Laporan Biokimia HI.docx

25
BAB I PENDAHULUAN

description

Blok HI

Transcript of Laporan Biokimia HI.docx

Page 1: Laporan Biokimia HI.docx

BAB I

PENDAHULUAN

Page 2: Laporan Biokimia HI.docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Struktur Eritrosit

Eritrosit adalah piringan bikonkaf dengan garis tengah 8 µm , ketebalan 2 µm di

tepi luar, dan ketebalan 1 µm di bagian tengah. Bentuk unik ini berperan melalui 2 cara

dalam menentukan efisensi sel darah merah melakukan fungsi utamanya mengangkut O2

dalam darah :

1. Bentuk bikonkaf menghasilkan luas permukaan yang lebih besar untuk difusi O2,

menembus membran dibandingkan dengan bentuk sel bulat dengan volume yang

sama.

2. Tipisnya sel memungkinkan O2 cepat berdifusi antara bagian paling dalam sel dan

eksterior sel (Sherwood, 2011).

Gambran struktur lain yang mempermudah fungsi transpor SDM adalah

kelenturan membrannya. Sel darah merah yang garis normalnya adalah 8 µm , dapat

mengalami deformitas secara luar biasa sewaktu mengalir satu per satu melewati kapilee

yang garis tengahnya sesempit 3 µm . Karena sangat lentur maka SDM dapat mengalir

melalui kapiler sempit berkelok-kelok untuk menyalurkan O2 ditingkat jaringan tanapa

pecah selama proses sedang berlangsung (Sherwood, 2011).

B. Fungsi Eritrosit

Fungsi utama eritrosit adalah mengangkut O2 dari paru-paru ke seluruh jaringan

tubuh karena eritrosit mengandung Hb. Selain mengangkut O2, Hb juga dapat berikatan

dengan yang berikut :

1. Karbondioksida. Hb membantu mengangkut gas ini dari sel kembali ke paru.

2. Bagian hidrogen asam (H+) dari asam karbonat terionisasi, yang dihasilkan ditingkat

jaringan dari CO2, Hb menyangga asam ini sehingga asam ini tidak banyak

menyebabkan perubahan Ph darah.

3. Nitro oksida (NO). Di paru, nitrat oksida yang bersifat vasodilator berikatan dengan

hemoglobin. Vasodilator ini membantu menjamin bahwa darah kaya O2 dapat

mengalir dengan lancar dan juga membantu menstabilkan tekanan.

Page 3: Laporan Biokimia HI.docx

Karena itu Hb berperan kunci dalam transpor O2 sekaligus memberi konstribusi

signifikan pada transpor CO2 dengan kemampuan darah menyangga pH. Selain itu

dengan mengangkut vasodilatornya sendiri, hemoglobin membantu menyalurkan O2

yang dibawanya (Sherwood, 2011).

C. Metabolisme Eritrosit

1. JALAN EMBDEN-MEYERHOF

Eritrosit tidak mempunyai mitokondria atau organel lainnya dan juga

metabolisme di dalam sitoplasmanya sangat berkurang. Yang diperlukan untuk

fungsinya tentu saja adalah penambahan glukosa yang dipecahkan melalui glikolisis

menjadi laktat. Untuk setiap molekul glukosa yang digunakan, dihasilkan dua

molekul ATP dan dengan demikian dua ikatan fostat berenergi tinggi . ATP ini

menyediakan energi untuk pemeliharaan volume, bentuk dan kelenturan (flexibility)

sel darah merah. ATP juga berfungsi menyediakan energi bagi Na+/K+- ATPase, yang

menjaga lingkungan ion di dalam eritrosit, dan ini memakai satu molekul ATP untuk

menggerakkan tiga ion natrium ke luar dan dua ion kalium ke dalam sel. BPG (2,3-

Bifosfogliserat) juga berasal dari pemecahan glukosa. Jalan Embden-Meyerhof juga

menghasilkan NADH yang diperlukan oleh enzim methhemoglobin reduktase untuk

mereduksi methemoglobin yang tidak berfungsi (hemoglobin teroksidasi) yang

mengandung besi Ferri (Fe3+OH)-yang diproduksi oleh oksidasi sekitar 3%

hemoglobin setiap hari-untuk menjadi aktif berfungsi sebagai bentuk hemoglobin

tereduksi (mengandung besi ferro, Fe2+) (Komariah, 2009).

