Jurnal AgriSains Vol. 3 No. 5., September 2012 ISSN : 2086...
Transcript of Jurnal AgriSains Vol. 3 No. 5., September 2012 ISSN : 2086...
Jurnal AgriSains Vol. 3 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
i
Jurnal AgriSains Vol. 3 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
ii
Jurnal AgriSains
PENANGGUNGJAWAB Ketua LPPM Universitas Mercu Buana Yogyakarta
Ketua Umum :
Dr. Ir. Ch Wariyah, MP
Sekretaris : Awan Santosa, SE., M.Sc
Dewan Redaksi :
Dr. Ir. Wisnu Adi Yulianto MP Dr. Ir. Sri Hartati Candra Dewi, MP
Dr. Ir Bambang Nugroho MP
Penyunting Pelaksana : Ir. Wafit Dinarto, M.Si Ir. Nur Rasminati, MP
Pelaksana Administrasi :
Gandung Sunardi Hartini
Alamat Redaksi/Sirkulasi : LPPM Universitas Mercu Buana Yogyakarta
Jl. Wates Km 10 Yogyakarta Tlpn (0274) 6498212 Pesawat 133 Fax (0274) 6498213
E-Mail : [email protected]
Jurnal yang memuat artikel hasil penelitian ini diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Mercu Buana Yogyakarta, terbit dua kali setiap tahun. Redaksi menerima naskah hasil penelitian, yang belum pernah dipublikasikan baik yang berbahasa Indonesia maupun Inggris. Naskah harus ditulis sesuai dengan format di Jurnal AgriSains dan harus diterima oleh redaksi paling lambat dua bulan sebelum terbit.
Jurnal AgriSains Vol. 3 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayahNya, Jurnal
Agrisains Volume 4, No. 5, September 2012 dapat diterbitkan. Redaksi mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada pada penulis atas partisipasi untuk berbagi pengetahuan
dari hasil penelitian melalui publikasi di jurnal Agrisains. Dengan demikian desiminasi hasil
penelitian dapat dilakukan dengan baik. Artikel tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi pengembangan IPTEKS.
Pada jurnal Agrisains edisi September 2012, disajikan beberapa hasil penelitian yang
berorientasi pada peningkatan ketahanan pangan utamanya di bidang peternakan dan
agroteknologi. Sesuai P2KP atau Program Peniningkatan Ketahanan Pangan yang
dicanangkan pemerintah, artikel di bidang Peternakan dan Agroteknologi dapat
diimplementasikan untuk meningkatkan sumber daya lokal.
Redaksi menyadari bahwa masih terdapat ketidaksempurnaan dalam penyajian artikel
dalam jurnal yang diterbitkan. Untuk itu kritik dan saran sangat diharapkan, agar penerbitan
mendatang menjadi semakin baik. Atas perhatian dan partisipasi semua pihak redaksi
mengucapkan terima kasih.
Yogyakarta, September 2012 Redaksi
Jurnal AgriSains Vol. 3 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
iv
DAFTAR ISI Hal
Kata Pengantar iii Daftar Isi iv ESTIMASI PARAMETER GENETIK DAN KEMAMPUAN BERPRODUKSI PERFORMANS PERTUMBUHAN KAMBING RAMBON.......................................................1-16 GENETIC PARAMETER AND PRODUCING ABILITY FOR GROWTH TRAITS OF RAMBON GOAT Sulastri*), Sumadi**), Tety Hartatik**), dan Nono Ngadiyono**)
POTENSI KIMPUL (Xanthosoma sagittifolium) SIAP TANAK SEBAGAI PANGAN ALTERNATIF BERKALSIUM..............................................................17-34 Chatarina Wariyah RESPON MACAM PUPUK DAN VARIETAS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL PADI DALAM S R I (SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION)………………………………………………………...35-50 Bambang Sriwijaya Anggit Bimanyu KINERJA AYAM KAMPUNG DENGAN RANSUM BERBASIS KONSENTRAT BROILER ....................................................................................................51-58 Niken Astuti KORELASI ANTARA KADAR GLIKOGEN, ASAM LAKTAT, pH DAGING DAN SUSUT MASAK DAGING DOMBA SETELAH PENGANGKUTAN...............................................................................................59-70 Sri Hartati Candra Dewi PERAN ABA DAN PROLINA DALAM MEKANISME ADAPTASI TANAMAN BAWANG MERAH TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN DI TANAH PASIR PANTAI....................................................................................................71-78 F. Didiet Heru Swasono PEDOMAN PENULISAN NASKAH…………………………………………………………………..79
Jurnal AgriSains Vol. 3 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
1
ESTIMASI PARAMETER GENETIK DAN KEMAMPUAN BERPRODUKSI PERFORMANS PERTUMBUHAN KAMBING RAMBON
GENETIC PARAMETER AND PRODUCING ABILITY
FOR GROWTH TRAITS OF RAMBON GOAT
Sulastri*), Sumadi**), Tety Hartatik**), dan Nono Ngadiyono**)
*) Sekolah Pascasarjana, Program Studi Ilmu Peternakan (Fakultas Peternakan) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung,
Bandar Lampung) (Handphone:089631336577, email:[email protected]) **) Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (Handphone:081328832260, email:profsumadi @yahoo.co.id)
ABSTACT The research was conducted at Lestari farmer group located at Southern Metro
subdistrict, Metro city, Lampung province to study the effectivity of mass selection by estimating genetic parameter for growth performance at birth, weaning, yearling and to study producing ability of buck, does, male, and female individuals by estimating breeding value (BV) and Most Probable Producing Ability (MPPA). Recording of pedigree and growth performance of 260 heads of 10 bucks were used to estimate heritability and genetic correlation value, that of 78 does to estimate repeatability value. Survey method were used in this research. Variables observed were body weight and body measurement (body length, body height, chest girth, hip height, ear length, and ear width). Heritability value were estimated by variance analysis of halfsib correlation method, repeatability value by variance analysis of intraclass correlation method, genetic correlation by covariance analysis of halfsib correlation. Heritability and ripitability value were medium, genetic correlation value were positive and medium grade. Heritability and ripitability for yearling weight 0,18±0,01 and 0,19±0,04, respectively. Buck number II (absolute BV 29.91 kg), male goat number II.21 (absolute BV 29.35 kg), female goat number II.16 (absolute BV 26.15 kg), doe number 21 (MPPA 29,14 kg). Its conclusion that mass selection were effetive to improve growth performance, bucks and does possessing high production ability transmitted their genetic to their offspring.
Key words: Heritability, Repeatability, Breeding Value, Most Probable Producing Ability
PENDAHULUAN
Kambing Rambon merupakan hasil
persilangan antara kambing Peranakan
Etawah (PE) jantan dengan Kacang betina
sehingga kandungan genetik kambing
Kacang dalam kambing Rambon lebih tinggi
daripada kambing PE (Djajanegara dan
Misniwaty, 2005). Kambing Rambon dikenal
juga dengan nama kambing Jawarandu
atau Bligon. Penampilan kambing Bligon
lebih mirip dengan kambing Kacang
(Hardjosubroto, 1994; Devendra dan Burns;
1994; Batubara et al. 2009).
Kambing Rambon banyak dipelihara
masyarakat Kecamatan Metro Selatan, Kota
Metro, Provinsi Lampung. Keunggulannya
Jurnal AgriSains Vol. 3 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
2
terletak pada pertumbuhannya yang cepat
dan tingkat kesuburannya tinggi. Kedua
sifat tersebut diwariskan oleh kambing
Kacang. Postur tubuhnya yang lebih tinggi
daripada kambing Kacang merupakan hasil
pewarisan dari tubuh kambing PE.
Kambing Rambon sangat diminati
pedagang daging karena harga kambing
per berat hidup murah namun harga
dagingnya sama dengan bangsa kambing
lainnya.
Penjualan dan pemotongan kambing
Rambon yang tinggi di Kota Metro
dikhawatirkan dapat menurunkan populasi
dan produksi daging kambing karena tidak
adanya program pemuliabiakan pada
kambing Rambon. Program pemuliabiakan
ternak kambing dapat dilakukan melalui
seleksi atau pengaturan perkawinan.
Seleksi merupakan program pemuliabiakan
yang efektif apabila parameter genetik
(heritabilitas, ripitabilitas, dan korelasi
genetik) suatu sifat berkisar antara sedang
sampai tinggi. Sifat yang ekonomis pada
kambing Rambon adalah performans
pertumbuhan.
Seleksi ternak jantan dewasa, individu
jantan dan betina muda dapat dilakukan
berdasarkan Nilai Pemuliaan (NP). Seleksi
induk dilakukan berdasarkan nilai Most
Probable Producing Ability (MPPA). Nilai
Pemuliaan adalah penilaian terhadap mutu
genetik ternak untuk sifat tertentu yang
diberikan secara relatif atas dasar
kedudukannya di dalam populasi
(Hardjosubroto, 1994). Nilai MPPA adalah
penduga secara maksimum kemampuan
berproduksinya seekor hewan betina
berdasarkan catatan performans yang
sudah ada (Hardjosubroto, 1994). Kedua
nilai tersebut merupakan digunakan untuk
evaluasi kemampuan berproduksi ternak.
Ternak jantan dan betina dewasa dengan
kemampuan berproduksi tinggi diharapkan
memiliki kemampuan untuk mewariskan
keunggulannya pada keturunannya.
MATERI DAN METODA
MATERI Penelitian dilakukan pada bulan
Januari sampai Mei 2012 di Kecamatan
Metro Selatan, Kota Metro, Provinsi
Lampung. Materi penelitian berupa
recording kambing Rambon milik kelompok
tani Lestari di Kecamatan Metro Selatan
yang meliputi silsilah, tanggal lahir, umur
induk saat melahirkan, tipe kelahiran ternak,
jenis kelamin individu, berat lahir, berat
sapih, dan berat setahunan kambing.
Catatan pertumbuhan 260 ekor anak dari
10 ekor pejantan digunakan untuk estimasi
heritabilitas dan korelasi genetik antar sifat,
masing-masing dengan analisis
keragaman dan peragam metode korelasi
saudara tiri sebapak. Catatan pertumbuhan
dari 78 ekor induk yang sudah mengalami 3
sampai 6 kelahiran digunakan untuk
estimasi ripitabilitas dengan metode korelasi
dalam kelas. Kambing-kambing yang
datanya digunakan untuk estimasi adalah
kambing yang lahir dari tahun 2007 sampai
2010.
Jurnal AgriSains Vol. 3 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
3
Peubah yang diamati meliputi berat
lahir (BL) dan ukuran-ukuran tubuh saat
lahir (UTL), berat sapih (BS) dan ukuran-
ukuran tubuh saat sapih (UTS), berat
setahunan (BSt) dan ukuran-ukuran tubuh
saat umur setahun (UTSt). Ukuran-ukuran
tubuh yang diamati meliputi tinggi badan
(TB), panjang badan (PB), lingkar dada
(LD), tinggi pinggul (TP), panjang telinga
(PT), dan lebar lebar telinga (LT).
Koreksi Data Performans Pertumbuhan
Data-data berat badan dan
ukuran-ukuran tubuh dilakukan
penyesuaian terhadap beberapa faktor
untuk memperoleh berat badan dan ukuran-
ukuran tubuh terkoreksi dengan
menggunakan rumus-rumus sesuai
rekomendasi Hardjosubroto (1994).
Penyesuaian dilakukan terhadap jenis
kelamin jantan melalui faktor koreksi jenis
kelamin (FKJK), terhadap tipe kelahiran
tunggal melalui faktor koreksi tipe kelahiran
tunggal (FKTL), dan umur induk 5 tahun (60
bulan) dengan melakui faktor koreksi umur
induk (FKUI).
Nilai FKJK (Tabel 1) diperoleh dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
betina
jantan
XX
=FKJK
Keterangan: jantanX =Rata-rata BL/BS/BSt/UT
kambing jantan, betinaX = Rata-rata
BL/BS/BSt/UT kambing betina.
Nilai FKTL diperoleh dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
FKTL=TK
TT
XX
Keterangan: TTX = Rata-rata BL/BS/BSt/UT
tipe kelahiran tunggal, TKX = Rata-rata
BL/BS/BSt/UT tipe kelahiran kembar dua.
Nilai FKUI (Tabel 2) diperoleh dengan
rumus sebagai berikut:
P(n)
P(60)
XX
=FKUI
PS(60)X = Rata-rata BS/UTS yang
induknya berumur 60 bulan pada saat
melahirkan.
PS(n)X = Rata-rata BS/UTS cempe saat
sapih yang induknya berumur n bulan
(n=12, 18, 24, 30, 36, 42, 48, 54, 72 bulan)
Nilai FKUI terdapat padaTabel 3 .
Data berat lahir terkoreksi (BLT)
dan ukuran-ukuran tubuh saat lahir
terkoreksi (UTLT) dihitung dengan rumus
sebagai berikut:
a. BLT=(BL)(FKJK)(FKTL)
Keterangan: BLT=berat lahir terkoreksi,
BL=berat lahir, FKJK=faktor koreksi
jenis kelamin, FKTL=faktor koreksi tipe
kelahiran
b. UTLT=(UTL)(FKJK)(FKTL)
Keterangan:UTLT=ukuran-ukuran tubuh
saat lahir terkoreksi, UTL= ukuran tubuh
saat lahir.
Jurnal AgriSains Vol. 3 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
4
Data berat sapih terkoreksi (BST)
dan ukuran-ukuran tubuh saat sapih (UTST)
terkoreksi dihitung dengan rumus-rumus
sebagai berikut:
a.
)L)(FKUI(FKJK)(FKTx120USBL-BS
+(BL=BST
Keterangan : BST=berat sapih terkoreksi,
BS=berat sapih, FKJK=faktor koreksi jenis
kelamin, FKTL=faktor koreksi tipe kelahiran
FKUI=faktor koreksi umur induk
b.
L)(FKUI)(FKJK)(FKTx120USUTL-UTS+(UTL=TSTU
Keterangan: UTST=ukuran tubuh saat sapih
terkoreksi, UTS=ukuran tubuh saat sapih
Data berat setahunan terkoreksi
(BStT) dan ukuran-ukuran tubuh saat umur
setahun terkoreksi (UTStT) dihitung
dengan rumus-rumus sebagai berikut:
a. (FKJK)x245TWBS-BSt+(BS=BStT
Keterangan : BStT=berat setahunan
terkoreksi, BSt=berat setahunan,
FKJK=faktor koreksi jenis kelamin,
TW=tenggang waktu antara umur
penimbangan BSt dengan BS
b.
(FKJK)x245TWUTS-UTSt+(UTS=UTStT
Keterangan: UTStT=ukuran tubuh saat
umur setahun terkoreksi, UTSt=ukuran
tubuh saat umur setahun
Tabel 1. Faktor koreksi jenis kelamin untuk berat badan dan
ukuran-ukuran tubuh pada saat lahir, sapih, dan setahunan
No. Sifat Performans pertumbuhan
Lahir Sapih Setahunan
Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina
1 Berat badan 1,00 1,02 1,00 1,04 1,00 1,06
2 Panjang badan 1,00 1,03 1,00 1,06 1,00 1,09
3 Tinggi badan 1,00 1,03 1,00 1,06 1,00 1,09
4 Lingkar dada 1,00 1,03 1,00 1,05 1,00 1,08
5 Tinggi pinggul 1,00 1,02 1,00 1,05 1,00 1,08
6 Panjang telinga 1,00 1,05 1,00 1,02 1,00 1,02
7 Lebar telinga 1,00 1,02 1,00 1,02 1,00 1,03
Jurnal AgriSains Vol. 3 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
5
Tabel 2. Faktor koreksi tipe kelahiran untuk berat badan dan
ukuran-ukuran tubuh pada saat lahir dan sapih
No. Sifat Performans pertumbuhan
Lahir Sapih
Tunggal Kembar dua Tunggal Kembar dua
1 Berat badan 1,00 1,10 1,00 1,14
2 Panjang badan 1,00 1,14 1,00 1,16
3 Tinggi badan 1,00 1,13 1,00 1,15
4 Lingkar dada 1,00 1,14 1,00 1,17
5 Tinggi pinggul 1,00 1,12 1,00 1,15
6 Panjang telinga 1,00 1,02 1,00 1,04
7 Lebar telinga 1,00 1,03 1,00 1,04
Estimasi heritabilitas
Data performans terkoreksi
dikelompokkan berdasarkan kelompok tetua
jantan untuk melakukan estimasi
heritabilitas dengan analisis keragaman
metode korelasi saudara tiri sebapak sesuai
rekomendasi Becker (1992). Data yang
diperoleh dianalisis dengan model statistik:
ikiik e+α+μ=Y (Yik=mean, iα =pengaruh
pejantan ke-i, ike =simpangan genetik dan
lingkungan yang memengaruhi individu
dalam kelompok pejantan). Seluruh
pengaruh bersifat acak, normal, dengan
harapan nol.
Estimasi heritabilitas dihitung dengan
rumus:
2w
2s
2s2
s σ+σ4σ
=h
Salah baku (standard error) estimasi
heritabilitas dihitung dengan rumus:
1)-1)(S-k(k1)t)-(k+(1t)-2(1
4=)S.E(h22
2S
t=korelasi dalam kelas (intraclass
correlation)
2w
2s
2s
σ+σσ
=t
Estimasi ripitabilitas Data dikelompokkan per paritas per
induk untuk menghitung estimasi ripitabilitas
dengan metode intraclass correlation sesuai
rekomendasi Becker (1992). Data yang
diperoleh dianalisis dengan model
matematik: kmkkm θ+α+μ=Y (Ykm=Hasil
pengamatan ke-m pada individu ke-k,
µ=rata-rata performans populasi,
αk=pengaruh individu ke-k, ekm=pengaruh
lingkungan tidak terkontrol). Estimasi
ripitabilitas (R) dihitung dengan rumus:
2E
2W
2W
σ+σσ
=R
Jurnal AgriSains Vol. 3 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
6
Standard error (S.E.) atau salah baku
estimasi ripitabilitas dihitung dengan
rumus:
S.E. (R) = 1)-1)(N-k(k1)R)-(k+(1R)-2(1 22
Estimasi korelasi genetik Data dua sifat masing-masing
dikelompokkan per tetua jantan untuk
menghitung estimasi korelasi genetik.
dengan analisis keragaman metode korelasi
saudara tiri sebapak sesuai rekomendasi
Becker (1992).
stimasi korelasi genetik (rG) dihitung
dengan rumus:
))(4σ(4σ
4cov=r
2S(Y)
2S(X)
SG
Rumus standard error (S.E.) atau salah
baku korelasi genetik (rG):
)var(r=)S.E.(r GG Estimasi kemampuan berproduksi
Kemampuan berproduksi yang
diestimasi antara lain nilai pemuliaan (NP)
absolut pejantan berdasarkan berat
setahunan anak dengan rumus sebagai
berikut:
P+))P-P(1)h-(n+1
nh(=NP 2
2
Keterangan:
NP= Nilai Pemuliaan, n =jumlah anak per
pejantan, h2=heritabilitas berat setahunan,
P =rata-rata berat badan anak per pejantan,
P =rata-rata berat badan populasi
Nilai Pemuliaan absolut (NP) anak
jantan dan betina pada umur tertentu
dihitung dengan rumus sesuai
rekomendasi Hardjosubroto (1994) sebagai
berikut:
P+))P-(P(h=NP 2
Keterangan : NP = Nilai Pemuliaan, h2 =
heritabilitas berat badan, P=berat badan
individu, P =rata-rata berat badan populasi.
Kemampuan berproduksi induk
diestimasi dengan nilai MPPA (Most
Probable Producing Ability) absolut
berdasarkan berat setahunan anak dihitung
dengan rumus sesuai rekomendasi
Hardjosubroto (1994) sebagai berikut:
P+))P-P((=MPPA 1)r-(n+1nr
Keterangan: n =jumlah pengukuran per
induk, r=ripitabilitas berat badan, P =rata-
rata berat setahunan anak per induk,
P =rata-rata berat setahunan populasi
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Estimasi Heritabilitas Berat Badan dan Ukuran-Ukuran Tubuh
Estimasi heritabilitas dan ripitabilitas
berat lahir dan ukuran-ukuran tubuh pada
saat lahir paling rendah, namun meningkat
pada performans saat sapih, dan semakin
meningkat lagi pada performans umur
setahun (Tabel 4). Estimasi parameter
genetik termasuk kelas sedang apabila
nilainya 0,10 sampai dengan 0,30 (Warwick
et al., 1990).
Jurnal AgriSains Vol. 3 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
7
Tabel 4. Performans pertumbuhan kambing Rambon dan nilai heritabilitas dan ripitabilitas
masing-masing sifat
Performans
pertumbuhan
Rata-rata Parameter genetik No
.
Heritabilitas Ripitabilitas
1 Lahir
a. Berat lahir 2,36±0,98 kg 0,14±0,07 0,19±0,03
b. Tinggi badan 20.12±2,03 cm 0,13±0,03 0,15±0,02
c. Panjang badan 20.22±2,88 cm 0,16±0,01 0,19±0,08
d. Lingkar dada 23,23±2,01 cm 0,15±0,06 0,12±0,01
e. Tinggi pinggul 22.01±2,02 cm 0,15±0,02 0,13±0,01
f. Panjang telinga 8,12±1,61 cm 0,10±0,03 0,12±0,01
g. Lebar telinga 4,70±0,145 cm 0,11±0,05 0,10±0,03
Jumlah ternak 286 ekor
2 Sapih
a. Berat sapih 10,56±1,78 kg 0,22±0,08 0,25±0,09
b. Tinggi badan 34,79±3,02 cm 0,23±0,00 0,24±0,06
c. Panjang badan 37,99±3,02 cm 0,21±0,07 0,25±0,09
d. Lingkar dada 36,11±3,77 cm 0,22±0,02 0,25±0,08
e. Tinggi pinggul 38,22±3,77 cm 0,23±0,14 0,26±0,09
f. Panjang telinga 12,16±1,90 cm 0,11±0,00 0,16±0,02
g. Lebar telinga 7,88±0,11 cm 0,12±0,02 0,15±0,04
Jumlah ternak 286 ekor
3 Setahun
a. Berat setahunan 27,88±2,33 kg 0,23±0,07 0,30±0,08
b. Tinggi badan 53,35±2,01 cm 0,24±0,08 0,27±0,09
c. Panjang badan 52,99±3,01 cm 0,21±0,05 0,30±0,05
d. Lingkar dada 56,62±3,34 cm 0,22±0,02 0,24±0,05
e. Tinggi pinggul 49,34±4,46 cm 0,23±0,05 0,28±0,08
f. Panjang telinga 16,32±2,02 cm 0,11±0,02 0,14±0,05
g. Lebar telinga 8,34±2,00 cm 0,12±0,03 0,15±0,04
Jumlah ternak 286 ekor
Heritabilitas pada performans
pertumbuhan seluruhnya termasuk kelas
sedang sehingga sifat-sifat tersebut efektif
untuk ditingkatkan melalui seleksi. Seleksi
pada performans pertumbuhan saat lahir
mengakibatkan dystocia sehingga tidak
Jurnal AgriSains Vol. 3 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
8
dianjurkan (Hamed et al., 2009; Warwick et
al., 1990). Heritabilitas performans
pertumbuhan paling rendah dibandingkan
pada saat sapih dan umur setahun karena
sifat tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor
maternal yang diberikan induk pada saat
fetus berada dalam kandungan induk
(Mandal et al., 2006; Yang et al., 2009).
Beberapa peneliti melaporkan
bahwa estimasi berat lahir 0,19 pada
kambing Boer (Zhang et al., 2008), 0,17
pada kambing Boer (Zhang et al., 2009),
0,80 pada kambing Boerawa (Beyleto et al.,
2010), 0,30 pada kambing Kacang, 0,27
pada kambing Boer (Elieser, 2012), panjang
badan, tinggi badan, dan lingkar dada pada
saat lahir pada kambing Boer masing-
masing 0, 14, 0,24 dan 0,25 (Zhang et al.,
2008)
Estimasi heritabilitas berat sapih
pada beberapa bangsa kambing juga
dilaporkan termasuk kelas sedang bahkan
tinggi. Heritabilitas performans
pertumbuhan yang bernilai sedang
menunjukkan bahwa korelasi antara penotip
dengan genetik berderajat sedang sehingga
performans pertumbuhan cukup akurat
untuk menduga mutu genetik ternak
(Warwick et al., 1990; Al-Shorepy, 2001).
Beberapa peneliti melaporkan
bahwa estimasi heritabilitas berat sapih
kambing Kacang dengan metode hubungan
saudara tiri sebapak 0,36 (Elieser, 2012),
pada kambing Boerawa dengan metode
hubungan saudara tiri sebapak 0,30, dan
dengan metode pola tersarang 0,63
(Beyleto et al., 2010), pada kambing
Boerawa G1 0,25 yang diestimasi dengan
metode hubungan saudara tiri sebapak (
Dakhlan and Sulastri, 2006) dan 0,19 yang
diestimasi dengan metode regresi induk-
anak (Sulastri dan Qisthon, 2007), 0,22
pada kambing Boer (Zhang et al., 2009).
