Laporan Biokimia HI.docx
-
Upload
arvi-tri-sulistiyani -
Category
Documents
-
view
71 -
download
1
description
Transcript of Laporan Biokimia HI.docx
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Struktur Eritrosit
Eritrosit adalah piringan bikonkaf dengan garis tengah 8 µm , ketebalan 2 µm di
tepi luar, dan ketebalan 1 µm di bagian tengah. Bentuk unik ini berperan melalui 2 cara
dalam menentukan efisensi sel darah merah melakukan fungsi utamanya mengangkut O2
dalam darah :
1. Bentuk bikonkaf menghasilkan luas permukaan yang lebih besar untuk difusi O2,
menembus membran dibandingkan dengan bentuk sel bulat dengan volume yang
sama.
2. Tipisnya sel memungkinkan O2 cepat berdifusi antara bagian paling dalam sel dan
eksterior sel (Sherwood, 2011).
Gambran struktur lain yang mempermudah fungsi transpor SDM adalah
kelenturan membrannya. Sel darah merah yang garis normalnya adalah 8 µm , dapat
mengalami deformitas secara luar biasa sewaktu mengalir satu per satu melewati kapilee
yang garis tengahnya sesempit 3 µm . Karena sangat lentur maka SDM dapat mengalir
melalui kapiler sempit berkelok-kelok untuk menyalurkan O2 ditingkat jaringan tanapa
pecah selama proses sedang berlangsung (Sherwood, 2011).
B. Fungsi Eritrosit
Fungsi utama eritrosit adalah mengangkut O2 dari paru-paru ke seluruh jaringan
tubuh karena eritrosit mengandung Hb. Selain mengangkut O2, Hb juga dapat berikatan
dengan yang berikut :
1. Karbondioksida. Hb membantu mengangkut gas ini dari sel kembali ke paru.
2. Bagian hidrogen asam (H+) dari asam karbonat terionisasi, yang dihasilkan ditingkat
jaringan dari CO2, Hb menyangga asam ini sehingga asam ini tidak banyak
menyebabkan perubahan Ph darah.
3. Nitro oksida (NO). Di paru, nitrat oksida yang bersifat vasodilator berikatan dengan
hemoglobin. Vasodilator ini membantu menjamin bahwa darah kaya O2 dapat
mengalir dengan lancar dan juga membantu menstabilkan tekanan.
Karena itu Hb berperan kunci dalam transpor O2 sekaligus memberi konstribusi
signifikan pada transpor CO2 dengan kemampuan darah menyangga pH. Selain itu
dengan mengangkut vasodilatornya sendiri, hemoglobin membantu menyalurkan O2
yang dibawanya (Sherwood, 2011).
C. Metabolisme Eritrosit
1. JALAN EMBDEN-MEYERHOF
Eritrosit tidak mempunyai mitokondria atau organel lainnya dan juga
metabolisme di dalam sitoplasmanya sangat berkurang. Yang diperlukan untuk
fungsinya tentu saja adalah penambahan glukosa yang dipecahkan melalui glikolisis
menjadi laktat. Untuk setiap molekul glukosa yang digunakan, dihasilkan dua
molekul ATP dan dengan demikian dua ikatan fostat berenergi tinggi . ATP ini
menyediakan energi untuk pemeliharaan volume, bentuk dan kelenturan (flexibility)
sel darah merah. ATP juga berfungsi menyediakan energi bagi Na+/K+- ATPase, yang
menjaga lingkungan ion di dalam eritrosit, dan ini memakai satu molekul ATP untuk
menggerakkan tiga ion natrium ke luar dan dua ion kalium ke dalam sel. BPG (2,3-
Bifosfogliserat) juga berasal dari pemecahan glukosa. Jalan Embden-Meyerhof juga
menghasilkan NADH yang diperlukan oleh enzim methhemoglobin reduktase untuk
mereduksi methemoglobin yang tidak berfungsi (hemoglobin teroksidasi) yang
mengandung besi Ferri (Fe3+OH)-yang diproduksi oleh oksidasi sekitar 3%
hemoglobin setiap hari-untuk menjadi aktif berfungsi sebagai bentuk hemoglobin
tereduksi (mengandung besi ferro, Fe2+) (Komariah, 2009).
