Makalah Sistem Endokrinitik

24
7 TINJAUAN PUSTAKA Daging Itik Deskripsi Daging Itik Klasifikasi zoologis menggolongkan itik ke dalam kelas Aves, ordo Arseriformes, famili Anatidae, genus Anas, dan spesies Platyhynchos (Srigandono, 1996). Itik terdiri atas dua tipe, yaitu pedaging dan petelur. Keduanya dibedakan berdasarkan postur tubuh. Dada itik pedaging lebih sejajar dengan lantai sedangkan itik petelur lebih tegak lurus terhadap lantai. Pada umumnya itik lokal yang dibudidayakan oleh masyarakat untuk menghasilkan telur dan masih jarang yang dibudidayakan untuk diambil dagingnya. Gambar 2. Itik lokal dan daging itik. Daging itik sebagian besar tersusun atas daging merah dengan kadar pigmen heminik (hemoglobin dan mioglobin) relatif tinggi (Baéza 2006; Kim et al. 2009). Daging bagian dada tersusun atas daging merah sebanyak 84% dan daging putih 16% (Smith et al. 1993), sedangkan daging ayam pedaging 100% berisi serabut putih. Warna merah daging itik meningkat seiring dengan bertambahnya kadar ion besi. Kandungan Fe daging merah pada itik sebesar 2.40 mg/100 g daging mentah termasuk kulit, sedangkan kandungan Fe daging putih pada ayam pedaging sebesar 0.90 mg/100 g daging mentah termasuk kulit (Staldeman et al. 1988). Kadar Fe daging dipengaruhi oleh spesies, jenis kelamin, umur, jenis urat daging, dan aktivitas (Lawrie 1998; Warriss 2010). Daging bagian paha itik mempunyai kadar Fe lebih tinggi dari bagian dada karena aktivitas paha lebih tinggi dari dada (Russell et al. 2003).

description

Makalah Sistem Endokrin

Transcript of Makalah Sistem Endokrinitik

  • 7

    TINJAUAN PUSTAKA

    Daging Itik

    Deskripsi Daging Itik

    Klasifikasi zoologis menggolongkan itik ke dalam kelas Aves, ordo

    Arseriformes, famili Anatidae, genus Anas, dan spesies Platyhynchos (Srigandono,

    1996). Itik terdiri atas dua tipe, yaitu pedaging dan petelur. Keduanya dibedakan

    berdasarkan postur tubuh. Dada itik pedaging lebih sejajar dengan lantai

    sedangkan itik petelur lebih tegak lurus terhadap lantai. Pada umumnya itik lokal

    yang dibudidayakan oleh masyarakat untuk menghasilkan telur dan masih jarang

    yang dibudidayakan untuk diambil dagingnya.

    Gambar 2. Itik lokal dan daging itik.

    Daging itik sebagian besar tersusun atas daging merah dengan kadar

    pigmen heminik (hemoglobin dan mioglobin) relatif tinggi (Baza 2006; Kim et al.

    2009). Daging bagian dada tersusun atas daging merah sebanyak 84% dan daging

    putih 16% (Smith et al. 1993), sedangkan daging ayam pedaging 100% berisi

    serabut putih. Warna merah daging itik meningkat seiring dengan bertambahnya

    kadar ion besi. Kandungan Fe daging merah pada itik sebesar 2.40 mg/100 g

    daging mentah termasuk kulit, sedangkan kandungan Fe daging putih pada ayam

    pedaging sebesar 0.90 mg/100 g daging mentah termasuk kulit (Staldeman et al.

    1988). Kadar Fe daging dipengaruhi oleh spesies, jenis kelamin, umur, jenis urat

    daging, dan aktivitas (Lawrie 1998; Warriss 2010). Daging bagian paha itik

    mempunyai kadar Fe lebih tinggi dari bagian dada karena aktivitas paha lebih

    tinggi dari dada (Russell et al. 2003).

  • 8

    Daging itik mengandung protein berkisar antara 18.6-19.6% dan lemak

    berkisar antara 2.7-6.8% (Jun et al. 1996), sedangkan Farrell (2000) menyatakan

    bahwa protein karkas berkisar antara 14-17% dan lemak berkisar antara 16-23%.

    Kadar protein daging merah lebih rendah dari daging putih (Soeparno 2005).

    Kadar protein dan lemak pada daging itik sangat dipengaruhi oleh genetik, jenis

    kelamin, pakan, dan umur (Baza 2006). Daging itik tersusun atas ALTJ sebesar

    60% dari total asam lemak yang terakumulasi pada jaringan otot dan adiposa

    (Chartrin et al. 2006).

    Daging itik mempunyai ukuran serabut otot lebih besar dari daging ayam

    (Lukman 1998) maupun daging entok (Sudjatinah 2000), sehingga menyebabkan

    daging itik teksturnya lebih keras (liat). Perbedaan komposisi kimia daging itik

    dapat mempengaruhi off flavor yang dihasilkan (Smith et al. 1993). Daging itik

    mempunyai sensasi off flavor, seperti bau amis, bau darah, apek, tengik, bau

    seperti kentang rebus, dan bau seperti telur asin (Hustiany 2001) cenderung tidak

    disukai konsumen. Oteku et al. (2006) menyatakan bahwa tingkat penerimaan

    masyarakat terhadap daging itik masih rendah dengan skor penerimaan dari

    kurang suka hingga tidak suka mencapai 57.8%.

    Kerusakan Oksidasi pada Daging Itik

    Oksidasi lemak adalah penyebab utama kerusakan daging dan produk

    olahannya, sehingga mempengaruhi masa simpannya (Gatellier et al. 2007).

    Oksidasi lemak melibatkan reaksi serah terima elektron dari radikal bebas dan

    spesies oksigen reaktif (SOR) (ivkovi et al. 2008). SOR adalah ion atau

    molekul yang sangat kecil dan reaktif, terdiri atas spesies radikal [hidroksil (OH ),

    superoksida (O2-), dan peroksil (ROO )] dan non radikal [hidrogen peroksida

    (H2O2), oksigen singlet (1O2), dan ozon (O3)] (Gulcin 2010). Radikal bebas

    merupakan molekul atau ion yang mempunyai elektron tidak berpasangan dan

    cenderung menangkap elektron dari senyawa lain untuk menjadi netral. Radikal

    bebas ini biasanya tidak stabil, reaktif, dan mempunyai waktu paruh pendek

    (Moein et al. 2007).

    Oksidasi daging itik sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kadar

    ALTJ, antioksidan, keberadaan radikal bebas, mioglobin, hemoglobin, logam

    prooksidan (besi dan tembaga), kondisi pemotongan (stress, pH, suhu karkas,

    stimulasi elektrik), dan kerusakan integritas membran otot (penghilangan tulang

  • 9

    secara mekanik, penggilingan, proses pengolahan, pemasakan, dan lama

    penyimpanan) (Gatellier et al. 2007). Pemotongan, pencacahan, dan perebusan

    daging dapat memacu reaksi oksidasi sehingga penurunan kualitas daging lebih

    cepat dibandingkan dengan kondisi utuh dan mentah selama penyimpanan (Lee et

    al. 2006). Terjadinya reaksi oksidasi dapat menurunkan penerimaan konsumen

    dan kualitas nutrisi, karena hilangnya sejumlah asam lemak esensial, vitamin,

    karbohidrat, protein, perubahan warna, tekstur, flavor, dan aroma pada pangan

    selama penyimpanan (Estevez et al. 2007).

