Laporan DTK Farmako
description
Transcript of Laporan DTK Farmako
LAPORAN HASIL DISKUSI
MODUL PENGINDERAAN
PEMICU FARMAKOLOGI
KELOMPOK DISKUSI 1
1. Ali Mustagi I11108021
2. Arifna Fitriyanti I11111005
3. Magdalena Corry MC I11111026
4. Dede Achmad Basofi I11112011
5. Qurratul Aini I11112021
6. Karolus Sangapta K. I11112026
7. Chandra I11112028
8. Chelsia I11112037
9. Rosalina Oktaviana I11112054
10. Syf. Rizka Maulida I11112059
11. Yehuda Lutfi Wibowo I11112066
12. Anatria Amyra I. I11112078
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2015
1
A. Pemicu
Seorang laki-laki berumur 58 tahun datang dengan keluhan pusing disertai
dengan pandangan berputar. Mual ada, muntah ada, batuk tidak ada, sesak tidak
ada, diare tidak ada, kelemahan lengan dan tungkai ada. Kelemahan lengan dan
tungki dirasakan sejak 12 jam yang lalu. Pusing disertai dengan pandangan
berputar dirasakan sejak 2 hari yang lalu.
Status generalis: Tekanan darah 200/100 mmHg. Heart Rate 108x/menit.
Suhu 37O C. Respiratory Rate 24x/menit.
Kepala: Konjungtiva palpebra pucat (-), sklera ikterik (-), leher JVP 5-2
cmH2O, thoraks pulmo vesikular normal, bronkhi (-), wheezing (-), kor mur-mur
positif (mur-mur sistolik di katup aorta), ghallop negatif. Abdomen datar, lemas,
nyeri tekan (+) regio epigastrium. Hepar dan lien tidak teraba, asites (-),
ekstremitas edema (-).
Status neurologikus: Kekuatan otot 55
/ 33
. Refleks fisiologis lengan dan
tungkai kanan normal. Refleks fisiologis lengan dan tungkai kiri meningkat.
Refleks patologis: Babinsky dan Chaddock positif di tungkai kiri. Nervi craniales:
parese N. VII dan N. XII sinistra.
Laboratorium: LDL 300 mg/dL. Trigliserida 400 mg/dL. GDS 400 mg/dL.
SGPT dan SGOT normal. Ureum 80 mg/dL. Kreatinin 2 mg/dL Trombosit
493.000 sel/mm3. Fibrinogen 473.000. Asam urat 9 mg/dL.
Pertanyaan
1. Bagaimana tatalaksana vertigo pada kasus ini?
2. Bila pasien tersebut di atas tidak mengalami kelemahan lengan dan tungkai,
apa sja tatalaksana dari vertigo tersebut?
3. Berikan alasan yang logis dan rasional terhadap terapi yang saudara berikan
pada pasien tersebut.
2
B. Pembahasan Teori
1. Vertigo
a. Definisi
Vertigo berasal dari istilah latin, yaitu vertere yang berarti berputar, dan
igo yang berarti kondisi. Vertigo merupakan subtipe dari “dizziness” yang
secara defi nitif merupakan ilusi gerakan, dan yang paling sering adalah
perasaan atau sensasi tubuh yang berputar terhadap lingkungan atau
sebaliknya, lingkungan sekitar kita rasakan berputar. Vertigo juga dirasakan
sebagai suatu perpindahan linear ataupun miring, tetapi gejala seperti ini lebih
jarang dirasakan.1
b. Epidemiologi
Dari keempat subtipe dizziness, vertigo terjadi pada sekitar 32% kasus,
dan sampai dengan 56,4% pada populasi orang tua. Sementara itu, angka
kejadian vertigo pada anak-anak tidak diketahui,tetapi dari studi yang lebih
baru pada populasi anak sekolah di Skotlandia, dilaporkan sekitar 15% anak
paling tidak pernah merasakan sekali serangan pusing dalam periode satu
tahun. Sebagian besar (hampir 50%) diketahui sebagai “paroxysmal vertigo”
yang disertai dengan gejala-gejala migren (pucat, mual, fonofobia, dan
fotofobia).2
c. Etiologi
Vertigo merupakan suatu gejala, sederet penyebabnya antara lain akibat
kecelakaan,stres, gangguan pada telinga bagian dalam, obat-obatan, terlalu
sedikit atau banyak aliran darah ke otak dan lain-lain. Tubuh merasakan posisi
dan mengendalikan keseimbangan melalui organ keseimbangan yang terdapat
di telinga bagian dalam. Organ ini memiliki saraf yang berhubungan dengan
area tertentu di otak. Vertigo bisa disebabkan oleh kelainan di dalam telinga,
3
di dalam saraf yang menghubungkan telinga dengan otak dan di dalam
otaknya sendiri.3
Keseimbangan dikendalikan oleh otak kecil yang mendapat informasi
tentang posisi tubuh dari organ keseimbangan di telinga tengah dan mata.
Penyebab umum dari vertigo:4
1. Keadaan lingkungan : mabuk darat, mabuk laut.
2. Obat-obatan : alkohol, gentamisin.
3. Kelainan telinga : endapan kalsium pada salah satu kanalis semisirkularis
di dalam telinga bagian dalam yang menyebabkan benign paroxysmal
positional
4. Infeksi telinga bagian dalam karena bakteri, labirintis, penyakit maniere,
5. Peradangan saraf vestibuler, herpes zoster.
6. Kelainan Neurologis : Tumor otak, tumor yang menekan saraf
vestibularis, sklerosis multipel, dan patah tulang otak yang disertai cedera
pada labirin, persyarafannya atau keduanya.
7. Kelainan sirkularis : Gangguan fungsi otak sementara karena
berkurangnya aliran darah ke salah satu bagian otak ( transient ischemic
attack ) pada arteri vertebral dan arteri basiler.
Penyebab vertigo dapat berasal dari perifer yaitu dari organ vestibuler
sampai ke inti nervus VIII sedangkan kelainan sentral dari inti nervus VIII
sampai ke korteks.
