LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

34
LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM “Penetapan Profil Protein Cry Dan Tipe Gen Penyandinya Galur – Galur Bakteri Bacillus thuringiensis” KELOMPOK 1 FITRI RAHMAWATI 109095000032 IRFAN FACHRUROZY 109095000029 JESSYCA SHELA R. 109095000004 MUTHIA RIZKITA 1090950000 NINDA FIRSTRI O. 1090950000 QORIMEIFEBRIA R. 1090950000 SANDI ACHMAD 1090950000 TIAS LIKA SARI 109095000030 YOGI SETIAWAN 109095000038 ZULIANI ABIDIN 109095000043 PROGRAM STUDI BIOLOGI

Transcript of LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

Page 1: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM

“Penetapan Profil Protein Cry Dan Tipe Gen Penyandinya

Galur – Galur Bakteri Bacillus thuringiensis”

KELOMPOK 1

FITRI RAHMAWATI 109095000032IRFAN FACHRUROZY 109095000029JESSYCA SHELA R. 109095000004MUTHIA RIZKITA 1090950000NINDA FIRSTRI O. 1090950000QORIMEIFEBRIA R. 1090950000SANDI ACHMAD 1090950000

TIAS LIKA SARI 109095000030YOGI SETIAWAN 109095000038ZULIANI ABIDIN 109095000043

PROGRAM STUDI BIOLOGIFAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA

2011M/2133H

Page 2: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

BAB I

PENDAHULUAN

A. Maksud dan Tujuan Bakteri Bacillus thuringiensis merupakan bakteri garam positif yang

berbentuk batang. Bakteri ini tersebar secara luas di berbagai Negara. Bakteri

ini termasuk pathogen fakultatif yang dapat hidup di daun tanaman conifer

maupun pada tanah. Apabila kondisi tidak memungkinkan atau tidak

menguntungkan maka bakteri ini akan membentuk fase sporulasi. Saat

sporulasi terjadi tubuhnya akan terdiri dari protein Cry yang termasuk ke

dalam protein kristal kelas endotoksin delta. Apabila serangga memakan

toksin tersebut maka serangga tersebut dapat mati. Oleh karena itu, protein

atau toksin Cry dapat dimanfaatkan sebagai pestisida alami.

Untuk memperoleh bakteri Bacillus thuringiensis yang potensial

sebagai biopestisida, maka perlu dilakukan isolasi bakteri tersebut yang salah

satunya dengan mengisolasinya dari sampel tanah yang berasal dari berbagai

tempat. Setelah proses isolasi, untuk mengidentifikasi keberadaan protein Cry

maka perlu dilakukan tahapan-tahapan berikutnya. Beberapa metode yang

dapat dilakukan untuk mengidentifikasi keberadaan protein Cry tersebut

adalah dengan metode elektroforsis agarose (SDS PAGE), dilanjutkan dengan

metode lowry dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis dan dengan

HPLC. Oleh karena itu dilakukan praktikum teknik laboratorium inimengenai

bakteri Bacillus thuringiensis yang bertujuan untuk :

1. Mampu menggunakan alat instrumen laboratorium dan mengetahui teknik

laboratorium

2. Mengetahui cara pembuatan medium

3. Untuk mendapatkan isolat bakteri Bacillus thuringiensis beserta protein

kristalnya (protein Cry).

4. Dapat melakukan analisis protein kristal yang dihasilkan oleh Bacillus

thuringiensis, serta melakukan profiling proteinnya.

5. Dapat mengerti dan memahami proses elektroforesis.

Page 3: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

B. Landasan Teori Bacillus thuringiensis adalah bakteri gram-positif, berbentuk batang,

aerobik, dan membentuk spora yang tersebar secara luas di berbagai negara.

B. thuringiensis menghasilkan berbagai macam toksin. Toksin-toksin tersebut

adalah α-eksositosin, β-eksositosin, dan σ-endotoksin (protein kristal)

(Dubois dan Lewis, 1981). Bakteri ini termasuk patogen fakultatif dan dapat

hidup di daun tanaman konifer maupun pada tanah. Apabila kondisi

lingkungan tidak menguntungkan maka bakteri ini akan membentuk fase

sporulasi. Saat sporulasi terjadi, tubuhnya akan terdiri dari protein Cry yang

termasuk ke dalam protein kristal kelas endotoksin delta. Apabila serangga

memakan toksin tersebut maka serangga tersebut dapat mati. Oleh karena itu,

protein atau toksin Cry dapat dimanfaatkan sebagai pestisida alami.

