonesian news daily Kom-pas regularly writes about it. All participants in this carnival show lavish carnival costumes that they design themselves, along with the designs by fashion designers from many East Java cities. The tradi-tion began around nine years ago and has been held regularly every year ever since, usually one month be-fore the Ramadan fasting month. The founders and initiators were sev-eral Jember fashion designers-cum-

Page 7: Monika Ary Kartika Catalogue

7

Monika merasa menemukan obyek lukisan yang dicarinya. Ia membuat sejumlah besar foto dari ratusan peserta karnaval, mewawancarai beberapa peserta, berkenalan, menanyakan suka-duka mereka dan bercengkrama. Bukan hanya suasana festive yang teatrikal yang ditemukannya pada perayaan ini. Dari perkenalannya dengan pemrakarsa dan para peserta, Monika merasakan kebersamaan pada penyelenggaraaan festival ini seperti kebersamaan pada upacara-upacara di dunia tradisi. Ada kegembiraan bersama yang dirasakannya positif. Kegembiraan ini meluas ke semua orang yang menghadiri perayaan ini, “Banyak orang luar seperti saya ikut merasakannya,” ungkap Monika. “Terlihat pada wajah-wajah mereka yang antusias.”

Maka pada 2009 Monika mulai mengangkat foto-foto yang dibuatnya di Jember Fashion Carnaval ke atas kanvasnya. Ia kembali mengolah foto-foto ini dan tidak sekadar memindahkannya ke lukisan. Didorong keinginan memperluas khazanah visual perayaan seperti ini ia melakukan browsing dan menemukan Brazil Carnival yang diselenggarakan di dua kota di Brazil; Rio de Janeiro dan Sao Paolo yang kemudian dipertandingkan di Sambodromo (tempat utama di Rio de Janeiro yang khusus dibuat untuk karnaval pada tahun 1984). Ia segera merasakan kesamaan karnaval ini dengan karnaval di Jember. Dari browsing, Monika menemukan Brazil Carnival diikuti oleh sekolah-sekolah dansa Samba di kedua kota tadi. Acara di Sambodromo diselenggarakan setiap tahun selama 4 hari (sejak Sabtu-Selasa) sebelum permulaan masa puasa pada agama Katolik (Rabu Abu). Perayaan besar

entrepreneurs. The carnival, howev-er, has no commercial objective. The participants are self-sufficient and fund their designs themselves. “Some even went so far as selling their motorbikes to be able to take part in this carnival,” Monika said.

Monika felt that she has found the right object for her paintings. She took a lot of pictures and inter-viewed scores of participants. She made acquaintances, asked them about their ups and downs in the process of taking part in the carnival, and chatted amicably with them. Here she does not only discover theatrical festive atmosphere, but also a sense of camaraderie that is similar to the sense of communality in tradi-tional ceremonies. She feels that there is a sort of shared happiness that she finds positive. The joy spreads to everyone who attends the carnival. “Many outsiders like me also feel the thrill,” Monika said. “It’s obvious from the enthusiastic looks on everyone’s face.”

In 2009, Monika started to trans-fer the pictures she took in Jem-ber Fashion Carnival to her can-vas. Again, she first processed the pictures rather than simply trans-forming them into paintings. Driven by the desire to expand her visual knowledge about such festivities, she browsed the Internet and found out about the Brazil Carnival held in two Brazilian cities: Rio de Ja-neiro and Sao Paolo. She immedi-ately sensed the similarity between the Brazilian carnivals and Jember Fashion Carnival. From her Inter-net research, Monika found out that Brazil Carnival began only in the

Page 8: Monika Ary Kartika Catalogue

8

ini digelar mulai jam 8 malam sampai jam 5.30 pagi, tidak seperti Jember Fashion Carnaval yang digelar pada siang hari. Brazil Carnival diikuti oleh ribuan peserta dan dihadiri oleh ratusan ribu pengunjung.

Dari membandingkan kedua karnaval ini, Monika merasa perayaan-perayaan itu adalah pesta rakyat yang menunjukkan ikatan komunal. Pada masyarakat yang masih menjalankan tradisi, upacara yang mirip dengan perayaan ini menunjukkan masih kuatnya ikatan komunal. “Tapi kedua karnaval itu bukan tradisi seperti upacara adat di Bali, Yogyakarta, dan Solo yang sarat dengan keperluan religi tertentu,” kata Monika. “Kedua karnaval ini tradisi baru dan saya merasa bisa masuk karena karnaval-karnaval ini seperti tradisi masa kini.” Dari pemahaman ini Monika merasa bahwa masyarakat dalam kehidupan masa kini sebenarnya masih tetap memerlukan ikatan komunal. Kebutuhan inilah yang melahirkan karnaval-karnaval di pelbagai kota di negara mana pun.