2. JALAN HEKSOSA MONOFOSFAT (PENTOSA FOSFAT)
Kira-kira 5% glikolisis terjadi dengan cara oksidatif ini dimana glukosa 6-fosfat
dikonversi menjadi 6-fosfoflukonat dan terus menjadi ribulosa 5-fosfat. NADPH
dihasilkan dan berikatan dengan glutation (GSH) yang menjaga keutuhan gugus
sulfidril (-SH) dalam sel termasuk yang didalam hemoglobin dan membran sel darah
merah. NADPH yang digunakan oleh methemoglobin reduktase lainnya memelihara
besi hemoglobin dalam keadaan Fe2+ yang fungsional aktif. Selain itu dengan adanya
O2 selalu terbentuk peroksida yang sangat reaktif, yang juga harus dimusnahkan. Hal
ini terjadi secara enzimatik dengan bantuan glutation(GSH). Tripeptida (-Glu-Cys-
Gly) yang atipikal ini membawa satu gugus Tiol pada sistein. Pada reduksi
methemoglobin dan peroksida, gugus tiol tersebut akan dioksidasi menjadi disulfida
yang sesuai (GSSG). Regenerasi GSH dikatalisis oleh glutation reduktase yang pada
proses ini memerlukan NADPH sebagai koenzim (Komariah , 2009).
D. Fragilitas Eritrosit
Hemolisa adalah keluarnya hemoglobin dari dalam sel darah merah ke luar sel
darah merah yang disebabkan karena pecahnya membran sel darah merah. Hal tersebut
menyebabkan hemoglobin menuju ke daerah atau area plasma darah. Hemolisis sel darah
merah terjadi karena adanya larutan hipotonis, sehingga membran sel darah merah
menjadi rapuh dan pecah serta hemoglobin tumpah (Andriani, 2011).
Terdapat tes fragilitas sel darah merah atau osmotic fragility of eritrocytes yang
mempelajari dan mengetahui ketahanan membran atau dinding sel darah merah terhadap
penurunan tekanan osmosis plasma atau terhadap larutan yang bersifat hipotonik.
Apabila sel darah merah dimasukkan ke larutan hipotonis maka plasma yang memiliki
tekanan osmosa lebih rendah daripada tekanan osmosa isi sel darah merah akan masuk ke
dalam mermbran sel darah merah. Semakin lama, plasma yang memiliki komposisi
terbanyak berupa molekul air akan semakin banyak. Sehingga akan mendorong dan
meregangkan membran sel darah merah yang bersifat permeabel selektif dan terlihat
menggembung. Dan apabila sel darah merah tidak mampu menahan tekanan di dalam sel
darah merah tersebut, pada akhirnya membran sel darah merah akan mengalami rusak
dan pecah atau lisis. Hemoglobin yang membawa pigmen heme yang berwarna merah
akan keluar membran. Selanjutnya hemoglobin tersebut akan menuju ke plasma dan
menyebabkan warna darah menjadi lebih merah. Sedangkan sel darah merah yang
diletakkan di larutan hipertonis, maka cairan sel darah merah akan keluar dan
menyebabkan sel darah merah mengalami krenasi atau mengkerut (Adoe, 2006).
E. Faktor – factor yang Mempengaruhi Fragilitas Eritrosit
Faktor – faktor yang mempengaruhi fragilitas sel darah merah, antara lain
(Dharmawan, 2002) :
1. Penambahan larutan hipotonis ke dalam darah
2. Penambahan larutan hipertonis ke dalam darah
3. Penurunan tekanan permukaan membran eritrosit
4. Zat atau unsur kimia tertentu
5. Suhu yang tidak stabil (pemanasan dan pendinginan)
6. Membran sel darah merah yang sudah tua
7. pH plasma
8. Konsentrasi glukosa
9. Saturasi oksigen pada darah
10. Sampel darah yang diambil lebih dari tiga jam menunjukan peningkatan fragilitas
osmotik.
