Makalah Ulumul Hadits Shahih, Hasan, Dan Dhaif

82
MAKALAH HADITS SHAHIH, HASAN, DAN DHA’IF Mata Kuliah : Ulumul Hadits Dosen Pengampu : Dr. H. M. Akib, M.Ag. Disusun oleh Kelompok 5 Psikologi Islam B : Zuliana Halimatus Sa’diyah (933406914) Putri Mahsunatul Qoiriah (933407014) Iva Nur Kiftiyah (933407114) Annisa Nuril Fadilla (933407314) PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM JURUSAN USHULUDDIN

description

menjelaskan dari subtansi-substansi hadits dari tingkat shahihnya

Transcript of Makalah Ulumul Hadits Shahih, Hasan, Dan Dhaif

MAKALAH

HADITS SHAHIH, HASAN, DAN DHA’IF

Mata Kuliah : Ulumul Hadits

Dosen Pengampu : Dr. H. M. Akib, M.Ag.

Disusun oleh Kelompok 5 Psikologi Islam B :

Zuliana Halimatus Sa’diyah (933406914)

Putri Mahsunatul Qoiriah (933407014)

Iva Nur Kiftiyah (933407114)

Annisa Nuril Fadilla (933407314)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM

JURUSAN USHULUDDIN

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

KEDIRI

2014

A. PENDAHULUAN

Pengkodifikasian hadits sudah dimulai sejak abad ke-2 H. Pada masa

ini belum ada klasifikasi antara hadits-hadits marfu’, mauquf dan maqthu’.

Setelah tersusun kitab-kitab tadwin, para ulama’ hadits berdasarkan jumlah

perawinya membagi hadits menjadi dua, yaitu mutawatir dan ahad. Hadits

mutawatir bersifat qath’iy ats-tsubut (absah secara mutlak) yang wajib

diterima dan diamalkan. Sedangkan hadits ahad masih bersifat dhanniy

(dugaan yang kuat akan kebenarannya). Sehingga harus diteliti lagi baik

sanad maupun matannya.

Dari segi kualitasnya, hadits ahad dibagi menjadi tiga, yaitu hadits

shahih, hasan, dan dha’if. Pengklasifikasian ini terjadi pada abad ke-3 H yang

didasarkan atas penelitian terhadap sanad dan matan hadits. Sebuah hadits

harus terbukti keotentikannya atau keshahihannya. Sebuah hadits harus

memiliki kriteria-kriteria otentisitas hadits yaitu: (1) Diriwayatkan dengan

sanad (jalur transmisi) yang bersambung sampai Rasulullah saw; (2) Sanad

tersebut terdiri dari orang-orang yang bertakwa dan kuat ingatannya; (3)

Kandungan matan hadits tidak berlawanan dengan al-Qur’an atau hadits lain

yang diriwayatkan dengan sanad yang kualitasnya lebih unggul; dan (4)

Hadits tersebut tidak mengandung kecacatan. Namun demikian, tetap ada

golongan yang menolak otentisitas hadits, yakni kaum orientalis.

Dari ulasan singkat sejarah hadits diatas, pemakalah akan membahas

lebih lanjut tentang bagaimana penjabaran substansi-substansi dari hadits

shahih, hasan, dan dha’if. Kemudian tentang bagaimana perbedaan pemikiran

ulama’ hadits klasik dengan ulama’ hadits kontemporer. Dan tentang

kontroversi orientalis dalam menilai otentisitas suatu hadits.

B. SETTING HISTORIS

1. Ulama’ Hadits Klasik

1

Pada mulanya, hadits berdasarkan jumlah perawinya dibagi

menjadi hadits mutawatir dan hadits ahad. Sedangkan hadits ahad dibagi

lagi menjadi dua berdasarkan dari segi kehujjahannya, yaitu hadits

maqbul dan mardud. Menurut mayoritas ulama’ hadits maqbul adalah

hadits shahih dan hadits hasan, sedangkan hadits mardud adalah hadits

dha’if.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hadits tersebut salah

satunya intelektualitas para perawi yang berbeda-beda. Kemudian jalur

periwayatan hadits yang bervariasi seperti contohnya riwayat hadits oleh

Bukhari,Muslim,Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibn Majah dan lain-

lain. Kemudian persambungan sanad mulai dari awal sampai akhir.

Disini tingkat kedhabitan perawi sangat penting agar mata rantai sanad

dan matan terjaga.

2. Ulama’ Hadits Kontemporer

Masa ulama’ hadits kontemporer adalah masa pengembangan dan

penyempurnaan sistem penyusunan kitab hadits. Setelah munculnya

Kutub as-Sittah, al-Muwaththa’ karya Imam Malik, serta al-Musnad

karya Ahmad ibn Hanbal, para ulama’ mengalihkan perhatian pada upaya

menyusun kitab-kitab Jawami, kitab Syarah Mukhtasar, Tahrij, kitab

Athraf dan Jawaid, serta menyusun kitab hadits secara tematis. Ulama’

yang masih menyusun kitab hadits yang memuat hadits-hadits shahih

diantaranya Ibnu Hibban (w. 354 H), Ibnu Khuzaimah (w. 331 H), dan

an-Naisaburiy.

Penyusunan kitab pada masa ini mengarah pada usaha

mengembangkan variasi pentadwinan terhadap kitab-kitab yang telah

ada, diantaranya dengan mengumpulkan isi kitab Shahih Bukhari dan

Shahih Muslim seperti yang dilakukan oleh Muhammad Ibnu Abdillah

al-Jauzaqi dan Ibnu al-Furat (w. 414 H). Mereka pun mengumpulkan isi

kitab yang sama, seperti yang dilakukan oleh Ibnu al-Kharrat (w. 583 H),

al-Fairu az-Zabadi dan Ibnu al-Asir al-Jazari. Ada yang mengumpulkan

2

kitab-kitab hadits mengenai hukum, seperti yang dilakukan oleh ad-

Daruquthni, al-Baihaqiy, Ibnu Daqiq al-Ied, Ibnu Hajar al-Asqalaniy, dan

Ibnu Qudamah.1

Masa ini juga merupakan masa penyaringan hadits. Yaitu harus

diketahui seluk-beluk para perawinya, silsilah sanadnya, dan makna

hadits secara tekstual karena sering terjadi perubahan huruf dan syakal

dalam kalimat matan hadits.

C. SUBSTANSI DARI TERMINOLOGI

1. SHAHIH

a. Pengertian Hadits Shahih

1) Menurut Abu Amr ibn ash-Shalah

بنقل اسناده يتصل المسندالذي هو الصحيح الحديث

والمعلال شاذا يكون وال منتهاه الى الضابط .العدل

Hadits shahih adalah musnad yang sanadnya muttashil melalui

periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil

lagi dhabit (pula) sampai ujungnya, tidak syadz dan tidak

mu’allal (terkena ‘illat).2

2) Menurut Imam Nawawiy

وال شذود غير من الضابطون بالعدول سنده مااتصل هو

.علة

Hadits shahih adalah hadits yang muttashil sanadnya melalui

(periwayatan) orang-orang yang adil lagi dhabit tanpa syadz

dan ‘illat.3

Yang dimaksud muttashil disini adalah hadits tersebut

sanadnya bersambung sampai akhir, baik marfu’ (sampai kepada

Rasulullah saw.) maupun mauquf yang berarti hadits tersebut

1 Mustofa Hasan, Ilmu Hadis, CV Pstaka Setia, Bandung, 2012, hlm. 189.2 Muhammad ’Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 276.3 Ibid.

3

diriwayatkan oleh sahabat. Sedangkan hadits yang maqthu’ tidak

termasuk muttashil karena periwayatnya terhenti sampai tabi’in saja.

Perawi yang adil lagi dhabit disebut perawi tsiqah. Disini

dapat kita simpulkan bahwa hadits shahih adalah hadits yang

muttashil sanadnya oleh perawi tsiqah dari perawi lain yang tsiqah

pula sampai akhir, dan tidak syadz dan tidak terkena ‘illat.

b. Kriteria-kriteria Hadits Shahih

1) Persambungan sanad (muttashil)

Yakni setiap perawi dalam sanad bertemu dan menerima

periwayatan dari perawi sebelumnya baik secara langsung (

ة/ ر1 1اش1 6م5ي) atau secara hukum (م3ب dari awal sanad sampai (ح3ك

akhirnya.

a) Pertemuan langsung (mubasyarah), seorang bertatap muka

langsung dengan syaikh yang menyampaikan periwayatan.

b) Pertemuan secara hukum (hukmiy), seorang meriwayatkan

hadits dari seseorang yang hidup semasanya dengan

ungkapan kata yang mungkin mendengar atau mungkin

melihat.

2) Keadilan para perawi (‘adalah ar-ruwah)

Adil secara bahasa artinya seimbang atau meletakkan

sesuatu pada tempatnya. Orang yang adil adalah orang yang

lurus agamanya, baik pekertinya serta bebas dari kefasikan.

Fasik artinya tidak patuh beragama (al-khuruj’an at-tha’ah),

mempermudah dosa besar atau melenggangkan dosa kecil secara

kontinu. Seorang perawi haruslah menjaga muru’ah, artinya

menjaga kehormatan, menjalankan segala adab dan akhlak yang

terpuji dan menjauhi sifat-sifat yang tercela menurut umun dan

tradisi.

3) Para perawi bersifat dhabit (dhabt ar-ruwah)

4

Dhabit berarti kuat dan sempurna hafalannya. Maksudnya,

para perawi itu benar-benar sadar dan paham ketika

meriwayatkan hadits, dan menghafalnya sejak pertama

menerima sampai meriwayatkan suatu hadits. Daya ingat dan

hafalan kuat ini sangat diperlukan dalam rangka menjaga

otentisitas hadits.

4) Tidak terjadi kejanggalan (syadz)

Syadz dalam bahasa berarti ganjil, terasing, atau

menyalahi aturan, maksud syadz disini adalah periwayatan

orang yang tsiqah bertentangan dengan periwayatan orang yang

lebih tsiqah.

5) Tidak terjadi ‘illat

Dalam bahasa arti ‘illat = penyakit, sebab, alasan atau

udzur. Sedang arti ‘illat disini adalah suatu sebab tersembunyi

yang membuat cacat suatu hadits padahal dhahirnya selamat

dari cacat tersebut.

c. Pembagian Hadits Shahih

Pembagian hadits shahih ada dua macam, yaitu:

1) Shahih li dzatihi (shahih dengan sendirinya), yaitu karena sudah

memenuhi 5 kriteria hadits shahih secara maksimal.

2) Shahih li ghairihi (shahih karena sebab lain), yaitu hadits shahih

yang kurang memenuhi syarat-syarat secara maksimal. Seperti

rawinya adil tetapi kurang sempurna kedhabitannya, atau hadits

tersebut berkualitas hasan li dzatihi namun memiliki mutabi’4

yang menguatkan hadits tersebut.

d. Istilah-istilah dalam Hadits Shahih

4 Lihat halaman

5

Ada beberapa istilah yang bisa digunakan oleh ulama’ hadits

dalam menunjuk hadits itu shahih, misalnya sebagai berikut.5

1) 6ح/ ي ص1ح5 6ث/ ح1د5ي ini hadits shahih. Artinya hadits tersebut = ه1ذ1ا

telah memenuhi segala persyaratan hadits shahih baik sanad dan

matannya.

2) 6ح/ ي ص1ح5 6ر3 غ1ي 6ث/ ح1د5ي ini hadits tidak shahih. Artinya hadits = ه1ذ1ا

tersebut tidak memenuhi persyaratan hadits shahih baik

persyaratan yang menyangkut sanad atau matan.

3) 1اد5 ن 5س6 اال6 6ح/ ي ص1ح5 6ث/ ح1د5ي = ه1ذ1ا hadits ini shahih isnadnya.

Berarti hanya shahih dalam sanad-nya saja sedang matan-nya

belum tentu shahih mungkin terjadi adanya kejanggalan (syadz)

atau adanya ‘illat, perlu penelitian lebih lanjut. Berarti

mukharrij-nya baru menanggung 5 syarat hadits shahih yang

menyangkut sanad saja, yaitu muttashil, adil, dhabith, tidak

adanya syadz dan ‘illat. Sedangkan syadz dan ‘illat pada matan

belum terselesaikan penelitiannya. Dengan demikian hadits yang

hanya shahih sanad-nya matan-nya belum tentu shahih. Namun,

jika ungkapan tersebut datangnya dari seorang hafizh yang dapat

dipedomani (mu’tamad) dan tidak menyebutkan ‘illat-nya, maka

lahirnya shahih matan-nya, karena asalnya tidak ada syadz dan

tidak ada ‘illat.