    RH + O-O R + OOH (tahap inisiasi)

    R + O-O ROO (tahap propagasi)

    ROO + RH ROOH + R

    R + OOH ROOH (tahap terminasi)

    R + R RR

    R + ROO ROOR

    ROO + ROO ROOR + O-O

    ROOH RO + OH (tahap inisiasi sekunder)

    2 ROOH RO + ROO + H2O

    Gambar 3. Mekanisme reaksi oksidasi lemak (RH = ALTJ, ROO = radikal peroksil, R = radikal alkil, RO = radikal alkoksil) (Farhoosh 2005).

    Reaksi oksidasi ALTJ pada daging merupakan reaksi berantai yang

    melibatkan 3 tahap reaksi, yaitu tahap permulaan (inisiasi), perambatan

    (propagasi), dan penghentian (terminasi) (Gambar 3 dan 4). Pada tahap permulaan,

    radikal bebas lemak terbentuk akibat pemutusan atom H dari gugus ALTJ (RH)

    pada atom C dengan energi ikatan terendah (posisi bis metilen/ karbon -metilen).

    Radikal yang terbentuk dapat menjadi inisiator reaksi otooksidasi antara radikal

    peroksida (ROO) dengan ALTJ (RH) menghasilkan hidroperoksida (ROOH) dan

    radikal hidrokarbon (R) yang baru. Pada tahap terminasi terjadi penggabungan

    dua atau lebih radikal bebas menghasilkan senyawa dimer atau polimer (Farhoosh

    2005) Hidroperoksida merupakan senyawa yang kurang stabil sehingga mudah

    mengalami dekomposisi lanjut menghasilkan senyawa volatil dan non volatil,

  • 10

    seperti alkohol, keton, aldehida, asam karboksilat, ester maupun hidrokarbon

    (Pignoli et al. 2009).

    RCHR

    O OH O

    Gambar 4. Pembentukan produk sekunder dari reaksi dekomposisi hidroperoksida

    (R, R = gugus alkil dengan panjang rantai berbeda, RCHOOHR =

    senyawa peroksida, RCHO R = radikal alkoksil, RCHO = senyawa aldehida, RCOOH, RCOOH= senyawa asam karboksilat, RCHOHR =senyawa alkohol sekunder, RCOR = senyawa keton, RH = senyawa hidrokarbon, ROH = senyawa alkohol primer) (Pokorny et al. 2001).

    Reineccius (2006) menyatakan bahwa pigmen heme (mioglobin dan

    hemoglobin) dapat sebagai katalis utama oksidasi lemak pada daging merah

    mentah, sedangkan non heme berfungsi sebagai prooksidan pada daging yang

    telah dimasak. Masqood & Benjakul (2011) juga menginformasikan bahwa

    hemoglobin dapat menjadi sumber oksigen aktif terjadinya reaksi otooksidasi. Ion

    besi pada cincin heme yang berada dalam bentuk Fe2+

    dapat berubah menjadi Fe3+

    melalui proses otooksidasi. Strlic et al. (2002) menyatakan bahwa ion Fe3+

    dapat

    bereaksi secara otooksidasi dengan hidroperoksida menghasilkan senyawa volatil

    dengan mendonorkan elektron membentuk radikal alkoksil, yang selanjutnya

    memacu pembentukan senyawa yang mampu menginisiasi dan mempropagasi

    oksidasi lemak. Oksimioglobin dan metmioglobin dapat menghasilkan

    ferrilmioglobin (metmioglobin teraktivasi) dengan adanya hidrogen peroksida

    atau lipid hidroperoksida dan merupakan inisiator oksidasi lemak.

    Oksidasi lemak merupakan penyebab utama penyimpangan flavor daging

    yang telah dimasak selama penyimpanan (Brettonnet et al. 2010). Indikasi

    O2

    RCHR + OH

    RCR + ROH

    O

    RCOOH

    RO

    R

    RCHO +R RH

    RCOOH

    O2 RCHR +R

    OH

    RCR

    O2

    O

    RCR + RH

    O

  • 11

    penyimpangan flavor daging ini dikenal dengan warmed over flavor (WOF)

    (Pokorny et al. 2001). WOF terjadi pada produk daging disebabkan reaksi

    otooksidasi lemak menghasilkan hidroperoksida, yang selanjutnya terdekomposisi

    menghasilkan sejumlah senyawa volatil (Jayathilakan et al. 2007). WOF dapat

    terjadi pada bahan pangan berbasis lemak yang telah digoreng atau dimasak dan

    disimpan di suhu rendah, selama penyimpanan senyawa hasil oksidasi yang

    bersifat volatil diserap oleh bahan pangan tersebut. Ketika bahan pangan tersebut

    dipanaskan kembali maka senyawa volatil tersebut akan dilepaskan (Herschowitz

    et al. 2003).

    MbO2Fe(II) + O2 MbFe(III) + 2O2-

    MbO2Fe(II) + RH HmbFe(II) + R + O2

    MbO2Fe(II) + ROOH HmbFe(II) + ROO + O2

    MbFe(III) + RH HmbFe(III) + R

    MbFe(III) + ROOH HmbFe(III) + ROO

    MbFe(III) + H2O2 Mb Fe(IV)=O + -OH + H

    Mb Fe(IV)=O + RH MbFe(IV)=O + R + H+

    MbO2Fe(II) + H2O2 MbFe(IV)=O + H2O + O2

    Gambar 5. Mekanisme induksi besi (II) mioglobin dalam memacu oksidasi

    lemak (MbFe(II) = deoksimioglobin, MbO2Fe(II) = oksimioglobin,

    HmbFe(II) = hemokrom, HmbFe(III) = hemikrom, MbFe(III) =

    metmioglobin, Mb Fe(IV)=O = perferilmioglobin, MbFe(IV)=O =

    ferrilmioglobin) (Huang et al. 2010).

    Pemanasan dapat mempercepat terjadinya WOF, karena pemanasan

    menyebabkan denaturasi protein heme, kerusakan struktur membran sel, dan

    pencampuran komponen penyusun sel (Reineccius 2006). WOF akan berkembang

    cepat selama daging disimpan di refrigerator dengan karakteristik sensori yang

    tidak diinginkan, ditandai adanya bau paint atau wet cardboard (Jayathilakan et al.

    2007), oxidized/rancid, fishy, stale, dan metallic (Grigioni et al. 2000). Flavor

    tengik ini muncul sesudah 48 jam daging disimpan di refrigerator pada suhu 4 oC

    (Soares et al. 2004). Penyimpangan flavor ini tidak terjadi pada daging mentah

    atau jaringan lemak yang disimpan beku selama beberapa minggu atau bulan

    (Bailey et al. 1992).

  • 12

    100 kkal/mol 50 kkal/mol 75 kkal/mol

    CH3(CH2)3CH2CH=CHCH2CH=CHCH2(CH2)6COOH

    14 13 12 11 10 9

    - H (Tahap inisiasi)

    CH3(CH2)4CHCH=CHCH=CH(CH2)7COOH

    CH3(CH2)4CHCH=CHCH=CH(CH2)7COOH

    O

    O

    CH3(CH2)4CHCH=CHCH=CH(CH2)7COOH

    O

    O

    H

    CH3(CH2)4CHCH=CHCH=CH(CH2)7COOH

    O

    CH3-CH2-CH2-CH2-CH2-CHO + CH=CH-CH=CH(CH2)7COOH

    Heksanal (Tahap terminasi)

    Gambar 6. Pembentukan heksanal dari dekomposisi asam linoleat

    (Verlet et al. 2007).