B. thuringiensis ditemukan pertama kali pada tahun 1911 sebagai

patogen pada ngengat (flour moth) dari Provinsi Thuringia, Jerman. Bakteri

ini digunakan sebagai produk insektisida komersial pertama kali pada tahun

1938 di Perancis dan kemudian di Amerika Serikat (1950). Pada tahun 1960-

an, produk tersebut telah digantikan dengan galur bakteri yang lebih patogen

dan efektif melawan berbagai jenis insekta.

Keberadaan inklusi paraspora dalam B. thuringiensis telah ditemukan

sejak tahun 1915, namun komposisi protein penyusunnya baru diketahui pada

tahun 1915. Pada tahun 1953, Hannay, mendeteksi struktur kristal pada inklusi

paraspora yang mengandung lebih dari satu macam protein kristal insektisida

(insecticidal crystal protein, ICP) atau disebut juga delta endotoksin.

Berdasarkan komposisi ICP penyusunnya, kristal tersebut dapat membentuk

bipimiramida, kuboid, romdoid datar, atau campuran dari beberapa tipe kristal.

Berbagai macam spesies B. thuringiensis telah diisolasi dari serangga

golongan koleoptera, diptera, dan lepidoptera, baik yang sudah mati ataupun

dalam kondisi sekarat. Bangkai serangga sering mengandung spora dan ICP B.

thuringiensis dalam jumlah besar. Sebagian subspesies juga didapatkan dari

tanah, permukaan daun, dan habitat lainnya. Pada lingkungan dengan kondisi

yang baik dan nutrisi yang cukup, spora bakteri ini dapat terus hidup dan

melanjutkan pertumbuhan vegetatifnya. B. thuringiensis dapat ditemukan pada

Page 4: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

berbagai jenis tanaman, termasuk sayuran, kapas, tembakau, dan tanaman

hutan.

B. thuringiensis dibagi menjadi 67 subspesies (hingga tahun 1998)

berdasarkan serotipe dari flagela (H). Ciri khas dari bakteri ini yang

membedakannya dengan spesies Bacillus lainnya adalah kemampuan

membentuk kristal paraspora yang berdekatan dengan endospora selama fase

sporulasi III dan IV. Sebagian besar ICP disandikan oleh DNA plasmid yang

dapat ditransfer melalui konjugasi antargalur B. thuringiensis , maupun

dengan bakteri lain yang berhubungan. Selama pertumbuhan vegetatif terjadi,

berbagai galur B. thuringiensis menghasilkan bermacam-macam antibiotik,

enzim, metabolit, dan toksin, yang dapat merugikan organisme lain. Selain

endotoksin (ICP), sebagian subspesies B. thuringiensis dapat membentuk beta-

eksotoksi yang toksik terhadap sebagian besar makhluk hidup, termasuk

manusia dan insekta.

Protein atau toksin Cry tersebut akan dilepas bersamaan dengan spora

ketika terjadi pemecahan dinding sel. Apabila termakan oleh larva insekta,

maka larva akan menjadi inaktif, makan terhenti, muntah, atau kotorannya

menjadi berair. Bagian kepala serangga akan tampak terlalu besar

dibandingkan ukuran tubuhnya. Selanjutnya, larva menjadi lembek dan mati

dalam hitungan hari atau satu minggu. Bakteri tersebut akan menyebabkan isi

tubuh insekta menjadi berwarna hitam kecoklatan, merah, atau kuning, ketika

membusuk.

Toksin Cry sebenarnya merupakan protoksin, yang harus diaktifkan

terlebih dahulu sebelum memberikan efek negatif. Aktivasi toksin Cry

dilakukan oleh protease usus sehingga terbentuk toksin aktif dengan bobot 60

kDA yang disebut delta-endotoksin. Delta-endotoksin ini diketahui terdiri dari

tiga domain. Toksin tersebut tidak larut pada kondisi normal sehingga tidak

membahayakan manusia, hewan tingkat tinggi, dan sebagian insekta. Namun.

pada kondisi pH tinggi (basa) seperti yang ditemui di dalam usus lepidoptera,

yaitu di atas 9.5, toksin tersebut akan aktif. Selanjutnya, toksin Cry akan

menyebabkan lisis (pemecahan) usus lepidoptera.

Page 5: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

B. thuringiensis dapat memproduksi dua jenis toksin, yaitu toksin

kristal (Crystal, Cry) dan toksin sitolitik (cytolytic, Cyt). Toksin Cyt dapat

memperkuat toksin Cry sehingga banyak digunakan untuk meningkatkan

efektivitas dalam mengontrol insekta. Lebih dari 50 gen penyandi toksin Cry

telah disekuens dan digunakan sebagai dasar untuk pengelompokkan gen

berdasarkan kesamaan sekuens penyusunnya. Tabel di bawah ini merupakan

klasifikasi toksin Bt pada tahun 1995.