Berat sapih merupakan indikator
potensi pertumbuhan individu yang baik,
produksi susu induk yang baik, dan sifat
keindukan yang baik (Hamed et al. , 2009).
Seleksi pada sifat pertumbuhan saat sapih
juga mernghasilkan peningkatan fertilitas,
kesuburan, ketahanan hidup cempe dari
lahir sampai sapih, dan ketahanan hidup
induk dari masa perkawinan sampai
menyapih anaknya (Zhang et al., 2009).
Keragaman maternal yang
merupakan bagian dari keragaman
lingkungan berpengaruh terhadap
performans pertumbuhan saat sapih
sehingga berat sapih bukan merupakan
kriteria seleksi yang tepat. Performans
pertumbuhan umur 24 minggu (6 bulan)
merupakan kriteria seleksi yang lebih tepat
daripada berat sapih karena performans
pertumbuhan pada umur 24 minggu sudah
tidak dipengaruhi oleh faktor maternal (Das
et al., 2005).
Estimasi heritabilitas panjang dan
lebar telinga saat lahir, sapih, dan umur
setahun termasuk kelas sedang tetapi lebih
rendah daripada heritabilitas berat badan
dan ukuran-ukuran tubuh lainnya. Hal
tersebut menunjukkan bahwa seleksi tidak
efektif dilakukan terhadap ukuran telinga.
Jurnal AgriSains Vol. 3 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
9
Panjang dan lebar telinga bukan
merupakan sifat ekonomis tetapi menjadi
salah satu ciri yang menandai karakteristik
suatu bangsa atau rumpun.
Estimasi heritabilitas berat badan
dan ukuran-ukuran tubuh saat umur
setahun lebih tinggi daripada saat sapih dan
lahir. Semakin meningkatnya umur kambing
terjadi penurunan hubungan antara induk
dengan cempe sehingga performans
pertumbuhan yang terukur merupakan hasil
ekspresi genetik aditif individu itu sendiri
(Das et al, 2005; Mohammadi et al., 2012).
Estimasi Ripitabilitas Berat Badan dan Ukuran-Ukuran Tubuh
Estimasi ripitabilitas performans
pertumbuhan kambing Rambon termasuk
kelas sedang dan menunjukkan
peningkatan seiring dengan meningkatnya
umur kambing (Tabel 4). Hal tersebut
disebabkan oleh semakin rendahnya
keragaman lingkungan temporer yang
berpengaruh terhadap keragaman penotipik
seiring dengan meningkatnya umur
kambing. Keragaman lingkungan temporer
terbesar terdapat pada performans
pertumbuhan saat lahir karena cempe yang
masih dalam tahapan fetus sangat
dipengaruhi oleh keragaman lingkungan
temporer yang berasal dari induk.
Keragaman lingkungan maternal
memperbesar keragaman lingkungan
temporer karena induk juga dipengaruhi
oleh keragaman lingkungan temporer yang
antara lain berasal dari pakan dan kondisi
lingkungan yang secara langsung
berpengaruh terhadap penotip
induk.Tingginya keragaman lingkungan
temporer tersebut menutup keragaman
genetik total dan lingkungan permanen.
Estimasi ripitabilitas pada
performans pertumbuhan saat sapih
semakin meningkat karena cempe-cempe
sudah mulai belajar makan sendiri dan
sudah tidak sepenuhnya tergantung pada
induk seperti pada saat masih dalam
kandungan induk. Hal tersebut menurunkan
keragaman lingkungan temporer sehingga
semakin meningkatkan pengaruh
keragaman genetik total dan lingkungan
permanen.
Estimasi ripitabilitas tertinggi dicapai
pada saat umur setahun karena keragaman
lingkungan temporer yang berpengaruh
hanya berasal dari lingkungan eksternal
dan sudah tidak dipengaruhi oleh
keragaman lingkungan yang berasal dari
induk. Rendahnya keragaman lingkungan
temporer semakin meningkatkan
keragaman genetik total dan keragaman
lingkungan permanen yang berakibat pada
meningkatnya nilai ripitabilitas. Keragaman
genetik total tersebut meliputi keragaman
genetik aditif, dominan, dan epistasis yang
diwariskan dari induk dan tetrua jantan
dengan proporsi masing-masing separuh
bagian.
Peneliti lain melaporkan bahwa
estimasi ripitabilitas berat lahir pada
populasi kambing Black Bengal 0,47
(Faruque et al., 2010), kambing Boer 0,20
Jurnal AgriSains Vol. 3 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
10
(Das et al., 2005), pada kambing PE 0,41
yang diestimasi dengan metode korelasi
dalam kelas dan 0,49 yang diestimasi
dengan metode korelasi antar kelas
(Sulastri et al., 2002), kambing Kacang 0,44
dengan metode korelasi dan 0,45 dengan
metode regresi (Elieser, 2012), 0,80 apabila
diestimasi dengan metode korelasi dalam
kelas dan 0,42 apabila diestimasi dengan
metode korelasi antar kelas (Beyleto et al.,
2010). Estimasi ripitabilitas berat sapih
kambing Boer 0,18 (Das et al., 2005),
kambing Boerawa G1, 0,45 yang diestimasi
dengan metode korelasi dalam kelas dan
0,13 yang diestimasi dengan metode
korelasi antar kelas (Sulastri dan Qishon .,
2009), kambing Kacang 0,30 dengan
metode korelasi dan 0,40 dengan metode
regresi (Elieser,2012). Estimasi ripitabilitas
berat setahunan kambing Boerawa yang
diestimasi dengan metode korelasi dalam
kelas maupun antar kelas sama-sama 0,30
(Beyleto et al., 2010), 0,28 (Oktora et al.,
2006).
Nilai Pemuliaan Absolut Pejantan Berdasarkan Berat Setahunan Anak
Pejantan Rambon terbaik adalah
nomor II (NP absolut 29,91 kg) seperti
terdapat pada Tabel 5. Pejantan dengan NP
absolut tertinggi tersebut mewariskan
separuh nilai pemuliaannya kepada anak-
anaknya dan separuh bagian lainnya.
Tabel 5 Sepuluh ekor individu dengan Nilai Pemuliaan absolut berat setahunan terbaik dan
MPPA berat setahunan terbaik
Ranking No.
pejantan
NP
(kg)
No.
individu
jantan
NP
(kg)
No.
individu
betina
NP
(kg)
No.
induk
MPPA
(kg)
1 II 29,91 II.21 29,35 II.16 26,15 21 29,14
2 III 29,85 II.17 29,33 I.23 26,03 47 28,68
3 X 29,80 V.21 29,35 II.8 25,98 50 28,57
4 V 29,67 X.9 28,37 V.4 25,97 61 28,42
5 VI 29,59 III.21 28,35 VI.3 25,95 40 28,39
6 VIII 29,54 V.5 27,94 II.22 25,94 78 28,30
7 IX 29,08 VII.14 27,93 IV.1 25,93 51 28,26
8 VII 29,03 VII.1 27,92 VI.19 25,93 66 28,22
9 IV 28,95 II.12 27,91 II.9 25,92 5 28,17
10 I 28,76 II.2 27,90 VI.4 25,91 25 28,16
Jurnal AgriSains Vol. 3 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
11
Anak-anak jantan dan betina yang
dihasilkannya juga menunjukkan NP
absolut berat setahunan tertinggi baik pada
anak jantan maupun anak betina. Anak
jantan dan betina dari pejantan nomor II
merupakan individu-individu dengan
dengan NP yang tinggi anak nomor II.21,
II.17, II.12, II.2 pada jantan dan II.16, II.8,
II.22, II,29 pada betina.
Nilai Most Probable Producing Ability Induk
Induk-induk yang memiliki nilai MPPA
berat setahunan absolut tinggi mampu
melahirkan cempe dengan berat setahunan
yang lebih tinggi daripada berat setahunan
cempe yang dilahirkan induk-induk lain.
Keturunan dari induk dengan nilai
MPPA berat setahunan absolut yang tinggi
dapat dipilih sebagai calon tetua karena
anak-anak dari induk tersebut mewarisi
berat setahunan yang tinggi dan
kemungkinan memiliki kemampuan yang
tinggi pula dalam mengulang prestasinya
untuk menghasilkan berat setahunan anak
yang tinggi pada setiap paritas.
Nilai MPPA dapat dihitung secara
relatif sehingga diperoleh nilai MPPA positif
dan negatif. Nilai MPPA berat sapih relatif
tertinggi pada kambing Kacang
betina yang menghasilkan anak kambing
Boerka-1 sebesar +1,75 kg, pada kambing
Kacang betina yang melahirkan cempe
Kacang sebesar +1,26 kg,
kambing Boerka betina yang melahirkan
cempe BC (backcross) Boer sebesar +0,78
kg (Elieser, 2012).
Estimasi Korelasi Genetik Berat Badan
dan Ukuran-ukuran Tubuh
Korelasi genetik antara BL dengan
UTL, BS dengan UTS, dan BSt dengan
UTSt menunjukkan arah positip dan
berderajat tinggi sehingga menunjukkan
hubungan yang erat antar peubah (Tabel
6). Hal tersebut disebabkan oleh karena
antar sifat-sifat pada umur yang sama
dikontrol oleh gen-gen yang sama pada
waktu yang bersamaan sehingga
memperkecil peragam lingkungan dan
sebaliknya meningkatkan peragam genetik
aditif. Estimasi korelasi genetik aditif dan
penotipik pada performans pertumbuhan
bernilai positif dan tinggi sehingga
menunjukkan tidak adanya antagonisme
antara sifat-sifat pertumbuhan pada saat
lahir (Zhang et al., 2008).
Berdasarkan arah dan derajat
korelasi genetik tersebut, maka
peningkatan BS maupun BSt dapat
ditempuh melalui seleksi terhadap ukuran-
ukuran tubuh pada tahap umur yang sama.
Performans pertumbuhan saat lahir dengan
saat sapih lebih erat daripada dengan
performans pertumbuhan saat umur
setahun. Hal tersebut disebabkan saat lahir
dengan saat sapih memiliki kesamaan
pengaruh keragaman maternal walaupun
dengan kapasitas yang berbeda.
Keragaman non genetik yang berasal dari
Jurnal AgriSains Vol. 3 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
12
maternal berpengaruh lebih besar terhadap
performans saat lahir daripada saat sapih.
Kesamaan tersebut menghasilkan peragam
lingkungan yang lebih kecil sehingga
menghasilkan peragam genetik aditif yang
lebih besar.
Tabel 6. Korelasi genetik antar performans pertumbuhan
Sifat 1 Sifat 2 BL BS BSt
Lahir (L) TBL 0.22±0.0
9 PBL 0.21±0.0
8 LDL 0.20±0.0
8 TPL 0.22±0.0
9 PjTlL 0.19±0.0
8 LbTlL 0.17±0.0
7
Sapih (S) BS 0,18±0,0
5 TBS 0,17±0,0
6 0,25±0,09 PBS 0,16±0,0
5 0,24±0,07 LDS 0,16±0,0
7 0,26±0,06 TPS 0,17±0,0
7 0,26±0,10 PjTlS 0,09±0,0
2 0,18±0,10 LbTlS 0,08±0,0
3 0,17±0,08 Setahun (St) BSt 0,09±0,0
2 0,22±0,05
TBSt 0.10±0.04 0,21±0,05 0,23±0,07
PBSt 0.10±0.01 0,20±0,10 0,25±0,02
LDSt 0.09±0.03 0,20±0,08 0,23±0,03
TPSt 0.08±0.00 0,21±0,09 0,21±0,12
PjTlSt 0.07±0.02 0,06±0,03 0,20±0,00
LbTlSt 0.06±0.01 0,05±0,02 0,20±0,00
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
13
Performans pertumbuhan saat umur
setahun sudah tidak dipengaruhi oleh
keragaman non genetik yang berasal dari
induk sehingga memperbesar peragam non
genetik antara performans pertumbuhan
saat lahir dengan saat umur setahun.
Peragam non genetik atau peragam
lingkungan yang lebih besar mengakibatkan
rendahnya peragam genetik aditif antara
performans pertumbuhan saat lahir dengan
saat umur setahun.
Estimasi korelasi genetik yang
bernilai positip dan berderajat sedang
antara sifat lahir dengan sapih maupun
dengan setahunan menunjukkan bahwa
seleksi pada performans pertumbuhan saat
lahir akan menghasilkan peningkatan pada
performans pertumbuhan saat sapih dan
setahun. Seleksi terhadap performans
pertumbuhan saat lahir tidak dianjurkan
untuk menghindari kejadian dystocia
walaupun menghasilkan respons seleksi
berkorelasi pada performans pertumbuhan
saat sapih maupun setahunan.
Korelasi genetik antara berat lahir
dengan panjang badan saat lahir 0,83,
berat lahir dengan tinggi badan saat lahir
0,88 , dan antara berat lahir dengan lingkar
dada saat lahir 0,94 pada kambing Boer
(Zhang et al., 2008), antara berat badan
umur 3 bulan dan 6 bulan pada kambing
Kacang 0,47 dan pada kambing Boer 0,64,
antara berat badan umur 3 bulan dengan 12
bulan pada kambing Kacang 0,14 dan pada
Boer 0,23, antara nerat badan umur 6 bulan
dengan 12 bulan pada kambing Kacang
0,24 dan pada Boer 0,70 (Elieser, 2012).
Korelasi genetik antara berat lahir dengan
berat sapih pada kambing Boerawa yang
diestimasi dengan metode pola tersarang
0,57, dengan metode korelasi saudara tiri
sebapak 0,50, antara berat sapih dengan
berat setahunan yang diestimasi dengan
pola tersarang 0,60 dan dengan metode
hubungan saudara tiri sebapak 0,44, antara
berat lahir dengan berat setahunan yang
diestimasi dengan pola tersarang 0,14 dan
dengan metode hubungan saudara tiri
sebapak 0,21 (Beyleto et al., 2010).,
Estimasi korelasi genetik antara
berat sapih dengan berat setahunan pada
kambing Boerawa yang diestimasi dengan
metode pola tersarang 0,60 dan dengan
metode korelasi saudara tiri sebapak 0,44,
antara berat lahir dengan berat setahunan
yang yang diestimasi dengan metode pola
tersarang 0,14 dan dengan metode korelasi
saudara tiri sebapak 0,21 (Beyleto et al.,
2010).
KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan
disimpulkan bahwa seleksi individu
merupakan tindakan yang efektif untuk
meningkatkan performans pertumbuhan
pada kambing Rambon. Selain itu, pejantan
dan induk dengan kemampuan berproduksi
tinggi mewariskan keunggulannya pada
anak-anaknya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Shorepy, S. A. 2001. Estimates of
genetic parameters for direct and
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
14
maternal effects on birth weight of
local sheep in United Arab Emirates,
Small Rumin. Res. 39 (2001), pp.
219–224.
Batubara, A. M. Doloksaribu, dan B.
Tiesnamurti. 2009. Potensi
keragaman sumberdaya genetik
kambing lokal Indonesia. Lokakarya
Nasional Pengelolaan dan
Perlindungan Sumber Daya Genetik
di Indonesia: Manfaat Ekonomi
untuk Mewujudkan Ketahanan
Nasional.
Becker, W. A. 1992. Manual of Quantitative
Genetics. Fifth Edition. Academic
Enterprises. Pullman. USA.
Beyleto, V. Y., Sumadi, dan T. Hartatik.
2010. Estimasi parameter genetik
sifat pertumbuhan kambing
Boerawa di Kabupaten
Tanggamus,Provinsi Lampung.
Buletin Peternakan Vol. 34(3):138-
144. Oktober 2010.
Das, S. M., J.E.O Rege, and M. Shibre. 2005. Phenotypic and genetic parameters of growth traits of
Blended goats at Malya, Tanzania, http://www.ilri.cgiar.org/InfoServ/ Webpub/fulldocs/
AnGenResCD/docs/X5473B/X5473
B0J.HTM ( Diakses 10 Januari 2012).
Devendra, C. dan M, Burns. 1994. Produksi
Kambing di Daerah Tropis. Penerbit
ITB.Bandung.
Djajanegara, A. dan A. Misniwaty. 2005.
Pengembangan usaha kambing
dalam konteks sosial-budaya
masyarakat. Lokakarya Nasional
Kambing Potong. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan.
Bogor. Indonesia.
Elieser, S. 2012. Performan Hasil
Persilangan antara Kambing Boer
dan Kacang sebagai Dasar
Pembentukan Kambing Komposit.
Disertasi. Program Pascasarjana.
Fakultas Peternakan. Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.
Falconer, R. D. and T. F. C. Mackay. 1996.
Introduction to Quantitative
Genetics. Longman, Malaysia.
Faruque, S., S. A. Chowdhury, N. U.
Siddiquee, and M. A. Afroz. 2010.
Performance and genetic
parameters of economically
important traits of Black Bengal goat.
.J. Bangladesh Agril. Univ. 8(1): 67–
78, 2010 ISSN 1810-3030
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi
Pemuliabiakan Ternak di Lapangan.
PT Grasindo. Jakarta
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
15
Haque, N., S. S. Husain, M.A.M.Y.
Khandoker and A.S. Apu. 2012.
Selection of Black Bengal breeding
bucks based on progeny growth
performance at nucleus breeding
flocks. Irials. September 2012.
Volume 1, Issue 4.
Hamed, A., M. M. Mabrouk, I. Shaat, and S.
Bata. 2009. Estimation of genetic
parameters and some nongenetic
factors for litter size at birth and
weaning and milk yield traits in
Zaraibi goats. Egyptian Journal of
Sheep & Goat Sciences, Vol. 4 (2),
2009, 55-64.
Mandal, A., F.W.C. Neser, P.K. Rout, R.
Roy and D.R. Notter. 2006.
Estimation of direct and maternal
(co)variance components for pre-
weaning growth traits in
Muzaffarnagari sheep, Livest. Sci. 99
(2006), pp. 79–89.
Mohammadi, H., M. M. Shahrebabak, and
H. M. Shahrebabak. 2012. Genetic
parameter estimates for growth traits
and prolificacy in Raeini Cashmere
goats. Trop Anim Health Prod (2012)
44:1213–1220 DOI 10.1007/s11250-
011-0059-z
Mugambi, J. N., J.W. Wakhungu, B.O.
Inyangala, W.B. Muhuyi and T.
Muasya. 2007. Evaluation of the
performance of the Kenya Dual
Purpose Goat composites: additive
and non-additive genetic
parameters, Small Rumin. Res. 72
(2007), pp. 149–156.
Oktora, R. 2006. Estimasi parameter
genetik sifat-sifat pertumbuhan
kambing Boerawa di Desa
Campang, Kecamatan Gisting,
Kabupaten Tanggmus. Skripsi.
Fakultas Pertanian Universitas
Lampung. Bandarlampung.
Sulastri, Sumadi, dan W. Hardjosubroto.
2002. Estimasi parameter genetik
sifat-sifat pertumbuhan kambing
Peranakan Etawah di Unit
Pelaksana Teknis Ternak Singosari,
Malang, Jawa Timur. Agrosains.
Volume 15 (3), September 2002.
Program Pascasarjana. Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta
Warwick, E. J., J. M. Astuti, dan W.
Hardjosubroto. 1990. Pemuliaan
Ternak. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta
Yang, C-Y., Zhang, Y. D-Q Xu, X Li, J. Sue
and L-G. Yang. 2009. Genetic and
phenotypic parameter estimates for
growth traits in Boer goat. Copyright
© 2009 Elsevier B.V. All rights
reserved
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
16
Zhang, C.Y., L.G. Yang and Z. Shen. 2008.
Variance components and genetic
parameters for weight and size at
birth in the Boer goat, Livest. Sci.
115 (2008), pp. 73–79.
Zhang, C.Y., Y. Chang, De-Qing, Xiang Li,
Jie Su, Li-Guo Yang. 2009. Genetic
and phenotypic parameter estimates
for growth traits in Boer goat. Livest.
Sc. 124, 66 – 71.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
17
POTENSI KIMPUL (Xanthosoma sagittifolium) SIAP TANAK SEBAGAI PANGAN ALTERNATIF BERKALSIUM
Chatarina Wariyah Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Agroindustri,
Universitas Mercu Buana Yogyakarta,Jl. Wates Km 10 Yogyakarta 55753 E-mail : [email protected]
ABSTACT Kimpul (Xanthosoma sagittifolium) included in tubers that potential as carbohydrate
source. The problems in using kimpul as an alternative staple food are impractical, less favored and their acrid taste. However, the calcium content ( Ca2+ ) of kimpul is low, while the phosphorus (P) is quite high, the ideal ratio of Ca2+/P in food to maintain of bone is 2/1. The purpose of this research was to produce quick-cooking of calcium-fortified kimpul with high acceptability. The research consists of 5 steps e.i. 1) processing of calcium-fortified quick cooking kimpul with variations of slice size and heating time, 2) to evaluate the physical properties (texture, color) of calcium-fortified quick cooking kimpul, 3) to determine the optimum processing conditions based on the acceptability before and after cooking, and 4) to evaluate the chemical properties (Ca2+ content, starch, moisture and ash) of calcium-fortified quick cooking kimpul with high acceptability. The results showed that the processing of kimpul into calcium-fortified quick cooking kimpul could produce high acceptability product. Specifically, the larger slice size, the harder texture of the product. The preferred kimpul texture was that sliced with size of 1.00 and 2.00 mm with heating time of 20 and 25 minutes. The colour of calcium-fortified quick cooking kimpul was not significantly differences. The acceptable calcium-fortified quick cooking kimpul was that processed with slice size of 1.00 - 2.00 mm and heating time of 20 minutes.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Saat ini ketahanan pangan nasional
masih kurang tangguh, karena masih
mengandalkan beras dan terigu sebagai
makanan pokok. Beras masih menjadi
komoditi utama penopang ketahanan
pangan nasional, karena merupakan
makanan pokok bagi mayoritas (95 persen)
penduduk Indonesia, sehingga
ketergantungan pada negara lain masih
cukup besar. Untuk mengurangi
ketergantungan pada negara lain, perlu
dilakukan diversifikasi makanan pokok dan
upaya peningkatan produksi pangan
dengan cara mengembangkan dan
memanfaatkan keanekaragaman hayati
yang ada. Kimpul (Xanthosoma
sagittifolium) adalah sejenis umbi–umbian
sumber karbohidrat yang sangat potensial.
Menurut Sefa-Dedeh et al. (2004),
kandungan karbohidrat kimpul utamanya
adalah pati yaitu sekitar 36%. Kimpul
merupakan tanaman yang mudah ditanam,
sehingga sangat layak untuk
dikembangkan. Umumnya kimpul ditanam
sebagai tanaman sela diantara tanaman
palawija lain atau di pekarangan. Umbi
kimpul biasanya diolah secara sederhana
dengan dikukus, direbus atau dengan
sedikit variasi dibuat berbagai produk
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
18
olahan antara lain getuk, keripik, perkedel
dan sebagainya (Anggarwulan et al., 2008).
Sebagai pangan sumber karbohidrat,
produksi kimpul dapat mencapai 4-5 ton/Ha
(Anonim, 2010), sehingga berpotensi untuk
dikembangkan menjadi pangan alternatif
pengganti beras, mengingat produksi beras
saat ini 62,56 ton GKG (Gabah Kering
Giling) (Anonim, 2009a), dan dengan
jumlah tersebut Indonesia masih harus
mengimpor beras sebagai cadangan
sebanyak 0,8 juta ton atau dalam bentuk
GKG sebanyak 1,3 juta ton (Anonim,
2009b). Kebutuhan beras akan semakin
bertambah dengan meningkatnya jumlah
penduduk dan berkurangnya lahan
penanaman padi.
Selain sumber karbohidrat, kimpul juga
banyak mengandung mineral seperti K, Zn,
Mg, P dan Ca. Menurut Sefa-Dedeh (2004),
kadar mineral tersebut berturut-turut
sebanyak 763-1451; 17-51,9; 46,7-85,0;
41,6-63,1 dan 4,68-24,3 g/100g. Kalsium
(Ca2+) termasuk mineral dengan jumlah
yang paling rendah, sedangkan fosfor (P)
cukup tinggi. Padahal dalam bahan pangan,
rasio ideal Ca2+/P agar dapat digunakan
untuk pemeliharaan tulang adalah 2/1
(Brody (1994). Kalsium merupakan zat gizi
mikro yang termasuk dalam kelompok
makro mineral esensial dalam tubuh.
Walaupun belum merupakan masalah gizi
utama, namun kekurangan kalsium dapat
menyebabkan timbulnya beberapa penyakit
terkait dengan fungsi kalsium seperti
osteoporosis, kekakuan otot (tetani), kram
dan gangguan pembekuan darah
(Linder,1991). Menurut Anonim (2005)
jumlah penderita osteoporosis di Indonesia
saat ini sudah mencapai 19,7%. Dengan
bertambahnya usia harapan hidup dan
jumlah wanita pramenopause, diperkirakan
jumlah tersebut akan semakin bertambah.
