02. Hidrasi Dan Hidrolisis Ion Dalam Pelarut

20
4 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Hidrasi dan Hidrolisis Ion dalam Pelarut Di alam ini tidak semua elemen selalu terdapat dalam bentuk bebas. Ada juga yang terdapat sebagai apa yang disebut dengan ion. Sama halnya dengan elemen dalam bentuk yang lebih kompleks (senyawa), ion ini juga memiliki sifat fisik dan kimia di mana karakteristik tersebut akan menentukan bagaimana interaksi yang terjadi antara ion dengan pelarutnya, terutama terhadap air dan komponen senyawa lainnya. Salah satu bentuk ion yang ada dalam senyawa adalah kation di mana spesi ini memiliki muatan parsial positif. Kation tersebut dapat berinteraksi dengan pelarut melalui berbagai mekanisme, bergantung kepada sifat fisik dan sifat-sifat lainnya. Interaksi tersebut bisa rumit, bisa juga sederhana. Pada umumnya yang paling banyak disoroti adalah interaksi dengan pelarut air. Bagaimana mekanisme interaksi dengan pelarut air ini berlangsung secara tidak langsung dapat digunakan sebagai acuan dasar mekanisme interaksi kation dengan pelarut bukan air. 2.1.1 Hidrasi Kation Hidrasi merupakan proses bergabungnya molekul air disertai dengan bergabungnya molekul- molekul tersebut membentuk solut. Secara termodinamika, kalor hidrasi selalu bernilai negatif karena energi yang dibutuhkan untuk memisahkan molekul air tersebut jauh melampaui energi yang dilepas ketika ion bergabung dengan molekul air. Reaksi yang terjadi antara ion dan pelarut air ini akan menghasilkan ion hidrat. Ion hidrat ini merupakan hasil konsekuensi dari sifat polar molekul air. Karena atom oksigen pada molekul air lebih elektronegatif dibanding dengan atom hidrogen maka tiap ikatan H-O akan lebih kovalen polar dimana ikatan elektron yang terlibat menjadi lebih dekat ke arah atom oksigen daripada atom hidrogen sehingga atom oksigen akan sangat negatif oleh awan elektron yang mendekat sedangkan atom hidrogen sebaliknya akan sangat positif. Hal inilah yang menyebabkan mengapa bentuk molekul air tidak linear karena disebabkan adanya tarikan elektron (muatan parsial) ke arah oksigen dan ke arah hidrogen.

description

-

Transcript of 02. Hidrasi Dan Hidrolisis Ion Dalam Pelarut

  • 4

    2 Tinjauan Pustaka

    2.1 Hidrasi dan Hidrolisis Ion dalam Pelarut

    Di alam ini tidak semua elemen selalu terdapat dalam bentuk bebas. Ada juga yang terdapat

    sebagai apa yang disebut dengan ion. Sama halnya dengan elemen dalam bentuk yang lebih

    kompleks (senyawa), ion ini juga memiliki sifat fisik dan kimia di mana karakteristik

    tersebut akan menentukan bagaimana interaksi yang terjadi antara ion dengan pelarutnya,

    terutama terhadap air dan komponen senyawa lainnya. Salah satu bentuk ion yang ada dalam

    senyawa adalah kation di mana spesi ini memiliki muatan parsial positif. Kation tersebut

    dapat berinteraksi dengan pelarut melalui berbagai mekanisme, bergantung kepada sifat fisik

    dan sifat-sifat lainnya. Interaksi tersebut bisa rumit, bisa juga sederhana. Pada umumnya

    yang paling banyak disoroti adalah interaksi dengan pelarut air. Bagaimana mekanisme

    interaksi dengan pelarut air ini berlangsung secara tidak langsung dapat digunakan sebagai

    acuan dasar mekanisme interaksi kation dengan pelarut bukan air.

    2.1.1 Hidrasi Kation

    Hidrasi merupakan proses bergabungnya molekul air disertai dengan bergabungnya molekul-

    molekul tersebut membentuk solut. Secara termodinamika, kalor hidrasi selalu bernilai

    negatif karena energi yang dibutuhkan untuk memisahkan molekul air tersebut jauh

    melampaui energi yang dilepas ketika ion bergabung dengan molekul air. Reaksi yang terjadi

    antara ion dan pelarut air ini akan menghasilkan ion hidrat. Ion hidrat ini merupakan hasil

    konsekuensi dari sifat polar molekul air. Karena atom oksigen pada molekul air lebih

    elektronegatif dibanding dengan atom hidrogen maka tiap ikatan H-O akan lebih kovalen

    polar dimana ikatan elektron yang terlibat menjadi lebih dekat ke arah atom oksigen daripada

    atom hidrogen sehingga atom oksigen akan sangat negatif oleh awan elektron yang

    mendekat sedangkan atom hidrogen sebaliknya akan sangat positif. Hal inilah yang

    menyebabkan mengapa bentuk molekul air tidak linear karena disebabkan adanya tarikan

    elektron (muatan parsial) ke arah oksigen dan ke arah hidrogen.

  • 5

    Gambar 2.1 Kulit hidrasi pada larutan ion

    Adanya perbedaan orientasi awan elektron mengakibatkan muatan yang berlawanan tanda

    akan saling tarik menarik sehingga spesi kation akan dikelilingi oleh spesi air, dengan atom

    oksigen menghapit kation ke arah dalam. Sebaliknya, spesi anion akan dikelilingi oleh

    molekul hidrogen ke arah dalam. Kedua jenis ion yang dikelilingi inilah yang disebut dengan

    ion hidrat.