GenBentuk Kristal

Bobot Protein (kDa)

Insekta yang dipengaruhi

cry I [several subgrup:A(a), A(b), A(c), B, C, D, E, F, G]

bipiramida 130-138 larva lepidoptera

cry II [subgrup A, B, C] kuboid 69-71lepidoptera and

diptera

cry III [subgrup A, B, C]Datar/tidak

teratur73-74 koleoptera

cry IV [subgrup A, B, C, D] bipiramida 73-134 diptera

cry V-IXberbagai macam

35-129 berbagai macam

Cara isolasi Bacillus thuringiensis.

Isolat Bt dapat diisolasi dari tanah, bagian tumbuhan, kotoran hewan, serangga

dan bangkainya dan sumber lain. Salah satu cara isolasi yang cukup efektif adalah

dengan seleksi asetat. Beberapa gram sumber isolat disuspensikan ke dalam media

pertumbuhan bakteri (misal LB (Luria Bertani Agar)) yang mengandung natrium

asetat kemudian dikocok. Media asetat tersebut menghambat pertumbuhan spora Bt

menjadi sel vegetatif. Setelah beberapa jam media tersebut di-panaskan pada suhu

80°C selama beberapa menit. Pemanasan ini akan membunuh sel-sel bakteri atau

mikroorganisme yang sedang tumbuh termasuk spora-spora bakteri lain yang tumbuh.

Kemudian sebagian kecil dari suspensi yang telah dipanaskan diratakan pada media

padat. Koloni-koloni yang tumbuh kemudian dipindahkan ke media sporulasi Bt.

Page 6: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

Koloni yang tumbuh pada media ini dicek keberadaan spora atau protein kristalnya

untuk menentukan apakah koloni tersebut termasuk isolat Bt. (Imam, 2009).

Mekanisme Patogenisitas

Mekanisme kerja racun yang dihasilkan oleh Bacillus thuringiensis adalah

sebagai berikut. Setelah Bacillus thuringiensis masuk ke dalam perut larva, maka

kristalnya akan masuk ke dalam usus larva. Kemudian enzim dalam usus akan

memecah kristal dan mengaktifkan komponen insktisida Bt yang disebut δ-

endotoksin. Delta endotoksin berikatan dengan sel yang menempel pada dinding

membran usus dan membentuk lubang pada membran, dan mengganggu

keseimbangan ion dalam usus. Insekta akan berhenti makan dan kelaparan, kemudian

mati. Jika insekta tidak terpengaruh secara langsung oleh kerja δ-endotoksin,

kematian pada insekta terjadi setelah pertumbuhan vegetatif Bt di dalam usus insekta.

Spora tumbuh setelah dinding usus hancur, dan kemudian memproduksi semakin

banyak spora. Infeksi yang semakin meluas pada tubuh insekta menyebabkan

kematian pada insekta tersebut.

Potensi sebagai Bioinsektisida

Untuk bahan dasar bioinsektisida biasanya digunakan sel-sel spora atau

protein kristal Bt dalam bentuk kering atau padatan. Padatan ini dapat

diperoleh dari hasil fermentasi sel-sel Bt yang telah disaring atau diendapkan

dan dikeringkan. Padatan spora dan protein kristal yang diperoleh dapat

dicampur dengan bahan-bahan pembawa, pengemulsi, perekat, perata, dan

lain-lain dalam formulasi bioinsektisida.

Elektroforesis SDS‐PAGE

Elektroforesis merupakan proses bergeraknya molekul bermuatan pada

suatu medan listrik. Kecepatan molekul yang bergerak pada medan listrik

tergantung pada muatan, bentuk dan ukuran. Dengan demikian elektroforesis

dapat digunakan untuk separasi makromolekul (seperti protein dan asam

nukleat). Posisi molekul yang terseparasi pada gel dapat dideteksi dengan

pewarnaan atau autoradiografi, ataupun dilakukan kuantifikasi dengan

densitometer. Elektroforesis untuk makromolekul memerlukan matriks

penyangga untuk mencegah terjadinya difusi karena timbulnya panas dari arus

Page 7: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

listrik yang digunakan. Elektroforesis biasanya memerlukan media penyangga

sebagai tempat bemigrasinya molekul-mulekul biologi. Media penyangganya

bermacam-macam tergantung pada tujuan dan bahan yang akan dianalisa.

Media penyangga yang sering dipakai dalam elektroforesis antara lain yaitu

kertas, selulose, asetat dan gel. Gel poliakrilamid dan agarosa merupakan

matriks penyangga yang banyak dipakai untuk separasi protein dan asam

nukleat.

Beberapa faktor mempengaruhi kecepatan migrasi dari molekul protein

yakni:

(Sudarmadji, 1996)

1. Ukuran molekul protein

Migrasi molekul protein berukuran besar lebih lambat daripada migrasi

molekul berukuran kecil.