Berbagai penyakit atau kelainan dapat menyebabkan vertigo. Penyebab
vertigo serta lokasi lesi:5
a. Labirin, telinga dalam
- vertigo posisional paroksisimal benigna
- pasca trauma
- penyakit menierre
- labirinitis (viral, bakteri)
4
- toksik (misalnya oleh aminoglikosid, streptomisin, gentamisin)
- oklusi peredaran darah di labirin
- fistula labirin
b. Saraf otak ke VIII
- neuritis iskemik (misalnya pada DM)
- infeksi, inflamasi (misalnya pada sifilis, herpes zoster)
- neuritis vestibular
- neuroma akustikus
- tumor lain di sudut serebelo-pontin
c. Telinga luar dan tengah
- Otitis media
- Tumor
d. Sentral
Supratentorial
- Trauma
- Epilepsi
Infratentorial
- Insufisiensi vertebrobasiler
e. Obat
Beberapa obat ototoksik dapat menyebabkan vertigo yang disertai
tinitus dan hilangnya pendengaran. Obat-obat itu antara lain
aminoglikosid, diuretik loop, antiinflamasi nonsteroid, derivat kina atau
antineoplasitik yang mengandung platina. Streptomisin lebih bersifat
vestibulotoksik, demikian juga gentamisin; sedangkan kanamisin,
amikasin dan netilmisin lebih bersifat ototoksik. Antimikroba lain yang
dikaitkan dengan gejala vestibuler antara lain sulfonamid, asam
nalidiksat, metronidaziol dan minosiklin. Terapi berupa penghentian
obat bersangkutan dan terapi fisik, penggunaan obat supresan vestibuler
5
tidak dianjurkan karena jusrtru menghambat pemulihan fungsi
vestibluer. Obat penyekat alfa adrenergik, vasodilator dan antiparkinson
dapat menimbulkan keluhan rasa melayang yang dapat dikacaukan
dengan vertigo
d. Patogenesis
Vertigo timbul jika terdapat gangguan alat keseimbangan tubuh yang
mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh (informasi aferen) yang
sebenarnya dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat (pusat
kesadaran). Susunan aferen yang terpenting dalam sistem ini adalah susunan
vestibuler atau keseimbangan, yang secara terus menerus menyampaikan
impulsnya ke pusat keseimbangan. Susunan lain yang berperan ialah sistem
optik dan pro-prioseptik, jaras-jaras yang menghubungkan nuklei vestibularis
dengan nuklei N. III, IV dan VI, susunan vestibuloretikularis, dan
vestibulospinalis. Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan
ditangkap oleh reseptor vestibuler, visual, dan proprioseptik; reseptor
vestibuler memberikan kontribusi paling besar, yaitu lebih dari 50 % disusul
kemudian reseptor visual dan yang paling kecil kontribusinya adalah
proprioseptik.6
Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat integrasi
alat keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual dan
proprioseptik kanan dan kiri akan diperbandingkan, jika semuanya dalam
keadaan sinkron dan wajar, akan diproses lebih lanjut. Respons yang muncul
berupa penyesuaian otot-otot mata dan penggerak tubuh dalam keadaan
bergerak. Di samping itu orang menyadari posisi kepala dan tubuhnya
terhadap lingkungan sekitar. Jika fungsi alat keseimbangan tubuh di perifer
atau sentral dalam kondisi tidak normal/ tidak fisiologis, atau ada rangsang
gerakan yang aneh atau berlebihan, maka proses pengolahan informasi akan
terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala otonom. Di samping
6
itu, respons penyesuaian otot menjadi tidak adekuat sehingga muncul gerakan
abnormal yang dapat berupa nistagmus, unsteadiness, ataksia saat berdiri/
berjalan dan gejala lainnya.7
e. Gejala Klinis
Vertigo merupakan salah satu bentuk keluhan disines.
Gambaran pada vertigo perifer dan sentral.8
GAMBARAN VERTIGO PERIFER VERTIGO SENTRAL
KLINIK:
Onset Mendadak Insidious
Pola Paroksismal Kontinu, kadang paroksismal
Intensitas Hebat Ringan
Nausea dan muntah Sering Jarang
Tinnitus Sering Jarang
Jatuh pada tes RombergKe sisi lesi, menjauhi
komponen cepat nistagmus
Ke sisi lesi, menuju
komponen cepat nistagmus
Tes Kalori Non reaktif Normal
NISTAGMUS:
Tipe Horizontal/ rotatorik Horizontal/ rotatorik/vertical
Arah komponen cepatArah tetap pada setiap
gerakanArah bervariasi
TES NYLEN B.:
Latensi 3-45 detik Tidak ada
KelelahanAda, makin lemah bila
diulangTidak ada
Fiksasai visual Menghambat vertigo Tidak ada perubahan
Arah nistagmus Tetap Independen
Pengulangan Tidak konsisten konsisten
7
Gejala penyerta vertigo:
No. Vertigo Perifer Vertigo Sentral
1 Pandangan gelap Penglihatan ganda
2 Rasa lelah dan stamina menurun Sukar menelan
3 Jantung berdebar Kelumpuhan otot-otot wajah
4 Hilang keseimbangan Sakit kepala yang parah
5 Tidak mampu berkonsentrasi Kesadaran terganggu
6 Perasaan seperti mabuk Tidak mampu berkata-kata
7 Otot terasa sakit Hilang koordinasi
8 Mual dan muntah-muntah Mual dan muntah-muntah
9 Memori dan daya piker menurun Tubuh terasa lemah
10 Sensitif terhadap cahaya terang dan
suara
11 Berkeringat
Perbedaan Durasi gejala untuk berbagai Penyebab verigo9
Durasi episode Kemungkinan Diagnosis
Beberapa detik
Detik sampai menit
Beberapa menit
sampai satu jam
Beberapa jam
Peripheral cause: unilateral loss of vestibular
function; late stages of acute vestibular
neuronitis
Benign paroxysmal positional vertigo;
perilymphatic fistula
Posterior transient ischemic attack;
perilymphatic fistula
Ménière’s disease; perilymphatic fistula from
8
Beberapa hari
Beberapa minggu
trauma or surgery; migraine; acoustic neuroma
Early acute vestibular neuronitis*; stroke;
migraine; multiple sclerosis
Psychogenic
f. Pemeriksaan Fisik10
1. Permeriksaan Neurologis
a. Uji Romberg
Pasien berdiri, tangan dilipat di dada, mata ditutup, dapat
dipertajam (Sharp Romberg) dengan memposisikan kaki tandem depan
belakang, lengan dilipat di dada, mata tertutup. Pada orang normal
dapat berdiri lebih dari 30 detik.
b. Tandem Gait
Penderita berjalan lurus dengan tumit kaki kiri/kanan diletakkan
pada ujung jari kaki kanan/kiri ganti berganti. Pada kelainan vestibuler
perjalanannya akan menyimpang, dan pada kelainan serebeler
penderita akan cenderung jatuh.
c. Uji Unterberger.
Berdiri dengan kedua lengan lurus horisontal ke depan dan jalan di
tempat dengan mengangkat lutut setinggi mungkin selama satu menit.
Pada kelainan vestibuler posisi penderita akan menyimpang/berputar
ke arah lesi dengan gerakan seperti orang melempar cakram; kepala
dan badan berputar ke arah lesi, kedua lengan bergerak ke arah lesi
dengan lengan pada sisi lesi turun dan yang lainnya naik. Keadaan ini
disertai nistagmus dengan fase lambat ke arah lesi.
9
2. Pemeriksaan Khusus Oto-Neurologis
a. Uji Dix Hallpike
Dari posisi duduk di atas tempat tidur, penderita dibaring-kan ke
belakang dengan cepat, sehingga kepalanya meng-gantung 45º di
bawah garis horisontal, kemudian kepalanya dimiringkan 45º ke kanan
lalu ke kiri. Perhatikan saat timbul dan hilangnya vertigo dan
nistagmus, dengan uji ini dapat dibedakan apakah lesinya perifer atau
sentral.
Perifer (benign positional vertigo): vertigo dan nistagmus timbul
setelah periode laten 2-10 detik, hilang dalam waktu kurang dari 1
menit, akan berkurang atau menghilang bila tes diulang-ulang
beberapa kali (fatigue).