2. JALAN HEKSOSA MONOFOSFAT (PENTOSA FOSFAT)

Kira-kira 5% glikolisis terjadi dengan cara oksidatif ini dimana glukosa 6-fosfat

dikonversi menjadi 6-fosfoflukonat dan terus menjadi ribulosa 5-fosfat. NADPH

dihasilkan dan berikatan dengan glutation (GSH) yang menjaga keutuhan gugus

sulfidril (-SH) dalam sel termasuk yang didalam hemoglobin dan membran sel darah

merah. NADPH yang digunakan oleh methemoglobin reduktase lainnya memelihara

besi hemoglobin dalam keadaan Fe2+ yang fungsional aktif. Selain itu dengan adanya

O2 selalu terbentuk peroksida yang sangat reaktif, yang juga harus dimusnahkan. Hal

ini terjadi secara enzimatik dengan bantuan glutation(GSH). Tripeptida (-Glu-Cys-

Page 4: Laporan Biokimia HI.docx

Gly) yang atipikal ini membawa satu gugus Tiol pada sistein. Pada reduksi

methemoglobin dan peroksida, gugus tiol tersebut akan dioksidasi menjadi disulfida

yang sesuai (GSSG). Regenerasi GSH dikatalisis oleh glutation reduktase yang pada

proses ini memerlukan NADPH sebagai koenzim (Komariah , 2009).

D. Fragilitas Eritrosit

Hemolisa adalah keluarnya hemoglobin dari dalam sel darah merah ke luar sel

darah merah yang disebabkan karena pecahnya membran sel darah merah. Hal tersebut

menyebabkan hemoglobin menuju ke daerah atau area plasma darah. Hemolisis sel darah

merah terjadi karena adanya larutan hipotonis, sehingga membran sel darah merah

menjadi rapuh dan pecah serta hemoglobin tumpah (Andriani, 2011).

Terdapat tes fragilitas sel darah merah atau osmotic fragility of eritrocytes yang

mempelajari dan mengetahui ketahanan membran atau dinding sel darah merah terhadap

penurunan tekanan osmosis plasma atau terhadap larutan yang bersifat hipotonik.

Apabila sel darah merah dimasukkan ke larutan hipotonis maka plasma yang memiliki

tekanan osmosa lebih rendah daripada tekanan osmosa isi sel darah merah akan masuk ke

dalam mermbran sel darah merah. Semakin lama, plasma yang memiliki komposisi

terbanyak berupa molekul air akan semakin banyak. Sehingga akan mendorong dan

meregangkan membran sel darah merah yang bersifat permeabel selektif dan terlihat

menggembung. Dan apabila sel darah merah tidak mampu menahan tekanan di dalam sel

darah merah tersebut, pada akhirnya membran sel darah merah akan mengalami rusak

dan pecah atau lisis. Hemoglobin yang membawa pigmen heme yang berwarna merah

akan keluar membran. Selanjutnya hemoglobin tersebut akan menuju ke plasma dan

menyebabkan warna darah menjadi lebih merah. Sedangkan sel darah merah yang

diletakkan di larutan hipertonis, maka cairan sel darah merah akan keluar dan

menyebabkan sel darah merah mengalami krenasi atau mengkerut (Adoe, 2006).

E. Faktor – factor yang Mempengaruhi Fragilitas Eritrosit

Faktor – faktor yang mempengaruhi fragilitas sel darah merah, antara lain

(Dharmawan, 2002) :

1. Penambahan larutan hipotonis ke dalam darah

2. Penambahan larutan hipertonis ke dalam darah

Page 5: Laporan Biokimia HI.docx

3. Penurunan tekanan permukaan membran eritrosit

4. Zat atau unsur kimia tertentu

5. Suhu yang tidak stabil (pemanasan dan pendinginan)

6. Membran sel darah merah yang sudah tua

7. pH plasma

8. Konsentrasi glukosa

9. Saturasi oksigen pada darah

10. Sampel darah yang diambil lebih dari tiga jam menunjukan peningkatan fragilitas

osmotik.