Kesadaran itu membawa Monika ke konsep mendasar dalam berkarya. “Saya merasa lukisan-lukisan saya lebih memperlihatkan pikiran positif,” katanya. Pandangan ini berkaitan dengan pengalaman pada perjalanan berkaryanya. Pada awal karirnya Monika menjelajahi ruang individu yang sepi dan muram. Waktu itu ungkapannya menampilkan ruang kosong dengan tanda-tanda minimal mempertanyakan kematian karena pernah diduga mengidap penyakit kanker payudara yang fatal, diagnosa yang ternyata tidak benar.

Lukisan-lukisan pada pameran tunggalnya ini mencerminkan penjelajahan Monika

nineties, through the initiative of Samba dance schools in the two cities. The carnival is held every year before the Easter celebration, prior to the Catholic fasting month.

As she compared the two different carnivals, Monika felt that these celebrations were actually folk celebrations revealing communal ties. In societies where traditions are still strongly held, ceremo-nies similar to such celebrations point at the strength of the commu-nal ties. “These carnivals, howev-er, are not like the traditions like in Bali or Solo,” said Monika. “The two kinds of carnivals are new and I think I am able to relate to them because they feel contemporary.” Monika thus felt that the contem-porary society still needs communal ties. It is perhaps such needs that have given rise to the carnivals.

Such realization led Monika to a certain fundamental idea for her work. “I feel that my paintings start to show stronger positive ideas,” Monika conceded. This view is related to the experiences she has had during her artistic jour-ney. Early on in her career, Monika traversed the gloomy and lonely in-dividual spaces. At the time, her artistic expressions showing empty spaces with minimal signs actual-ly talked about death—she had been wrongly diagnosed as suffering from a fatal cancer.

Seven paintings in this solo ex-hibition reflect Monika’s explora-tion in searching for the festive soul that she believed was related to positive thoughts. These paint-

Page 9: Monika Ary Kartika Catalogue

9

mencari rasa festive yang diyakininya berkaitan dengan pikiran positif. Lukisan-lukisan ini bukan penggambaran karnaval-karnaval yang direkamnya lewat foto. Lukisan-lukisan ini adalah ekspresi festive yang ditampilkan melalui gambaran manusia, permainan warna, ornamentasi, brush strokes, dan collage (Monika menerapkan payet dan manik-manik pada lukisannya) dalam susunan yang riuh.

Eskpresi itu seperti mencoba menampilkan spirit di balik perayaan di mana semua orang yang terlibat melepaskan posisinya sebagai individu dan memasuki sebuah ruang komunal. Komposisi riuh pada lukisan-lukisan ini tidak cuma menampilkan kegembiraan yang bermuara pada pleasure. Susunan pada lukisan-lukisan Monika terlihat mencoba menampilkan suasana ruang magis yang tranquilizing. Kendati sekilas terkesan datar, ruang pada lukisan-lukisan ini muncul karena penataan lapisan (layers). Monika membangun lapisan-lapisan ini dengan membedakan tingkat ketajaman gambaran dan penerapan brush strokes.

Pada semua lukisan itu ada point of interest. Pada posisi sentral ini Monika menampilkan wajah dan tubuh. Gagasan ini muncul dari kecermatannya mengamati kedua karnaval. Ia merasa kedua karnaval ini merayakan tubuh. Pangkalnya tentu dorongan untuk tampil teatrikal. “Tapi kreativitas mengejutkan pada perayaan tubuh ini tidak untuk menonjolkan diri,” katanya. Pada Karnaval Jember ia melihat wajah menyatu dengan tubuh dalam menampilkan cerita karena disain kostum Karnaval Jember ini selalu didasarkan cerita. Wajah menjadi tidak bisa dikenali lagi karena olahan make

ings do not depict the carnival that she has documented in photographs. Rather, they show festive expres-sions through the depictions of hu-mans and through color play, orna-ments, brush strokes, and collage (Monika uses beads and glitters in her paintings) in vibrant arrange-ments.

