Lp Zulva Ileus Obstruktif
-
Upload
zakaria-kaka -
Category
Documents
-
view
43 -
download
0
description
Transcript of Lp Zulva Ileus Obstruktif
LAPORAN PENDAHULUAN
DEPARTEMEN SURGICAL RUANG 19
” ILEUS OBSTRUKSI”
Untuk Memenuhi Tugas Profesi Departemen Surgical
Disusun Oleh:
ZULVANA
NIM 140070300011138
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
LAPORAN PENDAHULUAN
ILEUS OBSTRUKSI
A. DEFINISI
Ileus obstruktif atau disebut juga ileus mekanik adalah keadaan dimana isi
lumen saluran cerna tidak bisa disalurkan ke distal atau anus karena adanya
sumbatan/hambatan mekanik yang disebabkan kelainan dalam lumen usus,
dinding usus atau luar usus yang menekan atau kelainan vaskularisasi pada
suatu segmen usus yang menyebabkan nekrose segmen usus tersebut (Guyton,
2005). Ileus obstruktif adalah suatu penyumbatan mekanis pada usus dimana
merupakan penyumbatan yang sama sekali menutup atau menganggu jalannya
isi usus (Sabara, 2007). Obstruksi usus adalah gangguan pada aliran normal isi
usus sepanjang traktus intestinal (Nettina, 2001). Obstruksi terjadi ketika ada
gangguan yang menyebabkan terhambatnya aliran isi usus ke depan tetapi
peristaltiknya normal (Reeves, 2001).
B. ETIOLOGI
Menurut etiologinya, maka ileus obstruktif dibagi menjadi 3 :
1. Lesi ekstrinsik (ekstraluminal) yaitu yang disebabkan oleh adhesi
(postoperative), hernia (inguinal, femoral, umbilical), neoplasma (karsinoma),
dan abses intraabdominal.
2. Lesi intrinsik yaitu di dalam dinding usus, biasanya terjadi karena kelainan
kongenital (malrotasi), inflamasi (Chron’s disease, diverticulitis), neoplasma,
traumatik, dan intususepsi.
3. Obstruksi menutup (intaluminal) yaitu penyebabnya dapat berada di dalam
usus, misalnya benda asing, batu empedu.
Penyebab terjadinya ileus obstruksi pada usus halus antara lain (Manif, 2008):
1. Hernia inkarserata
Usus masuk dan ter jepit di dalam pintu hernia. Pada anak dapat
dikelola secara konservatif dengan posisi tidur Trendelenburg. Namun, jika
percobaan reduksi gaya berat ini tidak berhasil dalam waktu 8 jam, harus
diadakan herniotomi segera.
2. Non hernia inkarserata, antara lain :
a. Adhesi atau perlekatan usus
Di mana pita fibrosis dari jaringan ikat menjepit usus. Dapat berupa
perlengketan mungkin dalam bentuk tunggal maupun multiple, bisa
setempat atau luas. Umunya berasal dari rangsangan peritoneum akibat
peritonitis setempat atau umum. Ileus karena adhesi biasanya tidak
disertai strangulasi.
b. Invaginasi
Disebut juga intususepsi, sering ditemukan pada anak dan agak jarang
pada orang muda dan dewasa. Invaginasi pada anak sering bersifat
idiopatik karena tidak diketahui penyebabnya. Invaginasi umumnya berupa
intususepsi ileosekal yang masuk naik kekolon ascendens dan mungkin
terus sampai keluar dar i rektum. Hal ini dapat mengakibatkan nekrosis
iskemik pada bagian usus yang masuk dengan komplikasi perforasi dan
peritonitis. Diagnosis invaginasi dapat diduga atas pemeriksaan fisik,
dandipastikan dengan pemeriksaan Rontgen dengan pemberian enema
barium.
c. Askariasis
Cacing askaris hidup di usus halus bagian yeyunum, biasanya jumlahnya
puluhan hingga ratusan ekor. Obstruksi bisa terjadi di mana-mana di usus
halus, tetapi biasanya di ileum terminal yang merupakan tempat lumen
paling sempit. Obstruksi umumnya disebabkan oleh suatu gumpalan padat
terdiri atas sisa makanan dan puluhan ekor cacing yang mati atau hampir
mati akibat pemberian obat cacing. Segmen usus yang penuh dengan
cacing berisiko tinggi untuk mengalami volvulus, strangulasi, dan
perforasi.
d. Volvulus
Merupakan suatu keadaan di mana terjadi pemuntiran usus yang
abnormal dari segmen usus sepanjang aksis longitudinal usus sendiri,
maupun pemuntiran terhadap aksis radiimesenterii sehingga pasase
makanan terganggu. Pada usus halus agak jarang ditemukan kasusnya.