Sentral: tidak ada periode laten, nistagmus dan vertigo ber-
langsung lebih dari 1 menit, bila diulang-ulang reaksi tetap seperti
semula (non-fatigue).
Perhatikan adanya nistagmus; lakukan uji ini ke kanan dan kiri
Kepala putar ke samping
10
Secara cepat gerakkan pasien ke belakang (dari posisi duduk ke
posisi terlentang)
Kepala harus menggantung ke bawah dari meja periksa
3. Tes Kalori
Penderita berbaring dengan kepala fleksi 30º, sehingga kanalis
semisirkularis lateralis dalam posisi vertikal. Kedua telinga diirigasi
bergantian dengan air dingin (30ºC) dan air hangat (44ºC) masing-masing
selama 40 detik dan jarak setiap irigasi 5 menit. Nistagmus yang timbul
dihitung lamanya sejak permulaan irigasi sampai hilangnya nistagmus
tersebut (normal 90-150 detik).
Dengan tes ini dapat ditentukan adanya canal paresis atau directional
preponderance ke kiri atau ke kanan.Canal paresis ialah jika abnormalitas
11
ditemukan di satu telinga, baik setelah rangsang air hangat maupun air
dingin, sedangkan directional preponderance ialah jika abnormalitas
ditemukan pada arah nistagmus yang sama di masing-masing telinga.
Canal paresis menunjukkan lesi perifer di labirin atau n. VIII,
sedangkan directional preponderance menunjukkan lesi sentral.
a. Pemeriksaan laboratorium rutin atas darah dan urin, dan
pemeriksaan lain sesuai indikasi.
b. Foto Rontgen tengkorak, leher, Stenvers (pada neurinoma akustik).
c. Neurofisiologi: Elektroensefalografi(EEG), Elektromiografi
(EMG), Brainstem Auditory Evoked Pontential (BAEP).
d. Pencitraan: CT Scan, Arteriografi, Magnetic Resonance Imaging
(MRI).
g. Tatalaksana
1. Medikasi10
Karena penyebab vertigo beragam, sementara penderita seringkali
merasa sangat terganggu dengan keluhan vertigo tersebut, seringkali
menggunakan pengobatan simptomatik. Lamanya pengobatan bervariasi.
Sebagian besar kasus terapi dapat dihentikan setelah beberapa minggu.
Beberapa golongan yang sering digunakan :
a. Antihistamin
Tidak semua obat antihistamin mempunyai sifat anti vertigo.
Antihistamin yang dapat meredakan vertigo seperti obat
dimenhidrinat, difenhidramin, meksilin, siklisin. Antihistamin yang
mempunyai anti vertigo juga memiliki aktivitas anti-kholinergik di
susunan saraf pusat. Mungkin sifat anti-kholinergik ini ada kaitannya
dengan kemampuannya sebagai obat antivertigo. Efek samping yang
umum dijumpai ialah sedasi (mengantuk). Pada penderita vertigo yang
berat efek samping ini memberikan dampak yang positif
12
- Betahistin
Senyawa Betahistin (suatu analog histamin) yang dapat
meningkatkan sirkulasi di telinga dalam, dapat diberikan untuk
mengatasi gejala vertigo. Efek samping Betahistin ialah gangguan di
lambung, rasa enek, dan sesekali “rash” di kulit.
Betahistin Mesylate (Merislon)
Dengan dosis 6 mg (1 tablet) – 12 mg, 3 kali sehari per oral.
Betahistin di Hcl (Betaserc)
Dengan dosis 8 mg (1 tablet), 3 kali sehari. Maksimum 6 tablet
dibagi dalam beberapa dosis.
- Dimenhidrinat (Dramamine)
Lama kerja obat ini ialah 4 – 6 jam. Dapat diberi per oral atau
parenteral (suntikan intramuscular dan intravena). Dapat diberikan
dengan dosis 25 mg – 50 mg (1 tablet), 4 kali sehari. Efek samping
ialah mengantuk.
- Difhenhidramin Hcl (Benadryl)
Lama aktivitas obat ini ialah 4 – 6 jam, diberikan dengan dosis 25
mg (1 kapsul) – 50 mg, 4 kali sehari per oral. Obat ini dapat juga
diberikan parenteral. Efek samping mengantuk.
b. Antagonis Kalsium
Dapat juga berkhasiat dalam mengobati vertigo. Obat antagonis
kalsium Cinnarizine (Stugeron) dan Flunarizine (Sibelium) sering
digunakan. Merupakan obat supresan vestibular karena sel rambut
vestibular mengandung banyak terowongan kalsium. Namun,
antagonis kalsium sering mempunyai khasiat lain seperti anti
kholinergik dan antihistamin. Sampai dimana sifat yang lain ini
berperan dalam mengatasi vertigo belum diketahui.
- Cinnarizine (Stugerone)
13
Mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular. Dapat mengurangi
respons terhadap akselerasi angular dan linier. Dosis biasanya ialah
15 – 30 mg, 3 kali sehari atau 1 x 75 mg sehari. Efek samping ialah
rasa mengantuk (sedasi), rasa cape, diare atau konstipasi, mulut rasa
kering dan “rash” di kulit.
c. Fenotiazine
Kelompok obat ini banyak mempunyai sifat anti emetik (anti
muntah). Namun tidak semua mempunyai sifat anti vertigo.
Khlorpromazine (Largactil) dan Prokhlorperazine (Stemetil) sangat
efektif untuk nausea yang diakibatkan oleh bahan kimiawi namun
kurang berkhasiat terhadap vertigo.
- Promethazine (Phenergan)
Merupakan golongan Fenotiazine yang paling efektif mengobati
vertigo. Lama aktivitas obat ini ialah 4 – 6 jam. Diberikan dengan
dosis 12,5 mg – 25 mg (1 draze), 4 kali sehari per oral atau
parenteral (suntikan intramuscular atau intravena). Efek samping
yang sering dijumpai ialah sedasi (mengantuk), sedangkan efek
samping ekstrapiramidal lebih sedikit disbanding obat Fenotiazine
lainnya.
- Khlorpromazine (Largactil)
Dapat diberikan pada penderita dengan serangan vertigo yang berat
dan akut. Obat ini dapat diberikan per oral atau parenteral (suntikan
intramuscular atau intravena). Dosis yang lazim ialah 25 mg (1
tablet) – 50 mg, 3 – 4 kali sehari. Efek samping ialah sedasi
(mengantuk).
d. Obat Simpatomimetik
Obat simpatomimetik dapat juga menekan vertigo. Salah satunya
obat simpatomimetik yang dapat digunakan untuk menekan vertigo
ialah efedrin.
14
- Efedrin
Lama aktivitas ialah 4 – 6 jam. Dosis dapat diberikan 10 -25 mg, 4
kali sehari. Khasiat obat ini dapat sinergistik bila dikombinasi
dengan obat anti vertigo lainnya. Efek samping ialah insomnia,
jantung berdebar (palpitasi) dan menjadi gelisah – gugup.
e. Obat Penenang minor
Dapat diberikan kepada penderita vertigo untuk mengurangi
kecemasan yang diderita yang sering menyertai gejala vertigo.efek
samping seperti mulut kering dan penglihatan menjadi kabur.
