Jurnal_Lektur_Vol0602

download Jurnal_Lektur_Vol0602

of 176

Transcript of Jurnal_Lektur_Vol0602

--diambil dari kulit depan, dengan nomor akreditasi--

(Logo Jurnal Lektur)

Daftar IsiKajian Naskah Klasik

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Klasifikasinya Abdul Hadi W.M. Menguak Sufisme Tuang Rappang: Telaah atas Naskah Daqiq al-Asrr M. Adib Misbachul Islam

179 206

207 228

Runtuhnya Budaya Bangsa (Peta Dekadensi Moral dalam Naskah Wasiat Nabi Kode BR. 26 Koleksi PNRI) Nur Said 229 250 Hikayat Lukmn Al-akm (Tinjauan Isi dan Relevansinya dengan Masa Kini) Muhammad Shoheh

251 274

Naskah Nabi Haparas, Naskah Sasak Bernuansa Islam di Nusa Tenggara Barat Zakiyah 275 300Tokoh

Ibrhm al-Krn: Sebuah Telaah Biografis Oman FathurahmanTelaah Buku

301 320

Pembumian Gerakan Islam Transnasional (Tinjauan Buku Jejak Kafilah) Yudi Latif Indeks Vol. 6

321 334 335 340

i

--diambil dari kulit depan, dengan nomor akreditasi--

(Logo Jurnal Lektur)

PEMBINA PEMIMPIN UMUM REDAKTUR AHLI (MITRA BESTARI)

M Atho Mudzhar Maidir Harun Uka Tjandrasasmita (Universitas Pakuan) Badri Yatim (UIN Syahid Jakarta) Titik Pudjiastuti (Universitas Indonesia) Oman Fathurahman (UIN Syahid Jakarta) Asep Saefullah Masmedia Pinem E. Badri Yunardi, Harisun Arsyad, Ahmad Rahman, Muchlis, Andi Bahruddin Malik, Dasrizal, Mazmur Syaroni, Ali Akbar, Muchlis M. Hanafi, Ridwan Bustamam, Munawiroh Ibnu Hasyir, Nurman Kholis, Muhammad Salim, Ida Swidaningsih, Umi Kulsum Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI Gedung Bayt al-Quran & Museum Istiqlal, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta 13560 Telp./Faks. (021) 87794220 E-mail: [email protected]

PEMIMPIN REDAKSI SEKRETARIS REDAKSI DEWAN REDAKSI

TATA USAHA ALAMAT REDAKSI

* Kulit depan: Cover dan halaman 1 Naskah Hikayat Isma Yatim dan Hikayat Sultan Mogul Mengajarkan Anaknya (Cod. Or. 1693) dari edisi facsimile (Leiden: ILDEP - Legatum Warnerianum in the Library of Leiden University, 1993) *

Berdasarkan SK Kepala LIPI No. 1563/D/2006 tanggal 18 Desember 2006, Jurnal Lektur Keagamaan telah terakreditasi A

ii

Pengantar RedaksiJurnal Lektur Keagamaan, volume 6, No. 2 tahun 2008 menghadirkan tujuh buah tulisan. Lima tulisan berkaitan dengan kajian naskah klasik keagamaan, satu tulisan tentang tokoh, dan satu tulisan berupa tinjauan buku. Tulisan pertama membahas Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Klasifikasinya. Karya-karya bercorak tasawuf menjadi bagian utama dari khazanah naskah Nusantara, dan masih merupakan wilayah yang luas bagi penelitian para sarjana. Ia tidak hanya menyediakan wilayah kajian bagi disiplin seperti filologi, bahasa, dan sastra, tetapi juga ilmu-ilmu agama, sejarah intelektual, dan falsafah yang merangkum metafisika, etika, estetika, dan hermeneutika. Namun sayangnya, khazanah yang begitu kaya itu baru menarik minat sekelompok kecil sarjana sastra dan filologi belaka. Sarjana-sarjana ilmu agama lebih tertarik meneliti teks yang menguraikan doktrin sufi secara ilmiah. Untuk itu, salah satu tujuan tulisan ini adalah sebagai upaya awal memberi gambaran yang memadai tentang karya-karya Melayu bercorak tasawuf atau sastra sufi, terutama yang dihasilkan pada abad ke-16-17 M, periode yang tidak terbantahkan sangat penting baik dalam sejarah kesusastraan Melayu maupun sejarah Islam di Nusantara. Pada tulisan kedua diulas mengenai sufisme Tuang Rappang dengan menelaah naskah Daqiq al-Asrr. Nama lengkap Tuan Rappang adalah Abd al-Bar a-arr Tuang Rappang. Beliau adalah salah satu aktor penting di balik kesuksesan penyebaran dan perkembangan tarekat Khalwatiah Yusuf di Sulawesi Selatan. Di samping aktif memimpin tarekat Khalwatiah, ia juga menaruh perhatian terhadap kegiatan menulis. Ini dibuktikan dengan tiga risalah yang berhasil ia tulis sepanjang karirnya sebagai pemimpin spiritual tarekat Khalwatiah Ysuf. Daqiq al-Asrr (DA) merupakan salah satu karyanya yang membahas tasawuf, baik dalam dimensinya sebagai jalan maupun tujuan spiritual. Dalam konteks ini, Tuang Rappang mengajarkan metode tawajjuh dan murqabah iii

sebagai jalan yang harus ditempuh oleh para pelaku kehidupan tasawuf. Meskipun terlihat sederhana, kedua metode tersebut dapat mengantarkan seorang slik pada puncak perjalanan sufistiknya, yakni penyaksian kepada Tuhan tanpa ada hijab lagi. Lebih dari itu, dalam teks Daqiq al-Asrr Tuang Rappang juga membahas problem tentang wujud, baik wujud Tuhan maupun wujud alam; dan dalam hal ini Tuang Rappang menegaskan bahwa wujud hakiki hanyalah wujud Tuhan, bukan wujud alam. Tulisan ketiga merupakan kajian atas naskah Wasiat Nabi kode BR 26 koleksi PNRI dengan tema runtuhnya budaya bangsa yang menyoroti peta dekadensi moral. Tulisan ini mengkaji tiga masalah, (1) bagaimana deskripsi naskah Wasiat Nabi secara fisik, (2) secara substansi, apa isi naskah Wasiat Nabi tersebut?, dan (3) apa relevansinya bagi proses pembentukan karakter bangsa. Dengan menggunakan beberapa langkah filologi, tulisan ini meyimpulkan tiga hal; (a) fenomena degradasi moral seperti isu-isu narkoba, seks bebas, judi, hubungan anak dengan orang tua, dan krisis sosial lainnya, (b) berbagai visualisasi dan akibat fenomena tersebut baik di dunia maupun di akhirat, (c) ilustrasi tentang hari kiamat yang menakutkan dan fenomena eskatologi dalam teologi Islam. Naskah Wasiat Nabi memberikan peringatan serius bagi umat manusia agar melakukan reformasi diri secara total (taubat nasuh) sesegera mungkin agar dapat membangun kebudayaan tinggi dan peradaban yang terhormat bagi semua. Tulisan keempat merupakan hasil penelitian atas naskah koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) yang berkode W 125 dengan judul Hikayat Lukmn al-Hakm. Isi naskah mengandung unsur lokal, tetapi sifatnya yang aktual menjadikan isinya menarik untuk diangkat. Meskipun berbentuk hikayat, tetapi naskah ini bersifat didaktis-instruktif. Di antara nilai yang terkandung di dalamnya adalah tuntunan moral dan akhlak yang mulia. Misalnya tentang empat macam kegelapan, yaitu: 1) Gelap mata, akan menyesatkan perjalanan; 2) Gelap hati, akan menyesatkan ingatan; 3) Gelap iman, akan menyesatkan makrifat; dan 4) Gelap akal, akan menyesatkan perkara yang ketika itu adanya. Selain itu juga mengandung nilai-nilai yang berkaitan dengan politik, ekonomi, sosial, dan budaya hidup sehat. Seperti empat perkara yang memberi mudarat raja, yaitu: 1) Raja aniaya atas seluruh rakyatnya; 2) iv

Raja melupakan menterinya; 3) Khianat dari pada orang yang disuruh; dan 4) Berkuasa atas sekalian tawanan. Tulisan kelima juga kajian terhadap naskah, yaitu naskah Nabi Haparas, sebuah naskah Sasak Bernuansa Islam dari Nusa Tenggara Barat, koleksi Museum Negeri NTB dengan kode inventaris 07.506. Studi ini memiliki fokus kajian sebagai berikut; bagaimana diskripsi atau kondisi fisik naskah Nabi Haparas, pesan atau materi ajaran Islam apa saja yang terkandung dalam teks Nabi Haparas, dan bagaimana isi dari teks Nabi Haparas. Studi ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan filologi. Teks Nabi Haparas berisi tentang cerita Nabi Muhammad saat bercukur. Naskah Nabi Haparas merupakan salah satu naskah Sasak yang bernuansa Islam. Nuansa ini bisa terlihat dengan jelas dalam penggunaan beberapa istilah atau kosa kata yang merujuk pada Islam, tokoh dan isi cerita. Dalam teks Nabi Haparas terdapat pesan-pesan tentang Islam, serta kisah kehidupan pribadi Rasulullah yang bisa dijadikan sebagai teladan bagi umat Islam Sedangkan dua tulisan lainnya adalah telaah biografis dan telaah buku. Pada telaah biografis disajikan riwayat hidup Ibrhm al-Krn. Nama lengkapnya adalah Ibrhm ibn asan al-Krn al-Syahrazr al-Syahrn al-Kurd al-Madan al-Syfi. Tokoh ini dapat dianggap sebagai salah seorang penafsir besar pemikiran mistiko-filosofis Ibn Arab, yang pengaruhnya juga sangat kuat tersebar di Nusantara. Di samping itu, al-Krn memiliki hubungan intelektual dan pengaruh yang sangat kuat dengan sejumlah ulama asal Melayu-Indonesia, khususnya Abdurraf bin li al-Jwi al-Fansr, terutama melalui jalur tarekat Syattariyah, di mana ia menjadi khalifah utamanya. Namun, minimnya akses informasi terhadap karya-karya al-Krn menyebabkan kajian terhadap pemikiran-pemikirannya tergolong masih jarang. Pemikiran-pemikiran al-Krn, khususnya menyangkut penafsiran doktrin wadah alwujd, yang tercermin dalam karya-karyanya belum mendapat perhatian selayaknya dari para peneliti Nusantara sendiri. Padahal, Tulisan ini sebagai salah satu upaya memperkenalkan pemikiranpemikiran al-Krn tersebut. Pada telaah buku disajikan hasil kajian atas buku Jejak Kafilah, karya Greg Fealy dan Anthony Bubalo (Mizan, 2007). Buku ini menyajikan hasil studi tentang pengaruh radikalisme Timur Tengah v

di Indonesia. Dalam buku ini juga dapat terlihat keragaman dan dimensi lokal dari gerakan-gerakan Islam transnasional. Dan, gerakan keagamaan di Indonesia terus hadir sebagai suatu ekspresi kolektif dalam arti suatu kesamaan identitas dalam perbedaan (identity in difference) dan keberagaman dalam kebersamaan identitas (difference in identity). Terakhir, redaksi mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Lukman HakimStaf Ahli pada Jurnal Penamas, Balai Litbang Agama, Jakartayang telah menerjemahkan semua abstrak ke dalam bahasa Inggris, dan kepada James Bennettkurator seni Asia di Art Gallery of South Australia, Adelaideatas kontribusinya mengedit semua abstrak berbahasa Inggris. Demikian, selamat membaca, dan semoga bermanfaat. Redaksi

vi

Para PenulisAbdul Hadi W.M. lahir 24 Juni 1946 di Sumenep, Madura. Gelar M.A. dan Ph.D. ia peroleh dari Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan, Universitas Sains Malaysia, dengan disertasi Estetika Sastra Sufistik: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Syaykh Hamzah Fansuri, 1997. Di samping mempelajari kesusastraan Indonesia dan filsafat Eropa, ia mempelajari kebudayaan dan Kesastraan Timur. Beberapa penghargaan ia raih, di antaranya, Hadiah Buku Puisi Terbaik Dewan Keseniaan Jakarta (1978), Anugerah Seni dari Pemerintah Indonesia (1979), dan SEA Write Award di Bangkok (1985). Banyak pertemuan penyair dan sastra yang dihadiri di Indonesia dan di berbagai kota di dunia, dan puisi-puisinya telah diterjemahkan ke banyak bahasa asing. Ia telah menulis tidak kurang dari tujuh buku tentang sastra sufi, sembilan buku kumpulan puisi, dan sejumlah karya terjemahan sastra sufi dan sastra dunia, terutama karya Iqbal, Rumi, Hafiz, Goethe, penyair sufi Persia, dan penyair modern Jepang. Kini adalah dosen tetap dan Guru Besar pada Universitas Paramadina, Jakarta. M. Adib Misbachul Islam adalah alumni S1 Jurusan Sastra dan Bahasa Arab UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, dan alumni S2 pada Program Studi Filologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI) dan Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tahun 2006 (April-Maret)mengikuti International Course on the Handling and Cataloguing of Islamic Manuscripts di Kuala Lumpur Malaysia, kerja sama Al-Furqan Islamic Heritage Foundation, London, dengan International Islamic University Malaysia (IIUM).