    Pokorny et al. (2001) menyatakan bahwa terjadinya WOF dipengaruhi

    oleh faktor endogenus dan eksogenus. Faktor endogenus, meliputi tipe daging dan

    spesies (genetik), antioksidan aktif dalam daging (dipeptida, tokoferol dsb), dan

    enzim pendeaktif SOR, seperti superoksida dismutase (SOD) dan glutathion

    reduktase (GSH), serta prooksidan, seperti ion besi heme, non heme, dan SOR.

    Faktor eksogenus, terdiri atas jenis pengolahan, teknik dan lama pemasakan,

    kondisi pemasakan awal dan akhir, lama dan suhu penyimpanan, sistem

    pengemasan, dan penggunaan antioksidan.

    (Tahap propagasi)

    + O2

    + H

    (Dekomposisi hidroperoksida)

    - OH

  • 13

    Tabel 1. Senyawa aldehida hasil otooksidasi asam lemak tak jenuh (ALTJ)

    Asam Lemak Monohidroperoksida Senyawa Aldehida

    Asam oleat

    (C18:1, -9)

    8-OOH 2-undekenal, dekenal

    9-OOH 2-dekenal, nonanal

    10-OOH nonanal

    11-OOH oktanal

    Asam linoleat

    (C18:2, -6)

    9-OOH 3-nonenal, 2,4-dekadienal

    11-OOH 2-oktenal

    13-OOH heksanal

    Asam linolenat

    (C18:3, -3)

    9-OOH 2,4,7-dekatrienal, 3,6-nonadienal

    11-OOH 2,5-oktadienal

    12-OOH 2,4-heptadienal, 3-heksenal

    13-OOH 3-heksenal

    14-OOH 2-pentenal

    16-OOH propanal

    Asam arakidonat

    (C20:4, -6)

    7-OOH 2,5,8-tridekatrienal

    8-OOH 2,4,7-tridekatrienal, 3,6-dodekadienal

    9-OOH 3,6-dodekadienal

    10-OOH 2,5-undekadienal

    11-OOH 2,4-dekadienal, 3-nonenal

    12-OOH 3-nonenal

    13-OOH 2-oktenal

    15-OOH heksanal

    Sumber : Kochhar (1993), Varlet et al. (2007)

    Senyawa volatil yang menjadi indikator munculnya WOF, meliputi

    heksanal, pentanal, (E,E)-2,4-dekadienal, 2,3-oktanadion, 2-oktenal (Junthachote

    et al. 2007), 1-okten-3-on, (E,E)-2,4-nonadienal, trans-4,5-epoksi-(E)-2-dekenal

    (Konopka et al. 1995). Senyawa aldehida volatil adalah komponen utama yang

    berkontribusi terjadinya off flavor pada bahan pangan (Pignoli et al. 2009).

    Heksanal adalah salah satu jenis senyawa flavor volatil yang dapat digunakan

    sebagai indikator WOF pada daging itik, akibat oksidasi ALTJG ( -6), terutama

    asam linoleat dan arakidonat (Gambar 6 & Tabel 1).

    Malondialdehida (MDA) adalah senyawa aldehida jenuh non volatil hasil

    oksidasi lemak pada sistem pangan maupun biologis yang bersifat toksik.

    MDA dapat menggantikan atau berikatan silang dengan senyawa biomolekular,

    seperti protein, peptida, poliamina, sulfhidril, enzim, lipoprotein, asam

  • 14

    deoksinukleat (DNA), amino dari fosfolipid, dan asam amino melalui basa schiff

    terkonjugasi yang mempunyai karakteristik sistem fluoromorfik N-C=C-C=N

    (Rababah et al. 2004; Ganhao et al. 2011).

    Gambar 7. Reaksi TBA dengan MDA (Fernindez et al. 1997).

    MDA terbentuk dari oksidasi ALTJG dengan ikatan rangkap paling sedikit

    3 buah. Senyawa ini dapat bereaksi dengan asam 2-thiobarbiturat (TBA)

    membentuk larutan berwarna merah yang dapat terdeteksi pada 532535 nm.

    Intensitas warna yang terukur menunjukkan konsentrasi MDA, yang berkorelasi

    dengan sensori dan WOF (Mendes et al. 2009). Gorelik et al. (2008) menyatakan

    bahwa MDA tidak merupakan indikator stoikiometri reaksi oksidasi lemak,

    meskipun akumulasi MDA menyatakan intensitas terjadinya proses oksidasi

    lemak. Hal ini disebabkan senyawa produk oksidasi yang lain (2,4-alkadienal/2,4-

    dekadienal, protein, produk pencoklatan Maillard, dan produk degradasi gula)

    dapat bereaksi dengan TBA (Igene et al. 1985). Oleh karena itu penentuan nilai

    TBA selalu dinyatakan dengan senyawa reaktif terhadap TBA

    (TBARS/thiobarbituric acid reactive substances) (Tokur et al. 2006).

    Antioksidan

    Deskripsi Antioksidan

    Antioksidan adalah senyawa atau bahan yang digunakan pada konsentrasi

    lebih rendah dari substratnya secara signifikan dapat menunda atau mencegah

    oksidasi (Moein et al. 2007). Penggunaan antioksidan pada daging atau produk

    olahannya dapat menghambat ketengikan oksidatif, mempertahankan warna

    daging, dan memperpanjang masa simpan (Choe et al. 2011). Ketengikan (off

    flavor) daging yang kaya ALTJG dapat diminimalkan dengan mengkombinasikan

    Kromagen TBA

    Malondialdehida TBA

    +

  • 15

    antioksidan yang mampu menangkap radikal bebas, mengkelat dan mereduksi ion

    logam (Ganhao et al. 2010).

    Pengelompokan Antioksidan

    Antioksidan berdasarkan fungsinya dibedakan menjadi tiga kelompok,

    yaitu antioksidan primer, sekunder dan tersier. Antioksidan primer dapat

    mencegah pembentukan radikal bebas dan memutus rantai reaksi radikal bebas

    dengan cara mendonorkan atom hidrogen, diantaranya SOD, katalase, GSH,

    fenolik maupun vitamin E ( -tokoferol). Antioksidan sekunder berfungsi

    mendekomposisi peroksida lemak, mengkelat ion logam, menangkap oksigen,

    mengubah hidrogen peroksida menjadi senyawa non radikal, mengabsorbsi radiasi

    ultra violet (UV), atau mendeaktivasi oksigen singlet, meliputi vitamin C (asam

    askorbat), vitamin E, -karoten, asam urat, bilirubin, dan albumin. Antioksidan

    tersier berperan memperbaiki kerusakan sel-sel dan jaringan yang diakibatkan

    oleh radikal bebas, meliputi methionin sulfoksida reduktase yang berfungsi untuk

    memperbaiki asam deoksiribonukleat (DNA) pada inti sel (Pokorny et al. 2001).

    Antioksidan berdasarkan asalnya dibagi menjadi dua, yaitu antioksidan

    alami dan sintetik. Antioksidan alami diperoleh dari hasil ekstraksi bahan alami

    atau terbentuk dari reaksi-reaksi kimia selama proses pengolahan (Trilaksani

    2003), meliputi fenol dan turunannya, karotenoid, tokoferol, dan asam askorbat

    (Cahyadi 2005). Antioksidan sintetik diperoleh sebagai hasil sintesis reaksi

    kimia (Trilaksani 2003), seperti butil hidroksi anisol (BHA), butil hidroksi toluena

    (BHT), dan tersier butil hidrokuinon (TBHQ). Penggunaan antioksidan sintetik

    masih dikuatirkan akan efek sampingnya (Juntachote et al. 2007). BHA dapat

    menimbulkan pembengkakan organ hati, mempengaruhi aktivitas enzim dalam

    hati, menyebabkan pendarahan fatal pada organ pernapasan, pencernaan, dan

    organ testes epididimus serta pankreas (Farago et al. 1989), luka pada kandung

    kemih, dan kerongkongan pada hewan coba (Gharan & El-Kadi 2005). BHT dapat

    menyebabkan perubahan pada tiroid tikus, stimulasi sintesis DNA, dan induksi

    enzim (Farago et al. 1989).

