Korelasi Antara Hidrasi Kulit dan Derajat Keparahan Fissura pada Tumit Pecah

download Korelasi Antara Hidrasi Kulit dan Derajat Keparahan Fissura pada Tumit Pecah

of 37

description

Skripsi S1ACC

Transcript of Korelasi Antara Hidrasi Kulit dan Derajat Keparahan Fissura pada Tumit Pecah

HUBUNGAN ANTARA KELEMBAPAN KULIT DAN DERAJAT KEPARAHAN FISSURA PADA TUMIT PECAH

36

BAB IPendahuluanI.1. Latar BelakangTumit pecah atau fisura merupakan hasil dari kekeringan kulit (xerosis) pada tumit yang sering disertai dengan hiperkeratosis. Tumit pecah memiliki beberapa faktor risiko seperti:lingkungan, paparan pada bahan iritan, inaktivasi kelenjar keringat, gesekan, obesitas, dan sebagainya.(Weber et al., 2010)Tumit pecah ini sering diangap sepele oleh sebagian orang,namun hal ini merupakan kondisi yang cukup serius dan banyak dikeluhkan oleh banyak orang. Kondisi fisura pada tumit meningkatkan risiko terjadinya komplikasi seperti infeksi dan ulserasi. Pada kondisi tersebut tumit akan tampak kehitaman, mengeras, dan mudah berdarah sehingga akan timbul rasa sakit hingga menganggu aktivitas sehari-hari.Belum banyak penelitian dan publikasi mengenai faktor risiko tumit pecah di masyarakat, sehingga banyak orang yang tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menghindari dan mengurangi dampaknya. Dengan memastikan faktor risiko, kita dapat melakukan pencegahan dan pengobatan yang lebih efektif(Baumann and Saghari, 2009).Beberapa faktor risiko dari tumit pecah secara tidak langsung berhubungan dengan hidrasi kulit. Hidrasi kulit berpengaruh besar dalam menjaga homeostatis pada permukaan kulit dan menjaga elastisitasnya. Hidrasi kulit yang rendah elastisitasnya akan berkurang, maka kulit akan menjadi kering dan permukaanya mudah rusak. Selain itu perubahan dalam komponen lemak epidermal kulit juga dapat menyebabkan xerosis. Beberapa ahli percaya bahwa kejadian kulit kering meningkat dalam beberapa tahun terakhir karena orang sering mandi menggunakan air panas, foaming cleanser, bubble baths, dan garam mandi, yang merusak barier kulit dengan pengupasan komponen lipid pada permukaan kulit. Sabun, deterjen, dan air keras dapat menghilangkan barier kulit yang sehat dan normal (Baumann, 2009).

I.2. Rumusan MasalahApakah terdapat hubungan antara hidrasi kulit dengan derajat keparahan fisura pada tumit pecah?

I.3. Tujuan PenelitianUntuk mengetahui adakah hubungan antara hidrasi kulit dengan derajat keparahan fisura pada tumit pecah.

I.4. Keaslian PenelitianSetelah melakukan pencarian penelitian sejenis melalui database jurnal PubMed dan Ebsco dengan menggunakan kata kunci: Heel Fissures dan Cracked Heels, tidak ditemukan artikel yang terkait dengan judul penelitian.

I.5. Manfaat PenelitianA. Bagi Praktisi: Mengetahui faktor risiko tumit pecah agar dapat mengetahui pencegahan dan mengetahui solusinya.B. Bagi Masyarakat: Mengetahui faktor risiko tumit pecah agar dapat menghindarinya.C. Bagi ilmu pengetahuan: Menambah pemahaman tentang kondisi tumit pecah untuk kemajuan ilmu pengetahuan.