4) 6د 5ي ن ا س1 1 األ6 ص1ح;1 = أ sanad yang paling shahih. Sanad hadits

shahih memiliki tahap tingkatan yang berbeda sesuai dengan

kadar ke-dhabith-an dan keilmuan para perawi hadits tersebut.

Bentuk ungkapan ini yang secara mutlak diperselisihkan di

kalangan para ulama’ kecuali dibatasi di kalangan para sahabat

saja.

5) 1اب5 6ب ال ف5ى 6ئ? ي ش1 ص1ح;1 أ = ه1ذ1ا ini adalah yang paling shahih

dalam bab. Maksudnya hadits paling unggul dalam bab itu,

5 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2012, hlm. 156.

6

tidak pasti meunjukkan hadits shahih, bisa jadi haditsnya lemah

atau hanya satu hadits yang memenuhi persyaratan shahih dalam

bab tertentu.

6) Perkataan al-Hakim: 6ن5 ي 6خ1 ي Bالش ط5 ر6 ش1 =ع1ل1ي artinya para

perawi pada sanad yang dinyatakan shahih sesuai dengan

persyaratan Al-Bukhari Muslim. Imam Bukhari dan Imam

Muslim sendiri tidak menjelaskan persyaratan tertentu secara

eksplisit dalam kedua kitabnnya yang melebihi yang disepakati

para ulama’. Namun, sebagian peneliti menyimpulkan adanya

syarat-syarat tertentu. Pendapat yang paling baik maksud

persyaratan Imam Bukhari dan Imam Muslim adalah para

perawi sanad itu sesuai dengan yang dikeluarkan oleh Imam

Bukhari dan Imam Muslim dalam kedua kitabnya atau salah

satunya dengan cara periwayatan yang sama pula.

7) Muttafaq ‘Alaih, maksudnya disepakati keshahihannya oleh

kedua syaikhayn al-Bukhari dan Muslim bukan disepakati para

ulama’ semuanya. Tetapi Ibn ash-Shalah mengatakan, bahwa

kesepakatan umat melaziminya karena mereka sepakat

menerima apa yang disepakati kedua ulama’ tersebut.

e. Tingkatan-tingkatan Hadits Shahih

Tujuh tingkatan hadits shahih mulai dari yang tertinggi sampai

sampai terendah, yaitu sebagai berikut:6

1) Muttafaq ‘Alaih, yakni disepakati keshahihannya oleh Imam

Bukhari dan Imam Muslim, atau akhrajuhu/awahu al-Bukhari

wa Muslim (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim) atau

akhrajuhu/rawahu asy-Syaykhab (diriwayatkan oleh dua orang

guru).

2) Diriwayatkan oleh Imam Bukhari saja.

3) Diriwayatkan oleh Imam Muslim saja.

6 Ibid., hlm. 158.

7

4) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan

Imam Bukhari dan Imam Muslim.

5) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratn

Imam Bukhari saja.

6) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan

Imam Muslim saja.

7) Hadits yang dinilai shahih menurut ulama’ hadits selain Imam

Bukhari dan Imam Muslim daan tidak mengikuti persyaratan

keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.

f. Ashahhul Asanid Hadits Shahih

Ashahhul asanid adalah sanad-sanad yang derajat diterimanya

tinggi sebab perawi-perawi di dalamnya terdiri dari orang-orang

terkenal dengan keilmuan, kedhabitan dan keadilannya. Ada

perbedaan pendapat di kalangan ulama’ mengenai hai ini

diantaranya7:

1) Riwayat Ibnu Syihab az-Zuhriy dari Salim ibn Abdillah ibn

Umar dari Ibnu Umar.

2) Riwayat Sulaiman al-A’masy dari Ibrahim an-Nakha’iy dari al-

Qamah ibn Qais dari Abdullah ibn Mas’ud.

3) Imam Bukhari dan yang lain mengatakan, ashahhul asanid

adalah riwayat Imam Malik ibn Anas dari Nafi’ Maula ibn Umar

dari Ibn Umar. Dan karena Imam Syafi’i merupakan orang yang

paling utama yang meriwayatkan dari Imam Malik, dan Imam

Ahmad merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan

dari Imam Syafi’iy, maka sebagian ulama’ muta’akhirin

cenderung menilai bahwa ashahhul asanid adalah riwayat Imam

Ahmad dari Imam Syafi’iy dari Imam Malik dari Nafi’ dari Ibn

Umar. Inilah yang disebut dengan Silsilah adz-Dzahab (rantai

emas).

7 Muhammad ’Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 278.

8

g. Kehujjahan Hadits Shahih

Menurut Imam Syafi’i riwayat hadits dapat dijadikan hujjah

apabila:8

1) Diriwayatkan oleh perawi yang dapat dipercaya.

Yaitu dalam hal amalan baik hadits yang telah

diriwayatkan, mengetahui perubahan arti hadits apabila telah

terjadi pereubahan lafalnya, mampu meriwayatkan hadits secara

lafal dan hafalannya terpelihara, bunyi hadits yang diriwayatkan

sama dengan bunyi hadits yang diriwayatkan oleh orang lain dan

terlepas dari tadlis (menyembunyikan cacat).

2) Rangkaian riwayatnya bersambung.

Keharusan dalam mengetahui hadits yang diriwayatkan,

mengetahui perubahan arti, dan meriwayatkan dengan lafal

dengan benar, sehingga kriteria tersebutdapat menunjukkan

keshahihan hadits.

Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih

wajib diamalkan sebagai hujjah atau dalil syara’ sesuai dengan

ijma’ para ulama’ hadits. Ada beberapa pendapat para ulama’

yang memperkuat kehujjahan hadits shahih ini, diantaranya

sebabagi berikut.9

a) Hadits shahih memberi faedah qhat’i (pasti kebenarannya)

jika terdapat di dalam kitab shahihayn (al-Bukhari dan

Muslim) sebagaimana pendapat yang dipilih Ibnu ash-

Shalah.

b) Wajib menerima hadits shahih sekalipun tidak ada seorang

pun yang mengamalkannya, pendapat al-Qasimiy dalam

Qawa’id at-Tahdits.

h. Kitab-kitab yang Memuat Hadits Shahih

8 Musthofa Hasan, Ilmu Hadits, Pustaka Setia, Bandung, 2012, hlm. 219.9 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2012, hlm.155-156.

9

Karya yang mula-mula sampai kepada kita adalah kitab al-

Muwaththa’ karya Imam Malik (w. 179 H). Namun dalam kitab ini

tidak hanya memuat hadits shahih saja karena masih bercampur

dengan hadits dha’if dan ungkapan-ungkapan hikmah.

Karya pertama yang memuat hadits shahih saja adalah kitab-

kitab karya Imam Bukhari (194-256 H). Karya Imam Bukhari yang

paling populer adalah al-Jami’ ash-Shahih atau yang lebih dikenal

sebagai Shahih Bukhari. Kemudian diikuti Imam Muslim (204-261

H) dengan kitab karyanya Shahih Muslim.

Kedua kitab ini hanya memuat hadits shahih saja, namun

bukan berarti seluruh hadits shahih termuat dalam kitab ini. Imam

Bukhari mengatakan: “Saya tidak memasukkan dalam kitab al-Jami’

kecuali yang shahih saja. Tetapi saya tinggalkan sebagian karena

khawatir terlalu panjang.”10

Sedangkan Imam Muslim mengatakan: “Tidak semua hadits

shahih yang ada pada saya, saya letakkan di sini. Saya hanya

meletakkan yang disepakati keshahihannya. Maksudnya, yang

memenuhi syarat-syarat disepakati.”11

Karya-karya lain yang memuat hanya hadits shahih ialah

Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H), Shahih Ibnu Hibban (w. 354 H),

dan al-Mustadrak Ala ash-Shahihain karya Abu Abdullah al Hakim

an-Naisaburiy (321-405 H).

Selain itu terdapat Musnad Ahmad karya Imam Ahmad Ibn

Hanbal al-Syaibaniy (164-241 H) yang merupakan kitab hadits

terlengkap yang masih ada dan sampai kepada kita. di dalamnya

terdapat hadits shahih, hasan dan dha’if, namun Imam Suyuthiy

mengatakan: “Semua yang ada di dalam Musnad Ahmad adalah

maqbul. Karena hadits dha’if yang ada di dalamnya mendekati

kualitas hasan.”12

10 Muhammad ’Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 285.11 Ibid.12 Muhammad ’Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 292.

10

Kemudian ada pula empat kitab Sunan yaitu Sunan Abu

Dawud karya Abu Dawud as-Sijistani (202-275 H), Sunan at-

Tirmidziy karya Imam at-Tirmidziy (209-279 H), Sunan an-Nasa’iy

karya Imam an-Nasa’iy (215-303 H), dan Sunan Ibn Majah karya

Imam Ibn Majah al-Quzwainiy (209-273 H). Empat kitab ini

memuat tidak mengkhususkan pada hadits shahih saja, juga terdapat

hadits hasan dan dha’if.

i. Perbedaan Antara Hadits Shahih Klasik dan Kontemporer

Dalam perkembangan ilmu kritik hadits, pada setiap zamannya

selalu muncul para pemikir tertarik untuk meneliti hadits. Kajian

hadits tersebut pada umumnya lebih banyak membicarakan apa yang

seharusnya disebut hadits, bukan apa yang dimaksud dari hadits

tersebut. Disinilah letak perbedaan pemikiran antara ulama’ hadits

klasik dan kontemporer, pada metodologinya dalam mengkaji hadits.

Ulama’ klasik mengkaji hadits menggunakan metode tahlili

(meneliti semua aspeknya: sanad dan matan), metode ijmali

(menafsirkan secara global), dan metode muqaran (membandingkan

dengan al-Qur’an). Memahaminya pun melalui pendekatan

kebahasaan dan kesejarahan (historis). Sehingga yang dihasilkan

adalah makna asli dari hadits tersebut.

Sedangkan ulama’ kontemporer mengkajinya dengan

menggunakan metode maudhu’i (tematik) seperti yang dilakukan

para orientalis. Pemahamannya melalui pendekatan fenomenologi

(dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi pada manusia) dan

hermeneutika (penafsiran pada fenomenologi). Hasil kajiannya

bersifat aplikatif dan solutif.

2. HASAN

a. Pengertian Hadits Hasan

11

Hadits hasan adalah hadits yang telah memenuhi syarat shahih

seluruhnya namun seluruh perawinya atau sebagian kurang

kedhabitannya. Definisi hadits hasan yang paling lengkap

dikemukakan Ibn Hajar (w. 852 H) sebagai Khabar Ahad:13

والشاذ معلل غير المسند متصل الضبط قليل عدل نقله .ما

Hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil yang kurang sedikit

kedhabitannya, bersambung-sambung sanadnya sampai Nabi saw

dan tidak mempunyai ‘illat serta tidak syadz.

b. Kriteria-kriteria Hadits Hasan

Syarat-syarat hadits hasan14:

1) Sanadnya bersambung (muttashil)

2) Perawinya adil

3) Perawinya dhabit, tetapi berada dibawah perawi hadits shahih.

4) Tidak ada kejanggalan (syadz)

5) Tidak ada ‘illat

c. Pencetus Istilah Hasan

Menurut Ibnu Taimiyah, orang yang pertama kali

memperkenalkan pembagian hadits dari segi kualitas kepada shahih,

hasan dan dha’if adalah at-Tirmidziy. Awalnya beliau hanya

membaginya menjadi shahih dan dha’if. Namun seringkali beliau

menyebut suatu hadits dengan sebutan “hasan shahih”. Barangkali

inilah yang kemudian oleh para ulama’ menjadi klasifikasi tersendiri

yakni hadits hasan. Menurut at-Tirmiziy hadits hasan adalah hadits

yang berbilangan jumlah sanad-nya dan tidak terdapat seorang

perawi yang tertuduh dusta dan ganjil (syadz).

d. Pembagian Hadits Hasan

13 Moh. Anwar, Ilmu Musthalah Hadits, Al-Ikhlas, Surabaya, 1981, hlm. 60.14 Musthofa Hasan, Ilmu Hadits, Pustaka Setia, Bandung, 2012, hlm.228

12

Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam,

hadits hasan pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hadits li dzatihi

dan hasan li ghairihi:15

1) Hadits Hasan Li Dzatihi

Hadits hadits li dzatihi adalah hadits hasan dengan

sendirinya, karena telah memenuhi segala kriteria dan

persyaratan yang ditentukan sebagaimana definisi dan

penjelasan diatas.