Di Indonesia, usia harapan hidup meningkat
dari 64,71 tahun menjadi 67,68 tahun pada
tahun 1995-2005, sehingga diperkirakan
proporsi penduduk lanjut usia mencapai
8,4% atau 18,4 juta jiwa (Anonim, 2005).
Sebagai konsekuensinya, negara kita
menghadapi masalah-masalah penyakit
yang ditimbulkan akibat lanjut usia antara
lain osteoporosis. Selain itu jumlah wanita
menjelang menopause (pada usia sekitar
50 tahun) yang riskan terhadap
osteoporosis sebanyak 11% dari populasi,
jumlah tersebut diperkirakan meningkat
menjadi 14% pada tahun 2015 (Anonim,
2006). Di Indonesia konsumsi kalsium rata-
rata baru mencapai 254 mg/ hari-orang
(Anonim, 2004). Padahal angka anjuran
kecukupan asupan kalsium sebesar 800-
1200 mg/hari-orang dewasa. Menurut hasil
Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi
(WKNPG) tahun 2004, dianjurkan asupan
kalsium sebesar 800 mg /hari-orang
(Kartono dan Soekarti, 2004). Mengingat
dampak defisiensi kalsium yang nyata,
maka perlu segera dikembangkan produk
pangan alternatif berkalsium yang dapat
menjangkau masyarakat luas, sehingga
asupan rata-rata kalsium dapat tercukupi.
Permasalahan lain terkait dengan
pemanfaatan kimpul sebagai pangan
alternatif pengganti beras adalah
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
19
penggunaan dalam bentuk umbi sangatlah
tidak praktis, kurang disukai serta adanya
acrid taste. Sebagai makanan pokok
pengganti beras, maka setidaknya bentuk
dan citarasa kimpul hendaknya setara
dengan beras. Menurut Sefa-Dedeh et al.
(2004), acrid taste (pedas, tajam) pada
kimpul terutama disebabkan karena adanya
senyawa oksalat. Senyawa tersebut dapat
dihilangkan dengan proses pengirisan
selanjutnya dikeringkan. Oleh karena perlu
dilakukan penelitian pembuatan kimpul
dalam bentuk siap tanak dengan ukuran
mirip beras agar disukai, sekaligus upaya
menghilangkan acrid taste yang tidak
dikehendaki. Tujuan penelitian ini adalah
menghasilkan kimpul siap tanak berkalsium
yang disukai. Dengan demikian apabila
penelitian ini dilakukan akan memberikan
manfaat sebagai pangan alternatif
pengganti beras dan dengan
mengkonsumsi kimpul-siap tanak
berkalsium, asupan kalsium dapat
terpenuhi, terjangkau masyarakat luas dan
bermanfaat bagi kesehatan.
METODE PENELITIAN
Bahan Umbi kimpul yang akan digunakan
untuk penelitian adalah kimpul dengan
daging berwarna putih dengan tingkat
kematangan optimum yang akan dibeli di
pasar tradisional di wilayah kota
Yogyakarta. Sebelum digunakan kimpul
dianalisis kadar air, dan pati dengan
metode Direct Acid Hydrolysis (AOAC,
1990), analisis kadar Ca2+ dengan metode
titrasi (Watson ,1996) dan amilosa dengan
metode pengikatan iod (Juliano, 1971).
Bahan kimia untuk analisis kimia semuanya
dengan kualifikasi pro analysis (p.a) dari
Merck. Garam kalsium yang digunakan
untuk fortifikasi adalah Ca-glukonat
(Brataco Chemika).
Jalannya Penelitian Penelitian bertujuan untuk
menghasilkan kimpul-siap tanak berkalsium
dengan akseptabilitas tinggi. Penelitian
terdiri dari 5 tahap yaitu: 1) pengolahan
kimpul-siap tanak berkalsium, dengan
variasi ukuran irisan umbi kimpul, lama
pemanasan, 2) mengevaluasi sifat fisik
(tekstur, warna) kimpul-siap tanak
berkalsium, 3) menentukan kondisi optimum
pengolahan berdasarkan akseptabilitas
kimpul-siap tanak berkalsium sebelum dan
setelah penanakan, 4) mengevaluasi sifat
kimia (kadar Ca2+, pati, air dan abu) kimpul-
siap tanak berkalsium dengan
akseptabilitas tinggi (hasil Tahap 2).
1. Pengolahan kimpul-siap tanak
berkalsium
Proses pembuatan kimpul-siap tanak
berkalsium (KSTB) mengacu pada
penelitian sebelumnya (Wariyah et al.,
2008b) yang dimodifikasi dengan perlakuan
pendahuluan. Tahapnya meliputi: perlakuan
pendahuluan, perendaman dalam larutan
Ca-glukonat pada suhu 80oC pada rasio
kimpul/larutan Ca2+ 1/1,5; penirisan dan
pengeringan cabinet drier pada suhu 50oC
sampai kadar air 10-11%. Perlakuan
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
20
pendahuluan yang dilakukan pada kimpul
adalah pengupasan, blansing dan
pengecilan menggunakan parutan keju dan
kelapa. Ukuran bergradasi dengan variasi
pada kecil (parutan keju), kecil, sedang,
besar (ukuran parutan kelapa).
Perendaman irisan kimpul dalam larutan
Ca-glukonat sampai mencapai kadar Ca2+
kimpul-siap tanak sekitar 100 mg/100g bk
(berdasarkan perhitungan AKG Ca2+). Lama
perendaman bervariasi (20, 25 dan 30
menit) atau sampai mencapai
pragelatinisasi yang masih akseptabel.
KSTB dari seluruh variasi perlakuan, diuji
sifat fisik (tekstur, warna) pada Tahap 2 dan
akseptabilitasnya pada Tahap 3 untuk
menentukan kondisi optimum pengolahan
kimpul-siap tanak berkalsium.
2. Pengujian sifat fisik (tekstur dan warna)
kimpul-siap tanak berkalsium
Dari penelitian Tahap 1 diperoleh
sampel kimpul-siap tanak berkalsium
dengan variasi: lama perendaman, ukuran
irisan kimpul dan konsentrasi Ca-glukonat.
Semua sampel dievaluasi sifat fisik tekstur
dan warna sebagai dasar penetapan
akseptabilitas kimpul-siap tanak yang diuji
pada Tahap 2. Tekstur dengan Hardness
Tester, warna dengan Color Reader
Lavibond Tintometer Model F. Pada uji
tekstur dilakukan pada KSTB sebelum dan
setelah tanak.
3. Penentuan kondisi optimum pengolahan
berdasarkan akseptabilitas kimpul-siap
tanak berkalsium
Kondisi optimum fortifikasi ditentukan
berdasarkan akseptabilitas kimpul-siap
tanak berkalsium dan cooking qualitynya
(sifat inderawi setelah ditanak). Pengujian
inderawi dilakukan dengan metode Hedonic
Test (Krammer dan Twigg, 1970)
berdasarkan tingkat kesukaan terhadap
bau, warna, tekstur, dan kesukaan
keseluruhan kimpul-siap tanak berkalsium.
Sedangkan cooking quality diuji pada
kimpul-siap tanak yang telah ditanak
menggunakan rice cooker atau penanak
nasi biasa. Sifat inderawi yang diuji meliputi
bau, warna, tekstur (kelunakan dan
kelengketan), rasa dan citarasa. Data yang
diperoleh secara statistik untuk
mendapatkan kimpul-siap tanak berkalsium
dengan akseptabilitas tinggi dari proses
pengolahan yang telah dilakukan.
4. Evaluasi sifat kimia kimpul-siap tanak
berkalsium
Analisis kimia terhadap kimpul-siap
tanak berkalsium dengan akseptabilitas
tinggi meliputi kadar Ca2+, air. Analisis Ca2+
menggunakan metode titrasi (Watson,
1996), amilosa (Juliano dan pati dengan
metode hidrolisis asam (AOAC, 1990).
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan
pada penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (Gacula dan Singh, 1984) dengan
faktor ukuran irisan umbi kimpul, lama
pemanasan. Selanjutnya dilakukan analisis
varian dan apabila terdapat perbedaan
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
21
yang nyata dilanjutkan dengan uji beda
nyata terkecil pada p< 5%.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bahan Dasar
Berdasarkan hasil analisis umbi
kimpul meliputi kadar pati, kadar amilosa
dan kadar kalsium didapatkan hasil seperti
yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kadar pati, amilosa dan kalsium
oksalat umbi kimpul
Bahan Kadar amilosa (%wb)
Kadar pati
(% wb)
Kadar air
(%wb)
Kadar Ca mg/
100g bahan
Umbi
kimpul
10,39 25,50 84,87 28,34
Hasil didapatkan dari 2 kali ulangan
percobaan dan 2 ulangan analisis.
Tabel 1 menunjukkan kandungan pati
yang hampir sama dengan Elevina (2000)
yaitu Xanthosoma saggitifolium,
Colocassiaesculenta, dan Ipomoea
batataare memiliki kandungan pati antara
23,8-30,0%, 22,0-40,3%, dan 22-28%.
Varietas umbi Xanthosoma saggitifolium,
Colocassiaesculenta dan Ipomoea
batataare yang merupakan umbi tropis yang
dapat berpotensi diubah menjadi tepung
atau pati karena umbi tersebut menyimpan
kandungan pati yang tinggi. Berdasarkan
Tabel 1 dapat diketahui bahwa kandungan
amilosa dan kandungan kalsium umbi
kimpul yaitu untuk kandungan amilosa
menunjukkan nilai 10,39 % (wb) dan 28,34
mg/100g bahan. Menurut Tutut (2005),
kadar amilosa kimpul yaitu sebesar 7,86 %
(wb) atau 21,92 % db, dan kandungan
kalsium oksalat menunjukkan 56,68
mgCa/100 g bahan (%wb). Hasil analisis
kadar kalsium oksalat menurut Onayemi
dan Nwigwe (1987) yaitu kadar kalsium
oksalat sebesar 443-842 mg/100 g bahan.
Coursey (1968), menyatakan bahwa
komposisi komponen makanan tergantung
pada varietas, lokasi, musim, metode
pengolahan dan penyimpanan.
Kimpul Siap Tanak Berkalsium Kadar air
Hasil analisis kadar air kimpul siap
tanak berkalsium disajikan pada Tabel 2.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
22
Tabel 2. Kadar air kimpul siap tanak berkalsium
Ukuran irisan Lama perebusan (menit) Kadar air (%wb)
20 8,74
25 8,53
Ukuran irisan I ±
1 mm
30 8,65
20 8,88
25 8,48
Ukuran irisan II ±
2 mm
30 8,71
20 8,84
25 9,37
Ukuran irisan III ±
2,75 mm
30 8,52
20 8,59
25 8,55
Ukuran irisan IV
± 22,25 mm
30 8,72
* Angka tersebut merupakan hasil rerata dari 2 ulangan analisis dan 2 ulangan percobaan.
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa
kadar air kimpul siap tanak berkalsium
antara 8,48 -9,37 %. Pada penelitian ini
digunakan pengeringan bahan untuk
mencapai kadar air ± 9 % (Syarief dkk,
1987) oleh karena itu rata-rata kadar air
kimpul siap tanak semuanya mendekati
kadar air 9 %.
Tekstur
Pengujian tekstur kimpul siap tanak
berkalsium dilakukan secara obyektif
digunakan alat Hardness Tester, yang
dinyatakan dalam kg yaitu beban maksimal
yang dibutuhkan untuk menekan bahan
sampai pecah. Hasil analisis pengujian
tekstur dengan Hardness Tester disajikan
dalam Tabel 3.
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui
bahwa tidak ada interaksi yang nyata antara
ukuran irisan dan lama pemanasan
terhadap tekstur kimpul siap tanak
beraklsium. Pemanasan tidaj berpengaruh
nyata, akan tetapi ukuran irisan kimpul pada
berpengaruh terhadap tekstur kimpul siap
tanak berkalsium yang dihasilkan.
Secara umum, semakin besar
ukuran irisan tekstur kimpul siap tanak
berkalsium semakin keras. Hal ini mungkin
dikarenakan ketebalan ukuran irisan
menghasilkan struktur bahan kompak
sehingga menyebabkan tekstur kimpul siap
tanak menjadi keras. Tekstur kimpul siap
tanak berkalsium semakin keras dapat juga
disebabkan karena terjadinya proses
retrogradasi pati.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
23
Tabel 3. Tekstur kimpul siap tanak berkalsium (kg)
Ukuran irisan Lama perebusan (menit) Tekstur (gaya yang dapat
ditahan) (kg)
20 0,67
25 0,96
Ukuran irisan I ±
1,00 mm
30 0,88
20 1,63
25 1,55
Ukuran irisan II ±
2,00 mm
30 2,04
20 1,30
25 1,25
Ukuran irisan III ±
2,75 mm
30 1,76
20 2,59
25 2,55
Ukuran irisan IV ±
22,25 mm
30 2,21
* Angka tersebut merupakan hasil rerata dari 6 ulangan pengukuran dan 2 ulangan percobaan.
Menurut Kadan dkk, (2001) dan Yu dkk,
(2010), retrogradasi pati mungkin
menyebabkan tekstur produk keras, yang
tidak diinginkan. Namun, selama
retrogradasi gelatinisasi pati rantai polimer
yang reassociated menjadi struktur yang
lebih teratur atau lebih kristal, dan keras.
Semakin lama pemanasan, gelatinisasi
semakin tinggi, sehingga tekstur juga
semakin keras.
Warna
Pengukuran warna secara objektif
dilakukan dengan menggunakan alat
Lovibond tintometer diamati berdasarkan
parameter merah (red), kuning (yellow), biru
(blue), kecerahan (brightness). Hasil
pengukuran warna kimpul siap tanak
disajikan pada Tabel 4.
Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa
ukuran irisan tidak berpengaruh nyata dan
lama perebusan berpengaruh nyata
terhadap warna merah (red) pada pengujian
warna kimpul siap tanak yang dihasilkan.
Nilai red menunjukkan tingkat kegelapan
produk, semakin tinggi nilai red, maka
bahan akan semakin tampak lebih gelap.
Warna yang gelap bisa disebabkan karena
suhu yang digunakan pada proses
pengeringan pada bahan menyebabkan
terjadinya reaksi pencoklatan, karena umbi
kimpul sendiri terdapat gula reduksi dan
protein.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
24
Tabel 4. Pengujian warna kimpul siap tanak berkalsium
Ukuran Irisan Lama
perebusan
(menit)
Red Yellow Blue Brightness
20 1,35 1,90 0,95 0,56
25 1,35 1,85 0,95 0,50
Ukuran irisan I
± 1,00 mm
30 1,30 1,93 0,95 0,93
20 1,35 1,90 0,95 0,62
25 1,30 1,90 0,95 0,60
Ukuran irisan II
± 2,00 mm
30 1,30 1,95 0,95 0,52
20 1,35 1,90 0,95 0,49
25 1,30 1,88 0,95 0,65
Ukuran irisan
III ± 2,75 mm
30 1,30 1,90 0,95 0,50
20 1,40 1,85 0,95 0,70
25 1,30 1,90 0,95 0,65
Ukuran irisan
IV ± 22,25 mm
30 1,30 1,90 0,95 0,63
* Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan tidak beda nyata berdasarkan uji DMRT pada α 5%.
* Angka tersebut merupakan hasil rerata dari 2 ulangan analisis dan 2 ulangan percobaan.
Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui
bahwa ukuran irisan dan lama perebusan
tidak berpengaruh nyata terhadap warna
biru (blue) pada pengujian warna kimpul
siap tanak yang dihasilkan. Secara umum,
warna blue menunjukkan nilai yang rendah.
Nilai blue menunjukkan tingkat kepekatan
produk, semakin tinggi nilai blue maka
bahan akan semakin tampak lebih pekat.
Kepekatan produk disebabkan karena
terjadinya reaksi pencoklatan.
Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui
bahwa ukuran irisan tidak berpengaruh
nyata terhadap warna kuning (yellow) pada
pengujian warna kimpul siap tanak yang
dihasilkan, namun pemanasan berpengaruh
nyata. Secara umum, warna kimpul siap
tanak yang dihasilkan semuanya berwarna
kuning kecoklatan, jadi untuk pengujian
warna untuk parameter kuning (yellow) tidak
berpengaruh nyata terhadap warna kimpul
siap tanak. Hal ini karena suhu yang
digunakan untuk setiap perlakuan sama
yaitu 900C. Nilai yellow yang tinggi
menunjukkan warna produk semakin kuning
atau coklat. Proses pengeringan pada
bahan menyebabkan terjadinya reaksi
pencoklatan secara non enzimatis yaitu
reaksi Millard karena adanya kenaikan suhu
pada proses pengeringan. Reaksi Millard
terjadi karena adanya gula reduksi yang
bereaksi dengan gugus amina primer
(Sirkorski, 2007).
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
25
Dari Tabel 4 diketahui bahwa ukuran
irisan berpengaruh nyata terhadap warna
kecerahan (Brightness) pada pengujian
warna kimpul siap tanak yang dihasilkan.
Semakin besar ukuran irisan warna kimpul
siap tanak berwarna putih, hal ini karena
luas permukaan bahan kecil sehingga
gelatinisasi lebih lambat. Mackenney dan
Little (1962) menyatakan bahwa nilai dari
pengukuran warna terhadap Brightness
yang paling rendah menunjukkan ketidak
cerahan atau suram.
Tingkat kesukaan beras siap tanak berkalsium
Uji kesukaan merupakan respon dari
panelis yang berupa penilaian terhadap
produk yang disukai atau tidak disukai. Uji
kesukaan dilakukan untuk mengetahui
tingkat kesukaan panelis terhadap kimpul
siap tanak berkalsium. Pengujian tingkat
kesukaan ini dilakukan pada beras kimpul
siap tanak dan nasi kimpul siap tanak. Uji
kesukaan ini menggunakan Hedonic Scale
Scoring Test yang disajikan dalam Tabel 5
dan 6.
Tabel 5. Tingkat kesukaan beras kimpul siap tanak berkalsium
Sampel Lama
Pemanasan
(menit)
Bau Warna Tekstur Keselu-
ruhan
20 2,60a 3,00ab 3,05a 3,15 ab
25 4,25c 3,95bcd 4,35bc 4,00bc
Ukuran irisan I
± 1,00 mm
30 3,25ab 2,80ab 3,35ab 3,35 ab
20 3,00ab 3,05ab 3,25 ab 3,00a
25 4,20c 4,65d 4,15abc 4,40c
Ukuran irisan II
± 2,00 mm
30 2,90ab 3,65abc 3,55 abc 3,45 ab
20 3,35bc 2,90a 3,40 ab 3,40 ab
25 3,20ab 3,78abc 3,90 abc 3,80 abc
Ukuran irisan
III ± 2,75 mm
30 3,25ab 2,85a 4,55c 3,70 abc
20 3,15ab 4,05cd 3,35 ab 4,00bc
25 3,40b 2,85a 3,35 ab 3,20 ab
Ukuran irisan
IV ± 22,25 mm
30 3,35bc 2,85a 3,25 ab 3,35 ab
* Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom menunjukkan tidak berbeda nyata.
* Nilai semakin kecil menunjukkan semakin disukai.
Pengujian tingkat kesukaan beras
kimpul siap tanak dilakukan dengan
menggunakan parameter bau, warna,
tekstur, dan keseluruhan serta
menggunakan skala penilaian dengan
menggunakan angka 1 sampai 7. Angka 1
menunjukkan sangat suka dan angka 7
menunjukkan nilai sangat tidak suka. Hasil
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
26
uji kesukaan beras kimpul siap tanak
disajikan pada Tabel 5.
a. Bau
Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui
bahwa ukuran irisan berpengaruh nyata
pada tingkat kesukaan panelis terhadap
bau kimpul siap tanak yang dihasilkan.
Ukuran sedang kimpul siap tanak semakin
disukai panelis. Hal ini mungkin karena
ukuran irisan kimpul yang masih berukuran
agak besar jadi tidak banyak senyawa yang
hilang pada saat proses pengolahan. Dari
Tabel 5 diketahui bahwa lama perebusan
berpengaruh nyata terhadap tingkat
kesukaan panelis pada bau kimpul siap
tanak. Secara umum, semakin lama
perebusan aroma kimpul siap tanak
semakin disukai panelis. Hal ini mungkin
disebabkan karena semakin lama
perebusan zat-zat yang terkandung dalam
bahan akan menguap.
b. Warna
Warna merupakan faktor yang
penting dalam menilai mutu bahan pangan.
Warna biasanya tampil lebih dahulu dalam
menilai mutu bahan pangan dan kadang
sangat menentukan sebelum faktor-faktor
yang lain seperti rasa, tekstur, dan nilai gizi.
Warna bahan makanan tergantung
kenampakan dan kemampuan bahan
pangan untuk memantulkan menyerap atau
meneruskan sinar tampak. Disamping itu
ada faktor-faktor lain misalnya sifat
fisiologis, tetapi sebelum faktor-faktor lain
dipertimbangkan, secara visual faktor warna
lebih dahulu dan kadang-kadang sangat
menentukan (Winarno, 1993)
Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui
bahwa ukuran irisan berpengaruh nyata
pada tingkat kesukaan panelis terhadap
warna kimpul siap tanak berkalsium yang
dihasilkan. Semakin kecil ukuran irisan
warna kimpul siap tanak semakin berwarna
opak atau transparan, hal ini karena luas
permukaan bahan semakin besar jadi
semakin cepat terjadi gelatinisasi pati.
Sebaliknya semakin besar ukuran irisan
warna kimpul siap tanak berwarna putih, hal
ini karena luas permukaan bahan kecil
sehingga gelatinisasi lebih lambat.
Dari Tabel 5 dapat diketahui bahwa
lama perebusan berpengaruh nyata
terhadap tingkat kesukaan panelis pada
warna kimpul siap tanak yang dihasilkan.
Secara umum, semakin lama perebusan
warna kimpul siap tanak semakin cerah. Hal
ini disebabkan karena terjadinya proses
pra-gelatinisasi sehingga menyebabkan
kimpul siap tanak berwarna cerah. Hasil ini
juga sama pada pengukuran warna kimpul
siap tanak menggunakan Lovibond
Tintometer yang ditunjukkan pada Tabel 4,
dari Tabel 4 dapat diketahui bahwa semakin
lama perebusan, kecerahan (Brightness)
nilainya semakin tinggi yang menunjukkan
warna kimpul siap tanak lebih cerah.
c. Tekstur
Tekstur suatu produk pangan sangat
berhubungan dengan kenampakannya dan
juga dapat dievaluasi dengan gigitan
didalam mulut, dan juga sentuhan tangan
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
27
(Mo William, 1997). Menurut Matz (1962)
tekstur produk tergantung pada
kekompakan partikel-partikel penyusunnya,
bentuk, kekukuhan, dan keseragaman
partikel-partikel penyusunnya. Berdasarkan
Tabel 5 dapat diketahui bahwa ukuran
irisan dan lama perebusan pada
pengolahan kimpul siap tanak tidak
berpengaruh nyata terhadap tekstur kimpul
siap tanak yang dihasilkan. Hal ini mungkin
karena secara visual, panelis menganggap
sama tekstur kimpul siap tanak yang
disajikan. Walaupun semakin besar ukuran
irisan dan semakin sebentar perebusan
tekstur kimpul siap tanak tidak disukai
panelis, tetapi seluruh sempel masih berada
dalam skala agak suka disukai.
d. Kesukaan keseluruhan
Kesukaan keseluruhan merupakan
penilaian yang didasarkan pada gabungan
penilaian terhadap bau, warna, tekstur dari
kimpul siap tanak yang dihasilkan.
Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa
ukuran irisan dan lama perebusan
berpengaruh nyata terhadap kesukaan
keseluruhan kimpul siap tanak yang
dihasilkan. Semakin besar ukuran irisan dan
semakin lama perebusan dihasilkan kimpul
siap tanak yang semakin disukai panelis.
Hal ini mungkin karena kimpul siap tanak
yang dihasilkan memiliki warna yang cerah,
teksturnya tidak keras (rapuh) dan
aromanya masih khas umbi kimpul
sehingga disukai panelis.
Tingkat kesukaan nasi kimpul siap tanak
Pengujian tingkat kesukaan nasi kimpul
siap tanak dilakukan dengan menggunakan
parameter bau, warna, kelengketan, rasa
dan keseluruhan serta menggunakan skala
penilaian dengan angka 1 sampai 7,
dimana nilai 1 menunjukan sangat suka dan
nilai 7 menunjukan nilai sangat tidak suka.
Hasil uji kesukaan nasi kimpul siap tanak
disajikan pada Tabel 6.
a. Bau
Aroma dapat didefinisikan sebagai
sesuatu yang diamati dengan indera
pembau, untuk dapat menghasilkan bau
zat-zat harus dapat menguap, sedikit larut
dalam air dan lemak. Pengujian terhadap
bau atau aroma dianggap penting karena
cepat memberikan hasil penilaian terhadap
produk diterima atau ditidaknya produk
tersebut, selain itu juga dapat dipakai
sebagai indikator terjadinya kerusakan pada
produk.
Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui
bahwa ukuran irisan dan lama perebusan
berpengaruh nyata pada tingkat kesukaan
panelis terhadap bau nasi kimpul siap
tanak. Secara umum, semakin kecil ukuran
irisan dan semakin sebentar perebusan,
aromanya semakin disukai, tetapi tidak
beda nyata. Hal ini berarti perlakuan ukuran
irisan dan perebusan dengan waktu yang
beda tidak mempengaruhi nasi kimpul siap
tanak yang dihasilkan.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
28
Tabel 6. Tingkat kesukaan nasi kimpul siap tanak
* Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom menunjukan tidak berbeda nyata.
* Nilai semakin kecil menunjukan semakin disukai.
b. Warna
Warna adalah parameter pertama yang
dinilai dalam uji kesukaan sebab konsumen
pertama kali melihat produk dari warnanya
sehingga warna dianggap kesan pertama
dalam penilaian. Proses pengeringan dalam
pengolahan kimpul siap tanak ternyata
berpengaruh terhadap perubahan warna
karena adanya proses pra-gelatinisasi.
Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui
bahwa ukuran irisan dan lama perebusan
tidak berpengaruh nyata pada tingkat
kesukaan panelis terhadap warna nasi
kimpul siap tanak. Hal ini mungkin karena
secara visual, panelis menganggap sama
warna nasi kimpul siap tanak yang
disajikan. Walaupun semakin besar ukuran
irisan dan semakin sebentar perebusan,
warnanya semakin disukai panelis, tetapi
ukuran irisan dan lama perebusan tidak
mempengaruhi warna nasi kimpul siap
tanak yang dihasilkan. Jika dilihat dari Tabel
5 pada pengukuran warna menggunakan
lovibond tintometer, warna kimpul siap
tanak dengan perlakuan ukuran irisan dan
lama perebusan untuk pengukuran
parameter warna kuning menunjukkan
warna yang beda, hal ini ternyata tidak
mempengaruhi warna kimpul siap tanak
berkalsium secara inderawi yang dihasilkan.
c. Kelengketan
Pengukuran kelengketan didasarkan
gaya yang diperlukan untuk mengatasi gaya
tarik-menarik antara permukaan bahan
dengan permukaan lain yang bersentuhan
dengan bahan tersebut (gigi, langit-langit
mulut, lidah, pembungkus). Dari Tabel 6
dapat diketahui bahwa ukuran irisan dan
lama perebusan pada pengolahan kimpul
siap tanak berpengaruh nyata pada tingkat
kesukaan panelis terhadap kelengketan
nasi kimpul siap tanak yang dihasilkan.
Sampel Lama pemanasan
(menit)
Bau Warna Keleng- ketan
Rasa Keselu- ruhan
20 3,18bc 3,00 3,06 3,00 2,82
Ukuran irisan I ± 1
mm
Ukuran irisan II ± 2 mm
25 2,41a 2,53 2,88 3,00 2,71
Ukuran irisan
III ± 2,75 mm
20
30
3,24c
2,59ab
3,00
2,76
2,88
3,47
3,12
3,00
3,29
3,00
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
29
Semakin kecil ukuran irisan dan lama
perebusan, kelengketan nasi kimpul siap
tanak semakin disukai. Hal ini disebabkan
karena suhu yang tinggi pada saat terjadi
gelatinisasi pati, granula pati akan
mengalami pembengkakan kemudian akan
membentuk struktur yang kompak.
Kelengketan atau kepulenan nasi
dipengaruhi oleh kandungan amilosa pada
bahan. Menurut Damarjati (1983)
kepulenan nasi memiliki kolerasi negatif
dengan kadar amilosa, nasi dengan
kepulenan rendah selalu memiliki kadar
amilosa tinggi.
d. Rasa
Parameter warna merupakan atribut
mutu yang didapat dari sensasi yang dapat
dirasakan didalam mulut. Rasa dipengaruhi
oleh senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan
interaksi komponen rasa yang lain (Karel
dan Lund, 2003). Pada dasarnya indera
perasa manusia hanya dapat merasakan
empat dasar rasa yaitu manis, asin, pahit,
asam (deMan, 1999). Dari Tabel 6 dapat
diketahui bahwa ukuran irisan dan lama
perebusan pada pengolahan kimpul siap
tanak berpengaruh nyata pada tingkat
kesukaan panelis terhadap rasa nasi kimpul
siap tanak yang dihasilkan. Secara umum,
disebabkan karena pengecilan ukuran irisan
dan semakin lama perebusan
menyebabkan berkurangnya kandungan
kalsium oksalat sehingga rasa acrid pada
nasi kimpul siap tanak berkurang.
e. Keseluruhan
Dari sifat sensoris secara keseluruhan
dilakukan untuk mengetahui respon panelis
terhadap sifat nasi kimpul siap tanak secara
keseluruhan. Kesukaan keseluruhan
merupakan penilaian gabungan yang
didasarkan pada penilaian terhadap bau,
warna, kelengketan, dan rasa kimpul yang
dihasilkan. Dari Tabel 6 dapat diketahui
bahwa ukuran irisan dan lama perebusan
pada pengolahan kimpul siap tanak
berkalsium tidak berpengaruh nyata pada
tingkat kesukaan panelis terhadap
kesukaan keseluruhan nasi kimpul siap
tanak yang dihasilkan. Hal ini mungkin
karena nasi kimpul siap tanak masih berbau
khas kimpul, warna nasi kimpul siap tanak
yang cerah, nasi tidak terlalu lengket karena
kimpul siap tanak memiliki kadar amilosa
setara dengan kelompok beras beramilosa
rendah dan rasanya agak manis serta rasa
acrid pada nasi kimpul siap tanak
berkurang.
Kadar pati, amilosa dan kalsium kimpul siap tanak berkalsium
a. Kadar pati
Pati merupakan zat hidrat arang yang
tersusun dari unit-unit glukosa. Kandungan
terbesar dari butir beras adalah pati.
Dimana pati tersusun oleh 2 komponen
utama yaitu amilosa dan amilopektin. Rasio
perbandingan jumlah amilosa dan
amilopektin dalam beras menentukan
tingkat kepulenan nasi yang dihasilkan.
Hasil analisis kadar pati, kadar amilosa dan
kadar kalsium kimpul siap tanak berkalsium
adalah kadar pati pada kimpul siap tanak
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
30
yang disukai panelis yaitu 67,64 (% wb)
atau 182,81 (% db), hasil ini lebih tinggi
dibandingkan dengan kadar pati umbi
kimpul yaitu sebesar 25,50 (% wb) atau
68,91 (% db). Perbedaan ini disebabkan
karena adanya proses gelatinisasi pada
proses perebusan, suhu dan waktu yang
digunakan pada perebusan menyebabkan
pati tergelatinisasi menjadi lebih lengkap.
Suhu yang digunakan yaitu 90 0C.
Kadar amilosa memiliki hubungan erat
terhadap tekstur nasi. Beras berkadar
amilosa sedang menghasilkan nasi yang
lunak, sedangkan beras berkadar amilosa
tinggi menghasilkan nasi yang pera dan
tidak lengket (Juliano 1979). Kadar amilosa
beras dikelompokkan menjadi 3 yaitu
kelompok amilosa rendah (<10-<20%),
sedang (20-25%) dan tinggi (>25%) (Juliano
1972). Kadar amilosa kimpul siap tanak
sebesar 13,10 % wb atau 34,96 % db.
Kadar amilosa dalam penelitian ini hampir
sama yang disampaikan oleh Louis, dkk
(2008) kandungan amilosa kimpul
(Xanthosoma sagittifolium) sebesar 33.30
%.
Kadar amilosa kimpul siap tanak
berkalsium setara dengan kelompok beras
beramilosa rendah, semakin tinggi kadar
amilosa yang terkandung dalam bahan
menyebabkan nasi akan semakin keras
karena nasi yang dihasilkan dalam
penanakan akan mengalami
pengembangan volume yang besar dan
nasi tidak mudah pecah serta bila
didinginkan nasi akan mengeras.
b. Kadar kalsium
Kadar kalsium pada kimpul siap tanak
berkalsium antara 90 – 130 mg/100g
bahan. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan
dengan umbi kimpul yaitu sebesar 28,53 mg
Ca/100gr bahan. Artinya bahwa fortifikasi
pada kimpul mampu meningkatnkan kadar
Ca dalam kimpul sipa tanak berkalsium.
Hasil diharapkan dapat meningkatkan
asupan kalsium pengkonsumsi apabila
digunakan sebagai pangan alternatif
pengganti beras.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan, secara umum dapat disimpulkan
bahwa pengolahan umbi menjadi kimpul
siap tanak berkalsium dapat menghasilkan
pangan alternatif yang disukai. Secara
khusus kesimpulannya adalah :
1. Semakin besar ukuran irisan, tekstur
kimpul siap tanak berkalsium semakin
keras. Tekstur yang paling disukai
adalah yang diolah dengan ukuran irisan
I dan 2 dengan lama pemanasan 20 dan
25 menit.
2. Warna kimpul siap tanak berkalsium
tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata pada variasi ukuran irisan dan
lama pemanasan. Warna kimpul
berkalsium cerah dan disukai panelis.
3. Kimpul siap tanak dengan ukuran irisan
II ± 2,00 mm dan lama perebusan 20
menit dan ukuran I denganlama
perebusan 20 menit menghasilkan
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
31
kimpul siap tanak berkalsium yang
disukai.
DAFTAR PUSTAKA
Anggarwulan, E., Solichatun, W.
Mudyantini. 2008. Karakter
Fisiologi Kimpul (Xanthosoma
sagittifolium (L) Schott) Pada
Variasi Naungan dan Ketersediaan
Air. Biodiversitas. Volume 9. 4 :
264-268.
Anonim. 2004. Osteoporosis Keropos
Tulang yang makin Populer. IDI
Online.Org.
file://A:\Osteoporosis%20I.htm.
Anonim. 2005. 1 Dari 3 Wanita dan 1 Dari 3
Pria Memiliki Kecenderungan
Menderita Osteoporosis.
http://www.depkes.go.id/index.
Anonim. 2006. Menkes Canangkan Bulan
Osteoporosis. Gizi.net. Nutrition
Network.
File://Bulan%20Osteoporosis.htm.
Anonim, 2009a. Angka Tetap (ATAP)
Produksi Padi Tahun 2008.
www.bps.go.id. Diakses 4 April
2010.
Anonim. 2009b. Indonesia Impor Beras.
www.matanews.com. Diakses 4
April 2010.
Anonim. 2010. Umbi-umbian
(Talas).www.deptan.go/ditjentan/a
dmin/rb/ talas.pdf
AOAC. 1990. Officials Methods of Analysis
Association Official Agricultural
Chemistry. Washington D.C.
Brody, T. 1994. Nutritional Biochemistry.
Academic Press. San Diego.
New York.
Bauernfeind J.C. and P.A. Lachance. 1991.
Nutrient Additions to Food :
Nutritional, Technological and
Regulatory Aspect. Food and
Nutrition Press, Inc. Trumbull,
Connecticut, USA.
deMan, J.M., 1999. Principles of Food
Chemistry. Aspen Publisher, Inc.,
Gaithersburg, Maryland.
Eledah, J.I. 2005. Calcium Chloride-
Fortified Beverage : Threshold,
Consumer Acceptability and
Calcium Bioavailability. A thesis
submitted to the Graduate Faculty
of North Carolina State University,
Deparment of Food Science,
Raleigh.
Elevina, E.P.S., 2000. Determination of the
correlation between amylase and
phosphorus content and
gelatinization profile of starches
and flours obtained from edible
tropical tubers using Differential
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
32
Scanning Calorimetry and Atomic
Absorption Spectroscopy. The
Graduate College University of
Wisconsin-Stout Menomonie. WI
54751.
Fennema, O.R. 1996. Principles of Food
Science. Marcell Dekker Inc. New
York.
Fujita,T., M. Fukase, H. Miyamoto, T.
Matsumoto and T. Ohue. 1990.
Increase of Bone Mineral Density
by Calcium Supplement with
Oyster Shell Electrolysate. Bone
Mineral.11 : 85-91.
Gacula, M.C. dan J. Singh, 1984. Statistical
Methods in Food and Consumer
Research. Academic Press, Inc.
Orlando. San Diego. New York.
London.
Haines, C.J., T.K.H. Chung, P.C. Leung,
S.Y.C. Hsu and
D.H.Y.Leung.1995. Calcium
Supplementation and Bone
Mineral Density in
Postmenopausal Women Using
Estrogen Replacement Therapy.
Bone. Volume 16. 5 : 529-531.
Hettiarachchy, N.S., R. Gnanasambandam
dan M.H. Lee. 1996. Calcium
Fortification of Rice : Distribution
and Retention. J. Food Science. 1.
61 : 195-197.
Iwuoha, C.I. and F.A. Kalu. 1995. Calcium
Oxalate and Physico-Chemical
Properties of Cocoyam (Colocasia
esculenta and Xanthosoma
sagittifolium) Tuber Flours as
Affected by Processing. Food
Chemistry. 54 : 61-66.
Juliano, B.O. 1971. A Simplified Assay for
Milled Rice Amylose. Cereal
Science Today. 16: 334 – 340.
Kadan, R.S., Robinson, M.G., Thibodeaux,
D.P., Pepperman Jr., A.B., 2001.
Texture and other physicochemical
properties of whole rice bread.
Journal of Food Science 66, 940–
944.
Kartono,D dan M. Soekarti. 2004. Angka
Kecukupan Gizi Mineral : Kalsium,
fosfor, magnesium, Besi, Yodium,
Seng, Selenium, mangan dan
Flour. Widya Karya Nasional
Pangan dan Gizi VIII. LIPI.
Jakarta.
Krammer, A.A. and B.A. Twigg. 1970.
Fundamental of Quality Control for
the Food Industry. The AVI
Publishing Company, Inc.
Westport, Connecticut.
Lee, M.H., Hettiarachchy, N.S., R.
Gnanasambandam, and R.W.
McNew. 1995. Physicochemical
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
33
Properties of Calcium-Fortified
Rice. Cereal Chem. 72 : 352-355.
Martin, B.R., C.M. Weaver, R.P. Heaney,
P.T. Packard and D.L. Smith.
2002. Calcium Absorption from
Three Salt and Ca SO4-Fortified
Bread in Premenopausal Women.
J. Agric. Food Chem. -. 50 : 3874-
3876.
Matz, S.A., 1962. Food Tekstur. The A VI
Publishing Comapany, Inc. West
Port, Connectitut.
McCarthy, J.T. and R. Kumar. 2004.
Divalent Cation Metabolism :
Calcium. www.kidneyatlas.org.
Mo William, M., 1997. Food Experimental
Prespective. Prentie-Hall, Inc. New
Jersey, U.S.A.
Nwokocha,L.M., N.A. Aviara, C. Senan and
P.A. William. 2009. A Comparative
Study of Some Properties of
Cassava (Manihot esculenta,
Crantz) and Cocoyam (Colocasia
esculenta, Linn) Starches.
Carbohydrate Polymers. 76 : 362-
367.
Octavianti, S dan M. Solikhah. 2009.
Pemenuhan Ketahanan Pangan
Melalui Pengembangan Pati
Termodifikasi dan Berkonsentrat
Protein Secara Enzimatis Berbasis
Umbi-umbian Lokal. FKIP. UNS.
Surakarta.
Sefa-Dedeh,S., E.K. Agyir-Sackey. 2004.
Chemical Composition and the
Effect of Processing on Oxalate
Content of Cocoyam Xanthosoma
sagittifolium and Colocasia
esculenta Cormes. Food
Chemistry. 85 : 479-487.
Sirkorski, Z.E.J., Pokorny dan S.
Damodaran, 2007. Fenema’s Food
Chemistry 4th Edition : Physical and
Chemycal Interactin of Component
In Food System. CRC Press. Boca
Raton. London. New York.
Smith, T. 1995. Complete Family Health
Encyclopedia. Dorling Kindersley,
London. New York, Stuttgard,
Moscow.
Suitor, C.J. dan M.F. Crowley, 1984.
Nutrition Principles and Application
in Health Promotion. J.B.
Lippincott Company. Philadelphia.
Suyitno dan Ch. Wariyah. 2004. Metode
Pengolahan Beras Siap Tanak
Berkalsium Tinggi untuk Nasi
Putih, Nasi Gurih dan Nasi Kuning.
Program Oleh paten. Kementerian
Riset dan Teknologi Republik
Indonesia. Dalam proses
pendaftaran ke Departemen
Kehakiman Republik Indonesia.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
34
Suyitno dan Ch. Wariyah, 2005. Optimasi
Pengeringan Beras Siap Tanak.
Laporan Penelitian. Pusat Studi
Pangan dan Gizi. UGM.
Yogyakarta.
Walker, A.F. and B.A. Rolls. 1992. Nutrition
and The Consumer : Issues in
Nutrition and Toxicology 1.
Elsevier Applied Science, London
and New York.
Wariyah, Ch., C. Anwar, M. Astuti dan
Supriyadi. 2008a. Calcium
Absorption Kinetic on Indonesian
Rice. Indonesian Journal of
Chemistry. 8 : 252-257.
Wariyah, Ch., C. Anwar, M. Astuti dan
Supriyadi. 2008b. Sifat Fisik dan
Akseptabilitas Beras Berkalsium.
Agritech, 28:34-42.
Wariyah, Ch. 2009. Bioavailabilitas Kalsium
dalam Beras Berkalsium. Laporan
Penelitian. Universitas Mercu
Buana. Yogyakarta.
Watson, C.A. 1996. Official and
Standardized Methods of Analysis,
3rd edn. The Royal Society of
Chemistry, Thomas Graham House,
Science Park, Cambridge.
Widowati. S. 2010. Karakteristik Beras
Instan Fungsional dan Peranannya
dalam Menghambat Kerusakan
Pankreas. www.bulog.go.id. Diakses
4 April 2010.
William,P.A., N.A. Aviara, L.M. Nowkocha,
C. Senan. 2008. A Comparative
Study of Some Properties of
Cassava (Manihot esculenta,
Crantz) and Cocoyam (Colocasia
esculenta, Linn) Starches. Material
Science Research Centre. Centre
for Water Soluble Polymer.
http://epubs.glyndwr.ac.uk/ewsp/1.
diakses 25 Januari 2010.
Winarno, F.G., 1983. Kimia Pangan Dan
Gizi. PT. Gramedia. Jakarta.
Yu, S., Ma, Y., Liu, T., Menager, L., Sun,
D.W., 2010. Impact of cooling rates
on the staling behavior of cooked
rice during storage. Journal of
Food Engineering 96, 416–420.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
35
RESPON MACAM PUPUK DAN VARIETAS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL PADI DALAM S R I
(SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION)
Bambang Sriwijaya Anggit Bimanyu
Program Studi Agroteknologi, Fakultas Agroindustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Jl.
Wates Km 10 Yogyakarta 55753 e-mail: [email protected]
ABSTRACT
Research of Response of Kinds Fertilizer and Varieties of Rice Growth and Yield In System of Rice Intensification aims to find response range of fertilizers and the varieties of the growth and yield of rice in System of Rice Intensification. Research has been carried out in the villages of Margokaton, Seyegan, Sleman Regency in November 2009 until March 2010. The height of a place of 300 meters above sea level with a type of soil regosol. Research is 3 X 3 factorial experiment that compiled using Randomized Completele Block Design with three replicates. The first factor of fertilizer that organic fertilizers, inorganic fertilizers, organic fertilizers and combination with inorganic fertilizers. The second factor is the local varieties of rice varieties (Rojolele) and hybrid varieties (Ceherang and IR-64). The result showed that the treatment combination of organic fertilizer with inorganic fertilizers provide growth and better yield compared to the treatment of organic fertilizer and inorganic fertilizers. Varieties rojolele give quantity and quality results better than varieties IR 64 and Ciherang
Keywords: SRI (System of Rice Intensification), Variety, Fertilizer
PENDAHULUAN
Beras di Indonesia merupakan salah
satu bahan pangan pokok. Permintaan
terhadap beras sebagai makanan utama
sebagian besar penduduk Indonesia
mengalami peningkatan sebesar 2,23% per
tahun, dan proyeksi permintaan beras pada
tahun 2010 sekitar 41,50 juta ton (Swastika
et al., 2000). Selanjutnya dikatakan bahwa
defisit beras akan meningkat sekitar 13,50%
per tahun (12,78 juta ton pada tahun 2010)
apabila tidak dilakukan peningkatan
produktivitas dan perluasan areal panen.
Kebutuhan pangan berupa beras di
Indonesia dalam satu tahun sebanyak
34.000.000 ton. Untuk memenuhi
kebutuhan beras tersebut diperlukan suatu
panen padi yang sempurna, tanpa ada
kegagalan–kegagalan. Pada kondisi normal
untuk memenuhi kebutuhan pangan di
Indonesia memerlukan import beras
sebanyak tidak kurang dari 2.000.000 ton
per tahun (Kusbiantoro, 2003).
Berbagai kalangan di tingkat
nasional, regional maupun internasional
memandang bahwa isu tentang kelangkaan
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
36
dan krisis pangan (food crisis) serta
perubahan iklim global (global climate
changes) merupakan salah satu inti
persoalan di bidang pertanian dan sumber
daya yang perlu mendapatkan perhatian
dengan sangat serius. Dampak pemanasan
global serta praktek produksi pertanian
yang eksploitatif sangat mengancam
produksi dan ketersediaan pangan.
Lembaga internasional termasuk badan
pangan dunia serta pembuat kebijakan
pertanian nasional telah mengusulkan
berbagai strategi dalam rangka mengatasi
persoalan pangan dan lingkungan yang
semakin rumit (Subejo, 2009).
Menteri Pertanian (1998)
menyatakan bahwa peluang peningkatan
produktivitas padi masih memungkinkan,
karena hingga saat ini rata–rata
produktivitas yang dicapai di tingkat petani
masih di bawah potensi hasil atau hasil
penelitian. Adanya kesenjangan hasil
tersebut mengindikasikan bahwa
penerapan teknologi di tingkat petani masih
belum optimal sesuai anjuran.
Herre & White (1997) menyatakan
bahwa peningkatan produksi padi dapat
dilakukan melalui perbaikan di bidang
nutrisi tanaman, yaitu melalui pemupukan.
Pemupukan senantiasa dilakukan dan
menjadikan pupuk sebagai sarana vital
untuk peningkatan hasil padi.
Pemakaian pupuk anorganik
secara intensif dan penggunaan bahan
organik yang terabaikan untuk mengejar
hasil yang tinggi, menyebabkan bahan
organik tanah menurun.
Selain itu tidak semua jenis padi
cocok untuk dibudidayakan secara organik.
Padi hibrida kurang cocok ditanam secara
organik karena diperoleh melalui proses
pemuliaan di laboratorium. Walaupun
merupakan varietas unggul tahan hama dan
penyakit tertentu, tetapi umumnya padi
hibrida hanya dapat tumbuh dan
berproduksi optimal bila disertai dengan
aplikasi pupuk kimia dalam jumlah yang
banyak (Andoko, 2008).
Varietas padi yang cocok ditanam
secara organik hanyalah jenis atau varietas
lokal; antara lain Rojolele, Menthik, Pandan,
dan Lestari. Agar produksi optimal jenis
padi ini tidak menuntut penggunaan pupuk
kimia.
Tanaman padi sebenarnya
mempunyai potensi yang besar untuk
meberikan hasil yang tinggi. Ini hanya dapat
dicapai bila tanaman dengan kondisi yang
baik untuk pertumbuhannya. Hal ini dapat
dilakukan melalui proses pengelolaan air,
tanah, dan tanaman. System of Rice
Intensification (SRI) adalah suatu cara
budidaya tanaman padi yang intensif dan
efisien dengan proses manajemen sistem
perakaran yang berbasis pada pengelolaan
air, tanah, dan tanaman. Dalam SRI
tanaman diperlakukan sebagai organisme
hidup sebagaimana mestinya, tidak
diperlakukan seperti mesin yang dapat
dimanipulasi. Semua unsur potensi dalam
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
37
tanaman dikembangkan dengan cara
memberikan kondisi yang sesuai untuk
pertumbuhannya (Sutaryat, 2008).
Berdasarkan teknik SRI tanaman
padi tidak dianggap sebagai tanaman air,
tetapi dalam pertumbuhannya
membutuhkan air. Oleh karena itu tanaman
padi ditanam pada kondisi tanah yang tidak
tergenang dengan tujuan menyediakan
oksigen lebih banyak di dalam tanah yang
kemudian dimanfaatkan oleh akar. Pada
kondisi tidak tergenang maka akar akan
tumbuh lebih subur dan besar, dapat
menyerap nutrisi lebih banyak sehingga
mendorong tumbuhnya tunas yang optimal.
Metode ini menggunakan benih
dan input yang lebih sedikit dibandingkan
metode tradisional (misalnya air) atau
metode yang lebih modern (pemakaian
pupuk dan asupan kimiawi) (Las et al.,
1999).
