Laporan Jurnal Poliomyelitis

27
PENDAHULUAN Latar Belakang Poliomyelitis merupakan penyakit menular akut yang disebabkan oleh virus, yaitu poliovirus. Virus ini menyerang sistem saraf sehingga menyebabkan kelumpuhan. Penyakit ini bermanifestasi dalam empat bentuk yang berbeda, yaitu infeksi tanpa gejala (inapparent infection) , penyakit gagal (abortive disease), poliomyelitis tanpa kelumpuhan (nonparalytic poliomyelitis), dan penyakit lumpuh (paralytic disease). Sebelum abad ke-19, poliomyelitis terjadi secara sporadic. Selama abad 19 dan 20, epidemi poliomyelitis lebih sering diamati dan memcapai puncak pada pertengahan tahun 1950. Prevalensi infeksi di seluruh dunia menurun secara signifikan sejak saat program imunisasi dilaksanakan secara besar- besaran. Pemberantasan penyakit ini selama decade terakhir adalah prioritas utama untuk WHO (World Health Organization) (Estrada, 2009). Poliomyelitis dapat menyerang semua kelompok umur, namun kelompok umur yang paling rentan adalah umur kurang dari 3 tahun (50-70% dari semua kasus poliomyelitis. Poliomyelitis termasuk kategori Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). program imunisasi telah terbukti efektif untuk menekan angka kesakitan dan kematian (Rahmawati, 2008). Penyakit ini ditemukan pertama kali pada tahun 1840 oleh Jacob Heine, seorang ortopedik berkebangsaan Jerman dimana ia mengidentifikasi berbagai gejala dan gambaran petologi dari

Transcript of Laporan Jurnal Poliomyelitis

Page 1: Laporan Jurnal Poliomyelitis

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Poliomyelitis merupakan penyakit menular akut yang disebabkan oleh virus, yaitu

poliovirus. Virus ini menyerang sistem saraf sehingga menyebabkan kelumpuhan. Penyakit

ini bermanifestasi dalam empat bentuk yang berbeda, yaitu infeksi tanpa gejala (inapparent

infection) , penyakit gagal (abortive disease), poliomyelitis tanpa kelumpuhan (nonparalytic

poliomyelitis), dan penyakit lumpuh (paralytic disease). Sebelum abad ke-19, poliomyelitis

terjadi secara sporadic. Selama abad 19 dan 20, epidemi poliomyelitis lebih sering diamati

dan memcapai puncak pada pertengahan tahun 1950. Prevalensi infeksi di seluruh dunia

menurun secara signifikan sejak saat program imunisasi dilaksanakan secara besar-besaran.

Pemberantasan penyakit ini selama decade terakhir adalah prioritas utama untuk WHO

(World Health Organization) (Estrada, 2009).

Poliomyelitis dapat menyerang semua kelompok umur, namun kelompok umur yang

paling rentan adalah umur kurang dari 3 tahun (50-70% dari semua kasus poliomyelitis.

Poliomyelitis termasuk kategori Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I).

program imunisasi telah terbukti efektif untuk menekan angka kesakitan dan kematian

(Rahmawati, 2008).

Penyakit ini ditemukan pertama kali pada tahun 1840 oleh Jacob Heine, seorang

ortopedik berkebangsaan Jerman dimana ia mengidentifikasi berbagai gejala dan gambaran

petologi dari penyakit ini. Pada tahun 1890, Medin, seorang dokter anak berkebangsaan

Swedia mengemukakan berbagai data epidemiologi penyakit poliomyelitis. Penyakit

poliomyelitis juga disebut penyakit Heine-Medin (Pasaribu, 2005).

Landsteiner dan Popper berhasil memindahkan penyakit ini pada kera melalui cara

inokulasi jaringan sumsum tulang belakang penderita yang meninggal akibat penyakit

Poliomielitis pada tahun 1908. Tahun 1949, Ender, Weller, dan Robbins dapat

menumbuhkan virus ini pada sel-sel yang bukan berasal dari susunan saraf sehingga

memungkinkan ditelitinya pathogenesis dan perkembangbiakan vaksin polio (Pasaribu,

2005).

Pada tahun 1952, Bodian dan Horstmann mengungkapkan bahwa viremia terjadi pada

awal infeksi dimana hal ini diperlukan untuk menerangkan fase sistemik penyakit dan

bagaimana penyebaran virus polio ke susunan saraf pusat. Salk melaporkan keberhasilan

Page 2: Laporan Jurnal Poliomyelitis

imunisasi dengan formalin-inactivated poliovirus pada tahun 1953 dan lisensi vaksi ini

diperoleh pada tahun 1955. Beberapa tahun kemudian Sabin, Koprpwski dan lainnya

mengembangkan vaksin live attenuated poliovirus dan mendapat lisensi pada tahun 1962

(Pasaribu, 2005).