Page 6: Laporan Biokimia HI.docx

BAB III

METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan

1. Alat

a. 12 buah Tabung reaksi

b. Rak tabung reaksi

c. Pipet

d. Vacum med

e. Spuit 3 cc

f. Torniquet

g. Kapas

2. Bahan

a. NaCl 0,5%

b. EDTA

c. Kapas dan alcohol

B. Cara Kerja

1. Mengambil 3cc darah vena pada probandus dengan menggunakan spuit 3cc,

torniquet, kapas, dan alkohol. Lalu mengalirkan darah tersebut ke dalam vacum med

yang telah mengandung EDTA.

2. Menyusun 12 tabung reaksi pada rak dan dibagi menjadi 2 baris, masing-masing

berisi 6 tabung.

3. Menuliskan nomor pada tabung dari kiri ke kanan secara berurutan dari 25 sampai 14

(nomor 25-20 sebagai pengamatan permulaan hemolisis dan 19-14 sebagai

pengamatan hemolisis sempurna).

4. Meneteskan larutan NaCl 0,5% dengan pipet sesuai dengan nomo yang tertera pada

tabung.

5. Meneteskan larutan aquadest pada tiap tabung, sampai volumenya berjumlah 25 tetes

tiap tabung.

Page 7: Laporan Biokimia HI.docx

6. Konsentrasi NaCl pada masing-masing larutan menjadi: 0,5%; 0,48%; 0,46%; 0,44%;

0,42%; 0,40%; 0,38%; 0,36%; 0,34%; 0,32%; 0,30%; dan 0,28%.

7. Meneteskan 1 tetes darah pada masing-masing tabung dan mendiamkannya selama 1

jam.

8. Memperhatikan hasilnya dengan melihat percampuran darah dengan larutan pada tiap

barisnya.

C. Nilai Normal

Permulaan lisis : pada NaCl 0,44% (0,44 0,02% NaCl)

Hemolisis sempurna : pada NaCl 0,34% (0,34 0,02% NaCl)

Page 8: Laporan Biokimia HI.docx

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Probandus

Nama : Tauhid Yuda Putra

Usia : 19 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Interpretasi fragilitas eritrosit probandus :

1. Permulaan lisis terjadi pada tabung 22 dengan konsentrasi NaCl 0,44% = Normal

2. Hemolisis sempurna terjadi pada tabung 16 dengan konsentrasi NaCl 0,32% =

Normal.

B. Pembahasan

Praktikum kali ini mengamati fragilitas osmotik sel darah merah (osmotic fragility

of the erythrocyte). Sel darah merah akan diteteskan ke larutan yang semakin encer untuk

menentukan titik yang aliran internal airnya ke dalam eritrosit mampu menyebabkan

eritrosit lisis. Eritrosit yang memiliki bentuk seperti piringan dapat membengkak sampai

sebelum kapasitas membrannya terlampaui. Sel darah yang memiliki rasio luas

permukaan terhadap volume yang rendah akan lebih rentan terhadap lisis osmotik

sehingga kerapuhan atau fragilitas osmotiknya meningkat (Sacher, 2004).

Pada permulaan hemolisa atau initial hemolysis ditandai dengan warna merah

pada larutan dan adanya endapan sel darah merah di bagian bawah. Hal ini dinyatakan

sebagai titik awal fragilitas eritrosit. Pada keadan normal sel darah merah mengalami

hemolisa pada rentang 0, 42 % hingga 0,46 % NaCl, yaitu terletak pada tabung nomor 23,

22, dan 21 apabila percobaan dilakukan pada 12 buah tabung reaksi. Sedangkan

hemolisa sempurna terjadi pada tabung yang memiliki ciri - ciri larutan berwarna merah

tanpa ada endapan eritrosit, dimana pada 12 tabung yang diujikan yang berada dalam

rentang normal 0, 32 % hingga 0,36 % adalah tabung nomor 18, 17, dan 16 (Adoe,

2006).