M. Shoheh adalah Dosen IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Serang Banten. Pada bulan November Desember 2007 mengikuti Diklat Penelitian Naskah Klasik Keagamaan yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Tenaga Teknis Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Departemen Agama RI, Jakarta. Nur Said adalah Dosen Tetap STAIN Kudus; Pemimpin Redaksi Jurnal PALASTREN Pusat Studi Gender (PSG) STAIN Kudus; Direktur Pusat Penelitian dan Pengkajian Pendidikan, Agama dan Sosial-Budaya (LePPPAS) Kudus. Pada bulan November Desember 2007 mengikuti Diklat Penelitian Naskah Klasik Keagamaan yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Tenaga Teknis Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Departemen Agama RI, Jakarta.

vii

Oman Fathurahman lahir di Kuningan, Jawa Barat, Indonesia. Pendidikan dasar diselesaikan di MI dan MTs PUI Kuningan, 1975-1984, kemudian menjadi santri pesantren di Cipasung 1984-1987, Haurkuning 1988, dan Manonjaya 1989. Pendidikan sarjana diselesaikan di Fak. Adab dan Humaniora, UIN Jakarta (1994). Sedangkan tingkat Magister (1996) dan Doktoral (2003) di UI Depok. Pada Juni 2006-April 2008 mengecap pengalaman sebagai Research Felllow dari The Alexander von Humboldt-Stiftung Jerman di Universitt zu Kln. Karya tulisnya antara lain Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks (Shattariyyah Order in Minangkabau: Text and Context) (Jakarta: Prenada, EFEO, PPIM, KITLV, and Total Indonesie, 2008), Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad ke-17 (Debating Wahdatul Wujud: A Case Study of Abdurrauf Singkel in Aceh in the 17th Century) (Bandung: Mizan & EFEO Jakarta, 1999), dan Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah Indonesia se-Dunia (Manuscript Treasures: World Guide to the Indonesian Manuscript Collection), bersama Henri Chambert-Loir (Jakarta: EFEO & Yayasan Obor Indonesia, 1999). Yudi Latif lahir di Sukabumi, Jawa Barat, 26 Agustus 1964, kini bekerja di Pesantren Ilmu Kemanusiaan dan Kenegaraan (PeKiK). Alumni Pondok Modern Gontor Ponorogo Jawa Timur ini menyelesaikan sarjana dalam bidang komunikasi di Universitas Padjadjaran, Bandung, 1990. Memperoleh gelar Master of Arts (MA) dalam bidang Political Sociology pada tahun 1999 dan Ph.D. dalam bidang yang sama tahun 2004, keduanya di The Australian National University. Menjadi Deputi Rektor, Universitas Paramadina (2005-2007), Direktur Center for the Studies of Islam and Democracy, Universitas Paramadina (2003-2005), Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Peneliti senior Center for Presidential and Parliamentary Studies (CPPS) (1993-2005). Karya tulisnya antara lain: Menuju Revolusi Demokratik: Mandat untuk Perubahan Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2004), Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru (Bandung: Mizan, 1996), Masa Lalu yang Membunuh Masa Depan (Bandung: Mizan, 1999) dan Hegemoni Budaya dan Alternatif Media Tanding (Jakarta: MASIKA, 1993). Zakiyah adalah calon peneliti Balai Litbang Agama Semarang. Pada bulan November Desember 2007 mengikuti Diklat Penelitian Naskah Klasik Keagamaan yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Tenaga Teknis Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Departemen Agama RI, Jakarta.

viii

Ketentuan Pengiriman Tulisan

Jurnal Lektur Keagamaan terbit dua kali setahun. Redaksi menerima tulisan mengenai kelekturan, antara lain tentang naskah klasik, literatur kontemporer, dan khazanah budaya keagamaan. Tulisan dapat berupa ringkasan hasil penelitian, artikel setara hasil penelitian, kajian tokoh (obituari) maupun telaah kitab atau tinjauan buku. Panjang tulisan antara 15-25 halaman kuarto 1,5 spasi, font Times New Roman 12, dan diserahkan dalam bentuk print out dan file dalam format Microsoft Word. Tulisan wajib memperhatikan kaidah-kaidah penulisan Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang berlaku serta menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar berdasarkan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Dalam hal penggunaan transliterasi Arab-Latin, penulis hendaknya berpedoman pada Pedoman Transliterasi ArabLatin SKB Dua Menteri, Menteri Agama RI Nomor 158 tahun 1987 dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 0543 b/u/1987 tentang Pedoman Transliterasi ArabLatin. Sumber rujukan menggunakan footnote (catatan kaki) yang ditulis seperti contoh berikut: Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980), h. 109; dan Daftar Pustaka ditulis: Noer, Deliar. 1980. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES. Penulis harap menyertakan abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris, kata kunci, biodata singkat dalam bentuk esai, dan alamat lengkap.

ix

Redaksi berhak menyunting naskah tanpa mengurangi maksud tulisan. Dan, tulisan yang dimuat tidak selalu mencerminkan pandangan Redaksi. Tulisan dapat dikirimkan melalui e-mail: [email protected] Atau melalui pos ke alamat: Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Departemen Agama RI, Gedung Bayt al-Quran & Museum Istiqlal, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta 13560 Telp./Faks. (021) 87794220 Bagi lembaga yang ingin mendapatkan jurnal ini dapat menghubungi alamat di atas.

x

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Kalsifikasinya Abdul Hadi WM

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan KlasifikasinyaAbdul Hadi WMUniversitas Paramadina, Jakarta Sufistic works which become the main part of the Malay manuscripts are still the wide area for the scholars research. The works provide not only for the disciplines such as philology, language and literature but also for religious sciences, intellectual history as well as philosophy which covers metaphysics, ethics, esthetics and hermeneutics. Unfortunately, there are only few of the scholars of literature and philology interested in this very rich treasury. Scholars of religion are more interested to do the research on the texts explaining the doctrines of the Sufism. Therefore, one of the goals of this writing is as the initial effort to give enough description on the sufistic works of the Malays or the sufistic works, particularly the works being produced in the 16th to 17th centuries, the periods which were noted as the very important periods in the history of the Malay literature as well as Islamic history in the Malay World. Kata kunci: tasawuf, sastra, sastra kitab, sastra sufi, naskah, filologi, sejarah

Pengantar Tujuan karangan ini sederhana. Pertama, sebagai upaya awal memberi gambaran yang memadai tentang karya-karya Melayu bercorak tasawuf atau sastra sufi, terutama yang dihasilkan pada abad ke-16-17 M, periode yang tidak terbantahkan sangat penting baik dalam sejarah kesusastraan Melayu maupun sejarah Islam di Nusantara. Pada periode ini agama Islam telah tersebar luas hampir ke seluruh bagian penting Nusantara, didahului dengan derasnya proses islamisasi di kepulauan Melayu yang menyebabkan terintegrasinya kebudayaan Melayu ke dalam Islam. Dalam proses itu, 179

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 179 - 206

bahasa dan kesusastraan Melayu yang telah mulai diislamkan pada abad ke-14 M, memainkan peranan penting. Selanjutnya pada akhir abad ke-16 M dan awal abad ke-17 M, dengan munculnya kitab-kitab keilmuan dan sastra Islam dalam bahasa ini, kesusastraan memenuhi fungsinya sebagai pembentuk dan pemberi fundasi bagi kebudayaan Melayu. Melalui kesusastraan, baik yang disebut sastra kitab (karya-karya keilmuan dan keagamaan) dan adab (karya tentang undang-undang, ketatanegaraan, etika dan politik), serta karya-karya imaginatif yang meliputi epos (hikayat kepahlawanan), roman, dan karangan-karangan bercorak tasawuf, pandangan hidup (way of life), gambaran dunia (Weltanschauung), norma dan sistem nilai Islam ditransformasikan ke dalam ungkapan religius, keilmuan dan estetis yang sesuai dengan cita rasa Melayu. Kedua, sebagai ikhtiar membuat klasifikasi yang merangkumi segala bentuk dan corak karya-karya bercorak tasawuf atau membawa pesan kesufian. Adapun yang dijadikan landasan klasifikasi itu ialah wawasan estetika yang mendasari penulisan karya tersebut dan maksud penulisannya yang mempengaruhi fungsi pembacaannya. Dewasa ini tidak banyak kaum terpelajar Indonesia yang tahu kekayaan khazanah sastra Nusantara, khususnya sastra Melayu, apalagi relevansinya. Karena itu tidak mengherankan apabila sedikit sekali yang mau menaruh perhatian untuk meneliti dan melakukan kajian. Diharapkan karangan ini dapat memberikan perspektif baru sehingga dapat membangkitkan kembali minat meneliti khazanah intelektual yang sudah lama terabaikan oleh ahli warisnya itu. Teori Kajian ini menggunakan teori perenial Comaraswamy, yang membedakan seni/sastra ke dalam tiga kategori Yang pertama, seni murni/tulen, yang dicipta sebagai simbol (misal) atas pengalaman dan penglihatan batin. Yang kedua, seni dinamik, karya-karya yang memaparkan pergulatan manusia menghadapi persoalan-persoalan dunia. Yang ketiga, seni apatetik, yang isinya tidak mendalam dan tidak memberi inspirasi (Livingston 1962:56). Seni murni dihasilkan melalui proses perenungan mendalam, tidak semata-mata dida180

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Kalsifikasinya Abdul Hadi WM

sarkan atas pengamatan inderawi serta proses rasional dan imaginasi. Sarana ruhani yang digunakan si seniman ialah intuisi intelektual atau prasyati buddhi, kecerdasan melihat sesuatu dengan mata kalbu. Untuk mencapai kecerdasan seperti itu diperlukan kontemplasi dan meditasi. Menurut Comaraswamy, pokok pemaparan seni murni berkaitan dengan permasalahan Tuhan dan kemungkinan jiwa manusia berhubungan langsung dengan-Nya melalui kontemplasi atau musyahadah. Permasalahan yang dibahas itu masuk ke dalam wilayah pengalaman trasendental. Karya-karya seperti itu tidak jarang menggambarkan tatanan realitas yang mengatasi persepsi indera dan akal. Sastra sufi termasuk ke dalam kategori ini. Dalam wujudnya sebagai penuturan estetik, sastra sufi bertolak dari teori bahwa sastra merupakan representasi simbolik dari pengalaman dan gagasan kerohanian pengarang. Metode Metode yang sesuai untuk memahami karya sufi dan klasifikasinya ialah hermeneutika. Dari aneka bentuk hermeneutika yang akan digunakan dalam karangan ini ialah gabungan antara metode verstehen Gadamer dan metode tawil sufi. Keduanya saling melengkapi dan relevan dalam meneliti karya-karya bercorak mistikal dan simbolik. Dalam metode hermeneutika karya sastra dipandang sebagai wacana simbolik karena unsur fiksionalitas dan perumpamaan (metaphor) yang ada di dalamnya sangat menonjol. Dalam metode ini teks dikaji sebagai bentuk pelambangan atas sesuatu yang lain (Corbin 1981:1319). Sesuatu yang lain itu memiliki cakrawala yang luas melampaui cakrawala harfiahnya. Menurut Gadamer ada empat cakrawala yang terbentang dalam teks simbolik. Yang pertama, bildung atau pandangan keruhanian yang membentuk jalan pikiran seseorang, termasuk di dalamnya pandangan hidup (way of life), system nilai Weltanschauung. Yang kedua, sensus communis, yaitu pertimbangan praktis, yang dalam sastra bisa terwujud dalam pemilihan tema atau permasalahan dengan mempertimbangkan perasaan komunitas di mana pengarang hidup. Yang ketiga, judgment atau pertimbangan, berhubungan dengan 181

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 179 - 206

apa yang harus disampaikan dan diajarkan kepada masyarakat dengan mempertimbangkan baik buruknya. Yang keempat, taste atau selera, cara-cara menyajikan sesuatu yang sesuai dengan selera masyarakat sezaman (Salleh Yaapar 2002:70-80). Dalam hermeneutika sufi, bildung dihubungkan dengan ontologi dan psikologi sufi. Dalam ontologi sufi, keberadaan di alam semesta dibedakan menjadi empat sesuai tempatnya dalam tatanan wujud, yang secara berturut-turut dari atas ke bawah ialah alam ketuhanan (alam lahut), alam keruhanian (alam jabarut), alam kejiwaan (alam malakut), dan alam jasmani (alam nasut). Untuk menggambarkan perjalanan jiwa dan batin dari alam rendah ke alam tinggi, penyair sufi menggunakan simbol-simbol seperti perjalanan mendaki bukit atau gunung, penerbangan burung ruh ke puncak gunung, penyelaman ke dalam lautan (wujud), dan dalam sastra Melayu juga digunakan pelayaran perahu tubuh/jiwa manusia menuju Bandar Tauhid. (Salleh Yaapar 2002:81-94) Tasawuf dan Sastra Melayu Tasawuf adalah cabang ilmu-ilmu Islam yang penting, yang menurut Imam al-Ghazali merupakan jiwa dari agama Islam karena memaparkan masalah keruhanian yang mendasari aturan formalnya. Dalam tasawuf diuraikan kebajikan-kebajikan ruhani yang melaluinya seseorang dapat melaksanakan hubungannya secara mendalam dengan Tuhan, Hakikat Tertinggi yang juga merupakan Wujud Mutlak (Nasr 1980:22). Jalan atau metodenya sering disebut sebagai jalan Cinta (`isyq) dan makrifat (ma`rifa). Tujuannya ialah menerobos inti terdalam tauhid dan buahnya adalah kasyf, tersingkapnya hijab yang membuat penglihatan batin terang (al-Taftazani 1983:110-1). Oleh karena tujuan para sufi ialah memperoleh pengalaman mistik tentang Tuhan, sedangkan pengalaman mistik memiliki kemiripan dengan pengalalaman puitik, maka tidak mengherankan jika mereka sering memilih ungkapan puitik dalam menyatakan pengalaman keruhanian mereka di jalan tasawuf. Kemiripannya ialah keduanya merupakan bentuk pengalaman yang melahirkan pengetahuan nuitik (noetics) yang di dalamnya terpadu aspek 182