    Mekanisme Antioksidatif

    Senyawa antioksidan dapat mencegah oksidasi bahan pangan melalui

    berbagai mekanisme, diantaranya menangkap SOR dan spesies nitrogen reaktif

    (SNR), mereduksi dan mengkelat ion logam, menghentikan reaksi rantai radikal,

  • 16

    menghambat pembentukan oksidan reaktif, menghambat kofaktor dan enzim

    oksidatif (Saraf et al. 2007). Banu et al. (1985) menyatakan bahwa mekanisme

    senyawa antioksidan dalam menghambat reaksi pembentukan radikal bebas,

    melalui kemampuan mendonorkan hidrogen atau elektron, mengkelat dan

    mereduksi ion logam.

    AH + R-O-O A + R-O-OH

    AH + R-O A + R-OH

    A + R-O-O A-O-OR

    A + R-O A-OR

    A + A A-A

    A + O2 A-O-O

    A + R-H A-H + R

    A-H + ROOH A + RO + H2O

    A-H + O2 A + HO2

    AOOR AO + RO

    Gambar 8. Penghambatan reaksi otooksidasi lemak (RH = asam lemak tak jenuh,

    AH = antioksidan, ROO = radikal peroksil, RO = radikal alkoksil,

    R = radikal alkil, A = radikal antioksidan) (Pokorny 2001).

    Senyawa Fenolik

    Senyawa fenolik adalah metabolit sekunder tanaman dengan struktur

    molekul bervariasi dan bertanggung jawab pada sifat organoleptik pada pangan

    atau minuman, terutama warna, flavor, rasa, nutrisi, astringency, dan bitterness

    (Tapas et al. 2008). Secara fisiologis senyawa fenolik mempunyai beberapa

    aktivitas biologis, seperti antialergi, antiinflammasi, antimikrobial, antibakterial,

    antioksidan, antitrombotik, kardioprotektif, dan efek vasodilatori (Aberoumand &

    Deokule 2008).

    Aktivitas antioksidan senyawa fenolik ditentukan oleh struktur molekul,

    jumlah, dan posisi gugus hidroksil pada cincin aromatis serta keberadaan elektron

    tidak berpasangan pada senyawa intermediet fenolik yang terlibat delokalisasi

    elektron (Lugasi et al. 2003) dan sifat redoks (Ahmadi et al. 2007). Fenolik

    merupakan asam lemah aromatis yang tersubstitusi satu atau lebih gugus hidroksil,

  • 17

    mudah mengalami oksidasi sehingga menyebabkan fenolik mampu menangkap

    radikal bebas (Benbrook 2005).

    Gambar 9. Potensial oksidasi elektrokimia senyawa fenolik (Simic et al. 2007).

    Flavonoid adalah kelompok terbesar dari fenolik dengan kapasitas

    antioksidan yang kuat (Aberoumand & Deokule 2008). Flavonoid termasuk

    kelompok benzo--piron dengan struktur umum difenilpropan (C6-C3-C6) terdiri

    dari 2 (dua) cincin aromatis yang dihubungkan oleh 3 (tiga) atom karbon

    membentuk heterosiklik teroksigenasi, ditandai dengan A, B, C (Filipiak 2001).

    Berdasarkan perbedaan strukturnya, flavonoid dibedakan atas flavonol, flavon,

    flavanol, isoflavon, flavanon, flavanonol, anthosianidin, dan proanthosianidin

    (Lugasi et al. 2003).

    Gambar 10. Struktur dasar flavonoid (Filipiak 2001).

    R = COOH atau CH=CHCOOH

  • 18

    Tabel 2. Pembagian senyawa flavonoid berdasarkan perbedaan struktur kimia

    Kelompok Senyawa Substituen

    3 5 7 3 4 5

    Flavonol

    Kuersetin

    Fisetin

    Rutin

    Kaemferol

    Galangin

    Mirisetin

    OH

    OH

    ORu

    OH

    OH

    OH

    OH

    H

    OH

    OH

    OH

    OH

    OH

    OH

    OH

    OH

    OH

    OH

    OH

    OH

    OH

    H

    H

    OH

    OH

    OH

    OH

    OH

    H

    OH

    H

    H

    H

    H

    H

    OH

    Flavanonol

    Naringenin

    Hesperetin

    Taxifolin

    H

    H

    OH

    OH

    OH

    OH

    OH

    OH

    OH

    H

    OH

    OH

    OH

    OMe

    OH

    H

    H

    H

    Flavon

    Apigenin

    Diosmin

    Luteolin

    H

    H

    H

    OH

    OH

    OH

    OH

    ORu

    OH

    H

    OH

    OH

    OH

    OH

    OH

    H

    H

    H

    Flavanol

    (+)-Katekin

    (-) Epikatekin

    OH

    OH

    OH

    OH

    OH

    OH

    OH

    OH

    OH

    OH

    H

    H

    Antosianin

    Sianidin

    Pelargonidin

    Malvidin

    OH

    OH

    OH

    OH

    OH

    OH

    OH

    OH

    OH

    OH

    H

    OMe

    OH

    OH

    OH

    H

    H

    OMe

    Sumber : Butkovic et al. (2004) Ket : Me = CH3 , Ru = Rutinosa

    Efektivitas flavonoid sebagai penangkap radikal dan pengkelat ion logam

    ditentukan oleh adanya struktur (katekol) ortho dihidroksi pada cincin B, ikatan

    rangkap pada C2-3 yang terkonjugasi dengan gugus fungsi C4 okso, gugus OH

    pada C3 di cincin C, dan gugus OH pada C5 di cincin A (Tapas et al. 2008).

    Kombinasi gugus C3-OH dan C5-OH dengan C4-karbonil dan ikatan rangkap C2-3

    dapat meningkatkan aktivitas penangkap radikal bebas (Amic et al. 2003). Selain

    itu kemampuan senyawa flavonoid sebagai antioksidan juga ditentukan oleh

    potensial reduksinya, senyawa flavonoid mempunyai aktivitas antioksidan

    semakin tinggi ditandai dengan potensial reduksinya makin rendah (Rice-Evans et

    al. 1997).

  • 19

    Tabel 3. Potensial reduksi beberapa senyawa fenolik yang terukur dengan

    elektroda karbon gelas

    Jenis Senyawa Fenolik Potensial Reduksi (Volt)

    Erioduktiol + 0.51 ; + 1.20

    Katekin + 0.53 ; + 0.88

    Asam kafeat + 0.53

    Asam gallat + 0.54 ; + 0.87

    Hidrokuinon + 0.57

    Pirokatekin + 0.61

    Asam siringat + 0.75

    Guaiakol + 0.77

    Siringaldehida + 0.81

    Asam ferulat + 0.82

    Asam p-koumarat + 0.85

    Asam vanilat + 0.88

    Asetovanilon + 0.89

    Vanilin + 0.92

    Resorsinol + 0.94

    Fenol + 0.98

    Asam o-hidroksi fenil asetat + 9.98

    Asam m-hidroksi fenil asetat + 1.02

    Asam p-hidroksi fenil asetat + 1.02

    Asam p-hidroksi bensoat + 1.15

    2,4-Dihidroksi asetofenon + 1.15

    2-Hidroksi asetofenon + 1.25

    Sumber : Chaviari et al. (1988)

    Gambar 11. Potensi flavonoid sebagai penangkap radikal (Amic et al. 2003).