2) Hadits Hasan Li Ghairihi

Hadits Hasan li ghairihi ada beberapa pendapat

diantaranya adalah:

و6 1 أ 3ه3 6ل م5ث ى خ6ر1

3 أ 6ق ط1ر5ي م5ن6 و5ى1 ر3 5ذ1ا ا 6ف3 الضBع5ي 6ث3 ه3و1الح6د5ي

6ه3 م5ن ق6و1ى1 أ

Adalah hadits dha’if jika diriwayatkan melalui jalan (sanad)

lain yang sama atau lebih kuat.

Dari dua definisi diatas dapat dipahami bahwa hadits

dha’if bisa naik menjadi hasan li ghairihi dengan dua syarat,

yaitu:

1) Harus ditemukan periwayat sanad lain yang seimbang atau

lebih kuat.

2) Sebab kedha’ifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik,

tetapi ringan seperti hapalan yang kurang atau terputusnya

sanad atau tidak diketahui dengan jelas (majhul) identitas

perawi.

e. Istilah-istilah dalam Hadits Hasan16

Istilah-istilah yang digunakan dalam hadits hasan:

15 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2012, hlm. 160.16 Ibid., hlm. 161.

13

1) Di antara gelar ta’dil para perawi yang digunakan dalam hadits

maqbul atau hasan sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al-

Jarh wa at-Ta’dil. Sebagian ulama’ mempersamakan dalam

gelar ta’dil para perawi hadits dalam kata al-jayyid = bagus

antara shahih dan hasan. Sebagian ulama’ lain lebih

berpendapat bahwa sekalipun gelar al-jayyid dengan makna

shahih, tetapi para muhadditsin senior tidak pindah dalam

menilai shahih menjadi al-jayyid tersebut kecuali ada tujuan

tertentu.

2) Perkataan mereka muhadditsin : 1اد5 ن 5س6 ال6 ح1س1ن3 6ث/ ح1د5ي = ه1ذ1ا

ini hadits hasan sanadnya. Maknanya hadits ini hanya hasan

sanadnya saja sedang matannya perlu penelitian lebih lanjut.

Mukharrij hadits tersebut tidak menanggung ke-hasan-an matan

mungkin ada syadz atau ‘illat. Berarti ada kesempatan luas bagi

para peneliti belakangan untuk mengadakan penelitian lebih

lanjut tentang matan hadits tersebut apakah matannya juga hasan

atau tidak.

3) Ungkapan at-Tirmiziy dan yang lain : /6ح ي ص1ح5 ح1س1ن/ 6ث/ = ح1د5ي

ini hadits hasan shahih. Makna ungkapan ini ada beberapa

pendapat, diantaranya:

a) Hadits tersebut memiliki dua sanad, yang shahih dan hasan.

b) Terjadi perbedaan dalam penilaian hadits sebagian

berpendapat shahih dan golongan lain berpendapat hasan.

c) Atau dinilai hasan li dzatihi dan shahih li ghairihi.

f. Ashabul Asanid Hadits Hasan

Seperti hadits shahih yang mempunyai tingkatan-tingkatan

dalam sanadnya, para ulama’ juga membagi sanad-sanad hadits

hasan dalam tingkatan.

Imam adz-Dzahabiy mengatakan: “Tingkat hasan tertinggi

adalah riwayat Bahz Ibn Hukaim dari ayahnya dari kakeknya, Ibn

14

Ishaq dari at-Taimiy dan sanad sejenis yang menurut sebagian

ulama’ dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat

shahih terenda. Kemudian sanad yang diperselisihkan antara hasan

dan dha’ifnya, seperti riwayat al-Harits ibn Abdillah, ‘Ashim ibn

Dhamrah, Hajjaj ibn Arthat dan lain-lain.17

g. Kehujjahan Hadits Hasan

Hadits hasan baik li dzatihi maupun li ghairihi dapat dijadikan

hujjah dan diamalkan seperti hadits shahih meskipun tingkatannya

dibawah hadits shahih. Bahkan sebagian ulama’ memasukkannya ke

dalam hadits shahih, seperti al-Hakim (w. 405 H), Ibnu Hibban dan

Ibn Khuzaimah. Namun akan tetap dimenangkan hadits shahih

apabila terjadi kontradiksi dengan hadits hasan.

h. Kitab-kitab yang Memuat Hadits Hasan

Para ulama belum menyusun kitab-kitab khusus yang hanya

memuat hadits-hadits hasan secara terpisah seperti penulisan hadits

shahih, tetapi hadits hasan banyak kita temui pada sebagian kitab,

diantaranya:

1) Jami’ at-Tirmidziy, dikenal dengan Sunan at-Tirmidziy, yang

merupakan sumber untuk mengetahui hadits hasan.

2) Sunan Abu Dawud

3) Sunan ad-Daruquthni

3. DHA’IF

a. Pengertian Hadits Dha’if18

Hadits dha’if adalah bagian dari hadits mardud. Dari segi

bahasa dha’if berarti lemah lawan dari al-qawi yang berarti kuat.

Kelemahan hadits dha’if ini karena sanad-nya dan matan-nya tidak

17Muhammad ’Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 301.18 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2012, hlm. 163.

15

memenuhi kriteria hadits kuat yang diterima sebagai hujjah. Dalam

istilah hadits dha’if adalah:

ط5ه5 و6 ر3 ش3 م5ن6 ط? ر6 ش1 5ف1ق6د5 ب ن5 6ح1س1 ال ص5ف1ة1 1ج6م1ع6 ي 1م6 ل م1ا ه3و1

Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu

dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi.

Jadi hadits dha’if adalah hadits-hadits yang tidak memenuhi

sebagian atau semua persyaratan hadits shahih atau hasan.

b. Kriteria-kriteria Hadits Dha’if

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa hadits dha’if adalah hadits

yang tidak memenuhi kriteria hadits shahih dan hasan. Diantaranya:

(1) sanadnya terputus; (2) perawinya tidak adil; (3) perawinya tidak

dhabit; (4) mengandung syadz; (5) mengandung ‘illat.

c. Pembagian Hadits Dha’if

1) Mursal

Definisi hadits mursal yang paling umum digunakan

mayoritas ulama’ adalah:

من وسلم عليه الله صلى الرسول إلى التابعي رفعه ما

أوكبيرا التابعي كان صغيرا أوتقرير أوفعل .قول

Hadits yang dimarfu’kan oleh seorang seorang tabi’iy kepada

Rasul saw, baik berupa sabda, perbuatan maupun taqrir, baik

tabi’iy itu kecil atau besar.19

Dengan demikian, seorang tabi’iy menyandarkan sebuah

hadits langsung kepada Rasulullah saw (marfu’) tanpa

menyebutkan nama sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut.

Untuk kehujjahannya, terdapat tiga pendapat yang paling

populer, yaitu:

a) Boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak. Ini

merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, 19 Muhammad ’Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 304.

16

Imam Ahmad dan sejumlah ahli fiqh, ahli hadits, dan ahli

ushul.

b) Tidak boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak.

Ini diceritakan oleh Imam an-Nawawiy dari mayoritas ahli

hadits, Imam Syafi’iy dan sejumlah besar ahli fiqh dan ahli

ushul. Imam Muslim dalam Muqaddimah ash-Shahih

mengatakan: “Riwayat yang mursal menurut pendapat kami

dan pendapat ahli hadits tidak dapat menjadi hujjah”.

c) Bisa dijadikan sebagai hujjah bila ada yang menguatkannya.

Misalnya dari jalur lain ia diriwayatkan secara musnad

ataupun mursal, atau diamalkan oleh sebagian sahabat

ataupun oleh mayoritas ahli ilmu.

2) Mu’allaq

Hadits mu’allaq adalah hadits yang terdapat satu perawi

atau lebih yang gugur dari awal sanad. Terputusnya sanad pada

hadits mu’allaq terjadi pada sanad yang pertama, atau pada

seluruh sanad. Sehingga sanadnya tampak tidak berpijak pada

mukharrij hadits.

Mayoritas ulama’ hadits berpendapat, hadits mu’allaq

tidak bisa dijadikan hujjah, kecuali hadits mu’allaq yang

terdapat dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Alasan

disebutkan secara mu’allaq dalam kitab tersebut untuk

keringkasan dan menghindari pengulangan yang terlalu sering.

3) Munqathi’

Munqathi’ berasal dari kata inqatha’a yang berarti

berhenti, kering, patah, pecah atau putus. Hadits munqathi’

adalah hadits yang pada sanadnya terdapat perawi yang gugur

pada satu tempat atau lebih secara berurutan.

Mayoritas ahli hadits berpendapat hadits munqathi’ tidak

bisa dijadikan hujjah karena tidak diketahui perawi yang

dihilangkan atau disamarkan. Menurut Shubhi as-Shalih, ke-

17

dha’ifan hadits ini karena tidak adanya kesinambungan dalam

sanad atau tidak muttashil.

4) Mu’dhal

Hadits mu’dhal adalah hadits yang di tengah sanadnya

terdapat dua perawi atau lebih yang gugur dalam satu tempat

atau lebih secara berturut-turut. Hadits ini sama atau bahkan

lebih rendah daripada hadits mursal, sehingga tidak dapat

dijadikan hujjah.

5) Mudallas

Hadits mudallas adalah hadits yang diriwayatkan

periwayat dengan cara menyembunyikan cacat seorang perawi

dalam sanad hadits (tadlis), dan membaguskan perawi secara

dhahirnya. Para ulama’ sangat mengecam tindakan tadlis ini.

Perawi yang melakukannya dinyatakan pendusta bahkan hadits

yang diriwayatkannya dinilai maudhu’.

6) Mu’allal

Jenis hadits ini pada lahiriahnya tampak terhindar dari

cacat, baik pada sanad maupun matan. Namun setelah diteliti

lagi, ternyata terdapat ‘illat, seperti menyambung yang

munqathi’, memarfu’-kan yang mauquf, dan sebagainya yang

mempengaruhi kemuttashilan sanad dan menjadikannya

tergolong hadits dha’if.

7) Mudhtharib

Dinamakan demikian karena terdapat idhthirab

(kekacauan) di dalamnya. Hadits jenis ini diriwayatkan dengan

bentuk yang berbeda-beda dan bertentangan, yang tidak

mungkin mentarjihkan antara kedua bentuk hadits tersebut, baik

perawinya satu atau lebih. Karena seluruh riwayat hadits

tersebut sama kekuatannya. Hal ini mengindikasikan ketidak-

dhabitan perawi sehingga tergolong hadits dha’if.

8) Maqlub

18

Secara tidak sengaja terjadi pemutarbalikan penempatan

kata yang salah atau kalimat pada matannya atau perawi yang

tertukar pada sanadnya oleh salah satu perawi. Sama seperti

hadits mudhtharib, hadits ini tergolong dha’if karena ketidak-

dhabitan perawi.

9) Syadz

Adalah Imam Syafi’iy yang mula-mula memperkenalkan

hadits jenis ini, yaitu bila diantara sekian perawi tsiqah ada

diantara mereka menyimpang dari yang lainnya. Kemudian

generasi selanjutnya bersepakat bahwa hadits syadz adalah

hadits yang diriwayatkan oleh perawi maqbul dalam keadaan

menyimpang dari perawi lain yang lebih kuat darinya.

10) Munkar

Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi dha’if yang

berbeda dengan perawi-perawi lain yang tsiqah. Hadits jenis ini

hampir sama dengan hadits syadz, bedanya pada hadits syadz

perawinya tsiqah atau shaduq.

Menurut sebagian ulama’ hadits gharib juga merupakan

hadit munkar, seperti kata Imam Ahmad: “Janganlah kalian

menulis hadits-hadits gharib ini. Karena ia merupakan hadits-

hadits munkar, yang umumnya berasal dari perawi-perawi

dha’if.”20

11) Matruk dan Mathruh

Adalah hadits yang perawinya tetuduh melakukan dusta

(muttaham bi al-kidzbi). Ia diketahui sering berdusta atau

terlihat kefasikannya dalam perbuatan maupun perkataan, atau

perawi tersebut sering salah dan lupa. Hadits ini merupakan

hadits dha’if dengan tingkatan terendah.

Sedangkan untuk hadits mathruh, al-Hafidz adz-Dzahabiy

menjadikannya sebagai jenis hadits tersendiri. Namun Syeikh

20 Muhammad ’Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 327.

19

Thahir al-Jaza’iriy berpendapat hadits ini sama dengan hadits

matruk. Tidak ada perbedaan secara etimologis maupun

terminologis.