Page 9: Laporan Biokimia HI.docx

Berdasarkan hasil penghitungan fragilitas eritrosit, sampel whole blood probandus

mulai mengalami permulaan lisis pada tabung reaksi nomer 22 yang berisi 22 tetes NaCl

(konsentrasi 0,44 % NaCl) dan 3 tetes aquades. Sedangkan darah mengalami hemolisis

sempurna pada tabung reaksi nomer 16 yang berisi 16 tetes NaCl (konsentrasi 0,32 %

NaCl) dan 9 tetes aquades. Dilihat dari nilai permulaan lisis dan nilai hemolisis sempurna

sampel whole blood probandus dikatakan normal.

C. Aplikasi Klinis

1. Sferosis (Spherocytosis)

a. Definisi

Keadaan sferosis (sferositosis) merupakan suatu kondisi dimana terdapat

banyak sferosit dalam darah. Sferosit merupakan salah satu bentuk eritrosit

abnormal yang berbentuk bulat bola (sferis) dengan rasio luas permukaan

berbanding volume sel yang rendah. Eritrosit ini kecil, bulat, dan seluruhnya

mengandung hemoglobin tanpa warna pucat di tengah sel seperti eritrosit normal

lainnya (Dorland, 2011).

Sferositosis merupakan keadaan dimana eritrosit berbentuk sferoid, tidak

begitu mudah berubah bentuk dan rentan terhadap sekuestrasi dan penghancuran

di dalam limpa (Mitchell, et.all. 2008). Sferosit dapat dijumpai pada sferositosis

heredter dan anemia hemolitik autoimun (Hillman et al., 2005).

b. Etiologi

Sferositosis terjadi karena kelainan dominan autosom dan, kurang sering,

sebagai kelainan resesif autososom (Klirgman, 2000). Defek mendasar di eritrosit

adalah hilangnya membran sehingga luas permukaan berkurang. Hal ini

menghasilkan sel dengan rasio permukaan terhadap volume yang paling rendah,

yaitu sferosit. Penurunan rasio luas permukaan terhadap volume menyebabkan

sel-sel ini lebih rentan terhadap lisis osmotic sehingga kerapuhan (fragilitas)

osmotiknya meningkat. Sferosit adalah struktur yang memiliki luas permukaan

terkecil dibandingkan dengan volume sehingga sangat peka terhadap setiap

peningkatan cairan intrasel (kerapuhan osmotic) (Ronald et.al., 2004).

c. Tanda dan Gejala

Page 10: Laporan Biokimia HI.docx

Beberapa penderita sferositosis tetap tidak bergejala sampai dewasa,

sedangkan lainnya mengalami anemia berat dengan pucat, ikterus, lesu, dan

intolerans terhadap kerja. Pada kasus berat, mungkin ada ekspansi dari diploe

tulang tengkorak dan daerah sumsum dari tulang lain, tetapi lebih ringan

dibandingkan pada thalassemia mayor (Klirgman, 2000).

Gambaran klinis Sferositis bervariasi, diantaranya anemia, splenomegali

sedang dan ikerus merupakan ciri khas. Infeksi dapa memicu krisis hemolitik

(dengan hemolisis massif) atau krisis aplastik. Separuh orang dewasa mengalami

batu empedu karena hiperbilirubinemia kronik. Diagnosis bergantung pada

riwayat keluarga, hasil pemeriksaan hematologi dan laboratorium yang

membuktikan sferositis, termasuk peningkatan fragilitas osmotic sel darah merah.

MCHC meningkat sebagai dari dehidrasi sel (Mitchell et.al., 2008).

d. Patofisiologi

Sferositosis herediter merupakan suatu kelainan yang diturunkan melalui

autosom dominan. Proses terbentuknya sferosit dimulai dari adanya mutasi pada

DNA yang mengkode struktur spectrin α , spectrin β, dan protein sitoskeletal

lainnya seperti ankyrin. Perubahan ini akan melemahkan interaksi diantara protein

periferal dan protein integral disekitar membran plasma eritrosit, sehingga

struktur sel tersebut menjadi lemah dan membentuk sferosit (Murray et al., 2012).