    Gambar 2.2 Hidrat kation

    Adanya antaraksi dari muatan yang berbeda disebabkan oleh tarikan yang kuat. Besarnya

    antaraksi ini dapat kita deskripsikan sebagai suatu besaran energi yang sering disebut dengan

    energi hidrasi kation. Besarnya energi hidrasi ini bergantung pada muatan, jari-jari kation

    (berdasarkan hukum Coulomb) serta keelektronegatifan dari spesi tersebut. Latimer

    memberikan suatu perumusan untuk menggambarkan seberapa besar energi hidrasi ini (15)

    Persamaan 2.1

    Dengan Z adalah besarnya muatan kation dan r jari-jari kation (pm). Parameter

    keelektronegatifan memang tidak masuk ke dalam rumusan diatas akan tetapi menurut azas

    Pauling nilai keelektronegatifan yang lebih besar dari 1.5 (sebelah kanan tabel periodik)

  • 6

    menunjukkan nilai energi hidrasi yang relatif lebih besar dibandingkan dengan ion yang ada

    disebelah kiri tabel periodik. Selain faktor di atas (muatan, jari-jari dan keelektronegatifan)

    ada juga faktor lainnya seperti formasi dari ikatan kovalen yang terjadi akibat adanya

    pasangan elektron yang tidak tersebar merata oleh molekul air tetapi oleh spesi ion menjadi

    tersebar.

    2.1.2 Hidrolisis Kation

    Adanya interaksi antara ion logam dengan ujung negatif dari molekul air yang sangat kuat

    akan mempengaruhi molekul air secara langsung karena pasangan elektron yang tidak

    tersebar dari molekul air akan tertarik mendekat ke arah ion logam sedangkan ikatan H-O

    akan lebih tertarik ke arah atom oksigen sebagai akibat adanya pengurangan densitas

    elektron. Akibatnya ujung hidrogen pada salah satu molekul air yang terikat ke ion logam

    akan putus. Hal ini dapat berlangsung secara terus menerus sedemikian sehingga spesi H2O

    yang lepas akan bergabung dengan molekul pelarut membentuk ion hidronium dan

    menghasilkan spesi hidroksi untuk berikatan dengan logam (hidroksi kation). Secara singkat

    dapat dituliskan sebagai :

    ++ ++ OHOHHMOHOHM ZZ 315222 )]()([)]([ Spesi hidroksi kation ini dapat terbentuk dengan cara polimerisasi melalui pengurangan dua

    atau lebih molekul H2O sekaligus menghasilkan spesi okso kation.

    ++ + zaqSzzaq MzOHMOHMz ])[1()()([ )()()1()( Pada umumnya nilai tetapan kesetimbangan untuk persamaan reaksi diatas bernilai sekitar

    10-5.6 (hal ini menunjukkan bahwa rentang nilai pH untuk spesi M(OH)z tidak begitu besar

    sehingga akan mempercepat pembentukan hidroksi logam). Persamaan nya dapat dituliskan

    sebagai :

    1 5.6log[ ]zpH pKa Mz z

    + =

    di mana semakin kecil nilai pKa ion logam maka semakin sedikit jumlah basa yang

    diperlukan hidroksi logam untuk terpresipitasi. Hal ini menyebabkan besarnya konsentrasi

    dari ion logam memiliki efek yang sama seperti hal nya pH pada asam basa. Pada kasus

    tertentu hidroksi logam ini dapat mengalami pengurangan spesi air menghasilkan oksida

    yang tidak larut.

    OHzMOOHM SzSz 2)(2/)( 2)( +

  • 7

    Namun terbentuknya spesi MO (metal oksida) ini sangat sulit diperkirakan kapan terjadinya

    karena dalam prakteknya sulit untuk membedakan mana yang merupakan hidroksida dan

    mana yang hidroksida yang mengendap. Akan tetapi jika interaksi antara logam dengan

    pasangan elektron oksigen kuat, spesi hidroksi akan yang terikat pada logam akan kembali

    kehilangan atom H membentuk ion hidronium. Demikian juga dengan hidroksi logam yang

    terbentuk, spesi ini akan bersifat asam okso lemah yang selanjutnya dapat terionisasi

    membentuk okso anion. Rumitnya proses hidrolisis tersebut memberi gambaran bahwa

    interaksi antara muatan positif logam dengan molekul air selama proses pembentukan oksida

    berlangsung akan menghasilkan beberapa spesi lain sebagai produk. Ringkasan mekanisme

    reaksi hidrolisis di atas dapat dilihat dari gambar 2.3 di bawah ini.

    Gambar 2.3 Mekanisme hidrolisis kation(15)

    2.2 Struktur dan Sifat Fisik Kristal Titanium Dioksida

    Strutur kristal TiO2 dapat terdiri dari anatase, rutil, dan brookite. Di alam anatase bentuk

    fisiknya berupa bongkahan kecil dan cenderung terisolasi serta jumlahnya sangat minim jika

    dibandingkan dengan struktur rutil dan brookite. Simetrinya berupa delapan simetri

    tetragonal dipiramida di mana hal ini cukup bisa digunakan sebagai patokan untuk

    membedakan antara stuktur anatase dengan struktur lainnya. Sepintas bongkahan kristalnya

    kelihatan seperti piramida ganda yang ujungnya runcing di kedua sisi. Pada temperatur yang

    tinggi struktur anatase akan berubah menjadi struktur rutil. Struktur rutil sedikit berbeda

    dengan anatase di mana rutil memiliki beberapa simetri oktahedral yang saling berikatan

  • 8

    membentuk rantai yang tersusun menjadi empat lipatan simetri. Untuk beberapa aplikasi,

    rutil paling banyak digunakan karena memiliki sifat fisik yang unik, misalnya berkilau, keras

    dan tahan terhadap fenomena korosi. Lain halnya dengan brookite, srtuktur ini memiliki

    simetri yang polimorf dan akan berubah menjadi rutil pada temperatur sekitar 750 0C. Secara

    umum struktur ini tidak jauh berbeda dengan rutil dan anatase dalam hal massa jenis dan

    tingkat kekerasan.