Sejak dipergunakannya vaksin pada tahun 1955 dan 1962, jumlah kasus di negara maju

menurun secara drastic. Di Amerika Serikat, angka kejadian menurun dari 17,6 kasus

Poliomielitis per 100.000 penduduk di tahun 1955 menjadi 0,4 kasus per 100.000 di tahun

1962. Sejak tahun 1972, kejadiannya < 0,01 kasus per 100.000 atau 10 kasus per tahun

(Pasaribu, 2005).

Pada tahun 1992, WHO memperkirakan adanya 140.000 kasus baru dari kelumpuhan

yang diakibatkan oleh poliomyelitis di seluruh dunia, dan keseluruhan penderita anak yang

menderita lumpuh akibat polio diperkirakan 10 sampai 20 juta orang (Rahmawati, 2008).

Untuk menurunkan angka kejadian Poliomielitis, banyak penelitian mengenai terapi

Poliomielitis yang terbaru salah satunya adalah dengan Periacetabular Osteotomy yang akan

dibahas pada journal reading kali ini.

Estrada, Benjamin. 2009. Pediatric Poliomyelitis. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/967950-overview#showall on September 27, 2011.

Pasaribu, Syahril. 2005. Aspek Diagnostik Poliomielitis. Available at:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/2030/1/anak-syahril2.pdf on September 27,

2011.

Rahmawati, Dwi. 2008. Validitas Penapisan AFP Untuk Diagnosis Polio. Available at:

http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/123434-S-5383-Validitas%20Penapisan-

Pendahuluan.pdf on September 27, 2011.

Metode:

Sembilan pasien yang telah mengalami osteotomi periacetabular Bernese diidentifikasi memiliki

kelumpuhan displasa panggul sekunder pada poliomyelitis. Osteotomi periacetabular osteotomi

pada pasien ini telah dilakukan oleh satu dan beberapa peneliti senior lainnya. Penelitian ini

dikombinasikan dengan praktek yang telah dilakukan sebanyak lebih dari 2800 osteotomi

periacetabular. Usia rata-rata pasien pada saat operasi adalah 31 tahun, namun rentang usia untuk

Page 3: Laporan Jurnal Poliomyelitis

dapat melakukan osteotomi ini antara 12 samapi 47 tahun. Semua pasien yang dilakukan

penelitian mengeluhkan nyeri panggul. Kelima diantaranya juga mengeluhkan adanya masalah

dalam hal keseimbangan dan semua pasien akan melakukan tes berjalan untuk menilai seberapa

besar derajat keparahan kelemahan ototnya. Tiga pasien pada penelitian ini sebelunya sudah

melakukan operasi panggul, dua diantaranya menjalani operasi kaki dan enam pasien lainnya

memiliki tambahan prosedur pada saat ostetotomi periacetabular, dengan diantaranya tiga

memiliki proksimal inthertrochanteric femoralis ostetotomy, dua memiliki tambahan prosedur

pada kaki dan satu pasien memiliki ilitolibial band release.

Pada catatan klikik pra operasi yang terakhir, delapan pasien dinilai dengan pemeriksaan fisik

dan radiografi pada pemeriksaan terkahirnya. Satu pasien dihubungi melalui telepon dan

radiografi agar kami dapat melakukan pemeriksaan. Penilaian klinis dilakukan dengan

menggunakan score depalan harris yang dimulai dari panggul. Pengukuran kekuatan otot

dievaluasi menggunakan skala 0-5 seperti yang dijelaskan oleh medical research council.

Anterposterior dan lateral radiografi dievaluasi sebelum dan sesudah osteotomi Bernese

kemudian dievaluasi sudut pusat tepi wiberg acetabular, indeks dari tonus asetabular, dan indeks

ekstruksi. Setiap radiografi uga dinilai untuk apabila terdapat arthritis berdasarkan sistem

klasifikasi yang dijelaskan oleh Tonnis. Menurut sistem ini, kelas pertama menandakan skelrosis

dan caput femoralis dan asetabulum dengan penurunan sedang pada persendian. Kelas kedua

adalah panggul dengan kista kecil atau penurunan moderat pada asetabulum, dan kelas ketiga

panggul dengan pembentukan kista besar, kehilangan persendian, dan lumpuhnya caput

femoralis.

Page 4: Laporan Jurnal Poliomyelitis

Hasil Penelitian:

Osteotomi periasetabular bernese meningkatakan semua parameter radiografi

yang memiliki kaitan dengan dysplasia panggul, dengan peningkatan secara

dramatis dalam indeks ekstruksi, indeks acetabular, dan rata-rata tepi sudut

lateral-pusat. Rata-rata tepi sudut lateral-pusat preoperasi 18,2o dan rata-rata sudut

lateral-pusat postoperasi adalah 32,3o. Rata-rata indeks ekstruksi postoperais

adalah 13,3. Rata-rata indeks acetabular preoperasi adalah 33,3, dan rata-rata

indeks acetabular postperasi 9,2. Semua peningkata telah signifikan (p < 0,005).