BAB IITinjauan PustakaII.1. Tinjauan Pustaka

II.1.1.Lapisan KulitKulit terdiri dari tiga lapisan utama: epidermis, dermis, dan jaringan subkutan. Setiap lapisan memiliki karakteristik dan fungsi tersendiri. Meskipun penelitian mengenai lapisan kulit masih terus dilakukan, banyak yang sudah diketahui tentang struktur masing-masing komponen(Baumann and Saghari, 2009).Epidermis adalah lapisan kulit yang paling luar. Hal ini sangat penting dari sudut pandang kosmetik, karena epidermis merupakan lapisan kulit yang memberikan teksturdan hidrasi, dan memberikan kontribusi warna pada kulit. Jika permukaan epidermis kering atau kasar, kulit akan tampak tua(Baumann and Saghari, 2009).Keratinosit berkembang melalui epidermis dan setelah matang, akan terbentuk menjadi lapisan-lapisan dengan karakteristik yang berbeda-beda: stratum basale, stratum spinosum, stratum granulosum, stratum lucidum, dan yang paling luar stratum korneum.Bagian paling luar dari lapisan kulit adalah stratum korneum, setebal 15 lapis(Christopers and Kligman, 1964). Keratinosit yang terdapat pada lapisan ini adalah yang paling matang dan telah selesai melalui proses keratinisasi. Keratinosit-keratinosit ini tidak memiliki organel dan susunannya sperti dinding bata. Sel-sel dari lapisan midcornified memiliki asam amino paling banyak dan memiliki kemampuan paling tinggi untuk mengikat air, sedangkan lapisan yang lebih dalam memiliki kapasitas yang lebih rendah dalam mengikat air(Proksch and Jensen, 2008). Stratum korneum dideskripsikan sebagai lapisan mati karena tidak ada sintesis protein dan tidak responsif terhadap molecular signaling(Egelrud, 2000).

II.1.2. Hidrasi KulitHidrasi epidermis adalah kandungan air yang terdapat di dalam stratum korneum. Kulit kering adalah pola reaksi kutaneus dicirikan dengan pengumpulan korneosit pada permukaan kulit, yang menghasilkan tekstur dan penampakan yang kasar. Kejadian kulit kering bergantung pada banyak faktor ekstrinsik termasuk cuaca, lingkungan, paparan bahan kimia, atau obat-obatan. Secara klinis, tanda dan gejala kulit kering dapat berupa sisik dengan pengurangan fleksibilitas mekanik secara bersamaan, dengan tambahan pruritus, mengelupas, pecah-pecah, eritem, sakit dan perih. Kejadian kulit kering lebih menonjol pada kaki, namun dapat mempengaruhi seluruh permukaan kulit.Keseimbangan kadar air pada stratum korneum dan permukaan lipid di kulit membentuk keseimbangan yang pentinguntuk fungsi dan properti fisik pada kulit (Blank, 1952). Hidrasi kulit bergantung pada bermacam-macam faktor termasuk kadar air di permukaan kulit, kualitas barier kulit, dan substansi endogen pengikat air. Biosintesis dan degradasi komponen kulit juga dipengaruhi oleh kesimbangan kadar air, yang berpengaruh pada hidrasi lapisan-lapisan epidermis(Weber et al., 2010).Kejadian kulit kering merupakan hasil dari kurangnya kadar air di stratum korneum(Takahashi et al., 1981). Saat stratum korneum kekurangan air lapisan ini akan kehilangan fleksibilitas, menjadi retak, dan bersisik. Stratum korneum mengandung substansi alami penahan air yang menjaga air agar tidak keluar dari lapisan kulit yang lebih dalam. Airdan lemak pada stratum korneum kulit, dan zat pengikat air dari lapisan hidro-lipid dari kulit, bekerja bersama-sama sebagai barier dari lingkungan. Jika keseimbangan ini terganggu, kondisi dermatologi yang disebut sebagai "kulit kering" akan terjadi (Sator et al., 2003).Meskipun pengetahuan tentang kulit kering telah mengalami kemajuan, namun kulit kering masih merupakan kelainan kulit paling umum. Insidensi kondisi kulit kering pada usia dewasa diperkirakan antara 2% dan 10% (Bath-Hextall et al., 2010). Persentase ini sangat meningkat pada populasi muda dan lansia dan saat musim dingin yang kering. Oleh karena itu evaluasi klinis pada kulit kering secara signifikan penting bagi industri kosmetik tidak hanya untuk memahami kondisi tapi juga untuk mengukur efek terapi.