    2.2.1 Struktur Rutil

    Sebagian besar dioksida logam transisi mengkristal dengan struktur rutil walaupun dalam

    beberapa bahan struktur ini mengalami distorsi. Struktur rutil digambarkan pada gambar 2.4,

    sel satuan rutil adalah tetragonal dengan atom-atom logam terletak pada sudut-sudutnya dan

    sel satuannya bersifat primitif. Koordinasi sekitar ion logam mendekati oktahedral tetapi

    jarak logam terhadap 4 ion oksida berbeda dengan jarak logam terhadap 2 ion oksida lainnya

    yang digambarkan sebagai unit sel tetragonal dengan nilai a = 4,594; c = 2,958 , grup

    ruang: P42/ mnm (1 3 6) dengan koordinat atom terdiri dari Ti di 2(a) pada (0,0,0),

    (1/2,1/2,1/2) dan O di 4(f) pada (x,x,0), (1/2+x, 1/2-x,1/2), (1/2-x, 1/2+x,1/2). Seperti halnya

    pada struktur perovskit, posisi Ti biasanya sudah hampir pasti terletak di sudut-sudut dan

    pusat badan sedangkan atom O memiliki beberapa kemungkinan variabel parameter, di mana

    nilai x ditentukan melalui eksperimen. Nilai x berkisar 0,3 untuk TiO2.

    Struktur rutil dari TiO2 ini juga pada umumnya dapat digambarkan sebagai suatu distorsi

    barisan oksida heksagonal tertutup dengan setengah dari oktahedral diduduki oleh atom Ti.

    Sedangkan panjang ikatan TiO2 dapat dihitung secara grafik berdasarkan geometrinya. Misal

    untuk ikatan Ti-O dengan Ti pada (1/2,1/2,1/2) dan oksigen pada (0.3, 0.3,0). Adanya

    perbedaan perlakuan temperatur atau parameter lain tentu saja akan menghasilkan struktur

    dan morfologi yang berbeda-beda pula. Selanjutnya penentuan bilangan koordinasi dari

    atom-atom, yaitu pusat badan Ti pada (1/2, 1/2,1/2) akan terkoordinasi secara oktahedral

    dengan 6 atom oksigen di mana 4 di antaranya adalah : 2 atom pada 0 dan 2 pada 1 dan di

    atasnya 2 pada 0, yang keseluruhannya koplanar terhadap atom Ti. 2 oksigen pada z =

    kolinier dengan Ti dan akan membentuk aksis yang oktahedron. Ti yang di sudut juga

    kohedral tetapi punya orientasi yang berbeda. Untuk atom oksigen terkoordinasi trigonal

    dengan 3 atom Ti yang ada di sudut, pusat badan, dan pusat badan dari sel yang ada di

    bawahnya.

    Di alam rutil merupakan bentuk TiO2 yang bisa ditemukan dengan mudah di mana

    komposisinya dapat mengandung unsur besi hingga 100 %. Rutil diserap dari bahasa Latin

    yaitu rutilus yang berarti merah di mana dalam bentuk bebasnya TiO2 ini berwarna agak

  • 9

    kemerahan yang menyala. Itulah sebabnya struktur ini memiliki sifat bias dan dispersi yang

    tinggi. Secara struktur, rutil TiO2 berbentuk polimorf yang memiliki volume molekular

    paling kecil dari kedua bentuk polimorf lainnya, yaitu anatase dan brookit.

    Tabel 2.1 Sifat kristalografi dan fisik struktur rutil TiO2(16)

    KRISTALOGRAFI NILAI

    Rasio Aksial A : c = 1: 0,634

    Dimensi Sel a = 4,594; c = 2,958; Z = 2; V = 62,43

    Sistem Kristal Tetragonal - Ditetragonal Dipiramida

    Difrakasi Sinar - X I/Io = 3,245 (1); 1,687 (0,5); 2,489 (0,41)

    SIFAT FISIK KETERANGAN

    Bidang Kristal [110] jelas

    Warna

    merah, kebiru-biruan, kuning kecoklatan,

    ungu

    Kerapatan 4,25

    Tingkat kekerasan, Hardness 6 - 6,5 Ortoklase-pirit

    Tingkat Kilauan, Luster adamantine

    Warna Lapisan, streak abu

    Sifat Luminisens tidak ada

  • 10

    Gambar 2.4 Struktur rutil kristal TiO2 (a) oktahedral, (b) ball and stick

    Berkaitan dengan kestabilan permukaan, secara termodinamika, rutil memiliki kestabilan

    yang lebih tinggi dibandingkan anatase (G0f untuk rutil adalah -212,6 kkal mol-1 sedangkan

    G0f untuk anatase adalah -211,4 kkal mol-1)(9). Bentuk rutil memiliki perbedaan celah energi

    sebesar 3,05 eV.

    2.2.2 Struktur Anatase

    Anatase merupakan salah satu bentuk dari kristal TiO2 di alam. Jenis ini terdapat dalam

    bentuk padatan kecil yang secara struktur berbentuk tetragonal dengan simetri yang hampir

    sama seperti rutil. Meskipun demikian, antara kedua jenis mineral ini besar sudut

    antarmukanya tidak sama kecuali untuk zona prisma pada daerah 450 dan 900. Sifat kristal

    anatase ini membentuk delapan tetragonal dipiramid berpusat badan. Pada temperatur yang

    relatif tinggi (sekitar 915 0C) akan berubah secara otomatis menjadi struktur yang rutil(7).

    Tabel 2.2 Sifat kristalografi dan fisik struktur anatase TiO2(17)

    KRISTALOGRAFI NILAI

    Rasio Aksial a : c = 1 : 2,50725

    Dimensi Sel a = 3,793; c = 9,52; Z = 4; V = 136,82

    Sistem Kristal teragonal - ditetragonal dipiramida

    Difrakasi Sinar - X I/Io = 3,51 (1); 1,891 (0,33), 2,379 (0,22)

  • 11

    SIFAT FISIK KETERANGAN

    Bidang Kristal [101] sempurna, [001] nyata

    Warna hitam, kuning, biru gelap, abu-abu

    Kerapatan 3,9

    Tingkat kekerasan, Hardness 5,5 - 6 knife blade-orthoclase

    Tingkat Kilauan, Luster adamantine - resinous

    Warna Lapisan, streak putih kuning

    Sifat Luminisens tidak ada

    Gambar 2.5 Struktur rutil kristal TiO2 (a) oktahedral, (b) ball and stick

    2.2.3 Sifat Fotokatalis Oksida Logam

    Sifat fotokatalis merupakan salah satu sifat penting yang terdapat pada senyawa oksida

    logam seperti. Suatu oksida logam yang berfungsi sebagai fotokatalis dapat berperan sebagai

    reduktor ataupun oksidator bergantung pada besarnya energi celah yang dimiliki oleh oksida

    itu sendiri. Peran sebagai oksidator atau reduktor suatu fotokatalis inilah yang nantinya dapat

    diaplikasikan kepada beberapa hal seperti proses degradasi senyawa berwarna atau senyawa

    organik sebagai polutan. Mekanisme fotokatalis dari oksida logam pada umumnya

    berlangsung dalam beberapa tahap bergantung kepada jenis oksida logam yang digunakan.