BAB III
METODE PRAKTIKUM
A. Alat dan Bahan
1. Alat
a. 12 buah Tabung reaksi
b. Rak tabung reaksi
c. Pipet
d. Vacum med
e. Spuit 3 cc
f. Torniquet
g. Kapas
2. Bahan
a. NaCl 0,5%
b. EDTA
c. Kapas dan alcohol
B. Cara Kerja
1. Mengambil 3cc darah vena pada probandus dengan menggunakan spuit 3cc,
torniquet, kapas, dan alkohol. Lalu mengalirkan darah tersebut ke dalam vacum med
yang telah mengandung EDTA.
2. Menyusun 12 tabung reaksi pada rak dan dibagi menjadi 2 baris, masing-masing
berisi 6 tabung.
3. Menuliskan nomor pada tabung dari kiri ke kanan secara berurutan dari 25 sampai 14
(nomor 25-20 sebagai pengamatan permulaan hemolisis dan 19-14 sebagai
pengamatan hemolisis sempurna).
4. Meneteskan larutan NaCl 0,5% dengan pipet sesuai dengan nomo yang tertera pada
tabung.
5. Meneteskan larutan aquadest pada tiap tabung, sampai volumenya berjumlah 25 tetes
tiap tabung.
6. Konsentrasi NaCl pada masing-masing larutan menjadi: 0,5%; 0,48%; 0,46%; 0,44%;
0,42%; 0,40%; 0,38%; 0,36%; 0,34%; 0,32%; 0,30%; dan 0,28%.
7. Meneteskan 1 tetes darah pada masing-masing tabung dan mendiamkannya selama 1
jam.
8. Memperhatikan hasilnya dengan melihat percampuran darah dengan larutan pada tiap
barisnya.
C. Nilai Normal
Permulaan lisis : pada NaCl 0,44% (0,44 0,02% NaCl)
Hemolisis sempurna : pada NaCl 0,34% (0,34 0,02% NaCl)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Probandus
Nama : Tauhid Yuda Putra
Usia : 19 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Interpretasi fragilitas eritrosit probandus :
1. Permulaan lisis terjadi pada tabung 22 dengan konsentrasi NaCl 0,44% = Normal
2. Hemolisis sempurna terjadi pada tabung 16 dengan konsentrasi NaCl 0,32% =
Normal.
B. Pembahasan
Praktikum kali ini mengamati fragilitas osmotik sel darah merah (osmotic fragility
of the erythrocyte). Sel darah merah akan diteteskan ke larutan yang semakin encer untuk
menentukan titik yang aliran internal airnya ke dalam eritrosit mampu menyebabkan
eritrosit lisis. Eritrosit yang memiliki bentuk seperti piringan dapat membengkak sampai
sebelum kapasitas membrannya terlampaui. Sel darah yang memiliki rasio luas
permukaan terhadap volume yang rendah akan lebih rentan terhadap lisis osmotik
sehingga kerapuhan atau fragilitas osmotiknya meningkat (Sacher, 2004).
Pada permulaan hemolisa atau initial hemolysis ditandai dengan warna merah
pada larutan dan adanya endapan sel darah merah di bagian bawah. Hal ini dinyatakan
sebagai titik awal fragilitas eritrosit. Pada keadan normal sel darah merah mengalami
hemolisa pada rentang 0, 42 % hingga 0,46 % NaCl, yaitu terletak pada tabung nomor 23,
22, dan 21 apabila percobaan dilakukan pada 12 buah tabung reaksi. Sedangkan
hemolisa sempurna terjadi pada tabung yang memiliki ciri - ciri larutan berwarna merah
tanpa ada endapan eritrosit, dimana pada 12 tabung yang diujikan yang berada dalam
rentang normal 0, 32 % hingga 0,36 % adalah tabung nomor 18, 17, dan 16 (Adoe,
2006).