Perbaikan dalam penahanan radiografi dikaitkan dengan penurunan tingkat

keparahan nyeri pada semua pasien. Pada sebagian pasien mengalami penurunan

dalam beratnya nyeri, dengan penurunan dalam fungsi. Osteotomi secara tidak

diandalkan meningkatkan fungsi otot abductor, pada dua dari delapan pasien yang

kekuatan otot preoperasinya diketahui memiliki peningkatan kekuatan otot

abductor pada pemeriksaan yangterakhir kali dilakukan. Keseluruhan hasil

keseluruhan yang baik berisi dari skor rata-rata nilai panggul Harris sekitar 53

(preoperasi) menjadi 80 (postoperasi). Krangnya peingkatan fungsi pada beberapa

pasien dikaitkan dengan kombinasi dari kelemahan otot yang persisten mengenai

panggul dan kecacatan yang berhubungan dengan sendi lainnya. Dalam

kebanyakan kasus, berjalan kaki dan menggunakan alat bantu untuk berjalan

sangat tergantung pada ada atau tidaknya kecacatan yang terkait dengan sendi

lain.

Perbaikan dari displasia panggul dan penahanan panggul muncul untuk

memperlambat perkembangan osteoarthritis pada panggul yang telah dipengaruhi.

Empat pasien memiliki kekuatan tonus otot kelas pertama, tiga pasien berada pada

kekuatan otot kelas 0 sampai dengan 1, dan satu pasien memiliki perkembangan

dari kekuatan tonus otot kelas 1 sampai kelas 2 dengan resubluxation kepala

femoral pada pemeriksaan 20 tahun pasca operasi. Pada lima pasien lainnya,

memiliki kekuatan tonus yang sama. Dengan 12 tahun menjalankan osteotomi

periasetabular dijelaskan tidak ada perkembangan pada tonus otot.

Page 5: Laporan Jurnal Poliomyelitis

PEMBAHASAN

DEFINISI

Poliomyelitis adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh poliovirus (PV)

dan menyerang sistem saraf sehingga menyebabkan kelemahan otot yang menetap

dan kelumpuhan. Poliovirus masuk secara peroral dan menginfeksi sel yang

pertama kali ditemuinya. Poliovirus berikatan dengan reseptor mirip-

imunoglobulin/CD155 sehingga mampu memasuki sel dan bereplikasi di

dalamnya. Setelah itu poliovirus diserap ke dalam darah dan terdistribusi ke

seluruh tubuh. Pada 0,1-0,5% kasus, poliovirus menyebar ke jaras saraf dan

menyerang sel saraf motorik medula spinalis, batang otak dan korteks motorik

sehingga menyebabkan paralisis. Berdasarkan lokasi sel saraf yang terinfeksi ada

tiga macam poliomyelitis yaitu:

1. Poliomyelitis spinal

Pada polimyelitis spinal, poliovirus menyerang sel kornu anterior (ventral)

medula spinalis yang berfungsi sebagai jaras motorik sehingga

mengganggu penyampaian sinyal dari sistem saraf pusat ke saraf tepi yang

berhubungan, antara lain saraf yang mengatur pergerakan ekstremitas.

Dengan terputusnya stimulasi saraf, otot akan mengalami atrofi,

kelemahan dan pada akhirnya paralisis. Lokasi dan jenis paralisis yang

terjadi bergantung pada regio medula spinalis yang terserang, apakah

servikal, torakal atau lumbal.

2. Poliomyelitis bulbaris

Pada 2% kasus poliomyelitis, poliovirus menyerang daerah bulbaris pada

otak. Daerah ini merupakan substansia alba yang menghubungkan batang

otak dengan korteks cerebral. Infeksi poliovirus di daerah bulbaris

menyebabkan kelemahan khususnya pada saraf-saraf kranialis.

3. Poliomyelitis bulbospinalis

Page 6: Laporan Jurnal Poliomyelitis

19% kasus poliomyelitis merupakan gabungan dari kedua jenis

poliomyelitis yang sudah disebutkan sebelumnya. Biasanya poliovirus

menyerang daerah atas medula spinalis segmen servikal (C3-C5), sehingga

menyebabkan paralisis gabungan yaitu paralisis nervus frenikus yang

mengatur pernapasan dan paralisis anggota gerak.