  • 12

    2.2.3.1 Fotokatalisis

    Katalis merupakan suatu zat yang dapat mempengaruhi laju reaksi tanpa muncul sebagai

    produk reaksi. Selain itu juga, katalis adalah sejumlah kecil sistem yang memiliki

    kemampuan untuk mengembangkan suatu rute reaksi alternatif yang memberikan laju reaksi

    yang lebih cepat. Berdasarkan kesamaan fasanya dengan reaktan, katalis dibagi menjadi dua

    kelas, yaitu katalis homogen dan katalis heterogen. Katalis homogen memiliki fasa yang

    sama dengan reaktan. Pada umumnya, katalis ini berupa larutan atau campuran. Sedangkan

    katalis heterogen memiliki fasa yang berbeda dengan reaktan. Contohnya adalah TiO2 yang

    pada saat ini banyak digunakan sebagai katalis dalam pengolahan limbah warna.

    Fotokatalis merupakan salah satu katalis yang bekerja apabila diberi cahaya tertentu. Pada

    umumnya, fotokatalis merupakan suatu semikonduktor yang memiliki pita valensi penuh dan

    pita konduksi kosong. Contohnya adalah TiO2, CdS, ZnS, SrTiO3, MoS2, dan Fe2O3. Bila

    semikonduktor tersebut disinari dengan panjang gelombang tertentu, maka elektron (e-) dari

    pita valensi akan tereksitasi ke pita konduksi dan menghasilkan suatu lubang positif (h+)

    pada pita valensi. Setelah itu akan dapat terjadi dua langkah lanjutan akibat terbentuknya

    pasangan lubang-elektron tersebut, yaitu terjadi transformasi energi termal atau reaksi

    dengan akseptor elektron atau donor elektron, yakni terjadi reaksi dari sebagian pasangan

    elektron dan lubang tadi dengan zat kimia lain pada permukaan.

    2.2.3.2 Mekanisme Fotokatalisis dengan Menggunakan TiO2

    Titanium dioksida dapat digunakan sebagai fotokatalis karena merupakan semikonduktor

    yang memiliki celah energi yang cocok untuk membantu beberapa reaksi kimia. Salah

    satunya adalah untuk mendegradasi limbah organik. Celah energi pada TiO2 dapat

    mengakibatkan padatan ini mengabsorpsi radiasi elektromagnet pada daerah ultraviolet

    (UV). Ketika TiO2 menerima radiasi energi yang lebih besar daripada celah energinya, yaitu

    3,2 eV untuk anatase dan 3,0 eV untuk rutil, maka elektron pada pita valensi akan tereksitasi

    ke pita konduksi sehingga dihasilkan lubang positif (h+) pada pita valensi.

    Pada awalnya fotokatalis TiO2 akan tereksitasi ketika dikenai cahaya dengan panjang

    gelombang sekitar 380 nm dan selanjutnya zat berwarna akan tereksitasi dalam suatu proses

    yang dikenal dengan fotosensitivitasi bila dikenai cahaya di sekitar daerah sinar tampak dan

    kemudian mendonorkan elektronnya pada fotokatalis TiO2 sebagai proses awal dalam

    degradasi. Pada mekanisme pertama, foton dengan energi sebesar hv melampaui celah energi

    dari semikonduktor TiO2 (~3,2 eV) atau di sekitar panjang gelombang antara 380-400 nm

    menyebabkan sebuah elektron tereksitasi dari pita valensi ke pita konduksi dan

  • 13

    meninggalkan sebuah lubang hvb pada pita valensi. Elektron yang tereksitasi pada pita

    konduksi dan lubang yang terdapat pada pita valensi dapat bergabung kembali dan

    mengubah input energi menjadi panas atau terperangkap pada permukaan metastabil. Atau

    bisa pula gabungan elektron yang diadsorpsi pada permukaan semikonduktor atau di sekitar

    medan listrik muatan partikel. Pada gambar 2.6 diberikan beberapa tahap mekanisme

    fotokimia(18), yaitu :

    Absorpsi foton dan pasangan elektron lubang serta migrasi elektron dan lubang, (1) dan (2)

    merupakan proses rekombinasi elektron lubang pada permukaan, (3) reduksi akseptor

    elektron, (4) oksidasi donor elektron.

    Absorpsi energi foton sebesar hv mengakibatkan elektron tereksitasi dari pita valensi ke pita

    konduksi sehingga mengakibatkan transfer elektron ke molekul oksigen membentuk ion

    radikal superoksida (*O2-) dan transfer elektron dari molekul air ke lubang pita valensi

    membentuk radikal hidroksil (*OH).

    Gambar 2.6 Mekanisme awal kerja oksida logam sebagai fotokatalis

    Bila elektron yang cocok atau lubang scavanger tidak tersedia, penyimpanan energi tidak

    terjadi dan akan terjadi penggabungan lubang elektron dalam waktu sekitar nanodetik. Jika

    scavanger ini cocok atau permukaan cacatnya memungkinkan untuk menjebak elektron atau

    lubang, maka penggabungan dapat dicegah dan reaksi redoks dapat terjadi. Kekuatan

    oksidasi dari lubang pada pita valensi dimanfaatkan untuk mengoksidasi senyawa organik,

    baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk mencegah kenaikan muatan elektron

    yang akan mereduksi spesi yang kemudian akan tereduksi di lingkungannya.