Kebanyakan volvulus didapat di bagian ileum dan mudah mengalami
strangulasi. Gambaran klinisnya berupa gambaran ileus obstruksi tinggi
dengan atau tanpa gejala dan tanda strangulasi.
e. Tumor
Tumor usus halus agak jarang menyebabkan obstruksi usus, kecuali jika
ia menimbulkan invaginasi. Proses keganasan, terutama karsinoma
ovarium dan karsinoma kolon, dapat menyebabkan obstruksi usus. Hal ini
terutama disebabkan oleh kumpulan metastasis di peritoneum atau di
mesenterium yang menekan usus.
f. Batu empedu yang masuk ke ileus.
Inflamasi yang berat dari kantong empedu menyebabkan fistul dari saluran
empedu keduodenum atau usus halus yang menyeb abkan batu empedu
masuk ke traktus gastrointestinal. Batu empedu yang besar dapat terjepit
di usus halus, umumnya pada bagian ileum terminal atau katup ileocaecal
yang menyebabkan obstruksi. Penyebab obstruksi kolon yang paling
sering ialah karsinoma, terutama pada daerah rektosigmoid dan kolon kiri
distal.
C. KLASIFIKASI
Berdasarkan lokasi obstruksinya, ileus obstrukif atau ileus mekanik dibedakan
menjadi, antara lain:
1. Ileus obstruktif letak tinggi : obstruksi mengenai usus halus (dari gaster
sampai ileumterminal).
2. Ileus obstruktif letak rendah : obstruksi mengenai usus besar (dari ileum
terminal sampairectum).
Selain itu, ileus obstruktif dapat dibedakan menjadi 3 berdasarkan
stadiumnya, antara lain :
1. Obstruksi sebagian (partial obstruction) : obstruksi terjadi sebagian sehingga
makanan masih bisa sedikit lewat, dapat flatus dan defekasi sedikit.
2. Obstruksi sederhana (simple obstruction) : obstruksi/ sumbatan yang tidak
disertai terjepitnya pembuluh darah (tidak disertai gangguan aliran darah),
antara lain karena atresia usus dan neoplasma
3. Obstruksi strangulasi (strangulated obstruction) : obstruksi disertai dengan
terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir
dengan nekrosis atau gangren. Seperti hernia strangulasi, intususepsi, adhesi,
dan volvulus.
(Manif, 2008)
D. MANIFESTASI KLINIS
1. Obstruksi sederhana
- Obstruksi usus halus merupakan obstruksi saluran cerna tinggi, artinya
disertai dengan pengeluaran banyak cairan dan elektrolit baik di dalam
lumen usus bagian oral dari obstruksi, maupun oleh muntah. Gejala
penyumbatan usus meliputi nyeri kram pada perut, disertai kembung.
Pada obstruksi usus halus proksimal akan timbul gejala muntah yang
banyak, yang jarang menjadi muntah fekal walaupun obstruksi
berlangsung lama. Nyeri bisa berat dan menetap. Nyeri abdomen sering
dirasakan sebagai perasaan tidak enak di perut bagian atas. Semakin
distal sumbatan, maka muntah yang dihasilkan semakin fekulen. Tanda
vital normal pada tahap awal, namun akan berlanjut dengan dehidrasi
akibat kehilangan cairan dan elektrolit. Suhu tubuh bisa normal sampai
demam. Distensi abdomendapat dapat minimal atau tidak ada pada
obstruksi proksimal dan semakin jelas pada sumbatan di daerah distal.
Bising usus yang meningkat dan “metallic sound” dapat didengar sesuai
dengan timbulnya nyeri pada obstruksi di daerah distal.