Atkinson W, Wolfe S, Hamborsky J, McIntyre L, eds. Epidemiology and

Prevention of Vaccine-Preventable Diseases. 11th ed. Washington DC:

Public Health Foundation; 2009

Bagi penderita yang mengalami tanda klinik paralisis, 30% di antaranya

akan sembuh, 30% mengalami kelumpuhan ringan, 30% mengalami

kelumpuhan berat dan sisanya menimbulkan kematian.

Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso. Mengenal

penyakit polio. [Online]. 2007 Feb 3 [cited 2009 Sept  16]; Available

from: URL:http://www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=153

EPIDEMILOGI

Penyakit ini tersebar di seluruh dunia. Manusia merupakan satu-satunya

reservoir penyakit poliomyelitis. Di Negara yang mempunyai 4 musim, penyakit

ini lebih sering terjadi di musim panas, sedangkan di Negara tropis musim tidak

berpengaruh. Penyebaran penyakit ini terutama melalui fecal-oral walaupun

penyebaran melalui saluran nafas dapat juga terjadi. Pada akhir tahun 1940-an dan

awal tahun 1950-an epidemic poliomyelitis secara teratur ditemukan di Amerika

Serikat dengan 15.000 – 21.000 kasus kelumpuhan setiap tahunnya. Pada tahun

1920, 90% kasus terjadi pada anak < 5 tahun, sedangka di awal tahun 1950-an

kejadian tertinggi adalah pada usia 5 – 9 tahun. Ahkan belakangan ini lebih dari

sepertiga kasus terjadi pada usia > 15 tahun.

Sejak dipergunakannya vaksin pada tahun 1955 dan 1962, secara dramatis

trjadi penurunan jumlah kasus di Negara maju. Di Amerik Serikat angka kejadian

Page 7: Laporan Jurnal Poliomyelitis

turun dari 17,6 kasus poliomyelitis per 100.000 penduduk di tahun 1955 menjadi

0,4 kasus per 100.000 di tahun 1962. Sejak tahun 1972, kejadiannya < 0,01 kasus

per 100.000 ata 10 kasus per tahun.

ETIOLOGI

Virus poliomyelitis ( virus RNA ) termasuk dalam genus enterovirus dan family

picornaviridae, mempunyai 3 strain yaitu tipe 1 ( Brunhide ), tipe 2 ( Lansing )

dan tipe 3 ( Leon ). Infeksi dapat terjadi oleh salah satu atau lebih dari tipe virus

tersebut. Epidemi yang luas dan ganas biasanya disebabkan oleh virus tipe 1.

Imunitas yang diperoleh setelah terinfeksi maupun imunitas bersifat seumur hidup

dari spesifik untuk satu tipe. Penyebaran enterovirus ini melalui makanan atau air

yang terkontaminasi tinja terinfeksi. Infeksi menyebar dari usus halus ke seluruh

tubuh terutama otak dan saraf tulang belakang. Di negara-negara maju sudah

sangat jarang ditemukan kasus baru karena penyebaran vaksinasi secara meluas.

Di negara berkembang penyebaran terjadi karena sumber air terkontaminasi

kotoran manusia.

FAKTOR RESIKO

Dokter menentukan diagnosa polio dari gejalanya. Pemeriksaan dilengkapi

dengan menemukan virus polio dalam sampel feces dan deteksi kadar antibodi

terhadap virus yang tinggi dalam darah. Komplikasi yang paling berat adalah

kelumpuhan permanen. Walaupun kelumpuhan hanya terjadi pada 1 di antara 100

kasus tapi kelemahan pada satu atau beberapa otot sangat sering ditemui. Kadang-

kadang bagian otak yang mengatur pernafasan terkena infeksi sehingga terjadi

kelemahan atau kelumpuhan pada otot-otot dada. Pada beberapa kasus terjadi

komplikasi lanjutan 20 sampai 30 tahun setelah serangan polio. Komplikasi ini

disebut postpoliomyelitis syndrome, berupa kelemahan otot progresif yang

seringkali berakibat kecacatan hebat.

1. Belum mendapatkan imunisasi polio

2. Berpergian ke daerah yang masih sering ditemukan polio

3. Kehamilan

Page 8: Laporan Jurnal Poliomyelitis

4. Usia sangat lanjut atau sangat muda

5. Luka di mulut atau tenggoroka

6. Stress atau kelelahan fisik yang luar biasa ( karena stress emosi da fisik

dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh )

7. Patofisiologi

8. Setelah fase awal pencernaan, virus mengalir ke kelenjar getah bening

leher dan mesenterika hingga tersebar secara hematogen. Virus yang

berada dalam darah merupakan periode viremia. Setelah periode viremia,

virus menjadi agen neurotropik dan menghasilkan kerusakan motor

neuron di kornu anterior serta batang otak. Perusakan neuron motor

menimbulkan keadaan flaccid paralysis, yang dapat terdistribusi melalui

tulang belakang atau bulbar. Hanya 5% dari pasien terinfeksi memiliki

keterlibatan sistem saraf selektif setelah viremia. Hal ini diyakini bahwa

replikasi di situs extraneural mempertahankan viral load dan

meningkatkan kemungkinan bahwa virus akan memasuki sistem saraf.