- Lorazepam
Dosis dapat diberikan 0,5 mg – 1 mg
- Diazepam
Dosis dapat diberikan 2 mg – 5 mg.
f. Obat Antikolinergik
Obat antikolinergik yang aktif di sentral dapat menekan aktivitas
sistem vestibular dan dapat mengurangi gejala vertigo.
- Skopolamin
Skopolamin dapat pula dikombinasi dengan fenotiazine atau
efedrin dan mempunyai khasiat sinergistik. Dosis skopolamin
ialah 0,3 mg – 0,6 mg, 3 – 4 kali sehari.
2. Terapi Fisik11
Susunan saraf pusat mempunyai kemampuan untuk mengkompensasi
gangguan keseimbangan. Namun kadang-kadang dijumpai beberapa
penderita yang kemampuan adaptasinya kurang atau tidak baik. Hal ini
mungkin disebabkan oleh adanya gangguan lain di susunan saraf pusat
atau didapatkan deficit di sistem visual atau proprioseptifnya. Kadang-
kadang obat tidak banyak membantu, sehingga perlu latihan fisik
vestibular. Latihan bertujuan untuk mengatasi gangguan vestibular,
15
membiasakan atau mengadaptasi diri terhadap gangguan keseimbangan.
Tujuan latihan ialah :
1. Melatih gerakan kepala yang mencetuskan vertigo atau disekuilibrium
untuk meningkatkan kemampuan mengatasinya secara lambat laun.
2. Melatih gerakan bola mata, latihan fiksasi pandangan mata.
3. Melatih meningkatkan kemampuan keseimbangan
Contoh latihan :
1. Berdiri tegak dengan mata dibuka, kemudian dengan mata ditutup.
2. Olahraga yang menggerakkan kepala (gerakan rotasi, fleksi, ekstensi,
gerak miring).
3. Dari sikap duduk disuruh berdiri dengan mata terbuka, kemudian
dengan mata tertutup.
4. Jalan di kamar atau ruangan dengan mata terbuka kemudian dengan
mata tertutup.
5. Berjalan “tandem” (kaki dalam posisi garis lurus, tumit kaki yang satu
menyentuh jari kaki lainnya dalam melangkah).
6. Jalan menaiki dan menuruni lereng.
7. Melirikkan mata kearah horizontal dan vertikal.
8. Melatih gerakan mata dengan mengikuti objek yang bergerak dan juga
memfiksasi pada objek yang diam.
Brand-Darrof
Ada berbagai macam latihan fisik, salah satunya adalah latihan Brand-
Darrof.
16
Keterangan Gambar:
Ambil posisi duduk.
Arahkan kepala ke kiri, jatuhkan badan ke posisi kanan, kemudian
balik posisi duduk.
Arahkan kepala ke kanan lalu jatuhkan badan ke sisi kiri. Masing-
masing gerakan lamanya sekitar satu menit, dapat dilakukan berulang
kali.
Untuk awal cukup 1-2 kali kiri kanan, makin lama makin bertambah.
2. Stroke
a. Definisi12
Stroke didefinisikan sebagai defisit neurologis dengan onset tiba-tiba
dengan penyebab fokal vaskuler.
b. Etiologi13
1. Trombus
a) Aterosklerosis dalam arteri intrakranial dan interkranial
b) Keadaan yang berkaitan dengan perdarahan intraserebral
c) Arthritis yang disebabkan oleh penyakit kolagen (autoimun) atau
arthritis bakteri
d) Hiperkoagulasi
17
e) Seperti polisitemia
f) Trombosis vena serebral
2. Emboli
a) Kerusakan katup karena penyakit jantung rematik
b) Infark miokardial
c) Fibrilasi arteri
d) Endokarditis bakteri dan endokarditis nonbakteri yang dapat
menyebabkan bekuan pada endokardium
3. Perdarahan
a) Perdarahan intraserebral karena hipertensi
b) Perdarahan subarakhnoid
c) Ruptur aneurisma
d) Arteri venous malformation
e) Hipokoagulasi (pada pasien dengan blood dyscrasias)
c. Epidemiologi
Stroke merupakan penyebab kematian tersering di Negara maju, setelah
penyakit jantung dan kanker. Insidensi tahunan adalah 2 per 100 populasi.
Mayoritas stroke adalah infark serebral.
Survei Departemen Kesehatan RI pada 987.205 subjek dari 258.366
rumah tangga di 33 propinsi mendapatkan bahwa stroke merupakan penyebab
kematian utama pada usia > 45 tahun (15,4% dari seluruh kematian).
Prevalensi stroke rata-rata adalah 0,8%, tertinggi 1,66% di Nangroe Aceh
Darussalam dan terendah 0,38% di Papua.
d. Patofisiologi14
1. Stroke non hemoragik
Iskemia disebabkan oleh adanya penyumbatan aliran darah otak oleh
thrombus atau embolus. Trombus umumnya terjadi karena
18
berkembangnya aterosklerosis pada dinding pembuluh darah, sehingga
arteri menjadi tersumbat, aliran darah ke area thrombus menjadi
berkurang, menyebabkan iskemia kemudian menjadi kompleks iskemia
akhirnya terjadi infark pada jaringan otak.
Emboli disebabkan oleh embolus yang berjalan menuju arteri serebral
melalui arteri karotis. Terjadinya blok pada arteri tersebut menyebabkan
iskemia yang tiba-tiba berkembang cepat dan terjadi gangguan
neurologist fokal. Perdarahan otak dapat ddisebabkan oleh pecahnya
dinding pembuluh darah oleh emboli.
2. Stroke hemoragik
Pembuluh darah otak yang pecah menyebabkan darah mengalir ke
substansi atau ruangan subarachnoid yang menimbulkan perubahan
komponen intracranial yang seharusnya konstan. Adanya perubahan
komponen intracranial yang tidak dapat dikompensasi tubuh akan
menimbulkan peningkatan TIK yang bila berlanjut akan menyebabkan
herniasi otak sehingga timbul kematian.
Di samping itu, darah yang mengalir ke substansi otak atau ruang
subarachnoid dapat menyebabkan edema, spasme pembuluh darah otak
dan penekanan pada daerah tersebut menimbulkan aliran darah berkurang
atau tidak ada sehingga terjadi nekrosis jaringan otak.
e. Faktor resiko
Berikut merupakan faktor-faktor resiko stroke, yang dibagi menjadi 2
jenis faktor yaitu faktor yang dapat dimodifikasi (modifiable factors) dan
faktor yang tidak dapat dimodifikasi (unmodifiable factors).14
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
a. Usia. Sekitar 30% stroke terjadi pada usia 65 tahun dan 70% terjadi pada
usia 65 tahun atau lebih. Faktor risiko meningkat dua kali lipat untuk setiap
dekade setelah usia 55 tahun.