2. Obstruksi disertai proses strangulasi
Gejalanya seperti obstruksi sederhana tetapi lebih nyata dan disertai
dengan nyeri hebat. Hal yang perlu diperhatikan adalah adanya skar
bekas operasi atau hernia. Bila dijumpai tanda-tanda strangulasi berupa
nyeri iskemik dimana nyeri yang sangat hebat, menetap dan tidak
menyurut, maka dilakukan tindakan operasi segera untuk mencegah
terjadinya nekrosis usus.
3. Obstruksi mekanis di kolon timbul perlahan-lahan dengan nyeri akibat
sumbatan biasanya terasa di epigastrium. Nyeri yang hebat dan terus
menerus menunjukkanadanya iskemia atau peritonitis. Borborygmus
dapat keras dan timbul sesuai dengan nyeri. Konstipasi atau obstipasi
adalah gambaran umum obstruksi komplit. Muntah lebih sering terjadi
pada penyumbatan usus besar. Muntah timbul kemudian dan tidak terjadi
bila katup ileosekal mampu mencegah refluks. Bila akibat refluks isi kolon
terdorong ke dalam usus halus, akan tampak gangguan pada usus halus.
Muntah feka lakan terjadi kemudian. Pada keadaan valvula Bauchini yang
paten, terjadi distensi hebat dan sering mengakibatkan perforasi sekum
karena tekanannya paling tinggi dan dindingnya yang lebih tipis. Pada
pemeriksaan fisis akan menunjukkan distensi abdomen dan timpani,
gerakan usus akan tampak pada pasien yang kurus, dan akan terdengar
metallic sound pada auskultasi. Nyeri yang terlokasi, dan terabanya
massa menunjukkan adanya strangulasi.(Sari, 2005; Sjamsuhidajat, 2003)
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Fisik
Gambaran pertama dalam pemeriksaan pasien yang dicurigai
menderita ileus obstruktif merupakan adanya tanda generalisasi dehidrasi,
yang mencakup kehilangan turgor kulit maupun mulut dan lidah kering.
Karena lebih banyak cairan disekuestrasi ke dalam lumen usus, maka bisa
timbul demam, takikardia dan penurunan tekanan dalam darah. Dalam
pemeriksaan abdomen diperhatikan kemunculan distensi, parut abdomen
(yang menggambarkan perlekatan pasca bedah), hernia dan massa
abdomen. Pada pasien yang kurus bukti gelombang peristaltik terlihat pada
dinding abdomen dan dapat berkorelasi dengan nyeri kolik. Tanda demikian
menunjukkan obstruksi strangulata. Gambaran klasik dalam mekanik
sederhana adalah adanya episodik gemerincing logam bernada tinggi dan
bergelora (rush) pada waktu penderita dalam kondisi tenang. Gelora tersebut
bersamaan dengan nyeri kolik. Pada obstruksi strangulata tidak ditemukan
tanda ini.
Bagian akhir yang diharuskan dari pemeriksaan adalah pemeriksaan
rektum dan pelvis. Apabila dalam pemeriksaan ini ditemukan tumor serta
adanya feses di dalam kubah rektum menggambarkan terjadinya obstruksi di
proksimal. Jika darah makroskopik ditemukan di dalam rektum, maka sangat
mungkin bahwa obstruksi didasarkan atas lesi intrinsik di dalam usus.
2. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan radiologi
a. Foto polos abdomen
Dengan posisi terlentang dan tegak (lateral dekubitus) memperlihatkan dilatasi
lengkung usus halus disertai adanya batas antara air dan udara atau gas (air-
fluid level) yang membentuk pola bagaikan tangga.
b. Pemeriksaan radiologi dengan Barium Enema
Mempunyai suatu peran terbatas pada pasien dengan obstruksi usus halus.
Pengujian Enema Barium terutama sekali bermanfaat jika suatu obstruksi
letak rendah yang tidak dapat pada pemeriksaan foto polos abdomen. Pada
anak-anak dengan intussuscepsi, pemeriksaan enema barium tidak hanya
sebagai diagnostik tetapi juga mungkin sebagai terapi.
c. CT–Scan.