9. Virus polio memasuki sistem saraf dengan baik melintasi penghalang

darah-otak atau oleh transportasi aksonal dari saraf perifer. Hal ini dapat

menyebabkan infeksi sistem saraf dengan melibatkan gyrus presentral,

talamus, hipotalamus, batang otak motorik inti dan formasi retikular

sekitarnya, inti vestibular dan serebelum, dan neuron-neuron pada

kolumna vertebralis anterion dan intermedia. Sel-sel saraf mengalami

kromatolisis pusat bersama dengan reaksi inflamasi sementara replikasi

virus mendahului timbulnya kelumpuhan. Seiring proses kromatolisis

berjalan, kelumpuhan otot atau bahkan atrofi muncul ketika hanya kurang

dari 10 % neuron yang bertahan pada segmen yang sama terinfeksi.

Gliosis terjadi ketika infiltrat inflammatory telah mereda, namun neuron

yang bertahan hidup menunjukkan pemulihan penuh (Kindberg, Ax C,

Fiore, dkk., 2009; Racaniello, 2006).

10.

Page 9: Laporan Jurnal Poliomyelitis

11. Estrada, Benjamin. 2009. Pediatric Poliomyelitis. Diakses di

http://emedicine.medscape.com/article/967950-overview#a0101. Pada

tanggal 27 September 2011

12. Kindberg E, Ax C, Fiore L, Svensson L. Ala67Thr mutation in the

poliovirus receptor CD155 is a potential risk factor for vaccine and wild-

type paralytic poliomyelitis. J Med Virol. May 2009;81(5):933-6.

13. Racaniello VR. One hundred years of poliovirus pathogenesis. Virology.

Jan 5 2006;344(1):9-16.

Gambaran klinis poliomyelitis

Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 9 – 12 hari, tetapi dapat juga

berlangsung antara 3 – 35 hari dengan gejala yang sangat bervariasi yang secara

garis besar terbagi menjadi 4 yaitu:

1. Infeksi tanpa gejala

Kejadian infeksi asimptomatik ini sulit diketahui, namun diperkirakan 90 –

95% penduduk epidemi mengalami infeksi ini. Penyakit ini dapat diketahui

dengan ditemukannya virus di tinja atau meningkatnya titer antibodi.

2. Infeksi abortif

Kejadian diperkirakan 4 – 8% dari penduduk pada suatu epidemi. Gejala ini

berlangsung 1 – 3 hari yang ditandai dengan:

1) Demam

2) Malaise

3) Nyeri tenggorok

4) Anoreksia

5) Muntah

6) Nyeri otot dan perut

7) Diare

8) Nyeri kepala

3. Poliomyelitis non paralitik

Page 10: Laporan Jurnal Poliomyelitis

Kejadian diperkirakan 1% dari seluruh infeksi. Gejala klinik sama dengan

infeksi abortif yang berlangsung 1 – 2 hari yang kemudian diikuti dengan

penurunan suhu sampai batas normal lalu meningkat kembali dan disertai

dengan:

1) Mual dan muntah berat

2) Nyeri kepala hebat

3) Kernig sign

4) Brudzinky sign

5) Tripod sign

6) Head drop

4. Poliomyelitis paralitik

Keadaan ini ditandai dengan kelemahan satu atau beberapa kumpulan otot

skelet. Kelemahan ini menghilang dalam beberapa hari dan akan timbul lagi

yang disertai dengan paralysis flaccid yang bersifat asimetris. Bagian yang

sering diserang adalah tungkai, namun dapat juga terjadi ileus paralitik dan

pada keadaan yang berat dapat terjadi kelemahan otot pernafasan. Berdasarkan

tingginya lesi pada SSP dapat dibedakan menjadi 4 yaitu:

a. Bentuk spinal

Ditandai dengan kelemahan otot leher, punggung, perut, diafragma,

ekstrimitas, refleks tendon menurun, sensibilitas normal.

b. Bentuk bulbar

Ditandai dengan kelemahan motorik dari satu atau lebih saraf kranial

dengan atau tanpa gangguan pusat vital. Apabila kelemahan terjadi pada

saraf IX, X, da XI dapat mengakibatkan kelumpuhan otot faring dan lidah

yang dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas.

c. Bentuk bulbospinal

Ditandai dengan gejala campuran antara bentuk bulbar dan spinal.

d. Bentuk ensefalitis

Ditandai dengan penururnan kesadaran, tremor dan kejang.