Budidaya model SRI merupakan
sistem produksi pertanian yang holistik dan
terpadu, mengoptimalkan kesehatan dan
produktivitas agroekosistem secara alami,
sehingga mampu menghasilkan pangan
yang cukup berkualitas dan berkelanjutan.
Sehubungan dengan hal itu model
pertanian SRI ini dapat dijadikan salah satu
pilihan model untuk dibangun dan
dikembangkan, karena penggunaan air
yang hemat merupakan salah satu langkah
dalam mengantisipasi krisis air.
Menanam padi dengan cara SRI
dapat meningkatkan produktivitas secara
nyata. Uji coba petani di beberapa daerah
misalnya di Ciamis, Garut, dan Tasik
memberikan hasil berturut–turut mulai dari
9,4 ton/ha, 11 ton/ha, dan 11,2 ton/ha;
bahkan terakhir ada yang mencapai 12,5
ton/ha. Demikian juga ujicoba pemula di
Cianjur, Bekasi, Sukabumi, dan Bandung
selalu di atas 8 ton/ha; meskipun dalam
penerapannya masih jauh dari sempurna.
Cara SRI juga meningkatkan kualitas bulir
padi yang dihasilkan. Produk beras rasanya
lebih pulen dan lebih tahan untuk disimpan
(Sutaryat, 2008).
Dalam mengelola usaha pertanian
setiap petani berusaha agar hasil yang
diperoleh maksimum. Untuk itu petani
diharapkan mampu melakukan inovasi baru,
yaitu memadukan sistem budidaya SRI
dengan pemakaian pupuk organik dan
anorganik.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh jenis pupuk organik
dan anorganik serta campuran keduanya
terhadap pertumbuhan dan hasil padi
varietas Ciherang, IR–64, dan Rojolele
dalam System of Rice Intensification (SRI).
MATERI DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di Dusun
Susukan, Desa Margokaton, Kecamatan
Seyegan, Kabupaten Sleman, Daerah
Istimewa Yogyakarta pada bulan November
2009 sampai dengan Juni 2010. Tempat
penelitian terletak pada ketinggian 300 m di
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
38
atas permukaan laut, dengan jenis tanah
Regosol.
Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi benih padi yang terdiri
atas 3 varietas (Ciherang, IR-64 dan
Rojolele), pupuk organik (pupuk kandang
sapi), pupuk anorganik (Urea, SP-36, KCl).
Alat yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain timbangan,
sprayer, penggaris, role meter, oven.
Penelitian merupakan percobaan
faktorial 3 X 3, yaitu faktor pertama jenis
pupuk yang terdiri atas 3 aras, yaitu (P1)
Pupuk organik, (P2) Pupuk anorganik, (P3)
Pupuk organik dan anorganik. Faktor kedua
macam varietas padi yang terdiri atas 3
aras, yaitu (V1) Varietas Ciherang, (V2)
Varietas IR-64, dan (V3) Varietas Rojolele.
Dari kedua faktor tersebut menghasilkan
9 kombinasi perlakuan, yaitu:
P1V1 P1V2 P1V3
P2V1 P2V2 P2V3
P3V1 P3V2 P3V3
Percobaan disusun dalam
Rancangan Acak Kelompok Lengkap
dengan 3 ulangan, sehingga terdapat 27
petak perlakuan.
Pelaksanaan Penelitian
1. Pembibitan
a. Persiapan benih
Gabah calon benih padi diseleksi
dengan direndam air garam.
Kepekatan air garam diukur
dengan memasukkan telur itik
mentah ke dalam air garam.
Garam yang digunakan garam
grosok (kasar). Berat telur itik
segar 62,5 gram. Garam 650
gram dilarutkan ke dalam air 4
liter. Gabah calon benih
dimasukkan ke dalam air garam,
gabah yang tenggelam dipakai
untuk benih sedangkan yang
terapung tidak digunakan. Benih
hasil seleksi di cuci kemudian
direndam air bersih selama 48
jam. Setelah 48 jam benih
diangkat dan dicuci dengan air
bersih, kemudian
dikeringanginkan selama 24 jam
(Fakultas Teknologi Pertanian
UGM, 2009).
b. Persemaian
Benih ditanam pada besek.
Kebutuhan benih untuk satu
besek ukuran 15 X 15 cm
sebanyak kurang lebih 5 gram.
Tanah sebagai media tumbuh
dicampur dengan pupuk organik
perbandingan 1 : 1. Besek
dilapisi daun pada dasarnya
setinggi kurang lebih setengah
besek. Tanah yang telah
dicampur dengan pupuk organik
dimasukkan ke dalam besek,
selanjutnya ditaburkan benih ke
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
39
dalam media persemaian dan
ditutup dengan abu dan jerami.
Benih yang disebar tidak boleh
tumpang tindih. Penyiraman
dilakukan 2 kali sehari. Pada
umur 5 hari jerami diangkat,
karena benih sudah mulai
tumbuh. Bibit siap tanam pada
umur14 hari.
2. Persiapan Lahan
Persiapan lahan dimulai dengan
membersihkan sisa–sisa tanaman,
selanjutnya tanah diolah. Lahan
dibuat petakan–petakan dengan
ukuran 3 m X 3 m sebanyak 27
petak, dan sekeliling petak penelitian
dibuat saluran irigasi untuk keluar
dan masuknya air. Saluran air
masuk dan keluar dibuat sendiri–
sendiri untuk setiap petaknya,
sehingga air tidak masuk ke dalam
petak–petak yang lain,
Pengolahan tanah ini dibagi menjadi
tiga tahap:
Tahap I. Pembalikan tanah
dilakukan pada 20 hari sebelum
tanam dengan mencangkul. Hal ini
untuk mendapatkan kedalaman
tanah sesuai dengan kebutuhan
tanaman.
Tahap II. Dilakukan pada 15 hari
sebelum tanam dengan
mencangkul. Pada tahap ini
sekaligus dilakukan pemberian
pupuk kandang. Pupuk kandang
ditabur dan dibenamkan ke dalam
tanah dengan kondisi air macak–
macak. Ini dilakukan pada petak
penelitian yang menggunakan pupuk
organik dan campuran pupuk
organik dengan anorganik.
Tahap III. Penghalusan dan
perataan tanah dilakukan pada tiga
hari sebelum tanam dengan kondisi
air macak–macak.
3. Penanaman
Bibit padi ditanam pada umur 14 hari
setelah semai, sekam dibiarkan
menempel dengan akar tunas. Pada
sekam masih tersedia makanan
sebagai sumber energi yang
penting bagi bibit muda. Jumlah
bibit per lubang hanya satu. Bibit
harus di tanam secepat mungkin,
sekitar setengah jam dari media
persemaian. Benih ditanam dangkal
dengan perakaran horizontal seperti
huruf L. Jika akar tertekuk ke atas,
benih memerlukan energi besar
dalam pertumbuhan kembali, dan
akar baru akan tumbuh dari
ujungnya. Benih ditanam dengan
jarak tanam 22 cm X 22 cm.
4. Pemeliharaan
a. Penyiangan
Pembersihan gulma dilakukan
dengan tangan dan
menggunakan alat sederhana.
Penyiangan pertama pada umur
tanaman 15 Hari Setelah Tanam
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
40
(HST), penyiangan kedua 25
HST, penyiangan ketiga 35 HST,
penyiangan keempat 45 HST
dan penyiangan yang terakhir 65
HST.
b. Pemupukan
1) Perlakuan pupuk organik.
Pupuk diberikan bersamaan
dengan pengolahan tanah
kedua, yaitu 15 hari sebelum
tanam dengan dosis 10 ton/ha
(9 kg/9 m2). Cara
pemberiannya dengan disebar
merata ke seluruh permukaan
tanah. Setelah disebarkan
pupuk dibiarkan selama empat
hari. Selanjutnya tanah di
cangkul sehingga pupuk
tersebut dapat menyatu
dengan tanah.
2) Perlakuan pupuk anorganik.
Pupuk anorganik diberikan
sebanyak 2 kali, masing–
masing setelah penyiangan
pertama (ketika tanaman padi
berumur 3 minggu) dan
penyiangan ketiga (ketika
tanaman padi berumur 7
minggu) dengan cara disebar.
Dosis pemupukan: Urea 250
kg/ha (0,225 kg/9 m2), SP-36
100 kg/ha (0,09 kg/9 m2), dan
KCl 50 kg/ha (0,045 kg/9 m2).
3) Perlakuan pupuk organik dan
pupuk anorganik. Pupuk
organik digunakan sebagai
pupuk dasar yang diberikan 15
hari sebelum tanam. Cara
pemberiannya dengan cara
disebar keseluruh permukaan
tanah dengan dosis 10 ton/ha
(9 kg/9 m2). Untuk selanjutnya
setelah masa tanam
pemupukan menggunakan
pupuk anorganik dengan dosis
Urea 250 kg/ha (0,225 kg/9
m2), SP-36 100 kg/ha (0,09
kg/9 m2), dan KCl 50 kg/ha
(0,045 kg/9 m2). Pemberian
pupuk ini dilakukan sebanyak
2 kali masing– masing setelah
penyiangan pertama (ketika
tanaman padi berumur 3
minggu) dan penyiangan
ketiga (ketika tanaman padi
berumur 7 minggu) dengan
cara disebar.
c. Pengairan atau irigasi
Waktu pengolahan tanah
keadaan air macak–macak, ini
adalah cara SRI dalam
penggunaan sedikit air. Umur
padi 1 sampai 8 HST keadaan
tanah lembab (tidak digenang),
umur 9 HST digenang 3 cm
untuk memudahkan penyiangan
I, setelah itu tanah dibiarkan
lembab sampai umur 18 HST.
Pada umur 19 HST tanaman
digenangi untuk penyiangan II,
selanjutnya pengeringan
kembali. Demikian selanjutnya
dengan interval waktu yang
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
41
sama sampai tanaman
berbunga. Pada saat tanaman
berbunga digenang kembali
setinggi 3 cm sampai pada
masak susu, lalu dikeringkan
kembali sampai menjelang
panen.
5. Pemungutan hasil panen
Pemungutan hasil dilakukan setelah
gabah masak yang ditandai dengan
bulir padi menguning. Pemanenan
dilakukan setelah tanaman berumur
kurang lebih 110 HST atau sesuai
umur masing – masing varietas padi.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan untuk
memperoleh data-data sebagai
berikut:
1. Variabel pertumbuhan meliputi tinggi
tanaman, jumlah anakan total, saat
berbunga, bobot kering tanaman per
rumpun. Pengamatan dilakukan
mulai umur 2 minggu sampai
dengan 6 minggu setelah tanam
untuk variabel tinggi tanaman dan
jumlah anakan total, sedangkan
berat kering tanaman ditimbang
pada saat berbunga. Saat berbunga
diamati dengan menghitung jumlah
hari mulai tanam sampai dengan
tercapainya 50% populasi tiap unit
percobaan berbunga.
2. Variabel hasil meliputi panjang
malai, jumlah gabah isi per malai,
bobot 1000 biji pada kadar air 16 %,
bobot gabah kering isi per rumpun,
bobot gabah segar per petak.
Pengamatan dilakukan setelah
tanaman dipanen.
Analisis Data
Data dianalisis dengan sidik ragam
pada jenjang nyata 5 %. Apabila terdapat
beda nyata dilanjutkan dengan Duncan’s
Multiple Range Test (DMRT) pada jenjang
nyata 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil 1. Tinggi tanaman
Hasil analisis tinggi tanaman
minggu ke 2, 4, dan 6 tidak ada beda nyata
dan tidak terjadi interaksi antara perlakuan
jenis pupuk dan macam varietas. Purata
tinggi tanaman minggu ke 2, 4, dan 6
setelah tanam disajikan pada Tabel 1 dan
Tabel 2.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
42
Tabel 1. Purata tinggi tanaman (cm) minggu ke 2, 4, 6 setelah tanam pada perlakuan jenis
pupuk
Tinggi Tanaman Minggu ke Pupuk
2 4 6
Organik 27,29 p 56,51 p 72,00 p
Anorganik 29,21 p 55,66 p 75,98 p
Organik&anorganik 27,98 p 56,79 p 75,33 p
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji F pada taraf 5%.
Tabel 2. Purata tinggi tanaman (cm) minggu ke 2, 4, 6 setelah tanam pada perlakuan macam
varietas
Tinggi Tanaman Minggu ke Pupuk
2 4 6
Ciherang 28,36 a 56,70 a 74,68 a
IR-64 28,26 a 56,38 a 72,84 a
Rojolele 27,85 a 55,88 a 75,78 a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji F pada taraf 5%.
2. Jumlah anakan
Hasil analisis jumlah anakan minggu
ke 2, 4, 6 tidak ada beda nyata dan tidak
terjadi interaksi antara perlakuan jenis
pupuk dan macam varietas. Purata jumlah
anakan minggu ke 2, 4, 6 setelah tanam
disajikan pada Tabel 3 dan 4.
Tabel 3. Purata jumlah anakan (batang) minggu ke 2, 4, 6 setelah tanam pada perlakuan jenis
pupuk
Tinggi Tanaman Minggu ke Pupuk
2 4 6
Organik 4,48 p 21,07 p 29,85 p
Anorganik 5,41 p 23,00 p 30,63 p
Organik&anorganik 5,00 p 23,07 p 31,22 p
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji F pada taraf 5%.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
43
Tabel 4. Purata jumlah anakan (batang) minggu ke 2, 4, 6 setelah tanam pada perlakuan
macam varietas
Tinggi Tanaman Minggu ke Pupuk
2 4 6
Ciherang 5,26 a 22,44 a 28,48 a
IR-64 5,07 a 23,44 a 33,19 a
Rojolele 4,56 a 21,26 a 30,04 a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji F pada taraf 5%.
3. Saat berbunga
Hasil analisis saat berbunga ada
beda nyata. Perlakuan jenis pupuk dan
macam varietas terjadi interaksi. Hasil
Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) saat
berbunga disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Purata saat berbunga (hari)
Varietas Pupuk
Ciherang IR-64 Rojolele Rata-rata
Organik 69,67 de 56,33 f 77,33 a 67,78
Anorganik 69,33 e 55,67 f 76,00 b 67,00
Organik&anorganik 70,33 d 56,33 f 74,67 c 67,11
Rata-rata 69,78 56,11 76,00
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut DMRT pada taraf 5%.
Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa
saat berbunga tanaman padi varietas IR –
64 pada berbagai perlakuan pupuk lebih
cepat dari varietas Ciherang maupun
varietas Rojolele. Sedangkan varietas
Ciherang lebih cepat dari varietas Rojolele.
Varietas IR – 64 dengan berbagai macam
pupuk tidak beda nyata.
4. Bobot kering tanaman per rumpun
Hasil analisis bobot kering
tanaman per rumpun ada beda nyata dan
tidak terjadi interaksi antara perlakuan jenis
pupuk dan macam varietas. Hasil DMRT
bobot kering tanaman per rumpun disajikan
pada Tabel 6.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
44
Tabel 6. Purata bobot kering tanaman per rumpun (g)
Varietas Pupuk
Ciherang IR-64 Rojolele Rata-rata
Organik 47,83 60,55 42,03 50,14 q
Anorganik 42,75 36,72 62,29 47,25 q
Organik&anorganik 84,79 56,57 89,25 76,87 p
Rata-rata 58,46 a 51,28 a 64,52 a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut DMRT pada taraf 5%.
Pada Tabel 6 menunjukkan
bahwa perlakuan pemberian pupuk
kombinasi organik dan anorganik untuk
bobot kering tanaman lebih baik
dibandingkan perlakuan pemberian pupuk
organik maupun pupuk anorganik.
5. Panjang malai
Hasil analisis panjang malai tidak
ada beda nyata dan tidak terjadi interaksi
antara perlakuan jenis pupuk dan macam
varietas. Purata panjang malai disajikan
pada Tabel 7.
Tabel 7. Purata panjang malai (cm)
Varietas Pupuk
Ciherang IR-64 Rojolele Rata-rata
Organik 56,79 56,39 58,03 57,07 p
Anorganik 64,18 61,64 59,90 61,91 p
Organik&anorganik 66,15 69,19 66,63 67,32 p
Rata-rata 62,37 a 62,40 a 61,52 a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji F pada taraf 5%.
6. Jumlah gabah isi per malai
Hasil analisis jumlah gabah isi per
malai tidak ada beda nyata dan perlakuan
jenis pupuk dan macam varietas tidak
terjadi interaksi. Purata jumlah gabah isi per
malai disajikan pada Tabel 8.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
45
7. Bobot 1000 biji padi
Hasil analisis bobot 1000 biji padi
ada beda nyata dan tidak terjadi interaksi
antara perlakuan jenis pupuk dan macam
varietas. Hasil DMRT bobot 1000 biji padi
disajikan pada Tabel 9.
Tabel 8. Purata jumlah gabah isi per malai (biji)
Varietas Pupuk
Ciherang IR-64 Rojolele Rata-rata
Organik 76,50 69,95 65,96 70,80 p
Anorganik 83,37 87,18 87,54 86,03 p
Organik&anorganik 93,20 98,68 103,14 98,34 p
Rata-rata 84,36 a 85,27 a 85,55 a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji F pada taraf 5%.
Tabel 9. Purata bobot 1000 biji (g)
Varietas Pupuk
Ciherang IR-64 Rojolele Rata-rata
Organik 27,67 27,13 25,55 26,79 p
Anorganik 28,22 27,63 25,58 27,15 p
Organik&anorganik 28,05 28,37 26,19 27,54 p
Rata-rata 27,98 a 27,72 a 25,78 b
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut DMRT pada taraf 5%.
Hasil analisis bobot 1000 biji padi
ada beda nyata dan tidak terjadi interaksi
antara perlakuan jenis pupuk dan macam
varietas. Hasil DMRT bobot 1000 biji padi
disajikan pada Tabel 9.
Pada Tabel 9 menunjukkan bahwa
bobot 1000 biji padi varietas Ciherang dan
varietas IR – 64 lebih berat dibandingkan
dengan varietas Rojolele.
8. Bobot gabah kering isi per rumpun
Hasil analisis bobot gabah kering
isi per rumpun tidak ada beda nyata dan
tidak terjadi interaksi antara perlakuan jenis
pupuk dan macam varietas. Purata bobot
gabah kering isi per rumpun disajikan pada
Tabel 10.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
46
Tabel 10. Purata bobot gabah kering isi per rumpun (g)
Varietas Pupuk
Ciherang IR-64 Rojolele Rata-rata
Organik 32,95 27,55 22,58 27,69 p
Anorganik 32,72 24,65 34,15 30,51 p
Organik&anorganik 38,16 34,11 41,70 37,99 p
Rata-rata 34,61 a 28,77 a 32,81 a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji F pada taraf 5%.
9. Bobot gabah segar per petak
Hasil analisis bobot gabah segar
per petak ada beda nyata dan tidak terjadi
interaksi antara perlakuan jenis pupuk dan
macam varietas. Hasil DMRT bobot gabah
segar per petak disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Purata bobot gabah segar per petak (kg)
Varietas Pupuk
Ciherang IR-64 Rojolele Rata-rata
Organik 4,00 3,75 5,08 4,28 q
Anorganik 5,17 4,67 4,92 4,92 p
Organik&anorganik 5,25 4,42 5,25 4,97 p
Rata-rata 4,81 ab 4,28 ab 5,08 a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut DMRT pada taraf 5%.
Pada Tabel 11 menunjukkan
bahwa bobot segar gabah per petak untuk
macam varietas cenderung sama berat.
Sedangkan pada perlakuan pupuk
anorganik dan pupuk kombinasi organik
dan anorganik menunjukkan hasil yang
lebih berat dibandingkan dengan perlakuan
pupuk organik.
PEMBAHASAN Pada tinggi tanaman dan jumlah
anakan umur 2, 4, dan 6 minggu jenis
pupuk dan macam varietas tidak terjadi
interaksi. Tetapi kalau dibandingkan hasil
percobaan dengan diskripsi tanaman padi
masing-masing varietas hasilnya akan
berbeda. Pada diskripsi tinggi tanaman
maksimal untuk varietas Ciherang 115 cm,
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
47
IR-64 85 cm, dan Rojolele 155 cm;
sedangkan hasil percobaan tinggi tanaman
rata-rata untuk varietas Ciherang 74,68 cm,
IR-64 72,84 cm, Rojolele 75,78 cm. Ini
menunjukkan bahwa varietas IR-64 lebih
respon terhadap pemupukan di bandingkan
dengan vrietas yang lainnya. Varietas IR-64
merupakan varietas unggul nasional,
Rojolele varietas lokal, dan Ciherang
varietas hibrida. Andoko, (2008)
mengatakan, padi varietas unggul tahan
hama dan penyakit tertentu, tetapi
umumnya padi hibrida hanya dapat tumbuh
dan berproduksi optimal bila disertai
dengan aplikasi pupuk kimia dalam jumlah
banyak. Tanpa pupuk kimia padi tersebut
tidak akan tumbuh subur dan berproduksi
optimal.
Jumlah anakan pada diskripsi untuk
varietas Ciherang 17 batang, IR-64 banyak,
Rojolele 9 batang; hasil percobaan
Ciherang 28,48 batang, IR-64 33,19
batang, Rojolele 30,04 batang. Ini
membuktikan bahwa sistem tanam SRI bisa
meningkatkan jumlah anakan untuk
tanaman padi. Hal ini bisa kita lihat semua
varietas jumlah anakannya lebih banyak
dari diskripsi, terutama varietas Rojolele.
Sutaryat (2008) mengatakan, bahwa pada
teknik SRI tanaman padi tidak dianggap
sebagai tanaman air tetapi dalam
pertumbuhannya membutuhkan air. Oleh
karena itu tanaman padi ditanam pada
kondisi tanah yang tidak tergenang dengan
tujuan menyediakan oksigen lebih banyak
di dalam tanah yang kemudian
dimanfaatkan oleh akar. Pada kondisi tidak
tergenang maka akar akan tumbuh lebih
subur dan besar, dapat menyerap nutrisi
lebih banyak sehingga mendorong
tumbuhnya tunas yang optimal.
Saat berbunga tanaman terjadi
interaksi antara perlakuan jenis pupuk dan
macam varietas. Saat berbunga varietas
IR–64 dan Ciherang tidak begitu
terpengaruh dengan perlakuan jenis pupuk,
namun IR-64 lebih cepat dari Ciherang; dan
yang paling lama Rojolele. Hal ini terlihat
bahwa varietas unggul IR–64 dan Ciherang
lebih kuat secara genetik responnya
terhadap pemberian pupuk dibandingkan
Rojolele. Bisa juga disebabkan karena sifat
genetis yang berkaitan dengan umur
tanaman. Tanaman yang umurnya pendek
saat berbunganya lebih cepat daripada
tanaman yang umurnya panjang. Ini sesuai
dengan diskripsi tanaman padi; Varietas IR–
64 umur panennya 115 hari, Ciherang 116-
125, hari, dan Rojolele 155 hari.
Macam varietas tidak berpengaruh
terhadap bobot kering tanaman, sedangkan
jenis pupuk berpengaruh. Pupuk organik
dan anorganik pengaruhnya sama, tetapi
setelah keduanya dicampur bobot
keringnya menjadi meningkat. Hal Ini dapat
terjadi karena penambahan pupuk organik
dapat memperbaiki struktur tanah, dan
meningkatkan penyerapan air. Pengaruh
lebih lanjut meningkatkan penyerapan
unsur hara oleh tanaman, yang
mengakibatkan pertumbuhan tanaman
menjadi lebih baik. Tanaman yang
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
48
pertumbuhannya baik dapat melakukan
fotosintisis yang lebih baik, sehingga
fotosintat yang dihasilkan menjadi lebih
banyak. Bobot kering tanaman merupakan
hasil dari proses fotosintesis yang tidak lain
adalah fotosintat, sehingga naiknya
fotosintat sama juga naiknya bobot kering
tanaman. Adiningsih (1984 dan Rochayati,
1988) mengatakan, penambahan bahan
organik merupakan suatu tindakan
perbaikan lingkungan tumbuh tanaman
yang antara lain dapat meningkatkan
efisiensi pupuk, meningkatkan produktivitas
tanah dan mengurangi kebutuhan pupuk
terutama pupuk K. Sutanto (2002)
mengatakan, pupuk organik merupakan
bahan pembenah tanah yang paling baik
dibanding bahan pembenah lainnya. Selain
itu juga mengandung unsur mikro dan
mampu meningkatkan kelembaban tanah
dan memperbaiki pengatusan dakhil
(internal drainage).
Perlakuan jenis pupuk dan macam
varietas tidak berpengaruh terhadap
panjang malai. Hal ini diduga karena
adanya sifat genetis masing–masing
varietas tanaman padi. Begitu pula pada
jumlah gabah isi per malai dan bobot gabah
kering isi per rumpun
Perlakuan jenis pupuk tidak
mempengaruhi bobot 1000 biji, tetapi
macam varietas berpengaruh. Kedua
perlakuan tidak terjadi interaksi. Hal
tersebut disebabkan karena pengaruh
genetik tanaman yang melekat pada setiap
varietas. Pertumbuhan biji membutuhkan
nutrisi dan mineral yang cukup, sehingga
menyebabkan terjadinya mobilisasi dan
transport dari bagian vegetatif ketempat
perkembangan buah dan biji (Gardner et
al., 1991).