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Kalsifikasinya Abdul Hadi WM

pengetahuan dan perasaan (dzawq) atau aspek kognitif yang merupakan ciri ilmu dan aspek kreatif yang merupakan ciri seni (Gilani Kamran 1398 H:9-10). Oleh karena itu bukanlah suatu kebetulan apabila sejak permulaan sejarahnya tasawuf memiliki hubungan erat dengan sastra. Ini tampak pada tokoh-tokohnya yang awal seperti Rabi`ah al-Adawiyah (w. 185 H), Dhun Nun al-Misri (w. 859 M), Bayazid alBhistami (w. 879 M), Hasan al-Nuri (w. 907 M), Mansur al-Hallaj (w. 922 M), dan lain-lain. Pengalaman cinta mereka yang bersifat trasendental, yang diperoleh melalui jalan tasawuf, tidak jarang diungkapkan dalam puisi yang memberi kesan mendalam kepada jiwa pembacanya. Dari masa ke masa, sejak periode kemunculannya itu sastra sufi berkembang dengan pesat sebagai ragam pengucapan estetik baru dalam sejarah kesusastraan Islam, terutama di Arab dan Persia. Pada abad ke-1317 M, sejalan dengan meningkatnya peranan para sufi dalam penyebaran agama Islam dan pembentukan tradisi intelektualnya, sastra sufi mencapai puncak perkembangannya. Dimulai dengan munculnya penyair-penyair sufi besar Arab dan Persia, seperti Ibn `Arabi, Ibn Farid, Fariduddin al-`Aththar, Jalaluddin Rumi, Fakhrudin `Iraqi, dan lain-lain, tasawuf lantas cenderung mewarnai hampir keseluruhan aspek sastra Islam. Jika bukan isi atau pesan keagamaan yang disajikan, maka wawasan estetika yang menjadi landasan penciptaan karya-karya penulis Muslim yang dipengaruhinya. Ini berlaku bukan saja dalam sastra Persia, tetapi dalam sastra Turki Usmani, Urdu, Shindi, Swahili, dan Melayu (Schimmel 1980:9; Nasr 1980:12; Braginsky 1994:1-7). Di Nusantara, kemunculan dan perkembangan sastra Melayu pada abad ke-16 dan 17 M merupakan dampak langsung dari derasnya proses islamisasi yang di antara pemeran utamanya adalah para wali, ulama, guru dan cendekiawan sufi (John 1961, al-Attas 1972). Peranan itu berlanjut terus, setidak-tidaknya hingga akhir abad ke-19 M, bahkan karya-karya bercorak tidak sedikit memberi pengaruh dalam kesusastraan Indonesia modern. Bukti tentang hadirnya karya-karya bercorak tasawuf sejak periode awal Islam di Nusantara, dapat dilihat pada naskah-naskah 183

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 179 - 206

Islam tertua Melayu dan Jawa yang telah dijumpai. Misalnya teks Hikayat Kejadian Nur Muhammad berisi uraian kosmologi sufi tentang penciptaan dunia. Teks sufi lain yang terbilang awal ialah terjemahan Bahr al-Lahut, karangan Abdullah `Arif, seorang sufi Arab abad ke-13 M (Mahayudin Haji Yahaya 1995). Sejarah Melayu (1607) juga memberitakan bahwa Sultan Malaka pada pertengahan abad ke-15 M telah meminta seorang ulama dari Pasai, Abdullah Patakan untuk menerjemahkan sebuah kitab tasawuf Arab Durr al-Manzun karangan Maulana Ishaq (Ibrahim Alfian 1999). Teks sezaman ialah terjemahan Qasidah al-Burdah karangan alBusyairi (w. 1213 M), Ba`d al-Amali karangan Sirajuddin `Usman al-Asyi (w. 1173 M), Hikayat Burung Pingai saduran alegori sufi Persia Mantiq al-Thayr (Percakapan Burung) karya Fariduddin al`Aththar; Hikayat Yusuf, saduran dari Yusuf-i Zulaikha karangan Abdul Rahman al-Jami. Dijumpai pula teks Bunga Rampai Puisi Tasawuf terjemahan sajak-sajak sufi Arab dan Persia seperti Abu Tammam, Jalaluddin al-Rumi, Umar al-Khayyami, dan Muslihuddin Sa`di. Pada akhir abad ke-16 M perkembangan sastra sufi mulai menapak masa puncaknya dalam tradisi intelektual Melayu. Pada masa inilah muncul tokoh terkemuka Hamzah Fansuri, disusul kemunculan banyak penyair sufi yang merupakan murid-muidnya. Sebagian besar karya-karya yang mereka hasilkan tidak membubuhkan nama pengarang alias anonim, terkecuali karangan-karangan Abdul Jamal dan Hasan Fansuri. Misalnya Syair Perahu (tiga versi), Syair Dagang, Ikat-ikatan Bahr al-Nisa`, Syair Alif, dan lain-lain (Abdul Hadi W. M. 2001:171-9). Melalui karya-karyanya tersebut para sufi Melayu membentuk madzab tersendiri dalam penulisan puisi keruhanian dan menggunakan media syair, sajak empat baris yang mereka ciptakan sendiri dengan menggabungkan puitika pantun Melayu dan rubai Persia (Ibid 2001:206-7). Periode ini disebut oleh Braginsky (1994:1-2) sebagai periode kesadaran diri. Sebagai dampak dari proses islamisasi terhadap kebudayaan dan tradisi intelektual Melayu, kepengarangan invidual (individual authorship) kian ditekankan dalam penulisan kitab keagamaan dan sastra, oleh karena Islam mengajarkan tanggungjawab 184

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Kalsifikasinya Abdul Hadi WM

individu pemeluknya dalam segala bidang kegiatan kemanusiaan. Pada masa ini kebudayaan Melayu sepenuhnya diintegrasikan dengan Islam, sehingga sastra Melayu tumbuh pula menjadi berkembang bagian yang terpisahkan dari kesusastraan Islam secara keseluruhan. Pengintegrasian ini ditandai dengan penggunaan sistem sastra yang dapat digambarkan sebagai sebuah lingkaran konsentrik, artinya memusat kepada sumbu yang satu. Di situ karya-karya penulis Melayu secara bersama-sama seolah membentuk sebuah lingkaran mengelilingi pusat yang satu, yaitu teks-teks keagamaan Islam yang penting seperti al-Quran dan tafsirnya, serta hadis, dan ilmu-ilmu yang diturunkan daripadanya. Sastra Sufi dan Klasifikasinya Banyak takrif diberikan karya penulis sufi yang ditulis berdasarkan pengalaman atau gagasan kesufian mereka. Nasr (1980:8) misalnya mengatakannya sebagai karangan-karangan mengenai peringkat-peringkat ruhani (maqamat) dan keadaan-keadaan ruhani (ahwal) yang dicapai serta dialami ahli-ahli suluk dalam menjalankan kebajikan ruhani di jalan tasawuf. Maqamat dan ahwal yang dicapai dan dialami itu disampaikan melalui penggambaran secara naratif simbolik menggunakan bahasa figurative (majaz) sastra. Tentu saja terdapat karya yang lebih menekankan pada uraian yang bersifat intelektual dengan menggunakan bahasa diskursif ilmu, tetapi itu terbatas pada karya-karya yang tergolong risalah dan menguraikan persoalan adab. Dalam karya yang tergolong risalah atau termasuk ke dalam kelompok sastra kitab itu, yang diuraikan ialah konsep-konsep ketuhanan, hubungan manusia dengan Tuhan, dan kebajikan-kebajikan ruhani yang harus dilakukan seorang ahli suluk untuk merealisasikan hubungannya dengan Tuhan. Karyakarya seperti ini penting karena di dalamnya diperkenalkan pula konsep-konsep sufi tentang estetika dan sastra, serta contoh-contoh syair tasawuf yang relevan dengan apa yang diuraikan. Braginsky (1994:3) menyebut sastra sufi sebagai karangan mengenai perjalanan seorang ahli suluk dalam mencapai kesempurnaan ruhani. Tujuannya ialah musyahadah, penyaksian bahwa Allah itu esa tanpa sekutu dan bandingan. Ciri khas karya sufi itu 185

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 179 - 206

tidak menekankan pentingnya keindahan lahir dari sesuatu yang diungkapkan. Yang ditekankan ialah keindahan batin atau dalaman. Dalam puisi dan alegori, pengalaman kesufian penulisnya tidak dinyatakan secara langsung, melainkan menggunakan bahasa simbolik puisi (majaz) yang sarat dengan tamsil atau pralambang. Melalui bahasa puisi itu mereka berusaha dapat membuka mata kalbu pembaca untuk melakukan musyahadah. Sebagai bagian dari suluk, sastra sufi menggambarkan pendakian ruhani menuju diri hakiki. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sastra sufi adalah jenis penulisan puitik yang berusaha mengungkap hakikat kebenaran dan keindahan dengan menggambarkan secara rinci sifats-ifat, tabiat dan hakikat alam jasmani yang martabatnya rendah serta hubungannya dengan kenyataan tertinggi yang dapat disaksikan dengan pengliihatan batin seseorang di kedalaman hatinya. Ini sesuai dengan perkataan al-Hujwiri (Kasyf al-Mahjub 452) bahwa Hakikat kebenaran dan keindahan itu merupakan kediaman manusia dan tempat persahabatan dengan Tuhan serta keteguhan hatinya di alam tanzih atau trasendental. Setiap jenis penulisan memiliki ciri yang ditentukan oleh cara penyajian, penggunaan tamsil, dan tujuan masing-masing dalam hubungannya dengan aspek-aspek kehidupan ahli suluk. Berdasarkan hal itu karya-karya Melayu bercorak tasawuf dapat dikelompokkan setidak-tidaknya ke dalam delapan kelompok, seperti berikut: (1) Syair Makrifat; (2) Syair Puji-pujian Kepada Nabi Muhammad saw.; (3) Ratib atau Agiografi Sufi, yaitu syair-syair atau hikayat yang tujuannya memuliakan orang suci seperti wali-ali Islam terkemuka dan pendiri tariqat sufi; (4) Alegori Sufi; (5) Risalah, yang dalam sastra Melayu dimasukkan ke dalam kategori Sastra Kitab; (6) Karangan-karangan prosa berisi falsafah atau pandangan sufi mengenai metafisika, penciptaan alam semesta, adab, eskatologi, hermeneutika, psikologi, kemasyarakatan, dan lain-lain. 1. Syair Makrifat. Biasanya campuran lirik dan sajak didaktis, dan cenderung naratif. Yang terkenal ialah Ikat-ikatan syair Hamzah Fansuri (abad ke-16 M), seperti Syair Burung Pingai, Syair Sidang Faqir. Syair Laut `Ulya, Syair Barus Mekkah, 186

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Kalsifikasinya Abdul Hadi WM

Syair Sidang Asyik, Syair Ikan Tongkol, Syair Thayr al`Uryan dan lain-lain. Murid dan pengikut ajaran tasawufnya yang menulis syair, walaupun tidak sebanyak Hamzah Fansuri, ialah Syamsudin Pasai, Abdul Jamal, Hasan Fansuri dan beberapa penyair anonim. Di antara syair-syair anonim yang terkenal dan ditulis di Aceh pada abad ke-17 M ialah Syair Dagang, Syair Perahu (ada tiga versi berbeda gaya bahasa dan penulis), Ikat-ikatan Bahr al-Nisa, Syair Unggas Bersoal Jawab, Syair Takrif alHuruf, Syair Perihal Kiamat, Syair Alif Ba Ta, Syair Perkataan Alif, Syair Makrifat, dan masih banyak lagi. Dari daftar untaian syair yang disebutkan itu terdapat juga gubahannya dalam bahasa Bugis, Aceh, Sunda, Jawa dan Madura. Beberapa ahli tasawuf lain yang pernah menulis syair tasawuf, walaupun tidak produktif ialah Abdul Rauf al-Sinkili (Syair Makrifat, pada akhir abad ke-17 M), Syekh Daud al-Sumatrani (Syair Sunur dan Syair Mekah Madinah), Syekh Daud alFatani (Syair Makrifat) dan lain-lain. Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji, walaupun cenderung berbicara etika, namun pada dasarnya dilandasi ajaran tasawuf Imam al-Ghazali. 2. Syair Pujian Kepada Nabi Muhammad saw. Walaupun tema tentang Nur Muhammad dan pujian kepada beliau terdapat dalam syair-syair makrifat, juga terdapat jenis khusus sastra yang dimaksudkan sebagai puji-pujian kepada Rasululllah. Dalam sastra Arab disebut al-mada`ih al-nabawiyah dan dalam sastra Persia disebut na`tiya, dari perkataan na`at yang berarti pujian. Syair jenis ini terutama diilhami oleh Qasida al-Burdah, Syaraf al-Anam dan Qasida al-Barzanji. Di antaranya yang terkenal dalam masyarakat Melayu tradisional ialah Syair Rampai Maulid, Syair Maulid Jawi, Nazam Dua Puluh Lima Rasul, yang didahului dengan puji-pujian kepada nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad s. a.w. Syair-syair jenis ini biasanya dinyanyikan bersama dalam perayaan Maulid Nabi. Menurut sejarawan Muslim abad ke-15 M dari Malabar, Zainuddin al-Malibari dalam kitabnya Tuhfat al-Mujahidin, dakwah Islam di India dan Nusantara mendapat 187