19
b. Jenis kelamin
c. Ras
d. Riwayat keluarga
e. Riwayat stroke/ TIA
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
a. Hipertensi. Setelah usia, hipertensi adalah faktor risiko stroke terkuat.
Faktor risiko meningkat seiring dengan peningkatan tekanan darah. Di
Framingham, faktor risiko relatif stroke untuk peningkatan 10 mmHg
sistolik adalah 1,9 untuk pria dan 1,7 untuk wanita setelah faktor risiko
stroke yang lain dikontrol. Peningkatan tekanan sistolik dan diastolik
atau keduanya mempercepat terjadinya aterosklerosis.
b. Kolesterol. Peningkatan kolesterol menjadi faktor risiko terjadinya
aterosklerosis terutama pada pria di bawah usia 55 tahun. Penurunan
kadar LDL kolesterol menurunkan risiko stroke 10% untuk pengurangan
1 mmol/L dan 17% untuk pengurangan 1,8 mmol/L. Kenaikan kadar
kolesterol yang terdapat pada LDL berkaitan dengan penyakit
aterosklerosis, sedangkan kadar HDL yang tinggi mempunyai efek
protektif. Di samping itu keadaan hipertrigliserida juga dianggap
berkorelasi dengan peningkatan kadar LDL dan penurunan kadar HDL
yang akan meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis.
c. Merokok
d. Diabetes. Setelah faktor-faktor risiko stroke lainnya telah terkontrol,
diabetes meningkatkan risiko stroke tromboembolik sekitar dua hingga
tiga kali lipat dibandingkan dengan orang tanpa diabetes. Diabetes
merupakan predisposisi terhadap iskemik serebral dengan mempercepat
aterosklerosis pada pembuluh darah besar seperti arteri koroner atau
karotis atau dengan efek lokal pada mikrosirkulasi serebral.
20
e. Penyakit Jantung. Individu dengan penyakit jantung jenis yang mana saja
mempunyai risiko lebih dari dua kali terkena stroke dibandingkan
dengan orang dengan fungsi jantung normal. Penyakit arteri koroner
merupakan indikator kuat keberadaan penyakit vaskular aterosklerotik
dan berpotensi menjadi sumber emboli. Penyakit jantung kongestif,
Penyakit jantung hipertensi Berhubungan dengan peningkatan stroke.
Fibrilasi atrial berperan kuat dalam stroke emboli dan fibrilasi atrial
meningkatkan risiko stroke hingga 17 kali.
f. Obesitas
g. Konsumsi alkohol
h. Stres
i. Peningkatan hematokrit. Peningkatan viskositas menyebabkan symptom
stroke ketika hematokrit melebihi 55%. Penentu utama viskositas whole
blood adalah sel darah merah, protein plasma, serta fibrinogen. Ketika
viskositas meningkat akibat dari polisitemia, hiperfibrinogenemia atau
paraproteinemia, biasanya akan terjadi simptom seperti sakit kepala,
letargi, tinitus, dan penglihatan kabur. Infark serebral fokal dan oklusi
vena retina serta disfungsi platelet dapat menyebabkan perdarahan
intraserebral dan subaraknoid.
j. Peningkatan kadar fibrinogen dan abnormalitas sistem pembekuan darah.
Peningkatan kadar fibrinogen berpengaruh pada peningkatan risiko
stroke trombotik. Abnormalitas sistem pembekuan darah seperti
defisiensi antitrombin III dan defisiensi protein C dan S pernah
dilaporkan berhubungan dengan venous thrombotic.
k. Kontrasepsi oral
l. Infeksi
m. Homosistinemia atau homosistinuria (bentuk homozigot)
21
f. Gejala klinis
Arteri yang Terkena
Tanda dan Gejala
A. serebri anterior
Paralisis ekstremitas bawah kontralateral Gait yang terganggu Paresis ekstremitas atas kontralateral Hilangnya fungsi sensorik pada ekstremitas bawah
kontralateral Sulit membuat keputusan Sulit berkonsentrasi Lambat berpikir Afasia Inkontinensia urin Kelainan kognitif dan afektif
A. serebri media Hemiplegia kontralateral pada wajah dan lengan Terganggunya fungsi sensorik kontralateral Afasia Hemianopia homonim Kesadaran yang berubah-ubah (bingung hingga
koma) Tidak bisa melirik ke arah sisi yang lumpuh Denial pada sisi atau ekstremitas yang lumpuh
(hemiatensi) Paresis vasomotor
A. serebri posterior
Hemianopia homonim beserta kelainan penglihatan lainnya seperti buta warna dan halusinasi
Defisit memori Hilangnya modalitas sensorik Nyeri secara tiba-tiba Tremor Hemiparesis ringan
22
Afasia Palsy n. oculomotorius dengan hemiplegia
kontralateralAa. basilaris et vertebralis
Gangguan penglihatan seperti diplopia Distaxia Vertigo Disfagia Disfonia
g. Diagnosis
Diagnosis stroke dapat ditegakkan berdasarkan riwayat dan keluhan
utama pasien. Beberapa gejala/tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke
antara lain: hemiparesis, gangguan sensorik satu sisi tubuh, hemianopia atau
buta mendadak, diplopia. Vertigo, afasia, disfagia, disartria, ataksia, kejang
atau penurunan kesadaran yang keseluruhannya terjadi secara mendadak.
Algoritma Stroke Gadjah Mada (ASGM)
Untuk membedakan jenis atau penyebab stroke bisa menggunakan
algoritma stroke Gadjah Mada (ASGM) dan penilaian skor Siriraj.
Pada ASGM hal yang dinilai :
1. Penurunan kesadaran
2. Nyeri kepala
3. Reflek babinski.
Menurut ASGM, jika terdapat 2 atau 3 dari ketiga kriteria tersebut, maka
dapat ditegakkan diagnosis stroke perdarahan ( hemoragik).
Jika hanya didapatkan uji babinski positif atau dari ketiga kriteria tidak ada
yang terpenuhi, maka dapat ditegakkan diagnosis stroke iskemik.
23
Versi orisinal:= (0.80 x kesadaran) + (0.66 x muntah) + (0.33 x sakit kepala) + (0.33x tekanan darah diastolik) – (0.99 x atheromal) – 3.71.Versi disederhanakan:= (2.5 x kesadaran) + (2 x muntah) + ( 2 x sakit kepala) + (0.1 x tekanan darah diastolik) – (3 x atheroma) – 12.Kesadaran:Sadar = 0; mengantuk, stupor = 1; semikoma, koma = 2Muntah: tidak = 0 ; ya = 1Sakit kepala dalam 2 jam: tidak = 0 ; ya = 1Tanda-tanda ateroma: tidak ada = 0 ; 1 atau lebih tanda ateroma = 1(anamnesis diabetes; angina; klaudikasio intermitten)Pembacaan:Skor > 1 : SH
< 1 : SNH0 : Ct-scan< -1: Infark otak
Sensivitas : Untuk perdarahan: 89.3%.Untuk infark: 93.2%.
Ketepatan diagnostic : 90.3%.