II.1.3. Tumit PecahTumit pecah yang juga dikenal sebagai fisura adalah retakan linier pada epidermis, yang terkadang mencapai dermis(Gawkrodger, 2003). Fisura merupakan hasil dari kekeringan kulit (xerosis) pada tumit yang sering disertai dengan hiperkeratosis. Saat kulit terlalu kering, elastisitasnya akan berkurang, lapisannya akan mengeras dan timbul retakan (Baumann, 2009).Tanda awal terjadinya tumit pecah adalah kurangnya hidrasi kulit daerah bagian pinggir tumit yang kering dan mengeras, yang disebut callus atau kapal, biasanya berwarna kuning atau coklat tua(Baumann, 2009).Callus biasanya terjadi karena penekanan atau gesekan yang berulang dan berlangsung lama(Vorvick et al., 2011). Kemudian callus akan mengering dan retak, sehingga terdapat penampakan fisura.

II.2. Landasan TeoriBerdasarkan tinjauan pustaka, didapatkan landasan teori sebagai berikut: Hidrasi dipengaruhi oleh kadar air yang ada pada kulit. Rendahnya kadar air di kulit akan menyebabkan stratum korneum kehilangan fleksibilitas dan mudah retak, sehingga menimbulkan fisura.

II.3. Kerangka Konsep

Suhu, Musim, Kelembaban udara, Paparan deterjen, obesitas, Pekerjaan

Derajat keparahan fissurapada tumit pecah

Kulit

Gambar 1. Kerangka konsep

II.4. HipotesisTerdapat korelasi antara hidrasi kulit dan derajat keparahan fisura pada tumit pecah.

Bab IIIMetode Penelitian

III.1. Rancangan PenelitianPenelitian menggunakan desain cross-sectional. Penelitian dilakukan dengan cara mengukur angka hidrasi kulit dan menilai derajat keparahan fisura pada tumit pecah, kemudian dianalisis.III.2. Populasi dan SubyekPopulasi target penelitian adalah seluruh orang yang mengalami tumit pecah. Populasi terjangkau penelitian adalah orang-orang yang bertempat tinggal di Kelurahan Penumping, Yogyakarta pada bulan September tahun 2011 yang mengalami tumit pecah. Sementara itu, subyek penelitian dipilih dengan teknik consecutive sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yaitu:

III.2.1. Kriteria Inklusi Wanita Usia 19 - 50 tahun memiliki kondisi tumit pecah Bersedia menjadi subyek penelitian hingga selesai dan menandatangani inform consent.III.2.2. Kriteria Eksklusi Memiliki kelainan kulit atau luka pada tumit Memiliki penyakit diabetes mellitusIII.3. Tempat PenelitianPenelitian dilakukan di gedung Radiopoetra lantai 3. Bagian Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.III.4. Variabel PenelitianVariabel bebas yang digunakan adalah kadar hidrasi kulit. Sedangkan veriabel terikat adalah derajat keparahan fisura pada tumit pecah.III.5. Definisi OperasionalIII.5.1. Derajat Keparahan FisuraSecara klinis, derajat keparahan fisura dinilai menggunakan 5 skala yaitu normal, ringan, sedang, parah, dan sangat parah (Weber et al., 2010). Dikarenakan belum terdapat standarisasi dalam penilaian keparahan fisura, serta penilaian derajat fisura yang digunakan sebelumnya tidak menyebutkan parameter penilaian.Berbagai sistem skoring telah dikenal dalam ilmu dermatologi. Sebagian sistem skoring tersebut bersifat subyektif. Untuk mengurangi subyektifitas tersebut ditempuh berbagai cara seperti membandingkan dengan standard foto, atau memberi bobot untuk komponen dalam sistem skoring yang menentikan keparahan secara klinis dan mempengaruhi kualitas hidup penderita.Skor penilaian derajat keparahan fisura yang digunakan dalam penelitian ini merupakan modifikasi dari 5 skala tersebut dengan tujuan untuk mengurangi subyektifitas. Skor ini disusun pada tahun 2011 oleh tim dermatologist dari Bagian Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (unpublished data).Tingkat keparahan tumit pecah atau fisura ditentukan berdasarkan panjang fisura, kedalaman fisura, jumlah fisura, dan warna fisura pada tiap kaki, yang masih-masing diberi nilai 1 sampai dengan 5 (Weber et al., 2010). Penilaian derajat keparahan fisura dengan metode ini sudah banyak dilakukan di penelitian sebelumnya mengenai tumit pecah.Untuk fisura dengan panjang kurang dari 1 cm diberi nilai 2, panjang fisura antara 1-2 cm diberi nilai 3, antara 2-3 cm diberi nilai 4 dan lebih dari 3 cm mendapat nilai 5. Sedangkan kedalaman fisura bila kurang dari 0,5 cm mendapat nilai 2, kedalaman antara 0,5-1 cm mendapat nilai 3, kedalaman 1 cm mendapat nilai 4, kedalaman lebih dari 1 cm mendapat nilai 5. Sedangkan jumlah fisura per kaki bila 1-5 mendapat nilai 2, antara 5-10 mendapat nilai 3, antara 10-15 mendapat nilai 4, lebih dari 15 mendapat nilai 5. Warna fisura bila hitam skor 1, coklat 0,5, dan tidak berwarna 0,5.