2. Konsentrasi gel

Migrasi molekul protein pada gel berkosentrasi rendah lebih cepat

daripada migrasi molekul protein yang sama pada gel berkosentrasi

tinggi.

3. Bufer (penyangga) dapat berperan sebagai penstabil medium

pendukung dan dapat mempengaruhi kecepatan gerak senyawa karena

ion sebagai pembawa protein yang bermuatan.

Kekuatan ion yang tinggi dalam bufer akan meningkatkan panas

sehingga aliran listrik menjadi maksimal. Hal ini dapat

mempercepat gerakan molekul protein.

Kekuatan ion rendah dalam bufer akan menurunkan panas sehingga

aliran listrik akan sangat minimal dan migrasi molekul protein

sangat lambat.

4. Medium penyangga

Medium pendukung ideal untuk elektroforesis adalah bahan kimia inert

yang bersifat relatif stabil, mudah ditangani dan mempunyai daya serap

yang baik, sebagai migrasi elektron atau penyaringan berdasarkan

ukuran molekul seperti gel poliakrilamid (Sudarmadji, 1996).

Page 8: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

1. Jika ukuran pori dari medium kira-kira sama dengan molekul, maka

molekul yang lebih kecil akan berpindah lebih bebas di dalam

medan listrik, sedangkan molekul yang lebih besar akan dibatasi

dalam migrasinya. Besarnya pori-pori dapat diatur dengan

mengubah konsentrasi penyusun gel poliakrilamidnya yaitu

akrilamid dan bisakrilamid.

5. Kekuatan voltase

1. Voltase yang dipakai rendah (100-500) V, kecepatan migrasi

molekul sebanding dengan tingginya voltase yang digunakan.

2. Voltase yang dipakai tinggi (500-10000) V, mobolitas molekul

meningkat secara lebih tajam dan digunakan untuk memisahkan

senyawa dengan BM rendah serta jenis arus yang dipakai selalu

harus searah (bukan bolak balik).

6. Temperatur medium disaat proses elektroforesis berlangsung. Jika

temperatur tinggi akan mempercepat proses bermigrasinya protein dan

sebaliknya jika temperatur rendah akan mengurangi kekuatan

bermigrasinya protein.

Salah satu metode PAGE yang umumnya digunakan untuk analisa

campuran protein secara kualitatif adalah SDS‐PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate

Polyacrilamide Gel Electroforesis). Prinsip penggunaan metode ini adalah

migrasi komponen akril amida dengan N.N` bisakrilamida. Kisi – kisi tersebut

berfungsi sebagai saringan molekul sehingga konsentrasi atau rasio akrilamid

dengan bisakrilamid dapat diatur untuk mengoptimalkan kondisi migrasi

komponen protein. Metode ini sering digunakan untuk menentukan berat

molekul suatu protein disamping untk memonitor pemurnian protein (Wilson

dan Walker, 2000). SDS‐PAGE dilakukan terhadap protein tak larut dengan

kekuatan ion rendah dan dapat menentukan apakah suatu protein termasuk

monomerik atau oligomerik, menetapkan berat molekul dan jumlah rantai

polipeptida sebagai subunit atau monomer.

Penggunaan SDS-PAGE bertujuan untuk memberikan muatan negatif pada

protein yang akan dianalisa. Protein yang terdenaturasi sempurna akan

mengikat SDS dalam jumlah yang setara dengan berat molekul protein tersebut

Page 9: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

(Dunn, 1989). Denaturasi protein dilakukan dengan merebus sampel dalam

buffer yang mengandung β‐merkaptoetanol (berfungsi untuk mereduksi ikatan

disulfide), gliserol dan SDS (Wilson dan Walker, 2000). Muatan asli protein

akan digantikan oleh muatan negatif dari anion yang terikat sehingga kompleks

protein-SDS memiliki rasio muatan per berat molekul yang konstan (Hames,

1987).

Sampel‐sampel enzim yang diinjeksikan ke dalam sumur gel diberi warna

dengan bromphenol biru yang dapat terionisasi. Fungsi pewarna adalah untuk

membantu memonitor jalannya elektroforesis. Berat molekul protein dapat

diketahui dengan membandingkan Rf protein dengan protein standar yang

berat molekulnya telah diketahui (Wilson dan Walker, 2000).

Page 10: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

BAB II

EKSPERIMEN

A. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah laminar air flow,

timbangan analitik, beaker glass, autoklaf, bunsen, erlenmeyer, cawan petri,

tabung reaksi, spatula, ose, hotplate, vortex, magnetic stirrer, mikrotube,

mikro pipet, gelas ukur, tusuk gigi, aluminium foil, refrigerator, tip, kaca

objek, mikroskop, pipet, kaca penutup dan spektrofotometer.