Berdasarkan hasil penghitungan fragilitas eritrosit, sampel whole blood probandus
mulai mengalami permulaan lisis pada tabung reaksi nomer 22 yang berisi 22 tetes NaCl
(konsentrasi 0,44 % NaCl) dan 3 tetes aquades. Sedangkan darah mengalami hemolisis
sempurna pada tabung reaksi nomer 16 yang berisi 16 tetes NaCl (konsentrasi 0,32 %
NaCl) dan 9 tetes aquades. Dilihat dari nilai permulaan lisis dan nilai hemolisis sempurna
sampel whole blood probandus dikatakan normal.
C. Aplikasi Klinis
1. Sferosis (Spherocytosis)
a. Definisi
Keadaan sferosis (sferositosis) merupakan suatu kondisi dimana terdapat
banyak sferosit dalam darah. Sferosit merupakan salah satu bentuk eritrosit
abnormal yang berbentuk bulat bola (sferis) dengan rasio luas permukaan
berbanding volume sel yang rendah. Eritrosit ini kecil, bulat, dan seluruhnya
mengandung hemoglobin tanpa warna pucat di tengah sel seperti eritrosit normal
lainnya (Dorland, 2011).
Sferositosis merupakan keadaan dimana eritrosit berbentuk sferoid, tidak
begitu mudah berubah bentuk dan rentan terhadap sekuestrasi dan penghancuran
di dalam limpa (Mitchell, et.all. 2008). Sferosit dapat dijumpai pada sferositosis
heredter dan anemia hemolitik autoimun (Hillman et al., 2005).
b. Etiologi
Sferositosis terjadi karena kelainan dominan autosom dan, kurang sering,
sebagai kelainan resesif autososom (Klirgman, 2000). Defek mendasar di eritrosit
adalah hilangnya membran sehingga luas permukaan berkurang. Hal ini
menghasilkan sel dengan rasio permukaan terhadap volume yang paling rendah,
yaitu sferosit. Penurunan rasio luas permukaan terhadap volume menyebabkan
sel-sel ini lebih rentan terhadap lisis osmotic sehingga kerapuhan (fragilitas)
osmotiknya meningkat. Sferosit adalah struktur yang memiliki luas permukaan
terkecil dibandingkan dengan volume sehingga sangat peka terhadap setiap
peningkatan cairan intrasel (kerapuhan osmotic) (Ronald et.al., 2004).
c. Tanda dan Gejala
Beberapa penderita sferositosis tetap tidak bergejala sampai dewasa,
sedangkan lainnya mengalami anemia berat dengan pucat, ikterus, lesu, dan
intolerans terhadap kerja. Pada kasus berat, mungkin ada ekspansi dari diploe
tulang tengkorak dan daerah sumsum dari tulang lain, tetapi lebih ringan
dibandingkan pada thalassemia mayor (Klirgman, 2000).
Gambaran klinis Sferositis bervariasi, diantaranya anemia, splenomegali
sedang dan ikerus merupakan ciri khas. Infeksi dapa memicu krisis hemolitik
(dengan hemolisis massif) atau krisis aplastik. Separuh orang dewasa mengalami
batu empedu karena hiperbilirubinemia kronik. Diagnosis bergantung pada
riwayat keluarga, hasil pemeriksaan hematologi dan laboratorium yang
membuktikan sferositis, termasuk peningkatan fragilitas osmotic sel darah merah.
MCHC meningkat sebagai dari dehidrasi sel (Mitchell et.al., 2008).
d. Patofisiologi
Sferositosis herediter merupakan suatu kelainan yang diturunkan melalui
autosom dominan. Proses terbentuknya sferosit dimulai dari adanya mutasi pada
DNA yang mengkode struktur spectrin α , spectrin β, dan protein sitoskeletal
lainnya seperti ankyrin. Perubahan ini akan melemahkan interaksi diantara protein
periferal dan protein integral disekitar membran plasma eritrosit, sehingga
struktur sel tersebut menjadi lemah dan membentuk sferosit (Murray et al., 2012).