Page 11: Laporan Jurnal Poliomyelitis

Diagnosis

Diagnosis polio dibuat berdasarkan(4) :

1.        Pemeriksaan virology dengan cara membiakkan virus polio, baik liar

maupun virus vaksin. Selain tatacara laboratorik yang ketat dan standar (dengan

kultur sel jaringan), kualitas specimen sangat mempengaruhi hasil pemeriksaan.

Specimen yang kering, tidak dingin, terkontaminasi atau pengambilan sampel

setelah 2 minggu setelah lumpuh memberikan hasil biakan negative palsu.

Lumpuh layuh juga dapat disebabkan oleh infeksi dengan enterovirus 71 atau

Coxsackie A& atau non-polio-enterovirus yang lain. Selain biakan, identifikasi

antigen dilakukan dengan pemeriksaan probe atau sequencing.

2.        Pengamatan gejala dan perjalanan klinik. Banyak sekasli kasus yang

menunjukkan gejala lumpuh layuh yang termasuk dalam acute flaccid paralysis.

Pemeriksaan yang teliti dan pengamatan lanjutan yang sangat membantu. Kasus

klinik mirip polio (polio-compatibel) adalah kasus yang setelah 60 hari masih

mempunyai paralisis residual tanpa informasi medic yang jelas, atau penderita

meninggal. Sensitifitas menjadi 64% dan spesifitas 82% apabila kita

menggunakan variable gabungan dengan menambahkan variable umur di bawah 6

tahun, adanya panas pada permulaan sakit, perubahan paralisis yang cepat

menjadi maksimal (dalam waktu 4 hari). Cara lain adalah menambahkan variable

lain misalnya penambahan pola neurologikyang dianggap khas seperti

Page 12: Laporan Jurnal Poliomyelitis

kelumpuhan proksimal, unilateral, tidak adanya gangguan sensori. Pada akhir

program eradikasi sensitivitas diperlebar dengan memasukkan border-line cases,

yaitu semua penderita yang lumpuh layuh akut.

3.        Pemeriksaan khusus. Pemeriksaan hantaran saraf dan elektromiografi dapat

merujuk secara lebih tepat letak kerusakan saraf secara anatomic. Cara ini akan

dapat memisahkan kerusakan motor neuron dengan kelainan lain akibat

demyelinasi pada saraf tepi, sehingga dapat mempermudah membedakan polio

dengan kelainan kerusakan lower motor neuron lain, misalnya Guillain-Barre

syndrome. Pemeriksaan lain seperti pemeriksaan MRI dapat menunjukkan

kerusakan di daerah kolumna anterior, sedangkan pemeriksaan likuor memberikan

gambaran sel dan bahan kimia (kadar gula dan protein) yang sangat penting untuk

menentukan kerusakan yang terjadi pada sel motor neuron.

4.        Pemeriksaan adanya gejala sisa neurologic (residual  paralysis).

Pemeriksaan ini dilakukan 60 hari setelah kelumpuhan, untuk mencari deficit

neurologic, misalnya mencari kelumpuhan partial atau kelemahan otot pada satu

atau sekelompok otot. Pemeriksaan sebaiknya tepat waktu (jangan diundur),

karena kelemahan ini bias menghilang akibat adanya kompensasi oleh otot lain

atau perbaikan dari sisa otot yang masih baik. Bilamana ada keraguan sebaiknya

dilanjutkan dengan pemeriksaan elektrodiagnostik. 

Pemeriksaan Penunjang

A. Darah Tepi Perifer

Tidak ada pemeriksaan yang spesifik untuk diagnosis poliomeilitis pada gejala

awal, sama seperti virus lainnya. Pemeriksaan darah perifer mungkin dalam batas

normal atau terjadi leukositosis pada fase akut mayor illness yaitu 10.000-

30.000/µl dengan predominan PMN.(4)

B. Cairan Serebrospinal

Page 13: Laporan Jurnal Poliomyelitis

Pada 90% kasus mayor illness, terjadi peningkatan jumlah sel bervariasi 20-300

sel/µl, pada umumnya dalan 72 jam pertama terjadi dominasi PMN, selanjutnya

dominasi limfosit dan jumlah sel menurun pada minggu ke-2 menjadi 10-15/µl.

terdapat penurunan kadar gula likuor dan peninggian kadar protein 30-200mg/dl

pada minggu ke-2, dan kembali normal dalam sebulan.(4)

C. Pemeriksaan Serologik

Diagnosis poliomeilitis ditegakkan berdasarkan peninggian titer antibody 4x atau

lebih antara fase akut dan konvalesens, yaitu dengan cara pemeriksaan uji

netralisasi dan uji fiksasi komplemen. Karena complement fixing antibody

mempunyai waktu yang lebih pendek dibandingkan filter netralisasi, dan lebih

kuat maka dapat ditentukan adanya infeksi polio baru bial terdapat peninggian tes

fiksasi komplemen. Sangat membantu bila wabah disebabkan oleh type tertentu

atau oleh NPE yang lain.(4)