Bahan yang digunakan adalah sampel tanah, larutan buffer, trypton,

yeast extract, bacto agar, tryptose, Na3PO4, MnCl2, stock nutrient, metal salt

solution, larutan Na2CO3, NaOH ,1 N, larutan CuSO4, larutan folin, HCl,

Aquades, MgSO4, Glukosa, CaNO3, Casein hydrosilat, ZnCl3, FeCL3,

Aquabides, degassed acrylamid, larutan tris, HCl, SDS, APS, TEMED.

B. Diagram Alir

1. Pembuatan Buffer

2. Pembuatan Medium T3

100 ml

KH2PO4

44,8 ml

NaOH 0,1 M

+Aquad

es hingga v = 90

ml

190 ml

buffer fosfat

Dituang ke 10

erlenmeyer

@ 10ml

Disterilisasi

dengan

autoklaf

dicampur

Page 11: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

3. Pembuatan Medium LB Cawan dan LB Miring

Ditimbang : 3 gram trypton, 2 gram tryptose, 1,5 gram YE, 0,989 gram MnCl2, 19 gram Na3PO4, dan 12 gr bacto agar

Bacto

agar

Na3PO4

MnCl2

Yeast

Extract

Trypton

Tryptose

1 Liter

Aquades

t

Aquadest

Dipanaskan dengan hot plate stirrer

Disterilisasi dengan autoklaf

Dituang sebanyak +20 ml

Dimasukkan ke Lemari Es

Page 12: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

Ditimbang : 5 gram trypton, 2,5 gram YE, 5gram NaCl, dan 6 gram bacto agar

Bacto agar

NaCl

Yeast Extra

ct

Trypton

1 Liter

Aquadest

Aquades

t

Dipanaskan dengan hot plate stirrer

Disterilisasi dengan autoklaf

Dituang sebanyak +20 ml

Dimasukkan ke Lemari Es

Page 13: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

4. Isolasi Bakteri Dari Sampel Tanah

5. Inokulasi Sampel Tanah

Dimiringkan tabung reaksi

Didiamkan pada suhu ruang

Dituangkan pada tabung reaksi

24 5

31

Sampel tanah

10 ml Buffer Fosfat

Dipanaskan deng

an waterbath

selama 30

menit,

pada suhu 70 C

Dikocok

selama 15

menit

Page 14: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

6. Pembuatan NaCl

Inokulasi sampel tanah ke medium

T3 cawan

Inkubasi dalam

inkubator

Inokulasi ke T3 cawan

Di inkubasi kembali

selama 72 jam

Dipindahkan ke

medium LB

miring Pengamatan

mikroskopis

Dipindahkan ke

medium LB

cawan

Dipindahkan ke

medium T3

Page 15: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

7. Pemindahan B. thuringiensis dari Media T3 ke mikrotube

8. Pembuatan Larutan Solubasi

Ditim

bang

Serbu

k

NacL

NaCL

Konsentrasi 0,5

MNaCl di

sterilisasi dalam Autoclaf

NaCl di tuang

ke mikritu

be

Aquadest

BT dalam Media T3

Dimasu

kan BT

kedala

m tube

yang

berisika

n NaCl

0,5 M

Di sentrifug

asi(suhu dingin)

Dibuang supernat

anDitamba

hkan NaCl Baru

kedalam Tube.

Di ulangi proses

sentrifugasi

sebanyak 2 kali

Page 16: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

9. Lisis Sel

10. Uji Lowry

a. Pembuatan Sampel

SDS

Timbang 0,01 gr/ml

SDS

ß-mercaptoethanol

SDS + ß-mercaptoethanol

Di Sentrif

use

Di panaskan pada air mendidih

selama 10 menit

Supernatan

diambil

Dipindah

Di Sentrif

use

ElektroforesisUji Lowry

Page 17: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

b. Penentuan Kadar Protein

50 µL sampel + 950 µL aquades

Diaduk hingga merata

+ 5ml biuret

Dikocok dengan vorteks

Baca pada λ= 780 nm

Didapatkan data

Dikocok dengan vortex

+ Folin 0,5 mL

Inkubasi 10 menit

Inkubasi 30 menit

BSA berbagai konsentrasi+ aquades

Diaduk

hingga

merata

+ 5ml biuret

Dikocok

dengan

vorteks

Baca

pada

λ= 780 nm

Didapatkan data

Dikocok

dengan

vortex

+ Folin 0,5 mL

Inkubasi 10 menit

Inkubasi 30 menit

Page 18: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

dimasukkan aquabides

sebanyak 5,4 ml dalam

erlenmeyer

dimasukkan

2 µl 30%

degassed

acrylamide (BIS)