    Selain digunakan untuk mendegradasi senyawa berwarna pada limbah organik, TiO2 juga

    dapat digunakan untuk memproduksi gas hidrogen dari metanol(10). Laju pembentukan

    hidrogen akan meningkat ketika permukaan TiO2 di-doping oleh suatu logam yang berfungsi

    sebagai katoda. Dalam beberapa penelitian, permukaan TiO2 akan di-doping oleh Ag sebagai

    katoda. Siklus reaksi produksi hidrogen melalui fotokatalitik metanol oleh TiO2 yang di-

    doping oleh katoda Ag. Metanol yang terserap pada permukaan Ag akan terdehidrogenasi

    menghasilkan gas hidrogen dan karbon monoksida yang terserap dengan kuat pada

    permukaan katalis. Hal tersebut menyebabkan reaksi berhenti. Namun, energi yang diserap

  • 14

    oleh fotokatalis TiO2 cukup untuk menghasilkan spesi oksigen yang reaktif yang dapat

    mengoksidasi gas CO menjadi gas CO2 yang tidak teradsorp oleh permukaan katalis. Dengan

    tersedianya kembali permukaan tersebut, maka reaksi akan terulang kembali. Reaksi ini akan

    terus terjadi membentuk siklus seperti pada gambar 2.7 berikut ini :

    Gambar 2.7 Siklus reaksi fotokatalitik metanol menjadi gas hidrogen

    2.2.4 Struktur dan Energi Celah pada Semikonduktor

    Suatu fotokatalis dapat berperan sebagai reduktor maupun sebagai oksidator. Hal ini

    bergantung pada besarnya celah energi yang dimiliki semikonduktor tersebut dan jenis spesi

    yang akan dioksidasi atau direduksi(9). Pada gambar berikut diberikan celah energi berbagai

    semikonduktor dan hubungannya dengan potensial reduksi terhadap elektroda hidrogen

    standar. Terlihat beberapa semikonduktor mampu mereduksi H+ ataupun mengoksidasi H2O

    pada kondisi standar.

    Gambar 2.8 Besarnya energi celah pada suatu semikonduktor(10)

    -2,0

    -1,0

    0,0

    1,0

    2,0

    3,0

    ZnS

    SrTiO3 TiO2

    CdS CdTe CdSe Si

    WO3 Fe2O3MoS2

    3,6 eV

    3,2 eV

    3,0 eV

    2,4e

    1,4 eV

    1,7 eV

    1,3 eV

    2,8 eV

    2,3 eV

    1,75e

  • 15

    Apabila inti atom dianggap sebagai matahari dalam pusat tata surya kita, maka dapat kita

    analogikan bahwa elektron akan berputar mengelilingi inti atom. Hal ini sesuai dengan

    Hukum Niels Bohr yang mengatakan bahwa inti elektron akan bergerak mengelilingi inti

    dengan lintasan (orbit) yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat energi masing-masing

    elektron. Seberapa banyak elektron yang dapat mengelilingi inti atom adalah terbatas.

    Elektron yang terletak pada orbital paling luar disebut elektron valensi yang nantinya

    berperan dalam pembentukan ikatan antar atom.

    Apabila terdapat beberapa elektron yang akan saling bergabung, maka besarnya energi

    elektron pada masing-masing orbital akan berbaur. Namun bila beberapa ikatan atom

    bertambah maka besarnya energi elektron tersebut akan kontiniu dengan interval yang tidak

    terbatas. Interval ini menunjukkan adanya suatu besaran yang disebut dengan pita energi di

    mana daerah di antara dua pita energi tertentu tidak terdapat energi elektron sama sekali

    yang sering disebut sebagai forbidden band atau pita terlarang. Di antara pita energi yang

    terisi elektron (biasanya orbital elektron yang paling jauh dari inti atom) tingkat energi

    paling tinggi mengacu kepada pita valensi dan pita yang berada di luar itu disebut dengan

    pita konduksi. Perbedaan energi pada pita terlarang antara pita konduksi dan pita valensi

    disebut dengan celah energi atau band gap. Celah energi dapat dianalogikan sebagai

    sebuah tembok dimana elektron harus terlebih dahulu loncat melewati tembok tersebut untuk

    dapat bebas. Seberapa besar energi yang dibutuhkan disebut dengan energi celah pita di

    mana hanya elektron yang mampu menembus dinding dan dapat masuk ke dalam pita

    konduksi yang dapat bergerak bebas.

    Gambar 2.9 Struktur pita energi celah TiO2

    Bila dilakukan penyinaran pada TiO2 yang rutil dan anatase pada panjang gelombang

    dibawah 318 dan 413 nm maka elektron pada pita valensi akan naik ke pita konduksi. Pada

  • 16

    waktu yang bersamaan dengan itu pula lubang-lubang positif terbentuk sebanyak jumlah

    elektron dapat berpindah ke pita konduksi.

    2.2.5 Energi dan Sifat Cahaya Efek Cahaya pada TiO2

    Semikonduktor yang terdiri dari atom yang berbeda, bentuk pita valensi dan pita konduksi

    sangat rumit tapi pada prinsipnya adalah sama. Sebagai contoh pita valensi untuk TiO2 yang

    terbentuk dari orbital 2p atom oksigen (O) sedangkan pita konduksi dibentuk oleh orbital 3d

    dari atom Ti. Semikonduktor yang memiliki celah energi yang besar menyebabkan elektron

    tidak dapat berpindah ke pita konduksi. Namun hal ini bisa terjadi bila ada tambahan energi

    dari luar sistem. Proses ini sering disebut dengan eksitasi elektron. Akibatnya akan terbentuk

    lubang-lubang elektron sebanyak elektron yang tereksitasi ke pita konduksi pada pita

    valensi. Hal ini sejalan dengan perpindahan elektron dari orbital ikatan ke orbital anti ikatan.

    Dengan kata lain tingkat fotoeksitasi pada semikonduktor secara umum dapat dikatakan

    tidak stabil dan ada kemungkinan untuk gagal ditengah-tengah. Untuk TiO2 hal ini bisa

    diminimalkan karena kristal TiO2 ini relatif stabil meskipun loncatan elektron terjadi. Sifat

    inilah yang menyebabkan mengapa TiO2 memiliki sifat fotokatalis yang baik.