D. Isolasi Virus

Penderita mulai mengeluarkan virus ke dalam tinja saat sebelum fase paralitik

terjadi. Pada isolasi feses yang diambil 10 hari dari awitan dari gejala neurologic,

80-90% positif untuk virus polio, oleh karena itu ekskresi terjadi intermiten maka

yang sebainya diambil 2 atau lebih specimen dalam beberapa hari. Ekskresi dari

faring dan cairan serebrospinal jarang menghsilkan virus dan mempengaruhi cara

vaksinasi

S, Poorwo Soedarmo, Buku Ajar Infeksi & Pedatri Tropis, Bagian Ilmu Kesehatan

Anak FK UI, Jakarta, 2002.

Komplikasi poliomyelitis:

Kelemahan otot:

Otot-otot tubuh terserang paling akhir

Refleks tendon menurun atau tidak ada sama sekali

Page 14: Laporan Jurnal Poliomyelitis

Atrofi otot mulai terlihat 3-5 minggu setelah paralisis, dan menjadi

lengkap setelah 12-15 minggu serta bersifat permanen.

Gangguan fungsi otonom sesaat, biasanya ditandai retensi urin

Gangguan saraf kranial III, IX, dan X. Bila mengenai formasio retikularis

dibatang otak, maka terdapat gangguan pernafasan, menelan dan sistem

kardiovaskuler.

Sindrom pascafolio

Prognosis poliomyelitis

Prognosis tergantung derajat penyakitnya. Pada polio ringan dan sedang,

kebanyakan pasien sembuh sempurna dalam jangka waktu singkat. Penderita

polio spinal 50% akan sembuh sempurna, 25% mengalami disabilitas ringan, 25%

disabilitas serius dan permanen. Sebanyak 1% penderita polio berat akan

mengalami kematian.

dr. George Dewanto, SpS, dr. Wita J. Suwono, SpS, dr. Budi Riyanto,

SpS, & dr. Yuda Turana, SpS. 2003. Panduan Praktis Diagnosis dan tata

Laksana Penyakit Saraf. Jakarta : EGC

Terapi lama Poliomyelitis

Polio tidak dapat disembuhkan dan obat anti-virus tidak mempengaruhi perjalanan

penyakit ini. Terapi poliomyelitis tak ada yang spesifik, tetapi tergantung penyulit

yang terjadi. Inhibisi metabolik untuk mencegah serangan virus ke susunan saraf

yang dilakukan in-vitro tidak dapatdikerjakan pada manusia. Pemberian

immunoglobulin mungkin dapat mencegah penyebaran hematogen ke susunan

saraf, tetapi bila fase paralitik telah terjadi, sudah terlambat. Selain fisioterapi dan

ortopedi perlu diperhatikan fungsi yang lain. Manajemen pengobatan suportif

yang baik (respirasi buatan pada anak) gangguan respirasi atau

kardiovaskuler.Jika otot-otot pernafasan menjadi lemah, bisa digunakan

ventilator.

Page 15: Laporan Jurnal Poliomyelitis

Tujuan utama pengobatan adalah mengontrol gejala sewaktu infeksi berlangsung.

Perlengkapan medis vital untuk menyelamatkan nyawa, teruatma membantu

pernafasan mungkin diperlukan pada kasus yang parah. Jika terjadi infeksi saluran

kemih, diberikan antibiotik. Untuk mengurangi sakit kepala, nyeri dan kejang

otot, bisa diberikan obat pereda nyeri. Kejang dan nyeri otot juga bisa dikurangi

dengan kompres hangat. Untuk memaksimalkan pemulihan kekuatan dan fungsi

otot mungkin perlu dilakukan terapi fisik, pemakaian sepatu korektif atau

penyangga maupun pembedahan ortopedik.

A. Fase Pre-paralitik

Selama epidemik polio semua penderita dengan gejala sistemik yang tak spesifik

harus diperhatikan kemungkinan terjadi paralisis. Tirah baring merupakan

pengobatan yang penting untuk menjaga terjadinya footdrop, bila anak tampak

gelisah dapat diberikan sedative ringan seperti diazepam, pada otot yang sakit

diberikan kompres buli-buli panas, dan dapat diberikan antipiretik bila

demam.Selain itu juga dianjurkan untuk diet tinggi kalori tinggi protein.