Such expressions seem to try to reveal the spirit behind the fes-tivities where every participating person lets go of his or her posi-tion as individuals, and tries to enter a communal space. Monika does not only present frenzied composi-tions in the paintings revealing the joy that originates from feelings of pleasure, but also hints at cer-tain magical, tranquilizing space. Although they seem rather flat at a glance, spaces in these paintings arise due to the arrangement of many different layers. Monika constructs the layers by distinguishing the sharpness of each image and by ap-plying brush strokes.

All the paintings have certain points of interest. It is in that central position that Monika de-picts faces and bodies. She had the idea to do this after thoroughly observing the carnivals. She feels that the two different carnivals are actually celebrating the body, based certainly on the desire to appear in theatrical presentations. “The mind-boggling creativity in this celebration of the body, how-ever, isn’t there for self-promo-tion,” Monika said. In the Jember carnival, Monika observed how the face “merges” with the body as each participant tries to present his

Page 10: Monika Ary Kartika Catalogue

10

up. Sementara itu perayaan tubuh lebih nyata pada Karnaval Brazil. “Selain tubuh perempuan, tubuh laki-laki dan tubuh waria dirayakan juga,” kata Monika menegaskan. “Wajah yang ceria menyatu juga dengan tubuh di tengah kostum gemerlap yang pada kepala dan tubuh sama meriahnya.”

Persoalan tubuh memang muncul pada pemikiran masa kini menentang totalitas kekuasaan yang terstruktur oleh rezim representasi yang dibenarkan ilmu pengetahuan. Dalam rezim representasi ini tubuh berfungsi untuk pembuktian material dalam pemikiran tentang manusia. Dorongan tubuh (desire) yang relatif sulit dibuktikan secara material dengan sengaja disingkirkan untuk mengukuhkan kebenaran material. Karena itu filosof Michel Foucault melihat kekuasaan yang terstruktur ini mencerminkan kedaulatan rasio dan membuat setiap orang ikut menindas tubuhnya sendiri. Bagi Foucault, ini pembunuhan vitalitas atau daya hidup yang tercermin pada ekspresi tubuh. ---

or her narrative, because the cos-tumes presented in the Jember carni-val are invariably narrative-based. The face becomes unrecognizable due to the heavy make-ups, and there-fore seems to disappear altogether. Meanwhile, the celebration of the physique is stronger in the Brazil-ian carnival. “Apart from the female body, the carnival also celebrates the male and the transvestite bod-ies,” Monika said. “The happy faces eventually ‘merge’ with the body with the use of such dazzling cos-tumes, in which the heads and the bodies are equally striking.”

The issue of the body indeed ap-pears in contemporary ideas against the totalitarian power constructed by the representation regime justi-fied by science. In such a represen-tation regime, the body serves as material evidence for ideas about human beings. The corporeal drives (desires) that are relatively dif-ficult to prove materially have been deliberately marginalized so that material truths can be confirmed. The philosopher Michel Foucault, therefore, believed that structured power—reflective of the power of the ratio—oppresses the body and makes every person also repress his or her body. To Foucault, this constitutes the murder of vitality as reflected in corporeal expressions. ---

Page 11: Monika Ary Kartika Catalogue

11

EDuCATION2001-2006 Painting Studio, Faculty of Fine Arts and Design, Bandung Institute of Technology (Cum Laude)

SELECTED ExHIBITIONS2010- Bazaar Art Jakarta 2010, Ballroom Ritz-Carlton, Pasific Place, Jakarta- Pameran keliling 6 kota Ilustrasi Cerpen KOMPAS 2009 di Bentara Budaya Jakarta, Biro Kompas Bandung, Balai Soedjatmoko Solo, Bentara Budaya Yogyakarta, Galeri ORASIS Surabaya, Bentara Budaya Bali - Pameran 95 nominee Biennale Indonesia Art Award, Galeri Nasional, Jakarta- “Space and Image”, Ciputra World Marketing Gallery, Casablanca, Jakarta- Lawang Wangi’s Inagural Exhibition, “Halimun, The Mist”, A Reflection upon the Development of Indonesian Contemporary Art, Art Sociates, Bandung- “Veduta”, Bandung Initiative #5, Vanessa Art Link, Jakarta

2009- “My Body”, 43 seniman perempuan, Grand Indonesia, penyelenggara Andi Gallery, Jakarta- Bazaar Art Festival 2009, Ballroom Ritz-Carlton, Pacific Place, Jakarta-“up and Hope”, d’Peak Gallery, Jakarta

Monika AryKartika

Bandung, 17 November 1982

- Pameran Ilustrasi Cerpen KOMPAS 2008 plus karya pendamping di Bentara Budaya Jakarta dan Bentara Budaya Jogjakarta, Solo, dan Bentara Budaya Bali- Ilustrasi Cerpen KOMPAS 26 April 2009- Program MOSAIC “GRIP : Young Contemporary Artists from Indonesia and China”, Art Distrik 798, Vanessa Art Link, Beijing, China- “Reborn”, Grand Opening of H2 Gallery, Semarang.