    Ada beberapa faktor yang mempengaruhi bagaimana dan seberapa besar struktur pita dapat

    mempengaruhi reaksi fotokatalitik pada semikonduktor :

    1. Besarnya energi celah pita

    2. Posisi elektron paling rendah pada pita konduksi

    3. Posisi elektron paling tinggi pada pita valensi

    Pada reaksi fotokatalitik, seberapa besar energi celah dan posisi elektron tertinggi pada pita

    valensi akan sangat menentukan bagaimana reaksi fotokatalitik tersebut berlangsung. Dan

    hal ini bisa digunakan untuk menentukan seberapa besar kekuatan dekomposisi oksidasi dari

    TiO2 yang digunakan sebagai fotokatalis.

    2.3 Metode Sintesis Padatan Oksida

    Metode yang paling banyak digunakan untuk sintesis bahan anorganik mengikuti rute yang

    hampir universal dimana sintesis melibatkan pemanasan berbagai komponen pada

    temperatur tinggi selama periode yang relatif lama. Reaksi ini melibatkan pemanasan

    campuran dua atau lebih padatan untuk membentuk produk yang juga berupa padatan.

    Dalam prakteknya banyak hal yang harus diperhatikan sebelum memilih metode yang tepat

    untuk melakukan sintesis.

  • 17

    Salah satu faktor yang bisa dijadikan dasar pemilihan sintesis adalah laju difusi. Ketika

    berbicara mengenai laju berarti mengacu kepada kecepatan reaksi atau laju reaksi. Biasanya

    orang lebih memilih metode yang bisa menghasilkan laju yang besar. Untuk mendapatkan

    laju yang besar diperlukan suatu konstanta difusi yang bernilai lebih besar dari 10-12 cm2/s

    dimana konstanta ini akan naik dengan bertambahnya nilai temperatur. Selain

    mempertimbangkan faktor-faktor di atas, teknik preparasi juga berperan penting untuk

    mendapatkan hasil yang maksimal. Misalnya pemilihan pereaksi yang tepat, pengubahan

    terlebih dahulu campuran reaksi menjadi pelet atau memilih wadah yang tepat untuk

    berlangsungnya reaksi.

    2.3.1 Sintesis dengan Metode Hidrotermal

    Metode hidrotermal adalah metode sintesis dengan memanaskan larutan yang bereaksi dalam

    ruang tertutup di atas titik didihnya(10). Pada umumnya, proses kristalisasi berjalan lambat,

    namun dapat dipercepat dengan menggunakan metode hidrotermal. Metode hidrotermal juga

    dapat digunakan untuk mengatasi rendahnya tingkat kelarutan beberapa garam anorganik.

    Tetapi tidak semua garam anorganik dapat larut di dalam air atau pelarut organik lainnya.

    Dengan menggunakan tekanan yang lebih tinggi, masalah kelarutan ini biasanya dapat

    diatasi.

    Istilah hidrotermal berasal dari bidang ilmu geologi dan pertama kali digunakan oleh seorang

    ahli geologi berkebangsaan Inggris bernama Sir Roderick Murchison (1792-1871). Istilah ini

    menggambarkan perilaku air pada temperatur dan tekanan tinggi yang membawa perubahan

    pada lapisan kerak bumi dan mengarah pada pembentukan berbagai macam batuan dan

    mineral. Maka, reaksi hidrotermal dapat didefinisikan sebagai suatu reaksi kimia heterogen

    dalam suatu larutan (air/non air) di atas temperatur ruangan dan tekanan 1 atm dalam suatu

    sistem tertutup.

    Keadaan hidrotermal memiliki sifat fisik yang spesifik, solvasi yang tinggi, tekanan yang

    tinggi, dan transpor massa pelarut. Oleh karena itu, pada keadaan ini dapat diharapkan

    terjadinya beberapa reaksi yang sukar terjadi pada keadaan biasa. Teknik hidrotermal

    memberikan beberapa keuntungan, antara lain:

    1. Cakupan daerah kerja temperatur dan tekanan yang luas.

    2. Memungkinkan dilakukannya sintesis berbagai senyawa yang memiliki bilangan

    oksidasi yang sulit diperoleh.

    3. Memungkinkan dilakukannya sintesis senyawa metastabil.

  • 18

    4. Sistem yang tertutup dan gradien temperatur yang rendah pada teknik hidrotermal

    menyebabkan senyawa yang diperoleh memiliki kemurnian yang tinggi, ukuran

    yang besar, dan dislokasi yang minimum.

    5. Memungkinkan dilakukannya sintesis berbagai fasa senyawa pada temperatur

    rendah.

    6. Dapat digunakan beragam sumber senyawa dalam berbagai fasa sebagai reaktan.

    Untuk skala laboratorium, sistem ini dibuat dengan menggunakan suatu bom/autoclave yang

    terbuat dari baja tahan karat untuk menahan tekanan dan temperatur tinggi, sedangkan

    tempat terjadinya reaksi digunakan suatu wadah yang terbuat dari teflon yang bersifat inert.

    2.3.2 Sintesis dengan Metode Temperatur Rendah

    Metode sintesis pada dengan cara hidrotermal diaplikasikan untuk sebagian besar reaksi

    padatan dalam hal pembentukan struktur baru dari reaktan-reaktannya. Pembentukan

    susunan ion atau ikatan akan membutuhkan energi yang besar untuk memutuskan ikatan

    sehingga memerlukan temperatur yang relatif tinggi seperti umumnya reaksi kimia padatan.

    Oleh karena itu dikembangkan suatu metode yang hampir sama hanya temperatur sintesis

    dapat ditekan serendah mungkin atau berada sedikit di atas temperatur kamar yang

    melibatkan modifikasi struktur suatu material. Adapun reaksi yang terjadi akan

    mengakibatkan perubahan dalam hal interkalasi insersi yakni suatu ion atau molekul

    ditambahkan pada suatu senyawa namun struktur awal dari senyawa yang dimasukan tidak

    mengalami perubahan atau penukaran ion.

    Reaksi temperatur rendah sering disebut juga dengan reaksi Chimie Douce dilakukan pada

    kondisi temperatur yang moderat yaitu sekitar 500 0C(10). Reaksi jenis ini termasuk ke dalam

    reaksi topotaktik dimana struktur unsur-unsur reaktan dipertahankan dalam produknya.