12) Mudraj

Yaitu hadits yang terdapat idraj baik pada sanad maupun

matannya. Idraj adalah penambahan pada hadits yang padahal

bukan termasuk hadits itu. Idraj yang umum terjadi adalah idraj

pada matan, yaitu memasukkan suatu pernyataan perawi

sehingga disalahpahami sebagai sabda Nabi saw.

Mayoritas ulama’ sepakat bahwa melakukan idraj haram.

Apabila perawi melakukan idraj dengan tujuan untuk

menafsirkan atau memberikan penjelasan, hal ini masih bisa

ditolerir. Namun sebaiknya perawi pun menegaskan hal itu.

d. Tingkatan-tingkatan Hadits Dha’if

Sebagai salah satu syarat hadits dha’if yang diamalkan adalah

tidak terlalu dha’if atau terlalu buruk kedha’ifannya. Hadits yang

terlalu buruk kedha’ifannya tidak dapat diamalkan sekalipun dalam

fadhail al-a’mal. Menurut Ibnu Hajar urutan hadits dha’if yang

terburuk adalah: Maudhu’, Matruk, Munkar, Mu’allal, Mudraj,

Maqlub, kemudian Mudhtharib.21 Namun disini kami tidak

membahas hadits maudhu’, karena menurut kami maudhu’ pada

hakikatnya bukanlah hadits sama sekali.

e. Kehujjahan Hadits Dha’if

Para ulama’ berbeda pendapat dalam pengamalan hadits dha’if.

Perbedaan itu dapat dibagi menjadi 3 pendapat:22

1) Hadits dha’if tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam

keutamaan amal (fadhail al-a’mal) atau dalam hukum

21 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2012, hlm. 228.22 Ibid., hlm. 165.

20

sebagaimana yang diberitakan oleh Ibnu Sayyid an-Nas dari

Yahya bin Ma’in. Pendapat pertama ini adalah pendapat Abu

Bakar ibn al-Arabi, Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Ibnu

Hazm.

2) Hadits dha’if dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadha’il

al-a’mal atau dalam masalah hukum (ahkam), pendapat Abu

Dawud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadits

dha’if lebih kuat dari pada pendapat para ulama.

3) Hadits-hadits dha’if dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal,

mau’izhah, targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib

(ancaman yang menakutkan).

Pendapat pertama, dari tiga pendapat diatas lebih selamat

karena jika alasan pengamal hadits dha’if dalam fadhail al-a’mal

tidak dalam ahkam sebagaimana pendapat ketiga diatas.

Pendapat kedua, maksud Imam Ahmad dan Abu Dawud

tentang pengamalan hadits dha’if secara mutlak adalah dha’if dalam

persepsi ulama’ klasik yang masih bergabung dengan hadits shahih

yang pada waktu itu hadits hanya terbagi menjadi dua macam yakni

shahih dan dha’if belum timbul hadits hasan.

Pendapat ketiga, sekalipun hadits dha’if telah memenuhi

persyaratan diatas, maksudnya untuk memotivasi beramal dan masuk

bab dalam kehati-hatian akan kemungkinan hadits tersebut datang

dari Rasulullah, bukan menetapkan (itsbat) kebenarannya semata,

maka ia tidak kuat dijadikan sebagai sumber hukum Islam atau

keutamaan akhlak.

f. Kitab-kitab yang Memuat Hadits Dha’if23

Diantara kitab-kitab yang tersusun secara khusus tentang

hadits dha’if adalah sebagai berikut.

1) Al-Marasil, karya Abu Dawud

23 Ibid., hlm. 188.

21

2) Al-‘Ilal, karya ad-Daruquthni

3) Kitab-kitab yang banyak mengemukakan para perawi yang

dha’if adalah seperti Adh-Dhu’afa karya Ibnu Hibban, Mizan Al-

I’tidal karya adz-Dzahabi.

g. Perawi yang Meriwayatkan Hadits Dha’if

Berikut ini adalah nama-nama perawi yang dinilai dha’if

berdasarkan apa yang dikatakan Imam al-Bukhari dalam kitabnya

adh-Dhu’afa ash-Shaghir dan Imam an-Nasa’iy dalam kitabnya adh-

Dhu’afa wa al-Matrukin.

1) Al-Ashbagh ibn Nubatah - نباتة بن األصبغ

2) Asad ibn ‘Amru Abu al-Mundzir al-Bajaliy - عمرو بن أسد

البجلي المنذر أبو

3) Asy’ats ibn Sa’id Abu ar-Rabi’ as-Saman - سعيد بن أشعث

السمان الربيع أبو

4) Ayyub ibn ‘Utbah Abu Yahya - يحيى أبو عتبة بن أيوب

5) Ayyub ibn Waqid Abu al-Hasan al-Kufi - أبو واقد بن أيوب

الكوفي الحسن

6) Badzam, Abu Shalih al-Kalbi Maula Ummu Hani’ - أبو باذام

هانئ أم مولى الكلبي صالح

7) Bahr ibn Kaniz as-Saqa - السقا كنيز بن بحر

8) Basyir ibn Maimun, Abu Shaifiy al-Wasithiy - بن بشير

الواسطي صيفي أبو ميمون

9) Bazi’ – بزيع

10) Bisyr ibn ‘Umarah - عمارة بن بشر

11) Bisyr ibn Harb, Abu ‘Amru an-Nadabiy - أبو حرب بن بشر

الندبي عمرو

22

12) Bisyr ibn Numair al-Qusyairiy al-Bashri - نمير بن بشر

البصري القشيري

13) Ibrahim ibn al-Fadhl - الفضل بن إبراهيم

14) Ibrahim ibn Isma’il ibn Abi Habibah al-Madaniy al-Anshariy -

أبي بن إسماعيل بن األنصاري إبراهيم المدني حبيبة

15) Ibrahim ibn Isma’il ibn Mujammi’ ibn Jariyah al-Anshariy -

األنصاري جارية بن مجمع بن إسماعيل بن إبراهيم

16) Ibrahim ibn Muhajir ibn Mismar al-Madaniy - بن إبراهيم

المدني مسمار بن مهاجر

17) Ibrahim ibn Muhammad ibn Abi Yahya - محمد بن إبراهيم

يحيى أبي بن

18) Ibrahim ibn Muslim al-Hajariy - الهجري مسلم بن إبراهيم

19) Ishaq ibn Ibrahim ibn Nisthasi Abu Ya’qub - بن إسحاق

يعقوب أبو نسطاس بن إبراهيم

20) Isma’il ibn Ibrahim Abu Yahya at-Taimiy - بن إسماعيل

التيمي يحيى أبو إبراهيم

21) Isma’il ibn Qais ibn Sa’d ibn Zaid ibn Tsabit Abu Mush’ab -

مصعب أبو ثابت بن زيد بن سعد قيسبن بن إسماعيل

22) Isma’il ibn Rafi’ - رافع بن إسماعيل

23) Ja’far ibn Abi Ja’far al-‘Asyja’iy - جعفر أبي بن جعفر

األشجعي

24) Ja’far ibn al-Harits al-Wasithiy, Abu al-Asyhab - األشهب أبو

الواسطي الحارث بن جعفر

25) Ja’far ibn az-Zubair asy-Syamiy - الشامي الزبير بن جعفر

26) Jald ibn Ayub al-Bashri - البصري أيوب بن جلد

27) Jasr ibn Farqad - فرقد بن جسر

23

h. Hukum Periwayatan Hadits Dha’if24

Hadits dha’if tidak identik dengan hadits maudhu’ (hadits

palsu). Diantara hadits dha’if terdapat kecacatan para perawinya

yang tidak terlalu parah, seperti daya hafalan yang kurang kuat tetapi

adil dan jujur. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan

hadits dha’if dengan dua syarat, yaitu:

1) Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah.

2) Tidak menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal

dan haram, tetapi berkaitan dengan masalah mau’izhah, at-

targhib wa at-tarhib (hadits-hadits tentang ancaman dan janji),

kisah-kisah dan lain-lain.

Dalam meriwayatkan hadits dha’if jika tanpa sanad

sebaiknya tidak menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma’lum)

yang meyakinkan (jazm) kebenarannya dari Rasulullah, tetapi

cukup menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang

meragukan (tamridh). Misalnya :….= diriwayatkan.

Periwayatan dalam hadits dha’if dilakukan dengan hati-hati

berbeda dengan periwayatan hadits shahih.

4. FUNGSI MUTABI’ DAN SYAHID

Adanya mutabi’ dan syahid dalam suatu hadits, akan memperkuat

kehujjahan dalam hadits tersebut. Namun jika tidak ditemukan mutabi’

dan syahid maka hadits tersebut dihukumi sebagai hadits fard. Kegiatan

untuk mengetahui adanya mutabi’, syahid dan fard dengan meneliti jalur-

jalur sanad dari kitab-kitab yang mungkin memuatnya disebut i’tibar.

Dalam i’tibar yang pertama kali dicari adalah keberadaan mutabi’

yaitu apabila: (1) seorang perawi memiliki kawan dalam meriwayatkan

hadits dari gurunya dengan redaksi yang sama (lafdziy) ataupun mirip

dengan makna yang sama (maknawiy); (2) atau redaksi tersebut sama

24 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2012, hlm. 165.

24

dengan salah seorang gurunya dalam meriwayatkannya dari guru-

gurunya.

Kebersamaan mutabi’ dalam meriwayatkan hadits ini disebut

mutaba’ah. Mutaba’ah dibagi menjadi dua, yaitu mutaba’ah tammah,

apabila terjadi dari guru perawi, dan mutaba’ah qashirah apabila terjadi

dari diatas guru perawi. Contoh mutaba’ah yaitu Imam Muslim

meriwayatkan dari Zuhair ibn Harb dari Sufyan dari Abu az-Zanad dari

al-A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda:

صالة aكل عند بالسaواك ألمرتهم على aأشق أن .لوال

Seandainya aku tidak (merasa) memberatkan umatku, niscaya aku akan

memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali (akan) shalat.25

Sejumlah perawi memperkuat Zuhair ibn Harb dengan mutaba’ah

tammah yaitu Sufyan. Sebagian yang lain memperkuatnya dengan

mutaba’ah qashirah yaitu dari Abu Salamah dari Abu Hurairah.

Apabila dalam i’tibar suatu hadits tidak ditemukan mutabi’, maka

harus dicari apakah hadits tersebut diriwayatkan melalui jalur (sanad)

lain yang berstatus sahabat baik secara lafdziy maupun maknawiy. Dan

inilah yang disebut dengan syahid. Contohnya adalah hadits yang

diriwayatkan at-Tirmidziy dengan sanadnya sendiri dari Salim ibn

Abdullah ibn ‘Umar dari ayahnya, bahwa ia mendengar Rasulullah saw

bersabda:

فليغتصل الجمعة أتى .من

Barangsiapa hendak melaksanakan shalat Jum’at, maka hendaklah ia

mandi terlebih dahulu.26

25 Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 332.26 Ibid., hlm. 332-333.

25

Hadits ini memiliki syahid yang terdapat dalam Shahih Bukhari

dan Shahih Muslim berupa hadits Abu Sa’id al-Khudriy dari Rasulullah

saw bahwa beliau bersabda:

محتلم aكل على واجب الجمعة يوم .الغصل

Mandi pada hari Jum’at hukumnya wajib atas setiap yang mimpi

basah.27

Hadits yang tidak terdapat mutabi’ dan syahid maka dihukumi

sebagai hadits fard, yaitu hadits yang diriwayatkan seseorang secara

menyendiri dari sekian perawi yang ada.

5. HADITS MAQBUL DAN MARDUD

Para ulama’ membagi hadits ahad berdasarkan segi kehujjahannya

menjadi dua: maqbul dan mardud. Hadits maqbul adalah hadits yang

telah memenuhi syarat-syarat diterimanya sebagai hujjah. Hadits maqbul

dibagi menjadi dua:

1) Ma’mul bih digunakan untuk mempertegakkan hukum. Hadits ini

yang bisa diamalkan.

a) Hadits muhkam; hadits ini tidak mempunyai lawan sehingga

dapat diamalkan secara pasti.

b) Hadits mukhtalif; yakni hadits yang bertentangan, namun bisa

dikompromikan.

c) Hadits nasikh; hadits yang datang di akhir dan menghapus

ketentuan hukum pada hsdit sebelumnya.

d) Hadits rajih; hadits yang terkuat dari hadits-hadits yang

berlawanan.

2) Ghairu Ma’mul bih yaitu hadits yang tidak dapat digunakan untuk

mempertegakkan hukum. Hadits yang tidak dapat diamalkan.

a) Hadits mutasyabih; hadits yang sukar dipahami maksudnya.