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 179 - 206

sambutan penduduk antara lain karena pengaruh pembacaan syair pujian kepada Nabi Muhammad saw. yang disajikan dengan cara yang menarik perhatian. Dimasukkan ke dalam karya bercorak tasawuf, karena karya seperti ini memang ditulis oleh para sufi dengan nafas dan simbol-simbol sufistik yang kental. Misalnya perumpamaan terhadap Nabi Muhammad saw. sebagai matahari yang menerangi dunia, bulan purnama, kekasih Tuhan, teladan bagi sekalian ahli makrifat, dan lain sebagainya. 3. Ratib atau Agiografi Sufi. Ada yang ditulis dalam bentuk prosa berirama dan ada yang ditulis dalam bentuk prosa. Dalam bentuk prosa dinamai hikayat. Dalam bentuk prosa berirama, yang terkenal di antaranya ialah Ratib Syekh Saman, Ratib Syekh Abdul Qadir Jailani, Ratib Syekh Hamzah Fansuri, Ratib Syekh Naqsabandi, dan lain-lain. Sedangkan yang dalam bentuk prosa ialah Hikayat Luqman al-Hakim, Hikayat Rabi`ah alAdawiyah, Hikayat Abu Yazid al-Bhistami, Hikayat Shamsi Tabriz, Hikayat Mansur al-Hallaj, Hikaya Syekh Abdul Kadir al-Jailani, Hikayat Sultan Ibrahim bin Adham, Hikayat Jumjunah, Hikayat Abu Syamah, dan lain-lain. Meskipun ratibratib yang berkaitan dengan kemuliaan para pendiri tariqat sufi terlalu mengeramatkan tokoh yang dikeramatkan seperti Syekh Muhammad Saman dan Syekh Abdul Qadir Jailani, namun dalam aspeknya yang lain cukup memberikan manfaat. Terutama bagian-bagian awal yang berisi al-mada`ih al-nabawiyah. 4. Alegori sufi atau kisah perumpamaan sufi. Para penulis sufi sering menggubah cerita-cerita yang tergolong dalam roman atau pelipur lara menjadi alegori sufi, terutama untuk melukiskan tahapan-tahapan naik perjalanan ruhani mereka secara simbolik. Model serupa dilakukan oleh penulis-penulis Arab dan Persia. Nizami al-Ganjawi, penulis Persia, menggubah hikayat Iskandar Zulkarnain (dalam Iskandar-nama) dan Layla Majenun menjadi alegori sufi. Demikian juga Jami, penulis Persia abad ke-15 M, yang menggubah Salaman dan Absal, Yusuf dan Zulaikha dan lain-lain. Dalam sastra Melayu hikayat yang digubah menjadi alegori sufi antara lain ialah Hikayat 188

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Kalsifikasinya Abdul Hadi WM

Inderaputra, Hikayat Syah Mardan, Hikayat Isma Yatim, Hikayat Badr al-`Asyiq, Taj al-Muluk dan lain-lain. 5. Risalah Tasawuf yang lazim dimasukkan ke dalam kelompok Sastra Kitab. Tidak sedikit sufi terkemuka menulis risalah tasawuf untuk menerangkan pemikiran atau aliran tasawuf mereka, begitu pula metode dan praktiknya. Tidak sedikit karangan jenis ini menggunakan bahasa sastra dan disisipi ulasan tentang puisi dan pepatah-pepatah sufi yang terkenal. Beberapa sufi yang sangat masyhur sebagai penulis risalah ialah Hamzah Fansuri (Syarab al-`Asyiqin, Asrar al`Arifin dan alMuntahi); Syamsudin Pasai (Mir`at al-Mu`minin, Mir`at alIman, Zikarat al-Dairati Qaba Qausaini au `Adna, Mir`at alMuhaqqiqin dan lain-lain); Nuruddin al-Raniri (Ma` al-Hayat, Hill al-Zill, Tybian fi Ma`rifa al-Adyan, Sifat al-Qulub, Hujjat al-Siddiq, Jawhar al-`Ulum dan lain-lain); Abdul Rauf alSingkili (Daqa`iq al-Huruf, Umdat al-Muhtajin ila al-Suluk Maslak al-Mufridin dan lain-lain); Yusuf al-Makassari (alNaftahu al-Sailaniya, Zubdah al-Asrar, Qurat al-`Ayn, Syurut al-`Arifin al-Muhaqqiq, dan lain-lain); Syihabuddin Abdullah al-Falimbangi (Kitab `Aqidah al-Bayan), Kiemas Fakhrudin alFalimbangi (Khawas al-Qur`an al-`azim), Abdul Samad alFalimbangi (Zuhrah al-Murid, Hidayah al-Salikin, Rawatib); Muhammad al-Muhyiddin (Hikayat Muhammad Saman), Kemas Muhammad Ahmad (Nafahat al-Rahman fi Manaqib Ustadhina al-A`zam al-Samman, Bahr al-`Ajaib), Daud al-Pontiani (Taj alArus), dan lain-lain 6. Karangan-karangan prosa berisi aneka corak pandangan sufi mengenai berbagai persoalan seperti metafisika, penciptaan alam semesta, sejarah, adab, eskatologi, hermeneutika, psikologi, dan lain-lain. Termasuk di dalamnya ialah Hikayat Kejadian Nur Muhammad, Kitab Seribu Masalah, Syarah Ruba`i Hamzah Fansuri (Syamsuddin al-Sumatrani), Taj al-Salatin (Bukhari al-Jauhari), Bustan al-Salatin (Nuruddin al-Raniri), Risalah Turunnya Imam Mahdi (Arsyad al-Banjari), dan lain-lain. Beberapa karya bercorak sejarah seperti Tuhfat al-Nafis karangan Raja Ali Haji dari Riau juga dapat dimasukkan ke dalam 189

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 179 - 206

kategori ini. Di dalamnya dipaparkan sejarah Melayu RiauJohor pada abad ke-18-19 M dengan menggunakan sudut pandang tasawuf, khususnya sudut pandang Imam al-Ghazali dari kitab Ihya` `Ulum al-Din. Dari ragam-ragam penulisan ini akan dijelaskan dua di antaranya yang khususnya sangat penting dalam kajian sastra, terutama jika yang dimaksudkan ialah karya-karya yang bersifat puitik, naratif dan imaginatif. Sebagai karya sastra, kedua jenis ini memiliki struktur lahir dan struktur batin yang kompleks dan rumit, serta paling mencerminkan wawasan sufi tentang estetika. Syair Makrifat Dalam beberapa teks Melayu syair seperti ini disebut Syair Ilmu Suluk dan Tauhid. Dalam Ms Jak. Mal. 83 disebut Sya`ir Jawi Faal fi Bayan `Ilm al-Suluk wa al-Tauhid. Hasan Fansuri, murid Hamzah Fansuri menamakan ruba` al-muhaqqiqin, sajak empat baris yang menyatakan jalan makrifat ahli suluk (Abdul Hadi W. M. 2001:207). Sufi Arab terkemuka, Ali Safi Husayn menamakannya Syi`r al-Kasyf wa al-Ilham, puisi yang ditulis berdasarkan ilham dan kasyf atau iluminasi (Schimmel 1982:36). Menurut Ali Safi Husayn, syair makrifat pada umumnya membicarakan masalah cinta ilahi (`isyq) melalui tamsil-tamsil antromorfis seperti kekasih (mahbub) dan pencinta (`asyiq), anggur dan kemabukan mistikal, rasa yang dalam (auq), ketelanjangan hati (`uryan), kefanaan dalam Wujud Kekal (fana`), kefakiran (faqr), dan tentu saja tentang makrifat yang antara lain ditamsilkan sebagai air hayat (ma` al-hayat). Adapun isinya biasanya diilhami atau merupakan penggambaran konsep Nur Muhammad secara simbolik Misalnya seperti digambarkan Hamzah Fansuri dalam syairnya: Thayr al-`uryan unggas sultani Bangsanya nur al-rahmani Tasybihnya Allah Subhani! Gila dan mabuk akan rabbani Unggas itu terlalu pingai 190

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Kalsifikasinya Abdul Hadi WM

Warnanya terlalu bisai Rumahnya tiada berbidai Duduknya daim di balik tirai Awalnya bernama ruhi Millatnya terlalu sufi Tubuhnya terlalu suci Mushafnya besar suratnya kufi Arasy Allah akan pangkalannya Habib Allah akan taulannya Bayt Allah akan sangkarannya Menghadap Tuhan dengan sopannya Sufinya bukannya kain Fi `l-Makkah daim bermain Ilmunya zahir dan batin Menyembah Allah terlalu rajin Kitab Allah dipersandangnya Ghaib Allah akan tandangnya Alam Lahut akan kandangnya Pada da`irah Hu tempat pandangnya Zikir Allah kiri kanannya Fikir Allah rupa badannya Surbat Tauhid akan minumannya Daim bertemu dengan Tuhannya Dalam sejarah sastra Melayu, teks Syair Makrifat yang awal dinisbahkan kepada Hamzah Fansuri dan murid-muridnya yang banyak di Barus dan Aceh sebagai pelopornya. Hamzah Fansuri, yang diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 M hingga awal abad ke-17 M adalah pencipta syair Melayu, sajak empat baris dengan pola rima akhir AAAA. Jumlah suku kata dari setiap barisnya tidak tetap, tetapi diusahakan seringkas mungkin. Dalam 191

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 179 - 206

syair-syairnya dia menggambarkan pengalaman kesufiannya dengan berpegang pada estetika sufi dan mengemasnya dengan tamsil-tamsil yang makna keruhaniannya berhubungan dengan konsep-konsep sufi tentang metafisika, kosmologi dan psikologi. Atau dengan konsep-konsep sufi tentang tahap-tahap perjalanan keruhanian (maqamat) dan keadaan-keadaan ruhani (ahwal). Jika dikaitkan metafisika sufi, tampak bahwa yang ditekankan dalam syair-syair itu ialah pandangan tentang adanya dua realitas atau hakikat, yaitu realitas Tuhan dan selain Tuhan.Yang pertama adalah wujud mutlak, transenden, keberadaan-Nya tidak tergantung pada yang lain, maha tunggal, kekal, maha hidup, tanpa awal tanpa akhir. Sifat transenden (tanzih)-Nya tidak menghalangi imanensi(tasybih)-Nya. Wujud yang lain bersifat nisbi dan sementara, dan keberadaannya tergantung pada Yang Mutlak. Dihubungkan tatanan alam wujud atau ontologi sufi, yang diungkapkan ialah tatanan alam yang ditempati oleh masing-masing keberadaan mengikuti hirarki dari yang tertinggi ke tingkatan alam yang lebih rendah, yaitu Alam Lahut, Alam Jabarut, Alam Malakut, dan Alam Nasut. Jiwa manusia yang melaksakan kebajikan ruhani dilukiskan naik setahap demi setahap dari Alam Nasut, melalui Alam Malakut dan Alam Jabarut, menuju Alam Lahut. Alam Jabarut dapat disamakan dengan alam hakikat, yang dengan mencapainya seseorang akan memperoleh makrifat, pemandangan yang luas dan mendalam tentang lautan keesaan Tuhan. Sering perjalanan dari alam rendah ke alam realitas tertinggi itu diumpamakan sebagai perjalanan mendaki puncak gunung, penerbangan ke tempat yang tinggi, juga penyelaman ke lubuk terdalam lautan, atau pelayaran jauh menuju Bandar Tauhid. Untuk itu digunakan tamsil-tamsil kosmologis seperti gunung, ombak, lautan, perahu, burung, dan lain sebagainya. Dalam hubungannya dengan psikologi sufi, yang diungkap ialah keadaan-keadaan ruhani (ahwal) yang dialami seorang ahli suluk dalam perjalanan keruhaniannya. Yang terpenting di antaranya ialah pengalaman ekstatis (wajd), luluhnya diri jasmani (fana), rindu (syauq), rasa yang dalam (auq), cinta (`isyq), dan lain-lain. Dalam syair Hamzah Fansuri dan beberapa muridnya, untuk 192