2,5 µl gel

buffer0,1 µl 10 % SDS

Setiap penambaha

n larutan harus di

homogenkan

ditambahkan 50 µl

Ammonium persulfat (APS) 10%

lalu homogenka

n

ditambahkan

TEMED sebanya

k 5 µl lalu

dihomogenkan kembali

diambil 30 µl supernatan

dipindahkan ke

microtube baru 100 µl

ditambahkan 20 µl buffer sample

dihomogenkan

dipanaskan selama 10 menit

dengan suhu 100 ˚C

air

erlenmeyer

gabus

Hot plate

11. Elektroforesis11.1 Preparasi Sampel

11. 2 Preparasi Gel Elektroforesisa. Resolving Gel (6%)

Page 19: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

dimasukkan aquabides sebanyak 3,05 ml dalam

erlenmeyer

dimasukkan

0,65 µl

degassed

acrylamide (BIS) 30%

0,1 µl 10 % SDS

ditambahkan 50

µl Ammoni

um persulfat (APS)

10% lalu homoge

nkan

ditambahka

n TEME

D sebanyak 10 µl lalu dihomogenk

an kemb

ali

b. Stacking Gel (2%)

11.3Pembuatan Kolom Gel

Page 20: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

11.4 Preparasi Sampel

11.5 Pewarnaan dan Pencucian Gel

dimasuka

n resolving

hingga

tanda

batas

Resolving gel

ditunggu hingga

resolving membek

u

dimasukkan

aquades untuk

meratakan

resolving gel nyadiserap aquades

dgn kertas agar rata

Resolving gel yang telah rata

dimasukkan

stacking gel

sedikit demi

sedikit

ditambahkan

aquades untuk

meratakan stacking

gelSisir Stackin

g gel Resolving gel

dipasang sisir

pembentuk sumur

dibiarkan

hingga

membeku

diangkat gel yang

telah membeku dan dipinda

hkan

dipasang gel pada perangk

at elektrofo

resisdimasukkan larutan buffer ke

tangki elektrofore

sis

dipindahkan sisir

dengan hati-hati

dimasukkan 5 µl

sample protein

pada masing-masing sumur dengan hati-hati

Semua sumur telah

terisi sample protein dipasang

power supply dengan 150

Volt selama 1 jam

Page 21: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

C. Rekaman Hasil Pengamatan

Gambar 1. Isolasi Bakteri pada medium T3

dipindahkan gel

kedalam air

dengan hati-hati

dicuci atau dibilas gel

dengan air sampai 2x

Diaiamkan semalaman dalam air

untuk menghilangkan SDS

dipindahkan gel ke page blue

Didiamkan selama

semalaman dengan terus di goyangkan

agar gel terwarnai oleh page

blue

dipindahkan gel ke air

untuk menghilangkan wana page blue

dibilas dengan air

sekali

Kemudian digoyangkan gel dalam air semalaman

sampai pengaruh

warna page blue nya

hilangHasil dari

elektroforesis

Page 22: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

Gambar 2. Hasil Pengamatan Mikroskop

Gambar 3. Bakteri BT pada Medium LB

Gambar 4. Hasil Elektroforesis setelah Pewarnaan

BAB III

Page 23: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

ANALISIS DATA

Rumus Molaritas

Molaritas = gram /mrvolume

Pengenceran Larutan BSA

M1V1 = M2V2

Persamaan Linear Uji Lowry

Y = 5,032e-03 + 1,613225e-03*X

Page 24: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

BAB IV

HASIl DAN PEMBAHASAN

4.1 Isolasi Bakteri4.2 Isolasi Protein4.3 Kuantifikasi Protein dengan Lowry4.4 Karakterisasi Protein dengan Elektorforesis SDS-PAGE

Pada kegiatan pertama dilakukan isolasi bakteri ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya keberadaan bakteri Bacillus thuringiensis dari sampel tanah yang di ambil. Isolat bakteri yang di dapat kemudian diamati dan di analisis keberadaan protein Cry yang dihasilkan oleh bakteri tersebut. Hasil Isolasi Bakteri Bacillus thuringiensis menunjukan dari 32 cawan bakteri yang ditumbuhkan, kemudian dibandingkan dengan kesamaan morfologi, warna, aroma dengan B. thuringiensis pembanding. Dari hasil perbandingan dipilih 24 koloni yang benar-benar mirip dengan B. thuringiensis pembanding untuk ditumbuhkan kembali di media T3 hingga sporulasi. Setelah sporulasi, ke 24 koloni di observasi dengan menggunakan mikroskkop cahaya untuk memastikan adanya bentuk protein kristal.