27 Ibid., hlm. 333.

26

b) Hadits mutawaqqaf fih; yakni dua hadits maqbul yang tidak

dapat dikompromikan.

c) Hadits marjuh yaitu hadits yang dilawani oleh yang lebih kuat.

d) Hadits mansukh yaitu hadits yang sudah dihapus hukumnya.

Kemudian hadits mardud adalah hadits yang tidak menunjukkan

keterangan yang kuat sehingga tertolak dan tidak dapat dijadikan hujjah.

diantaranya hadits matruk.

1) Hadits Matruk ‘Anhu

Matruk adalah hadits yang tidak sampai kederajat maudhu’

akan tetapi lebih baik dari maudhu’.

الحد في ء سوا ب لكذ با متهما ن وكا وي لرا ا بهه د نفر ا ما

كثير و ا غفلة ذا ن كا و ا لفسق با متهما و ا ه غير في و ا يث

الوهم

Hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi, sedang dia

tertuduh berdusta, baik kedustaannya itu terhadap hadits atau

lainnya. Atau tertuduh mengerjakan ma’siat atau mempunyai

kelalaian, atau banyak benar wahamnya.

Contoh hadits matruk yakni hadits yang diriwayatkan oleh Ibn

‘Adiy, dia berkata: “Telah diceritakan oleh Ya’qub ibn Sufyan ibn

‘Ashim, diceritakan oleh Muhammad ibn ‘Imran, diceritakan oleh

Isa ibn Ziyad, diceritakan oleh Abdur Rahim ibn Zaid dari ayahnya

dan ayahnya dari Sa’id ibn al-Musaiyab dari Umar ibn Khaththab,

katanya Rasulullah saw telah bersabda:

حقا الله لعبد النساء ال لو

Sekiranya tak ada wanita di dunia ini, tentulah hamba Allah

menyembah Allah dengan sebenar-benarnya.

Menurut Ibn ‘Adiy hadits ini matruk karena Abdur Rahim dan

ayahnya. Dan dua orang yang matruk ini tidak boleh diambil

haditsnya.

27

D. APLIKASI METODOLOGI

1. SHAHIH

a. Hadits Shahih Li Dzatihi

Contoh hadits shahih li dzatihi yang diriwayatkan oleh al-

Bukhari dalam kitabnya Jami’ ash-Shahih sebagai berikut.

: : , , سمعت قال أبي سمعت قال معتمر حدaسنا مسدaد حدaثنا

: , عليه الله صلaى aبيa الن كان قال عنهم رضيالله مالك بن أنس

, , , : والجبن والكسل العجز من أعوذبك aي إن aهمa الل يقول سلaم و

القبر, عذاب من وأعوذبك .والهرم

Musaddad telah menceritakan kepada kami, telah menceritakan

kepada kami Mu’tamir, dia berkata, aku mendengar ayahku berkata,

aku mendengar Anas ibn Malik ra berkata, Rasulullah saw berdoa,

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu perlindungan dari kelemahan,

kemalasan, sifat pengecut dan dari kepikunan, dan saku memohon

kepada-Mu perlindungan dari fitnah (ujian) di masa hidup dan mati,

dan memohon kepada-Mu perlindungan dari adzab kubur.”28

Hadits ini dikatakan shahih karena muttashil, tidak syadz dan

tidak mengandung ‘illat, seluruh perawinya adil dan dhabit yang dapat

dijelaskan sebagai berikut.

1) Anas ibn Malik ra, beliau termasuk sahabat Nabi saw dan semua

sahabat menilainya tsiqah.

2) Sulaiman ibn Tharkhan (ayah Mu’tamir), dikenal tsiqah lagi ‘abid

(ahli ibadah).

3) Mu’tamir, dia tsiqah.

4) Musaddad ibn Masruhad, dia tsiqah hafidz.

5) Al-Bukhari dikenal sebagai jabal al-hifdzi (gunungnya hafalan)

dan amir al-mukminin fi al-hadits.

28 Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Hadits: Praktis dan Mudah, Teras, Yogyakarta, 2013, hlm. 124.

28

b. Hadits Shahih Li Ghairihi

Contoh hadits shahih li ghairihi yang diriwayatkan oleh Imam

Bukhari dari Ubay ibn ‘Abbas bin Sahal dari ayahnya (‘Abbas) dari

neneknya (Sahal) sebagai berikut.

له يقال فرس ئطنا حا في وسلم ءلية لله ا صل للنبي كان

.الحيف

Konon Rasulullah mempunyai seekor kuda, ditaruh dikandang kami

yang diberi nama al-Luhaif.29

Hadits ini sebenarnya berderajat hasan li dzatihi karena Ubay ibn

‘Abbas oleh Imam Ahmad, Ibnu Ma’in dan an-Nasa’iy dianggap

perawi yang kurang baik hafalannya. Namun hadits ini memiliki

mutabi’ yang diriwayatkan oleh ‘Abdul Muhaimin, maka hadits ini

naik derajatnya menjadi shahih li ghairihi.

2. HASAN

a. Hadits Hasan Li Dzatihi

Contoh hadits hasan li dzatihi adalah hadits yang diriwayatkan

oleh Abi Ya’la sebagai berikut.

عن وردان بن سى مو عن ثناضمام حد سعيد بن يد سو ثنا حد

سلم : : و عليه الله صلى الله رسول قال قال يرة هر أبي

, وبينها بينكم ل يحا أن قبل الله إال إله ال أن شهادة من أكثروا

كم موتا .ولقوها

“Banyak-banyaklah membaca syahadat sebelum terhalangi kalian

dengannya, dan talqinkanlah orang-orang yang sedang menghadapi

kematian (sakaratul maut).”30

29 Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahu’l Hadits, PT Alma’rif, Bandung, 1974, hlm. 124.30 Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Hadits: Praktis dan Mudah, Teras, Yogyakarta, 2013, hlm. 128.

29

Hadits ini termasuk hadits hasan karena terdapat perawi

Dhammam ibn Ismail. Ibnu ‘Adiy mengatakan bahwa Dhammam ibn

Ismail merupakan seorang yang ‘abid, Imam Nasa’iy mengatakan: “la

ba’sa bih” (tidak apa-apa dengannya), adz-Dzahabiy mengatakan:

“shalih al-hadits”, dan Ibnu Hajar menilainya shaduq rubama akhtha’

(jujur tapi kemungkinan keliru).

b. Hadits Hasan Li Ghairihi

Contoh hadits hasan li ghairihi adalah hadits yang diriwayatkan

Ibnu Majah dari al-Hakam ibn Abdul Malik dari Qatadah dari Sa’id

ibn al-Musayyab dari Aisyah sebagai berikut.

aالحل في فأقتلها غيره وال aيا مصل تدع ال العقربب الله لعن

.والحرم

Allah melaknat kalajengking, janganlah engkau membiarkannya, baik

keadaan shalat atau yang lain, maka bunuhlah ia di tanah halal atau

di tanah haram.31

Hadits ini dha’if karena al-Hakam ibn Abdul Malik seorang

yang dha’if. Namun dalam riwayat ibnu Khuzaimah terdapat sanad

lain yang berbeda perawi di kalangan tabi’in yang berfungsi sebagai

mutabi’ melalui Syu’bah dari Qatadah. Sehingga naik derajatnya

menjadi hasan li ghairihi.

3. DHA’IF

a. Mursal

Contoh hadits mursal adalah hadits riwayat Abdurrazaq dalam

kitab al-Mushannaf sebagai berikut.

: , إذ سلaم و عليه الله صلaى aنبي aأن عطاء عن جريج ابن عن

عليكم السaالم الناسفقال على بوجهه أقبل المنبر .صعد

31 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2013, hlm. 181.

30

Dari Ibnu Juraij, dari Atha’, bahwasannya Nabi saw apabila naik ke

mimbar beliau menghadapkan wajah beliau ke orang-orang lalu

mengucap, “Assalamu’alaikum”.32

Atha’ ibn Rabah adalah seorang tabi’iy besar. Namun pada

hadits ini beliau meriwayatkannya dengan tidak menyebut nama

sahabat periwayat hadits, dan langsung menyandarkannya kepada

Rasulullah saw.

b. Munqathi’

Contoh hadits munqathi’ adalah hadits riwayat Ibnu Majah dan

at-Tirmidziy sebagai berikut.

عن ليث عن إبراهيم بن إسماعيل حدثنا حجر بن علي حدثنا

جدaتها عن الحسين بنت فاطمة أمaه عن الحسن بن الله عبد

دخل إذا وسلaم الله صلaى الله رسو كان قالت الكبرى فاطمة

ذنوبي اغفرلي aرب وقال وسلaم محمaد على صلaى المسجد

فضلك أبواب لي .وافتح

‘Ali ibn Hajar bercerita kepada kami, katanya Ismail ibn Ibrahim

bercerita kepada kami dari Laits dari ‘Abdullah ibn Hasan dari

ibunya Fathimah binti Husain dari neneknya Fathimah al-Kubra

katanya, “Apabila Rasulullah memasuki masjid, ia membaca shalawat

bagi Nabi Muhammad dan berdo’a, ‘Ya Tuhanku, ampunilah dosaku

dan bukalah pintu rahmat-Mu’. Dan jika ia keluar juga membaca

shalawat untuk Muhammad dan berdo’a, ‘Ya Tuhanku, ampunilah

dosaku dan bukalah pintu keutamaan-Mu’”.33

Fathimah binti Husain tidak pernah bertemu neneknya,

Fathimah binti Rasulullah (biasa dikenal Fathimah az-Zahra’ atau

Fathimah al-Kubra). Seperti kita ketahui bahwa Fathimah binti

Rasulullah meninggal satu bulan setelah wafatnya Rasulullah,

32 Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Hadits: Praktis dan Mudah, Teras, Yogyakarta, 2013, hlm. 133-134.33 Dr. Idri, M.Ag., Studi Hadis, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 187.

31

sedangkan saat itu Fathimah binti Husain belum lahir. Disini dapat

diketahui ada perawi yang gugur, sehingga hadits ini munqathi’.

c. Mu’dhal

Contoh hadits mu’dhal adalah hadits riwayat Imam Malik dalam

kitabnya al-Muwaththa’ sebagai berikut.

: : وسلم عليه الله صلaى الله رسول قال قال هريرة أبا aأن

وكسوته طعامه .للمملوك

Abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah besabda,”Bagi si budak

mempunyai hak, berupa makanan dan pakaian.”34

Beliau meriwayatkannya langsung dari Abu Hurairah padalah

beliau termasuk tabi’it-tabi’iy. Dengan demikian terdapat perawi yang

gugur. Setelah diadakan penelitian dengan membandingkan pada kitab

lain, ternyata didapati perawi yang gugur adalah Ajlan dan bapaknya.

d. Mu’allaq

Contoh hadits mu’allaq adalah hadits yang diriwatkan al-

Bukhari dalam kitabnya Shahih al-Bukhari sebagai berikut.

: تستتر ال كان القبر حب لصا وسلaم عليه الله صلى aبىa الن وقال

بوله من

Nabi saw bersabda kepada penghuni kubur, “Dahulu ia tidak

membersihkan kencingnya”.35

Hadits ini diriwayatkan al-Bukhari tanpa menyebut semua

sanadnya, dan hanya mengatakan “Nabi saw bersabda”.

e. Mudallas

Contoh hadits mudallas adalah hadits yang diriwayatkan Imam

Ahmad dan Imam Abu Dawud sebagai berikut.

34 Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Hadits: Praktis dan Mudah, Teras, Yogyakarta, 2013, hlm. 137.35 Ibid., hlm. 138-139.

32

أبي عن الألجلح ثنا نمير بن ثنا أبي حدثني الله عبد حدثنا

: , وسلaم عليه الله رسول قال قال عازب بن البراء عن إسحاق

قا aيتفر أن قبل لهما aغفر إال فيتصافحان يلتقيان مسلمين من ما

( ضعيف( : إسناد وهذا لغيره صحيح األرنؤوط قال

Dari Abu Ishaq, dari al-Barra’ ibn ‘Azib, dia berkata, Rasulullah

bersabda, “Tidaklah dua orang muslim yang saling bertemu lalu

berjabat tangan melainkan Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka

berdua sebelum mereka berpisah”.36

Abu Ishaq al-Sabi’i adalah Amr ibn Abdullah. Sebenarnya

beliau tsiqah, hanya saja beliau dianggap men-tadliskan perawi dalam

hadits ini.