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Kalsifikasinya Abdul Hadi WM

menunjukkan keindividualannya penyair sering membubuhkan nama kecil dan takhallus dalam bait-bait penutup syairnya. Takhallus biasanya menunjuk kepada tempat seorang penyair dilahirkan dan dibesarkan, seperti yang dikenakan oleh Hamzah Fansuri yang bermakna Hamzah dari Barus atau Fansur. Tidak jarang penyair juga menggunakan penanda kesufian seperti faqir, anak dagang, dagang, dan lain-lainnya. Pemakaian takhallus punya tujuan sendiri, yaitu memaparkan bentuk pengalaman sufi yang diperoleh penyair ketika menulis syairnya. Contohnya seperti berikut: Hamzah miskin orang `uryani Seperti Ismail jadi qurbani Bukan Arabi lagi Ajami Senantiasa wasil dengan Yang Baqi Hamzah Fansuri di negeri Melayu Tempatnya kapur di dalam kayu Asalnya manikam tiada kan layu Dengan ilmu dunia manakan payu Hamzah Fansuri di dalam Mekkah Mencari Tuhan di Bait al-Ka`bah Di Barus ke Quds terlalu payah Akhirnya jumpa di dalam rumah Hamzah Syahr Nawi terlalu hapus Seperti kayu sekalian hangus Asalnya laut tiada berarus Menjadi kapur di dalam barus (Abdul Hadi W. M. 2001:401-2) Dalam kutipan 1 penyair mengemukakan hasil pencapaiannya di jalan cinta dan makrifat, yaitu kefakiran diri (faqr), dengan menggunakan simbol-simbol sejarah. Faqir sejati seperti Nabi 193

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 179 - 206

Ismail a.s. siap mengurbankan diri (nafs, kepentingan diri) demi tujuan hidup spiritual yang lebih tinggi. Seorang faqir tidak lagi terpaut pada identitas lahir, tetapi pada identitas ruhani, yaitu kedekatan dan persatuan dengan Yang Abadi (Baqi). Dalam kutipan 2 dia menggunakan simbol kosmologis seperti kapur, kayu dan manikam untuk menggambarkan bahwa dia telah memperoleh pengetahuan hakikat. Kapur adalah hakikat kayu barus. Dia juga mengemukakan bahwa secara ruhani diri manusia merupakan mutiara ciptaan (manikam) yang berasal dari lautan wujud ketuhanan. Pemakaian simbol kayu dan kapur atau barus, diulangi dalam kutipan 4. Di sini dia menceritakan pengalaman fana yang diperolehnya, yang diumpamakan sebagai kayu yang hangus dan luluh seperti kapur di dalam barus. Pada kutipan 4, dia menggunakan simbol Mekkah (pusat jagat raya), Kabah (kalbu seorang yang imannya sudah teguh dan mantap), Barus (tempat penyair memulai perjalanan ruhani, yaitu dari dunia lahir), Quds (Yerusalem, tempat Nabi melakukan perjalanan malam atau israk, sebelum mikraj, lambang pencapaian ruhani yang tinggi) dan rumah (simbol kalbu manusia yang mengenal hakikat dirinya). Tuhan, sebagai Wujud Tertinggi, dalam Al-Quran disebut Yang Zahir dan Yang Batin, dengan demikian Dia transenden, tetapi sifat transenden-Nya tidak menghalangi kehadiran-Nya di dalam dunia ciptaan. Kehadiran-Nya itu adalah penampakan-Nya secara gaib melalui sifat-sifat dan tindakan-tindakan-Nya yang kreatif. Para penganut tasawuf wujudiyah mengartikan Wujud sebagai sesuatu yang keberadaannya nyata melalui hal-hal tertentu, bukan semata-mata melalui rupa atau bentuk. Apabila perkataan wujud dikenakan pada Tuhan, maka yang dimaksud ialah sifat-sifat dan tindakan-tindakan-Nya yang kreatif itu. Menurut paham wujudiyah, pengertian wujud Tuhan terkandung dalam kalimah Bism Allah al-rahman al-rahim. Dalam kalimah tersebut Allah disebut sebagai al-rahman dan al-rahim. Itulah wujud-Nya, yaitu sifat-sifat-Nya yang dikenal melalui dunia ciptaan-Nya yang tidak terhingga dan menakjubkan. Menurut Ibn `Arabi, kedua kata tersebut berasal dari kata al-rahmah (rahmat), 194

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Kalsifikasinya Abdul Hadi WM

yang salah satu artinya ialah Cinta. Rahman (pengasih) adalah cinta yang bersifat esensial, yang dianugerahkan kepada apa saja dan siapa saja. Tetapi rahim (penyayang) cinta yang wajib diberikan kepada orang yang beriman, bertakwa dan beramal saleh (Abdul Hadi W. M. 2002:57). Inilah yang dinyatakan Hamzah Fansuri dalam bait-bait syairnya (Ikat-ikatan II Leiden Cod. Or. 2026) seperti berikut: Tuhan kita yang bernama qadim Pada sekalian makhluq terlalu karim Tandanya qadir lagi hakim Menjadikan alam dari al-rahman dan al-rahim Rahman itulah yang bernama sifat Tiada bercerai dengan kunhi Dzat Di sana perhimpunan sekalian ibarat Itulah hakikat bernama maklumat Rahman itulah yang bernama Wujud Keadaan Tuhan yang sedia mabud Kenyataan Islam, Nasrani dan Yahud Dari rahman itulah sekalian maujud Dalam bait tersebut dikemukakan pengertian konsep wahdah al-wujud (kesatuan transenden wujud) dari sufi wujudiyah. Wujud diberi makna sebagai Sifat dan Pekerjaan Tuhan yang kreatif, yang melaluinya semua keberadaan berasal dan bergantung. Karena jalan tasawuf adalah jalan cinta, tamsil-tamsil antromorfis berkaitan dengan cinta sering pula digunakan, seperti dalam bait-bait syair Hamzah Fansuri yang indah berikut ini: Subhan Allah terlalu kamil Menjadikan insan alim dan jahil Dengan hamba-Nya daim Ia wasil Itulah Mahbub yang bernama adil

195

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 179 - 206

Mahbubmu itu tiada berlawan Lagi alim ia lagi bangsawan Kasihnya banyak lagi gunawan Olehnya itu beta tertawan Bersunting bunga lagi bermalai Kainnya warna berbagai-bagai Tahu bersembunyi di dalam sakai (hamba) Olehnya itu orang terlalai (Ibid 2001:353) Keindahan ciptaan Tuhan yang berbagai-bagai dan menakjubkan di alam semesta digambarkan sering menjadi hijab bagi penglihatan batin banyak orang, sehingga lupa kepada Sang Pencipta. Alegori Sufi Pengarang sufi telah lama menggemari bentuk penulisan yang disebut alegori atau kisah perumpamaan. Kisah-kisah yang telah ada sebelumnya, seperti kisah-kisah cinta bercampur petualangan seperti Layla wa Majenun, Khusraw wa Shirin, Yusuf wa Zulaikha, Salman wa Absal, dan lain-lain, digubah (terutama dalam kesusastraan Persia) menjadi alegori sufi. Melalui kisah-kisah itu pengalaman cinta mereka yang trasendental dan perjalanan keruhanian mereka dalam tasawuf, dilukiskan melalui berbagai kisah cinta dan petualangan ajaib yang menarik. Dalam kesusastraan Melayu, hal serupa dilakukan oleh penulis sufi. Kisah petualangan ajaib bercampur percintaan seperti Hikayat Syah Mardan dan Hikayat Inderaputra misalnya digubah menjadi alegori sufi yang digemari pembaca. Braginsky (1999:525) berpendapat bahwa apabila syair-syair sufi yang merupakan uraian langsung tentang doktrin sufi, maka ia dapat digolongkan sebagai akegori dengan plot statis seperti tampak dalam syair-syaiar Hamzah Fansuri yang telah dikutip. Alegori sufi mengandung plot yang dinamik sebagaimana kisah yang dijadikan dasar penulisannya. Contohnya kisah petualangan dan percintaan 196

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Kalsifikasinya Abdul Hadi WM

seperti telah dikemukakan. Setelah digubah menjadi alegori sufi, hikayat-hikayat itu bukan saja menggambarkan kesempurnaan cinta kasih profan antara tokoh-tokohnya, tetapi juga kesempurnaan melaksanakan syariat dan tariqat, serta kesempurnaan merealisasikan diri di jalan hakikat dan makrifat. Dalam Hikayat Syah Mardan misalnya, pembaca tidak boleh berhenti hanya pada cerita ketika terjadi perpisahan antara raja dengan Siti Dewi. Tokoh Syeh Mardan pula telah dilukiskan mengunjungi dua kerajaan dan di sana masing-masing berhasil menyunting seorang putri jelita. Dua kerajaan lagi menunggu kedatangannya, dan dua istri lagi sedang menanti untuk dipersunting. Dua kerajaan pertama dan kedua adalah tamsil bagi syariat dan tariqat, dan dua kerajaan berikutnya tamsil bagi hakikat dan makrifat. Simaklah kutipan berikut ini, di mana cerita mulai berubah dari perjalanan duniawi menuju perjalanan ruhani: Maka Indrajaya pun (Syah Mardan) bermohon... lalu berjalan... Syahdan Beberapa lama ia pun melihat kekayaan Allah swt. dan beberapa lamanya ia pun melalui padang yang luas-luas dan gunung yang tinggitinggi. Di mana ia bertemu waktu di sanalah ia sembahyang tiada mau (meninggalkan waktu) dan qada. Syahdan tiadalah dipandang yang lain lagi melainkan dirinya juga yang dikenalinya dan lihatnya pada siang dan malam (Braginsky 1994:42). Hikayat Syah Mardan mengandung beberapa rujukan tasawuf, khususnya paham Martabat Tujuh dari Syamsudin Pasai dan Syekh Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri. Penulisnya menggunakan tamsil-tamsil seperti burung untuk jiwa, jin sebagai makhluk gaib yang menjadi lawan atau kawan seorang ahli tasawuf, pendakian ke

197

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 179 - 206

puncak gunung disertai penyucian diri di telaga, yang melambangkan pencapaian makrifat. Dalam Hikayat Isma Yatim dan Ken Tambuhan, tidak sedikit dijumpai bait-bait syair yang mengemukakan perlunya seseorang mempelajari ilmu makrifat dan hakikat diri. Selain itu hikayathikayat ini diresapi oleh estetika sufi dan puitika yang disarankan para sufi. Misalnya motif penceritaanm tokoh-tokohnya. Kelahiran seorang tokoh dalam hikayat Melayu selalu disertai gambaran tentang peristiwa alam serba dahsyat sebagai tanda campur tangan kekuatan supernatural dalam kehidupan manusia. Pemaparan keindahan mengikuti pola estetika sufi juga terlihat dalam Hikayat Indraputra seperti dalam petikan berikut:Syahdan di atas bunga itu ada seekor paksi terlalu indah-indah rupanya itu, dan di bawah pohon kayu itu adalah seekor burung terlalu elok rupanya dan terlalu indah bunyinya dan lagi ada seekor paksi itu berserdam di atas hamparan terlalu ajaib sekali rupanya. Maka ia pun hinggap kepada bejana dan terperciklah narwastu itu kepada tubuh Indraputra terlalu harum baunya. Maka Indraputra pun heran melihat yang indah-indah itu. Suahdan muka Indraputra memandang, kemudian tidurlah ia dengan berahinya mendengar bunyi-bunyian itu (Braginsky 1993:29-30)

Lukisan seperti itu mengingatkan pada syair-syair Hamzah Fansuri yang menggunakan tamsil burung. Juga dapat dibandingkan dengan lukisan dalam Hikayat Kejadian Nur Muhammad. Dalam HKM dilukiskan betapa setelah dicipta dalam bentuk mutiara berkilau-kilauan, Nur Muhammad yang merupakan tamsil bagi ruh manusia, mengalami transformasi menjadi seekor burung (lambang jiwa manusia) yang hinggap pada pohon hayat (sajarah al-hayat). Perkataan seperti indah-indah rupanya, elok, heran, takjub, tidur dengan berahi dan lain-lainyang semuanya berkaitan dengan pengaruh dari sebuah penglihatan indah kepada jiwa manusia, merujuk pada konsep estetika sufi tentang kemiripan pengalaman mistis dan pengalaman estetik. Kecenderungan serupa juga ditemui dalam puisi-puisi Amir Hamzah, raja penyair Pujangga Baru. Alegori sufi lain yang terkenal dan memberi ilham bagi penulisan syair-syair sufi dan motif seni hias Islam yang simbolik ialah 198

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Kalsifikasinya Abdul Hadi WM