Siriraj Hospital Score
P e m e r i k s a a n p e n u n j a n g d i l a k u k a n u n t u k m e n d u k u n g d i a g n o s i s s t r o k e d a n
menyingkirkan diagnosis bandingnya. Laboratorium yang dapat dilakukan pada
penderita stroke diantaranya adalah hitung darah lengkap, profil pembekuan darah,
kadar elektrolit, dan kadar serum glukosa.
Pemeriksaan pencitraan juga diperlukan dalam diagnosis. Pencitraan
otak adalah langkah penting dalam evaluasi pasien dan harus didapatkan
dalam basis kedaruratan. Pencitraan otak membantu dalam diagnosis
adanya perdarahan, serta dapat menidentifikasi komplikasi seperti
perdarahan intraventrikular, edem otak, dan hidrosefalus. Baik CT non
kontras ataupun MRI otak merupakan pilihan yang dapat digunakan.
CT non kontras otak dapat digunakan untuk membedakan stroke
hemoragik dari stroke iskemik. Pencitraan ini berguna untuk membedakan
stroke dari patologi intrakranial lainnya. CT non kontras dapat
24
mengidentifikasi secara virtual hematoma yang berdiameter lebih dari 1
cm.
MRI telah terbukti dapat mengidentifikasi stroke lebih cepat dan lebih
bisa diandalkan daripada CT scan, terutama stroke iskemik. MRI dapat
mengidentifikasi malformasi vaskular yang mendasari atau lesi yang
menyebabkan perdarahan.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah elektrokardiogram
(EKG) untuk memulai memonitor aktivitas hantung. Disritmia jantung dan
iskemia miokard memiliki kejadian signifikan dengan stroke.
h. Tatalaksana
Bagan di bawah ini merupakan algoritma tatalaksana stroke dan TIA.15
Kotak dengan sudut-sudut yang melengkung adalah diagnosis, sementara
kotak dengan sudut-sudut yang tajam adalah intervensi terapi.
Gambar : Tatalaksana stroke dan TIA.15
C. Pembahasan Kasus
25
1. Interpretasi pemeriksaan
Hasil pemeriksaan Status Keterangan
Tekanan darah 200/100
mmHg.
Hipertensi
Heart Rate 108x/menit. Takikardia
Suhu 37O C. Normal
Respiratory Rate
24x/menit.
Takipnea
Konjungtiva palpebra
pucat (-)
Normal
sklera ikterik (-) Normal
leher JVP 5-2 cmH2O Normal
thoraks pulmo vesikular Normal
ronkhi (-) Normal
wheezing (-) Normal
kor mur-mur positif
(mur-mur sistolik di
katup aorta)
Mungkin ada stenosis
aorta, atau disfungsi
sistolik akibat
peningkatan afterload
jantung.
Stenosis aorta dapat
disebabkan oleh
hiperkolesterolemia dan
arterosklerosis.
ghallop negatif. Normal
Abdomen datar, lemas,
nyeri tekan (+) regio
epigastrium
Mungkin terjadi
permasalahan pada
lambung
Diperlukan tinjauan lebih
lanjut mengenai nyeri
yang dialami.
Hepar dan lien tidak
teraba
Normal
asites (-) Normal
26
ekstremitas edema (-). Normal
Kekuatan otot 55
/ 33
Kelemahan otot sebelah
kiri
Ekstremitas kiri pasien
dapat menahan gaya
gravitasi, namun tidak
dapat menahan beban
yang diberikan pemeriksa
Refleks fisiologis lengan
dan tungkai kanan
normal
Normal
Refleks fisiologis lengan
dan tungkai kiri
meningkat. Refleks
patologis: Babinsky dan
Chaddock positif di
tungkai kiri.
Lesi terjadi tipe UMN
Nervi craniales: parese
N. VII dan N. XII
sinistra
Kelainan N VII dan N XII
umum terjadi pada pasien
stroke karena walaupun
secara umum kebanyakan
nervus kranialis
terganggu, namun
mendapatkan inervasi
motorik bilateral dari
korteks serebri
LDL 300 mg/dL Di atas normal Normal <100 mg/dL
Trigliserida 400 mg/dL Di atas normal Normal 120-190 mg/dL
GDS 400 mg/dL Di atas normal Normal
<110-199 mg/dL (vena)
27
<90-199 mg/dL (kapiler)
SGPT dan SGOT Normal
Ureum 80 mg/dL Di atas normal Normal 10-50 mg/dL
Kreatinin 2 mg/dL Di atas normal Normal 0,5-1,5 mg/dL
(GFR=34ml/min jika BB
pasien 60 kg)
Trombosit 493.000
sel/mm3
Di atas normal Normal 150.000-400.000
sel/ mm3
Fibrinogen 473.000 1,5-3 g/L
Asam urat 9 mg/dL Di atas normal Normal 3,4-7 mg/dl
2. Tatalaksana pada kasus
Vertigo pada kasus kemungkinan disebabkan oleh vertigo sentral akibat stroke
iskemik. Pada stroke iskemik, yang harus dilakukan sebelum dapat mengambil
diagnosis pasti adalah imaging pada otak, yang dapat dilakukan dengan CT, MRI,
ataupun angiografi. Hal ini dilakukan untuk memastikan jenis dan letak lesi yang
terjadi. Tatalaksana terbaik pada stroke iskemik seharusnya dilakukan pemberian
rTPA pada 3 jam pertama dari onset gejala. Pemberian rTPA setelah 6 jam
bahkan diketahui tidak lagi membawa perbaikan yang signifikan.16
Vertigo central yang terjadi dapat ditangani apabila penyebab terjadinya juga
ditangani. Untuk gejala vertigo itu sendiri, dapat diberikan obat untuk mengurangi
gejala vertigo, walaupun tatalaksana utamanya tetap harus menghilangkan faktor
penyebabnya terlebih dahulu.
Stroke iskemik seringkali berhubungan dengan profil lipid abnormal, dan
terjadi pula pada kasus ini. Hipertensi juga mempersulit tatalaksana dari kasus.
Dalam menurunkan tekanan darah pasien, harus dilakukan secara perlahan,
karena penurunan mendadak yang lebih dari 10% diketahui tidak memperbaiki
outcome pasien stroke.
28
Untuk tatalaksana stroke, kami memilih menggunakan piracetam yang
dosisnya telah disesuaikan untuk kreatinin 2 mg/dL, yaitu seperempat dari dosis
lazim, atau 200mg, 3x1 hari. Pengamatan fungsi ginjal perlu terus dilakukan
selama pemberian obat. Piracetam dipilih karena piracetam merupakan agen
nootropic yang juga dapat memengaruhi pengaturan cerebrovascular dan
memiliki efek antitrombotik. Piracetam juga dapat memperbaiki fungsi kognitif.17-
19
Untuk mengatasi hipertensi, diberikan Ramipril, suatu obat antihipertensi
golongan ACE Inhibitor. Selain dapat menurunkan tekanan darah, obat golongan
ACE Inhibitor juga dapat menurunkan kadar gula darah pasien dengan
mekanisme yang belum diketahui, bila dibandingkan dengan penggunaan
antihipertensi golongan ARB, walaupun penggunaan ARB diketahui mengurangi
mortalitas. Ramipril diberikan juga berdasarkan pertimbangan clearance yang <40
mL/menit, sehingga diberikan dosis setengah dari dosis normal, yaitu 1,25 mg
oral 1x1 hari dan dapat ditingkatkan hingga tekanan darah menjadi terkontrol,
dimana dosis maksimum yang diizinkan adalah 5 mg/hari.