Tabel 1. Skor penilaian derajat keparahan fisura berdasarkan masing-masing indikator

SkorPanjang(cm)Kedalaman(mm)JumlahWarna (skor)

1Hitam (+1)Coklat (+0,5)Tak berwarna(+0)

2< 1 3>1>15

Untuk total skor derajat keparahan fisura dijumlahkan berdasarkan rumus:

Skor dari penilaian harus dikalikan seperti pada rumus karena semakin banyak perkalian, akan semakin mengurangi bias. Perkalian pada skor jumlah paling besar karena jumlah fisura merupakan ciri utama dari tingkat keparahan fisura dan semakin banyak jumlah fisura pada tumit semakin mengganggu bagi penderita dari sudut pandang estetik dan medis. Untuk skor dalam dan panjang fisura, bobotnya dianggap sama dalam menilai derajat keparahan. Sedangkan pada penilaian warna, dilihat warna yang paling membuat subyek merasa tidak nyaman dan hal tersebut jug dapat menggambarkan kronisitas fisura. Dalam kasus ini, fisura yang berwarna hitam adalah yang paling mengganggu dan kelihatan dibanding warna lain sehingga skornya paling tinggi.Kemudian setelah didapatkan skor total, maka diklasifikasi menjadi :1 atau Normal, bila total skor 02 atau Ringan, bila total skor 1-203 atau Sedang, bila total skor 21-404 atau Parah, bila total skor 41-1005 atau Sangat Parah, bila total skor >100III.5.2. Angka Hidrasi KulitMerupakan angka yang diperoleh dari pengukuran hidrasi kulit menggunakan Corneometer. Corneometer dioperasikan oleh staf yang sudah diberi pelatihan pengoperasian alat. Kedalaman stratum korneum yang terukur hanya 10-20 m untuk menghindari pengaruh dari lapisan kulit yang lebih dalam. Penekanan pada kulit 10N 10%(Courage-Khazaka, 2003).

III.6. Besar SampleUntuk menghitung jumlah sampel atau subyek minimal pada studi potong lintang, digunakan rumus:

dengan:p= perkiraan proporsi (prevalensi) penyakit pada populasi. Diketahui bahwa prevalensi tumit pecah sebesar 20 %, maka nilai p sebesar 0,20. nilai Z pada distribusi normal standar, pada tingkat kemaknaan . Untuk uji dua arah pada = 0,05 digunakan nilai 1,96.d= nilai presisi absolut. Peneliti menggunakan nilai presisi 0,10.Maka, jumlah sampel minimal yang diperlukan adalah 61 orang.

III.7. Alat Penelitian- Lembar informed consent- Form data derajat hidrasi kulit dan tingkat keparahan fisura.- Kaca pembesar merk Lumio Dermlite. Kaca pembesar ini memiliki lampu LED di sekitar lensa untuk memperjelas penampakan kulit.- Corneometer Courage-Kazhaka CM 825. Corneometer ini digunakan untuk mengukur angka hidrasi kulit. Pengukuran didasarkan pada pengukuran kapasitansi dari media dielektrik. Corneometer ini mengukur perubahan dielektrik konstan karena hidrasi pada permukaan kulit mengubah kapasitansi dari kapasitor presisi. Pengukuran dapat mendeteksi bahkan perubahan terkecil pada tingkat hidrasi (Courage-Khazaka, 2003).III.8. Jalannya PenelitianBeberapa minggu sebelum penelitian berlangsung dilakukan pencarian subyek yang sesuai dengan kriteria inklusi. Subyek diminta hadir di bagian Kulit dan Kelamin, gedung Radiopoetra lantai 3, Fakultas Kedokteran UGM.Penelitian dibagi menjadi 2 kloter. Tiap kloter terdiri dari 30 orang, dan pemeriksaan penelitian dilaksanakan pada hari Minggu.