    Contoh teknik yang sering dilakukan adalah interkalasi dan pertukaran ion. Interkalasi

    melibatkan penyisipan ion-ion ke dalam struktur yang telah ada dan akan menyebabkan

    reduksi pada senyawa awal naik itu dengan penambahan anion (mengakibatkan oksidasi)

    atau penambahan kation (mengakibatkan reduksi). Biasanya teknik ini dilakukan pada

    padatan yang strukturnya berlapis-lapis (memiliki ikatan kovalen atau Van der Waals).

    Sebagai contoh yang mudah ditemui adalah lempung, grafit dan dikalkogen. Reaksi

    interkalasi dapat dilakukan secara elektrokimia atau melalui reaksi kimia menggunakan

    teknik n-butyl Li

    TiS2 + n-Bu-Li LiTiS2

  • 19

    Reaksi pertukaran ion melibatkan pertukaran muatan sebagai akibat dari kation-kation yang

    terikat secara ionik. Pertukaran ion yang paling mudah terjadi adalah pada kation-kation

    monovalen.

    Contoh :

    LiNbWO6 + H3O+ HnbWO6 + Li+ Cubic-KSbO3 + Na+ Cubic-NaSbO3 + K+ Metode temperatur rendah ini berguna untuk memodifikasi struktur elektronik dari padatan,

    merancang senyawa metastabil baru, dan membuat bahan-bahan reaktif yang memiliki luas

    permukaan yang relatif besar yang dapat diaplikasikan sebagai katalis heterogen, baterai, dan

    sensor. Namun dari keseluruhan metode sintesis temperatur rendah ini terdapat beberapa

    kekurangan yaitu sukar mencari prekursor yang sesuai dan produk metastabil sering tidak

    stabil dan dalam praktek aplikasinya membutuhkan temperatur yang tinggi atau kristal

    tunggal.

    2.4 Efek Medan Listrik dalam Proses Pertumbuhan Kristal Oksida Logam

    Dalam beberapa penelitian telah dilakukan suatu pengembangan metode baru dalam hal

    pemberian efek medan listrik terhadap permukaan oksida logam. Dari teori yang telah ada

    dikatakan bahwa pemberian arus listrik dapat mengakibatkan perubahan dalam hal energi

    bebas dari suatu sistem kristal dalam fasa larutan(6). Efek ini akan lebih kelihatan jika

    diaplikasikan pada molekul dengan ukuran yang lebih besar. Perubahan lain yang juga

    sangat mendasar adalah terjadinya transformasi fasa, pembentukan inti ataupun orientasi

    pertumbuhan kristal. Pemberian arus sebesar 1 kV pada permukaan kabel logam yang tipis

    (sekitar 1 mm diatas substrat sepanjang 14 mm) akan menghasilkan suatu distribusi listrik

    pada permukaan sebesar 4500 V cm-1 pada bagian kabel sebelah kiri dan sekitar 50 V cm-1

    pada bagian kabel yang sebelah kanan dari substrat. Kristalinitas dari oksida logam juga

    akan mempengaruhi secara luar biasa apabila selama film tipis oksida logam tersebut

    dideposisi dan diberikan tambahan medan listrik sebesar + 100 V cm-1.

    Biasanya efek penambahan medan listrik ini akan mendapat respon yang baik apabila

    struktur dari oksida logam yang bersangkutan berbentuk asimetris sehingga memungkinkan

    adanya suatu polarisasi yang kuat sepanjang sumbu c. Hal ini sudah diteliti pada kristal ZnO

    di mana dari struktur tersebut adanya pemisahan antara bagian polar dan non polar

    mengakibatkan apabila kristal ZnO ini mudah untuk mengalami perubahan posisi atom-atom

    nya akibat penambahan medan listrik.

  • 20

    Gambar 2.10 Skematik struktur kristal ZnO dalam keadaan terpolarisasi

    Namun efek penambahan medan listrik ini bergantung kepada beberapa hal yang berkaitan

    dengan sifat fisik dan kimia oksida logam yang bersangkutan, misalnya pada oksida logam

    ZnO, apakah atom Zn atau atom O yang berada di atas suatu permukaan akan mempengaruhi

    efek medan listrik yang diberikan.

    Secara sederhana bagaimana medan listrik dapat diberikan pada permukaan oksida logam

    adalah sebagai berikut :

    Penambahan medan listrik ini dilakukan pada saat proses deposisi dilakukan. Kabel logam

    tipis diletakkan diatas suatu substrat yang kesemuanya berada dalam suatu sistem

    pembangkit laser deposisi. Karena plasma yang dihasilkan dari sumber laser sangat

    konduktif, maka kabel logam tadi diselubungi dengan alumina terlebih dahulu untuk

    mencegah terjadinya hubungan singkat arus listrik antara kabel dengan substrat dalam

    lingkungan plasma tersebut. Selanjutnya, karena kabel listrik tipis tersebut diletakkan di atas

    sebelah kiri dari substrat, maka medan listrik yang diberikan akan berkurang dari sebelah kiri

    ke kanan. Oleh karena itu suatu struktur tertentu dari oksida logam yang terbentuk dalam

    pengaruh medan listrik akan terjadi. Dari penelitian dalam oksida logam ZnO didapatkan

    hasil di mana dengan pemberian tegangan tinggi sebesar 1 kV ke permukaan kabel logam

    tipis tersebut akan memberikan rentang medan listrik/area sebesar 4500 V cm-1 di sebelah

    kiri kabel dan 50V cm-1 di sebelah kanan kabel. Skema alat dan rentang medan listrik yang

    dihasilkan dapat dilihat pada gambar 2.11.

  • 21

    Gambar 2.11 Skema alat PLD (Plasma Laser Deposition) beserta sumber medan listrik

    Gambar 2.12 Efek medan listrik pada substrat ZnO (4500-50 V cm-1 sepanjang c-aksis)

    2.5 Karakterisasi dengan Menggunakan Difraksi Sinar-X

    Analisis struktur suatu padatan dapat dilakukan dengan menggunakan metode difraksi sinar-

    X, dengan mengacu kepada fakta bahwa gelombang dapat mengalami fenomena difraksi

    pada saat berinteraksi dengan sistem yang mempunyai kisi atau celah sesuai dengan panjang

    gelombang sinar yang ditembakkan. Panjang gelombang sinar-X sekitar 10-10 m, serupa

    dengan jarak antar atom dalam padatan kristalin, sehingga, sinar-X dapat digunakan untuk

    menentukan struktur padatan kristalin.