Pemeriksaan ini dikerjakan jika secara klinis dan foto polos abdomen dicurigai
adanya strangulasi. CT–Scan akan mempertunjukkan secara lebih teliti
adanya kelainan-kelainan dinding usus, mesenterikus, dan peritoneum. CT–
Scan harus dilakukan dengan memasukkan zat kontras kedalam pembuluh
darah. Pada pemeriksaan ini dapat diketahui derajat dan lokasi dari obstruksi.
d. USG
Pemeriksaan ini akan mempertunjukkan gambaran dan penyebab dari
obstruksi.
e. MRI
Walaupun pemeriksaan ini dapat digunakan, tetapi tehnik dan kontras yang
ada sekarang ini belum secara penuh mapan. Tehnik ini digunakan untuk
mengevaluasi iskemia mesenterik kronis.
g. Angiografi
Angiografi mesenterik superior telah digunakan untuk mendiagnosis adanya
herniasi internal, intussuscepsi, volvulus, malrotation, dan adhesi.
2) Pemeriksaan laboratorium
Leukositosis mungkin menunjukkan adanya strangulasi, pada urinalisa
mungkin menunjukkan dehidrasi. Analisa gas darah dapat mengindikasikan
asidosis atau alkalosis metabolic. ( Brunner and Suddarth, 2002 )
F. PENATALAKSANAAN
Dasar pengobatan ileus obstruksi adalah koreksi keseimbangan elektrolit
dan cairan, menghilangkan peregangan dan muntah dengan dekompresi,
mengatasi peritonitis dan syok bila ada, dan menghilangkan obstruksi untuk
memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali normal.
a. Resusitasi
Dalam resusitasi yang perlu diperhatikan adalah mengawasi tanda - tanda
vital, dehidrasi dan syok. Pasien yang mengalami ileus obstruksi mengalami
dehidrasi dan gangguan keseimbangan ektrolit sehingga perlu diberikan cairan
intravena seperti ringer laktat. Respon terhadap terapi dapat dilihat dengan
memonitor tanda - tanda vital dan jumlah urin yang keluar. Selain pemberian
cairan intravena, diperlukan juga pemasangan nasogastric tube (NGT). NGT
digunakan untuk mengosongkan lambung, mencegah aspirasi pulmonum bila
muntah dan mengurangi distensi abdomen.
b. Farmakologis
Pemberian obat - obat antibiotik spektrum luas dapat diberikan sebagai
profilaksis. Antiemetik dapat diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah.
c. Operatif
Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk
mencegah sepsis sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul
dengan teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil eksplorasi selama
laparotomi. Berikut ini beberapa kondisi atau pertimbangan untuk dilakukan
operasi : Jika obstruksinya berhubungan dengan suatu simple obstruksi atau
adhesi, maka tindakan lisis yang dianjurkan. Jika terjadi obstruksi stangulasi
maka reseksi intestinal sangat diperlukan. Pada umumnya dikenal 4 macam
cara/tindakan bedah yang dilakukan pada obstruksi ileus :
1) Koreksi sederhana (simple correction), yaitu tindakan bedah sederhana untuk
membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia incarcerata non-
strangulasi, jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus ringan.
2) Tindakan operatif by-pass, yaitu tindakan membuat saluran usus baru yang
“melewati” bagian usus yang tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn
disease, dan sebagainya.
3) Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat obstruksi,
misalnya pada Ca stadium lanjut.
4) Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-ujung
usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada carcinoma
colon, invaginasi, strangulata, dan sebagainya. Pada beberapa obstruksi ileus,
kadang-kadang dilakukan tindakan operatif bertahap, baik oleh karena
penyakitnya sendiri maupun karena keadaan penderitanya, misalnya pada Ca
sigmoid obstruktif, mula-mula dilakukan kolostomi saja, kemudian hari dilakukan
reseksi usus dan anastomosis. (Sabara, 2007)
G. KOMPLIKASI
Pada obstruksi kolon dapat terjadi dilatasi progresif pada sekum yang berakhir
dengan perforasi sekum sehingga terjadi pencemaran rongga perut dengan
akibat peritonitis umum (Sjamsuhidajat, 2003).
Sumber lain:
1) Peritonitis karena absorbsi toksin dalam rongga peritonium sehingga terjadi
peradangan atau infeksi yang hebat pada intra abdomen.