    Beluntas (Pluchea indica Less)

    Deskripsi Beluntas

    Beluntas dikenal masyarakat dengan berbagai nama daerah, antara lain

    beluntas (Sunda), luntas (Jawa Tengah), baluntas (Madura), lamutasa (Makasar),

    dan lenabou (Timor). Secara taksonomi beluntas termasuk klas Dicotyledonae,

    bangsa Asterales, suku Asteraceae, marga Pluchea (Dalimarta 2003). Masyarakat

    memanfaatkannya sebagai lalapan dan sediaan obat bahan alam, seperti

    mengatasi bau badan, meningkatkan nafsu makan, dan obat untuk berbagai

  • 20

    penyakit (sakit perut, asma, batuk, reumatik, wasir, penyakit kulit, keseleo, encok,

    sakit pinggang, demam, datang bulan tidak teratur, dan keputihan) (Manan 2002;

    Raharjo & Horsten 2008).

    Gambar 12. Tanaman beluntas

    Tanaman ini dapat tumbuh liar di daerah kering dengan tekstur tanah keras

    dan berbatu serta memerlukan cukup cahaya matahari. Beluntas termasuk

    tanaman perdu, berkayu, dan bercabang dengan rusuk halus, dan berbulu lembut.

    Tanaman ini dapat diperbanyak dengan cara stek dan tingginya dapat mencapai 2

    meter. Berbunga sepanjang tahun dan mempunyai akar tunggang. Berdaun

    tunggal dengan tangkai pendek, letaknya berseling, bentuk bundar seperti telur

    sungsang. Ujung daun bundar, tepi bergerigi sampai bergigi dengan pertulangan

    menyirip, berwarna hijau terang, berkelenjar dengan panjang 2.5-9 cm dan lebar

    1-5.5 cm, berbau harum dan berasa agak getir. Berbunga majemuk dengan bentuk

    malai rata yang keluar dari ujung cabang dan ketiak daun. Bunga bercabang

    banyak, berbentuk bonggol, bergagang atau duduk, bentuknya seperti silinder

    dengan panjang 5-6 mm, berbulu lembut, berwarna ungu, dan pangkalnya

    berwarna ungu muda. Kepala sari menjulur dan berwarna ungu. Kepala putik

    berwarna putih atau putih kekuningan. Putik berbentuk jarum dengan panjang 6

    mm. Buah beluntas berbentuk seperti gasing, warnanya coklat dengan sudut-

    sudut putih, dan lokos (gundul atau licin). Ukuran buah relatif kecil, keras, dan

    berwarna coklat dengan panjang 1 mm. Biji kecil dan berwarna coklat keputih-

    putihan (Dalimarta 2003; Raharjo & Horsten 2008).

    Komposisi Kimia Beluntas

    Beluntas mempunyai aktivitas antiinflamasi, antiulser, antipiretik,

    hipoglisemik, diuretik serta beberapa aktivitas farmokologi (Biswas et al. 2005;

  • 21

    Biswas et al. 2007). Hal ini disebabkan beluntas mengandung senyawa aktif,

    seperti lignan, seskuisterpena, fenilpropanoid, bensoid, monoterpena, triterpena,

    sterol, alkana, fenol hidrokuinon, vitamin A dan C, alkaloid, flavonoid, tanin,

    minyak atsiri, asam klorogenik, asam amino (leusin, isoleusin, triptofan, dan

    treonin) (Luger et al. 2000; Dalimarta 2003; Ardiansyah et al. 2003).

    Biswas et al. (2005) menyatakan bahwa ekstrak metanolik akar beluntas

    mengandung senyawa stigmasterol (+ -sitosterol), stigmasterol glikosida (+ -

    sitosterol-glikosida), 2-(prop-1-unil)-5-(5,6-dihidroksi heksa-1,3-diunil)-tiofena,

    dan (-)-katekin. Traithip (2005) menyatakan bahwa daun beluntas juga

    mengandung sejumlah senyawa volatil kelompok terpena, seperti boehmeril

    asetat, HOP-17 (21)-en 3 -asetat, linaloil glukosida, linaloil apiosil glukosida,

    linaloil hidroksi glukosida, pluseosida C, kuauhtermona, 3-(2-3-diasetoksi-2-

    metil-butiril), pluseol A, pluseol B, pluseosida A, pluseosida B, pluseosida E, dan

    pterokarptriol.

    Ekstrak etanolik dan minyak atsiri daun beluntas menunjukkan aktivitas

    antioksidan dalam sistem asam linoleat--karoten dan mampu menangkap radikal

    bebas DPPH (Widyawati 2004). Menurut Andarwulan et al. (2010) bahwa daun

    beluntas mengandung senyawa flavonol, meliputi mirisetin, kuersetin, dan

    kaemferol, yang mampu menangkap radikal DPPH dan ABTS2+

    , mereduksi ion

    besi,, dan menghambat pembentukan MDA.

    Evaluasi Sensori

    Karakteristik sensori merupakan faktor penting yang menentukan

    penerimaan konsumen terhadap produk pangan, meliputi kenampakan (warna,

    bentuk, dan ukuran), tekstur, dan flavor (Reineccius 2006). Evaluasi sensori

    merupakan analisis yang menggunakan manusia sebagai instrumen, sehingga

    kemungkinan terjadi penyimpangan sangat besar. Oleh karena itu untuk

    meminimalkan penyimpangan atau penilaian yang berubah-ubah maka faktor

    fisiologi dan psikologi yang berpengaruh terhadap penilaian sensori harus

    dipahami (Meilgaard et al. 2007). Analisis off flavor dengan evaluasi sensori

    mirip analisis dengan instrumen, yaitu menggunakan standar yang baku dan

    kontrol. Semua faktor eksternal yang dapat membiaskan penilaian harus

  • 22

    disingkirkan (Gasong 2005). Menurut Mielgaard et al. (2007) ada 3 (tiga)

    kelompok variabel yang harus dikontrol untuk mendapatkan perbedaan nyata

    antar sampel yang terukur, yaitu : 1). Pengontrolan terhadap proses pengujian,

    meliputi lingkungan, tempat pengujian, penggunaan booth atau meja diskusi,

    pencahayaan, sistem ventilasi udara, ruang persiapan, pintu masuk dan keluar, 2).

    Pengontrolan produk, meliputi penggunaan peralatan, cara penyiapan, pemberian

    kode, dan cara penyajian, 3). Pengontrolan terhadap panel, meliputi prosedur yang

    digunakan oleh panelis dalam mengevaluasi sampel.

    Evaluasi sensori berdasarkan tujuan pengujiannya dapat dibedakan

    menjadi 3 (tiga), yaitu uji afektif, uji pembedaan, dan uji deskriptif. Uji afektif

    bertujuan untuk menilai respon pribadi (kesukaan atau penerimaan) dari produk

    tertentu atau karakteristik produk spesifik tertentu. Uji Pembedaan bertujuan

    untuk menilai perbedaan sensori antara sampel yang diuji atau atribut X yang

    berbeda diantara sampel. Uji deskriptif adalah metode yang melibatkan deteksi

    (diskriminasi) dan deskripsi antara aspek sensori kualitatif dan kuantitatif dari

    produk (Meilgaard et al. 2007).