Menurut….. bakteri B.thuringiensis adalah bakteri yang mengandung protein kristal(dicari lagi sumbernya yang jelas). Jawabannya:Bacillus thuringiensis adalah bakteri gram-positif, berbentuk batang, aerobik, dan membentuk spora yang tersebar secara luas di berbagai negara. B. thuringiensis menghasilkan berbagai macam toksin. Toksin-toksin tersebut adalah α-eksositosin, β-eksositosin, dan σ-endotoksin (protein kristal) (Dubois dan Lewis, 1981).

Dari hasil observasi menggunkan mikroskop didapatkan 16nkoloni yang mengandung protein kristal (Lihat tabel 1).

Tabel 1. Sampel 1 hasil Isolasi Bakteri Bacillus Thuringiensis

No Pengenceran Kelompok Positif1 20 x 2 Bt 42 20 x 2 Bt 23 20 x 3 Bt 34 20 x 3 Bt 5 20 x 3 Bt 8

Page 25: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

6 20 x 1 Bt 37 20 x 3 Bt8 20 x 3 Bt 49 20 x 3 Bt 510 20 x 2 Bt 311 20 x 4 Bt 112 20 x 2 Bt 113 20 x 2 Bt 514 20 x 3 Bt 115 20 x 1 Bt 716 20 x 1 Bt 6

Hasil diatas menunjukkan dari 16 sampel yang terdapat protein kristal. Dari ke 16 sampel ini kelompok 1 (tanah berasal dari….) terdapat 3 sampel,kelompok 2 terdapat 5 sampel,kelompok 3 terdapat 7 sampel,dan kelompok 4 terdapat 1

sampel. (Bahas Knp ????). Hal ini mungkin karena pada tanah tersebut hanya sedikit mengandung Bt, atau adanya kesalahan prosedur pada saat isolasi bakteri dari tanah,dan atau bakteri tersebut tidak mampu tumbuh dengan nutrisi yang diberikan.(((((Dicek lagi berdasarkan referensi yang valid)))))))

Setelah didapatkan Bt, Kemudian dilakukan isolasi protein untuk mengeluarkan protein dari bt. Selanjutnya dilakukan uji Lowry untuk kuantitifikasi protein.Hasilnya sebagai berikutTable 2

Berdasarkan table diatas,terdapat 9 sampel yang positif mengandung proteindan 7 sampel tidak mengandung protein. konsentrasi protein yang paling tinggi adalah pada sampel 9,yakni 25,717 ug/ml.Dan paling rendah –9,87…

(((MENGAPA???). Mengapa nilainya sampai minus seian,hal inni karena

kurangnya kalibrasi pada alat,sehingga angka yang ditunjukan jauh dari keakuratan.seharusnya angka 0 pun sudah menunjukan tidak ada protein yang terkandung. Dikarenakan tidak semua sampel mengandung protein,maka

Hasil Uji lowry 1

Page 26: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

dilakukan pengulangan isolasi protein dan uji lowry yang bertujuan mendapatkan data yang lebih spesifik.Sampel yang digunakan ada 12 sampel. (Lihat table 2)

Tabel 3.Sampel 2 hasil Isolasi Bakteri Bacillus Thuringiensis

No Pengenceran Kelompok Positif1 20 x 3 Bt 42 5 x 3 Bt 63 20 x 3 Bt 74 5 x 3 Bt 85 20 x 2 Bt 16 5 x 1 Bt 67 20 x 4 Bt 88 20 x 2 Bt 39 5 x 3 Bt 710 5 x 4 Bt 411 5 x 4 Bt 212 5 x Bt

Ke 12 sampel diatas merupakan isolat bakteri yang diambil dari isolat bakteri awal yang disimpan di LB miring. Selanjutnya dilakukan isolasi protein dan uji lowry kembali.

Tabel 4

Berdasarkan hasil uji lowry,semua sampel positif mengandung protein. Sampel yang mengandung protei terbesar terdapat pada sampl C,dengan konsentrasi

1122,98 ug/ml. Hal ini menunjukan….((((Mengapa ???? dibahas))))

Setelah diuji lowry,kemudian dilakukan karakterisasiprotein dengan menggunakan elektroforesis SDS Page menggunakan 12% Sparatin gel dan 14% Stacking gel. Kemudian diwarnai dengan menggunakan 0,1 % Coomassie Brilliant Blue,methanol dan 10% asam asetat. Hasilnya tidak terlihat adanya pita pita protein,yang ada hanya marker. Hal ini karena

(((((Mengapa ???????))))))

Hasil Uji lowry 2

Page 27: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

Tidak terbentuknya pita-pita protein pada saat pewarnaan hal ini dimungkinkan pada bakteri Bt sangat sedikit jumlah proteinnya sehingga tidak terbentuk pita-pita atau kemungkinan yang kedua adanya kesalahan dalam pengerjaan elektroforesis.