Sferosit yang terdapat dalam sirkulasi darah akan dianggap sebagai sel

darah yang abnormal sehingga frekuensi destruksi oleh lien akan meningkat.

Selain itu, sferosit lebih rentan (fragile) terhadap hemolisis osmotik dibandingkan

eritrosit normal. Pada uji fragilitas osmotik darah, pasien sferosis akan mengalami

hemolisis sebagian (50% sferosit) pada konsentrasi NaCl 0,5 M. Hal ini dapat

terjadi karena bentuk sirkular dari sferosit (dengan rasio luas permukaan

dibanding volume yang rendah), sehingga dengan sedikit saja cairan ekstraseluler

yang berosmosis ke dalam sel akan menyebabkan hemolisis (Murray et al., 2012).

e. Komplikasi

Hemolisis kronis yang terjadi pada sferositosis merupakan factor risiko

terjadinya kolelitiasis. Usia termuda ditemukan kolelitiasis pada Sferositosis

Herediter adalah 4-5 tahun. Anak dengan kolelitiasis harus menjalani

Page 11: Laporan Biokimia HI.docx

kolesistektomi dan splenektomi untuk menurunkan angka kejadian infeksi (Tjitra

et.al, 2009).

Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah hemosiderosis atau

hemokromatosis akibat transfuse darah berulang. Oleh karena itu pemeriksaan

berkala kadar besi harus dilakukan terutama pada Sferositosis berat (Tjitra et.al,

2009).

2. Anemia defisiensi Besi

a. Definisi

Merupakan anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi

untuk eritropoiesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada

akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang.Anemia ini

merupakan anemia mikrositik-hipokromik yang terjadi akibat defisiensi besi

dalam diet, atau kehilangan darah secara lambat dan kronis.

Zat besi sangatlah penting bagi semua kehidupan karena zat besi terlibat

dalam susunan luas reaksi biokimia. Jika digabung dengan porfirin, besi akan

membentuk heme, kelompok prostetik bagi banyak protein seperti hemoglobin,

yang mengikat oksigen secara reversibel, dan sitrokom yang penting untuk reaksi

oksidasi reduksi. Dalam keadaan normal, keseimbangan besi dijaga secara akurat,

tetapi keseimbangan tersebut berkembang menjadi tidak seimbang dalam berbagai

keadaan klinis, yang mengarah pada defisiensi zat besi.

b. Etiologi

Anemia defisiensi besi dapat disebabkan karena rendahnya masukan besi,

gangguan absorbsi, dan kehilangan besi akibat perdarahan menahun. Kehilangan

besi akibat perdarahan menahun dapat berasal dari :

1) Saluran cerna : akibat dari kanker lambung, kanker colon, infeksi cacing

tambang, dan lain-lain.

2) Saluran genitalia perempuan : menorrhagia atau metrorhagia.

3) Saluran kemih : hematuria.

4) Saluran nafas : hemoptoe.

Faktor nutrisi juga menyebabkan anemia defisiensi besi. Akibat kurangnya

jumlah zat besi total dalam makanan, atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi

Page 12: Laporan Biokimia HI.docx

yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging).

Selain itu kebutuhan besi juga meningkat seperti pada prematuritas, anak dalam

masa pertumbuhan dan kehamilan, dan gangguan absorbsi besi seperti

gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.

Pada orang dewasa, anemia defisiensi besi yang dijumpai di klinik hampir

identik dengan perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan

besi jarang sebagai penyebab utamanya. Perdarahan gastrointestinal merupakan

perdarahan yang paling sering terjadi pada laki-laki. Sedang pada perempuan

dalam masa reproduksi paling sering karena meno-metrorhagia.

c. Tanda dan Gejala

Gejala anemia defisiensi besi digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu :

1) Gejala Umum

Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sidrom anemia dijumpai

pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun dibawah 7-8 g/dl.

Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang,

serta telinga mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan kadar

hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan sering kali sindroma anemia

tidak terlalu menyolok dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan

kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat, oleh karena mekanisme kompensasi

tubuh dapat berjalan dengan baik.