    Analisis deskriptif secara luas digunakan untuk pengembangan produk dan

    pengontrolan kualitas produk (Abdi & Valentin 2007). Metode ini melibatkan

    panelis terlatih, yang diperoleh melalui hasil training berdasarkan kemampuan

    sensorinya untuk mendeskripsikan dan mengevaluasi perbedaan sensori antara

    produk yang diuji. Panelis dipilih dari sumber yang tidak terlibat dalam

    pembuatan produk untuk mengurangi bias dari produk. Kriteria yang harus

    dipenuhi dalam pemilihan panelis, yaitu individu yang mengkonsumsi produk

    dengan frekuensi rata-rata atau lebih akan lebih sensitif dibandingkan dengan

    yang jarang mengkonsumsi dan kemampuan pembedaan terhadap produk uji

    memberi hasil yang lebih terarah secara berturut-turut (Stone & Sidel 1998;

    Carpenter et al. 2000). Pelatihan panelis menggunakan produk dan senyawa

    standar (reference) dengan tujuan untuk menstimulasi penurunan istilah-istilah.

    Pelatihan bertujuan untuk mengembangkan istilah yang konsisten, tetapi panelis

    bebas untuk memperkirakan skor yang akan diberikan, menggunakan skala garis

    15 cm (Gacula 1997; Meilgaard et al. 2007).

    Intensitas off flavor yang terjadi pada daging itik dapat dilakukan dengan

    menggunakan panelis yang mempunyai kemampuan mendeteksi dan

    mendeskripsikan off flavor. Untuk mendapatkan panelis yang mempunyai

  • 23

    kemampuan tinggi dalam mendeteksi dan mendeskripsikan off flavor harus

    dilakukan melalui seleksi, pelatihan, dan uji panelis. Uji yang dapat dilakukan

    untuk mengetahui intensitas off flavor pada daging itik adalah uji skoring, uji

    skalar garis dan uji deskripsi. Uji skalar garis adalah uji yang dilakukan oleh

    panelis untuk memberikan penilaian skala intensitas off flavor dimulai dari garis

    sebelah kiri menuju ke arah kanan. Semakin ke kanan intensitas off flavor yang

    terdeteksi semakin meningkat (Mielgaard et al. 2007).

    Daftar Pustaka

    Abdi H, Valentine D. 2007. Some New and Easy Ways to Describe, Compare and

    Evaluate Products and Assessors. In: SPISE 2007, editor. New Trends in Sensory

    Evaluation of Food and Non-Food Products. Vietnam : Ho Chi Minh.

    Aberoumand A, Deokule SS. 2008. Comparison of phenolic compounds of some

    edible plants of Iran and India. Pakistan Journal of Nutrition 7 (4) : 582-585.

    Ahmadi F, Kadivar M, Shahedi M. 2007. Antioxidant activity of Kelussia

    odoratissima Mozaff in model and food systems. Food Chemistry 105 : 5764.

    Amic D, Davidovic-Amic D, Beslo D, Trinajsti N. 2003. Structure-radical

    scavenging activity relationships of flavonoids. Croatica Chemica Acta 76(1) :

    55-61.

    Andarwulan N et al. 2010. Short communication flavonoid content and

    antioxidant activity of vegetables from Indonesia. Food Chemistry 121 : 12311235.

    Arabshahi-Delouee S, Urooj A. 2007. Antioxidant properties of various solvent

    extracts of mulberry (Morus indica L.) Leaves. Food Chemistry 102 : 12331240.

    Ardiansyah, Nuraida L, Andarwulan N. 2003. Aktivitas antimikroba daun

    beluntas (Pluchea indica Less) dan stabilitas aktivitasnya pada berbagai

    konsentrasi garam dan tingkat pH. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 14(2) :

    90-97.

    Baza E. 2006. Effects of Genotype, Age and Nutrition on Intramuscular Lipids

    and Meat Quality. In: Symposium COA/INRA Scientific Cooperation in

    Agriculture, Tainan, 7-10 November 2006. Taiwan : ROC.

    Bailey ME, Rourke TJ, Gutheil RA, Wang CYJ. 1992. Undesirable flavour of

    meat. Di dalam: Off flavour in Food and Beverages, editor. New York :

    G.Charalambous-Elsevier.

    Banu C et al. 1985. Folosirea Aditivilor in Industria Alimentara, editor. France :

    Tehnica. Bucuresti.

  • 24

    Benbrook CM. 2005. Elevating antioxidant levels in food through organic farming

    and food processing. An Organic Center State of Science Review.

    Biswas R et al. 2005. Isolation, purification and characterization of four pure

    compounds from the root extract of Pluchea indica Less and the potentiality of the

    root extract and the pure compounds for antimicrobial activity. European Bulletin

    of Drug Research 13 : 63-70.

    Biswas R et al. 2007. Isolation of pure compound R/J/3 from Pluchea indica Less.

    and its anti-amoebic activities against entamoeba histolytica. Phytomedicine 14(7-

    8) : 534-547. [BPS] Biro Pusat Statistik. 1999. Statistika Peternakan. Jakarta : ASOHI.

    Brettonnet A, Hewavitarana A, DeJong S, Lanari MC. 2010. Phenolic acids

    composition and antioxidant activity of canola extracts in cooked beef, chicken

    and pork. Food Chemistry 121 : 927933.

    Butkovic V, Klasinc L, Bors W. 2004. Kinetic study of flavonoid reactions with

    stable radicals. Journal of Agricultural and Food Chemistry 52 : 2816-2820.

    Cahyadi W. 2005. Analisis dan Aspek Bahan Tambahan Pangan. Jakarta :

    Penerbit Bumi Aksara.

    Carpenter RP, Lyon DH, Hasdell TA. 2000. Guidelines for Sensory Analysis in

    Food Product Development and Quality Control. Second Edition. USA : An

    Aspen Publication

    Carvajal AK, Rusrad T, Mozuraityte R, Storro I. 2009. Kinetic studies of lipid

    oxidation induced by hemoglobin measured by consumption of dissolved oxygen

    in a liposome model system. Journal of Agricultural and Food Chemistry 57 :

    78267833

    Chan EWC, Lim YY, Omar M. 2007a. Antioxidant and antibacterial activity of

    leaves of Etlingera species (Zingiberaceae) in Peninsular Malaysia. Food

    Chemistry 104 : 1586-1593.

    Chartrin P et al. 2006. Effects of intramuscular levels on sensory characteristics of

    duck breast. Meat Poultry Science 85 : 914-922.

    Chaviari G, Concialini V, Galleti GC. 1988. Electrochemical detection in the

    high-performance liquid chromatographic analysis of plant phenolics. Analyst

    113 : 91.

    Choe JH et al. 2011. Oxidative and color stability of cooked ground pork

    containing lotus leaf (Nelumbo nucifera) and barley leaf (Hordeum vulgare)

    powder during refrigerated storage. Meat Science 87 : 1218.

    Dalimarta S. 2003. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jakarta : Trubus Agriwidya.

  • 25

    Dehkharghanian M, Adenier H, Vijayalakshmi MA. 2010. Analytical methods

    study of flavonoids in aqueous spinach extract using positive electrospray

    ionisation tandem quadrupole mass spectrometry. Food Chemistry 121 : 863870.

    [Dtrjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2006. Data Statistik Peternakan.

    Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian Republik Indonesia.

    [Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2009. Data Statistik Peternakan.

    Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian Republik Indonesia.

    Estevaz M, Ventanas S, Cava R. 2007. Oxidation of lipids and proteins in

    frankfurters with different fatty acid compositions and tocopherol and phenolic

    contents. Food Chemistry 100 : 55-63.

    [FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2006. FAO

    Statistical Yearbook 2005/2006 Vol. . http://www.fao.org/statistics/yearbook.[8

    Februari 2007].