Hikayat Burung Pingai. Hikayat ini baru belakangan saja diungkap. Walaupun termasuk karya becorak tasawuf, namun karena corak Parsinya sangat kental ia dibicarakan dalam hubungannya dengan karya-karya Melayu bercorak Parsi. Braginsky (1993:40) menemukan versi hikayat ini dalam naskah Leiden Cod. Or. 3341 yang telah disalin oleh van Ronkel pada tahun 1922, namun hampir tidak ada peneliti memberi perhatian terhadap hikayat ini. Kentalnya corak Parsi pada hikayat ini, karena ia diubahsuai langsung dari Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) karya Fariduddin al-`Attar. Mantiq al-Tayr merupakan alegori sufi yang masyhur di Timur maupun di Barat. Dikisahkan bahwa masyarakat burung dari seluruh dunia berkumpul untuk membicarakan kerajaan mereka yang kacau sebab tidak memiliki pemimpin lagi. Burung Hudhud tampil ke depan bahwa raja sekalian burung sekarang ini berada di puncak gunung Kaf, namanya Simurgh. Simurgh adalah burung maharaja yang berkilauan-kilauan bulunya dan sangat indah. Jika kerajaan burung ingin kembali pulih, mereka harus bersama-sama pergi mencari Simurgh. Penerbangan menuju puncak gunung Qaf sangat sukar dan berbahaya. Tujuh lembah atau wadi harus dilalui, yaitu: (1) Lembah Talab (pencarian); (2) Lembah `Isyq atau Cinta; (3) Lembah Makrifat; (4) Lembah Istihna atau kepuasan; (5) Lembah Tauhid; (6) Lembah Hayrat atau ketakjuban; (7) Lembah fana, baqa dan faqir. Pada mulanya burung-burung enggan melakukan perjalanan jauh yang sangat sukar dan berbahaya itu. Tiap-tiap burung mengemukakan alasan yang berbeda-beda. Hudhud tidak putus asa. Dia meyakinkan bahwa penerbangan itu perlu dilakukan. Setelah penerbangan dilakukan hanya tiga puluh ekor burung sampai di tujuan. Dalam bahasa Parsi tiga puluh artinya Si-murgh. Demikianlah ketiga puluh ekor burung itu heran, sebab yang dijumpai tidak adalah hakikat diri mereka sendiri (Jawad Shakur 1972). Dalam tradisi sastra sufi, burung adalah tamsil atau lambang ruh manusia yang senantiasa gelisah karena terpisah dari asal-usul keruhaniannya dan sangat merindukannya. Si-murgh bukan saja lambang hakikat diri manusia, tetapi juga hakikat ketuhanan yang walaupun kelihatannya jauh, namun lebih dekat dari urat leher 199

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 179 - 206

manusia sendiri. Braginsky menemukan bahwa Hikayat Burung Pingai dalam sastra Melayu ditransformasikan atau diubahsuai langsung dari Mantiq al-Thayr. Simurgh diganti dengan nama Burung Sultani, namun gambaran tentangnya mirip dengan penggambaran `Attar tentang Simurgh. Karya `Attar itu juga mengilhami Hamzah Fansuri seperti Syair Thayr al-`Uryan Unggas Sulthani. Dalam al-Muntahi Syekh Hamzah Fansuri mengutip bait puisi `Aththar : Baz badi dar tamasha-tarab Tan faru daland farigh as talab (Braginsky 1993:136) Terjemahannya lebih kurang: Ada yang hanya bertamasya dan bersukaria; Begitu bersemangat mereka hingga berhenti (yakni, tidak lagi mencari Simurgh, pen.). Deskripsi dalam Hikayat Burung Pingai ialah sebagai berikut: Nabi Sulaiman, raja binatang dan jin, memanggil semua burung. Burung pertama yang muncul ialah Nuri, Khatib Agung di kalangan burung-burung. Disusul Kasuari, Elang, Kelelawar, Pelatuk, Tekukur, Merak, Gagak dan lain-lain. Di depan mereka Nabi Sulaiman bertanya kepada burung Nuri, jalan apa yang harus ditempuh untuk mencapai rahasia dan hakikat kehidupan? Nuri menjwab, melalui jalan tasawuf, yang tahapan-tahapannya berjumlah tujuh. Nuri lantas memperlihatkan kearifannya dengan menceritakan bahwa seorang kawannya mengeluh tidak dapat mengenal Tuhan disebabkan buta dan tuli. Tetapi jalan tasawuf bukan jalan inderawi, jadi tidak tergantung apakah orang itu tuli dan buta secara jasmani. Kemudian Nuri menjelaskan bahwa jalan tasawuf selain sukar juga berbahaya. Di laut kehidupan tidak mudah mendapat petunjuk. Burung-burung yang mendengar keberatan menempuh jalan tasawuf. Masingmasing mengemukakan alasan berbeda. Tetapi setelah duraikan pentingnya perjalanan itu, pada akhirnya burung-burung bersedia mengikuti petunjuk burung Nuri melakukan pengembaraan menuju Negeri Kesempurnaan. Penulis menutup alegorinya dengan mengu200

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Kalsifikasinya Abdul Hadi WM

tip Hadis qudsi, Barang siapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya. Setelah tujuan dicapai burung-burung yang berhasil menempuh perjalanan itu, semuanya takjub, heran dan memuji kearifan burung Nuri (Braginsky 1993:141). Demikian tokoh burung Hudhud diganti burung Nuri. Kata nur dalam bahasa Arab berarti cahaya, jadi Burung Nuri yang dimaksud identik dengan Burung Pingai, sebab arti pingai juga indah berkilau-kilauan. Sebagai ganti ketidak hadiran Hudhud dalam versi Melayu, ditampilkan Nabi Sulaiman. Dalam Al-Quran 27:20-28 (Surah al-Naml), disebutkan burung Hudhud merupakan burung kesayangan Nabi Sulaiman a.s. Kepopuleran hikayat ini mungkin masih membua peluang untuk diperdebatkan, tetapi tidak dapat disangkal pengaruh buku ini, khususnya penggunaan simbol Burung Pingai atau Simurgh, dalam kesusastraan Melayu dan seni rupa Islam di Nusantara. Seni ukir dan seni batik di Sumatra, Jawa, dan Madura tidak sedikit yang menampilkan motif hias burung yang disebut Burung Pingai itu. Penutup Apa yang telah dipaparkan menunjukkan bahwa sebagaimana kesusastraan Melayu itu sendiri, karya-karya bercorak tasawuf yang menjadi bagian utama dari khazanahnya yang kaya, masih merupakan wilayah yang luas bagi penelitian para sarjana. Ia tidak hanya menyediakan wilayah kajian bagi disiplin seperti filologi, bahasa, dan sastra, tetapi juga ilmu-ilmu agama, sejarah intelektual, dan falsafah yang merangkumi metafisika, etika, estetika, dan hermeneutika. Namun sayangnya, khazanah yang begitu kaya itu baru menarik minat sekelompok kecil sarjana sastra dan filologi belaka. Sarjanasarjana ilmu agama lebih tertarik meneliti teks yang menguraikan doktrin sufi secara ilmiah.*

201

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 179 - 206

Daftar PustakaAbdul Hadi W. M. 2002. Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Paramadina. Ali Utsman al-Hujwiri. 1982. The Kashf al-Mahjub: The Oldest Persian Treatise on Sufism.. Translated by R. A. Nicholson. New Delhi: Taj Company. al-Attas, Syed M. Naquib. 1970. The Mysticism of Hamzah Fansuri. Kuala Lumpur: Universiti Malaya Press. Brginsky, V. I. 1993. Tasawuf dan Sastra Melayu: Kajian dan Tek-teks. Jakarta: RUL (Rijkuniversiteit Leiden). -------. 1994. Nada-nada Islam Dalam Sastera Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Doorenbos, J. 1933. De Geschriften van Hamzah Pantsoeri. Leiden: NV VH Betteljes & Terstra. Drewes G. W. J. 1969. The Admonitions of Seh Bari.. The Hague: BKI Martinus Nijhoff. Livingston Ray. 1962. The Traditional Theory of Literature.Minneapolis: University of Minesotta Press. Md. Salleh Yaapar. 2002. Ziarah ke Timur. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Mir Valiuddin. 1977. The Quranic Sufism. Delhi-Varanasi-Patna: Motilal Banarsidass. -------. 1980. Contemplative Disciplines in Sufism. LondonThe Haguie: EastWest Publications. Mohd. Shaghir Abdullah. 1991. Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara. Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah. Nasr, Seyyed Hossein. 1980. Living Sufism. London-Boston-Sidney: George Allen & Unwin Ltd. -------. 1981. Knowledge and the Sacred. New York: The Crossroad Publishing Company. Nicholson, R. A. 1979. The Mystics of Islam. Lahore: Islamic Book Services. Schimmel, Annemarie 1980. The Triumphal Sun: A Study of the Works of Jalaluddin Rumi. London and The Hague: East-West Publications.

202

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Kalsifikasinya Abdul Hadi WM

-------. 1981. Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: The University of North Caroline Press. Sumaryono, E. 1992. Hermeneutika. Yogyakarta: Kanisius. Teeuw, A. 1994. Hamzah Fansuri Sang Pemula Puisi Indonesia. Dalam Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya. Zalila Sharif & Jamilah Haji Ahmad. 1993. Kesusastraan Melayu Tradisional. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

203

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 179 - 206

Lampiran:

Gambar 01 Naskan Hikayat Isma Yatim dan Hikayat Sultan Mogul Mengajarkan Anaknya (Cod. Or. 1693) yang diterbitkan dalam edisi facsimile (Leiden: Indonesian Linguistics Development Project [ILDEP] in co-operation with Legatum Warnerianum in the Library of Leiden University, 1993)

204

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Kalsifikasinya Abdul Hadi WM

Gambar 02 Halaman 1 dari Naskah Hikayat Isma Yatim dan Hikayat Sultan Mogul Mengajarkan Anaknya (Cod. Or. 1693) dalam edisi facsimile (Leiden: ILDEP - Legatum Warnerianum in the Library of Leiden University, 1993)

205

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 179 - 206

Gambar 03 Halaman 117 dari Naskan Hikayat Isma Yatim dan Hikayat Sultan Mogul Mengajarkan Anaknya (Cod. Or. 1693) dalam edisi facsimile; Bagian atas merupakan kolofon yang menerangkan teks ini selesai ditulis pada hari Sabtu, 26 Zulkaidah 1234; Bagian bawah merupakan halaman awal dari teks Hikayat Sultan Magul Mengajarkan Anaknya (Leiden: ILDEP - Legatum Warnerianum in the Library of Leiden University, 1993)

206

Menguak Sufisme Tuang Rappang M. Adib Misbachul Islam

Menguak Sufisme Tuang Rappang:Telaah atas Teks Daqiq al-AsrrM. Adib Misbachul IslamUIN Syarif Hidayatullah, Jakarta Abd al-Basir Tuang Rappang is one of the important factors behind the success for the development of tarekat Khalwatiah Yusuf in South Sulawesi. In addition to that, he had a vital role in guiding tarekat community. Rappang was also interested in writing the works of Sufism. He has written three treatises during his carier as a spiritual leader of tarekat Khalwatiah Yusuf. Daqiq al-Asrr (DA) is one of his works that discusses sufism, both in the aspect as the way or as the destination of spiritual life. In relation to this, the method Tuang Rappang used to teach is called tawajjuh and murqabah methods. Although both methods are simple, however, these methods are considered to be able to take the aspirant sufi (slik) to reach the peak of the destination in the sufistic way, better known as the musyhadah. Furthermore, in this text, Tuang Rappang also discusses the problem of mode of being. Both are the mode of being of God and the mode of being of the universe. According to Tuang Rappang, the real mode of being is the only mode of being of God, not the mode of being of the universe. . Kata kunci: Tuang Rappang, Daqiq al-Asrr, tarekat khalwatiyah, tawajjuh, murqabah.

Pendahuluan Perkembangan tasawuf di wilayah Sulawesi Selatan memang tidak dapat dilepaskan dari sosok Syaikh Ysuf al-Makassari; hal ini karena ketokohan dan otoritas Syaikh Ysuf, baik secara intelektual maupun spiritual, memang membawa pengaruh yang sangat mendalam bagi masyarakat di sana. Bahkan, salah satu tarekat sufi yang diajarkan dan dikembangkan oleh Syaikh Ysuf, yakni Khalwatiyah, merupakan salah satu aspek yang cukup dominan dari Islam di Sulawesi Selatan (van Bruinessen, 1995: 285). 207

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 207 - 228

Memang, pengaruh Syaikh Ysuf di masyarakat Sulawesi Selatan adalah suatu hal yang tidak terbantahkan, namun perkembangan tarekatnya, yakni Khalwatiyah Ysuf, mungkin tidak mudah mencapai keberhasilan jika tidak ada mata rantai yang menghubungkan antara Syaikh Ysuf dengan masyarakat Sulawesi Selatan. Hal ini karena Syaikh Ysuf sendiri tidak pernah terjun langsung ke wilayah tersebut untuk menyebarkan tarekatnya, namun mengirim khalifahnya, yakni Abd al-Bar Tuang Rappang (w.1733) (Rahman, 1997, 44; Hamid, 2005: 136, 210). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sosok Abd al-Bar Tuang Rappang merupakan salah satu faktor penting di balik keberhasilan perkembangan Tarekat Khalwatiyah Yusuf di Sulawesi Selatan. Meski menjadi salah satu faktor penting atas suksesnya penyebaran dan pengembangan tarekat Khalwatiyah di Sulawesi Selatan, akan tetapi sosok Abd al-Bar Tuang Rappang dan pandangan sufistiknya nyaris tidak banyak mendapat perhatian, baik dari kalangan peminat studi sejarah sosial intelektual maupun kalangan peminat studi tasawuf Nusantara. Padahal, seperti halnya Syaikh Yusuf, dan juga para tokoh tasawuf Nusantara sebelumnya, Abd al-Bar Tuang Rappang juga mampu menghasilkan karya-karya intelektualnya dalam bentuk naskah-naskah tasawuf.1 Sejauh ini, belum ada penelitian yang secara khusus mengkaji ajaran tasawuf Abd al-Bar Tuang Rappang. Meskipun telah ada beberapa penelitian tentang tasawuf dan perkembangan tarekat Khalwatiyah di Nusantara, namun sosok Tuang Rappang hanya disinggung sebatas dalam kedudukannya sebagai murid dan penerus Syaikh Yusuf al-Makassari dalam mengembangkan tarekat Khalwatiyah di Sulewesi Selatan, sementara pandangan tasawuf Tuang Rappang sendiri tidak mendapat perhatian.2Berdasarkan catatan Rahman (1997; 44), ada 3 naskah yang berhasil ditulis oleh Tuang Rappang, yaitu Daqiq al-Asrr, ar-Rislah al-Mubrakah, dan Bahjah at-Tanwr f Bayni Fawid al-Lugat al-lat Taharu min auq al-rif billh. 2 Hal Ini dapat dilihat dari penelitian Abdullah (t.t.), van Bruinessen (1995), Lubis (1996), Rahman (1997), Hamid (2005), dan Azra (2007). Semua penelitian tersebut hanya mengulas secara ringkas sosok Tuang Rappang dalam kedudukannya sebagai murid dan khalifah Syaikh Yusuf al-Makassari.1