2) Gejala Khas Anemia Defisiensi Besi adalah sebagai berikut :

a) Koilonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-

garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok.

b) Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena

papil lidah menghilang.

c) Stomatitis angularis (cheilosis): adanya keradangan pada sudut mulut

sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.

d) Disfagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.

e) Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhlorida.

f) Pica : keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti tanah

liat, es, lem, dan lain-lain.

Page 13: Laporan Biokimia HI.docx

3) Gejala Penyakit Dasar

Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang

menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya pada anemia

akibat penyakit cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan

kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia karena

perdarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala gangguan kebiasaan

buang air besar atau gejala lain tergantung dari lokasi kanker tersebut.

d. Patogenesis

Pada keadaan tubuh kehilangan besi sehingga cadangan besi menurun,

keadaan ini disebut iron depleted state. Keadaan ini ditandai oleh penurunan

kadar feritin serum, peningkatan absorpsi besi dalam usus, serta pengecatan besi

dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka

cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis

berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eristrosit tetapi anemia

secara klinis belum terjadi, keadaan ini disebut sebagai iron deficient

erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan

kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi

transferin menurun dan total iron binding capacity (TIBC) meningkat.

Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik adalah peningkatan

reseptor transferin dalam serum. Apabila jumlah besi menurun terus, maka

eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun,

akibatnya timbul anemia hipokromik mikroster, disebut sebagai iron deficiency

anemia. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa

enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta

berbagai gejala lainnya.

e. Komplikasi

1) Hemoglobin kurang dari 5 gram/100 mL dapat menyebabkan kematian dan

gagal jantung.

2) Mudah terkena infeksi.

3) Pada ibu hamil, bayi dapat lahir dengan berat badan yang kurang.

Page 14: Laporan Biokimia HI.docx

4) Gangguan pertumbuhan terutama otak, antara lain transfer oksigen terhambat,

kecepatan hantar impuls syaraf terganggu, serta gangguan konsentrasi dan

perilaku.

5) Jika pada bayi, dapat mengalami gangguan konsentrasi, daya ingat rendah,

kemampuan memecahkan masalah rendah, gangguan perilaku, dan tingkat IQ

yang lebih rendah. Akibatnya adalah penurunan penurunan prestasi belajar

dan kemampuan fisik anak.

3. Leukimia

a. Definisi

Leukemia merupakan keganasan progresif yang terjadi

pada organ hematopoietik yang ditandai dengan adanya

perubahan proliferasi serta perkembangan leukosit dan

prekursornya dalam darah dan sum-sum tulang. Leukemia

diklasifikasikan berdasar derajat diferensiasi sel menjadi

leukemia akut dan kronis. Selain itu leukemia juga

diklasifikasikan berdasar tipe sel yang predominan menjadi

myelogenous dan lymphocytic (Dorland, 2002).

b. Etiologi

Beberapa orang yang terkena leukemia belum deketahui

pasti factor penyebabnya. Bahkan jika seseorang memiliki satua

tau lebih factor risiko terkena leukemia, tidak ada cara untuk

mengetahui apakah itu benar – benar penyebabnya (American

Cancer Society, 2013).

Walaupun penyebab dasar leukemia tidak diketahui,

predisposisi genetic maupun factor – factor lingkungan

kelihatannya memberikan pengaruh. Factor lingkungan berupa

pajanan radiasi pergion dosis tinggi disertai manifestasi leukemia

yang timbul bertahun – tahun kemudian. Zat – zat kimia seperti,

benzene, arsen, pestisida, kloramfenikol, fenilbutazon, dan agen

antineoplastik sering dikaitkan dengan frekuensi yang

meningkat, khususnya agen – agen alkil. Kemungkinan leukemia

Page 15: Laporan Biokimia HI.docx

meningkat pada penderita yang diobati baik dengan radiasi atau

kemoterapi. Setiap keadaan sumsum tulang hipopastik

kelihatannya merupakan predisposisi terhadap leukemia. Pasien

dengan sindrom mielodisplastik (gangguan sel induk dengan

manifestasi adanya blas dan pansitopenia yang ditemukan pada

orang dewasa tua) sering berkembang menjadi leukemia

nonlimfositik akut (Price, 2005).

c. Tanda dan Gejala

Leukemia diklasifikasikan berdasarkan tipe sel, baik

menurut maturitas sel maupun turunan sel. Berdasarkan

maturitas sel, leukemia dibedakan atas akut dan kronik. Jika sel

ganas tersebut sebagian besar immatur (blast) maka leukemia

diklasifikasikan akut, sedangkan jika yang dominan adalah sel

matu rmaka diklasifikasikan sebagai leukemia kronik.