2) Perforasi dikarenakan obstruksi yang sudah terjadi terlalu lama pada organ
intra abdomen.
3) Sepsis, infeksi akibat dari peritonitis, yang tidak tertangani dengan baik dan
cepat.
4) Syok hipovolemik terjadi akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma.
(Brunner and Suddarth, 2001)
DAFTAR PUSTAKA
Guyton A.C., Hall J.E. (2005). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.Manif Niko, Kartadinata. (2008). Obstruksi Ileus. Cermin Dunia Kedokteran 29. Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, Wim. (2003). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta :
EGC.Sari, Dina, et al. (2005). Chirurgica. Yogyakarta: Tosca Enterprise. Doengoes, Marilynn E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan pasien. Penerbit Buku Kedokteran, EGC: Jakarta
Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah. EGC: JakartaMuttaqin, Arif. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika
ASUHAN KEPERAWATAN1. Pengkajian
a. Identitas
Biodata klien yang penting meliputi nama, umur, jenis kelamin,
agama, suku dan gaya hidup.
b. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan klien pada saat
dikaji. Pada umumnya akan ditemukan klien merasakan nyeri pada
abdomennya biasanya terus menerus, demam, nyeri tekan dan nyeri
lepas, abdomen tegang dan kaku.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Mengungkapkan hal-hal yang menyebabkan klien mencari
pertolongan, dikaji dengan menggunakan pendekatan PQRST :
P : Apa yang menyebabkan timbulnya keluhan.
Q : Bagaiman keluhan dirasakan oleh klien, apakah hilang,
timbul atau
terus- menerus (menetap).
R : Di daerah mana gejala dirasakan
S : Keparahan yang dirasakan klien dengan memakai skala
numeric
1 s/d 10.
T : Kapan keluhan timbul, sekaligus factor yang
memperberat dan
memperingan keluhan.
3. Riwayat kesehatan dahulu
Apakah klien sebelumnya pernah mengalami penyakit pada
sistem pencernaan, atau adanya riwayat operasi pada sistem
pencernaan.
4. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai penyakit yang
sama dengan klien.
c. Pemeriksaan fisik
1. Status kesehatan umum
Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan
pasien secara umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan
anamnesa, sikap dan perilaku pasien terhadap petugas, bagaimana
mood pasien.
2. Sistem pernafasan
Peningkatan frekuensi napas, napas pendek dan dangkal
3. Sistem kardiovaskuler
Takikardi, pucat, hipotensi (tanda syok)
4. Sistem persarafan
Tidak ada gangguan pada sistem persyarafan
5. Sistem perkemihan
Retensio urine akibat tekanan distensi abdomen, anuria/oliguria,
jika syok hipovolemik
6. Sistem pencernaan
Distensi abdomen, muntah, bising usus meningkat, lemah atau
tidak ada, ketidakmampuan defekasi dan flatus.
7. Sistem muskuloskeletal
Kelelahan, kesulitan ambulansi
8. Sistem integumen
Turgor kulit buruk, membran mukosa pecah-pecah (syok)
9. Sistem endokrin
Tidak ada gangguan pada sistem endokrin
10. Sistem reproduksi
Tidak ada gangguan pada sistem reproduksi
2. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
Adapun diagnosa keperawatan yang sering muncul pada klien
dengan ileus obstruksi adalah sebagai berikut : (Doenges, M.E. 2001 dan
Wong D.L)
1. Kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake
yang tidak adequat dan ketidakefektifan penyerapan usus halus.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi
nutrisi.
3. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen
4. Gangguan pola eliminasi: konstipasi berhubungan dengan disfungsi
motilitas usus.
5. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen
6. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
3. Intervensi keperawatan
1. Kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake
yang tidak adequat dan ketidakefektifan penyerapan usus halus
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
kebutuhan cairan dan elektrolit terpenuhi.
Kriteria hasil :
a. Tanda vital normal (N:70-80 x/menit, S: 36-37 C, TD : 110/70 -
120/80 mmHg)
b. Intake dan output cairan seimbang
c. Turgor kulit elastic
d. Mukosa lembab
e. Elektrolit dalam batas normal (Na: 135-147 mmol/L, K: 3,5-5,5
mmol/L, Cl: 94-111 mmol/L).