    Farago RS, Badel AZMA, Hewdel FM, El-Baroty GSA. 1989. Antioxidant

    activity of some spices essensial oils on linoleic acid oxidation in aqueous media.

    Journal of American Oil and Chemists Society 66 : 792.

    Farhoosh R. 2005. Antioxidant activity and mechanism of action of butein in

    linoleic acid. Food Chemistry 93: 633639.

    Farrell D. 2000. Meat Type Ducks Self-Selection of Diets. UQ-Australia : Rural

    Industries Research and Development Corporation.

    Fernindez J, Perez-Alvarez JA, Fernindez-Lopez JA. 1997. Thiobarbituric acid

    test for monitoring lipid oxidation in meat. Food Chemistry 59 (3) : 345-353.

    Filipiak M. 2001. Electrochemical analysis of polyphenolic compounds.

    Analytical Sciences 17 : i1667.

    Gacula MC. 1997. Descriptive Sensory Analysis in Practice. USA : Food and

    Nutrition Press, Inc.

    Ganho R, Estvez M, Morcuende D. 2011. Analytical methods suitability of the

    TBA method for assessing lipid oxidation in a meat system with added phenolic-

    rich materials. Food Chemistry 126 : 772778.

    Ganhao R, Morcuende D, Estevaz M. 2010. Protein oxidation in emulsified

    cooked burger patties with added fruit extracts : Influence on colour and texture

    deterioration during chill storage. Meat Science 85 : 402-409.

    Gasong L. 2005. Kajian sensori deskripsi flavor daging sapi asap Sei Nusa Tenggara Timur [tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

  • 26

    Gatellier P et al. 2007. Use of a fluorescence front face technique for

    measurement of lipid oxidation during refrigerated storage of chicken meat. Meat

    Science 76 : 543547.

    Gharan N. El-Kadi AOS. 2005. Tert-butylhydroquinone is a novel aryl

    hydrocarbon receptor ligand. Drug Metabolism and Disposition 33 : 365-372.

    Gorelik S, Ligumsky S, Kohen R, Kanner J. 2008. The Stomach as a bioreactor: when red meat meets red wine. Journal of Agricultural and Food Chemistry 56 :

    50025007.

    Grigioni GM et al. 2000. Warmed-over favour analysis in low temperature long

    time processed meat by an electronic nose. Meat Science 56 : 221-228

    Gulcin I. 2010. Antioxidant properties of resveratrol: A structureactivity insight. Innovative Food Science and Emerging Technologies 11 : 210218.

    Hardjosworo PS et al. 2001. Perkembangan teknologi peternakan unggas air di

    Indonesia. Di dalam : Prosiding Lokakarya Unggas Air: Pengembangan

    Agribisnis Unggas Air sebagai Peluang Usaha Baru; Ciawi, 6-7 Agustus 2001.

    Bogor : Balai Penelitian Ternak Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

    Hendayana R. 2009. Sebaran komoditas ternak unggulan di Jawa dan luar Jawa

    implikasinya bagi perdagangan ternak (spreading of superior livestock in Java and

    out Java, implication for livestock trade).

    http://www.soca_r_hendayana_komoditas_unggulan.pdf. [14 Mei 2009].

    Herschowitz B, Reznik R, Ioudkevitch C, Segal R. 2003. Sinergenic action of

    herbal extracts on antioxidantive capacity of lupine protein derivates. The Annals

    of the University Dumarea de Jos of Galati Fascicle VI-Food Technology 28-32.

    Hoac T et al. 2006. Influence of heat treatment on lipid oxidation and glutathione

    peroxidase activity in chicken and duck meat. Innovative Food Science and

    Emerging Technologies 7 : 8893.

    Houghton PJ, Raman A. 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of

    Natural Extracts. New York : Chapman & Hall.

    Huang B et al. 2010. Antioxidant activity of bovine and porcine meat treated with

    extracts from edible lotus (Nelumbo nucifera) rhizome knot and leaf. Meat

    Science 87(1) : 4653.

    Hustiany R. 2001. Identifikasi dan karakterisasi komponen off odor pada daging

    itik [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

    Igene JO et al. 1985. Evaluation of 2-thiobarbituric acid reactive substances

    (TBARS) in relation to warmed-over flavor (WOF) development in cooked

    chicken. Journal of Agricultural and Food Chemistry 33 : 364-367.

  • 27

    Jayathilakan K, Sharma GK, Radhakrishna K, Bawa AS. 2007. Antioxidant

    potential of synthetic and natural antioxidants and its effect on warmed-over-

    flavour in different species of meat. Food Chemistry 105 : 908916.

    Jun K, Rock OH, Jin OM. 1996. Chemical composition of special poultry meat.

    Chungnam Taehakkyo 23(1) : 90-98.

    Juntachote T, Berghofer E, Siebenhandl S, Bauer F. 2007. Antioxidative effects

    of added dried holy basil and its ethanolic extracts on susceptibility grounds pork

    to lipid oxidation. Food Chemistry 100 : 129-135.

    Kim GD et al. 2009. Effects of muscle fibre type on meat characteristics of

    chicken and duck breast muscle. http://www.perbandingan_ayam_dan_itik.pdf.

    [14 Mei 2009].

    Kochhar SP. 1993. Oxidative pathway to the taints and off flavour compounds in

    desiccated coconut. Journal of Science Food Agriculture 36 : 415-420.

    Konopka UC, Guth H, Grosch W. 1995. Potent odorants formed by lipid

    peroxidation as indicators of the warmed over flavor (WOF) of cooked meat.

    Zeltschrift fur Lebensm Unters Forsch 201 : 339-343.

    Lai P, Li KY, Lu S, Chen HH. 2009. Analytical methods phytochemicals and

    antioxidant properties of solvent extracts from Japonica rice bran. Food Chemistry

    117 : 538544.

    Lawrie RA. 1998. Meat Science. Sixth Edition. England : Woodhead Publishing

    Ltd.

    Lee S et al. 2006. Effect of antioxidants and cooking on stability of n-3 fatty acids

    in fortified meat products. Journal Food Science 71(3) : C233-C238.

    Lillard DA. 1987. Oxidative deterioration in meat, poultry and fish. Di dalam : St

    Angelo AJ, Bailey ME, editor. Warmed over flavor of meat. New York :

    Academic Press.

    Liu J et al. 2011. The antioxidant and free-radical scavenging activities of extract

    and fractions from corn silk (Zea mays L.) and related flavone glycosides. Food

    Chemistry 126 : 261269. Lugasi A, Hvri J, Sgi KV, Br L. 2003. The role of antioxidant phytonutrients

    in the prevention of diseases. Acta Biologica Szegediensis 47(1-4) : 119-125.

    Luger P et al. 2000. The crystal structure of hop-17(21)-en-3 -yl asetat of

    Pluchea pteropoda Hemsl. from Vietnam. Crystal Res Technology 35(3) : 355-

    362.

    Lukman H. 1998. Perbedaan karakteristik daging, karkas dan sifat olahannya

    antara itik afkir dan ayam petelur afkir [tesis] Bogor : Program Pascasarjana.

    Institut Pertanian Bogor.

  • 28

    Manan HA. 2002. Sirih dan beluntas atasi bau mulut dan badan, Harian Umum

    Suara Merdeka 20 April 2002 : edisi Sabtu.

    Mariod AA, Ibrahim RM, Ismail M, Ismail N. 2010. Antioxidant activities of

    phenolic rich fractions (PRFs) obtained from black mahlab (Monechma ciliatum)

    and white mahlab (Prunus mahaleb) seedcakes. Food Chemistry 118 : 120127.