Sferosit yang terdapat dalam sirkulasi darah akan dianggap sebagai sel
darah yang abnormal sehingga frekuensi destruksi oleh lien akan meningkat.
Selain itu, sferosit lebih rentan (fragile) terhadap hemolisis osmotik dibandingkan
eritrosit normal. Pada uji fragilitas osmotik darah, pasien sferosis akan mengalami
hemolisis sebagian (50% sferosit) pada konsentrasi NaCl 0,5 M. Hal ini dapat
terjadi karena bentuk sirkular dari sferosit (dengan rasio luas permukaan
dibanding volume yang rendah), sehingga dengan sedikit saja cairan ekstraseluler
yang berosmosis ke dalam sel akan menyebabkan hemolisis (Murray et al., 2012).
e. Komplikasi
Hemolisis kronis yang terjadi pada sferositosis merupakan factor risiko
terjadinya kolelitiasis. Usia termuda ditemukan kolelitiasis pada Sferositosis
Herediter adalah 4-5 tahun. Anak dengan kolelitiasis harus menjalani
kolesistektomi dan splenektomi untuk menurunkan angka kejadian infeksi (Tjitra
et.al, 2009).
Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah hemosiderosis atau
hemokromatosis akibat transfuse darah berulang. Oleh karena itu pemeriksaan
berkala kadar besi harus dilakukan terutama pada Sferositosis berat (Tjitra et.al,
2009).
2. Anemia defisiensi Besi
a. Definisi
Merupakan anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi
untuk eritropoiesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada
akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang.Anemia ini
merupakan anemia mikrositik-hipokromik yang terjadi akibat defisiensi besi
dalam diet, atau kehilangan darah secara lambat dan kronis.
Zat besi sangatlah penting bagi semua kehidupan karena zat besi terlibat
dalam susunan luas reaksi biokimia. Jika digabung dengan porfirin, besi akan
membentuk heme, kelompok prostetik bagi banyak protein seperti hemoglobin,
yang mengikat oksigen secara reversibel, dan sitrokom yang penting untuk reaksi
oksidasi reduksi. Dalam keadaan normal, keseimbangan besi dijaga secara akurat,
tetapi keseimbangan tersebut berkembang menjadi tidak seimbang dalam berbagai
keadaan klinis, yang mengarah pada defisiensi zat besi.
b. Etiologi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan karena rendahnya masukan besi,
gangguan absorbsi, dan kehilangan besi akibat perdarahan menahun. Kehilangan
besi akibat perdarahan menahun dapat berasal dari :
1) Saluran cerna : akibat dari kanker lambung, kanker colon, infeksi cacing
tambang, dan lain-lain.
2) Saluran genitalia perempuan : menorrhagia atau metrorhagia.
3) Saluran kemih : hematuria.
4) Saluran nafas : hemoptoe.
Faktor nutrisi juga menyebabkan anemia defisiensi besi. Akibat kurangnya
jumlah zat besi total dalam makanan, atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi
yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging).
Selain itu kebutuhan besi juga meningkat seperti pada prematuritas, anak dalam
masa pertumbuhan dan kehamilan, dan gangguan absorbsi besi seperti
gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.
Pada orang dewasa, anemia defisiensi besi yang dijumpai di klinik hampir
identik dengan perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan
besi jarang sebagai penyebab utamanya. Perdarahan gastrointestinal merupakan
perdarahan yang paling sering terjadi pada laki-laki. Sedang pada perempuan
dalam masa reproduksi paling sering karena meno-metrorhagia.
c. Tanda dan Gejala
Gejala anemia defisiensi besi digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu :
1) Gejala Umum
Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sidrom anemia dijumpai
pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun dibawah 7-8 g/dl.
Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang,
serta telinga mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan kadar
hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan sering kali sindroma anemia
tidak terlalu menyolok dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan
kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat, oleh karena mekanisme kompensasi
tubuh dapat berjalan dengan baik.