Untuk mengatasi dislipidemianya, dapat digunakan Fenoglide (fenofibrat).
Fenoglide ini dapat digunakan pada gangguan fungsi ginjal bila bersihan
kreatininnya masih ≥30mL/min sementara fenofibrat lainnya memiliki syarat
bersihan kreatinin harus ≥50ml/min. Dosis yang ditetapkan adalah 40 mg 1x1 hari
oral, diberikan bersama makanan. Peningkatan dosis hanya boleh dilakukan
dengan pemantauan pada fungsi ginjal pada dosis tersebut. Fenofibrat diketahui
dapat menurunkan kadar LDL dan trigliserida yang berhubungan dengan
peningkatan risiko arterosklerosis.
Untuk tatalaksana simtomatis vertigo, diberikan betahistine yang diduga dapat
mengurangi vertigo dan mengambang akibat hipertensi, dan insufisensi arteri
vertebra-basilar, selain untuk vertigo akibat penyakit Meniere’s. Dosis yang
diberikan adalah 6mg 3x1 hari.
29
Pasien tanpa kelemahan lengan dan tungkai mengesampingkan adanya
indikasi stroke. Untuk pasien tanpa stroke, kecurigaan mengarah ke vertigo
perifer. Dalam hal ini diperlukan pemeriksaan lebih lanjut mengenai vertigo,
sehingga vertigo dapat dibedakan berdasarkan etiologinya. Setelah diketahui
etiologinya, maka vertigo ditangani berdasarkan etiologinya dan simtomatik. Bila
penyebabnya adalah infeksi, maka tangani infeksinya. Pada BPPV (benign
paroxysmal positional vertigo), tatalaksananya cukup mudah dilakukan, hanya
perlu melakukan maneuver tergantung pada kanalis semisirkularis yang terkena,
dan mengedukasi pasien melakukan maneuver recovery sendiri di rumah. Salah
satu BPPV yang paling sering terjadi adalah pada kanalis posterior, sehingga
sering ditatalaksana dengan Epley maneuver.11
Untuk penyakit Meniere’s dan vertigo vestibular lainnya dapat diberikan
betahistine 6mg 3x1 hari dan dapat ditingkatkan hingga 12mg 3x1 hari10 dengan
masih memantau kondisi insufisensi renal yang terjadi pada pasien.
Kondisi hipertensi dan dyslipidemia serta gula darah pasien yang tinggi tetap
harus ditatalaksana sekalipun tidak terjadi stroke. Dengan mempertimbangkan
kondisi insufisensi renal, maka pemberian Ramipril 1,25 mg 1x1 hari (yang
kenaikan dosisnya dipantau menurut tekanan darah serta kondisi ginjal) dan
Fenoglide 40mg 1x1 tetap diberikan.
3. Obat yang digunakan
a. Piracetam17-19
Piracetam merupakan salah satu nootropik yang secara umum mempunyai
potensi neuronal maupun vaskuler. Efek neuronal di antaranya meningkatkan
aktivitas beberapa neurotransmiter serta meningkatkan metabolisme dan
penggunaan glukosa dan oksigen oleh sel-sel otak, sedangkan efek vaskuler
terutama dalam hal perbaikan rheologi darah. Piracetam merupakan derivat
GABA (gamma aminobutyric acid), dan dalam klinis piracetam digunakan
30
untuk gangguan keseimbangan (vertigo) atau kondisi yang berhubungan
dengan proses penuaan misalnya gangguan fungsi kognitif.
Piracetam juga digunakan untuk gangguan serebrovaskuler dan gejala
sisanya khususnya afasia dengan dosis sampai dengan 14 gram per hari.
Dengan dosis yang lebih tinggi sekitar 24 gram perhari, ternyata piracetam ini
juga mempunyai efek antikejang. Suatu meta-analisis atas data penelitian
tentang piracetam dari tahun 1972 – 2001 menunjukkan bahwa suplementasi
piracetam memberikan efek lebih baik dibandingkan suplementasi plasebo.
Dalam meta-analisis ini dirangkum 54 studi (3.063 subyek) dengan disain
acak tersamar ganda, 13 studi dengan desain cross-over, dan 39 studi dengan
disain paralel. Parameter evaluasi umumnya menggunakan parameter klinis
terutama The Gottfries Cronholm Rating, dan Global Evaluation.
Hasil meta-analisis ini menunjukkan secara umum terdapat heterogenitas
hasil studi individual. Dengan menggunakan fi xed eff ects model, terlihat
perbaikan pada kelompok piracetam jika dibandingkan dengan kelompok
plasebo (OR 3,35 ; 95% CI 2,70 – 4,17). Studi tersebut menyimpulkan bahwa
berdasarkan metodologi statistik sesuai standar Cochrane Collaboration,
piracetam secara defi nitif statistik memberikan efek lebih superior
dibandingkan plasebo dalam hal parameter global dan perubahan klinis pasien
gangguan fungsi kognitif.
Pada kondisi gangguan ginjal, dosis piracetam akan disesuaikan. Pada
bersihan kreatinin <60 ml/min, dosis adalah setengah dari dosis lazim, dan
pada bersihan kreatinin 20-40 ml/min, dosisnya ¼ dosis lazim.
b. Ramipril
Adalah derivat pyrrolkarboxilat yang dalam hati dihidrolisa menjadi
ramiprilat aktif, yang juga bersifat long-acting. Dosis: hipertensi oral 1 dd 2,5
mg, maksimal 10 mg setelah infark jantung: 2 dd 2,5 mg, maksimal 10 mg
sehari.20
31
Ramipril diabsorpsi secara cepat (konsentrasi puncak ramipril dicapai
dalam waktu 1 jam), dan laju absorpsi oral tapi tingkatnya (50% sampai 60%)
berkurang karena adanya makanan. Ramipril dimetabolisme menjadi
ramiprilat dan metabolit non aktif (glukuronida ramipril, glukuronida
ramiprilat, ester diketopiperazin dan asam dikitopiperazin), dan diekskresi
terutama melalui ginjal. Konsentrasi puncak ramiprilat dalam plasma dicapai
sekitar 3 jam. Ramiprilat menunjukkan kinetika eliminasi trifase dengan
waktu paruh 2 sampai 4 jam, 9 sampai 18 jam, dan lebih dari 50 jam.
Eliminasi trifase ini disebabkan oleh distribusi yang ekstensif ke seluruh
jaringan (waktu paruh awal), bersihan ramiprilat bebas dari plasma (waktu
paruh antara), dan dissosiasi ramiprilat dari ACE jaringan (waktu paruh
akhir). Dosis oral ramipril berkisar dari 1,25 sampai 20 mg perhari (dosis
tunggal atau terbagi).21
c. Betahistine22-23
Betahistine merupakan obat golongan analog histamin dengan efek
agonistik lemah pada reseptor histamin H1 dan efek antagonistik lebih poten
pada reseptor histamin H3. Bukti-bukti saat ini menganggap bahwa
betahistine bekerja di sistem saraf pusat dan, secara khusus, di sistem neuron
yang terlibat dalam pemulihan pasca-gangguan vestibular.