B. Fase Paralitik

Selama fase akut dapat diberi analgetik non narkotik, misalnya aspirin atau

acetaminophen. Rasa nyeri pada otot dikurangi dengan mengurangi manipulasidan

untuk menghindari terjadinya regangan pada otot diberikan splint. Perlu dilakukan

gerakan pasif pada otot secara halus. Dianjurkan fisioterapi dimulai pada masa

konvalesens untuk mencegah kontraktur. Pemberian cairan suplemen bila per-oral

kurang dan pemberian enema bila obstipasi. Setelah fase akut lewat, mulai

dilakukan fisioterapi aktif. Konsultasi ortopedi dapat dilakukan segera tetapi

operasi, biasanya dilakukan 1-2 tahun setelah awitan. Braces mungkin dapat

dipakai untuk mengkompensasi kelemahan otot.

Page 16: Laporan Jurnal Poliomyelitis

Referensi :

Soedarmo,Sumarmo S. Poorwo et al.2002. Buku Ajar Infeksi & Pedatri Tropis,

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Ed.1. Jakarta : FK UI

Terapi baru

Periacetabular Osteotomi

Teknik pembedahan

Page 17: Laporan Jurnal Poliomyelitis

Teknik Bernese periacetabular osteotomy pertama kali dijelaskan pada 1987 dan

mulai berevolusi dengan sedikit perubahan. Dokter menggunakan pendekatan

Smith-Petersen dimodifikasi ke pinggul, yang memungkinkan perlindungan kulit

saraf femoralis lateralis. Osteotomy dari spina iliaka anterior superior dengan

tendon dan ligamen inguinal sartorius terpasang dilakukan untuk mengurangi

ketegangan pada saraf kutaneus lateralis femoralis. Untuk dua pasien yang

dioperasi sebelum tahun 1993, asal-usul fasciae latae tensor dan gluteus medius

dan otot paling bungsu dibebaskan dari panggul, namun, setelah 1993, osteotomy

yang dilakukan melalui pendekatan yang tetap teknik saat ini disukai. Kedua otot

rektus femoris terlepas dari asal-usul dan tercermin medial. Serat dari otot m.

iliakus, yang melekat pada kapsul anterior pinggul, yang dibedah sampai pectineal

bursa divisualisasikan dan tendon m. psoas itu terkena. Para osteotomies

dilakukan di Eropa oleh salah satu dari kami (RG) dilakukan tanpa bimbingan

fluoroscopic, tetapi anatomi dan tanda didefinisikan dengan baik. Kolom

posterior panggul itu tetap utuh, dan fragmen acetabular lateral, anterior, dan

medial yang diperlukan untuk diputar mencapai optimal penahanan kepala

femoral. sebuah intraoperatif radiografi panggul dibuat untuk memverifikasi

posisi yang memadaifragmen acetabular.

Perbaikan dalam penahanan radiografi dikaitkan dengan penurunan dalam

keparahan nyeri pada semua pasien. Semua pasien mengalami penurunan dalam

beratnya nyeri, dengan peningkatan kurang dalam fungsi. osteotomy yang tidak

andal meningkatkan fungsi otot, seperti yang hanya dua dari delapan otot pasien

yang sebelum operasi Kekuatan dikenal perbaikan telah di otot kekuatan di saat

terakhir tindak lanjut. keseluruhan baik hasil klinis yang diperoleh keseluruhan

baik, dengan peningkatan yang signifikandari skor rata-rata dari pinggul Harris

preoperasi 53 (kisaran, 43-70) sampai 80 pasca operasi (kisaran, 72-93, p <0,001).

Kurangnya peningkatan fungsi pada beberapa pasien adalah dikaitkan dengan

kombinasi dari kelemahan otot yang persisten tentang pinggul dan kecacatan yang

berhubungan dengan sendi lainnya. dalam kebanyakan kasus, berjalan kaki dan

menggunakan alat bantu cara berjalan sangat tergantung pada kehadiran atau tidak

adanya kecacatan yang terkait dengan sendi lainnya.

Page 18: Laporan Jurnal Poliomyelitis

Pencegahan poliomyelitis

1. Imunisasi pada usia balita yang terdiri dari 2 jenis vaksin yaitu OPV dan IPV.

Pemberian OPV dilakukan pada saat bayi berusia 6 minggu, 2 dosis

selanjutnya diberikan dengan interval minimal 4 minggu, pada daerah endemi

pemberian vaksin dapat dimulai saat bayi lahir.

2. Survailance accute flaccid paralysis atau penemuan penderita yang dicurigai

lumpuh layuh pada usia di bawah 15 tahun. Mereka harus diperiksa tinjanya

untuk memastikan karena polio atau bukan.

3. Melakukan mopping-up. Yakni, pemberian vaksinasi massal di daerah yang

ditemukan penderita polio terhadap anak usia di bawah lima tahun tanpa

melihat status imunisasi polio sebelumnya.

4. Menjauhi daeran endemi. (Pasaribu, 2005)

Pasaribu, Syahril. 2005. Aspek Diagnostik Poliomyelitis. Diakses pada tanggal 27

September 2011 dari http:www.usu.ac.id