Pada hadits ini beliau meriwayatkan dengan ungkapan yang

mengandung kemungkinan telah mendengar secara langsung, yaitu

dengan menggunakan kata ‘an. Padahal beliau tidak mendengar

langsung hadits ini dari al-Barra’ ibn ‘Azib, tetapi dari Abu Dawud al-

A’ma (Nafi’ ibn al-Harits). Sedangkan Nafi’ ibn al-Harits ini matruk

(tertolak haditsnya) dan tertuduh berdusta.

f. Mu’allal

Contoh hadits mu’allal adalah hadits riwayat Ibnu Majah

sebagai berikut.

عن هري aالز عن يزيد يونسبن حدaثنا الوليد بن aة بقي حدaثنا

, الجمعة صالة من ركعة أدرك من قال عمر ابن عن سالم

الصالة أدرك فقد وغيرها

Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Jumat dan shalat

lainnya, maka telah mendapatkan shalatnya.37

Oleh Abu Hatim ar-Razi, hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah

ini sanad dan matannya salah. Yang benar adalah riwayat az-Zuhriy

36 Ibid., hlm. 141.37 Ibid., hlm. 140.

33

dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, yang mana lafadz “shalat

Jumat” tidak ada.

g. Mudhtharib

Contoh hadits mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan al-

Hakim an-Naisaburiy dalam kitabnya al-Mustadrak ‘ala ash-

Shahihain sebagai berikut.

سألته وأنا مطر بن محمaد بن خعفر بن عمرومحمaد أبو حدثني

حدثنا: الحافظ نصر بن أحمد بن جعفر محمaد أبو حدثني قال

إسحاق أبي عن شيبان عن هشام بن معاوية حدثنا كريب أبو

: الله رضي الصaديق بكر أبو قال aاسقال عب بن عن عكرمة عن

: قال شبت قد أراك سلaم و عليه الله صلaى الله لرسول عنه

مسكوaرت aالش وإذا ءلون وعمaيتسا والواقعة هود .شيبتني

Abu ‘Amr Muhammad ibn Ja’far ibn Muhammad ibn Mathar bercerita

kepadaku dan aku bertanya kepadanya, katanya Abu Muhammad

Ja’far ibn Ahmad ibn Nashr al-Hafidz bercerita kepada kami, katanya

Abu Kuraib bercerita kepada kami, katanya Mu’awiyah ibn Hisyam

bercerita kepada kami dari Syaiban dari Abu Ishaq dari ‘Ikrimah dari

Ibnu ‘Abbas katanya, Abu Bakr ash-Shiddiq ra berkata, “Aku melihat

Engkau tampak muda”. Rasulullah saw menjawab, “Surah Hud, al-

Waqi’ah, ‘Amma Yatasaa-alun, dan Wa Idza asy-Syams Kuwwirat

telah menyebabkanku tampak muda”.38

Menurutnya, hadits tersebut berkualitas shahih sesuai dengan

syarat al-Bukhari. Sedangkan hadits tersebut dapat diketahui

mudhtharib berdasarkan riwayat at-Tirmidziy yang beliau nyatakan

sebagai hadits hasan gharib sebagai berikut.

أبي عن شيبان عن هشام بن معاوية حدثنا كريب أبو حدaثنا

: الله رضي بكر أبو قال aاسقال عب بن عن عكرمة عن إسحاق

38 Idri, Studi Hadis, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 232-233.

34

: والواقعة: هود شيبتني قال شبت قد الله رسول يا عنه

مسكوaرت aالش وإذا ءلون .وعمaيتسا

Abu Kuraib bercerita kepada kami, katanya Mu’awiyah ibn Hisyam

bercerita kepada kami dari Syaiban dari Abu Ishaq dari ‘Ikrimah dari

Ibnu ‘Abbas katanya, Abu Bakr ash-Shiddiq ra berkata, “Wahai

Rasulullah, Engkau tampak muda”. Rasulullah saw menjawab, “Surah

Hud, al-Waqi’ah, al-Mursalat, ‘Amma Yatasaa-alun, dan Wa Idza asy-

Syams Kuwwirat telah menyebabkanku tampak muda”.39

h. Maqlub

Contoh hadits maqlub adalah hadits riwayat Abu Hurairah yang

terdapat dalam kitab Shahih Muslim sebagai berikut.

بصدقة ... تصدaق aرجل aظلaه إال aظل ال يوم الله aهم يظل سبعة

شماله تنفق ما يمينه تعلم ال aى حت .أخفاها

Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari tiada

naungan kecuali naungan-Nya. ... Dan seseorang yang bersedekah

dengan suatu sedekah, lalu ia menyembunyikannya, sampai tangan

kanannya tidak mengetahui apa yang dinafkahkan oleh tangan

kirinya.40

Jika melihat dalam kitab Shahih al-Bukhari, al-Muwaththa’, dan

lainnya maka akan didapati bahwa redaksi hadits diatas terbalik.

Redaksi yang benar adalah sebagai berikut.

يمينه ... تنفق ما شماله تعلم ال .حتى

Sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dinafkahkan oleh

tangan kanannya.41

i. Syadz

39 Ibid.40 Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 311.41 Ibid.

35

يمينه عن فليضطجع الفجر ركعتي أحدكم صلaى .إذا

Jika salah seorang di antara kamu telah melakukan shalat dua rakaat

fajar maka hendaklah ia berbaring pada lambung kanannya.42

Hadits ini diriwayatkan Imam Abu Dawud dan Imam Tirmidziy

dari hadits Abdul Wahid ibn Ziyad dari al-A’masy dari Abu Saleh dari

Abu Hurairah secara marfu’. Dalam hal ini menurut al-Baihaqiy,

Abdul Wahid adalah mukhalafah (berbeda/melakukan penyimpangan)

dan tafarrud (melakukan penyendirian) dari sekian murid al-A’masy.

j. Munkar

Contoh hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh an-

Nasa’iy dan Ibnu Majah dari ‘Aisyah secara marfu’ sebagai berikut.

: حدaثني قال مقدم بن عطاء بن علي بن عمر بن محمaد أخبرنا

: يذكر عروة بن هشام سمعت قيسقال بن محمaد بن يحيى

: عليه الله صلaى الله رسول قال قالت عائشة عن أبيه عن

يطان aالش غضب أكله إذا آدم aبن فإن aمر بالت البلح كلوا وسلaم

بالجديد الحلق أكل aى حت آدم عاشبن .وقال

Muhammad ibn ‘Umar ibn ‘Ali ibn ‘Atha’ ibn Miqdam bercerita

kepada kami katanya, Yahya ibn Muhammad ibn Qais bercerita pada

kami katanya, aku mendengar Hisyam ibn ‘Urwah menyebutkan

(hadits) dari ayahnya dari ‘Aisyah katanya, Rasulullah saw bersabda,

“Makanlah kurma yang masih muda. Karena jika seseorang

memakannya, maka setan akan marah dan berkata, ‘Seseorang telah

hidup sampai makan ciptaan yang baru”43

Yahya ibn Muhammad ibn Qais dari Hisyam ibn ‘Urwah dari

ayahnya dari ‘Aisyah meriwayatkan secara tafarrud. Juga maknanya

kaku karena tidak sejalan (inkar) dengan prinsip-prinsip syariah,

42 Ibid., hlm. 313.43 Idri, Studi Hadis, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 209.

36

karena setan tidak akan marah hanya karena hidupnya seseorang, tetapi

karena hidup seorang Muslim yang taat kepada Allah swt.

k. Matruk44

l. Mudraj

Contoh hadits mudraj adalah hadits riwayat az-Zuhriy dari ‘Aisyah ra

sebagai berikut.

غارحراء -- في aث يتحن سلaم و عليه الله صلaى aبيa الن كان

العدد-- ذوات aيالي الل aد aعب .وهوالت

Nabi saw bertahannuts –yaitu beribadah—di dalam Gua Hira’

beberapa malam.45

Kalimat aد aعب adalah وهوالت pernyataan az-Zuhriy sebagai

penjelas istilah tahannuts.

E. KONTROVERSI ORIENTALIS TENTANG HADITS

Belum jelas kapan dan siapa orang Barat yang pertama kali melakukan

pengkajian terhadap Islam. Beberapa pakar sejarah mengatakan bahwa kali

pertama orang-orang Barat mempelajari Islam adalah saat kekhalifahan Islam

(pada saat itu Dinasti Umayyah) menguasai Andalusia (sekarang Spanyol)

pada tahun 93 H/711 M.

Setelah penaklukan, bangsa Eropa dengan bebas menimba ilmu dari

Spanyol Islam. Diantaranya Jerbert de Oraliac (938-1003 M), Adelard of

Bath (1070-1135 M), Pierre Le Venerable (1094-1156 M), Gerard de

Gremona (1114-1187 M), Leonardi Fibonacci (1170-1241 M) dan lain-lain.46

Mereka pernah tinggal dan mempelajari Islam di Toledo, Granada, Cordoba,

44 Lihat halaman45 Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 335-336.46 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000, hlm. 7.

37

dan kota-kota lain. Setelah itu mereka pulang ke Eropa dan menyebarkan

ilmunya.

Nama-nama diatas tercatat sebagai orang-orang Barat yang melakukan

pengkajian terhadap Islam pertama kali. Yang selanjutnya disebut

orientalisme. Orientalisme sendiri adalah studi tentang dunia Timur

menggunakan perspektif bangsa Barat, yang dalam perkembangannya

mengalami penyempitan menjadi studi tentang dunia Islam. Maka orientalis

adalah orang-orang yang mempelajari Islam menggunakan logika ontologis

dan dan epistemologis Barat, entah ia orang Barat atau bukan, muslim

maupun nonmuslim.

1. Orientalis Mengkritik Otentisitas Hadits

Pada awal perkembangannya, kajian orientalis hanya pada Islam

yang bersifat umum. Namun selanjutnya terjadi spesifikasi kajian seperti

pada al-Qur’an, hadits, hukum Islam, dan sejarah Islam.

Menurut Prof. Dr. M. M. Azami, orientalis yang pertama kali

melakukan kajian terhadap hadits adalah Ignaz Goldziher (1850-1920 M)

melalui karyanya yang berjudul Muhammadanische Studien pada tahun

1890 M. Buku ini menjadi menjadi ‘kitab suci’ bagi kaum orientalis.

Dalam buku ini Goldziher berhasil menanamkan keraguan terhadap

otentisitas hadits.

Dalam Islam, ulama’ muslim sendiri telah melakukan kritik

terhadap otentisitas (keshahihan) hadits. Yaitu sejak terbunuhnya

Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan pada tahun 36 H, dimana mulai

diberlakukannya Kritik Sanad Hadits yang sebelumnya hanya berlaku

Kritik Matan Hadits. Para ulama’ sesudah generasi mereka menyusun

kriteria-kriteria otentisitas hadits yaitu: (1) Sebuah hadits harus

diriwayatkan dengan sanad (jalur transmisi) yang bersambung sampai

Rasulullah saw; (2) Sanad tersebut terdiri dari orang-orang yang

bertakwa dan kuat ingatannya; (3) Kandungan matan hadits tidak

berlawanan dengan al-Qur’an atau hadits lain yang diriwayatkan dengan

38

sanad yang kualitasnya lebih unggul; (4) Hadits tersebut tidak

mengandung kecacatan.

Empat kriteria tersebut telah ditetapkan dan diterapkan sejak abad

ke-3 sampai kira-kira abad ke 13 Hijriah tanpa ada yang

mempersoalkannya. Baru pada tahun 1890 M dunia kritik hadits

dikejutkan dengan gebrakan Ignaz Goldziher seperti yang telah

disebutkan diatas.

Kemudian muncul Joseph Schacht (1902-1969 M) dengan bukunya

The Origins of Muhammadan Jurisprudence pada tahun 1950 M, yang

kemudian dianggap sebagai ‘kitab suci kedua’ bagi para orientalis. Jika

Goldziher berhasil menanamkan keraguan terhadap otentisitas hadits,

maka Schacht berkesimpulan bahwa tidak ada satu pun hadits yang

otentik.

Tradisi orientalisme menyebar di hampir seluruh wilayah Eropa,

yaitu meliputi: Jerman, Inggris, Perancis, Belanda, Hongaria, Italia,

Spanyol, dan bahkan kini Amerika. Sejatinya orientalisme ini bertujuan

melemahkan Islam, baok dari segi agama, politik, maupun ekonomi.

2. Teori Orientalis Tentang Hadits

Meskipun orientalisme pada umumnya terkesan menyudutkan Islam,

namun ada juga yang benar dan murni mempelajari Islam sebagai ilmu

pengetahuan. Ada pula yang lebih tendesius menggunakan pendekatan

teologis. Berikut tokoh-tokoh dan penjelasannya.

a) Ignaz Goldziher

Ignaz Goldziher adalah seorang orientalis berkebangsaan

Hungaria yang dilahirkan dari keluarga Yahudi pada tahun 1850 M. Ia

belajar di Budapest, Berlin dan Leipzig. Ia juga berangkat ke Timur

Tengah yaitu Syiria pada tahun 1873 M untuk mempelajari Islam

kepada Syeikh Thahir al-Jazairiy. Ia juga pergi ke Palestina, kemudian

ke Mesir untuk belajar kepada sejumlah ulama’ di al-Azhar selama

setahun.