Baru-baru ini dilakukan sebuah meta-analisis atas 12 uji klinis acak
tersamar ganda dengan kontrol plasebo yang meneliti betahistine pada
penderita vertigo vestibular atau penyakit Meniere, berdasarkan data yang
dipublikasikan maupun tidak. Endpoint klinis yang dipakai adalah opini
investigator secara keseluruhan terkait respons atas pengobatan gejala-gejala
vertigo, setelah sekurang-kurangnya 1 bulan terapi. Diperkenalkan sebuah
parameter efek baru—kecenderungan luaran (outcome) terapi yang
menguntungkan—dengan odds ratio sebagai ukuran pembanding respons
betahistine dengan plasebo. Untuk masingmasing studi, diestimasikan sebuah
32
odds ratio tersendiri (odds ratio spesifi k-studi). Semua, kecuali satu, odds
ratio spesifi k-studi ternyata lebih besar dari 1,0. Artinya, dengan parameter
efek baru tersebut, terdapat bukti adanya efek positif betahistine terahadap
gejala vertigo pada 11 dari 12 studi.
Empat dari 12 studi memperlihatkan efek positif betahistine yang
secara statistik bermakna, dibandingkan plasebo. Odds ratio meta-analisis itu
sendiri sebesar 2,58 (95%CI 1,67-3,99), secara statistik bermakna. Hal ini
berarti bahwa, rata-rata, kecenderungan luaran positif hampir dua kali lebih
tinggi pada pasien yang diterapi dengan betahistine dibanding pasien yang
diberi palsebo. Sub-analisis untuk penyakit Meniere dan vertigo vestibular
juga membuahkan hasil yang bermakna. Untuk penyakit Meniere, odds ratio
meta-analisis terlapor senilai 3,37 (95%CI 2,14-5,29); untuk vertigo
vestibular, odds ratio tercatat sebesar 2,23 (95%CI 1,20- 4,14). Simpulannya,
meta-analisis ini mendukung manfaat terapeutik betahistine terhadap gejala
vertigo, baik pada penyakit Meniere maupun vertigo vestibular.
d. Fenoglide (fenofibrate)
Fenoglide merupakan obat yang dapat menurunkan kadar LDL sekaligus
meningkatkan kadar HDL. Fenoglide juga digunakan untuk mentatalaksana
pasien dengan trigliserida yang tinggi. Fenofibrat lain memberi batasan
bersihan kreatinin harus ≥50ml/min sementara fenoglide memperbolehkan
penggunaan hingga ≥30ml/min.
Fenofibrat merupakan agen hipolipidemik. Berdasarkan waktu paruh,
efisiensi absorbs, dan eliminasi, fenofibrat tidak tampak terakumulasi pada
plasma atau jaringan. Dapat diabsorbsi dengan baik pada pemberian bersama
makanan, dan ditranspor bersama dengan albumin pada aliran darah.
Fenofibrat dimetabolisme oleh ginjal dan hepar, dan 5% nya dalam bentuk
terkonjugasi dengan keton. Waktu paruh plasma pada orang normal adalah 30
jam. Penggunaan pada gagal ginjal harus dipantau.
33
Daftar Pustaka
1. Huang Kuo C., Phang L., Chang R. Vertigo. Part 1-Assesement in General
Practice. Australian Family Physician 2008; 37(5):341-7
2. Wahyudi, Kupiya Timbul. 2012. Vertigo. Vol. 39. No. 10. Jakarta: Medical
Departemen PT. Kalbe Farma Tbk.
3. Marril KA. Central Vertigo [Internet]. WebMD LLC. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/794789-clinical#a0217
4. Turner, B, Lewis, NE. 2010. Symposium Neurology :Systematic Approach that
Needed for establish of Vetigo. pg: 19-23.
5. Mark, A. 2008. Symposium on Clinical Emergencies: Vertigo Clinical Assesment
and Diagnosis. British Journal of Hospital Medicine
6. Swartz, R, Longwell, P. 2005. Treatment of Vertigo in Journal of American
Family Physician. pg:71:6
7. Chain, TC.2009. Practical Neurology 3rd edition: Approach to the Patient with
Dizziness and Vertigo. Illnois:wolter kluwerlippincot William and wilkins)
8. Zahara, Devira. Fisiologi Klinis Sistem Keseimbangan. Departemen THT-KL FK
USU diunduh dari http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-786-
1413682297-bab%20ii.pdf pada 27 Februari 2014
9. Lempert, T, Neuhauser, H. 2009. Epidemiology of vertigo, migraine and
vestibular migraine in Journal Nerology pg:333-338
10. Dewanto, George, dkk. 2009. Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana
Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.
11. Fife TD, et al. (2008). Practice parameter: Therapies for benign paroxysmal
positional vertigo (an evidence-based review). Report of the Quality Standards
Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology, 70(22):
2067-2074.
12. Ginsberg, Lionel. Lecture Notes Neurologi. Edisi 8. Jakarta: Erlangga.2007
34
13. Dewanto, George. Dkk. Panduan Praktis Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit
Saraf. Jakarta: EGC.2009
14. Porth CM & Matfin G. Pathophysiology: Concepts of Altered Health States. 8 th
edition. Lippincott Wilkins and Williams; 2009.
15. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s
Neurology in Clinical Medicine. 3rd edition. McGraw-Hill Education; 2013.
16. Jauch EC, Saver JL, et al. Guidline for the Early Management of Patient with
Acute Ischemic Stroke. American Heart Association; 2013.
17. Rang n dales
18. Waegemans T,Wilsher CR, Danniau A, et al. Clinical Effi cacy of Piracetam in
Cognitive Impairment: A Meta-Analysis. Dementia Geriatr Cogn Disord
2002;13:217-224.
19. Vernon MW, Sorkin EM. Piracetam. An Overview of Its Pharmacological
Properties and A Reveiw of Its Therapeutic Use in Senile Cognitive Disorder.
Drug & Aging 1991;1(1):17-35.
20. Tjay, Tan Hoan; Kirana Rahardja; Obat-obat Penting. Edisi.6 . Jakarta: Anggota
IKAPI . 2007.
21. Goodman and Gillman,. Dasar Farmakologi Terapi. Ed.10 . Jakarta: EGC , 2012.
22. Lacour M, van de Heyning PH, Novotny M, Tighilet B. Betahistine in the
treatment of Meniere’s disease. Neuropsychiatric Diasease and Treatment.
2007;3(4):429-40.
23. Nauta JJP. Meta-analysis of clinical studies with betahistine in Meniere’s disease
and vestibular vertigo. European Archives of Oto-Rhino-Laryngology. 2013. DOI
10.1007/s00405-013- 2596-8.
24. Chapman MJ. Pharmacology of Fenofibrate. Am J Med. 83 (5B):21-5.
35