2) Gejala Khas Anemia Defisiensi Besi adalah sebagai berikut :
a) Koilonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-
garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok.
b) Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena
papil lidah menghilang.
c) Stomatitis angularis (cheilosis): adanya keradangan pada sudut mulut
sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
d) Disfagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.
e) Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhlorida.
f) Pica : keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti tanah
liat, es, lem, dan lain-lain.
3) Gejala Penyakit Dasar
Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang
menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya pada anemia
akibat penyakit cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan
kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia karena
perdarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala gangguan kebiasaan
buang air besar atau gejala lain tergantung dari lokasi kanker tersebut.
d. Patogenesis
Pada keadaan tubuh kehilangan besi sehingga cadangan besi menurun,
keadaan ini disebut iron depleted state. Keadaan ini ditandai oleh penurunan
kadar feritin serum, peningkatan absorpsi besi dalam usus, serta pengecatan besi
dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka
cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis
berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eristrosit tetapi anemia
secara klinis belum terjadi, keadaan ini disebut sebagai iron deficient
erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan
kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi
transferin menurun dan total iron binding capacity (TIBC) meningkat.
Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik adalah peningkatan
reseptor transferin dalam serum. Apabila jumlah besi menurun terus, maka
eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun,
akibatnya timbul anemia hipokromik mikroster, disebut sebagai iron deficiency
anemia. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa
enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta
berbagai gejala lainnya.
e. Komplikasi
1) Hemoglobin kurang dari 5 gram/100 mL dapat menyebabkan kematian dan
gagal jantung.
2) Mudah terkena infeksi.
3) Pada ibu hamil, bayi dapat lahir dengan berat badan yang kurang.
4) Gangguan pertumbuhan terutama otak, antara lain transfer oksigen terhambat,
kecepatan hantar impuls syaraf terganggu, serta gangguan konsentrasi dan
perilaku.
5) Jika pada bayi, dapat mengalami gangguan konsentrasi, daya ingat rendah,
kemampuan memecahkan masalah rendah, gangguan perilaku, dan tingkat IQ
yang lebih rendah. Akibatnya adalah penurunan penurunan prestasi belajar
dan kemampuan fisik anak.
3. Leukimia
a. Definisi
Leukemia merupakan keganasan progresif yang terjadi
pada organ hematopoietik yang ditandai dengan adanya
perubahan proliferasi serta perkembangan leukosit dan
prekursornya dalam darah dan sum-sum tulang. Leukemia
diklasifikasikan berdasar derajat diferensiasi sel menjadi
leukemia akut dan kronis. Selain itu leukemia juga
diklasifikasikan berdasar tipe sel yang predominan menjadi
myelogenous dan lymphocytic (Dorland, 2002).
b. Etiologi
Beberapa orang yang terkena leukemia belum deketahui
pasti factor penyebabnya. Bahkan jika seseorang memiliki satua
tau lebih factor risiko terkena leukemia, tidak ada cara untuk
mengetahui apakah itu benar – benar penyebabnya (American
Cancer Society, 2013).
Walaupun penyebab dasar leukemia tidak diketahui,
predisposisi genetic maupun factor – factor lingkungan
kelihatannya memberikan pengaruh. Factor lingkungan berupa
pajanan radiasi pergion dosis tinggi disertai manifestasi leukemia
yang timbul bertahun – tahun kemudian. Zat – zat kimia seperti,
benzene, arsen, pestisida, kloramfenikol, fenilbutazon, dan agen
antineoplastik sering dikaitkan dengan frekuensi yang
meningkat, khususnya agen – agen alkil. Kemungkinan leukemia
meningkat pada penderita yang diobati baik dengan radiasi atau
kemoterapi. Setiap keadaan sumsum tulang hipopastik
kelihatannya merupakan predisposisi terhadap leukemia. Pasien
dengan sindrom mielodisplastik (gangguan sel induk dengan
manifestasi adanya blas dan pansitopenia yang ditemukan pada
orang dewasa tua) sering berkembang menjadi leukemia
nonlimfositik akut (Price, 2005).