Gambar 2. Alur penelitian

III.9. Jadual Penelitian

Penelitian dilakuakn pada hari Minggu pada bulan September dan oktober.

Tabel 2. Jadual penelitian

September(minggu ke-)Oktober(minggu ke-)

12341234

Pembuatan proposalX

Pelaksanaan PenelitianX

Analisis dataX X

Pembuatan laporanXXXX

III.10. Analisa DataAnalisa data menggunakan studi observasional analitik. Nilai hidrasi kulit yang diperoleh akan dimasukkan sebagai nominal. Meskipun nilai hidrasi merupakan angka arbitrary, namun tidak dimasukkan dalam kategori karena pengkategorian yang ada didapat dari kulit wajah dan tangan yang memiliki karakteristik berbeda dari kulit telapak kaki.Derajat hidrasi akan dikelompokkan pada masing-masing tingkat keparahan fisura pada tumit pecah. Kemudian dari data yang diperoleh akan diolah dengan metode Spearmans , menggunakan program SPSS.

BAB IVHasil dan Pembahasan

IV.1 Hasil Penelitian

IV.1.1 Deskripsi Subyek

Pada penelitian ini diperoleh subyek sebanyak 56 orang wanita yang telah direkrut dari Kelurahan Penumping, Kota Yogyakarta, pada bulan September tahun 2011 dengan teknik consecutive sampling. Subyek penelitian tersebut telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Jumlah subyek yang diperoleh hanya 56 orangbelum mencapai ukuran sampel yang dibutuhkan berdasarkan perhitungan besar sampel, yaitu 61 orang.Dari 56 subyek yang diperoleh, usia termuda adalah 19 tahun dan usia tertua adalah 49 tahun. Rata-rata usia subyek penelitian adalah 36,41 (SD 7,47) tahun. Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa, jumlah subyek terbanyak berada pada rentang usia 31 sampai 40 tahun yaitu berjumlah 26 (46%) orang.

Tabel 3. Distribusi subyek berdasarkan usiaUsia (tahun)FrekuensiPersentase (%)

20 24

21 301425

31 402646

41 50 1425

Total56100

IV.1.2 Derajat Keparahan Fisura

Dari data yang didapat, keseluruhan subyek memiliki tingkat hidrasi dan derajat keparahan fisura yang berbeda.

Tabel 4. Distribusi subyek berdasarkan derajat keparahan fisura pada tumit pecah

Derajat Keparahan FisuraFrekuensi (%)

Derajat 222 (39,3)

Derajat 311 (19,6)

Derajat 417 (30,4)

Derajat 56 (10,7)

Total56 (100)

Gambar 3. Frekuensi derajat keparahan fisura

IV.1.3 Angka Hidrasi KulitHidrasi Kulit dinilai dengan Corneometer Courage-Khazaka. Dari data yang diperoleh didapatkan angka hidrasi terendah 5,67 dan yang tertinggi 61,40. Didapatkan rerata hidrasi pada 56 subyek adalah 16,52. Berikut adalah rerata hidrasi kulit pada tiap derajat keparahan fisura.

Tabel 5. Standar deviasi dan rerata hidrasiNMeanStd. DeviasiMinimumMaximum

Derajat 22223,3814,827,8061,40

Derajat 31113,675,329,0026,80

Derajat 41711,385,916,2724,80

Derajat 5611,175,685,6719,13

Total5616,5211,575,6761,40

Gambar 4. Rerata hidrasi dan standar deviasi

IV.1.4. Analisis Data

Untuk mengetahui korelasi antara angka hidrasi dengan derajat keparahan fisura pada tumit pecah, maka digunakan uji korelasi Spearman.

Tabel 6. Hasil uji korelasi SpearmanDerajatkeparahanfisura

Tingkat hidrasir-0,521

p