Berdasarkan turunan sel, leukemia diklasifikasikan atas leukemia

myeloid dan leukemia limfoid. Kelompok leukemia myeloid

meliputi granulositik, monositik, megakriositik dan eritrositik

(Rofinda. 2006).

d. Patofisiologi

Salah satu manifestasi klinis dari leukemia adalah

perdarahan. Manifestasi perdarahan yang paling sering

ditemukan berupa ptekie, purpur atau ekimosis, yang terjadi

pada 40 – 70% penderita leukemia akut pada saat didiagnosis.

Lokasi perdarahan yang paling sering adalah pada kulit, mata,

membrane mukosa hidung, ginggiva dan saluran cerna.

Perdarahan yang mengancam jiwa biasanya terjadi pada saluran

cerna dan system saraf pusat, selain itu juga pada paru, uterus

dan ovarium. Manifestasi perdarahan ini muncul sebagai akibat

dari berbagai kelainan hemostasis. Perdarahan yang

mengancam jiwa lebih sering terjadi pada leukemia akutdan

merupakan masalah yang serius (Rofinda. 2006).

Page 16: Laporan Biokimia HI.docx

DAFTAR PUSTAKA

Adoe, Desmiayati Natialia. 2006. Perbedaan Fragilitas Eritrosit Antara Subyek Yang Jarang dengan Yang Sering Terpapar Sinar Matahari. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.

American Cancer Society.2013. Leukemia Acute Lymphocytic. Atlanta, Ga: American Cancer http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003109-pdf.pdf.

Andriani, Novia. 2011. Fisiologi Hewan Darah. Bogor : Departemen Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.

Dharmawan, N.S. 2002. Pengantar Patologi Klinik Veteriner Hematologi Klinik. Bukit Jimbaran : Universitas Udayana.

Dorland WAN. 2011. KamusSakuKedokteran DorlandEdisi 28 (alihbahasa: HuriawatiHartanto, dkk). Jakarta: EGC.

Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. 2005. Hematology in Clinical Practice: A Guide to Diagnosis and Management. New York: The McGraw-Hill Companies.

Klirgman, Behrman. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson - Ed.15. Jakarta : EGC.

Komariah, maria. 2009. Metabolisme Eritrosit. Diakses di http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/05/metabolisme_eritrosit.pdf pada tanggal 14 September 2013

Mitchell et.al., 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins & Cotran – Ed.7. Jakarta : EGC.

Page 17: Laporan Biokimia HI.docx

Murray RK, Bender DA, Botham K, Kennely PJ, Rodwell VW, Weil PA. 2012. Harper’s Illustrated Biochemistry 29th Edition. New York: The McGraw-Hill Companies.

Persify. 2013. Anemia Defisiensi Besi. Available at : http://www.persify.com/id/perspectives/medical-conditions-diseases/anemia-defisiensi-besi-_-9510001031689 ( Diakses terakhir 14 September 2013).

Rofinda, Zelly Dia. 2006. Kelainan Hemostasis padaLeukimia.Available at: http://jurnal.fk.unand.ac.id/articles/vol_1no_2/68-74.pdf.

Ronald et.al. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta : EGC.

Sacher, R.A, McPherson, R.A. 2004. Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan. Laboratorium. Jakarta : EGC.

Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia. Jakarta : EGC

Tjitra, Teny et.al,. 2009. “Sferositosis Herediter: laporan kasus”. Jakarta : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RS Cipto Mangunkusumo.

W. Sudoyo, Aru, et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Ed. V. Jakarta: InternaPublishing.