208

Menguak Sufisme Tuang Rappang M. Adib Misbachul Islam

Melihat langkanya kajian tentang tasawuf Abd al-Bar Tuang Rappang, kajian terhadap naskah-naskahnya menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan. Hal ini karena naskah-naskah itu merupakan sumber informasi yang dapat digunakan untuk mengungkapkan pandangan tasawuf dan kecenderungan intelektual-spiritualnya. Oleh karena itu, sebagai upaya penelitian awal, tulisan ini akan menelaah salah satu naskah karya Tuang Rappang; dalam hal ini adalah teks Daqiq al-Asrr. Lewat penelitian ini, diharapkan ada penelitianpenelitian lanjutan untuk mengkaji lebih jauh lagi tentang Abd alBar Tuang Rappang, baik dari segi tasawuf maupun kedudukannya dalam konteks sejarah sosial-intelektual di Nusantara. Sekilas tentang Abd al-Bar Tuang Rappang Abd al-Bar a-arr Tuang Rappang adalah khalifah utama Syekh Yusuf al-Makassari yang berperan besar dalam pengembangan tarekat Khalwatiyah di Sulawesi Selatan. Tidak banyak berbeda dengan gurunya, riwayat hidup Abd al-Bar Tuang Rappang, terkait dengan tahun kelahiran dan asal-usulnya, masih diselimuti misteri.3 Sekalipun demikian, yang dapat dipastikan adalah ia tinggal di Rappang, sebuah kota kecil di pedalaman Bugis, dan karena itu ia juga disebut dengan Tuang Rappang (Hamid, 2005: 210; Abdullah, t.t.: 81). Sesuai dengan laqab-nya, yakni a-arr, kedua matanya mengalami kebutaan. Dalam usia yang masih usia muda, ia sudah menjadi murid Syaikh Yusuf al-Makassari ketika di Mekkah. Pada saat Syaikh Yusuf kembali ke Banten, ia pun mengikutinya dan tinggal di Banten untuk beberapa waktu bersama gurunya tersebut (van Bruinessen, 1995: 292; Hamid, 2005: 210). Kedatangan Syaikh Yusuf di Banten yang diikuti oleh Abd alBar Tuang Rappang, membuat Raja Gowa, Sultan Abdul Jalil, mengirim utusan untuk memanggil Syaikh Yusuf agar kembali ke Gowa dengan tujuan mengislamkan kembali orang-orang Gowa. Akan tetapi permintaan Raja Gowa itu tidak dipenuhi oleh Syaikh Yusuf. Sebagai gantinya, Syaikh Yusuf mengutus Abd al-Bar Tuang

Menurut Hamid (2005: 210), ia berasal dari keluarga kaya dari Rappang, sementara menurut Rahman (1997: 45), ia berasal dari Arab.

3

209

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 207 - 228

Rappang ke Gowa. Pada tanggal 7 Muharram 1089/2 Maret 1678 Abd al-Bar a-arr Tuang Rappang tiba di Sulawesi (Rahman, 1997: 44). Sebagaimana cerita kehidupan sufi pada umumnya, riwayat hidup Abd al-Bar Tuang Rappang juga dibumbui oleh legenda. Konon, berdasarkan tradisi lisan masyarakat Makassar (Hamid, 2005: 211), keberangkatan Abd al-Bar Tuang Rappang ke Gowa dari Banten bersama dengan istrinya hanya dengan menggunakan sampan kecil. Berkat kekuatan zikir, sampan kecil itu didorong oleh angin dan sampai di pelabuhan Jeneberang, Gowa. Sebagai khalifah utama Syaikh Yusuf, kedatangan Abd al-Bar Tuang Rappang di Gowa membawa misi penyebaran tarekat gurunya, yakni tarekat Khalwatiyah. Bahkan, ia adalah orang pertama yang membawa tarekat Khalwatiyah di Gowa (Rahman, 1997: 44). Pada tahap awal, Abd al-Bar a-arr Tuang Rappang mendakwahkan tarekat Khalwatiyah itu ke kalangan bangsawan, baik yang berada di pusat kerajaaan maupun yang berada di daerah-daerah distrik (Hamid, 2005: 212), dan karena itu tidak mengherankan jika pada akhirnya banyak bangsawan Makassar yang menjadi pengikut tarekat Khalwatiyah, termasuk Andi Ijo Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidid, penguasa kerajaan Gowa yang terakhir (van Bruinessen, 1995: 286). Pada tahap berikutnya, seiring banyaknya pengikut tarekat Khalwatiyah, Abd al-Bar a-arr Tuang Rappang mengangkat Abd. Kadir Karaeng Majannang, Mangkubumi Kerajaan Gowa, sebagai pembantunya dalam melayani para jamaah tarekat. Di samping itu, ia juga menyiapkan dua orang khalifah yang kelak menggantikannya, yakni Abu Saad al-Fadhil al-Khalwati dan Abd. Majid Nuruddin Ibnu Abdillah (Hamid, 2005: 2130). Seiring dengan banyaknya kalangan bangsawan yang mengikuti tarekat Khalwatiyah, proses penyebaran tarekat Khalwatiyah ke masyarakat luas menjadi lebih mudah; hal ini karena kerajaan senantiasa memberikan dukungan dan perlindungan bagi penyebaran ajaran tarekat tersebut. Bahkan Sultan Abdul Jalil, Raja Gowa ke-19 merupakan pengikut setia dan tokoh utama dalam penyebaran tarekat Khalwatiyah ke daerah-daerah Bugis melalui hubungan kekera-

210

Menguak Sufisme Tuang Rappang M. Adib Misbachul Islam

batan antarkeluarga bangsawan, sampai-sampai Kerajaan Bone pun menjadi basis penyebaran tarekat Khalwatiyah (Hamid, 2005: 213). Yang menarik, di tengah kesibukannya mengurus tarekat Khalwatiyah, terlebih kondisi kedua matanya yang tidak dapat melihat, Abd al-Bar a-arr Tuang Rappang mampu menghasilkan karya-karya sufistik dalam bentuk tulisan. Rahman (1997: 44) mencatat ada tiga naskah yang berhasil ditulis oleh Abd al-Bar a-arr Tuang Rappang sepanjang karirnya sebagai pemimpin spiritual tarekat Khalwatiyah, yaitu Daqiq al-Asrr, ar-Rislah al-Mubrakah, dan Bahjat at-Tanwr f Bayni Fawid al-Lugat al-lat Taharu min auq al-rif billh. Abd al-Bar Tuang Rappang meninggal pada tanggal 5 Mei 1723. Pada mulanya ia di makamkan di Rappang, kemudian pada 25 Juli pada tahun yang sama jenazahnya dipindahkan ke Gowa untuk dimakamkam di komplek pemakaman Syekh Yusuf bersama dengan Daeng ri Tasammeng, dan Raja Gowa, Sultan Abdul Jalil (van Bruinessen, 1995: 293; Rahman, 1997: 45) Tinjauan Naskah Naskah Daqiq al-Asrr (selanjutnya disebut dengan DA) yang menjadi sumber kajian dalam tulisan ini merupakan koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta. Naskah ini terdaftar dalam katalog van den Berg (1873: 91). Judul dan pengarang teks, yakni Abd al-Bar a-arr, disebut secara eksplisit di bagian awal teks. Bahkan di bagian awal teks juga dijelaskan oleh pengarang alasan penulisan risalah Daqiq al-Asrr, untuk memenuhi permintaan Raja Bone, Sultan Idris. Sultan Idris memang seorang raja yang dikenal gemar mempelajari tasawuf, antara lain kepada Tuang Rappang, sehingga ia mendapat gelar Sultan Alimuddin (Hamid, 2005: 214). Teks DA terletak di urutan ke-11 dari 30 teks yang terdapat dalam bundel naskah 108;4 mulai halaman 142 sampai halaman 167. NaskahKeseluruhan teks yang terdapat dalam bundel naskah 108 adalah sebagai berikut: Fat ar-Ramn, Mala as-Sarir wa a-awhir, Malib as-Slikn, Fat Kaifiyyt a-ikr, al-Barakah as-Sailniyyah, Fawih al-Ysufiyyah, Kaifiyyat an-Nafy wa al-Ibt, Tal al-Inyah wa al-Hidyah, Rislah Gyat alIkhtir wa Nihyah al-Intir, Daqiq al-Asrr, Bahjat at-Tanwr, Sirr al-As4

211

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 207 - 228

berukuran 17 x 10,8 cm, sementara teksnya berukuran 13,6 x 7,6 cm. Secara keseluruhan, naskah terdiri atas 706 halaman, sedangkan teks DA terdiri atas 25 halaman. Setiap halaman terdiri atas 17 baris, kecuali halaman pertama yang terdiri atas 15 baris dan halaman akhir yang terdiri atas 14 baris. Dalam naskah ini ada dua penomoran; yang pertama dengan menggunakan tinta warna biru, sedangkan yang kedua menggunakan pensil. Kemungkinan besar penomoran halaman semacam itu bukan dari penyalin naskah. Alas naskah A 108 menggunakan kertas Eropa. Warna kertas putih kekuning-kuningan. Naskah dijilid dengan menggunakan kertas tebal berwarna coklat. Pada halaman pelindung, terdapat informasi pemilik naskah, yaitu Sultan Bone, Amad li Syam alMillah wa ad-Dn (1775-1812). Sebenarnya, di halaman pelindung juga terdapat informasi mengenai penyalin naskah, namun karena bagian kertas yang memuat nama penyalin berlubang, maka penyalin naskah tidak dapat diidentifikasi. Teks DA ditulis dengan menggunakan bahasa dan aksara Arab dengan syakal yang lengkap, namun cara pemberian syakal banyak yang tidak sesuai dengan kaidah gramatika bahasa Arab. Jenis khat yang digunakan adalah khat naskhi. Tinta yang gunakan berwarna hitam. Tulisan tebal dan jelas. Di beberapa bagian terdapat catatan pias yang berfungsi sebagai penjelasan atas bagian tertentu dalam teks. Teks DA berisi ajaran-ajaran tasawuf yang mencakup pembahasan mengenai tawajjuh, murqabah, musyhadah, muarah, dan muyanah serta pengalaman-pengalaman spiritual kaum gnostik, baik ketika dalam salat maupun di luar salat. Dalam teks DA tidak terdapat informasi mengenai kapan teks DA ditulis oleh Tuang Rappang. Akan tetapi, dengan mempertimbangkan bahwa alasan Tuang Rappang menulis teks DA adalah untuk memenuhi perminrr, Fa al-ikmah al-Ilhiyyah, al-Ayn a-bitah, at-Tufah al-Mursalah, Rislah al-Wu, Marifah at-Taud, Muqaddimah al-Fawid, Asrr a-alh f Bayn Muqranah an-Niyyah, Bar al-Laht,al-Gau al-Aam, Baynullh, an-Nr al-Hd il arq ar-Rasyd, Bidyat al-Mubtad, Daful Bal, 3 teks berbahasa Bugis,al-Futt al-Ilhiyyah, Teks berbahasa Bugis, dan Zubdat alAsrr.