    Masqood S, Benjakul S. 2011. Retardation of haemoglobin-mediated lipid

    oxidation of Asian sea bass muscle by tannic acid during iced storage. Food

    Chemistry 124 : 1056-1062.

    Mendes R. Cardoso C. Pestana C. 2009. Measurement of malondialdehyde in fish:

    A comparison study between HPLC methods and the traditional

    spectrophotometric test. Food Chemistry 112 : 10381045

    Mielgaard M, Civille GV, Carr BT. 2007. Sensory Evaluation Techniques. New

    York : CRC Press.

    Mielnik MB. 1997. Garlic as an antioxidant. Stabilization of frozen, mechanically

    deboned chicken meat. InforMat 10(4) : 16-17.

    Mielnik MB, Sem S, Egelandsdal B, Skred G. 2008. By-products from herbs

    essential oil production as ingredient in marinade for turkey thighs.

    www.elsevier.com/locate/LWT 41 : 93100.

    Moein S et al. 2007. Antioxidant properties and prevention of cell cytotoxicity of

    Phlomis Persica Boiss. DARU 15(2) : 83.

    Oteku IT, Igene JO, Yessuf IM. 2006. An assessment of the factors influencing

    the consumption of duck meat in Southern Nigeria. Pakistan Journal of Nutrition

    5(5) : 474-477.

    Pazos M, Gallardo JM, Torres JL, Medina S. 2005. Activity of grape polyphenols

    as inhibitors of the oxidation of fish lipids and frozen fish muscle. Food

    Chemistry 92 : 547557.

    Pignoli G, Bou R, Rodriguez-Estrada MT, Decker EA. 2009. Suitability of

    saturated aldehydes as lipid oxidation markers in washed turkey meat. Meat

    Science 83 : 412-416.

    Pokorny J, Yanishlieva N, Gordon M. 2001. Antioxidants in Food Practical

    Applications. New York : Woodhead Publishing Limited.

    Rababah T et al. 2004. Effect of electron beam irradiation and storage at 5 C on

    thiobarbituric acid reactive substances and carbonyl contents in chicken breast

    meat infused with antioxidants and selected plant extracts. Journal of Agricultural

    and Food Chemistry 52 : 8236-8241.

    Raharjo I, Horsten SFAJ. 2008. Tumbuhan pantai Pluchea indica Less. Medicinal

    and Poisonous Plants 12(2) : 441-443.

  • 29

    Reineccius G. 2006. Flavor Chemistry and Technology. Second edition.

    Singapore : Taylor and Francis Group.

    Rice-Evans CA, Miller NJ, Paganga G. 1997. Antioxidant properties of phenolic

    compounds . Trends in plants science 2(4) : 152-159.

    Russell EA et al. 2003. Quality of raw, frozen and cooked duck meat as affected

    by dietary fat and -tocopheryl acetate supplementation. International Journal of

    Poultry Science 2 (5) : 324-334.

    Sacchetti G, Mattia CD, Pittia P, Martino G. 2008. Application of a radical

    scavenging activity test to measure the total antioxidant activity of poultry meat.

    Meat Science 80 : 10811085.

    Saraf S, Ashawat MS, Saraf S. 2007. Flavonoids : a nutritional protection against

    oxidative and UV induced cellular damages. Pharmacognosy Reviews 1(1).

    Simi A, Manojlovi D, egan D, Todorovi M. 2007. Electrochemical behavior and antioxidant and prooxidant activity of natural phenolics. Molecules 12 : 2327-

    2340.

    Smith DP, Fletcher DL, Buhr RJ, Beyer RS. 1993. Pekin duckling and broiler

    chicken pectoralis muscle structure and composition. Poultry Science 72 : 202-

    208.

    Soares AL, Olivo R, Shimokomaki M, Ida EI. 2004. Synergism between dietary

    vitamin E and exogenous phytic acid in prevention of warmed over flavour

    development in chicken breast meat, pectoralis major muscle. Brazilian Archives

    of Biology and Technology 47(1) : 57-62.

    Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta : Gadjah Mada Press.

    Srigandono B. 1996. Produksi Unggas Air. Edisi ke- 3. Yogyakarta : Gadjah

    Mada University Press.

    Stadelman WJ, Olson NV, Shemwell GA, Pasch S. 1988. Egg and Poultry Meat

    Processing. VCH, Chicehster, England : Ellis Horwood Ltd.

    Stone H, Sidel JL. 1998. Quantitative descriptive analysis (QDA) : developments,

    applications and the future. Food Technology 52 (8) : 4852.

    Strlic M, Radovic T, Kolar J, Pihlar B. 2002. Anti-and prooxidative properties

    of garlic acid in Fenton-type systems. Journal of Agricultural and Food

    Chemistry 50 : 6313-6317.

    Subhasree B et al. 2009. Evaluation of antioxidant potential in selected green

    leafy vegetables. Food Chemistry 115 : 1231-1220.

  • 30

    Sudjatinah. 2000. Pengaruh lama pelayuan terhadap sifat-sifat fisik dan

    penampilan histologis jaringan otot dada dan paha pada itik dan entok [disertasi]

    Bogor : Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

    Sujana E, Wahyuni S, Burhanuddin H. 2009. Efek pemberian ransum yang

    mengandung tepung daun singkong, daun ubi jalar dan eceng gondok sebagai

    sumber pigmen karotenoid terhadap kualitas kuning telur itik Tegal.

    http://www.efek_pemberian_ransum.pdf. [14 Mei 2009].

    Tapas A, Sakarkar DM, Kakde RB. 2008. Flavonoids as nutraceuticals: a review.

    Tropical Journal of Pharmaceutical Research 7(3) : 1089-1099.

    Tokur B, Korkmaz K, Ayas D. 2006. Comparison of two thiobarbituric acid

    (TBA) method for monitoring lipid oxidation in fish. EU Journal of Fisheries &

    Aquatic Sciences 23(3-4) : 331-334.

    Traithip A. 2005. Phytochemistry and antioxidant activity of Pluchea indica.

    [thesis] Thailand : Mahidol University.

    Trilaksani W. 2003. Antioksidan : jenis, sumber, mekanisme kerja dan peran

    terhadap kesehatan. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

    Valento P et al. 2010. Codium tomentosum and Plocamium cartilagineum:

    chemistry and antioxidant potential. Food Chemistry 119 : 13591368.

    Varlet V, Prost C, Serot T. 2007. Analytical, nutritional and clinical methods

    volatile aldehydes in smoked fish : Analysis methods, occurence and mechanisms

    of formation. Food Chemistry 105 : 15361556.

    Widyawati PS. 2004. Aktivitas antioksidan tanaman herba kemangi (Ocimum

    Basicillum Linn) dan beluntas (Pluchea Indica Less) dalam sistem model asam

    linoleat- -karoten [Laporan Penelitian Wima Grant] Surabaya : Unika Widya

    Mandala Surabaya.

    Warriss P. 2010. Meat Science. Second Edition. An Introductory Text. UK :

    Cambridge University Press.

    Yen GC, Wu SC, Duh PD. 1996. Extraction and identification of antioxidant

    components from the leaves of mulberry (Morus alba L.). Journal of Agricultural

    and Food Chemistry 44 : 1687-1690.

    Yu Lin H, Kuo YH, Lin YL, Chiang W. 2009. Antioxidative effect and active

    component from leaves of lotus (Nelumbo nucifera). Journal of Agricultural and

    Food Chemistry 57 : 6623-6629.

    Zivkovic J et al. 2008. Capacity of extracts of sweet chestnut concerning to

    remove lipid peroxidation. Journal of Central European Agriculture 9(2) : 353-

    362.