39

Sepulangnya dari al-Azhar dia diangkat menjadi guru besar di

Universitas Budapest. Karya-karya ilmiahnya banyak dipublikasikan

ke dalam bahasa Jerman, Inggris dan Perancis. Karyanya yang paling

berpengaruh dan menjadi master piece adalah Muhammadanische

Studien. Buku ini dianggap sebagai ‘kitab suci’ dan menjadi sumber

rujukan utama dalam penelitian hadits oleh kaum orientalis.

Goldziher mengatakan, “Bagian terbesar dari hadits tidak lain

adalah hasil perkembangan Islam pada abad pertama dan kedua, baik

dalam bidang keagamaan, politik, maupun sosial. Tidaklah benar

pendapat yang mengatakan bahwa hadits merupakan dokumen Islam

yang sudah ada sejak masa dini (masa pertumbuhan), melainkan

adalah pengaruh perkembangan Islam pada masa kematangan”.47

Bagi Goldziher, hadits Nabawiy adalah hasil tradisi masyarakat

Arab. Hadits bukanlah sumber terpercaya bagi Islam di abad pertama,

namun hanya sebagai sumber yang bernilai tinggi bagi dogma, konflik

dan perhatian para Muslim abad kedua dan ketiga yang telah membuat

dan menyebarkan hadits. Ia tidak menolak kemungkinan bahwa

sahabat telah berusaha menyimpan kata-kata dan perbuatan Nabi saw

dalam bentuk shahifah. Namun Goldziher mempertahankan

pendapatnya bahwa shahifah-shahifah tersebut adalah hasil karangan

generasi Islam abad kedua dan ketiga Hijriah.

Sasaran utamanya adalah az-Zuhriy (w. 123 H), yang ia anggap

sebagai pemalsu hadits pertama kali. Goldziher merubah teks-teks

sejarah untuk memperkuat argumennya tersebut. Menurutnya, az-

Zuhriy mengatakan, “Inna haula`i al-umara akrahuna ‘ala kitabah

ahadits” (Sesungguhnya para pejabat itu telah memaksa kami untuk

menulis hadits). Kata “ahadits” dalam bahasa Arab berarti hadits-

hadits yang belum pernah ada. Padahal pada teks aslinya seharusnya

berbunyi “al-ahadits” seperti yang tertulis pada kitab Ibnu Sa’ad dan

Ibnu ‘Asakir yang berarti menunjukkan pada hadits-hadits Nabawiy.

47 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000, hlm. 9.

40

Hal ini ia lakukan agar seolah-olah az-Zuhriy mengakui memang

memalsukan hadits.

Goldziher juga menjelaskan alasan kenapa az-Zuhriy

memalsukan hadits, yaitu karena polemik politik di masanya. Hadits

tersebut berbunyi, “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga

masjid, Masjid al-Haram, Masjid Nabawiy, dan Masjid al-Aqsha”.

Menurut Goldziher, hadits ini dibuat atas perintah Khalifah ‘Abd al-

Malik ibn Marwan (Dinasti Umayyah di Damaskus) yang merasa

khawatir apabila masyarakat Syam (Syiria) setelah pergi ke Mekkah

berbaiat kepada Abdullah ibn al-Zubair yang memproklamirkan

dirinya sebagai khalifah di Mekkah. Dengan adanya hadits tersebut,

maka masyarakat Syam tidak perlu lagi pergi ke Mekkah dan cukup

pergi ke Qubbah as-Sakhra di al-Quds yang saat itu menjadi wilayah

Syam.

Hadits diatas adalah hadits yang terdapat dalam kitab Shahih

Bukhari. Dimana otentisitasnya kitab tersebut diakui oleh umat Islam,

bahkan dianggap sebagai kitab paling otentik setelah al-Qur’an. Hal

ini terus berlangsung sejak abad 3 H (Imam Bukhari wafat 256 H)

hingga tahun abad 14 H (tahun 1890 M saat terbitnya buku

Muhammadanische Studien).

b) Joseph Schacht

Prof. Dr. Joseph Schacht lahir di Silisie, Jerman pada 15 Maret

1902. Sejak saat masih muda, belajar filologi klasik, semitik, teologi

dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Berslauw dan Universitas

Leipzig. Ketika berumur 21 tahun, ia telah mencapai gelar doktor

dengan predikat summa cumlaude dari Universitas Berslauw.

Karya terbesarnya adalah The Origins of Muhammadan

Jurisprudence yang terbit tahun 1950, kemudian bukunya An

Introduction to Islamic Law yang terbit tahun 1960. Karyanya ini

memperoleh reputasi yang luar biasa, hingga di berbagai universitas

melarang mahasiswanya mengkritik buku-buku Schacht. Dalam dua

41

bukunya ini, Schacht berpendapat bahwa hadits Nabawiy, terutama

yang berkaitan dengan hukum Islam, adalah buatan para ulama’ abad

kedua dan abad ketiga. Ia berargumen dengan teorinya yang terkenal

yaitu “Projecting Back”.

Sumbangan pemikiran terbesar Schacht adalah orientasi hadits

terhadap Hukum Islam. Asumsi-asumsi Schacht tentang Hukum Islam

adalah48:

1) Hukum Islam bukanlah seperangkat norma yang diwahyukan,

melainkan sebagai fenomena historis yang memiliki kaitan yang

demikian erat dengan realitas sosial.

2) Jika Hukum Islam merupakan realitas historis, maka sumberya

(hadits) juga merupakan akibat dari proses perkembangan

historis.

3) Adopsi tradisi non-Islam semakin berkembang ketika teritorial

Islam mencapai wilayah di luar jazirah Arab, sejak era Khulafa’

ar-Rasyidin dan era Umayyah.

4) Pengangkatan hakim-hakim era Umayyah ditengarai mendorong

upaya penyandaran keputusan berdasarkan landasan-landasan

yang lebih otoritatif, yakni sunnah dari Nabi saw.

5) Munculnya kelompok ahli hadits ternyata jutru menjadi justifikasi

bagi berkembangnya aliran fiqh, yang disandarkan kepada

generasi masa lalu.

Dari sini timbullah teori Projecting Back (proyeksi ke

belakang). Ia melakukan penelitian pada kitab al-Muwaththa’ karya

Imam Malik, kitab al-Muwaththa’ karya Imam Syaibaniy, serta kitab

al-Umm dan ar-Risalah karya Imam Syafi’iy. Padahal kitab-kitab ini

lebih layak disebut kitab-kitab fiqh daripada kitab-kitab hadits,

sehingga hasil penelitian Schacht tidak tepat. Ia mengatakan, “Bagian

terbesar dari sanad hadits adalah palsu. Semua orang mengetahui

bahwa sanad pada mulanya muncul dalam bentuk yang sangat

48 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, UIN-Maliki Press, Malang, 2010, hlm. 172.

42

sederhana, kemudian mencapai tingkat kesempurnaannya pada paruh

kedua dari abad ketiga Hijriah.”49

Ia menjelaskan rekonstruksi bagaimana terbentuknya sanad

hadits. Menurutnya, Hukum Islam baru muncul setelah setelah adanya

pengangkatan qadhi (hakim agama) tepatnya setelah masa asy-Sya’bi

(w. 104 H) pada era kekhalifahan Umayyah.

Pada awal abad ke-2 Hijriah, para fuqaha (ahli fiqh) yang

merupakan benih-benih calon qadhi semakin bertambah. Hal ini

menyebabkan munculnya Aliran Fiqh Klasik. Disini keputusan-

keputusan qadhi memerlukan legitimasi dari orang-orang yang

memiliki otoritas tinggi. Mereka menisbahkan keputusan hukum

mereka pada tokoh-tokoh sebelumnya (memproyeksikan ke belakang)

hingga sampai kepada Nabi Muhammad saw.

Contohnya para qadhi di Iraq menisbahkan keputusan

hukumnya kepada Ibrahim an-Nakha’iy (w. 95 H), kemudian kepada

Masruq ibn al-Ajda’ (w. 63 H), kemudian kepada Abdullah ibn

Mas’ud (w. 32 H), dan yang terakhir kepada Nabi Muhammad saw

sebagai pemegang otoritas tertinggi.

Sebagai konsekuensi adanya Aliran Fiqh Klasik ini, muncullah

Kelompok Oposisi yang terdiri dari ahli-ahli hadits. Kelompok ini

ditengarai sebagai pembuat hadits-hadits palsu yang diharapkan bisa

mengalahkan aturan-aturan yang dibuat oleh para fuqaha klasik tadi.

Kelompok Oposisi ini mengklaim telah menerima hadits-hadits

tersebut secara lisan dengan sanad yang bersambung dari perawi-

perawi yang terpercaya.

Kesimpulannya adalah baik kelompok Aliran Fiqh Klasik

maupun Kelompok Oposisi sama-sama melakukan pemalsuan hadits.

Sehingga Schacht mengatakan bahwa kita tidak akan menemukan satu

hadits pun yang berkaitan dengan Hukum Islam yang dapat dianggap

otentik.

49 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000, hlm. 9.

43

3. Bantahan Ulama’ Muslim

Kritik dari para orientalis banyak mendapatkan kritikan dan koreksi

dari para ulama’ kontemporer. Ini sebagai usaha dalam menjaga keutuhan

dan eksistensi Islam dari serangan skeptis orientalis. Mereka diantaranya

adalah Mushthafa as-Siba’i, Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Shubhi ash-

Shalih, dan Muhammad Mushthafa al-A’zami.

Mushthafa as-Siba’i berasal dari Syiria, lahir pada tahun 1915 dan

meninggal pada tahun 1964. Beliau menangkal teori-teori Goldziher dalam

bukunya as-Sunnah wa Maknatuha fi at-Tasyri’ al-Islamiy yang

diterbitkan pada tahun 1949. Beliau menganggap Goldziher sama sekali

tidak menggunakan integritas ilmiah dalm meneliti hadits Nabawiy.

Goldziher menuduh az-Zuhriy memalsukan hadits untuk kepentingan ‘Abd

al-Malik ibn Marwan yang beroposisi dengan Abdullah ibn Zubair.

Padahal az-Zuhriy tidak pernah bertemu dengan ‘Abd al-Malik kecuali

setelah tujuh tahun dari wafatnya Abdullah ibn Zubair. Dalam hal ini

Goldziher telah meniggalkan prinsip-prinsip ilmiah.

Tokoh lain yang juga mengkritik pandangan Goldziher tentang

hadits adalah Muhammad ‘Ajaj al-Khatib. Beliau lahir pada tahun 1932.

Meskipun satu masa dengan Muhammad as-Siba’i, beliau melakukan

kritik secara terpisah terhadap orientalis, dalam bukunya as-Sunnah Qabla

at-Tadwin yang diterbitkan pada tahun 1964.

Kemudian Subhi ash-Shalih yang lahir pada tahun 1953 di

Damaskus. Beliau mengoreksi tuduhan orientalis tentang tidak adanya

peninggalan hadits secara tertulis. Orientalis beranggapan bahwa Nabi saw

benar-benar melarang penulisan, padahal tidak demikian. Shubhi ash-

Shalih mengatakan bahwa larangan penulisan tersebut disampaikan secara

umum pada masa awal turunnya wahyu al-Qur’an karena Nabi saw

khawatir hadits akan tercampur dengan al-Qur’an.

Setelah sebagian besar al-Qur’an telah diturunkan, Nabi saw

memberikan izin kepada sejumlah sahabat untuk menulis hadits. Hal ini

44

diperkuat dengan bukti ditemukannya catatan-catatan hadits pada masa

Nabi saw , misalnya catatan Sa’ad ibn ‘Ubadah, Samrah ibn Jundub (w. 60

H), Jabir ibn ‘Abdullah (w. 78 H), ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn ‘Ash (w. 65

H), dan ‘Abdullah ibn ‘Abbas (w. 69 H).

Sedangkan Muhammad Mushthafa al-A’zami, beliau dianggap

sebagai pakar Muslim pertama yang melakukan penghancuran besar-

besaran terhadap teori-teori orientalis dalam kajian hadits. Terutama

terhadap Ignaz Golziher dan Joseph Schacht yang merupakan orientalis

paling berpengaruh dalam hal ini. Beliau melakukan kritik dan koreksi

terhadap orientalis-orientalis tersebut dalam bukunya Studies in Early

Hadith Literature with a Critical Edition of Some Early Texts yang

diterbitkan pada tahun 1890. Di tahun yang sama disaat beliau dianugerahi

King Faisal International Prize.