Intervensi :
Intervensi Rasional
1. Kaji kebutuhan cairan pasien2. Observasi tanda-tanda vital
3. Observasi tingkat kesadaran dan tanda-tanda syok
4. Observasi bising usus pasien tiap 1-2 jam
5. Monitor intake dan output secara ketat
6. Pantau hasil laboratorium serum elektrolit, hematokrit
1. Mengetahui kebutuhan cairan pasien.
2. Perubahan yang drastis pada tanda-tanda vital merupakan indikasi kekurangan cairan.
3. kekurangan cairan dan elektrolit dapat mempengaruhi tingkat kesadaran dan mengakibatkan syok.
4. Menilai fungsi usus5. Menilai keseimbangan cairan6. Menilai keseimbangan cairan dan
elektrolit7. Meningkatkan pengetahuan pasien
dan keluarga serta kerjasama antara
7. Beri penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang tindakan yang dilakukan: pemasangan NGT dan puasa.
8. Kolaborasi dengan medik untuk pemberian terapi intravena
perawat-pasien-keluarga. 8. Memenuhi kebutuhan cairan dan
elektrolit pasien.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
gangguan absorbsi nutrisi.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
kebutuhan nutrisi teratasi.
Kriteria hasil :
1. Tidak ada tanda-tanda mal nutrisi.
2. Berat badan stabil.
3. Pasien tidak mengalami mual muntah.
Intervensi :
Intervensi Rasional
1. Tinjau faktor-faktor individual yang mempengaruhi kemampuan untuk mencerna makanan, mis : status puasa, mual, ileus paralitik setelah selang dilepas.
2. Auskultasi bising usus; palpasi abdomen; catat pasase flatus.
3. Identifikasi kesukaan/ketidaksukaan diet dari pasien. Anjurkan pilihan makanan tinggi protein dan vitamin C.
4. Observasi terhadap terjadinya diare; makanan bau busuk dan berminyak.
5. Kolaborasi dalam pemberian obat-obatan sesuai indikasi: Antimetik, mis: proklorperazin (Compazine). Antasida dan inhibitor histamin, mis: simetidin (tagamet).
1. Mempengaruhi pilihan intervensi.
2. Menentukan kembalinya peristaltik ( biasanya dalam 2-4 hari ).
3. Meningkatkan kerjasama pasien dengan aturan diet. Protein/vitamin C adalah kontributor utuma untuk pemeliharaan jaringan dan perbaikan. Malnutrisi adalah fator dalam menurunkan pertahanan terhadap infeksi.
4. Sindrom malabsorbsi dapat terjadi setelah pembedahan usus halus, memerlukan evaluasi lanjut dan perubahan diet, mis: diet rendah serat.
5. Mencegah muntah. Menetralkan atau menurunkan pembentukan asam untuk mencegah erosi mukosa dan kemungkinan ulserasi.
3. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pola
nafas menjadi efektif
Kriteria hasil :
Pasien memiliki pola pernafasan: irama vesikuler, frekuensi :
18-20x/menit
Intervensi :
Intervensi Rasional
1. Observasi TTV: P, TD, N,S
2. Kaji status pernafasan: pola, frekuensi, kedalaman
3. Kaji bising usus pasien
4. Tinggikan kepala tempat tidur 40-60 derajat
5. Observasi adanya tanda-tanda hipoksia jaringan perifer: cianosis
6. Monitor hasil AGD
7. Berikan penjelasan kepada keluarga pasien tentang penyebab terjadinya distensi abdomen yang dialami oleh pasien
8. Laksanakan program medic pemberian terapi oksigen
1. Perubahan pada pola nafas akibat adanya distensi abdomen dapat mempengaruhi peningkatan hasil TTV.
2. Adanya distensi pada abdomen dapat menyebabkan perubahan pola nafas.
3. Berkurangnya/hilangnya bising usus menyebabkan terjadi distensi abdomen sehingga mempengaruhi pola nafas.
4. Mengurangi penekanan pada paru akibat distensi abdomen.
5. Perubahan pola nafas akibat adanya distensi abdomen dapat menyebabkan oksigenasi perifer terganggu yang dimanifestasikan dengan adanya cianosis.