2008- “Art with an Accent”, pameran ke-6 Asosiasi A-One (Asia Art Communication), 4 negara : Jepang, Korea, China, Indonesia. Di North Shamian Street, Liwan, Guangzhou, China. - “The 13th Asian Art Biennale Bangladesh 2008”, 26 negara dari Asia, Amerika Latin, dan Eropa. Di National Museum, Dhaka, Bangladesh.- “The 19th Asian Water Colours 2008”. Di Museum Neka, ubud, Bali. - Ilustrasi Cerpen KOMPAS 23 November - “Ini, Baru Ini”, Grand Opening Vivi Yip Art Room, Jakarta.-“untukmu Perempuan Indonesia”, persembahan Yayasan Kanker Indonesia. Di Gedung Arsip Nasional Indonesia, Jakarta.

2005- Pameran Fotografi “Displaced Spaces”,

Page 12: Monika Ary Kartika Catalogue

12

Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. Pameran hasil workshop bimbingan fotografer asal Korea, Han Sung Pil. - Pameran Fotografi “Asian-Europe Art Camp”, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. Bekerja sama dengan Common Room

GROuP ExHIBITONS2007- “LOVE”, The Peak, Lembang.- “Tribute to Barli”, Bale Seni Barli, Kota Baru Parahyangan, Padalarang.

2006- Ars Mobilis 2006 “Earthborn, Heavenbred”, Ciwalk, Bandung.- Pameran Bersama IWPI Jawa Barat (Ikatan Wanita Pelukis Indonesia), Bandung.- Pameran “Charity for Mamannoor”, Galeri Adira, Bandung

2005- “50 x 50”, dalam Rangka Peringatan 50 tahun KAA, Galeri Kita, Bandung.- Pameran Bersama Seniman Bandung, Pendopo Walikota, Bandung.

2004- “Steal Life”, Galeri Sumardja, FSRD ITB, Bandung.- Pameran Seni Rupa Perempuan, Galeri Soemardja, ITB, Bandung.

2002- Pameran TPB FSRD ITB angkatan 2001 di Aula Barat ITB, Bandung.

AWARDS2010Finalis Indonesia Art Award

2004Finalis Kompetisi Melukis Landscape, Bale Seni Barli, Padalarang

2000Finalis Kompetisi Melukis untuk beasiswa universitas Lim Kok Wing, Malaysia

1999Juara II Kompetisi Melukis TIngkat Nasional, kerja sama Majalah GADIS dengan OREO

1995- Juara I Kompetisi Melukis Tingkat Nasional, Majalah Jayabaya, Surabaya- Penghargaan dari uNESCO, lukisan dijadikan kartu pos uNESCO

1993- Juara I Kompetisi Melukis Tingkat Nasional, KTT Non Blok, mendapat piala dari Menteri Pariwisata dan Budaya

1991- Juara I Kompetisi Melukis se-Bandung, Gramedia Bandung

1990- Gajah Perak dari Jerman- Medali Perak dari NHK, Jepang

Page 13: Monika Ary Kartika Catalogue

13

Con Festivita, 177 x 147 cm, oil and mix media on canvas

Night Cracker,

177 x 147 cm,oil and mix media on canvas

Page 14: Monika Ary Kartika Catalogue

14

Merak dan Si Bulbul,

177 x 147 cm,oil on canvas

Arak-arakan,

177 x 147 cm,oil on canvas

Page 15: Monika Ary Kartika Catalogue

15

Ngaso,

177 x 147 cm,oil on canvas

Balloon,

177 x 147 cm, oil on canvas

Page 16: Monika Ary Kartika Catalogue

DESIGNED BYGamaliel W. BudihargaKotasis Kamar Desain 3x3x3Yogyakarta, Indonesiawww.kotasis.com

EDITION500 copies

CATALOGuE FORA Solo Exhibition byMonika Ary Kartika

“CON FESTIVITA”

TRANSLATED BYRani Elsanti

PuBLISHED BY2010. vivi yip art roomJakarta, Indonesia

PRINTED ININDONESIA

Celebration, 177 x 147 cm, oil on canvas