Pada bobot gabah kering isi per
rumpun perlakuan jenis pupuk dan macam
varietas tidak berpengaruh dan tidak terjadi
interaksi. Mulai pembungaan sampai
dengan pembuahan dikendalikan oleh
lingkungan; terutama fotoperiodesitas,
temperatur, dan oleh faktor genetik
(internal), terutama pengaturan tumbuhan,
hasil fotosintesis, dan pasokan nutrient
(misalnya nitrogen) (Gardner et al., 1991).
Hasil analisis bobot gabah segar
per petak ada pengaruh pada perlakuan
jenis pupuk dan macam varietas. Kedua
perlakuan tidak terjadi interaksi. Pada
pupuk organik bobotnya paling tinggi
dibandingkan dengan pupuk anorganik dan
kombinasi organik dengan anorganik. Untuk
macam varietas pengaruhnya cenderung
sama. Hal tersebut disebabkan karena
pupuk yang diberikan mempunyai pengaruh
pada sifat fisik tanah, sehingga penguraian–
penguraian yang terjadi mempertinggi kadar
bunga tanah yang dapat memperbaiki
struktur tanah, menjadikan tanah mudah
diolah dan terisi oksigen yang cukup. Pupuk
yang diberikan mampu membentuk bunga
tanah yang dapat meningkatkan daya
penahan air. Tanah akan mampu menahan
banyak air sehingga terbentuk air tanah
yang bermanfaat, karena akan
memudahkan akar – akar tanaman
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
49
menyerap unsur hara bagi pertumbuhan
dan perkembangan tanaman.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan
pembahasan dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Kombinasi pupuk organik dengan
pupuk anorganik memberikan
pertumbuhan dan hasil yang lebih
baik dibandingkan dengan perlakuan
pupuk organik dan pupuk anorganik.
2. Varietas Rojolele memberikan
kuantitas maupun kualitas hasil yang
lebih baik dibanding dengan varietas
IR–64 maupun Ciherang.
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih, S J. 1984. Pengaruh Beberapa
Faktor Terhadap Penyediaan Kalium
Tanah Sawah Daerah Sukabumi dan
Bogor. Disertasi Fakultas
Pascasarjana IPB, Bogor.
Andoko, A. 2008. Budidaya Padi Secara
Organik. Penebar Swadaya. Jakarta.
David, Christine C. and Keijiro Otsuka.
1994. Modern Rice Technology and
Income Distribution in Asia. Lynne
Rienner Publishers/International Rice
Research Institute (IRRI).
Gardner.F.P, R.B Pearce, R.L Mitchell.
1991, Fisiologi Tanaman Budidaya
(Terjemahan), Universitas Indonesia,
Jakarta
Gomez, K.A. & A.A. Gomez. 1995.
Prosedur Statistika untuk Penelitian
Pertanian (Terjemahan A.
Sjamsuddin & J.S. Baharsyah). Edisi
Kedua. UI Press, Jakarta.
Herre. E. A. & W. C. White. 1997. Profil
Pasar dalam O.P. Englestad (editor).
Teknologi dan Penggunaan Pupuk.
Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 1-6 hal.
Kusbiantoro, B. 2003. Budidaya Padi
dengan Model Singgang Replanting,
Seminar "Upaya Mengatasi
Instabilitas Ekonomi dan Iceamanan
Akibat Adanya Potensi Kekurangan
Air". 23 Maret 2003. Karawang
Menteri Pertanian. 1998. Kebijaksanaan
Peningkatan Produksi Padi Nasional.
Seminar Nasional Peningkatan
Produksi Padi Nasional melalui
Sistem Tabela Padi Sawah dan
Pemanfaatan Lahan Kurang Produktif
Bandar Lampung, Dalam Seminar
Nasional yang dilaksanakan di
Bandar Lampung tanggal 9 – 10
Desember 1998. 17 p.
Rochayati, Sri. 1988. Peranan Bahan
Organik dalam Meningkatkan
Efisiensi Pupuk dan Produktivitas
Tanah. Dalam M. Sudjadi (eds.) Pros.
Lokakarya Nasional Efisiensi Pupuk.
Puslittan, Bogor. Hal 161-181.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
50
Subejo, M Nastul Pradana 2009.
Indonesian Agricultural Science
Association/IASA http://www.iasa-
pusat.org/latest/perangkap-malthus-
pertarungan-ledakan-penduduk-dan-
pangan.html. Juni 2009.
Sutanto, Rachman. 2002. Pertanian
Organik Menuju Pertanian Alternatif
dan Berkelanjutan. Kanisius,
Yogyakarta. Hal 35 – 37.
Sutaryat, A., 2008, Sistem Pengelolaan
Pertanian Ramah Lingkungan
dengan Metoda System of Rice
Intensification (SRI), Lembaga
Pertanian Sehat, Bogor.
Swastika, D.K.S, P.U. Hadi, dan Nyak
Ilham. 2000. Proyeksi Penawaran
dan Permintaan Komoditas Tanaman
Pangan 2000-10. Pusat Penelitian
Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 13
hal.
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas
Gadjah Mada. 2009. Rencana Kajian
UGM : Teknologi Tanam Padi Hemat
Air Metode SRI 200 –2011.
Yogyakarta.
Badan Litbang Pertanian. 1998. Laporan
Hasil Penelitian Optimalisasi
Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan
Teknologi untuk Pengembangan
Sektor Pertanian dalam Pelita VII.
Puslittanak, Bogor. 386 hal.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
51
KINERJA AYAM KAMPUNG DENGAN RANSUM BERBASIS KONSENTRAT BROILER
Niken Astuti Prodi Peternakan, Fak. Agroindustri, Univ. Mercu Buana Yogyakarta
ABSTRACT
This research was conducted to investigate the effect of ration based on broiler concentrate on performance include feed intake, average daily gain, and feed conversion. The material were used 60 native chicken divided into 12 cages randomly of four treatments, each treatment consisted of three replications. The treatment were R1 (concentrate broiler100%), R2 (concentrate broiler 75%) , R3 (concentrate broiler 50%) and R4 (concentrate broiler 25%). One way completely randomized design was used. The variable were analyzed by analysis of variance and the significant result tested by Duncan’s New Multiple Range Test. The result showed that the feed intake on concentrate broiler 75 and 100% was not significant different, the same result on average daily gain and feed conversion. The lower native chicken performance was showed on ration based on concentrate broiler 25 and 50%. It was concluded that concentrate broiler can be used in ration up to 75% . Key words : Native chicken, performance, concentrate broiler.
PENDAHULUAN
Ayam kampung merupakan salah satu
ternak unggas yang sangat berperan dalam
meningkatkan ketahanan pangan nasional
yaitu sebagai sumber gizi masyarakat
khususnya sebagai sumber protein hewani
baik dari telur maupun dagingnya.
Meskipun belum secepat ayam ras tetapi
ayam kampung di masa mendatang cukup
potensial untuk dikembangkan sebagai
usaha agrobisnis. Agribisnis perunggasan
sebagai sumber lapangan pekerjaan,
sebagai peningkat income dari masyarakat
peternak, sebagai peningkat income mata
rantai agribisnis peternakan seperti jagung,
dedak (bekatul), distribusi, restoran, warung
dan lain-lain.
Investasi di bisnis perunggasan
pada tahun 2010 untuk bibit, pakan,
budidaya dan obat/additif berturut-turut
diperkirakan sebesar 9,25; 15 dan 3,5
trilyun. Terlihat bahwa biaya investasi untuk
pakan adalah lebih besar dibanding dengan
investasi yang lain hampir mendekati 50%
dari total biaya investasi bisnis
perunggasan sehingga strategi dan efisiensi
pakan sangat diperlukan agar tercapai
produksi yang optimal.
Peranan ayam kampung sebagai
penyedia daging dan telur untuk memenuhi
konsumsi protein hewani sangat berarti
terutama bagi masyarakat pedesaan.
Populasi ayam kampung pada tahun 2008
adalah 290.803.000 ekor atau mengalami
kenaikan 6,81% dari tahun 2007 sedang
produksi telur mencapai 96.000 ton
pertahun atau 31,34% dari total produksi
telur dalam negeri. Kontribusi daging dari
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
52
berbagai jenis ternak menunjukkan bahwa
peranan daging unggas semakin meningkat
sampai 64,7% pada tahun 2008 dan 16,3%
(352,7 ribu ton) berasal dari unggas lokal.
Perubahan ini disebabkan semakin
meningkatnya industri perunggasan
nasional (Anonimus, 2009).
Ayam kampung yang dilepas bebas
biasanya mempunyai tingkat kekebalan
yang tinggi dan menghemat biaya makanan
Umumnya ayam cukup diberi makan pagi
hari saat akan dilepas berupa sisa-sisa
makanan dan tambahan bekatul
secukupnya. Selebihnya ayam dianggap
dapat mencari makan sendiri disekitar
rumah (Sarwono, 1995). Lebih lanjut
dijelaskan bahwa ayam kampung
mempunyai kelemahan di antaranya yaitu
ayam lambat untuk berkembang lebih
banyak, karena tingkat kematian pada anak
ayam relatif lebih tinggi, waktu mengasuh
terlalu lama yang berarti mengurangi
produktifitas. Kendali akan keberadaan
ayam kurang, sehingga kemungkinan
dimangsa predator maupun hilang lebih
tinggi.
Cara pemeliharaan yang demikian
kurang baik sehingga perlu dilakukan upaya
untuk memperbaikinya antara lain dengan
pemeliharaan secara intensif menggunakan
kandang panggung dan pakan komersial.
Penggunaan konsentrat broiler sebagai
pakan komersial sudah banyak dilakukan
oleh peternak ayam kampung, namun
demikian sampai berapa persen
penggunaan konsentrat broiler ini dapat
digunakan dalam ransum agar kinerja
ayam kampung optimal belum banyak
diketahui oleh peternak. Oleh karena itu
penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
kinerja ayam kampung dengan ransum
berbasis konsentrat broiler.
MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di dusun
Srontakan, Desa Argomulyo, Kecamatan
Sedayu, Kabupaten Bantul, Yogyakarta dari
bulan Maret 2012 sampai Oktober 2012.
Materi Penelitian
Ayam kampung:
Penelitian menggunakan anak ayam
kampung berumur 2 minggu sebanyak 60
ekor dengan empat perlakuan dipelihara
selama 8 minggu.
Vaksin dan Obat-obatan :
Vaksin yang digunakan untuk
penelitian adalah Vaksin Newcastle
Disease (ND) merk Medivac Lasota dosis
untuk 100 ekor ayam. Pemberian vaksin
dilakukan dua kali pertama saat ayam
berumur empat hari diberikan dengan cara
tetes mata, kedua pada saat ayam berumur
mpat minggu diberikan melalui air minum.
Program pengobatan dilakukan jika ayam
sudah terkena penyakit.
Vitamin
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
53
Vitamin yang digunakan untuk
menjaga keseimbangan tubuh ayam adalah
Vita Chick dengan dosis 1g/800 ml air
setiap hari.
Kandang dan Peralatan
Kandang yang digunakan untuk
penelitian berupa kandang kelompok
sebanyak 12 buah yang terbuat dari
kayu/bambu dengan ukuran panjang 80 cm
lebar 60 cm dan tinggi 40 cm. Kandang
dilengkapi dengan tempat pakan dan
minum serta alat untuk membersihkan
kandang dan lantai kandang.
Timbangan
Timbangan analitik Ohouse dengan
kapasitas 2610 gram kepekaan 0,1 gram
digunakan dalam penelitian ini untuk
menimbang pakan dan ayam.
Ransum Penelitian
Sebelum pakan perlakuan diberikan
ayam berumur satu hari sampai umur dua
minggu diberi pakan BR1. Setelahnya
sampai berumur 10 minggu ayam diberi
ransum penelitian sesuai dengan perlakuan
(Tabel 2). Ransum penelitian tersusun dari
konsentrat broiler (BR1), jagung dan bekatul
yang komposisinya dapat dilihat pada Tabel
1. Ransum tersebut adalah sebagai berikut
:
R1= Ransum 100 % konsentrat broiler
(BR1)
R2= Ransum dengan 75% BRI, 10% jagung
dan 15% bekatul
R3= Ransum dengan 50% BRI, 25% jagung
dan 25% bekatul
R4= Ransum dengan 25% BRI, 40% jagung
dan 35% bekatul
Tabel 1. Komposisi nutrien dari bahan
pakan perlakuan
Macam Bahan Pakan
Protein Kasar (%)
ME (kkal/Kg)
Jagung 1) 8,7 3450
Bekatul 1) 12,0 1630
Konsentrat BR1
20,0 3000
Keterangan 1) Wahju (2007)
Tabel 2. Susunan dan komposisi nutrien ransum perlakuan
Perlakuan Bahan Pakan/ Nutrien (%) RI RII RIII RIV
Jagung 00,00 10,00 25,00 40,00
Bekatul 00,00 15,00 25,00 35,00
Konsentrat (BR1) 100,00 75,00 50,00 2500
Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00
Protein kasar 20 18,42 15,68 12,93
Energy (kkal/kg) 3000,00 2839,50 2770,00 2700.50
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
54
Metode Penelitian Pengelompokan ayam
Ayam sebanyak 60 ekor berumur
dua minggu secara acak didistribusikan ke
dalam empat perlakuan. Setiap perlakuan
terdiri tiga ulangan dan masing-masing
ulangan terdiri dari lima ekor ayam
kampung.
Pemberian pakan dan air minum
Pakan dan air minum diberikan dua
kali sehari pagi dan sore secara adlibitum.
Pengambilan data
1. Konsumsi pakan
Konsumsi pakan masing-masing
ulangan dihitung setiap minggu
sekali dengan menghitung selisih
dari pakan yang diberikan dengan
sisa pakan, kemudian dibagi dengan
jumlah ayam tiap kelompok
(gram/ekor/minggu).
2. Kenaikan berat badan
Kenaikan berat badan diperoleh
dengan cara mengurangi berat
badan pada minggu saat
pemeliharaan dengan berat minggu
sebelumnya (gram/ekor/minggu).
3. Konversi pakan
Konversi pakan dihitung setiap
minggu sekali selama penelitian
yang diperoleh dengan cara
membagi jumlah pakan yang
dikonsumsi dengan pertambahan
berat badan tiap minggu dengan
satuan berat yang sama.
Analisa Data
Penelitian ini dirancang menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola
searah. Data kinerja yang diperoleh
dianalisis menggunakan Analisis Variansi
(Anova), jika terdapat perbedaan yang
nyata maka dlanjutkan dengan Duncan’’s
New Multiple Range test (DMRT) menurut
Astuti (1980).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Pakan
Hasil penelitian tentang konsumsi
pakan ayam kampung untuk setiap
perlakuan tertera pada Tabel 3. Hasil
analisis variansi menunjukkan bahwa
konsumsi pakan dengan menggunakan
ransum berbasis konsentrat broiler (KB)
terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05).
Konsumsi pakan dipengaruhi beberapa
faktor, antara lain umur, ukuran tubuh,
palatabilitas, dan kualitas pakan yang
diberikan.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
55
Tabel 3. Rata-rata konsumsi pakan setiap perlakuan (g/ekor/minggu)
Ulangan Perlakuan 1 2 3
Rata-rata
297,42 325,51 310,29b
346,17 318,88 333,29ab
487,98 324,77 398,30a
R1 ( KB 100 %) 307,95
R2 ( KB 75 %) 334,81
R3 ( KB 50 %) 382,40
R4 ( KB 25 %) 345,43 320,17 307,16 324,25ab
Keterangan : a,b Nilai dengan superkrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
Hasil analisis variansi menunjukkan
bahwa penggunaan pakan yang berbasis
konsentrat broiler dalam ransum
berpengaruh nyata terhadap konsumsi
pakan ayam kampung (P<0,05). Jumlah
konsumsi pakan (g/ekor/minggu) pada
perlakuan R1 (100% konsentrat broiler)
lebih rendah dibanding dengan R3
(konsentrat broiler 50%) tetapi berbeda
tidak nyata dengan R2 (konsentrat broiler
75% ) dan R4 (konsentrat broiler 25%). Hal
ini dipengaruhi oleh komposisi nutrien
dalam ransum perlakuan yang diberikan
pada ayam kampung dimana kandungan
protein dan energinya berbeda (Tabel 2).
Tingkat protein dan energi pakan akan
berpengaruh terhadap konsumsi pakan.
Pakan yang mengandung protein dan enrgi
yang relatif sama menyebabkan konsumsi
pakannya sama. Setiap kenaikan enrgi
pakan akan menurunkan konsumsi pakan
dengan demikian kandungan protein pakan
harus meningkat. Menurut Parakkasi (1985)
ayam mengkonsumsi ransum terutama
untuk memenuhi kebutuhan energinya.
Ayam tidak dapat menyesuaikan diri
dengan ransumnya secara tepat tetapi
mengkonsumsi lebih banyak energi jika
kadar energi pakannya rendah (Anggorodi,
1985).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
konsumsi pakan ayam kampung pada
penelitian ini berkisar antara 310,29 –
398,38 g/ekor/minggu (Tabel 3). Hasil ini
hampir sama dengan penelitian Lestari
(2009) yaitu rerata konsumsi ayam
kampung pada umur 6-12 minggu berkisar
antara 319,31 – 327,04 g/ekor/minggu. Ini
menunjukkan bahwa pakan dengan
berbasis konsentrat broiler sampai aras
25% tetap palatabel untuk ayam kampung.
Pertambahan Bobot Badan Rata-rata pertambahan bobot badan
(g/ekor/minggu) untuk setiap perlakuan
tertera pada Tabel 4. Pertambahan bobot
badan hasil penelitian berkisar antara 87,29
– 20,91 g/ekor/minggu.
Hasil analisis variansi menunjukkan
bahwa penggunaan konsentrat broiler yang
disubtitusi jagung dan bekatul dalam
ransum berbeda secara nyata (P<0,05)
terhadap pertambahan berat badan ayam
kampung.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
56
Tabel 4. Rata-rata pertambahan berat badan setiap perlakuan (g/ekor/minggu)
Ulangan Perlakuan 1 2 3
Rata-rata
R1 ( KB 100 %) 115,73 127,78 119,23 120,91a
R2 ( KB 75 %) 120,53 119,72 117,89 119,38a
R3 ( KB 50 %) 105,70 104,92 106,70 105,77b
R4 ( KB 25 %) 82,73 97,33 81,82 87,29c
Keterangan : a,b,c Nilai dengan superkrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
Perbedaan pertambahan bobot
badan yang nyata ini disebabkan karena
kandungan nutrien dalam ransum yang
dikonsumsi mempunyai kandungan protein
dan energi yang berbeda. Pertambahan
bobot badan yang berbeda ini juga
disebabkann karena konsumsi pakan yang
juga berbeda antar perlakuan (Tabel 3). Hal
ini sesuai dengan pendapat Soeparno
(1994), yang menyatakan bahwa konsumsi
pakan merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan selain jenis
kelamin, hormon, kastrasi, genetik dan
jenis pakan yang diberikan.
Perlakuan R1 dan R2 berbeda tidak
nyata yang berarti pengurangan konsentrat
broiler sampai 25% tidak berpengaruh
nyata terhadap pertambahan berat badan
ayam kampung. Pertambahan bobot badan
pada perlakuan R3 berbeda nyata lebih
tinggi dibanding dengan R4 tetapi lebih
rendah dibanding dengan R1 dan R2.Hal ini
disebabkan oleh karena kandungan nutrien
pada R1, R2 dan R3 lebih baik dibanding
dengan R4 (Tabel 2).
Rerata pertambahan berat badan
hasil penelitian berkisar antara 87,29 –
120,91 g/ekor/minggu. Pertambahan berat
badan tersebut lebih tinggi dibandingkan
dnegan pendapat Murtidjo (1992) yaitu
sekitar 66 g/ekor/minggu. Hal ini diduga
karena kandungan nutrien perlakuan yang
cukup tinggi yaitu berkisar protein 20%
dengan energi 3000 kcal ME.
Konversi Pakan Konversi pakan rata-rata untuk tiap
perlakuan tertera pada Tabel 5. Konversi
pakan hasil penelitian berkisar antara 2,57
– 3,74.
Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa
penggunaan konsentrat broiler yang
disubtitusi jagung dan bekatul dalam
ransum berbeda secara nyata (P<0,05)
terhadap konversi pakan ayam kampung.
Perbedaan konversi pakan yang nyata ini
disebabkan karena konsumsi pakan yang
juga berbeda antar perlakuan (Tabel 3) dan
pertambahan berat badan juga berbeda
nyata (Tabel 4). Perlakuan R1 dan R2
berbeda tidak nyata yang berarti
pengurangan konsentrat broiler sampai
25% tidak berpengaruh nyata terhadap
konversi pakan ayam kampung.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
57
Tabel 5. Rata-rata konversi pakan setiap perlakuan
Ulangan Perlakuan 1 2 3
Rata-rata
R1 ( KB 100 %) 2,66 2,33 2,73 2,57b
R2 ( KB 75 %) 2,78 2,89 2,71 2,79b
R3 ( KB 50 %) 3,62 4,08 2,95 3,55a
R4 ( KB 25 %) 4,18 3,29 3,75 3,74a
Keterangan : a,b Nilai dengan superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
Konversi pakan pada perlakuan R3
berbeda tidak nyata dibanding dengan R4
tetapi lebih tinggi dibanding dengan R1 dan
R2. Hal ini menunjukkan bahwa
pengurangan konsentart broiler sampai
25% tetap menghasilkan konversi pakan
yang sama dengan penggunaan konsentrat
broiler 100% dan lebih efisien dibanding
dengan pengurangan konsentart 50 dan
75%.
Konversi pakan merupakan nilai
yang menggambarkan kemampuan unggas
untuk mengubah pakan menjadi daging.
Sesuai dengan Kamal (1999) bahwa
konversi pakan adalah hasil bagi antara
konsumsi pakan dengan pertambahan
berat/bobot badan dalam satuan berat dan
waktu yang sama. Hasil penelitian ini
menghasilkan konversi pakan antara 2,57 –
3,74, hasil ini hampir sama dibandingkan
pakan yang menggunakan bahan pakan
tepung aking (karak). Hasil penelitian
Lestari (2009) yang menggunakan tepung
aking dalam ransum ayam kampung
menghasilkan konversi pakan sebesar 3,11
– 3,42. Hal ini sesuai dengan pendapat
Kamal (1999) yang menyatakan bahwa
semakin kecil konversi pakan menunjukkan
bahwa ramsum yang dikonsumsi dapat
digunakan lebih efisien dalam
menghasilkan peningkatan bobot badan.
KESIMPULAN
Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa penggunaan ransum
berbasis konsentrat broiler 100 dan 75%
memberikan kinerja yang terbaik yaitu
konsumsi pakan yang lebih rendah,
pertambahan berat badan yang lebih tinggi
dan konversi pakan yang lebih rendah.
Saran Peternak ayam kampung dapat
memberikan ransum pada ternaknya
dengan pakan berbasis konsentrat broiler
75%.
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, R. 1985. Kemajuan Mutakhir Dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
58
Anonimus, 2009. Buku Statistik Peternakan. Ditjen Peternakan, Jakarta.
Astuti, M. 1980. Rancangan Percobaab dan Analisis Statistik Bagian I. Fakultas Peternakan, UGM, Yogyakarta.
Kamal, M., 1999, Nutrisi Ternak 1. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Murtidjo, B.A. 1992. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Kanisius, Yogyakarta.
Parakasi, A. 1985. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan IPB, Bandung.
Soeparno, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Wahju, J. 2007. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
59
KORELASI ANTARA KADAR GLIKOGEN, ASAM LAKTAT, pH DAGING DAN SUSUT MASAK DAGING DOMBA SETELAH PENGANGKUTAN
Sri Hartati Candra Dewi
Program Studi Peternakan, Fakultas Agroindustri Universitas Mercu Buana Yogyakarta e-Mail : [email protected]
ABSTRACT
An experiment was conducted to study the effects of sucrose supplementation, insulin injection, and resting period prior to slaughtering on meat quality in sheep exposed to stressful transportation. Fifty four female local sheep (10 to 12 months of age) with weight ranging from 14 to 17 kg. The experimental sheep were assigned into a completely randomized design with a 2x3x3 factorial arrangement with 3 replications. The first factor was sucrose supplementation wih 2 levels (0 and 6 g/kg body weight). The second factor was insulin injection after transportation with 3 levels (0, 0,3 and 0,6 IU/kgBW). The third factor was the duration of resting period with 3 levels (2, 4 and 6 h prior to slaughtering). Parameters measured were meat glycogen concentration, meat lactate concentration, meat pH, and meat cooking loss. The results of the experiment indicated that sheep supplemented with sucrose after transportation had higher meat glycogen and lactate concentration but lower meat pH and cooking loss. Which proved there was a significant correlation between glycogen and lactic acid with a correlation coefficient of 0.69 . Glycogen levels and pH of meat there was a definite correlation with a correlation coefficient of -0.57 . pH value and lactic acid content of sheep meat was a negative correlation ( coefficient -0.83 ). However, the pH of the meat and cooking loss correlation coefficient of 0.35. It was concluded that significant positive correlation between glycogen and lactic acid, but between glycogen levels and pH of meat a significant negative correlation. Lactic acid and pH value that significant negative correlation , while the meat pH value and meat cooking loss were not significant correlation.