Gambar 1. Hasil Elektroforesis setelah pewarnaan

Pada saat elektroforesis berlangsung, protein akan bergerak dari

elektroda negatif menuju elektroda positif sampai pada jarak tertentu pada gel

poliakrilamid tergantung pada berat molekulnya. Semakin rendah berat

molekulnya maka semakin jauh pula protein bergerak atau mobilitasnya tinggi.

Sebaliknya protein dengan berat molekul lebih besar akan bergerak pada jarak

yang lebih pendek atau mobilitasnya rendah (Sumitro et al., 1996).

Hasil elektroforesis akan didapatkan pita-pita protein yang

terpisahkan berdasarkan berat molekulnya. Tebal tipisnya pita yang terbentuk

dari pita protein menunjukkan kandungan atau banyaknya protein yang

mempunyai berat molekul yang sama yang berada pada posisi pita yang sama.

Hal ini sejalan dengan prinsip pergerakan molekul bermuatan, yakni molekul

bermuatan dapat bergerak bebas di bawah pengaruh medan listrik, molekul

dengan muatan dan ukuran yang sama akan terakumulasi pada zona atau pita

yang sama atau berdekatan (Sudarmadji, 1996).

Page 28: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

Pembahasan tambahan:

Pertemuan 1

1. Media T3 dimasukkan ke lamari es pada suhu 4 derajat celcius untuk menonaktifkan kerja enzim agar tidak ada bakteri yang tumbuh dan nutrisinya tetap terjaga dan tidak hilang.

2. Dipilihnya buffer fosfat dengan pH 6,8 karena Bt hidup optimal pada pH 6,8. (dicari lagi sumber yang valid). Alasan menggunakan buffer fosfat untuk mempertahankan pH dengan formulasi basa lemah dan asam kuat atau sebaliknya.

3. adanya APS dalam pembuatan stacking gel sebagai penginisiasi.

Pertemuan 2

1. bakteri yg sudah dipilih menggunakan mikroskop, ditaruh di lb miring karena lb miring merupakan tempat penyimpanan yang sangat baik. Lb miring itu bagaikan kasur, dia adalah tempat peristirahatan bagi si bakteri. Jika bakteri ingin diaktifkan lagi agar bersporulasi, maka bisa dipindahkan di medium T3.

Pertemuan 3

1. Fungsi beta-merchaptoetanol untuk mereduksi semua ikatan disulgfida pada protein selain itu beta-merchaptoetanol termasuk zat yang mampu melisiskan dinding sel.

2. Pada saat uji lowry, sebelum di sentrifuse microtube didihkan untuk membantu pelisisan dinding sel.

3. Fungsi dari NaCl adalah untuk melisiskan sel, dan membersihkan dari media yang masih terbawa oleh bakteri.

4. fungsi dari sentrifuge pada suhu dingin untuk mencegah bereaksinya enzim protease yang ada pada bakteri tersebut. Tujuan yang lebih penting adalah untuk memisahkan pelet dengan supernatan dan mempercepat lisis sel. Lalu pada suhu dingin unutk mencegah kerusakan struktur protein karena pengaruh perubahan suhu.

Page 29: LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK LABORATORIUM.docx

DAFTAR PUSTAKA

Dubois, N.R and F.B Lewis. 1981. What is Bacillus thuringiensis. J. Arboricul.

7(9):233-240

biogen.litbang.deptan.go.id.

Dunn, m.J. 1989. Determination of total Protein Concentration. di dalam : Protein

Purification Methods. Harris, E.L.V. dan S. Angal (eds.). IRL Press,

Oxford, England.

Hames BD, Hooper NM. 2000. Biochemistry: The Instant Notess. 2nd edition.

Hongkong: Springger‐Verag.

Imam. 2009. Bacillus thuringiensis, bio insectisida alternatif.

http://thelilacleaf.multiply.com/journal/item/3/Bacillus_thuringiensis_bi

o_insectisida_alternatif?&show_intersitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem.

Diakses pada 26 Desember 2011 pukul 17:00 WIB

Sudarmadji, S., 1996. Teknik Analisa Biokimiawi. Edisi Pertama.Liberty.

Yogyakarta.

Sumitro, S. B, Fatchiyah, Rahayu, Widyarti, dan Arumningtyas. 1996. Kursus

Teknik-Teknik Dasar Analisis Protein dan DNA. Jurusan Biologi

FMIPA Universitas Brawijaya. Malang.

Wilson K. 1994. Protein and enzyme techniques In Practical Biochemistry, (ed.

Wilson K and Walker JM), Cambridge University Press. p.161‐226.