    Hubungan antara panjang gelombang (), orde difraksi (n), jarak antar bidang kisi (d) dan sudut difraksi () diungkapkan dalam persamaan Bragg berikut: n = 2d sin (2.2)

  • 22

    2.6 Penentuan Morfologi Permukaan Padatan Oksida dengan Menggunakan Metode Scanning Electron Microscopy (SEM)

    Sanning Electron Microscopy atau SEM merupakan suatu instrumen yang dapat digunakan

    untuk melihat partikel-partikel yang berukuran mikro. Biasanya mikroskop ini menggunakan

    rangkaian untuk membelokkan gelombang cahaya dan menghasilkan suatu gambaran yang

    diperbesar dengan perbesaran yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mikroskop biasa

    karena alat ini menggunakan elektron berenergi tinggi sebagai pengganti gelombang cahaya.

    Gambaran yang diperoleh dari instrumen ini berupa gambaran hitam-putih karena tidak

    adanya gelombang cahaya.

    Sampel ditembakkan dengan berkas elektron berenergi tinggi sehingga menghasilkan

    pantulan elektron dengan energi yang lebih rendah. Elektron inilah yang akan menentukan

    gambaran morfologi permukaan sampel. Sebelum proses penembakan elektron dilakukan,

    biasanya sampel dilapisi dengan emas tipis menggunakan alat sputtering guna mencegah

    terjadinya kerusakan struktur akibat penembakan dengan elektron berenergi tinggi

    2.7 Penentuan Absorbansi dengan Metode Spektrofotometri Ultraviolet

    Pengukuran absorbansi atau serapan pada rentang daerah ultraviolet dan sinar tampak secara

    umum digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif dari suatu spesi kimia. Mekanisme

    yang terjadi berlangsung dalam dua tahap yaitu eksitasi elektron akibat adanya absorpsi

    foton ( M + hv = M* ) dan dilanjutkan dengan relaksasi yang merubah M* menjadi spesi

    baru dengan reaksi fotokimia(12). Proses absorpsi dalam daerah ultraviolet dan sinar tampak

    ini menyebabkan eksitasi elektron pada ikatan dalam suatu molekul, di mana puncak

    absorbansi (pada panjang gelombang maksimum) dipengaruhi secara langsung oleh jenis

    ikatan yang ada dalam spesi tertentu. Dalam keperluan analisis kualitatif spektroskopi

    absorpsi ini dapat digunakan untuk mengkarakterisasi gugus fungsi dalam suatu molekul,

    sedangkan analisis kuantitatif besarnya asorbansi dapat digunakan untuk menentukan

    besarnya konsentrasi spesi di dalam suatu sistem. Spesi yang dapat melakukan absorpsi

    biasanya meliputi elektron phi (), sigma (), dan n pada golongan s (dalam sistem periodik

    unsur), elektron d dan f, dan transfer muatan elektron.

    Untuk elektron phi (), sigma (), dan n-elektron, jenis transisi yang terjadi meliputi

    molekul-molekul organik dan sebagian kecil anion anorganik. Eektron dari molekul-molekul

    yang akan mengabsorpsi meliputi elektron yang digunakan pada ikatan antara atom-atom

    dan elektron non-bonding atau elektron yang tidak berpasangan yang pada umumnya

    terdelokalisasi. Molekul ini mengabsorpsi energi radiasi karena adanya eksitasi dari elektron

    valensi ke tingkat energi yang lebih tinggi. Proses absorpsi ini biasanya berlangsung pada

  • 23

    panjang gelombang 180-185 nm. Untuk senyawa tertentu jenis transisinya pun akan spesifik

    sesuai dengan jenis transisi yang terjadi dalam molekul tersebut.

    Absorpsi yang melibatkan elektron d dan f pada unsur-unsur golongan logam transisi akan

    mengabsorpsi pada daerah panjang gelombang sinar tampak. Spesi dari golongan d akan

    mengalami transisi dari orbital 3d dan 4d yang memiliki pita yang lebar dan sangat

    dipengaruhi oleh lingkungan yang mengelilinya. Transisi logam golongan f memiliki puncak

    yang sempit karena interaksi elektron-elektron pada orbital 4f ataupun 5f (untuk golongan

    lantanida dan aktanida) mengalami efek screening orbital dalam dari pengaruh luar. Khusus

    untuk logam transisi, sifat spektrum yang teramati sangat dipengaruhi oleh transisi elekronik

    antara tingkat-tingkat energi pada orbital d. Hal ini dapat dipelajari lebih lanjut dengan

    menggunakan Teori Medan Kristal (Crystal Field Theory, CFT) di mana dalam teori ini

    dijelaskan bagaimanan splitting dalam orbital d logam transisi dapat terjadi. Besarnya

    splitting ini sangat dipengaruhi oleh spesi kimia lain yang terikat pada atom pusat. Nantinya

    didapat suatu deret gugus fungsi yang menggambarkan posisi puncak absorpsi untuk

    berbagai jenis kompleks.

    Selain kedua jenis transisi yang telah disebutkan sebelumnya, ada juga spektrum absorpsi

    muncul akibat transfer muatan. Proses transfer muatan ini dapat terjadi apabila suatu

    senyawa terdiri dari elektron donor dan elektron akseptor sehingga transfer elektron dapat

    terjadi dan menghasilkan suatu absorpsi radiasi. Karena transfer elektron memerlukan energi

    yang lebih kecil, maka suatu senyawa akan mengabsorpsi pada panjang gelombang yang

    lebih kecil. Dalam kompleks logam transisi, setiap atom pusat akan bertindak sebagai

    akseptor elektron. Setiap keadaan yang mengakibatkan perpidahan elektron dari suatu orbital

    ke orbital lainnya dalam suatu senyawa merupakan indikasi penting dalam melakukan

    karakterisasi dengan menggunakan spektrofotometri sinar tampak dan ultraviolet.