6. Mendeteksi adanya asidosis respiratorik.
7. Meningkatkan pengetahuan dan kerjasama dengan keluarga pasien.
8. Memenuhi kebutuhan oksigenasi pasien
4. Gangguan pola eliminasi : konstipasi berhubungan dengan disfungsi
motilitas usus.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pola
eliminasi kembali normal.
Kriteria hasil :
Pola eliminasi BAB normal: 1x/hari, dengan konsistensi lembek,
BU normal : 5-35 x/menit, tidak ada distensi abdomen.
Intervensi :
Intervensi Rasional
1. Kaji dan catat frekuensi, warna dan konsistensi feces
2. Auskultasi bising usus
3. Kaji adanya flatus
4. Kaji adanya distensi abdomen
1. Mengetahui ada atau tidaknya kelainan yang terjadi pada eliminasi fekal.
2. Mengetahui normal atau tidaknya pergerakan usus.
3. Adanya flatus menunjukan perbaikan fungsi usus.
4. Gangguan motilitas usus dapat
Intervensi Rasional
5. Berikan penjelasan kepada pasien dan keluarga penyebab terjadinya gangguan dalam BAB
6. Kolaborasi dalam pemberian terapi pencahar (Laxatif)
Menyebabkan akumulasi gas di dalam lumen usus sehingga terjadi distensi abdomen.
5. Meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga serta untuk meningkatkan kerjasana antara perawat-pasien dan keluarga.
6. Membantu dalam pemenuhan kebutuhan eliminasi
5. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam rasa
nyeri teratasi atau terkontrol
Kriteria hasil :
Pasien mengungkapkan penurunan ketidaknyamanan;
menyatakan nyeri pada tingkat dapat ditoleransi, menunjukkan
rileks.
Intervensi :
Intervensi Rasional
1. Observasi TTV: N, TD, HR, P tiap shif 1. Nyeri hebat yang dirasakan pasien akibat adanya distensi abdomen dapat menyebabkan peningkatan
2. Kaji keluhan nyeri, karakteristik dan skala nyeri yang dirasakan pesien sehubungan dengan adanya distensi abdomen
3. Berikan posisi yang nyaman: posisi semi fowler
4. Ajarkan dan anjurkan tehnik relaksasi tarik nafas dalam saat merasa nyeri
5. Anjurkan pasien untuk menggunakan tehnik pengalihan saat merasa nyeri hebat.
6. Kolaborasi dengan medic untuk terapi analgetik
hasil TTV.2. Mengetahui kekuatan nyeri yang
dirasakan pasien dan menentukan tindakan selanjutnya guna mengatasi nyeri.
3. Posisi yang nyaman dapat mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien
4. Relaksasi dapat mengurangi rasa nyeri
5. Mengurangi nyeri yang dirasakan pasien.
6. Analgetik dapat mengurangi rasa nyeri
6. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
Tujuan :
Kecemasan teratasi.
Kriteria hasil :
Pasien mengungkapkan pemahaman tentang penyakit saat ini dan
mendemonstrasikan keterampilan koping positif.
Intervensi :
Intervensi Rasional
1. Observasi adanya peningkatan kecemasan: wajah tegang, gelisah
2. Kaji adanya rasa cemas yang dirasakan pasien
3. Berikan penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang tindakan yang akan dilakukan sehubungan dengan keadaan penyakit pasien
4. Berikan kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan rasa takut atau kecemasan yang dirasakan
5. Pertahankan lingkungan yang tenang dan tanpa stres.
6. Dorong dukungan keluarga dan orang terdekat untuk memberikan support kepada pasien
1. Rasa cemas yang dirasakan pasien dapat terlihat dalam ekspresi wajah dan tingkah laku.
2. Mengetahui tingkat kecemasan pasien.
3. Dengan mengetahui tindakan yang akan dilakukan akan mengurangi tingkat kecemasan pasien dan meningkatkan kerjasama
4. Dengan mengungkapkan kecemasan akan mengurangi rasa takut/cemas pasien
5. Lingkungan yang tenang dan nyaman dapat mengurangi stress pasien berhadapan dengan penyakitnya
6. Support system dapat mengurani rasa cemas dan menguatkan pasien dalam memerima keadaan
sakitnya.