Key words : sucrose, insulin, resting period, transportation, meat quality, sheep.
PENDAHULUAN
Pengangkutan ternak dilakukan
karena adanya jarak yang cukup jauh
antara sentra produksi ternak dengan
rumah potong hewan (RPH) yang ada di
lokasi konsumen. Hal ini disebabkan oleh
kondisi wilayah dan geografi Indonesia,
daerah-daerah sentra produksi ternak
umumnya memiliki lokasi yang berjauhan
dengan konsumen. Sebagai contoh
permintaan daging sapi, DKI Jakarta
merupakan daerah konsumen dengan
permintaan daging yang tinggi, namun tidak
dapat menunjang usaha produksi ternak.
Oleh sebab itu pemerintah daerah harus
mendatangkan ternak hidup dari daerah lain
seperti Lampung, Jawa Tengah, Jawa
Timur bahkan dari Sulawesi, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur,
yang menyebabkan ternak harus
mengalami pengangkutan yang cukup jauh
dan melelahkan dengan waktu yang cukup
lama.
Selama pengangkutan, ternak
berada dalam posisi berdiri dan tidak bebas
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
60
bergerak, sehingga akan mengalami stres.
Kondisi ini menjadi semakin parah oleh
kekurangan air minum dan atau pakan
selama transportasi. Ternak yang resisten
terhadap stres mampu mempertahankan
temperatur normal tubuh dan kondisi
homeostatik dalam otot-ototnya, dengan
mengorbankan cadangan glikogen. Menurut
Aberle et al. (2001), defisiensi glikogen
terjadi apabila ternak yang mengalami stres,
seperti yang berkaitan dengan kelelahan,
latihan, puasa dan gelisah, atau yang
langsung dipotong sebelum mendapat
istirahat yang cukup untuk memulihkan
cadangan glikogen ototnya. Defisiensi
glikogen otot pada ternak dapat
menyebabkan proses glikolisis pascamati
yang terbatas dan lamban, sehingga daging
yang dihasilkan mempunyai pH yang tinggi
dengan warna merah gelap atau dikenal
dengan istilah daging DFD (Dark Firm and
Dry).
Penanganan ternak setelah
pengangkutan dimaksudkan untuk memberi
kesempatan ternak dalam memulihkan
cadangan glikogen ototnya, antara lain
dengan mengistirahatkan ternak sebelum
dipotong. Selain itu, untuk mempercepat
pemulihan kondisi tubuh ternak tersebut
adalah memberikan larutan gula. Selama
transportasi ternak mengalami stres dan
berupaya untuk mempertahankan kondisi
fisiologis tubuhnya, sehingga otot
berkontraksi lebih cepat. Keadaan ini
memerlukan laju aliran darah yang
meningkat dalam otot, kondisi ini
menyebabkan peningkatan mobilisasi
glukosa. Hormon insulin merangsang
pemasukan glukosa darah ke dalam sel-sel
target, yang dalam hal ini kembali ke otot
(Turner-Bagnara, 1976).
Pemberian larutan glukosa pada
sapi selama pengurungan telah dilakukan
oleh Schaefer et al. (1990). Perlakuan
elektrolit dan glukosa memberikan
pengaruh yang positif terhadap warna
daging dan kualitas daging dengan grade
yang baik. Pemberian larutan elektrolit atau
glukosa untuk konsumsi sebelum
pemotongan akan mengurangi pengaruh
stres pengangkutan dan juga memperbaiki
kualitas daging dan hasil karkas.
METODE PENELITIAN
Materi Penelitian ini menggunakan 54 ekor
domba lokal betina, dengan kisaran umur
antara 10-12 bulan dengan bobot hidup
antara 14-17 kg. Domba yang digunakan
berasal dari Pasirangin, Megamendung,
Bogor. Gula pasir yang digunakan
sebanyak 3 kg, kristal insulin produksi
SIGMA (SIGMA I-5500) dan 2 liter larutan
natrium fisiologis.
Peralatan yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi timbangan, tali, jarum
suntik, jarum dan tabung venoject, satu set
pisau untuk menyembelih dan penyiapan
sampel, plastik dan peralatan untuk analisis
sampel darah dan daging.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
61
Metode A. Perlakuan yang Digunakan
Penelitian menggunakan rancangan
acak lengkap pola faktorial 2x3x3. Faktor
pertama adalah pemberian gula dengan 2
level, yaitu level 0 dan 6 g/kg bobot badan.
Faktor kedua adalah pemberian insulin
dengan 3 level yaitu 0, 0,3 dan 0,6 IU/ekor.
Faktor ketiga adalah lama istirahat yang
terdiri atas 3 level yaitu 2 jam, 4 jam dan 6
jam dan masing-masing diulang 3 kali.
Transportasi dilakukan selama 4 jam
(dari 07.00 sampai 11.00 WIB) dengan
menggunakan mobil bak Hijet 1000, setiap
pengangkutan sebanyak 9 ekor. Di dalam
mobil domba dibiarkan berdiri dengan
kepadatan 0,145 m2/ekor. Sebelum
diangkut, domba ditimbang, sampel darah
diambil serta denyut nadi dan temperatur
rektal diukur.
Setelah selesai penimbangan,
domba dinaikkan ke dalam mobil angkutan.
Rute transportasi adalah dimulai dari
Pasirangin menuju Gunung Geulis, Tapos,
Ciawi, Empang, Gunungbatu dan berakhir
di Fakultas Peternakan Institut Pertanian
Bogor Darmaga.
Setelah domba-domba sampai di
kandang transit, sampel darah diambil serta
denyut nadi dan temperatur rektal diukur
kemudian domba percobaan dibagi sesuai
perlakuan. Sampel darah diambil sebanyak
10 ml dari bagian vena jugularis, dengan
menggunakan jarum dan tabung venoject.
Pemberian gula pasir dilakukan
dengan menimbang sejumlah gula sesuai
perlakuan, kemudian dilarutkan dalam 200
ml air. Larutan gula tersebut diminumkan
dengan menggunakan botol sampai habis.
Larutan gula diminumkan kepada domba
dalam keadaan berdiri dan dipegang pada
bagian depan, kemudian larutan gula dalam
botol dimasukkan ke dalam mulut dan
domba meminumnya sampai habis. Insulin
yang digunakan adalah berbentuk kristal
dan diperoleh dari pankreas sapi (SIGMA I-
5500). Kristal insulin tersebut dilarutkan
dalam larutan garam fisiologis. Setelah
disiapkan dalam alat suntik sesuai
perlakuan, disuntikkan pada bagian paha
belakang.
Setelah pemberian larutan gula dan
penyuntikan insulin selesai, domba
diistirahatkan selama 2 jam, 4 jam dan 6
jam kemudian dipotong. Sebelum dipotong
domba ditimbang dan sampel darah
diambil.
Domba dipotong dengan cara
mengikat keempat kaki, dan kemudian
dibaringkan di lantai, kemudian dipotong
pada bagian leher yaitu pada arteri karotis,
vena jugularis dan esofagus. Setelah mati,
domba digantung dengan kaki belakang di
atas. Kepala dan kaki dilepas, kemudian
dilakukan pengulitan, dan pengeluaran
organ dalam dan saluran pencernaan.
Setelah bersih, karkas ditimbang dan
dibelah menjadi dua bagian. Sampel daging
yang digunakan adalah paha bagian
belakang sebelah kanan. Sampel daging
dilayukan dengan cara digantung di dalam
chilling room pada suhu 4 0C selama 48
jam, kemudian dilakukan analisis kualitas
fisik. Analisis glikogen dilakukan pada
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
62
daging yang belum dilayukan ( 1 jam post-
mortem).
Peubah yang diamati pada
penelitian ini meliputi kadar glikogen
daging, kadar asam laktat daging, pH, dan
susut masak.
Kadar Glikogen Daging Kadar glikogen daging dianalisis
dengan metode Seifter et al. (1950),
menggunakan bahan-bahan sebagai berikut
:
- 95% asam sulfat (sulfuric acid = SA)
yaitu 5 ml H2O ditambah 95 ml SA.
- 0,2% anthrone (0,2 g anthrone
ditambah 95% SA sehingga mencapai
volume 100 ml).
- 30% KOH (30 g KOH ditambah H2O
sampai mencapai volume 100 ml).
- 95% etanol (ethyl alkohol).
Prosedur analisisnya yaitu KOH
30% sebanyak 1 ml ditambahkan pada
sampel sebanyak 25 mg dalam tabung
reaksi, kemudian dipanaskan dalam
penangas air selama 20 menit. Setelah itu
ditambahkan dengan etanol dan kemudian
disentrifus selama 20 menit pada kecepatan
2500 rpm.
Endapan yang tersisa dipisahkan
dari larutan (supernatan) hasil sentrifus
yang ada di atas, kemudian ditambahkan
2,5 ml H2O dan 3 ml larutan anthrone lalu
dihomogenkan dengan vorteks. Setelah itu
dibaca dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang () 620 nm. Kurva
standar untuk glikogen :
250 : 250 g dari standar + 750 l H2O
200 : 200 g dari standar + 800 l H2O
150 : 150 g dari standar + 850 l H2O
100 : 100 g dari standar + 900 l H2O
75 : 75 g dari standar + 925 l H2O
50 : 50 g dari standar + 950 l H2O
25 : 25 g dari standar + 975 l H2O
Kadar Asam Laktat Daging Analisis kadar asam laktat daging
dilakukan dengan menggunakan
kromatografi cairan model 510 Waters
(HPLC atau High Performance Liquid
Chromatography) yang dilengkapi dengan
UV Spectrophotometric Detector model 440
absorbance, integerator model Waters Data
Module tipe 740.
Prosedur analisisnya yaitu asam
perklorat (HClO4) 6% sebanyak 10 ml
ditambahkan pada sampel daging sebanyak
2 gram dalam beaker glass, kemudian
diektraksi. Larutan diambil dan dinetralisasi
dengan menambahkan KOH 10% sampai
pH larutan netral (pH 7,0) dan terbentuk
endapan warna putih. Larutan dimasukkan
ke dalam gelas ukur dan ditambahkan
aquades sampai mencapai 20 ml. Setelah
itu disaring, kemudian filtrat sebanyak 20
mikroliter dimasukkan ke dalam jarum
injeksi dan diinjeksikan dalam alat HPLC.
pH Daging Pengukuran pH daging dilakukan
dengan menggunakan alat pH meter.
Sampel daging yang sudah dihaluskan
sebanyak 10 gram dimasukkan ke dalam
beaker glass, dan diencerkan dengan
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
63
akuades sampai 100 ml, kemudian
dicampur dengan menggunakan blender
selama 1 menit. Setelah itu diukur pHnya
dengan pH meter yang telah dikalibrasi.
Susut Masak Daging (Cooking Loss) Susut masak adalah perbedaan
antara bobot daging sebelum dan sesudah
dimasak, dinyatakan dalam persen (%).
Sampel daging sebanyak 100 gram yang
telah ditancapkan pada termometer bimetal
sampai menembus bagian tengah sampel
daging, dimasukkan ke dalam air mendidih.
Setelah termometer bimetal mencapai
angka 81 0C, sampel daging diangkat dan
didinginkan selama 60 menit dan ditimbang
setiap 30 menit sampai bobotnya konstan.
Analisis Data
Percobaan disusun berdasarkan
rancangan acak lengkap pola faktorial
2x3x3. Faktor pertama adalah pemberian
gula dengan 2 level yaitu 0 dan 6 g/kg
bobot badan. Faktor kedua adalah
pemberian insulin dengan 3 level yaitu 0,
0,3 dan 0,6 IU/ekor. Faktor ketiga adalah
lama istirahat dengan 3 level yaitu 2 jam, 4
jam dan 6 jam. Masing-masing unit
percobaan diulang 3 kali. Data yang
diperoleh dianalisis dengan analisis sidik
ragam (Steel dan Torrie, 1991). Perbedaan
antar perlakuan diuji berdasarkan nilai
kuadrat tengah terkecil (least square mean,
SAS, 1999).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penanganan ternak sebelum
pemotongan merupakan faktor yang cukup
penting dalam menghasilkan daging
dengan kualitas yang baik, sehingga ternak
yang dihasilkan dari proses penggemukan
yang baik tidak sia-sia. Penanganan ternak
sebelum pemotongan meliputi
pengangkutan dari tempat penggemukan ke
RPH dan penanganan selama di kandang
penampungan RPH. Pengangkutan ternak
merupakan faktor penyebab stres yang
potensial karena selama pengangkutan
ternak mengalami kelelahan, ketakutan dan
pemuasaan. Intensitas stres dipengaruhi
oleh jarak dan lama perjalanan, tingkah laku
ternak, bentuk pengangkutan, tingkat
kepadatan ternak waktu pengangkutan,
keadaan iklim, penanganan selama
perjalanan, keefektifan istirahat dan sifat
kerentanan terhadap stres (Lawrie 1995).
Stres pengangkutan mengakibatkan
penurunan bobot badan, persentase
karkas, luka memar, kekurangan oksigen
dan penurunan kadar glikogen otot. Kadar
glikogen otot akan mempengaruhi produksi
asam laktat dan pH daging, yang dapat
menyebabkan terjadinya penyimpangan
kualitas daging.
Di negara yang mempunyai industri
daging yang sudah maju penyimpangan
kualitas daging merupakan masalah yang
penting, karena merugikan dari segi
ekonominya dengan penurunan harga
antara 25 dan 30% dari harga daging
normal. Di Indonesia belum ada data
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
64
tentang kejadian penyimpangan kualitas
daging. Kejadian penyimpangan kualitas
daging dapat lebih tinggi daripada di negara
yang mempunyai industri daging yang
sudah maju, karena kondisi iklim tropis dan
cara pengangkutan ternak yang kurang
memenuhi syarat untuk kesejahteraan
ternak.
Proses pemuatan dan perjalanan
penuh stres, yang diperlihatkan oleh
meningkatnya denyut jantung dan suhu
rektal. Kadar glukosa darah meningkat
setelah pengangkutan dapat disebabkan
oleh glikogenolisis yang dirangsang oleh
katekolamin. Bobot hidup domba
mengalami penyusutan setelah
pengangkutan dan istirahat di kandang
penampungan. Susut bobot hidup dapat
disebabkan oleh susut isi saluran
pencernaan dan kandung kemih. Knowles
et al. (1995) menyatakan bahwa pada 3 jam
pertama pengangkutan terjadi peningkatan
kadar glukosa darah, denyut jantung dan
penyusutan bobot hidup.
Penanganan ternak setelah
pengangkutan dilakukan untuk memberi
kesempatan pada ternak untuk memulihkan
cadangan glikogen otot. Penanganan
ternak setelah pengangkutan dalam
penelitian ini dilakukan dengan cara
memberi gula dan insulin serta
mengistirahatkan ternak sebelum dipotong.
Dalam penelitian ini ternyata pemberian
gula sebanyak 0,6% dari bobot badan dapat
meningkatkan kadar glikogen daging dan
kadar asam laktat daging, menurunkan nilai
pH akhir dan susut masak. Pemberian
insulin sebanyak 0,3 dan 0,6 IU
menurunkan kadar glukosa darah,
meningkatkan kadar glikogen dan asam
laktat daging. Sedang periode lama istirahat
menurunkan kadar glukosa darah.
Kadar glikogen daging meningkat
karena pemberian gula 0,6% dan insulin.
Peningkatan kadar glikogen daging diduga
disebabkan karena adanya proses
glukoneogenesis dari hasil pencernaan
yaitu asam propionat, asam laktat maupun
asam amino glukogenik dan gliserol. Kadar
glikogen akan mempengaruhi kadar asam
laktat daging yang dihasilkan selama
proses konversi otot menjadi daging.
Pearson dan Young (1989) menyatakan
bahwa peran utama glikogen dalam otot
post-mortem adalah melepaskan glukosa,
yang dapat dipakai untuk mengisi senyawa
fosfat energi tinggi (ATP). Glikogen
dirombak secara besar-besaran dan sangat
bertanggung jawab dalam pembentukan
asam laktat daging, yang menimbulkan
penurunan pH yang terjadi dalam otot post-
mortem. Oleh karena itu glikogen pada
akhirnya bertanggung jawab terhadap
perubahan-perubahan dalam sifat-sifat
daging yang menyertai penurunan pH
dengan berlanjutnya glikolisis.
Pada penelitian ini kadar glikogen
otot yang tinggi akan menghasilkan asam
laktat yang tinggi pula, yang terbukti bahwa
terdapat korelasi yang nyata antara
glikogen dan asam laktat dengan koefisien
korelasi sebesar 0,69 (Gambar 1).
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
65
Gambar 1. Hubungan antara kadar glikogen dan asam laktat daging domba
Pada gambar 1., nampak bahwa
kadar asam laktat daging mempunyai
korelasi yang erat dengan kadar glikogen
daging, dengan nilai koefisien korelasi 0,69.
Persamaan Y = 65,09X – 4,69
menunjukkan bahwa dengan meningkatnya
kadar glikogen daging sebesar 1 %, maka
kadar asam laktat meningkat sebesar 65,09
mol/g. Warriss et al. (1984) menyatakan
bahwa pada otot longissimus dorsi dari sapi
yang mempunyai kadar glikogen otot yang
lebih tinggi, maka kadar asam laktat juga
tinggi. Selain itu, kadar glikogen daging juga
mempengaruhi nilai pH akhir daging yang
dihasilkan.
Pada penelitian ini antara kadar
glikogen dan pH daging terdapat korelasi
yang nyata dengan koefisien korelasi
sebesar –0,57 dengan persamaan Y=-
0,81X+6,67 (Gambar 2). Koefisien korelasi
yang negatif menunjukkan bahwa semakin
tinggi kadar glikogen maka semakin rendah
pH dagingnya, dan dengan meningkatnya
kadar glikogen daging sebesar 1% maka
pH turun sebesar 0,81 poin. Sanz et al.
(1996) menyatakan bahwa daging sapi
dengan
kadar glikogen yang tinggi maka
nilai pH akhir dibawah 6,0, sedang daging
yang mempunyai kadar glikogen rendah
maka nilai pH akhir di atas 6,0. Leheska et
al. (2003) menyatakan bahwa jumlah
glikogen, glukosa dan glukosa-6-fosfat yang
rendah, asam laktat daging juga rendah.
y = 65.09x - 4.69R2 = 0.48
10
30
50
70
90
0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.1 1.2
Glikogen (%)
Asa
m L
akta
t (um
ol/g
)
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
66
Gambar 2. Hubungan antara kadar glikogen dan pH daging domba.
Asam laktat daging sangat
mempengaruhi nilai pH daging, dimana
daging dengan asam laktat yang tinggi
mempunyai pH yang rendah. Pada Gambar
3, nampak bahwa nilai pH berbanding
terbalik dengan kadar asam laktat daging
domba, dengan koefisien korelasi -0,83 dan
persamaan garis Y=-0,01X+ 6,63 .
Koefisien korelasi yang negatif
menunjukkan bahwa jika kadar asam laktat
daging tinggi maka nilai pH akhir daging
rendah, dimana apabila kadar asam laktat
meningkat sebesar 1 mol/g maka pH turun
sebesar 0,01 poin. Chrystall et al. (1981)
menyatakan bahwa domba-domba yang
diistirahatkan memiliki nilai pH akhir yang
rendah dan kandungan asam laktat yang
tinggi yang mencerminkan cadangan awal
glikogen yang tinggi. Warriss et al. (1984)
menyatakan bahwa pH daging dipengaruhi
oleh kadar glikogen dan kadar asam laktat
daging, dimana jika kadar glikogen tinggi
maka kadar asam laktat juga tinggi
sehingga pH akhir daging rendah. Aryogi
(2000) menyebutkan bahwa nilai pH daging
sapi Bali yang mengalami stres
pengangkutan (6,01) berbeda tidak nyata
dengan sapi yang diberi gula aren 5 g/kg
berat badan setelah pengangkutan (5,96),
tetapi pada daging sapi yang tidak diberi
gula aren lebih mudah ditumbuhi bakteri
sehingga lebih cepat busuk.
Penurunan nilai pH daging
ditentukan oleh kadar glikogen dan kadar
asam laktat daging. Setelah hewan
dipotong maka selama konversi otot
menjadi daging akan berlangsung proses
glikolisis dalam keadaan anaerob.
y = -0.01x + 6.63R² = 0.70
5.65.75.85.9
66.16.26.36.46.5
30 40 50 60 70 80
pH
Asam laktat (umol/g)
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
67
y = 5.87x - 7.00R2 = 0.12
10
20
30
40
5.6 5.7 5.8 5.9 6.0 6.1 6.2 6.3 6.4
pH
Susu
t mas
ak (%
)
Gambar 3. Hubungan antara kadar asam laktat daging dan pH daging domba
Pada proses glikolisis anaerob, akan
terjadi perombakan glikogen menjadi asam
laktat untuk menghasilkan energi yang
dibutuhkan dengan cepat. Proses ini akan
berlangsung terus sampai cadangan
glikogen otot habis atau sampai pH cukup
rendah untuk menghentikan aktivitas enzim-
enzim glikolitik. Apabila cadangan glikogen
banyak maka asam laktat yang dihasilkan
dari proses glikolisis anaerob juga banyak,
sehingga cukup untuk menurunkan pH
sampai mencapai titik isoelektrik pada pH
5,4 – 5,6.
Nilai pH akhir daging juga
berhubungan dengan susut masak daging,
dimana pada pH daging yang rendah
mempunyai susut masak yang rendah.
Meskipun korelasinya tidak begitu besar
dengan koefisien korelasi sebesar 0,35.
Pada Gambar 4, nampak bahwa nilai susut
masak dan pH menunjukkan adanya
hubungan linier, dengan persamaan garis Y
= 5,87 X – 7,00 dan nilai koefisien korelasi
0,35. Peningkatan nilai pH daging 1 poin
akan meningkatkan susut masak sebesar
5,87%. Wahyuni (1998) menyatakan bahwa
daging dari sapi yang tidak diistirahatkan
setelah transportasi cenderung mempunyai
nilai pH lebih tinggi dan susut masak yang
lebih tinggi juga.
Lama periode istirahat
mempengaruhi penurunan bobot badan,
persentase karkas yang dihasilkan dan
kadar glukosa darah sebelum pemotongan.
Dari hasil penelitian ini berarti bahwa lama
periode istirahat dapat dipersingkat
waktunya karena adanya perlakuan yang
diberikan dalam penanganan ternak setelah
pengangkutan.
Apabila penanganan ternak setelah
pengangkutan baik, maka kondisi ternak
akan segera pulih dan menghasilkan
kualitas daging yang baik. Namun, apabila
penanganan selama istirahat sebelum
pemotongan kurang baik, maka dengan
memperpanjang periode istirahat akan
semakin merugikan karena ternak semakin
stres.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
68
y = 5.87x - 7.00R2 = 0.12
10
20
30
40
5.6 5.7 5.8 5.9 6.0 6.1 6.2 6.3 6.4pH
Susu
t mas
ak (%
)
Gambar 4. Hubungan antara pH dan susut masak daging domba
Puolanne dan Aalto (1981)
menyatakan bahwa pada sapi jantan
periode istirahat lebih dari 8 jam sebelum
dipotong akan meningkatkan frekuensi
DFD. Augustini (1981) menyatakan bahwa
perpanjangan periode istirahat akan
menurunkan persentase daging normal.
Periode istirahat setelah 5 sampai 8 jam
hanya 60% daging yang mempunyai pH <
5,9 dan 37% daging yang mempunyai pH <
5,6. Wythes (1981) menyatakan bahwa sapi
yang telah mengalami pengangkutan dapat
menormalkan kembali kondisi tubuhnya
dengan istirahat selama 24 – 48 jam disertai
pemberian makan dan minum yang cukup.
Perpanjangan waktu istirahat dapat
berakibat sejelek istirahat singkat, karena
selama istirahat ternak belum tentu dapat
tenang dan mau makan dengan baik.
Fabianson et al. (1984) mengemukakan
bahwa lamanya istirahat tergantung dari
keadaan lingkungan dan kondisi ternak saat
diistirahatkan.