Dalam studinya di Universitas Cambridge, beliau beruntung karena

diizinkan mengkritik Schacht oleh pihak universitas. Tidak seperti

rekannya Muhammad Amin al-Mishri. Sehingga beliau dapat meneliti

kajian Schacht secara lebih mendalam. Diantara kritik-kritik dan

penjelasan M. M. al-A’zami terhadap tuduhan orientalis adalah sebagai

berikut.

1) Rekayasa sanad dan matan hadits

Menurut para orientalis, sanad dan matan hadits adalah buatan

ulama’ Islam pada abad kedua dan ketiga Hijriah. Bantahan al-A’zami

adalah sebagai berikut.

a) Sejarah membuktikan bahwa sanad telah dipakai sejak masa Nabi

saw, dimana beliau menganjurkan kepada sahabat yang datang di

majelis untuk menyampaikan pengajaran beliau kepada yang

tidak datang dalam majelis.

b) Mayoritas pemalsuan hadits terjadi pada tahun ke-40 Hijriah yang

dipicu karena polemik politik.

45

c) Hasil penelitian orientalis tentang sanad tidak dapat diterima

karena yang mereka teliti adalah kitab-kitab fiqh dan sirah, bukan

kitab-kitab hadits.

d) Teori Projecting Back otomatis gugur karena banyaknya jalan

periwayatan suatu hadits.

e) Dalam perkembangannya, tidak pernah ada sanad yang

mengalami pengembangan maupun perbaikan.

f) Tuduhan sanad yang dipakai hanya untuk memperkuat argumen

suatu pendapat ataupun madzhab tidaklah terbukti dan tidak

sesuai realitas sejarah.

2) Az-Zuhriy memalsu hadits

Ignaz Goldziher menuduh az-Zuhriy membuat hadits yang

berbunyi, “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid,

Masjid al-Haram, Masjid Nabawiy, dan Masjid al-Aqsha” untuk

kepentingan politik. Berikut penjelasan al-A’zami.

a) Hadits tersebut diriwayatkan dengan 19 sanad termasuk az-

Zuhriy.

b) Az-Zuhriy tidak pernah bertemu dengan ‘Abd al-Malik ibn

Marwan sebelum 81 H.

c) Pada tahun 68 H, pada saat polemik politik itu dimulai, Palestina

belum termasuk wilayah kekuasaan Dinasti Umayyah.

d) Pembangunan Qubbah as-Sakhrah baru dimulai tahun 69 H (az-

Zuhriy kira-kira berumur 10-18 tahun) dan baru selesai tahun 72

H yang mana mustahil az-Zuhriy membuat hadits palsu pada

umur sekian.

3) Untaian sanad emas (adz-dzahab)

Untaian sanad emas yaitu Malik – Nafi’ – Ibnu ‘Umar. Schacht

meragukan otentisitas hadist yang diriwayatkan dari jalur tersebut

karena waktu itu umur Malik masih diperdebatkan. Selain itu, Nafi’

pernah menjadi hamba sahaya Ibnu ‘Umar. Schacht juga menganggap

46

bahwa Malik menyembunyikan perawi-perawi yang lemah dari sanad

tersebut. Penjelasan al-A’zami dari tuduhan ini adalah sebagai berikut.

a) Umur Malik telah mencapai 24 tahun ketika Nafi’ wafat sehingga

sangat dimungkinkan bertemu, apalagi mereka berdomisili di

wilayah yang sama yaitu Madinah.

b) Meskipun pernah menjadi hamba sahaya Ibnu ‘Umar, namun

Nafi’ adalah orang yang paling dipercaya Ibnu ‘Umar dalam

meriwayatkan hadits.

c) Terdapat sejumlah orang yang meriwayatkan hadits yang sama,

secara lafdziy maupun maknawiy.

4) Teori Projecting Back

Projecting Back adalah teori dimana sanad hadits digunakan

untuk menguatkan suatu keputusan hukum. Keputusan hukum tersebut

dinisbahkan pada tokoh-tokoh sebelumnya (memproyeksikan ke

belakang) yang memiliki otoritas yang semakin tinggi hingga sampai

kepada Nabi Muhammad saw. Penjelasan al-A’zami sebagai berikut.

a) Penggunaan sanad dalam transmisi hadits telah dimulai sejak

setelah pembunuhan Khalifah ‘Utsman pada tahun 35 H (abad 1

H), bukan seperti pendapat Schacht dimana sanad adalah buatan

ulama’ Muslim adab kedua dan ketiga Hijriah.

b) Orang-orang dalam sanad hadits hadits yang dicontohkan Schacht

untuk memperkuat teori ini adalah benar adanya yang hidup

dalam satu generasi dan satu wilayah kota dalam kurun waktu 30

sampai 40 tahun.

c) Teori ini tidak logis karena terdapat beberapa riwayat hadits yang

sama secara lafdziy dan maknawiy dalam berbagai literatur

muhadditsin dari berbagai aliran yang berbeda-beda yang

terpecah-pecah mulai sekitar 30 tahun setelah Rasulullah saw

wafat.

Menurut al-A’zami, kesalahan Schacht dalam meneliti hadits ini

adalah karena sikapnya yang tidak konsisten dalam berteori dan

47

menggunakan sumber rujukan, serta menerapkan metodologi yang

tidak ilmiah. Schacht juga salah memahami istilah-istilah khas yang

digunakan ulama’ dan sejumlah fakta yang berkaitan dengan hadits.

Schacht juga dinilai kurang paham akan kondisi politik dan

kondisi geografis yang dikaji, dan seringnya ia menggunakan

penarikan kesimpulan berdasarkan argumentum e silentio (alasan

ketiadaan bukti).

F. ANALISIS

1. Otentisitas Hadits

Hadits adalah otentik dari Nabi saw. Ulama’ muslim sendiri telah

melakukan kritik terhadap otentisitas hadits. Yaitu sejak terbunuhnya

Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan pada tahun 36 H, dimana mulai

diberlakukannya Kritik Sanad Hadits yang sebelumnya hanya berlaku

Kritik Matan Hadits. Para ulama’ sesudah generasi mereka menyusun

kriteria-kriteria otentisitas hadits yaitu: (1) Sebuah hadits harus

diriwayatkan dengan sanad (jalur transmisi) yang bersambung sampai

Rasulullah saw; (2) Sanad tersebut terdiri dari orang-orang yang bertakwa

dan kuat ingatannya; (3) Kandungan matan hadits tidak berlawanan

dengan al-Qur’an atau hadits lain yang diriwayatkan dengan sanad yang

kualitasnya lebih unggul; (4) Hadits tersebut tidak mengandung kecacatan.

Bukti lain dari keotentikan hadits adalah bahwa sanad telah dipakai

sejak zaman Nabi saw dan adanya tradisi tulis-menulis hadits (dalam

bentuk shahifah) sebagai bentuk pemeliharaan hadits. Kemudian terdapat

beberapa riwayat hadits yang sama secara lafdziy dan maknawiy dalam

berbagai literatur muhadditsin dari berbagai aliran yang berbeda-beda yang

terpecah-pecah mulai sekitar 30 tahun setelah Rasulullah saw wafat. Tidak

mungkin jika mereka yang berbeda-beda aliran dan wilayah, berkompromi

membuat hadits yang sama.

2. Intelektualitas Perawi

48

Salah satu faktor yang membuat keberagaman kualitas hadits adalah

intelektualitas(dhabit) para perawi di dalam sanadnya. Tingkat kedhabitan

masing-masing perwi hadis bebeda. Contohnya dalam kalangan sahabat,

penguasaan hadis tersebut bergantung pada kesempatan mereka bertemu

dengan rasulullah, kesungguhan mereka bertanya dengan sahabat lain,

perbedaan waktu masuk islam dan jarak tempat tinggal mereka.

Tingkat Dhabit dalam hadist shahih itu kuat dan sempurna

hafalannya. Para perawi itu dalam keadaan sadar dan paham ketika

meriwayatkan hadits, dan menghafalnya sejak pertama menerima sampai

meriwayatkan suatu hadits. Daya ingat dan hafalan kuat ini sangat

diperlukan dalam rangka menjaga otentisitas hadits. Sedangkan didalam

hadist hasan tingkat kedhabitannya lemah dan hanya ditemukan beberapa

perawi yang kuat hafalannya. Akan tetapi didalam hadist hasan ini tidak

ditemukan kejanggalan atau kecacatan hadist. Lain halnya dengan hadis

dho’if tingkat kedhabitan perawinya sangat lemah dan terdapat kecacatan

dan kedustaan hadis.

G. KESIMPULAN

Dari segi kualitasnya, hadits dibagi menjadi tiga: shahih, hasan, dan

dha’if. Hadits shahih adalah hadits yang memenuhi kriteria-kriteria

keotentikan hadits, yang dapat dijadikan hujjah dan wajib diterima serta

diamalkan. Kemudian hadits hasan adalah hadits yang telah memenuhi

syarat-syarat hadits shahih namun perawinya kurang dhabit. Hadits ini dapat

dijadikan hujjah namun kekuatannya masih dibawah hadits shahih.

Sedangkan hadits dha’if adalah hadits yang lemah dan tidak dapat dijadikan

sebagai hujjah karena tidak memenuhi kriteria-kriteria hadits shahih maupun

hasan.

Perbedaan ulama’ hadits klasik dan kontemporer adalah terletak pada

metodologinya dam mengkaji hadits. Dimana ulama’ hadits klasik

menggunakan metode tahlili, ijmali, dan muqaran. Sedangkan ulama’ hadits

49

kontemporer menggunakan metode maudhu’i seperti yang dilakukan para

orientalis.

Orientalis mulai melakukan kajian terhadap hadits pada abad 19 M/13

H. Mereka menyatakan hadits tidaklah otentik dari Nabi Muhammad saw.

Tokoh-tokoh orientalis ini diantaranya Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan

G. H. A. Juynboll. Kemudian tokoh ulama’ Muslim yang mengkritik dan

mengoreksi pandangan orientalis tentang hadits adalah Mustafa as-Siba’i,

Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Shubhi ash-Shalih, dan Muhammad Mustafa al-

A’zami.

50

DAFTAR PUSTAKA

‘Ajaj al-Khatib, Muhammad. (2007). Ushul al-Hadits. Jakarta: Gaya Media

Pratama.

Ali Fayyad, Mahmud. (1998). Metode Penetapan Keshahihan Hadits. Bandung:

CV Pustaka Setia.

Anwar, Mohammad. (1981). Ilmu Mushthalah Hadits. Surabaya: Al-Ikhlas.

Anwar, Rosihon. (2012). Pengantar Ulumul Quran. Bandung: CV Pustaka Setia.

Ash-Shiddieqy, Hasbi. (1987). Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits I. Jakarta:

Bulan Bintang.

Gufron, Mohammad, & Rahmawati. (2013). Ulumul Hadits: Praktis dan Mudah.

Yogyakarta: Teras.

Hasan, Mustofa. (2012). Ilmu Hadits. Bandung: Pustaka Setia.

Idri. (2010). Studi Hadis. Jakarta: Kencana.

Khon, Abdul Majid. (2012). Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.

Rahman, Fatchur. (1974). Ikhtishar Mushthalahu’l Hadits. Bandung: PT

Alma’arif.

Sulaiman, M. Noor. (2008). Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada Press.

Sumbulah, Umi. (2010). Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Maliki Press.

Suryadilaga, Alfatih, dkk. (2010). Ulumul Hadits. Yogyakarta: Teras.

Yaqub, Ali Mustafa. (2000). Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.

51

Dwi Handoko. Nama-nama Perawi yang Dinilai Dha’if. Diakses dari http://huda-

sarungan.blogspot.com/2012/07/281-nama-nama-perawi-yang-dinilai-dhaif.html,

28 November 2014.

Suryadilaga. Metodologi Syarah Hadits. Diakses dari

http://suryadilaga.wordpress.com/2012/06/06/metodologi-syarah-hadis/, 4

Desember 2014.

Mufdil. Hadits Maqbul dan Hadits Mardud. Diakses dari http://mufdil.wordpress.com/2009/08/06/hadits-maqbul-dan-hadits-mardud/, 8 Desember

Zakaria. Pemikiran Hadis Kontemporer. Diakses dari

http://zakarialombok.blogspot.com/2011/01/pemikiran-hadis-kontemporer.html, 4

Desember 2014.

52