212

Menguak Sufisme Tuang Rappang M. Adib Misbachul Islam

taan Raja Bone, Sultan Idris, dapat dipastikan bahwa teks DA ditulis pada masa Sultan Idris memegang kekuasaan di Bone, yakni antara 1696-1714 (Hamid, 2005: 213). Kandungan Isi Daqiq al-Asrr Sebagi seorang guru tarekat sufi yang berpengaruh di wilayah Sulawesi Selatan, Tuang Rappang tentunya memiliki pandanganpandangan sufistik tertentu yang ia ajarkan kepada para pengikutnya. Oleh karena itu, untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran sufistik Tuang Rappang dalam teks DA, diperlukan pula pemahaman terhadap hakikat tasawuf itu sendiri dalam berbagai dimensinya. Sebagai bentuk laku kehidupan spiritual yang multidimensi, tidak ada satu pun rumusan yang definitif tentang tasawuf yang dapat digunakan untuk memahami fenomena kehidupan spiritual yang dialami oleh kalangan sufi; hal karena pengalaman rohani maupun orientasi kehidupan spiritual para sufi itu berbeda-beda dan sifatnya personal serta subyektif. Perbedaan pengalaman maupun orientasi tersebut dengan sendirinya membawa implikasi pada perbedaan definisi yang diberikan oleh para sufi itu sendiri tentang tasawuf. Meskipun demikian, dari beberapa definisi tasawuf yang ada, dan yang dirumuskan oleh kalangan sufi sendiri, menurut Mahmud (2003: 43-47), definisi yang dirumuskan oleh Abu Bakr al-Kutani cukup merepresentasikan tasawuf sebagai jalan (arq) dan tujuan dari kehidupan sufistik yang dijalani oleh sufi, yaitu bahwa tasawuf adalah af dan musyhadah (kebeningan dan penyaksian). Dengan demikian, berangkat dari definisi seperti ini, tasawuf merupakan jalan dan tujuan sekaligus; jalan yang harus ditempuh adalah kebeningan rohani, sementara tujuannya adalah penyaksian kepada Allah secara rohani pula. Berkaitan dengan tasawuf, baik sebagai jalan menuju Tuhan (arq) maupun tujuannya (gyah), dalam mukaddimah teks DA Tuang Rappang menjelaskan muatan isi risalahnya sebagai berikut:hihi rislatun lafah wa nubatun arfah f gyat al-al-ikhtir wa nihyat al-ikhtir f bayn at-tawajjuh wa al-murqabah wa al-musyhadah wa al-muarah, wa al-muyanah wa sammaituh bidaqiq al-asrr f taqqi

213

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 207 - 228

qawid as-sirriyyah wa bayni awli ahlillh al-rifn fi a-alti wa gairih min ab al-kasyfi wa a-auq (DA, h. 142) (Ini risalah halus dan secuil keindahan yang sangat ringkas, berisi penjelasan mengenai tawajjuh, murqabah, musyhadah, muarah, dan muyanah. Risalah ini saya namakan dengan Daqaiq al-Asrar (kelembuatan rahasia) untuk menyatakan ketentuan-ketentuan yang rahasia dan untuk menjelaskan kondisi spiritual (l) orang-orang yang makrifat di waktu salat dan di luar salat )

Hal yang menarik dari kutipan mukadimah teks di atas, kelima konsep tersebut, yakni tawajjuh, murqabah, musyhadah, muarah, dan muyanah, dikaitkan dengan l, atau kondisi spiritual tertentu yang dialami oleh kaum rifn dalam salat dan di luar salat. Jika dicermati, kelima konsep tersebut merupakan sesuatu yang khas dalam wacana tasawuf, sedangkan salat merupakan kewajiban syariat yang sangat mendasar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sejak awal Tuang Rappang ingin menegaskan hubungan antara tasawuf sebagai dimensi esoterik Islam dan syariat yang merupakan dimensi eksoterik Islam sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, dalam ulasan selanjutnya mengenai makna kelima konsep-konsep yang khas dalam dunia tasawuf seperti itu, Tuang Rappang senantiasa mengacu kepada teks-teks yang secara syari sangat otoritatif; dalam hal ini adalah Al-Quran dan hadis. Secara umum, penjelasan Tuang Rappang terhadap berbagai konsep tasawuf memang sangat ringkas, namun, jika dicermati, berbagai konsep tasawuf yang disampaikan oleh Tuang Rappang itu sudah menggambarkan dua dimensi dari tasawuf, yakni tasawuf sebagai jalan dan sebagai tujuan. Dimensi jalan sufi terletak pada konsep tawajjuh dan murqabah, sedangkan dimensi tujuan terletak pada konsep musyhadah, muarah, dan muyanah. Tawajjuh dan Murqabah Berkaitan dengan jalan yang harus ditempuh oleh pelaku kehidupan sufistik, Tuang Rappang menegaskan bahwa manusia harus meyakini bahwa ke mana pun ia menghadapkan wajahnya, maka di situlah Allah ada. Dan karena itu, baik posisi orang itu jauh atau pun dekat dengan Allah, sebenarnya ia terus berhadapan dengan Allah. Berkenaan dengan tawajjuh ini Tuang Rappang mengatakan: 214

Menguak Sufisme Tuang Rappang M. Adib Misbachul Islam

qla azza wa jalla faainam tuwall faamma wajhullh wa tataqidu min qaulihi tal innahu maujdun hunka wa sawun almutawajjihu qarbatun ilahi au badatan anhu (DA, h. 143) (Allah azza wa jalla berfirman: ke mana pun engkau menghadap, maka di sana ada wajah Allah. Dari firman Allah tersebut yakinlah bahwa Dia ada di mana pun, baik orang yang bertawajjuh itu dekat maupun jauh dengan-Nya). Sebagai salah satu metode praktis menuju Allah, bagaimana gambaran arah atau kiblat tawajjuh menurut Tuang Rappang? Dalam konteks ini Tuang Rappang menjelaskan bahwa sepertinya halnya salat, tawajjuh juga mempunyai kiblat. Sebagaimana dimaklumi, secara syari salat disyaratkan untuk menghadap kiblat berupa arah yang sifatnya fisikal. Tanpa menghadap kiblat, jelas status hukum salat menjadi tidak sah. Terkait dengan kiblat tawajuh, Tuang Rappang menjelaskan:wa amm qiblat at-tawajjuh fahuwa as-sirr wa hiya al-muabbar anh bilqalbi a-anbar al-muqbili lil-qalbi al-aqq al-musyri ilahi f ad qalb al-mumin arsyullah wa f ad al-quds minallhi tal qla inna lil-insni qalban wa f al-qalbi sirran wa fi as-sirri an falih as-sirri qalllhu tal f al-ad al-quds l yasaun ar wa l sam wa lkin yasaun f qalbi abd al-mumin at-taq an-naq wa gairu lika min al-ad al-quds wa hiya qiblatu kh al-akha (DA, h. 154) (adapun kiblat tawajjuh itu adalah sirr; ia diungkapkan dengan hati sanubari yang berhadapan dengan hati yang hakiki sebagamana disyaratkan dalam Hadis: hati orang beriman adalah arsy Allah, dan dalam Hadiz Qudsi dari Allah taala, Allah berfirman: sesungguhnya menusia memiliki hati; dalam hati itu terdapat sirr; dan di dalam sirr itu ada Aku. Berkenaan dengan sirr ini Allah berfirman dalam Hadis Qudsi: bumi dan langit-Ku tidak dapat memuat diri-Ku; namun hati orang beriman yang bertaqwa dan suci-lah yang dapat memuat diri-Ku, serta Hadis Qudsi yang lain. Sirr merupakan kiblatnya orang yang sangat khusus).

Kutipan di atas memperlihatkan bahwa kiblat tawajjuh adalah sirr yang tempatnya berada di dalam hati manusia. Dalam wacana tasawuf, hati manusia memiliki beberapa fakultas (lafah) yang masingmasing fakultas itu terkait dengan fungsi spiritualnya. Al-Gamisykhanawi (t.t.: 342) menjelaskan bahwa sirr merupakan fakultas yang 215

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 207 - 228

terletak dalam hati manusia seperti halnya ruh yang terletak di badan. Sirr merupakan tempat penyaksian (maallu al-musyhadah); r merupakan tempat cinta (maallu al-maabbah); dan qalb (hati) merupakan tempat pengetahuan (maallu al-marifah). Bertolak dari fungsi spiritual sirr di atas, dapat dikatakakan bahwa tawajjuh dalam konsepsi Tuang Rappang tidak semata-mata merupakan merode praktis dalam proses perjalanan sufistik menuju Tuhan, namun terkait juga dengan ujung perjalanan sufistik itu sendiri; dan hal ini tidak lain adalah musyhadah atau penyaksian terhadap Allah. Selain itu, melihat fungsi spiritual yang dimiliki oleh sirr tersebut, dan dalam kaitannya dengan kedudukan sirr itu sebagai kiblat tawajjuh tempat di mana seorang menghadapkan arah perjalanan sufistiknya, dapat dipahami jika Tuang Rappang menempatkan sirr sebagai kiblatnya kalangan yang menempati strata spiritual yang tinggi, yang dalam istilahnya Tuang Rappang disebut sebagai kelompok kh al-kha. Dalam pada itu, kiblat tawajjuh yang berupa sirr di atas dengan sendirinya juga memperlihatkan siginifikansinya tersendiri terkait dengan esensi perjalanan sufistik menuju Allah. Hal ini terlihat dari argumen Tuang Rappang ketika menjelaskan alasan kenapa kiblat tawajjuh itu adalah sirr, bukan yang lain. Dari Hadis Qudsi yang dikutip oleh Tuang Rappang, yakni wa f ad al-quds minallhi tal qla inna lil-insni qalban wa f al-qalbi sirran wa fi as-sirri an, tampak terlihat bahwa alasan Tuang Rappang menempatkan sirr sebagai kiblat tawajjuh adalah karena di dalam sirr itu Allah berada. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jika sirr itu adalah tempat Allah, dan sirr itu terdapat dalam hati, sementara hati itu sendiri terdapat dalam diri manusia, maka perjalanan spiritual menuju Allah yang mesti ditempuh oleh pelakunya bukanlah perjalanan ke luar, dalam arti perjalanan dari satu tempat menuju ke tempat yang lain layaknya perjalanan fisik, akan tetapi ia merupakan perjalanan ke dalam. Dalam konteks ini, ia merupakan proses perjalanan menuju ke kedalaman diri manusia sendiri, ke dalam hatinya, dan ke dalam sirr-nya; karena di sanalah manusia menemukan Tuhannya. 216

Menguak Sufisme Tuang Rappang M. Adib Misbachul Islam

Di samping tawajjuh, metode praktis dalam perjalanan sufistik yang disampaikan oleh Tuang Rappang dalam teks DA adalah murqabah. Berkenaaan dengan murqabah, dalam teks DA Tuang Rappang mengatakan:qla azza wa jalla fartaqib inn maakum raqb wa hiya murqabat alisn f qaulihi allallhu alaihi wa sallama ubudillha kaannaka tarhu faillam takun tarhu fainnahu yarka ai faillam takun maujdan f nafsika fanaiin tarhu(DA, h. 143). (Allah azza wa jalla berfirman: bermuraqabahlah kamu, sesungguhnya Aku bersama kamu adalah Yang Maha Mengawasi. Ini adalah murqabat al-isn, sesuai hadis Nabi saw. sembahlah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka Dia melihatmu. Artinya, jika engkau tidak ada dalam dirimu, maka pada saat itu engkau melihat-Nya)

Kutipan di atas memperlihatkan bagaimana pandangan Tuang Rappang mengenai murqabah dan landasan syarinya, baik yang bersumber dari Al-Quran maupun dari hadis. Dalam kutipan tersebut, sepintas memang tidak ada elaborasi yang mendalam dari Tuang Rappang terhadap konsep murqabah. Akan tetapi, dalam kutipan teks di atas itu yang penting untuk diperhatikan adalah interpretasi Tuang Rappang terhadap hadis Nabi mengenai persoalan isn, yakni pernyataan ai faillam takun maujdan f nafsika fanaiin tarhu (Artinya, jika engkau tidak ada dalam dirimu, maka pada saat itu engkau melihat-Nya). Dari interpretasi Tuang Rappang yang sederhana ini dapat disimpulkan bahwa manusia dapat melihat Allah jika dia sudah merasa tidak ada dalam dirinya sendiri. Atau, dalam ungkapan lain, selama manusia masih merasa ada, maka ia tidak dapat melihat Allah. Dengan demikian interpretasi Tuang Rappang yang sederhana ini sebenarnya telah memasuki wilayah yang sangat krusial dalam sejarah pemikiran Islam, yakni hubungan ontologis antara Tuhan dan alam. Dalam wacana tasawuf praktis (tasawuf amali), pada hakikatnya makna murqabah adalah makna nafy (negasi) dan ibt (afirmasi) tanpa memperhatikan huruf-huruf kalimah ayyibah. Hal ini karena murqabah adalah upaya penekanan keesaan wujud Ilahi dalam batin (al-Gamisykhawani, t.t.: 293). Selain itu, murqabah adalah upaya menjaga sirr guna melihat kehadiran Allah setiap saat 217

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 207 - 228

dan di setiap ucapan. Pada akhirnya, upaya murqabah yang terus menerus disertai dengan perjuangan spiritual yang sempurna (mujhadah) akan membawa seorang slik (orang yang menempuh jalan sufi) dari tingkatan murqabah ke tingkat musyhadah. Dengan demikian buah murqabah itu tidak lain adalah musyhadah (al-Gamisykhawani, t.t.: 294). Jika murqabah merupakan pengejawentahan makna nafy dan ibt, maka dapat dipahami jika Tuang Rappang menginterpretasikan hadis mengenai isn dengan interpretasi yang mengarah pada makna kesatuan wujud hakiki. Hal ini karena kemampuan melihat Allah hanya dapat diperoleh jika seseorang menafikan wujudnya terlebih dulu sebelum mengisbatkan wujud Allah. Dan dengan melalui proses murqabah seperti ini, konsep isn dapat direalisasikan dalam kehidupan spiritual seorang slik. Di samping itu, jika murqabah merupakan upaya penjagaan terhadap sirr secara terus menerus, sementara sirr itu sendiri merupakan kiblat tawajjuh, maka dapat dipahami pula jika dalam teks DA Tuang Rappang menempatkan pembahasan murqabah tepat setelah pembahasan tawajjuh. Hal ini karena keduanya, yakni tawajjuh dan murqabah, menurut kaum sufi, merupakan satu paket