Dari hasil penelitian ini dapat
diperoleh gambaran penanganan ternak
setelah pengangkutan, bahwa pemberian
gula 0,6% dari bobot badan dapat
menurunkan pH akhir daging. Pemberian
insulin sebanyak 0,3 IU dapat memperbaiki
kadar glikogen daging. Lama periode
istirahat 2 jam setelah domba mengalami
pengangkutan selama 4 jam dapat
diterapkan. Istirahat selama 2 jam dengan
pemberian gula 0,6% baik dengan insulin
maupun tidak, pH dagingnya paling rendah
yaitu 5,72. Meskipun interaksinya tidak
nyata, tetapi pH daging pada kombinasi
perlakuan pemberian gula 0,6% dan 2 jam
istirahat paling rendah di antara kombinasi
perlakuan. Pada lama istirahat 4 dan 6 jam
cenderung lebih tinggi, berarti penambahan
waktu istirahat tidak memberikan efek yang
menguntungkan.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
69
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Dari hasil penelitian ini disimpulkan
bahwa penanganan ternak setelah
pengangkutan, dengan lama istirahat 2 jam,
pemberian gula 6 g/kg bb dari bobot badan
dapat menurunkan pH akhir daging.
Pemberian insulin sebanyak 0,3 IU dapat
memperbaiki kadar glikogen daging.
Dengan demikian dapat mencegah
terjadinya daging DFD yang mempunyai
kualitas rendah.
Selain itu, terdapat korelasi positif
yang nyata antara glikogen dan asam laktat
dengan, tetapi antara kadar glikogen dan
pH daging terdapat korelasi negatif yang
nyata. Asam laktat daging dan nilai pH
daging kolerasi negatif yang nyata,
sedangkan nilai pH daging dan susut
masak daging korelasinya tidak nyata.
Saran
Salah satu penanganan ternak
setelah pengangkutan adalah dengan
pemberian gula, insulin dan diistirahatkan.
Tujuannya untuk mengurangi pengaruh
negatif stres pengangkutan, terutama untuk
menghasilkan daging yang berkualitas
tinggi baik yang dipasarkan ke hotel,
restoran, pasar swalayan maupun pasar
tradisional.
DAFTAR PUSTAKA
Aberle ED, Forrest JC, Gerrard DE, Mills
EW. 2001. Principles of Meat
Science. Ed ke-4. Kendall/Hunt
Publishing Co. USA.
Aryogi. 2000. Potensi gula aren untuk
meningkatkan kualitas karkas sapi
potong kondisi stres. Buletin
Peternakan. Edisi Tambahan.
Volume 1: 30-33.
Augustini C. 1981. Influence of holding
animals before slaughter. Di dalam:
Hood DE, Tarrant PV, editor. The
Problem of Dark-Cutting in Beef.
Martinus Nijhoff Publishers. The
Hague, Boston and London. 377-
386.
Chrystall BB, Devine CE, Davey CL, Kirton
AH. 1981. Animal stress and its
effect on rigor mortis development
in lambs. Di dalam: Hood DE,
Tarrant PV, editor. The Problem of
Dark-Cutting in Beef. Martinus
Nijhoff Publishers. The Hague,
Boston and London. 269-280.
Fabianson S, Erichsen I, Reutersward AL.
1984. The incidence of dark-cutting
beef in Sweden. Meat Sci. 10:21-
33.
Knowles TG, Brown SN, Warriss PD,
Phillips AJ, Dolan SK, Hunt P, Ford
JE, Edwards JE, Watkins PE. 1995.
Effects on sheep of transport by
road for up to 24 hours. Veterinary
Record. 136: 431-438.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
70
Lawrie RA. 1995. Ilmu Daging.
Terjemahan. A. Parrakasi. Ed ke-5.
UI Press. Jakarta.
Leheska JM, Wulf DM, Maddock RJ. 2003.
Effects of fasting and transportation
on pork quality development and
extent of post-mortem metabolism.
J. Anim. Sci. 81:3194-3202.
Pearson AM, Young RB. 1989. Muscle and
Meat Biochemistry. Academic
Press, Inc. San Diego, California.
391-432.
Poulanne E, Aalto H. 1981. The incidence
of dark-cutting beef in young bulls in
Finland. Di dalam: Hood DE,
Tarrant PV, editor. The Problem of
Dark-Cutting in Beef. Martinus
Nijhoff Publishers. The Hague,
Boston and London. 462-475.
Sanz MC, Verde MT, Saez T, Sanudo C.
1996. Effect of breed on the muscle
glycogen content and dark-cutting
incidence in stressed young bulls.
Meat Sci. 43:37-42.
SAS. 1999. SAS User’s Guide : Statistics
Version. Ed Ke-5. Statistical
Analysis System Institute, Cary.
N.C.
Schaefer AL, Jones SDM, Tong AKW,
Young BA. 1990. Effect of transport
and electrolyte supplementation on
ion concentration, carcass yield and
quality in bulls. Can. J. Anim. Sci.
70:107-119.
Seifer S, Dayton S, Novic B, Muntwler E.
1950. The estimation of glycogen
with the anthrone reagent. Arch.
Biochem. 25 : 191 – 196.
Steel RGD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan
Prosedur Statistika (Suatu
Pendekatan Biometrik). Cetakan
kedua. Alih Bahasa : Bambang
Sumantri. Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Turner-Bagnara. 1976. Endokrinologi
Umum. Ed. Ke-6. Airlangga
University Press. Surabaya.
Wahyuni I. 1998. Pengaruh kondisi
transportasi dan lama istirahat
terhadap sifat-sifat daging sapi
[tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Warriss PD, Kestin SC, Brown SN, Wilkins
LJ. 1984. The time required for
recovery from mixing stress in
young bulls and the prevention of
dark-cutting beef. Meat Sci. 10:53-
68.
Wythes JR, Ramsay WR. 1994. Beef
Carcass Composition and Meat
Quality. Queensland Departement of
Primary Industries. Brisbane.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
71
PERAN ABA DAN PROLINA DALAM MEKANISME ADAPTASI TANAMAN BAWANG MERAH TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN DI TANAH PASIR PANTAI
F. Didiet Heru Swasono Program Studi Agroteknologi
Fakultas Agroindustri Universitas Mercu Buana Yogyakarta
Email : [email protected]
ABSTRACT
Drought stress is one of the problems encountered in the crops cultivation in coastal sandy soil. Drought stress can occur in crops because of the imbalance of water supply to the water needs of crops. In naturally, the crops will immediately respond when experiencing drought stress. Crop responses to draught stress are influenced by the varieties differently.This study aims to uncover the role of ABA and proline in the mechanisms of shallots adaptation to drought stress in coastal sandy soil. The result showed that: (1) found differences in response relative water content of leaves, ABA and proline content of shoot between tolerant and sensitive varieties to drought stress; (2)The shallots adaptation mechanisms to drought stress is characterized by a decrease in relative water content of leaves that causes an increase in the content of ABA and proline in sensitive varieties but does not occur in tolerant varieties.
Keywords: ABA, proline, adaptation mechanism, drought stress, shallot, coastal sandy soil
PENDAHULUAN
Pemanfaatan tanah pasir pantai
untuk kepentingan pertanian di Indonesia
merupakan salah satu alternatif pemecahan
masalah keterbatasan lahan. Kawasan
Indonesia berupa kepulauan sehingga akan
tersedia lahan pantai yang luas, namun
demikian tanah di kawasan pantai pada
umumnya belum memadai untuk budidaya
tanaman. Selain tanah yang kurang subur
dan didominansi pasir menjadi penyebab
munculnya sifat fisik tanah yang merugikan
yakni butiran tanah yang lepas-lepas. Hasil
analisis tanah menunjukkan bahwa tanah
pasir pantai didominansi fraksi pasir
(94,68%) dengan porositas yang tinggi
yakni 36,35%. Kandungan C organik
(1,09%) dan kandungan hara lain relatif
rendah. Tanah pasir dengan ciri porositas
yang tinggi akan menyebabkan tanah
mudah meresapkan air dan hara mudah
terlindi. Kondisi demikian akan diikuti
persoalan lain yakni tanaman akan
mengalami cekaman kekeringan (Swasono,
2005). Lebih lanjut diungkapkan bahwa
kontaminasi garam dijumpai di udara dekat
permukaan tanah karena percikan air
bergaram oleh akibat deburan ombak yang
diikuti tiupan angin kencang. Namun
demikian kontaminasi garam di udara dekat
permukaan tanah tersebut tidak
menyebabkan meningkatnya kandungan
garam di tanah. Garam di permukaan tanah
akan segera hilang karena pelindian baik
oleh sebab pengairan maupun hujan.
Tanaman bawang merah
merupakan komoditi yang dapat
dibudidayakan di tanah pasir pantai.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
72
Keberhasilan budidaya tanaman tersebut
dipengaruhi oleh tersedianya varietas-
varietas yang toleran terhadap cekaman
lingkungan tanah pasir pantai, termasuk di
antaranya mampu beradaptasi pada kondisi
tercekam kekeringan. Penurunan kadar air
tanah sampai 60% air tersedia sudah
menyebabkan terjadinya cekaman
kekeringan tanaman bawang merah di
tanah pasir pantai (Swasono, 2005).
Berbeda dengan hasil percobaan Sufyati
(1999) yang mengungkapkan bahwa
tanaman bawang merah akan mengalami
cekaman kekeringan pada kadar air tanah
85% air tersedia. Perbedaan tersebut
diduga terjadi oleh karena jenis tanah uji
yang berbeda. Pada percobaan Sufyati
(1999) menggunakan tanah regosol,
sedang pada percobaan ini menggunakan
tanah pasir pantai. Sejalan dengan
Kertonegoro (2001) berpendapat bahwa
perbedaan jenis tanah akan menyebabkan
perbedaan kapasitas kandungan air tanah.
Kondisi yang sangat berbeda antara tanah
regosol dan tanah pasir pantai
menyebabkan tanggap tanaman bawang
merah yang berbeda terhadap cekaman
kekeringan.
Berdasarkan informasi terdahulu,
tampaknya diperlukan penelitian guna
mengungkap peran ABA dan prolina dalam
mekanisme adaptasi tanaman bawang
merah terhadap cekaman kekeringan di
lahan pasir pantai.
MATERI DAN METODE
Percobaan pot menggunakan
rancangan perlakuan faktorial dengan
rancangan lingkungan rancangan acak
lengkap (RAL). Ada dua faktor yang diteliti
yakni varietas bawang merah (yakni
varietas peka dan varietas toleran) dan
kadar air tanah (yakni : kadar air tanah
100% air tersedia (kontrol) dan kadar air
tanah 60% air tersedia yang telah
menyebabkan cekaman kekeringan).Tanah
pasir digunakan sebagai media tanam
bawang merah diambil dari kawasan Pantai
Samas Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta pada lapisan top soil
kedalaman 0-20 cm secara komposit
pada area yang berjarak 200-600 meter
dari garis pantai (area yang perspektif
dikembangkan sebagai kawasan budidaya
tanaman pertanian). Selanjutnya tanah
tersebut dikering anginkan selama satu
minggu, kemudian diayak dengan ayakan
berdiameter 2 mm sehingga diperoleh
tanah yang homogen, dan masing-masing
pot diisi tanah kering udara sebanyak 5 kg.
Peubah tumbuh tanaman (yakni : bobot
kering akar) dan analisis tanaman (yakni:
KAR, kandungan ABA dan prolina)
merupakan parameter yang diamati pada
penelitian ini. Prosedur analisis kandungan
ABA mengacu Popova et al. (2000) yang
terinci sebagai berikut : Dibuat larutan
pertama yakni 250 g bagian daun
tanaman dalam 200 l 80% (vv).
Selanjutnya dibuat larutan kedua yakni 200
l 100% methanol dengan butylated
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
73
hydroxytoluen (100mg/l) pada suhu 40C
selama 24 jam di ruang gelap. Dibuat
larutan ketiga yang nerupakan campuran
larutan pertama dan kedua dan dibekukan
dengan N2 cair. Selanjutnya diambil larutan
ketiga sebanyak 50 l dan direaksikan
dengan 200 l Tris-buffered garam ( 50 mM
Tris-Cl pH 7,8 dicampur dengan 150 mM
NaCl dan 1 mM MgCl2). Estimasi
kandungan ABA menggunakan teknik
enzime-amplified ELISA. Sementara
prosedur pengukuran prolina bebas
mengacu prosedur Laboratorium Kimia
Terpadu IPB sebagai berikut : Bahan
tanaman (daun dan akar) lebih kurang 0,5 g
dihomogenkan dalam 10 ml 3% (b/v) asam
sulfosalisilat. Larutan homogen tersebut
disaring dengan kertas Whatman. Filtrat (2
ml) direaksikan dengan 2 ml ninhidrin asam
( 25 g ninhidrin dalam 30 ml asam asetat
glasial dan 20 ml 6 M asam fosfat) dan 2 ml
asam asetat glasial dalam tabung reaksi
selama 1 jam pada suhu 1000 C, dan reaksi
diakhiri dalam bak berisi air es. Campuran
hasil reaksi tersebut diekstraksi dengan 4
ml toluen, diaduk dengan vorteks selama
15-20 detik. Kromofor yang mengandung
toluen dikeluarkan dari fase cair,
dihangatkan pada suhu kamar. Absorban
diukur pada panjang gelombang 520 nm,
dan toluen digunakan sebagai blangko.
Konsentrasi prolina ditentukan dengan
kurva standar prolina (Sigma).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Varietas-varietas bawang merah
(yakni varietas peka dan varietas toleran)
mempunyai tanggapan yang berbeda
terhadap cekaman kekeringan di tanah
pasir pantai. Lebih jauh diungkapkan
bahwa cekaman kekeringan menyebabkan
perubahan morfofisiologi tanaman bawang
merah baik pada varietas toleran maupun
peka yakni pada peubah kandungan air
relatif (KAR) daun, bobot kering akar,
maupun kandungan prolina dan ABA tajuk.
Gambar 1 menunjukkan bobot kering dan
KAR daun tanaman bawang merah hasil
penelitian.
Kandungan air relatif (KAR) daun
varietas toleran cenderung lebih tinggi
dibanding varietas peka. Kondisi tersebut
disebabkan oleh pertumbuhan akar
varietas toleran yang lebih baik
dibandingkan varietas peka (Gambar 1).
Sejalan dengan pendapat Passioura (1996)
yang menyatakan bahwa perubahan
perkembangan akar merupakan salah satu
tanggap tanaman terhadap cekaman
kekeringan. Lebih lanjut Monneveux dan
Belhassen (1996) menegaskan bahwa
pengaturan transpirasi merupakan
mekanisme adaptasi tanaman terhadap
cekaman kekeringan.
Peningkatan kandungan prolina dan
ABA di tajuk tanaman pada saat tanaman
mengalami cekaman kekeringan (Gambar
2), merupakan petunjuk keterlibatan
keduanya dalam mekanisme adaptasi
tanaman bawang merah terhadap cekaman
kekeringan.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
74
= Varietas peka = Varietas toleran
Gambar 1. Bobot kering akar dan KAR daun tanaman bawang merah pada kondisi cukup air dan tercekam kekeringan
Sejalan dengan pendapat Maestri et
al. (1995) dan Cristine et al. (1996)
menyatakan bahwa akan terjadi
peningkatan kandungan prolina di tajuk
tanaman pada saat tanaman mengalami
cekaman kekeringan. Kejadian yang sama
juga terjadi pada kandungan ABA di tajuk.
Penurunan potensial air tanah
menyebabkan peningkatan kandungan ABA
(Davies dan Zhang, 1991) dan
menunjukkan hubungan linier dengan
transpirasi (Tardieu et al., 1996).
Keterkaitan ABA dan prolina dalam
mekanisme adaptasi tanaman terhadap
cekaman kekeringan dapat diilustrasikan
pada Gambar 3.
= Varietas peka = Varietas toleran Gambar 2. Kandungan prolina dan ABA tanaman bawang merah pada kondisi
cukup air dan tercekam kekeringan
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
75
CEKAMAN KEKERINGAN
PENERIMA SIGNAL
KAR Daun (-) Potensial air daun (-)
TRANSDUKSI SIGNAL
ABA (+) Ca2+, IP3 (+)
Fosforilasi (+)
EKSPRESI GEN
Tanggap Biokimia
SINTESIS PROTEIN
Protein Fungsional : Protein Regulator :
Prolina Enzim pengatur sintesis Protein kinasis Betain senyawa pengendali osmotik Phospholipase C Gula LEA Protein Protein penentu transkripsi Water channel proteins Proteinases Detoxicating proteins
Gambar 3. Ilustrasi skematik hubungan antara KAR daun, ABA dan Prolina dalam mekanisme adaptasi tanaman terhadap cekaman kekeringan
TANGGAP MORFOLOGI TANAMAN : Pertumbuhan akar tertekan : panjang dan bobot kering akar menurun
Perubahan pada daun : daun menggulung dan ukuran daun
cenderung lebih kecil, penuaan daun
Kerapatan stomata menurun
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
76
Tanggap tanaman terhadap
cekaman kekeringan di tanah pasir pantai
diawali di bagian akar. Hasil analisis
peubah tumbuh menunjukkan bahwa akar
merupakan bagian yang tanggap terhadap
cekaman kekeringan. Serapan air yang
menurun akibat cekaman kekeringan akan
diikuti penurunan KAR daun yang
menyebabkan potensial air di daun
menurun. Penurunan potensial air daun
merangsang sintesis ABA (Tardieu et al.,
1996) dan peningkatan Ca2+ dan IP3 di
sitoplasma (Shinozaki dan Yamaguch-
Shinozaki, 1997) yang diikuti peristiwa
penutupan stomata. Diungkapkan oleh Cote
(1995) bahwa Ca 2+ dan IP3 merupakan
second messengers yang selalu aktif pada
saat tanaman mengalami cekaman
kekeringan. Penutupan stomata merupakan
karakter tanggapan tanaman terhadap
cekaman kekeringan (Giraudat et al., 1994).
Konsentrasi ABA di tajuk akan
mempengaruhi ekspresi gen yang
menentukan sintesis protein (meliputi
protein fungsional dan protein regulator).
Protein fungsional yang dimaksud di
antaranya LEA protein, proteinases, enzim
detoksifikasi, dan enzim pengatur sintesis
pengendali osmotik yakni prolina, betain
dan gula (Shinozaki dan Yamaguch-
Shinozaki, 1997). Tampak bahwa
tanggapan tanaman secara cepat adalah
penutupan stomata. Sedangkan kerapatan
stomata diduga mengalami perubahan
setelah tanaman mengalami cekaman
kekeringan terus-menerus dalam waktu
yang relatif lama (mingguan sampai
bulanan) selain perubahan pada tajuk,
penuaan daun, perubahan perkembangan
akar, perubahan vernalisasi, saat berbunga
serta pengisiam biji (Passiora (1996).
Gambaran tersebut menjelaskan bahwa
tanda tanaman mengalami cekaman
kekeringan tidak dapat disidik
menggunakan protein total. Tampak ada
keterkaitan antara penurunan KAR daun
yang diikuti peningkatan ABA dengan
sintesis prolina sebagai senyawa
pengendali osmotik.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat
dikemukakan berdasarkan fakta hasil
temuan dan uraian sebelumnya adalah
sebagai berikut :
1. Ditemukan perbedaan tanggap
kandungan air relatif (KAR) daun,
kandungan prolina tajuk dan
kandungan ABA tajuk antara
varietas toleran dan peka terhadap
cekaman kekeringan.
2. Mekanisme adaptasi tanaman
bawang merah terhadap cekaman
kekeringan ditandai oleh penurunan
KAR daun yang menyebabkan
peningkatan kandungan ABA dan
kandungan prolina di tajuk pada
varietas peka tetapi tidak terjadi pada
varietas toleran.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
77
DAFTAR PUSTAKA Christine, G.,B. Rene` and B. Jean-Louis.
1996. Water deficit-induced
changes in proline and some other
amino acid in the phloem sap of
alfalfa. Plant Physiol. 111 : 109-
113.
Cote, G. G. 1995. Signal transduction in
leaf movement. Plant Physiol 109 :
729-734.
Davies, W. J. and J. Zhang. 1991. Root
signals and the regulation of growth
and development of plants in drying
soil. Annual Review of Plant
Physiologyand Molecular Biology 42
: 55-76.
Giraudat, J., F. Parcy, N. Bertauche, F.
Gosti, J. Leung, P. C. Morris, M.
Bouvier-Durand, N. Vertanian.
1994. Current advances in absisic
acid action and signaling. Plant
Mol Biol 26: 1557-1577.
Kertonegoro, B. D. 2001. Gumuk pasir
pantai di D.I.Yogyakarta : Potensi
dan pemanfaatannya untuk
pertanian berkelanjutan. Makalah
Seminar Nasional Pemanfaatan
sumberdaya lokal untuk
pembangunan pertanian
berkelanjutan. Universitas Wangsa
Manggala.Yogyakarta.13 hal.
Maestri, M., F. M. Damatta, A. J. Regazzi
and R.S. Barros. 1995.
Accumulation of proline and
quarterrary ammonium
compounds in mature leaves of
water stressed caffea plant. Journal
of Hortic. Sci. 70 (2) : 229-233.
Monneveux, P. and E. Belhassen. 1996.
The diversity of drought adaptation
in the wide. Plant Growth Regulation
20 : 85-92.
Passioura, J. B. 1996. Drought and
drought tolerance. Plant Growth
Regulation 20 : 79-83.
Popova, L. P., W. H. Outlow Jr., K.
Aghoram and D. R. C. Hite. 2000.
Abscisic acid an intraleaf water-
stress signal. Physiologia Plantarum
108 : 376-381.
Shinozaki, K. and K. Yamaguchi -
Shinozaki. 1997. Gene expression
and signal transduction in water-
stress response. Plant Physiol. 115 :
327-334.
Sufyati, Y. 1999. Karakter Morfofisiologi
Varietas Bawang Merah
(Alliumascalonicum L.) pada
Kondisi Stres Air. Tesis Program
Pascasarjana IPB (Tidak
dipublikasi).
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
78
Swasono, F.D.H. 2005. Studi Tentang
Karakter Fisiologi Toleransi
Terhadap Cekaman Kekeringan
Beberapa Varietas Bawang Merah di
Tanah Pasir Pantai. Laporan
Penelitian Dosen Muda. Dirjen.
PendidikanTinggi (In Press).
Tardieu F. 1996. Drought perseption by
plants do cells of droughted
plants experiences water stress?
The diversity of adaptation in the
wide. Plant Growth Regulation 20 :
93-104.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
79
PEDOMAN PENULISAN NASKAH
Naskah yang diterima merupakan hasil
penelitian, naskah ditulis dalam bahasa
Indonesia, diketik dengan computer
program MS. Word, front Arial size 11.
Jarak antar baris 2 spasi maksimal 15
halaman termasuk garfik, gambar dan tabel.
Naskah diserahkan dalam bentuk print-out
dan CD; dibuat dengan jarak tepi cukup
untuk koreksi.
Gambar (gambar garis maupun foto)
dan tabel diberi nomor urut sesuai dengan
letaknya. Masing-masing diberi keterangan
singkat dengan nomor urut dan dituliskan
diluar bidang gambar yang akan dicetak.
Nama ilmiah dicetak miring atau
diberi garis bawah. Rumus persamaan ilmu
pasti, simbol dan lambang semiotik ditulis
dengan jelas.
Susunan urutan naskah ditulis
sebagai berikut :
1. Judul dalam bahasa Indonesia.
2. Nama penulis tanpa gelar diikuti
alamat instansi.
3. Abstract dalam bahasa Inggris, tidak
lebih 250 kata.
4. Materi dan Metode.
5. Hasil dan Pembahasan.
6. Kesimpulan.
7. Ucapan terima kasih kalau ada.
8. Daftar pustaka ditulis menggunakan
sistem nama, tahun dan disusun
secara abjad
Beberapa contoh :
Buku :
Mayer, A.M. and A.P. Mayber. 1989. The
Germation of Seeds. Pergamon
Press. 270 p.
Artikel dalam buku : Abdulbaki, A.A. And J.D. Anderson. 1972.
Physiological and Biochemical
Deteration of Seeds. P. 283-309. In.
T.T.Kozlowski (Ed) Seed Biology Vol.
3. Acad. Press. New York.
Artikel dalam majalah atau jurnal :
Harrison, S.K., C.S. Wiliams, and L.M. Wax.
1985. Interference and Control of
Giant Foxtail (Setaria faberi, Herrm) in
Soybean (Glicine max). Weed Science
33: 203-208.
Prosiding : Kobayasshi,J. Genetic engineering of Insect
Viruses: Recobinant baculoviruses. P.
37-39. in: Triharso, S. Somowiyarjo,
K.H. Nitimulyo, and B. Sarjono (eds.),
Biotechnology for Agricultural Viruses.
Mada University Press. Yogyakarta.
Redaksi berhak menyusun naskah
agar sesuai dengan peraturan pemuatan
naskah atau mengembalikanya untuk
diperbaiki, atau menolak naskah yang
bersangkutan.
Naskah yang dimuat dikenakan biaya
percetakan sebesar Rp 100.000,- dan
penulis menerima 1 eks hasil cetakan.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 5., September 2012 ISSN : 2086-7719
80