c. Tanda dan Gejala
Leukemia diklasifikasikan berdasarkan tipe sel, baik
menurut maturitas sel maupun turunan sel. Berdasarkan
maturitas sel, leukemia dibedakan atas akut dan kronik. Jika sel
ganas tersebut sebagian besar immatur (blast) maka leukemia
diklasifikasikan akut, sedangkan jika yang dominan adalah sel
matu rmaka diklasifikasikan sebagai leukemia kronik.
Berdasarkan turunan sel, leukemia diklasifikasikan atas leukemia
myeloid dan leukemia limfoid. Kelompok leukemia myeloid
meliputi granulositik, monositik, megakriositik dan eritrositik
(Rofinda. 2006).
d. Patofisiologi
Salah satu manifestasi klinis dari leukemia adalah
perdarahan. Manifestasi perdarahan yang paling sering
ditemukan berupa ptekie, purpur atau ekimosis, yang terjadi
pada 40 – 70% penderita leukemia akut pada saat didiagnosis.
Lokasi perdarahan yang paling sering adalah pada kulit, mata,
membrane mukosa hidung, ginggiva dan saluran cerna.
Perdarahan yang mengancam jiwa biasanya terjadi pada saluran
cerna dan system saraf pusat, selain itu juga pada paru, uterus
dan ovarium. Manifestasi perdarahan ini muncul sebagai akibat
dari berbagai kelainan hemostasis. Perdarahan yang
mengancam jiwa lebih sering terjadi pada leukemia akutdan
merupakan masalah yang serius (Rofinda. 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Adoe, Desmiayati Natialia. 2006. Perbedaan Fragilitas Eritrosit Antara Subyek Yang Jarang dengan Yang Sering Terpapar Sinar Matahari. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.
American Cancer Society.2013. Leukemia Acute Lymphocytic. Atlanta, Ga: American Cancer http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003109-pdf.pdf.
Andriani, Novia. 2011. Fisiologi Hewan Darah. Bogor : Departemen Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Dharmawan, N.S. 2002. Pengantar Patologi Klinik Veteriner Hematologi Klinik. Bukit Jimbaran : Universitas Udayana.
Dorland WAN. 2011. KamusSakuKedokteran DorlandEdisi 28 (alihbahasa: HuriawatiHartanto, dkk). Jakarta: EGC.
Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. 2005. Hematology in Clinical Practice: A Guide to Diagnosis and Management. New York: The McGraw-Hill Companies.
Klirgman, Behrman. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson - Ed.15. Jakarta : EGC.
Komariah, maria. 2009. Metabolisme Eritrosit. Diakses di http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/05/metabolisme_eritrosit.pdf pada tanggal 14 September 2013
Mitchell et.al., 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins & Cotran – Ed.7. Jakarta : EGC.
Murray RK, Bender DA, Botham K, Kennely PJ, Rodwell VW, Weil PA. 2012. Harper’s Illustrated Biochemistry 29th Edition. New York: The McGraw-Hill Companies.
Persify. 2013. Anemia Defisiensi Besi. Available at : http://www.persify.com/id/perspectives/medical-conditions-diseases/anemia-defisiensi-besi-_-9510001031689 ( Diakses terakhir 14 September 2013).
Rofinda, Zelly Dia. 2006. Kelainan Hemostasis padaLeukimia.Available at: http://jurnal.fk.unand.ac.id/articles/vol_1no_2/68-74.pdf.
Ronald et.al. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta : EGC.
Sacher, R.A, McPherson, R.A. 2004. Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan. Laboratorium. Jakarta : EGC.
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia. Jakarta : EGC
Tjitra, Teny et.al,. 2009. “Sferositosis Herediter: laporan kasus”. Jakarta : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RS Cipto Mangunkusumo.
W. Sudoyo, Aru, et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Ed. V. Jakarta: InternaPublishing.